FUNGSI DAN PERANAN AUDITOR BADAN PENGAWASAN
KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM
PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH
HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA
(POLDA SUMUT)
TESIS
Oleh
BUDIMAN BUTARBUTAR 077005034/HK
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FUNGSI DAN PERANAN AUDITOR BADAN PENGAWASAN
KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM
PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH
HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA
(POLDA SUMUT)
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora
Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
BUDIMAN BUTARBUTAR 077005034/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : FUNGSI DAN PERANAN AUDITOR BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA (POLDA SUMUT) Nama Mahasiswa : Budiman Butarbutar
Nomor Pokok : 077005034 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D i r e k t u r
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada Tanggal 03 Maret 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH
ABSTRAK
Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana umum termasuk menyidik tindak pidana korupsi. Perbuatan korupsi di Indonesia adalah termasuk kasus yang sangat menonjol yang dilakukan oleh oknum-oknum yang secara langsung maupun tidak langsung, menerima, mengelola dan menggunakan uang negara baik yang berasal dari APBN maupun APBD dan atau yang seharusnya memasukkan uang ke kas negara melalui sektor-sektor pendapatan negara baik pendapatan negara melalui pajak maupun bukan pajak.
Perbuatan yang merugikan negara tersebut banyak terjadi di pemerintahan baik lembaga eksekutif, legislatif maupun lembaga yudikatif yang apabila tidak dikhentikan segera maka akibatnya akan menambah kemiskinan bangsa ini dan akibatnya masyarakat akan jauh dari cita-cita kemerdekaan yaitu terwujudnya masyarakat yang makmur dan sejahtera. Untuk mencegah terjaidnya perbuatan korupsi dan menanggulangi terjadinya kerugian negara atas perbuatan korupsi yang terjadi serta guna meminta pertanggungjawaban oknum-oknum yang melakukan korupsi, maka dibentuk Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2002, dan Penyidik Polri bersama-sama dengan Penyidik KPK dan Penyidik Kejaksaan berdasarkan kewenangannya masing-masing melakukan penindakan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi guna dihadapkan ke persidangan.
Penyidik Polri yang menerima informasi dan atau mengetahui langsung adanya kasus yang terindikasi korupsi, terlebih dahulu meminta Auditor BPKP untuk melakukan audit investigasi atas kasus yang sedang diselidiki untuk mengetahui apakah atas perbuatan seseorang/orang lain ada terdapat kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, dan apabila laporan hasil audit dari Auditor BPKP menyatakan sudah terdapat kerugian negara dengan mencantumkan besaran kerugian negara maka Penyidik Polri akan meningkatkan tahap penyelidikan menjadi tahap penyidikan untuk melakukan serangkaian tindakan tindakan penyidikan dan melimpahkan kasus dan tersangkanya kepada Jaksa Penuntut Umum untuk disidangkan di pengadilan guna mendapatkan kepastian hukum. Namun apabila laporan hasil audit yang diterbitkan Auditor BPKP menyatakan tidak terdapat kerugian negara maka penyelidikan akan dihentikan dengan kesimpulan bukan merupakan tindak pidana korupsi. Sehingga disimpulkan bahwa ada atau tidaknya perbuatan korupsi ditentukan oleh laporan hasil audit Auditor BPKP sehingga auditor BPKP sangat berperan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
ABSTRACT
The Police of Indonesia Republic was give knit to do investigation general criminal include to investigate corruption criminal based of rule No 8 at 1981 about law criminal and rule No 2 at 2002. The corruption in Indonesia is a great case have do by most person direct or indirect, getting carry out and using of the government money which the source is APBN or APBD and or it should givin to country money from sectors of country obtain such as tax or not.
That do what make our country is get losing have been happen in the government such as executive, legislate, and judicial league. If it is not be stop with soon. The effect is to make more poor our country aim to be rich and reperous society. The way of prohibition of corruption and to shutting the losing and also to get responsibility of the people was do corrupt, so the rule of 1991 No. 31 was change to rule of 2002 No. 21 and the police investigation join with the KPK ( Corruption Eradication Commission) investigate and judge investigate based of their knit to do investigation for all corruptor to be continue to sit in on judgment.
The police investigate have gate the information or direct know is a corruption case, the first must to BPKP auditor to do investigation audit of this case to know the country was lose or not. If the result of BPKP auditor is show on the lose country with the number of lose and the police investigate will up to investigation section to do most investigate will up to investigation and carry out this case and the corruptor to sit in on judgment. But if the result of BPKP auditor it not show on the losing of country, the investigation will be stop because it is not a corruption case. Sothat, we can say the corruption case is determined by result of BPKP auditor and the BPKP aditor is most impotant actor to show up the corruption case.
KATA PENGANTAR
Pertama sekali saya mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat kasih sayang, perlindungan dan pertolongan-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan tesis ini sesuai dengan waktunya.
Tesis ini berjudul “Fungsi dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah
Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut)” yang merupakan salah
satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan perkuliahan di program Studi
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan segala
keterbatasan, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia.
Saya menyadari dengan sepenuhnya bahwa penyelesaian tesis ini dapat
terlaksana adalah berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak dan oleh karena
itu saya pada kesempatan ini ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besranya
kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H,
Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kpada saya untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T,
Cahirun Nisa B, MSc, atas kesempatan bagi saya menjadi mahasiswa Program
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan,
serta masukan yang diberikan kepada saya selama menuntut ilmu pengetahuan di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
4. Terima kasih dan hormat saya sampaikan kepada Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,
MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
serta Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberi bimbingan dan arahan serta
petunjuk maupun masukan-masukan yang sangat baik sehingga tercapai penulisan
tesis ini.
5. Dr. T. Keizerina Devi Anwar, SH, CN, M.Hum dan Dr. Sunarmi, SH, M.Hum,
selaku Dosen Penguji tesis penulis.
6. Seluruh Dosen penulis pada Program Pascasarjana Studi Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan serta motivasi
pada setiap perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
7. Orang tua dan mertua tercinta St. J. Butar-Butar/R. Br. Sirait (Op. Nova) dan M.
Panggabean/M. Br. Hutapea (Op. Diana) yang senantiasa memanjatkan doa dan
memohon kepada Tuhan serta memberi dorongan dan nasehat sehingga penulis
dapat mengikuti perkuliahan serta menyelesaikan tesis ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan IX Program Studi Ilmu Hukum Sekolah
9. Seluruh Staf Sekretariat Pascasarjana Ilmu Hukum yang juga sangat banyak
membantu administrasi.
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya,
namun selaku manusia biasa adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan tesis ini,
dan oleh sebab itulah penulis mengharapkan adanya masukan dan kritikan serta saran
yang produktif dari semua pihak yang membaca tesis ini.
Medan, Februari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Budiman ButarButar
Tempat/Tgl. Lahir : Lumbantor / 22 Oktober 1964
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Status : Menikah
Pendidikan :
a. Umum : SD Negeri Hatinggian Tahun 1978 : SMP Negeri Lumban Julu Tahun 1981 : SMA Negeri Prapat Tahun 1984
: Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Univ. Medan Area Tahun 1995
: Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Univ. Sumatera Utara Tahun 2009
b. Kepolisian : Seba Milsuk Polri Tahun 1985 : Secapa Polri Tahun 1999
: Dik Lanjutan Perwira Penyidik Kerusuhan Massal tahun 2004
: Kasat Reskrim Polres Nias Tahun 2004-2006 : Kapolsekta Tanjung Balai Selatan Tahun 2006
: Kasat Reskrim Polres KP3 Belawan Tahun 2006-2007 : Kapolsekta Percut Sei Tuan Tahun 2007-2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ...……….. 1
B. Perumusan Masalah………. 15
C. Tujuan Penelitian ………. 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian ... 17
F. Kerangka Teori dan Konsep………... 18
G. Metode Penelitian... 45
BAB II. KEDUDUKAN HUKUM HASIL AUDIT DIKAITKAN PADA HUKUM FORMIL SISTEM PEMBUKTIAN... 51
A. Karakteristik Bukti Audit ... 51
C. Kedudukan Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat dengan
Keterangan Ahli ... 65
BAB III. HUBUNGAN KERJA ANTARA BPKP PERWAKILAN
PROPINSI SUMATERA UTARA DENGAN INSTITUSI
POLRI POLDA SUMUT DALAM MENYIDIK TINDAK
PIDANA KORUPSI ... 69
A. Kewenangan Penyidik Polri Sebagai Sub-Sistem
Peradilan Pidana di dalam Penanganan Tindak Pidana
Korupsi ... 69
B. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP... 78
C. Peranan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana
Korupsi ... 82
D. Hubungan Kerja Antara BPKP Perwakilan Propinsi
Sumatera Utara Dengan Institusi Polri Polda Sumut
Dalam Menyidik Tindak Pidana Korupsi ... 92
BAB IV. KENDALA DALAM PELAKSANAAN FUNGSI DAN
PERANAN AUDIT INVESTIGASI BPKP PERWAKILAN
PROPINSI SUMATERA UTARA DALAM
PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT ... 100
A. Hambatan Bagi Kepolisian Dalam Penanggulangan
B. Kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi dan Peranan Audit
Investigasi BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara
Dalam pengungkapan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah
Hukum Polda Sumut ... 111
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 124
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1. : Indeks hasil Survei PERC tentang Tingkat Korupsi di Asia .. 5
Tabel 3.1. Realisasi Audit Investigasi BPKP Atas Permintaan
Penyidik Polda Sumut Tahun 2004 s/d 2008 ... 98
Tabel 3.2. Permintaan Audit Investigasi Dari Penyidik Polda Sumut
Kepada Auditor BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1. : Skema Pelaksanaan Audit BPKP Atas Permintaan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini tuntutan terhadap paradigma good governance
dalam seluruh kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good governance sendiri
dapat diartikan terlaksananya tata ekonomi, politik, dan sosial yang baik.1 Jika
kondisi good governance dapat dicapai maka terwujudnya negara yang bersih dan
responsif (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil
society) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good corporate governance)
bukan merupakan impian lagi. Lembaga-lembaga donor internasional seperti World
Bank, IMF dan ADB juga menuntut ditegakkan paradigma good governance di
negara-negara yang memperoleh bantuan dari mereka, termasuk Indonesia.2 Dengan
demikian bagi Indonesia tuntutan ditegakkan good governance merupakan suatu
keharusan yang harus diupayakan dan dicapai.
Untuk dapat mencapai good governance maka salah satu hal yang harus
dipenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam
berbagai aktivitas baik aktivitas sosial, politik dan ekonomi serta penegakan
hukum.
1
Rochman Achwan, “Good Governance: Manifesto Politik Abad ke-21”, Kompas, Rabu 28 Juni 2007, hlm. 3.
2
Dari sisi ekonomi, menurut penulis salah satu indikator adanya keterbukaan dan
akuntabilitas tersebut adalah tingkat korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang
terjadi dalam aktivitas ekonomi pada berbagai tingkatan pelaku ekonomi. Semakin
tinggi tingkat keterbukaan dan akuntabilitas dari aktivitas ekonomi maka seharusnya
semakin rendah pula kemungkinan KKN yang terjadi.
Penelitian ini mencoba memaparkan fungsi dan peranan auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera
Utara dalam pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kepolisian
Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dan melihat kemungkinan auditor BPKP
menjadi salah satu “pllars of integrity” dalam gerakan anti korupsi di Indonesia
khususnya di Provinsi Sumatera Utara.
Secara objektif harus diakui bahwa Pemerintah Indonesia telah berupaya
untuk menunju terciptanya good governance. Upaya tersebut dapat dilihat dari
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi sejak pertengahan tahun 1980-an. Deregulasi
diarahkan dengan mengurangi dan atau menghilangkan berbagai peraturan yang
dirasa menghambat kegiatan perekonomian. Secara khusus pemerintah
menghilangkan berbagai peraturan yang menghambat kegiatan ekspor. Berbagai
kebijakan deregulasi di bidang ekonomi nampak jelas menunjukkan orientasi
pemerintah yang berubah dari inward oriented menunju outward oriented. Sejalan
dengan kebijakan tersebut maka pengembangan sekitar industri juga diarahkan untuk
Kebijakan debirokratisasi dilakukan dengan cara mengurangi atau memangkas
proses birokrasi. Sebagai contoh proses perijinan diperpendek dan atau dipermudah.
Dengan kebijakan tersebut masyarakat atau investor diharapkan memperoleh
kemudahan untuk memperoleh ijin untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pemerintah
juga mengembangkan sistem administrasi satu atap sehingga masyarakat memperoleh
pelayanan yang lebih baik dari pihak birokrasi.4
Kelemahan yang sangat mencolok dalam proses tercapainya good governance
selama ini adalah tingginya korupsi yang terjadi. Korupsi dapat dikatakan merajalela
terutama di kalangan birokrasi pada instansi publik atau lembaga pemerintah baik
departemen maupun bukan departemen. Korupsi biasanya yang terjadi disertai
dengan tindakan kolusi dan nepotisme. Kemudian di Indonesia dikenal dengan nama
istilah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Praktek KKN yang terjadi di antaranya dapat dilihat dari hasil pemeriksaan
reguler BPKP selama tahun anggaran 2005/2006. Hasil pemeriksaan tersebut
menyebutkan bahwa sebanyak 10 (sepuluh) departemen dan lembaga pemerintah
bukan Departemen melakukan praktek KKN yang menyebabkan kerugian
negara senilai trilyunan rupiah. Dari ke-10 institusi tersebut 5(lima) diantaranya
diindikasikan nilai penyelewengannya terbesar.
3
Y. Sri Susilo, “Mampukah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Menjadi Salah Satu Pillars If Integrity”, http://www.transparansi.or.id/artikel/arikel_pk/artikel_02.html, Diakses tanggal 15 Juli 2008.
4
Kelima institusi termaksud adalah Pertamina, Kantor Menteri negara Penanaman
Modal dan Pembinaan BUMN, Bulog, BKKBN dan Bank Indonesia.5
Penyelewengan keuangan negara6 yang berhasil ditemukan oleh BPKP selama
tahun anggaran 2005/2006 sejumlah 18.945 kasus dengan nilai mencapai Rp. 2,4
trilyun. Menurut BPKP indikasi KKN pada institusi pemerintah tersebut dapat
diketahui dari adanya penyimpangan prosedur pengadaan barang dan jasa,
pembayaran yang melebihi prestasi kerja, pekerjaan fiktif, pemalsuan dokumen, mark
up, dan pemberian pekerjaan pada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.7
Agar lebih komprehensif ada baiknya tingkat korupsi di Indonesia
dibandingkan dengan beberapa negara. Hasil indeks persepsi korupsi (IPK) Tahun
2007 yang diluncurkan oleh Transparancy Internasional (TI), Rabu tanggal 26 bulan
9 menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan 143 dari 180 negara dengan nilai
2,3. Hasil tersebut berdasarkan indeks publik gabungan dari 14 survei pendapat ahli
pada 180 negara dengan memberikan angka nol (paling korup hingga sepuluh (tidak
ada korup). “Indonesia menduduki posisi 143 bersama Gambia, Rusia dan Togo,
Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Bangladesh, Kaboja, Papua Nugini, Laos dan
5
Rochman, Achwan, Op.Cit., hlm. 3.
6
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
7
Myanmar yang masing-masing menempati posisi 162, 168, 179.8
Untuk negara Asia Indonesia menempati tingkat negara ketiga yang terbesar
melakukan korupsi setelah Filipina dan Thailand. PERC (Political and Economic
Risk Consultancy) yang bermarkas di Hongkong melansir peringkat korupsi pada 13
negara di Asia, melalui survei yang dilakukan pada Januari-Pebruari 2008 atas 1.400
warga asing pelaku bisnis. PERC tidak memasukkan Myanmar dan Bangladesh yang
dikenal sangat korup.
Tabel 1 : Indeks hasil Survei PERC tentang Tingkat Korupsi di Asia
No Negara Indeks
Sumber : Survei PERC 2008 : Peringkat Korupsi http://www.google.survei PERC 2008. peringkat Korupsi.htm, diakses tanggal 15 Juli 2008
8
Provinsi Sumatera Utara menurut versi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menempati urutan tiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur soal dugaan
korupsi, berdasarkan jumlah pengaduan masyarakat yang diterima KPK. Keseluruhan
pengaduan yang diterima KPK dari masyarakat Sumut sebanyak 2,290 laporan
terhitung sejak tahun 2004-2008.9
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa penyelewengan korupsi begitu
merajalela di Indonesia. Secara teoritis terjadinya korupsi dipengaruhi oleh faktor
permintaan dan faktor penawaran.10
Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi
yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem
perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar.
Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) Tradisi birokrasi
yang cenderung korup, (2) Rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) Kontrol atas
institusi yang tidak memadai, (4) Transparansi dari peraturan dan hukum.11
Untuk dapat memberantas korupsi sehingga upaya terwujudnya good
governance dapat lebih cepat tercapai maka perlu dukungan dan upaya dari berbagai
pihak. Untuk itu perlu diciptakan sistem akuntabilitas yang efektif. Dalam hal ini
pengambil kebijakan harus memfokuskan usaha mereka mencapai tujuan-tujuan
sebagai berikut:
9
Waspada, 12 Juni 2008, http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2769, Diakses tanggal 15 Juli 2008.
10
Tanzi, Vito, “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures”,
AMF Working Paper, WP/98/63, May 1998, hlm. 21.
11
1. Para pemegang posisi kunci di lembaga eksekutif dan pelayanan masyarakat
harus memperkuat institusi publik.
2. Para politisi dan pegawai negeri harus secara kolektif bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas dan komitmen pemerintah.
3. Para politis dan birokrat pada umumnya harus lebih responsif terhadap kebutuhan
perusahaan-perusahaan milik swasta maupun milik negara.
4. Seluruh warga negara, sektor swasta, media dan masyarakat sipil harus dididik
dan diberdayakan untuk meningkatkan akuntabilitas sektor publik.
Selanjutnya agar akselerasi sistem akuntabilitas publik dapat lebih cepat
tercapai, maka diperlukan komitmen dan integritas dari berbagai pihak yang terkait
dengan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu
upaya untuk menegakkan paradigma good governance.
The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dengan
berbagai pihak dalam rangka upaya memberantas korupsi, telah memperkenalkan
konsep yang disebut “pillars of integrity”. Konsep mengenai sistem integritas
naisonal tersebut setidaknya melibatkan 8 (delapan) lembaga yang disebut “pillars of
integrity”, yaitu (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga
kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies), (5) media, (6)
sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.12
Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga pengawas antara lain kantor-kantor
auditor, lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor
Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan LSM termasuk ke dalam
pilar masyarakat sipil. Pilar tersebut tentunya bisa diperluas menurut kondisi
masing-masing negara. Di Indonesia misalnya, mahasiswa tentu dapat dimasukkan sebagai
salah satu unsur pilar integritas juga dapat menjadi bagian dari “watcdog” yang lebih
galak.
Auditor BPKP sendiri termasuk ke dalam pilar yang manakah. Auditor BPKP
dapat masuk ke dalam lembaga-lembaga pengawas karena pada umumnya auditor
merupakan anggota Internal Auditor Indonesia (IAI). Organisasi IAI ini adalah
organisasi profesional oleh karena itu juga dapat masuk ke dalam pilar sektor
swasta.13 Dengan demikian salah satu anggota IAI ini adalah auditor BPKP.
Pertanyaan selanjutnya mampukah IAI berdiri sendiri menjadi pilar
tersendiri? Jawabnya di atas kertas adalah IAI mempunyai potensi yang sangat besar
untuk menjadi pilar ke-9 dari “pillars of integrity”, di Indonesia.14 Seperti diketahui
sebagian anggota dari IAI merupakan auditor yang profesional yang tergabung dalam
kantor auditor atau akuntan publik. Ada atau tidaknya korupsi dalam suatu kegiatan
ekonomi dapat diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor
keuangan.
12
Ibid., hlm. 13.
13
Ibid., hlm. 14.
14
Ibid., hlm. 13. Pillar of integrity, yaitu (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3)
Dengan demikian jelas ada tidaknya penyelewengan keuangan sangat tergantung dari
pekerjaan dan kesimpulan yang direkomendasikan oleh lembaga auditor. Di
Indonesia misalnya, ada tidaknya korupsi pada institusi pemerintah secara formal
diketahui dari laporan yang dikeluarkan oleh BPKP atau kantor akuntan publik yang
ditunjuk.15
Adapun kedudukan BPKP dalam “pillars of integrity”, tersebut dapat
dimasukkan dalam pillar keempat yaitu lembaga-lembaga pengawas (watchdog
agencies), hal ini disebabkan BPKP berkedudukan sebagai auditor internal
Pemerintah. Sebagai auditor internal pemerintah, BPKP menekankan fokus kinerja
pada tiga hal besar, yaitu governance, risk management, dan internal control. BPKP
sudah mengembangkan konsep tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) dan sejauh ini telah disosialisasikan dan diimplementasikan di berbagai
pemerintahan. BPKP telah mengembangkan konsep manajemen resiko (risk
management), termasuk melakukan sosialisasi melalui workshop dan media
lainnya, serta membantu implementasi manajemen risiko di beberapa BUMN.
BPKP juga selalu concern dan peduli pada pentingnya pengendalian internal di
berbagai kegiatan. BPKP telah secara intense mengem bangkan konsep
pengendalian internal dalam proses pengadaan barang dan jasa, sehingga BPKP -
memperoleh amanah sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengevaluasi
kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.16
Publik seringkali menganggap bahwa kinerja lembaga pengawasan yang
efektif adalah jika banyak kasus korupsi diungkap dan pelakunya ditangkap dan
dijeploskan ke penjara. Sebagian masyarakat masih perlu mengetahui bahwa lembaga
pengawasan internal pemerintah hakekatnya merupakan upaya preventif berupa
mengawal pemerintah secara intensif, melalui pengembangan prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik, penanganan risiko yang akurat, dan juga
pengimplementasian pengendalian internal yang baik di setiap kegiatan
pemerintahan.
Dalam pengimplementasian tugas BPKP menemukan data kerugian negara
akibat kasus berindikasikan korupsi uang melibatkan pengelolaan keuangan negara
telah mencapai Rp. 9.858 triliun.17
Dari jumlah tersebut, 60 – 70% di antaranya disebabkan korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Temuan kerugian negara itu didasarkan audit
yang dilakukan oleh BPKP sendiri dan hasil pembantuan penghitungan kerugian
negara penegak hukum sejak tahun 2002 hingga 30 April 2007. Nilai kerugian
belum termasuk yang berdenominasi mata uang asing,
16
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Profil Organisasi, 25 Tahun BPKP, Jakarta, 2007, hal. 1.
17
yaitu USD 1,068 miliar, 0,245 juta franc Pravis dan 5,328 juta ringgit Malaysia.18
Semua kasusnya sudah diserahkan ke Kejaksanaan, kepolisian dan KPK.
Dalam perincian, kerugian negara temuan audit investigatif BPKP ini meliputi 565
kasus dengan nilai Rp. 1.693 triliun, USD 28,861 juta dan 0,245 juta franc Prancis.
Sementara hasil bantuan penghitungan kerugian keuangan terhadap penegak hukum
dilakukan atas 1.127 kasus dengan nilai Rp. 8,165 triliun, USD 1,066 miliar dan
5,328 juta ringgit Malaysia. Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji menambahkan,
modus operandi pelaku penyimpangan bervariasi, namun umumnya terjadi dalam
proses pengadaan barang dan jasa. Hal itu dari instansi pemerintah pusat hingga ke
daerah.19
Kenapa korupsi paling banyak ditemukan dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Salah satunya karena jumlah anggaran untuk pengadaan memang selalu
besar setiap tahunnya, yakni sekitar 10% dari anggaran pengadaan barang dan jasa itu
setiap tahunnya selalu rawan. Kasus berindikasi korupsi yang dilaporkan BPKP lebih
baik dibanding hasil laporan auditor lain.20
18
Ibid.
19
Ibid. Modusnya seperti penunjukan langsung pengadaan, pengurangan volume proyek, mark
up harga barang-barang yang dibeli tidak sesuai spesifikasi, dan lain-lain. Salah satu instansi pusat yang banyak temuan penyimpangan adalah Perum Bulog. Kasus impor sapi fiktif dan impor beras oleh Mantan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo merupakan salah satu kasus yang menggelembungkan nilai kerugian. Kalau di daerah mislanya korupsi oleh Bupati Kendal.
20
Meski tidak menyebut lebih baik dari BPK, audit yang dilakukan BPKP yang
temuannya terdapat indikasi merugikan negara. Hal tersebut sudah memenuhi salah
satu unsur korupsi dimana perbuatan tersebut terdapat unsur memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi dan unsur lain, seperti unsur melawan hukum dan
unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jadi tinggal mencari
apakah pada perbuatan tersebut terdapat unsur sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Kepolisian selalu menindak lanjuti laporan hasil audit investigatif BPKP. Kasus
korupsi menjadi prioritas pengusutan kepolisian, jika ditemukan alat bukti maka akan
segera diproses.
Berhubungan dengan hasil audit investigatif di wilayah hukum Propinsi
Sumatera Utara. Jumlah pelaksanaan audit sesuai dengan permintaan penyidik Polda
Sumut selama 5 tahun yaitu tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 adalah sebanyak
56 kali/kasus dan total nilai kerugian negara adalah Rp. 264.025.516.544,50 dan US
D 6.162.218,75 dan atas permintaan penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan
untuk periode yang sama dalam 5 tahun adalah sebanyak 84 kasus dengan total
kerugian negara adalah Rp. 82.779.073.783,09 dan US $ 14.830,38.21
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, BPKP juga mengklaim telah berhasil
mendorong optimalisasi anggaran. Upaya ini mampu menyelamatkan ang garan
negara mencapai Rp. 17 triliun.
21
Jadi bukan hanya kebocoran, tetapi juga optimalisasi penerimaan, Yang jelas, seperti
masalah dati PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan cost recovery yang
mencapai sekitar Rp. 9 triliun.22
Sebagai suatu sisi yang melakukan pembahasan tentang hubungan kerja antara
pihak kepolisian dan BPKP khususnya dalam lingkup wilayah hukum Propinsi
Sumatera Utara, maka keberadaan Polri dalam penegakan hukum khususnya di
bidang tindak pidana korupsi juga sangat penting.
Peran Polri sebagai penyidik pada criminal justice system tindak pidana
korupsi pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana,23 artinya
fungsionalisasi memegang peranan penting dalam suatu penegakan hukum, Barda
Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi,
beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana
identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya
sama dengan penegakan hukum.24 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan
sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja
dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan -
22
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/bpkp-temukan-kerugian-negara-rp9-8-tr.html, Diakses tanggal 11 Desember 2008.
23
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, (Semarang : Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Tanggal 16-18 September 1991), hlm. 2, bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
24
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan
penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu
tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak
pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan
hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan
tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.25
Suatu hal yang dipahami dari uraian di atas adalah sangat urgennya
kedudukan penyidik Polri dalam mengungkapkan suatu tindak pidana termasuk salah
satunya tindak pidana korupsi. Tetapi disebabkan tingkat sumber daya manusia polisi
juga terbatas serta dibutuhkannya alat bukti dalam pengungkapan tindak pidana
korupsi maka dalam kaitan ini Penyidik Polri juga membutuhkan lembaga lain yang
memiliki kompetensi dalam melakukan tugas audit investigasi. salah satu lembaga
yang memiliki kompetensi di bidang audit investigasi tersebut adalah BPKP.
Selain bertugas memberikan bantuan penyelidikan indikasi kerugian negara
maka hasil audit investigasi yang dilakukan oleh auditor BPKP juga berfungsi
sebagai alat bukti bagi penyidik Polri. Hal ini disebabkan karena hasil audit
investigasi tersebut merupakan suatu surat yang menjelaskan tentang telah terjadinya
suatu tindak pidana korupsi dan dibuat oleh lembaga yang benar-benar kualifait di
bidangnya. Selain hasil audit yang dapat dijadikan sebagai alat bukti, maka
keberadaan auditor BPKP juga dapat dimintakan keterangannya dan dapat dijadikan
Kenyataan ini memberikan konstribusi bahwa kerjasama antara Kepolisian
dengan BPKP amat sangat penting khususnya dalam menemukan kebenaran terhadap
suatu hal yang diperkirakan berindikasi merugikan keuangan negara atau telah terjadi
suatu peristiwa tindak pidana korupsi.
Dengan demikian sistem peradilan pidana dalam rangka penyelenggaraannya
sebagaimana dimaksud oleh KUHAP harus merupakan kesatuan yang bergerak
secara terpadu.26 Dalam hal usaha-usaha untuk menanggulangi tindak pidana yang
sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka terdapat beberapa masalah yang menjadi
tema pembahasan tesis ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan hukum hasil audit dikaitkan pada hukum formil sistem
pembuktian?
2. Bagaimana hubungan kerja antara BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara
dengan institusi polri Polda Sumut dalam menyidik tindak pidana korupsi?
25
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30.
26
3. Apakah kendala dalam pelaksanaan fungsi dan peranan audit investigasi BPKP
Perwakilan Propinsi Sumatera Utara dalam pengungkapan tindak pidana korupsi
di wilayah hukum Polda Sumut?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang telah dilakukan di atas, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum hasil audit dikaitkan pada hukum formil
sistem pembuktian.
2. Untuk mengetahui hubungan kerja antara BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera
Utara dengan institusi polri Polda Sumut dalam menyidik tindak pidana korupsi.
3. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan fungsi dan peranan audit
investigasi BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara dalam pengungkapan
tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polda Sumut.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
1. Secara Teoritis
Bahasan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan
terutama dalam bidang hukum yang kelak dapat mengembangkan disiplin ilmu
hukum khususnya disiplin ilmu hukum pidana khusus serta kaitannya dengan tindak
pidana korupsi. Lebih khusus lagi penelitian ini akan memberikan masukan kepada
kalangan akademis dan praktisi dalam rangka penyempurnaan peraturan
perundang-undangan dalam bidang tindak pidana korupsi.
2. Secara praktis
Bahwa secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya dan lembaga apenegakan hukum di Indonesia terutama
dalam meningkatkan kualitas pengawasan penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Khususnya dalam mengkaji fungsi dan peranan BPKP dalam pengungkapan tindak
pidana korupsi di wilayah hukum Polda Sumut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui
belum ada penelitian yang mengangkat judul “Fungsi dan Peranan auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera
Utara dalam pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kepolisian
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Landasan Teori
Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana korupsi adalah
didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang
diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap
tindak pidana, kesalahan berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat
kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asas
tiada pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”.
Asas ini tidak dijumpai pada KUH Pidana sebagaimana halnya asas legalitas, karena
asas ini adalah asas yang ada dalam bentuk hukum tidak tertulis.27 Hal ini apabila
diabstraksikan dalam konteks grand theory berdasarkan teori Von Savigny, akan
tergambar bahwa asas green straf zonder schuld sebagai hukum yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat dan diakui sebagai hukum. Hal ini sesuai dengan
suatu teori hukum pidana yang menyatakan bahwa hukum pidana lahir karena suatu
proses rasional yang terjadi dalam masyarakat, hukum pidana merupakan suatu
usaha yang rasional untuk mengkodifikasikan ”kehendak masyarakat”.28
27
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Liberty, 1980), hlm. 3
28
Asas diartikan sebagai “a principle is the broad reason Which lies at the base of
rule of law”.29Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas tersebut yakni :
Pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum,
abstrak (the board reasoni); Kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya
norma hukum (the base of rule of law). Oleh karena itu asas hukum tidak sama
dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan
asas hukum. Asas legalitas yang dianut oleh KUHAP pada dasarnya merupakan
pengejawatan dari teori hukum positif yang dikemukakan oleh Jhon Austin dengan
aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the
law giver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu
perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup (closed logical system), teori John Austin ini juga dijadikan sebagai grand
theory dalam menganalisis objek penelitian. 30
29
George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, (Oxford: At the Clarendon Press, 1951), hal 176, bandingkan juga,Bellefroid dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum (Suatu Pengantari), (Yogyakarta : Liberty, 1988), hal. 32, bahwa pengertian asas hukum
adalah norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum positif dalam suatu masyarakat.
30
Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada
penilaian baik-buruk.31 Mengenai keadilan (justice) ini seorang Guru besar dalam
bidang filosofis moral dari Glasgow Univesity pada tahun 1750, sekaligus pula sebagi
ahli teori hukum, “bapak ekonomi modern” yakni Adam Smith mengatakan bahwa
tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure
from injury).32
Asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam
pertanggungjawaban pidana, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang
benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai
pengertian kesalahan ini, Mezger mengatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan
syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat
pidana”.33 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan
itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Dilihat dari sudut
dogmatis normatif akan tergambar bahwa masalah pokok dari hukum pidana yakni:34
31
Lihat, dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 55.
32
R. L. Meek, D. D. Raphael dan P. G. Stein, dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Op.cit, hal. 5
33
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 30.
34
1. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana.
2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/
mempertang-gungjawabkan seeorang yang melakukan perbuatan itu.
3. Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.
Selanjutnya kalau berbicara delik-delik ekonomi, Mardjono Reksodiputro
dengan mengikuti pembahasan Freidman tentang “Criminal Law in a Changing
Word” menunjukkan kepada perubahan dalam nilai-nilai masyarakat tentang sistem
ekonomi yang dianutnya kearah pengaturan dan pengendalian, sehingga
menyebabkan sejumlah perbuatan menjadi dinilai sebagai tercela atau perlu dipidana.
Secara umum perbuatan ini dinamakan “tindak pidana ekonomi (economic
crimes)”.35 Dengan delik-delik baru ini, menurut pendapatnya,
kepentingan-kepentingan baru yang tidak dikenal dalam delik-delik lama perlu dilindungi. Dan
dalam penuntutan terhadap delik-delik baru ini asas dan konsep lama dalam hukum
pidana.
Perbedaan antara delik kesenjangan dan kelalaian di dalam hukum pidana
semata-mata diperlukan dalam pemidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh
sebab itu pada hakekatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu
yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana.
Ajaran kesalahan ini diperluas dalam ajaran penyertaan sehingga bukan saja
pertanggungjawaban pidana dimintakan kepada mereka yang nyata-nyata berbuat,
35
akan tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh, ikut serta dan mereka yang
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Bahkan juga terhadap
mereka yang ikut membantu terjadinya suatu tindak pidana. Kecuali yang membantu,
mereka yang menyuruh, ikut serta dan menggerakkan diklasifikasi sama sebagai
seorang pelaku. Dengan demikian ancaman pidananya sama dengan mereka yang
nyata-nyata berbuat. Misalnya, apabila sudah menyangkut tindak pidana ekonomi
seperti korupsi, terhadap mereka yang membantu, dianggap, sehingga ancaman
pidananya adalah sama dengan mereka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Demikian juga mereka yang mencoba melakukan tindak pidana korupsi dianggap
telah melakukan tindak pidana korupsi, sehingga tanggungjawabnya adalah sama
seperti apabila telah selesai melakukan.
Prinsip adanya dolus dan culpa perlu dilakukan adanya bukti berdasarkan
kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku (liability on fault or
negligence atau fault liability). Prinsip ini apabila dikaitkan dengan pelaku kejahatan
korupsi tentunya sulit untuk dibuktikan. Oleh karenanya perlu penerapan asas hukum
yang meminta pertanggungjawaban pelaku tanpa membuktikan adanya unsur
kesalahan atau adanya pertanggungjawaban ketat (strict liability) tanpa harus
dibuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana.36
36
Dwidja Priyatno, Op-cit, hlm.105, bahwa dilihat dari sejarah perkembangannya prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kepada unsur kesalahan (liability on fault or negligence fault
liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori pertangungjawaban mutlak no fault liability
Hal yang perlu diperhatikan dalam asas strict liability adalah perlu adanya
kehati-hatian terhadap keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakat, karena pertanggungjawaban pidana mengalami perubahan paradigma
dari konsepsi kesalahan yang diperluas menjadi konsepsi ketiadaan kesalahan sama
sekali. Konsep ini telah diakomudir oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni dianutnya asas beban
pembuktian terbalik namun tidak dibarengi dengan sistem hukum acara pidana
yang menganut asas sistem pembuktian stelsel negative dengan adanya bukti
permulaan yang dilakukannya penyidikan dan penuntutan.
Perubahan paradigma pertanggungjawaban pelaku kejahatan sebagai bagian
dari pembaharuan hukum pidana harus memperhatikan kebutuhan masyarakat yang
sesungguhnya, serta menyerasikan hukum pidana dengan ilmu empiris sesuai dengan
perkembangan zaman. Prinsip ini apabila diterapkan pada proses penegakan hukum
pidana korupsi akan memudahkan aparat penegak hukum khususnya Polri untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan pelaku tindak pidana korupsi. Prinsip
tersebut tentunya harus didukung oleh perangkat hukum yang jelas berupa
peraturan perundang-undangan37 dan kemampuan personil
Dengan perkataan lain, seseorang bertanggungjawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya. Di dalam hukum Anglo-Saxon kuno dikenal prinsip (maxim) yang berbunyi : Buy spear from side or bear it; yang menunjukkan dengan jelas teori mengenai tanggung jawab pada zaman primitif ketika “the offender must buy of the vengeance of the offended or fight it
out”. Di dalam sistem hukum primitif hukum utama adalah adanya kerukunan dan keamanan (peace and security).
37
Penyidik Polri untuk melakukan konstruksi dari materi hukum yang ada, hal ini
sejalan dengan Teori Sociological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Eugen
Erhlich yang menyatakan bahwa hukum positif akan memiliki daya berlaku yang
efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law). Konsep teori ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum yang
tertulis sebagai kebutuhan masyarakat demi adanya kepastian hukum dan living law
sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan dan orientasi hukum.38 Teori Sociological Jurisprudence dijadikan
sebagai midle theory untuk menganalisis objek penelitian di dalam penelitian tesis ini.
Selanjutnya pada Applied theory terhadap peran Polri sebagai penyidik tindak
pidana korupsi mensyaratkan pelaksanaan hukum (undang-undang) merupakan
abstraksi dari peran hukum sebagai sarana pembangunan, hal ini dapat dilihat di
dalam Teori Pembangunan oleh Mochtar Kusumaatmaja bahwa hukum39 dapat
berperan sebagai sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan
sedang mengalami proses mordernisasi. Hal ini tentunya selaras dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi membawa konsekuensi perlunya penyesuaian terhadap beberapa hal yang diatur dalam undang-undang, karena dirasakan tidak sesuai lagi.
38
Lili Rasjidi dan I. B. Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993) hal. 83.
39
pembangunan masyarakat yang merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat serta membantu proses perubahan pembangunan masyarakat. Oleh karena
itu jangkauan hukum sebagai sarana pembaharuan lebih luas, hal ini disebabkan:40
1. Lebih menonjolnya penggunaan peraturan perundang-undangan dalam
pembaharuan masyarakat di Indonesia meskipun yurisprudensi berperanan juga.
Berbeda di Amerika Serikat penggunaan yurisprudensi lebih diutamakan sesuai
dengan sistem hukumnya yang menempatkan yurisprudensi sebagai sumber
utama hukum (common law system).
2. Konsep law as social engineering, Pound menekankan aplikasi mekanistis. Hal
ini tergambar dari kata tool (alat) yang menggambarkan persamaan dengan
konsep legisme di Indonesia yang sejak lama ditentang. Konsep hukum sebagai
sarana menekankan pada kepekaannya pada hukum yang hidup dalam
masyarakat.
40
Salah satu lembaga negara yang memiliki peran terhadap pemberantasan
tindak pidana korupsi selain Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberatasan Korupsi
(KPK) adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP
berdiri pada tahun 1983 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 31 Tahun 1983.
BPKP merupakan lembaga Pemerintah Non departemen yang berfungsi sebagai
auditor internal pemerintah yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
Dasar hukum BPKP melakukan audit berdasarkan Keputusan Presiden No.
103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi
dan tata kerja lembaga pemerintah non departemen sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004.
Pasal 114 ayat (4) Kepres No. 9 Tahun 2004 tersebut berbunyi “sebagian
tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPKP di daerah tetap dilaksanakan oleh
Pemerintah dalam rangka pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di
daerah yang keuangannya masih melekat pada pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mengoptimalisasikan kinerja BPKP, maka BPKP memiliki perwakilan
di tingkat Provinsi. Dewasa ini BPKP mempunyai 25 Perwakilan di tingkat
Provinsi.41 Organisasi dan tata kerja perwakilan BPKP ditetapkan dengan
41
Investigasi, Bidang -BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara, Peranan BPKP Dalam
Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi, Disampaikan pada Rapat kerja teknis Kasat reserse Kriminal
Keputusan Kepala BPKP No. Kep-06.00.00-286/K/2001 tanggal 30 Mei 2001.
Perwakilan BPKP mempunyai tugas melaksanakan pengawasan keuangan dan
pembangunan serta penyelenggaraan akuntabilitas di daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu bidang yang ada dalam organisasi BPKP dan memiliki peranan
dalam melakukan tugas dan fungsi BPKP memberantas tindak pidana korupsi adalah
Bidang Investigasi. Bidang investigasi yang merupakan salah satu bidang pada
Perwakilan BPKP mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana, program,
dan pelaksanaan pemeriksaan terhadap indikasi penyimpangan yang merugikan
negara, badan usaha milik negara, dan badan-badan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan pemerintah, pemeriksaan terhadap hambatan kelancaran pembangunan
dan pemberian bantuan pemeriksaan pada instansi penyidik dan instansi pemerintah
lainnya.
Identiknya peranan BPKP khususnya dalam memberantas tindak pidana
korupsi yang dicerminkan dari keberadaan bidang Investigasi adalah karena bidang
investasi ini bertugas melakukan audit investigasi. Audit investigasi adalah audit
untuk mengenali dan mengidentifikasi kasus penyimpangan dalam rangka
pembuktian atas dugaan penyimpangan yang dapat merugikan keuangan negara serta
ketaatannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan ruang
lingkup audit investigasi adalah kegiatan/perbuatan yang menyebabkan terjadinya
kerugian keuangan/kekayaan negara dan/atau perekonomian negara, termasuk di
kegiatan/perbuatan tersebut dilakukan serta bagaimana cara melakukan
kegiatan/perbuatan tersebut.42
Perwujudan pelaksanaan audit investigasi sebagaimana dimaksudkan tentang
peran BPKP dalam melakukan pemberatasan tindak pidana korupsi dilakukan
berdasarkan informasi yang diperoleh dari:
1. Temuan audit reguler atas adanya penyimpangan yang berindikasi merugikan
keuangan negara. Audit ini dilakukan berdasarkan program kerja pemeriksaan
tahunan BPKP. Pengembangan pendalaman temuan pada audit reguler akan
dilakukan dengan audit investigasi.
2. Pengaduan masyarakat baik yang langsung ditujukan ke BPKP Pusat maupun ke
Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara.
3. Permintaan audit investigasi dari instansi pemerintah BUMN dan BUMD.
4. Permintaan audit investigasi dari instansi pemerintah lainnya.
5. Permintaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
6. Permintaan dari Instansi Penyidik (Kepolisian dan Kejaksaan).Dalam kategori ini
setiap adanya temuan indikasi korupsi yang ditemukan oleh Penyidik Kepolisian
maka audit investigasi tetap dimintakan kepada BPKP.43
42
Ibid., hlm. 6.
43
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio =
penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak
beresan lainnya.44
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Hal
ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansia
tau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
Kartono menjelaskan :
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi demi keuntungan pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri45
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang
berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
44
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 8.
45
Tujuan dengan diundangkannya Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana
dijelaskan dalam konsiderans menimbang diharapkan dapat memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang
sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat
pada umumnya.
Di dalam Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terdapat 3
istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan
negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi
adalah :
- Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999).46
Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang
tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karenanya :
46
- Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.
- Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.47
Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai
berikut : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pasa
kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau
perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya
sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dalam pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
47
Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Penjelasan Pasal 2
ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan
secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian.
Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil
korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap
diajukan ke Pengadilan dan tetap di pidana sesuai dengan Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi,
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, yang telah
dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tersebut hanya sebagai bahan
pertimbangan bagi Hakim yang mengadili, apakah akan meringankan hukuman
Pidana bagi pelaku / terdakwanya
Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak
pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak diatur
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.
Undang-undang ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi
memuat ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang
sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang
lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu
undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi
yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara sesuai
dengan Pasal 18.
Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan
istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak
wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan
bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. Sedangkan
proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan
efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak
asasi manusia dari tersangka atau terdakwa (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27 UU
Dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
tindak pidana korupsi, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik penuntut
umum atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung
meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada Bank
dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia dapat dibaca pada
Pasal 29 tentang rahasia Bank.
Sebelum suatu bangsa melakukan suatu tindakan untuk penanggulangan
korupsi, ada baiknya apabila terlebih dahulu pemerintah dari bangsa yang
bersangkutan mencari lebih dahulu faktor-faktor apa sebenarnya yang menyebabkan
atau yang mendorong timbulnya korupsi di negara tersebut, sehingga nantinya
tindakan yang diambil tersebut merupakan tindakan yang tepat.
Apabila kita merenungkan sejenak untuk memikirkan apakah sebenarnya
yang menyebabkan timbulnya korupsi itu di negara kita ini. Untuk itu penulis
memberanikan diri untuk memberi jawaban.
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa
dari internal pelaku-pelaku korupsi, juga berasal dari situasi lingkungan yang
kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Menurut Sarlito W. Sarwono dalam berita yang ditulis oleh Masyarakat
Transparansi Indonesis, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas,
yakni :
2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang
kontrol dan sebagainya. 48
Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab
korupsi, yakni :
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi 49
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi
Pemberantasan Korupsi," antara lain :
1. Aspek Individu Pelaku a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
48
Masyarakat Transparansi Indonesia, http://www.transparansi.ot.id, Diakses tanggal 22 Juni
2007, hal. 1.
49
b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu. c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. 3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.