• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Kimiawi Ekstrak Ramuan Kunyit, Temulawak, dan Meniran Berdasarkan Aktivitas Antioksidan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Kimiawi Ekstrak Ramuan Kunyit, Temulawak, dan Meniran Berdasarkan Aktivitas Antioksidan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL KIMIAWI EKSTRAK RAMUAN KUNYIT,

TEMULAWAK, DAN MENIRAN BERDASARKAN

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

TYAS AYU LESTARI

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

TYAS AYU LESTARI. Profil Kimiawi Ekstrak Ramuan Kunyit, Temulawak, dan

Meniran Berdasarkan

Aktivitas

Antioksidan.

Dibimbing oleh EMAN

KUSTAMAN dan WARAS NURCHOLIS.

(3)

ABSTRACT

TYAS AYU LESTARI. The Chemical Profile of Extracts Concoction Turmeric,

Curcuma, and Meniran Based of Antioxidant Activity. Under the direction of

EMAN KUSTAMAN and WARAS NURCHOLIS.

(4)

PROFIL KIMIAWI EKSTRAK RAMUAN KUNYIT,

TEMULAWAK, DAN MENIRAN BERDASARKAN

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

TYAS AYU LESTARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Profil Kimiawi Ekstrak Ramuan Kunyit, Temulawak, dan

Meniran Berdasarkan Aktivitas Antioksidan

Nama

: Tyas Ayu Lestari

NRP

: G84061777

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Eman Kustaman

Waras Nurcholis, M. Si

Ketua

Anggota

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc

Ketua Departemen Biokimia

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul

Profil Kimiawi Ekstrak Ramuan Kunyit, Temulawak, dan Meniran Berdasarkan

Aktivitas Antioksidan. Penelitian seluruhnya dilaksanakan di Laboratorium Pusat

Studi Biofarmaka (PSB) selama 3 bulan, yaitu bulan Pebruari sampai April 2010.

Penelitian didanai oleh DIKTI melalui Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM)

yang diketuai oleh penulis dan beranggotakan 3 orang mahasiswi, yaitu Theresia

Pratiwi ES., Kartika, dan Ismi W. Billirantau.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

membantu penyelesaian karya ilmiah ini terutama kepada Bapak Ir. Eman

Kustaman dan Bapak Waras Nurcholis, M.Si selaku pembimbing yang telah

memberikan arahan, bimbingan, dan saran selama berlangsungnya penelitian dan

penyusunan karya ilmiah. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Prof.

Dr. Ir. Latifah K. Darusman selaku kepala Laboratorium PSB yang telah

mengizinkan penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium PSB dan seluruh

staf laboratorium PSB, khususnya Mas Endi, Mba Salina, Mba Wiwi, Bu Nunuk,

Mas Nio, dan Kak Irul atas bantuan teknis dan saran selama penelitian. Ucapan

terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh dosen dan staf Departemen

Biokimia IPB

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mamah, Bapa, Imma, dan

Aswin Rahadian tersayang atas doa, cinta, dan dukungan moril maupun materiil

selama berlangsungnya kuliah sampai penelitian, Ratna Patiyandela, Pipih

Hadiyanti, Nestry Hutabarat, Prabawati H. Putri, Dyah Lingga NP., Nihayatus

Sa’adah

, Umul Karimah, Dian Apriliana, dan teman-teman Biokimia angkatan 43

atas segala doa, nasehat, dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini dapat

bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Agustus 2010

(7)

RIWAYAT HIDUP

Tyas Ayu Lestari dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Juni 1988 dari

ayah Ujang Sukanta dan ibu Nuryati. Penulis merupakan anak pertama dari dua

bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Negeri I

Margahayu Kabupaten Bandung pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis

diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Biokimia,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Obat Herbal ... 1

Kunyit ... 2

Temulawak ... 3

Meniran ... 4

Radikal Bebas ... 5

Antioksidan ... 5

Metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH

)

... 6

Spektroskopi

Fourier Transform Infrared

(FTIR) ... 6

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 7

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 7

Metode ... 8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Rimpang Kunyit, Temulawak, dan Daun Meniran ... 9

Ekstrak Ramuan Rimpang Kunyit, Temulawak, dan Daun Meniran ...10

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Ramuan Rimpang Kunyit,

Temulawak, dan Daun Meniran...11

Profil Kimiawi Tiga Ekstrak Ramuan Terbaik ...12

SIMPULAN DAN SARAN ...17

DAFTAR PUSTAKA ...17

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Kandungan zat kimia rimpang kunyit pada ketinggian daerah

tanam yang berbeda ... 3

2 Komposisi rimpang temulawak ... 4

3 Macam-macam senyawa dalam meniran ... 4

4 Rendemen rata-rata ekstrak ramuan rimpang kunyit, temulawak, dan daun

meniran ...10

5 Nilai IC

50

rata-rata seluruh ekstrak ...12

6 Gugus fungsi yang terdapat pada spektrum ekstrak formula

1:0:0, 1:0:1, dan 0:1:0 ...14

7 Jumlah spot dan nilai Rf tiga ekstrak terbaik ...17

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Rimpang kunyit... 3

2 Rimpang temulawak ... 4

3 Daun meniran ... 4

4 Grafik hubungan antara rendemen ekstrak dan aktivitas

antioksidan ekstrak ...12

5 Profil FTIR tiga ekstrak terbaik. (a) formula 1:0:0,

(b) formula 1:0:1, dan (c) formula 0:0:1 ...13

6 Profil KLT tiga ekstrak terbaik. (a) formula1:0:0,

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tahapan umum penelitian ...24

2 Penentuan kadar air serbuk rimpang kunyit, rimpang temulawak, dan

daun meniran ...25

3 Analisis kadar air serbuk rimpang temulawak, rimpang kunyit, dan daun

meniran ...25

4 Prosedur ekstraksi serbuk rimpang kunyit, rimpang temulawak, dan daun

meniran ...26

5 Rendemen hasil ekstraksi ramuan rimpang kunyit, rimpang temulawak,

dan daun meniran menggunakan etanol 96% ...27

6 Analisis aktivitas antioksidan ekstrak ramuan rimpang kunyit, rimpang

temulawak, dan daun meniran menggunakan metode DPPH...28

7 Perhitungan pembuatan konsentrasi sampel ...28

8 Perhitungan pembuatan larutan DPPH 1 mM ...29

9 Nilai IC

50

ekstrak formula 1:1:1 ...28

10 Nilai IC

50

seluruh ekstrak ...30

11 Profil FTIR tiga ekstrak yang memiliki aktivitas

antioksidan paling tinggi ...30

12 Hasil elusi ekstrak tiga ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan

paling tinggi menggunakan eluen kloroform:diklorometana ...32

13 Hasil elusi ekstrak formula 1:0:0 (0.6553:0.3447) dan 0:1:0 (67.5:32.5)

dengan deteksi UV 366 nm menggunakan fase gerak

kloroform:diklorometana ...33

14 Jumlah spot dan nilai Rf hasil optimasi dari ekstrak formula 1:0:1

dengan deteksi UV 366 nm menggunakan fase gerak

kloroform:diklorometana ...33

15 Hasil optimasi ekstrak formula 1:0:1 dengan deteksi UV 366 nm

menggunakan fase gerak kloroform:diklorometana ...34

(11)

1

PENDAHULUAN

Radikal bebas merupakan salah satu ancaman yang sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, alzheimer, aterosklerosis, diabetes mellitus, rheumatoid arthritis, dan kanker (Yang et al. 2004). Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil di dalam tubuh sehingga dapat merusak jaringan, seluler, bahkan mutasi genetik. Selain dihasilkan dari luar tubuh, radikal bebas juga dihasilkan dari dalam tubuh, seperti dari proses respirasi, pencernaan, dan metabolisme. Peningkatan radikal bebas dapat dipicu oleh gaya hidup yang buruk, stress, dan olah raga yang berlebihan. Untuk menangkal radikal bebas maka tubuh membutuhkan pelindung, salah satunya antioksidan.

Secara alami, tubuh menghasilkan

antioksidan, tetapi tidak cukup kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas yang dihasilkan dari dalam dan luar tubuh (Hanani et al. 2005). Tubuh manusia memerlukan asupan dari luar untuk mencukupi kebutuhan antioksidan dalam melawan radikal bebas. Salah satu sumber antioksidan yang berasal dari luar tubuh adalah antioksidan alami. Penggunaan antioksidan alami makin banyak digunakan karena tidak menimbulkan efek samping.

Tanaman kunyit, temulawak, dan meniran memiliki potensi sebagai antioksidan karena kemampuannya dalam mengobati berbagai penyakit. Berbagai penelitian telah dilakukan

untuk mengetahui khasiat kunyit, dan

temulawak sebagai antioksidan. Adanya kandungan kurkuminiod maupun salah satu hasil isolasinya pada kunyit dan temulawak, yaitu kurkumin diketahui memiliki aktivitas antioksidan (Rustam et al. 2007). Selain kunyit dan temulawak, meniran juga diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Adanya

kandungan flavonoid pada meniran

menyebabkan meniran mulai banyak diteliti sebagai antioksidan.

Penggunaan bahan-bahan alami sebagai alternatif pengobatan dan suplemen, misalnya sebagai sumber antioksidan alami saat ini semakin populer. Di dunia, sebanyak 119 senyawa yang berasal dari 90 spesies tumbuhan telah digunakan sebagai obat dan 77% tanaman tersebut ditemukan sebagai hasil penelitian berdasarkan pemakaian secara tradisional atau dikenal dengan sebutan etnomedikal (Cordell 2000, diacu dalam Fajriah et al. 2007). Penelitian yang

berkembang mengenai antioksidan yang berasal dari tumbuhan masih terbatas pada satu jenis bahan saja, sedangkan penelitian antioksidan yang dibuat secara ramuan belum banyak dilakukan. Selain itu, penelitian mengenai analisis profil kimiawi, yaitu gugus fungsi dan senyawa yang berperan dalam aktivitas antioksidan suatu ekstrak tumbuhan juga belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian antioksidan alami yang berasal dari ekstrak ramuan tumbuhan serta profil kimiawinya perlu dilakukan karena memiliki potensi yang baik apabila dikembangkan di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh adanya

obat tradisional yang berkembang di

masyarakat, yaitu jamu yang merupakan warisan bangsa Indonesia.

Aktivitas antioksidan ekstrak ramuan dilakukan secara in vitro menggunakan metode DPPH sedangkan profil kimiawinya ditentukan menggunakan spektrofotometri fourier transform infrared (FTIR) dan

kromatografi lapis tipis (KLT).

Spektrofotometri FTIR digunakan untuk menganalisis gugus fungsi sedangkan KLT

digunakan untuk menganalisis jumlah

senyawa yang terkandung di dalam ekstrak ramuan antioksidan. Penelitian bertujuan menganalisis profil kimiawi yang ditunjukkan dengan kandungan gugus fungsi dan jumlah

senyawa dari ekstrak ramuan kunyit,

temulawak, dan meniran berdasarkan aktivitas antioksidan. Ekstrak yang dianalisis profil kimiawinya adalah tiga ekstrak ramuan yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi (memiliki nilai IC50 paling rendah). Ekstrak

ramuan yang digunakan berdasarkan

perbandingan meniran:kunyit:temulawak

(M:K:T), yaitu 1:1:1, 1:1:0, 1:0:1, 0:1:1, 1:0:0, 0:1:0, dan 0:0:1. Hipotesis penelitian adalah ekstrak ramuan yang berasal dari kunyit, temulawak, dan meniran memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan profil kimiawi dengan pola yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gugus fungsi dan

senyawa yang mempengaruhi aktivitas

antioksidan suatu ekstrak ramuan tumbuhan sehingga pembuatan antioksidan yang berasal dari ekstrak ramuan dapat lebih efektif dan digunakan secara luas oleh masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

Obat Herbal

(12)

adat-2

istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan

setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional (Novara 2009). Menurut Syafri (2009), herbal adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, hewan, mineral, sediaan (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk

pengobatan dan dibuat berdasarkan

pengalaman. Penggunaan herbal dalam terapi pengobatan telah dikenal sejak dahulu di seluruh dunia (Novara 2009). Di India, Srilanka, dan Asia Selatan sampai Asia Timur penggunaan herbal dikenal dengan sebutan Ayurveda. Negara-negara tersebut telah mengoleksi 35000-70000 spesies tanaman sebagai obat. Negara China sudah terlebih

dahulu memperkenalkan keunggulan

penggunaaan pengobatan tradisional herbal dengan melakukan validasi farmakologi, memperbaiki obat-obat herbal tradisional, dan menggunakannya untuk sistem pemeliharaan kesehatan (Joy et al. 1998). Di Indonesia, penyebaran herbal berawal dari Jawa sampai

Bali. Bukti yang menyatakan adanya

penyebaran herbal di Jawa adalah serat kawruh bab jampi-jampi (mengandung 1734 formula dari bahan alam dan indikasi penggunaannya) dan serat centini (abad ke-18 terdiri dari 12 volume, tersimpan di Keraton).

Bagian dari tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan herbal, diantaranya akar, batang, kulit kayu, daun, bunga, atau buah. Bentuk sediaan herbal yang banyak digunakan untuk pengobatan adalah teh herbal, ekstrak, ekstrak cair, jamu, infus, maserat, ekstrak dalam alkohol, dan ekstrak kering (Kraisintu 1997, diacu dalam Joy et al. 1998). Obat herbal yang dijual di pasaran dikemas dalam bentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia, dan tablet. Obat herbal yang dikenal di Indonesia adalah jamu dan dibuat dengan cara yang sangat sederhana. Tumbuhan dikeringkan, dibuat menjadi serbuk, dan diseduh dengan air panas. Pembuatan jamu tidak menggunakan dosis yang jelas sehingga banyak dikonsumsi masyarakat karena penyajiannya yang mudah (Syafri 2009).

Obat-obatan herbal saat ini mulai banyak digunakan oleh manusia untuk mengobati berbagai penyakit, yaitu sekitar 70%-80%. Hal tersebut dikarenakan herbal merupakan bagian dari kebudayaan, memiliki efek samping yang rendah, dan sesuai dengan tubuh manusia. Di negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Perancis, tingkat penjualan herbal pada tahun 1991 sudah mencapai 6 juta dolar, di Amerika Serikat tingkat penjualan

obat herbal mencapai 4 juta dolar pada tahun 1994, dan masih diperkirakan penjualannya akan semakin meningkat sampai 250 juta

dolar (Kamboj 2000). Di Indonesia,

penggunaan obat-obatan herbal sudah mulai distandardisasi karena penggunaannya yang makin banyak sehingga dikenal dua macam obat herbal, yaitu obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarissasi, sedangkan fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam

yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.

Kunyit

Kunyit atau Curcuma longa Linn.

merupakan tanaman yang berasal dari kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Monocotyledoneae, ordo Zingiberales, dan termasuk famili Zingiberaceae (Hudayani 2008). Menurut Sentra Informasi IPTEK (2005), habitat asli tanaman kunyit meliputi wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Tanaman kunyit dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis, sampai ketinggian 200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kondisi suhu udara yang optimum untuk pertumbuhan tanaman ini berkisar antara 19oC-30oC dengan curah hujan rata-rata 1400-1500 mm per tahun. Kunyit dapat beradaptasi di segala jenis tanah, tetapi tanah yang paling baik untuk pertumbuhan kunyit adalah tanah liat berpasir yang gembur, subur, dan memiliki pengairan yang baik (Sari 2007).

Menurut Hudayani (2008), bagian dari tanaman kunyit yang berada di dalam tanah disebut rimpang yang memiliki warna kuning jingga (Gambar 1). Rimpang kunyit sangat baik dipanen pada usia 9 bulan atau ketika

batang dan daunnya telah mengering

(Purseglove 1981, diacu dalam Sari 2007).

Hudayani (2008) menyebutkan bahwa

rimpang kunyit mengandung minyak atsiri sebanyak 2-5% yang terdiri atas seskuiterpen dan turunan dari fenilpropana yang meliputi turmeron, ar-turmeron, α- dan β-turmeron,

kurlon, kurkumol, atlanton turmerol, β -(bis)abolen, β-seskuifellandren, zingiberen, arkurkumena, dan humulen. Rimpang kunyit

juga mengandung arabinosa, fruktosa,

(13)

3

Zat warna yang menyebabkan kunyit berwarna kuning jingga adalah kurkuminoid

yang terdiri atas demetoksikurkumin,

kurkumin, dan (bis)demetoksikurkumin. Kurkumin merupakan komponen terbesar diantara ketiga senyawa yang termasuk golongan kurkuminoid. Kandungan kurkumin dalam kunyit mencapai 50-60%, sedangkan

komponen demetoksikurkumin dan

(bis)demetoksikurkumin hanya terdapat dalam jumlah kecil (Parinussa & Timotius 2006). Komposisi kandungan zat kimia yang dimiliki oleh rimpang kunyit dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Rimpang kunyit yang dihasilkan di dataran rendah memiliki kandungan kimia lebih tinggi dibandingkan rimpang kunyit di dataran tinggi. Komposisi zat kimia pada rimpang kunyit berdasarkan perbedaan ketinggian tempat tanam menurut Taryono et al. (1988) yang diacu dalam Sari (2007) dapat dilihat pada Tabel 1.

Kurkumin dan minyak atsiri pada kunyit berkhasiat sebagai antioksidan, antimikrob, antikolesterol, antiHIV, dan antitumor. Menurut Rustam et al. (2007), kurkuminoid yang terkandung di dalam kunyit sebagai salah satu senyawa hasil isolasi maupun kurkuminnya mempunyai aktivitas yang sangat luas, diantaranya sebagai antioksidan. Kunyit juga dapat digunakan sebagai obat penambah nafsu makan, peluruh empedu, obat gatal, luka, sesak nafas, dan antidiare. Kunyit juga banyak dimanfaatkan dalam dunia pangan dan industri (Hudayani 2008).

Gambar 1 Rimpang kunyit. Tabel 1 Kandungan zat kimia rimpang kunyit

pada ketinggian daerah tanam yang berbeda Kandungan zat (bobot kering) (%) Dataran rendah (240 mdpl) Dataran tinggi (1200 mdpl) Kadar minyak atsiri

1.8100 1.4600

Kadar pati 55.0300 47.8100

Kadar serat 3.4400 2.8700

Kadar abu 6.4700 7.5200

Indeks bias 1.5030 1.5086

Bobot jenis 0.9300 0.9465

Warna minyak kuning kuning

Temulawak

Temulawak merupakan terna yang

memiliki batang semu dan dapat mencapai tinggi sampai 1 meter tetapi kurang dari 2 meter, berwarna hijau dan coklat gelap. Temulawak memiliki akar rimpang yang terbentuk dengan sempurna, bercabang kuat, dan berwarna hijau gelap. Tanaman ini memiliki nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza Roxb. dan termasuk famili Zingiberaceae. Temulawak memiliki beberapa nama lokal,

diantaranya temu putih (Indonesia),

temulawak (Jawa), koneng gede (Sunda), dan

temulabak (Madura). Temulawak dapat

tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat penyebaran awal temulawak. Temulawak dapat ditemui di daerah Asia tenggara, Cina, India, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat (Sentra Informasi IPTEK 2005).

Bagian dari temulawak yang banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah bagian rimpang (Gambar 2). Rimpang temulawak terdiri atas rimpang utama (induk) dan

rimpang anakan (cabang). Rimpang

temulawak berukuran paling besar diantara genus Curcuma dan diameternya dapat mencapai 6 cm (Afifah & Tim Lentera 2003).

Kandungan kimia rimpang temulawak

dibedakan menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi minyak atsiri, dan fraksi kurkuminoid (Sidik et al. 1995, diacu dalam Adzkiya 2006). Fraksi pati pada temulawak banyak dgunakan sebagai sumber bahan pangan dan bahan baku industri. Fraksi kurkuminoid merupakan komponen yang memberi warna kuning dan terdiri atas demetoksikurkumin dan kurkumin. Fraksi kurkuminoid diketahui memiliki aktivitas biologis spektrum luas. Komposisi rimpang temulawak menurut Suwiah (1991) yang diacu dalam Adzkiya (2006) dapat dilihat pada Tabel 2.

Rimpang temulawak banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku obat penyakit lever karena dapat menurunkan kadar SGPTdan SGOT hati, serta memperbaiki fungsi hati (Hadipoentyanti & Syahid 2001). Ekstrak temulawak dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, menghambat kerja enzim yang penting

dalam pertumbuhan sel tumor, serta

(14)

4

sebagai antioksidan, antihiperkolesterolemia, dan antikarsinogenik (Peschel et al. 2006, diacu dalam Nurcholis 2008).

Gambar 2 Rimpang temulawak.

Tabel 2 Komposisi rimpang temulawak

Komponen Besaran (%)

Pati 27.62

lemak 5.38

Kurkumin 1.93

Serat kasar 6.89

Abu 3.96

Protein 6.44

Minyak atsiri 10.96

Ket: Persentase berdasarkan rimpang kering dengan kadar air 10%.

Meniran

Meniran merupakan terna musiman dan memiliki batang tegak yang dapat mencapai ketinggian sampai 1 meter (Widayati 2008). Batang meniran berwarna hijau pucat, berbentuk bulat, dan basah. Helaian daunnya

berbentuk bulat telur sampai bulat

memanjang, berwarna hijau, ujung tumpul dengan pangkal daun membulat, dan memiliki tepi yang rata dengan panjang sekitar 1.5 cm dan lebar sekitar 7 mm (Gambar 3). Meniran diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledonae, bangsa Euphorbiales, suku Euphorbiaceae, marga Phyllanthus, dan jenis Phyllanthus niruri Linn. Menurut Hidayat et al. (2008), tanaman ini dapat tumbuh liar di tempat terbuka pada ketinggian 1-1000 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Meniran mengandung banyak zat kimia (Kardinan & Kusuma 2004, diacu dalam Puspita 2009). Kandungan zat kimia dalam meniran dapat dilihat pada Tabel 3. Minyak bijinya telah diidentifikasi mengandung beberapa asam lemak, yaitu asam ricinoleat dan asam linoleat. Di samping itu, meniran juga mengandung saponin, kalium, damar, dan zat samak (Chairul 2002).

Meniran secara luas digunakan sebagai obat tradisional, yaitu sebagai peluruh air seni, obat batuk, peluruh haid, dan penambah nafsu

makan. Tanaman ini digunakan pula sebagai obat gangguan ginjal, sariawan, antipiretik, malaria, antidiare, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada empedu (ikterus). Daun

meniran mampu menginaktifkan virus

hepatitis B sehingga dapat digunakan sebagai obat liver. Kuersetin dan rutin yang terkandung dalam meniran bertindak sebagai

antikarsinogenik dan dapat menguatkan

pembuluh kapiler sehingga meningkatkan suplai darah ke pankreas.

Menurut Mellinger et al. (2005) yang diacu dalam Manjrekar et al. (2008), meniran memiliki aktivitas hipoglikemik, hipotensi, diuretik, antioksidan, dan antiinflamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran

mengandung efek antihepatotoksik

(Syamasundar et al. 2002, diacu dalam Kurniasari 2006), antitumor, antikarsinogenik (Rajeskumar et al. 2002, diacu dalam Kurniasari 2006), dan antibakteri (Gunawan et al. 2008). Penelitian untuk menggali manfaat meniran terus dikembangkan, terutama setelah diketahui bahwa ekstrak air tanaman ini dapat menghambat kerja virus HIV (Naik & Juvekar 2003, diacu dalam Kurniasari 2006).

Gambar 3 Daun meniran.

Tabel 3 Macam-macam senyawa dalam meniran

Senyawa Jenis

Lignan Filantina, niratin, nirunin,

filtetralin, hipofilantina, lintretalin, nirurisida, dan nirfilin

Terpena Simena, limonena, lupeol, dan

lupeol asetat

Flavonoid Rufina, fisetinglukosida,

astragalin, kuarsetin, rutina, kuersitrin, dan isokkuersitrin

Lipid Asam risinoleat, asam

linoleat, asam linolenat, dan dotriankontanoat

Benzenoid Metilsalisilat

Alkaloid Norsekurinina, filokrisina,

entnorsekurinina, nirurina, dan 4-metoksi-norsekurinina

Steroid Β-steroid

Tanin

(15)

5

Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron bebas (Halliwel & Gutteridge 1985, diacu dalam Safaati 2007). Radikal bebas dihasilkan dari dalam dan luar tubuh. Radikal bebas yang dihasilkan dari dalam tubuh berasal dari hasil samping berbagai reaksi

biokimia, seperti oksidasi enzimatik,

fagositosis dalam respirasi, transpor elektron dalam mitokondria, oksidasi ion-ion logam transisi, atau melalui iskemik. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh dihasilkan dari asap rokok, asap kendaraan bermotor, hasil peyinaran sinar ultraviolet (UV), bahan kimia

dalam makanan, dan polutan lainnya

(Gittawati 1995, diacu dalam Alfarabi 2008). Pada proses metabolisme normal, tubuh memproduksi partikel kecil bertenaga besar, yaitu radikal bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan untuk membunuh virus dan bakteri. Zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas dapat merusak DNA, lapisan lipid membran sel, mempengaruhi pembuluh darah, dan produksi prostaglandin. Radikal bebas juga dapat menyebabkan reaksi berantai yang menghasilkan radikal baru sehingga jumlah radikal bebas akan terus bertambah. Salah satu target serangan radikal bebas di dalam tubuh adalah lipid yang merupakan komponen penyusun membran sel. Penumpukan radikal bebas turut menjadi penyebab timbulnya penyakit degeneratif, seperti aterosklerosis, diabetes mellitus, rheumatoid arthritis, dan kanker (Yang et al. 2004).

Reaksi pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahapan, yaitu inisiasi, propagasi, dan

terminasi. Inisiasi merupakan tahap

pembentukan radikal bebas awal. Propagasi

merupakan tahap perambatan atau

terbentuknya radikal baru. Pada tahap ini, reaksi terjadi secara berantai dan terus-menerus karena menghasilkan radikal lipid

bebas (R•) lain yang menyebabkan

peroksidasi lebih lanjut. Pada tahap terminasi, terjadi pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil tak reaktif (Gordon 1991, diacu dalam Marpaung 2008).

Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga

radikal bebas tersebut dapat diredam

(Suhartono 2002, diacu dalam Kuncahyo & Sunardi 2007). Karakter utama antioksidan adalah kemampuannya untuk menangkap radikal bebas. Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi

lemak atau autooksidasi. Komponen

antioksidan seperti asam fenol, folifenol, dan flavonoid mencari-cari radikal bebas seperti peroksida, hidroperoksida, atau peroksil lipid dengan menginhibisi radikal bebas tersebut (Prakash 2001).

Menurut Kuncahyono dan Sunardi (2007), berdasarkan cara memperolehnya, antioksidan dibagi menjadi dua macam, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan

alami mampu melindungi tubuh dari

kerusakan yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif, menghambat terjadinya

penyakit degeneratif, dan menghambat

peroksidasi lipid pada makanan. Antioksidan alami umumnya memiliki gugus hidroksi dalam struktur molekulnya (Sunarni 2005, diacu dalam Kuncahyono dan Sunardi 2007). Antioksidan alami dapat diisolasi dari tumbuhan dan tersebar di berbagai bagian tanaman seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, bunga, buah, biji, rimpang, dan serbuk sari. Antioksidan sintetik yang banyak

digunakan adalah α-tokoferol, asam

nordihidrokuairetis (NDGA), propilgalat (PG), (tert)butilhidroksilkuinon (TBHQ),

butilhidroksitoluena (BHT), dan

butilhidroksilanisol (BHA). Antioksidan sintetik dapat berbahaya bagi kesehatan, misalnya BHA dan BHT karena dapat menyebabkan pembengkakan organ hati (Hernani & Rahardjo 2005, diacu dalam Marpaung 2008).

Berdasarkan fungsinya, antioksidan terbagi menjadi antioksidan primer, sekunder, dan

tersier. Antioksidan primer berperan

mengurangi pembentukan radikal bebas baru

dengan memutus reaksi berantai dan

mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan primer terdiri atas superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Ketiga antioksidan tersebut dapat mengubah radikal bebas menjadi air. Antioksidan sekunder berperan mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi senyawa radikal. Antioksidan sekunder terdapat pada vitamin C, vitamin B, vitamin E, betakaroten, dan senyawa-senyawa fitokimia. Antioksidan tersier terdiri atas

enzim perbaikan DNA dan metionin

(16)

6

Metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH)

Salah satu uji yang dapat digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan adalah metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Marxen et al. (2007) menyebutkan bahwa penggunaan metode DPPH untuk pengukuran radikal telah digambarkan oleh Yen dan Duh (1994), Yordabov dan Christova (1997), Masuda et al. (1999), dan Iwashima et al. (2005). Metode DPPH merupakan suatu metode yang mudah, cepat, dan sangat baik untuk sampel dengan polaritas tertentu.

Metode ini digunakan untuk screening

berbagai sampel dalam penentuan aktivitas suatu radikal (Koleva et al. 2001, diacu dalam

Marxen et al. 2007). Metode DPPH

memberikan informasi mengenai reaktifitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal yang stabil, dapat digunakan untuk sampel padatan maupun larutan, dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan partikular. Selain itu, metode DPPH dapat digunakan untuk menghitung kapasitas antioksidan secara keseluruhan pada suatu sampel. Pengukuran absorbansi DPPH biasanya berkisar pada panjang gelombang 515-520 nm (Marxen et al. 2007).

Senyawa DPPH adalah komponen

berwarna ungu yang tidak berdimerisasi dan

berbentuk kristalin. Senyawa tersebut

merupakan radikal bebas yang stabil karena serapan delokalisasi elektron pada seluruh molekul. Delokalisasi ini terjadi akibat adanya warna violet tua dengan panjang gelombang maksimum. Antioksidan mentransfer elektron atau atom hidrogen kepada radikal bebas

DPPH sehingga radikal bebas dapat

ternetralisasi. Ketika senyawa DPPH

dicampur dengan substrat yang berperan sebagai donor atom hidrogen, bentuk radikal yang stabil dari senyawa DPPH bereaksi dan mengalami perubahan warna violet menjadi

kuning pucat (Lupea et al. 2006).

Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan sehingga terjadi perubahan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni 2005, diacu dalamKuncahyono & Sunardi 2007).

Metode DPPH hanya mengukur senyawa antioksidan yang terlarut dalam pelarut organik khususnya alkohol. Metode tersebut secara luas digunakan untuk pengukuran dan perbandingan aktivitas antioksidan

senyawa-senyawa fenolik. Evaluasi aktivitas

antioksidan menggunakan metode DPPH harus hati-hati diinterpretasikan setelah direaksikan dengan senyawa antioksidan

karena dapat didegradasi oleh cahaya, oksigen, pH, dan jenis pelarut.

Spektroskopi Fourier Transform Infrared

(FTIR)

Spektroskopi fourier transform infrared (FTIR) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengukur serapan berbagai bahan pada sampel dengan radiasi infrared (IR) dan menghasilkan spektrum IR yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi dan struktur molekul dalam sampel (Nur 1989). Teknik IR berpotensi sebagai metode analisis cepat karena dapat dilakukan secara langsung pada serbuk kering sampel tanpa tahapan pemisahan terlebih dahulu. Daerah radiasi spektroskopi IR berkisar pada bilangan gelombang 12800-10 cm-1. Daerah 4000-400 cm-1 merupakan daerah yang khusus untuk identifikasi gugus-gugus fungsional, sedangkan daerah 1500-800 cm-1 merupakan daerah sidik jari (fingerprint region). Pada daerah sidik jari, sedikit saja perbedaan struktur dan susunan molekul akan menyebabkan perubahan distribusi puncak serapan (Murad et al. 2006, diacu dalam Iswantini et al. 2007). Spektrum IR yang dihasilkan merupakan hasil interaksi antara

senyawa-senyawa kimia dalam matriks

sampel yang sangat kompleks (Chew et al. 2004, diacudalam Kurniasari 2006).

Penyerapan radiasi IR oleh molekul sampel melibatkan tiga proses dasar yang terjadi akibat adanya kenaikan molekul ke tingkat energi yang lebih tinggi, yaitu rotasi, vibrasi, dan transisi elektronik (Christian 1986). Vibrasi dihubungkan dengan ikatan tunggal atau gugus fungsi dari molekul untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui. Vibrasi yang terdapat pada molekul terdiri atas dua macam, yaitu vibrasi ulur dan vibrasi tekuk. Vibrasi ulur adalah pergerakan atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan diantara dua atom sehingga jarak antar atom dapat bertambah atau berkurang. Vibrasi tekuk

merupakan pergerakan atom yang

menyebabkan perubahan sudut ikatan diantara dua ikatan atau pergerakan dari sekelompok atom terhadap atom lainnya (Silverstein & Webster 1986, diacu dalam Wulandari 2005). Vibrasi molekul hanya terjadi apabila suatu molekul terdiri atas dua atom atau lebih.

Alat yang digunakan untuk melakukan

analisis spektroskopi FTIR adalah

spektrofotometer FTIR. Pada dasarnya,

spektrofotometer FTIR sama seperti

(17)

7

membedakannya adalah pengembangan pada sistem optiknya sebelum berkas sinar IR melewati contoh. Spektrofotometer FTIR memiliki beberapa bagian dalam analisis

sampel, dimulai dari sumber radiasi,

interferometer, sampel, detektor, sampai pengolah data (komputer) yang kemudian menghasilkan spektrum yang dapat dibaca.

Berbeda dari spektrometer klasik,

spektrofotometer FTIR tidak mengukur

panjang gelombang satu demi satu, melainkan dapat mengukur intensitas transmitan pada berbagai panjang gelombang secara serempak (Skoog et al. 1998). Monokromator prisma atau grating yang dapat mengurangi energi

sinar diganti dengan interferometer.

Interferometer berfungsi untuk mengatur intensitas sumber sinar inframerah dengan mengubah posisi dari cermin pemantul yang memantulkan sinar dari sumber sinar ke sampel. Adanya interferometer membuat spektrofotometer mampu mengukur semua frekuensi optik secara serempak dengan mengatur intensitas dari setiap frekuensi tunggal sebelum sinyal sampai ke detektor (George & Mclntyre 1987). Satuan yang sering digunakan dalam spektrofotometri infra

merah adalah bilangan gelombang (υ) atau

disebut juga sebagai Kaiser (Sastrohamidjojo 2001).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi merupakan metode

pemisahan yang umum dilakukan untuk suatu campuran senyawa alam secara fisik, yaitu pendistribusian komponen yang dipisahkan diantara fase gerak dan fase diam (Khopkar 2003, diacu dalam Rahman 2009). Metode kromatografi dipakai secara luas untuk

pemisahan analitik dan preparatif.

Kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, sedangkan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dan campuran (Gritter et al. 1991). Pemisahan secara kromatografi dapat dikelompokkan berdasarkan sifat fisika dan kimia dari kedua fasenya. Kelompok tersebut adalah kromatografi cair-cair, kromatografi cair-padat, kromatografi gas-cair, dan kromatografi gas-padat (Khopkar 2003, diacu dalam Rahman 2009).

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bagian dari kromatografi cair-padat. Teknik KLT pertama kali dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938 (Rohman & Gandjar 2007). Prinsip kerja dari KLT adalah perbedaan kelarutan diantara dua

fase (Khopkar 2003, diacu dalam Rahman 2009). Fase gerak yang digunakan berupa pelarut organik dengan perbandingan tertentu. Sistem yang paling sederhana terdiri atas campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Fase diam yang digunakan adalah senyawa yang dapat menahan pergerakan sampel yang dibawa oleh fase gerak karena memiliki kepolaran yang sesuai dengan komponen yang dipisahkan.

Fase diam yang digunakan umumnya

berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Penjerap yang paling baik digunakan adalah silika dan serbuk selulosa. Teknik kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk berbagai tugas analisis tumbuhan obat. Keluaran yang dihasilkan dari

analisis menggunakan KLT adalah

kromatogram. Kromatogram tersebut

merupakan pola yang menggambarkan

senyawa dalam setiap tumbuhan obat

sehingga digunakan untuk kendali mutu tumbuhan obat, baik untuk pencirian bahan mentah maupun produk akhir (Stoenoiu et al. 2006, diacu dalam Puspita 2009). Metode KLT banyak digunakan karena memiliki beberapa keuntungan, diantaranya pemisahan dapat dilakukan dengan cepat, zat yang bersifat asam atau basa kuat dapat digunakan, analisis dapat lebih sensitif, mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan, dan dapat digabungkan dengan instrumen deteksi yang lain untuk evaluasi hasil pemisahannya (Fodor et al. 2006, diacu dalam Setiawan 2008).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi sampel dengan metode maserasi adalah etanol 96%, serbuk kering simplisia yang terdiri atas rimpang temulawak, rimpang kunyit, dan daun meniran yang diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka (PSB). Analisis aktivitas antioksidan ekstrak ramuan menggunakan metode DPPH. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis tersebut adalah larutan DPPH 1 mM dalam metanol, metanol, dan ekstrak hasil maserasi. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis profil kimiawi menggunakan spektrofotometer FTIR adalah tiga ekstrak terbaik yang memiliki nilai IC50 paling rendah dan KBr, sedangkan

(18)

8

ekstrak terbaik, silika gel F254, etanol,

diklorometana, dan kloroform.

Alat-alat yang digunakan selama penelitian antara lain alat-alat gelas, neraca analitik,

penguap putar Buchi R-114, rotary

evaporator, oven, kertas saring, eksikator, kertas alumunium foil, kertas tissue, pipet mikro, tip pipet mikro, inkubator suhu 37oC, spektofotometer UV-Vis beserta kuvetnya, spektrofotometer FTIR, hand press Shimadzu, mortar agate, bejana KLT, Camag Linomat 5, dan lampu ultraviolet (UV).

Metode

Penyiapan Sampel

Tiga jenis simplisia, yaitu rimpang kunyit, rimpang temulawak, dan daun meniran dibersihkan dan dicuci menggunakan air mengalir sampai semua tanah dan kotoran yang menempel pada simplisia hilang. Selanjutnya, semua simplisia dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 8 jam setiap hari selama dua minggu. Setelah kering, ketiga simplisia digiling menjadi serbuk sampai ukuran 80 Mesh.

Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)

Cawan porselen kosong dikeringkan pada suhu 105oC selama 30 menit di dalam oven. Cawan tersebut selanjutnya didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang sebagai bobot kosong cawan. Sebanyak 2 gram simplisia dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan pada suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu, cawan yang berisi simplisia didinginkan dalam eksikator, dan ditimbang kembali sebagai bobot kering sampel. Perlakuan dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang konstan. Penentuan kadar air untuk masing-masing simplisia dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

Ekstraksi Sampel (BPOM 2004)

Ekstraksi sampel dilakukan dengan

mencampurkan 30 gram sampel dalam bentuk formula dengan 150 mL etanol 96%. Larutan tersebut direndam selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Maserat yang diperoleh dipisahkan menggunakan kertas saring dan proses maserasi diulang sebanyak satu kali menggunakan sampel dan pelarut yang sama. Semua meserat yang diperoleh dikumpulkan dan diuapkan menggunakan penguap putar Buchii R-114 sampai diperoleh ekstrak kental.

Ekstrak kental selanjutnya dipekatkan

menggunakan rotary evaporator sampai

diperoleh ekstrak menyerupai pasta (sangat kental). Formulasi sampel yang dibuat sebelum proses ekstraksi terdiri atas 7 macam formula, yaitu 1:1:1; 1:1:0; 1:0:1; 0:1:1; 1:0:0;

0:1:0; dan 0:0:1. Pembuatan formula

berdasarkan perbandingan bahan baku

(simplisia), yaitu meniran:kunyit:temulawak (M:K:T). Proses ekstraksi diulang sebanyak tiga kali untuk setiap formula.

Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode DPPH (Blois 1958, diacu dalam Hanani et al. 2005 dengan Modifikasi)

Ekstrak kental sediaan herbal ramuan yang diperoleh dari hasil maserasi dilarutkan dengan metanol dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Modifikasi metode dilakukan dengan mengubah konsentrasi ekstrak yang digunakan untuk analisis menjadi 25, 50, 100, 200, 400, dan 800 ppm. Setiap tabung reaksi yang berisi larutan sampel ditambahkan 1 mL larutan DPPH 1 mM dalam metanol. Volume larutan dicukupkan sampai 5 mL. Larutan tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Setelah itu, sampel diukur serapannya (absorban) menggunakan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang 515 nm. Nilai Absorbansi yang

diperolah selanjutnya digunakan untuk

mendapatkan persen penangkapan radikal dan digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi Y = a + b ln x. Nilai IC50 dihitung

dihitung dengan menggunakan rumus

persamaan regresi tersebut (Lampiran 4).Nilai IC50 yang paling rendah menunjukkan

aktivitas antioksidan yang paling tinggi.

Analisis Profil Kimiawi Ekstrak Terbaik

Spektrofotometer Fourier Transform

Infrared (FTIR). Analisis profil kimiawi

ekstrak ramuan terbaik menggunakan

spektrofotometer FTIR dilakukan setelah diperoleh hasil analisis aktivitas antioksidan pada setiap sampel. Penentuan profil kimiawi menggunakan FTIR dilakukan pada 3 ekstrak yang memiliki nilai IC50 paling rendah

(19)

9

sampel menggunakan pompa tekan dilakukan selama 15 menit sampai terbentuk pelet. Pelet yang sudah jadi selanjutnya dianalisis

menggunakan spektofotometer FTIR.

Spektofotometer FTIR dihubungkan dengan komputer personal yang dilengkapi dengan perangkat lunak OPUS. Komputer tersebut

digunakan untuk mengatur kerja

spektofotometer pada kisaran gelombang 4000 sampai 400 cm-1. Spektrum yang dihasilkan disimpan dalam format OPUS.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Selain

menggunakan spektrofotometer FTIR, profil kimiawi tiga ekstrak yang memiliki nilai IC50

paling rendah dianalisis pula menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Profil kimiawi yang dianalisis adalah jumlah senyawa yang terkandung dalam ekstrak ramuan terbaik yang ditunjukkan oleh jumlah spot yang terpisah ketika dielusi menggunakan eluen yang sesuai. Ekstrak kental hasil maserasi

dilarutkan dengan etanol 96% hingga

diperoleh konsentrasi 10000 mg/L. Ekstrak tersebut selanjutnya ditotolkan pada fase diam, yaitu silika gel F254 menggunakan

aplikator Camag Linomat 5. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak (eluen) adalah campuran kloroform dan diklorometana dengan perbandingan 0:100, 10:90, 20:80, 30:70, 40:60, 50:50, 60:40, 70:30, 80:20,

90:10, dan 100:0. Sebelum dilakukan

pengembangan, bejana kromatografi

dijenuhkan terlebih dahulu menggunakan pelarut. Setelah itu, plat yang sudah ditotolkan

ekstrak dimasukkan ke dalam bejana

kromatografi dan pengembangan dilakukan hingga eluen mencapai jarak kurang lebih 0.5 cm dari tepi atas plat. Setelah dilakukan pengembangan, plat diangkat dan dideteksi profil kromatogramnya menggunakan lampu UV dengan panjang gelombang 366 nm.

Analisis Data (Matjik & Sumertajaya 2006)

Data aktivitas antioksidan (IC50) dianalisis

secara statistika menggunakan metode

percobaan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan bantuan program SPSS 15. Faktor yang digunakan adalah formulasi. Model rancangan tersebut adalah

Yij =

Yij = Pengamatan formulasi ke-i dan

ulangan ke-j = Pengaruh rataan umum = Pengaruh rataan ke-i

= Pengaruh galat formula ke-I dan ulangan ke-j

I = 1 untuk formula 1:1:1

i = 2 untuk formula 1:1:0

i = 3 untuk formula 1:0:1

i = 4 untuk formula 0:1:1

i = 5 untuk formula 1:0:0

i = 6 untuk formula 0:1:0

i = 7 untuk formula 0:0:1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Rimpang Kunyit, Temulawak, dan Daun Meniran

Sebelum digunakan untuk analisis, serbuk kering rimpang temulawak, rimpang kunyit, dan daun meniran dihitung kadar airnya.

Penentuan kadar air dilakukan untuk

mengetahui kandungan zat di dalam tumbuhan sebagai persentase bahan kering dan waktu simpan simplisia. Penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan serbuk simplisia pada suhu 105oC agar air yang terikat secara fisik dapat dihilangkan (Harjadi 1993).

Kadar air rata-rata yang dimiliki oleh serbuk rimpang temulawak, rimpang kunyit, dan daun meniran berturut-turut sebesar 15.14%, 9.37%, dan 7.27%. Kadar air yang dimiliki oleh serbuk rimpang temulawak lebih besar dari 10% sehingga tidak dapat disimpan untuk waktu yang lama karena dapat

terkontaminasi jamur dan mikrob.

Kontaminasi mikrob dan jamur menyebabkan serbuk simplisia menjadi lebih cepat rusak. Menururt Winarno (1997), kadar air yang baik untuk suatu bahan adalah kurang dari 10%. Pada kadar ini, suatu bahan dapat disimpan pada jangka waktu yang sangat lama karena kemungkinan kontaminasi jamur dan mikrob pada saat penyimpanan akan sangat kecil.

Tingginya kadar air yang dimiliki oleh serbuk rimpang temulawak dapat disebabkan oleh kondisi musim pada saat pemanenan simplisia segar, bagian simplisia yang dianalisis, dan metode pengeringan simplisia sebelum penentuan kadar air. Pengambilan simplisia segar dilakukan pada bulan Pebruari yang merupakan bulan dengan curah hujan tinggi atau dikenal dengan bulan basah (Slamet & Berliana 2008). Pengambilan simplisia pada bulan basah menyebabkan

kadar air yang terkandung didalam

rimpangnya menjadi lebih tinggi karena air tanah yang diserap menjadi lebih banyak. Bagian simplisia segar yang diambil untuk analisis juga dapat mempengaruhi kadar air yang terkandung di dalamnya. Ukuran rimpang lebih besar dibandingkan daun dan ukuran rimpang temulawak lebih besar

(20)

10

rimpang segar temulawak yang lebih besar menyebabkan cadangan air yang terkandung di dalamnya menjadi lebih tinggi. Selain itu, metode pengeringan simplisia yang dilakukan di bawah sinar matahari menyebabkan suhu pengeringan tidak stabil. Akibatnya, laju penguapan air di dalam simplisia tidak stabil dan sulit dikontrol dari faktor kelembapan udara serta gerakan angin (Praasad et al. 2006, diacu dalam Zahro et al. 2009). Suhu yang

digunakan untuk mengeringkan ketiga

simplisia di bawah sinar matahari berkisar antara 37oC-39oC. Suhu ini lebih rendah

dibandingkan pengeringan menggunakan

oven, yaitu sekitar 55oC-60oC. Suhu

merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi penguapan zat cair. Pada suhu yang tinggi, molekul air yang menguap menjadi lebih banyak karena molekul yang mempunyai cukup energi untuk menguap menjadi lebih banyak pula (Zahro et al. 2009).

Kadar air yang tinggi pada temulawak dapat dipengaruhi pula oleh kandungan minyak atsirinya. Kandungan minyak atsiri temulawak lebih besar, yaitu sebesar 10.96% (Suwiah 1991, diacu dalam Adzkiya 2006) dibandingkan minyak atsiri kunyit, yaitu sebesar 1.46% (Taryono et al. 1988, diacu dalam Sari 2007). Hal tersebut didukung oleh bukti penelitian yang dilakukan oleh Khaerana (2007) yang menyebutkan bahwa tanaman

yang memiliki cekaman kekeringan

menunjukkan penurunan sintesis minyak atsirinya. Semakin tinggi kadar minyak atsiri, jumlah air yang diserap dan dikandung simplisia semakin besar.

Ekstrak Ramuan Rimpang Kunyit, Temulawak, dan Daun Meniran

Ekstraksi serbuk kering rimpang

temulawak, rimpang kunyit, dan daun meniran dilakukan menggunakan metode maserasi

dengan pelarut etanol 96%. Maserasi

merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan pada suhu ruangan (Darwis 2000, diacu dalam Nurcholis 2008). Keuntungan menggunakan metode maserasi dalam mengekstrak sampel adalah komponen senyawa yang terkandung di dalam sampel

dapat terekstrak lebih banyak karena

komponen yang tahan panas dan tidak tahan panas seluruhnya dapat terekstrak (Harborne 1987). Etanol 96% digunakan sebagai pelarut agar semua zat aktif yang terkandung pada simplisia, baik zat kimia yang bersifat kurang polar, semi polar, maupun polar dapat terekstrak seluruhnya. Menurut Harborne

(1996), etanol dapat menarik senyawa

alkaloid, sterol, saponin, flavonoid,

antrakuinon, dan glikosida. Darusman et al. (2001) menyebutkan bahwa etanol adalah

pelarut umum yang digunakan dalam

pembuatan jamu dan obat-obatan fitofarmaka.

Untuk memperoleh rendemen yang

banyak, sebelum proses ekstraksi dilakukan penghalusan simplisia agar memperbesar

peluang terlarutnya komponen-komponen

bioaktif yang diinginkan (Sharief 2006, diacu dalam Haryadi 2008; Mursito 2002b, diacu dalam Ayuningtyas 2007). Ketiga simplisia digiling sampai berukuran 80 Mesh. Semakin kecil ukuran bahan maka luas bahan yang bersentuhan dengan pelarut makin besar (Sharief 2006, diacu dalam Haryadi 2008). Setelah dihaluskan, sampel dibuat formula sebelum diekstrak untuk mengetahui pengaruh

pencampuran simplisia terhadap

bioktivitasnya (Lampiran 4).

Rendemen rata-rata tertinggi diperoleh dari ekstrak formula 0:0:1 (mengandung 100% temulawak) sebesar 30.47% dan rendemen rata-rata terendah diperoleh dari ekstrak formula 1:0:0 (mengandung 100% meniran) sebesar 8.79% (Tabel 4). Besar kecilnya rendemen dapat disebabkan oleh ketebalan dinding sel, membran sel, dan pengaruh faktor genetik (Nurcholis 2008). Besarnya rendemen yang dimiliki oleh ekstrak formula 0:0:1 dapat disebabkan oleh ketebalan dinding dan membran sel dari rimpang temulawak. Dinding sel dan membran sel rimpang

temulawak diindikasikan lebih tipis

dibandingkan kedua simplisia yang lain sehingga metabolit sekunder yang terlarut bersama etanol 96% lebih banyak. Pada saat perendaman, terjadi pemecahan dinding sel dan membran sel akibat adanya tekanan dari dalam dan luar sel sehingga metabolit sekunder yang berada dalam sitoplasma akan

terlarut pada pelarut yang digunakan

(Nurcholis 2008).

Tabel 4 Rendemen rata-rata ekstrak ramuan rimpang kunyit, temulawak, dan daun meniran

Formula (M:K:T)

Rendemen rata-rata (%)

1:1:1 18.15

1:1:0 16.43

1:0:1 15.87

0:1:1 24.69

1:0:0 8.79

0:1:0 27.40

0:0:1 30.47

(21)

11

Data jumlah rendemen ekstrak pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah rendemen rata-rata ekstrak yang mengandung rimpang lebih

tinggi dibandingkan ekstrak yang

mengandung daun. Rendemen ekstrak formula 0:1:0 (mengandung 100% rimpang kunyit) memiliki jumlah rendemen yang cukup tinggi, yaitu 27.40%. Selain itu, ekstrak formula 0:1:1 (berisi 50% kunyit dan 50% temulawak) menghasilkan rendemen yang cukup tinggi pula, yaitu 24.69%. Ketika ketiga simplisia diekstrak bersamaan, yaitu pada formula 1:1:1 (mengandung ekstrak rimpang lebih banyak dibanding daun), rendemen yang dihasilkan juga cukup tinggi, yaitu 18.15% dibanding ekstrak dengan formula 1:1:0 atau 1:0:1 yang mengandung 50% rimpang dan 50% daun. Rendemen yang dihasilkan dari ekstrak mengandung campuran lebih dari 2 simplisia tidak melebihi rendemen ekstrak yang mengandung 100% rimpang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya interaksi berbagai zat kimia dari masing-masing simplisia ketika diekstrak bersamaan sehingga terdapat zat kimia yang hilang atau tidak dapat terekstrak.

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Ramuan Rimpang Kunyit, Temulawak, dan Daun

Meniran

Tujuh formula ekstrak hasil maserasi diuji

aktivitas antioksidannya menggunakan

metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) karena mudah, cepat, dan sangat baik untuk sampel dengan polaritas tertentu (Koleva et al. 2001, diacu dalam Marxen et al. 2007). Aktivitas antioksidan dari ekstrak dinyatakan dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi sampel

yang dibutuhkan untuk menghambat 50% aktivitas DPPH (Molyneux 2004). Makin rendah nilai IC50 suatu bahan, makin tinggi

aktivitas antioksidannya. Nilai IC50 rata-rata

dari seluruh ekstrak dapat dilihat pada Tabel 5.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tiga ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi adalah ekstrak formula 1:0:0, 1:0:1, dan 0:1:0 dengan nilai IC50

berturut-turut sebesar 19.9135 ppm, 69.5428 ppm, dan 103.3161 ppm. Blois (1958) yang diacu dalam Hanani et al. (2005) menyebutkan bahwa suatu bahan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang

dari 200 ppm. Enam formula ekstrak memiliki nilai IC50 dibawah 200 ppm, kecuali formula

0:0:1 sehingga keenam ekstrak dapat

dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Tabel 5).

Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh setiap ekstrak tidak memiliki korelasi yang kuat dengan jumlah rendemen. Hal tersebut disebabkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan antara aktivitas antioksidan dan jumlah rendemen cukup kecil (kurang dari satu), yaitu sebesar 0.438 sehingga jumlah rendemen tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas antioksidan (Gambar 4). Hasil tersebut

berbeda dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Amelia (2009) mengenai potensi rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lam.) sebagai antioksidan. Ekstrak tajuk rumput mutiara memiliki rendemen yang lebih besar dibanding akar rumput mutiara, yaitu masing-masing sebesar 19.51% dan 16.06%. Ekstrak tajuk rumput mutiara memiliki aktivitas penghambatan (% inhibisi) terhadap pembentukan malondialdehida (MDA) yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak akar pada konsentrasi 500 ppm, yaitu masing-masing sebesar 71.74% dan 63.81%. Hal tersebut

menunjukkan bahwa jumlah rendemen

mempengaruhi aktivitas antoksidan suatu

ekstrak karena senyawa bioaktif yang

terkandung di dalam ekstrak menjadi semakin banyak. Ekstrak dengan formula 0:0:1 memiliki jumlah rendemen paling tinggi tetapi aktivitas antioksidannya paling rendah (lebih tinggi dari 200 ppm). Rendahnya korelasi (hubungan) diantara aktivitas antioksidan dengan jumlah rendemen dapat disebabkan oleh adanya interaksi berbagai senyawa bioaktif ketika campuran simplisia diekstraksi sehingga menghasilkan suatu produk tertentu yang tidak memiliki kemampuan sebagai penyumbang elektron pada radikal bebas yang terdapat pada sistem DPPH.

Ekstrak formula 1:0:0 memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi walaupun jumlah rendemennya paling kecil. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya senyawa kimia yang berfungsi sebagai antioksidan, seperti flavonoid dan lignan yang terkandung di dalam daun meniran (Kardinan & Kusuma 2004, diacu dalam Puspita 2009). Senyawa antioksidan dalam daun meniran memiliki

kemampuan yang lebih efektif dalam

menghambat radikal bebas pada sistem DPPH dibandingkan senyawa antioksidan yang terkandung dalam rimpang temulawak dan kunyit. Hal tersebut diperkuat dengan nilai IC50 yang dimiliki oleh ekstrak dengan

formula 1:0:1 yang mengandung meniran dan temulawak. Nilai IC50 ramuan tersebut cukup

(22)

12

Tabel 5 Nilai IC50 rata-rata seluruh ekstrak

Formula (M:K:T)

IC50 rata-rata (ppm)

1:1:1 161.9868b

1:1:0 118.9301ab

1:0:1 69.5428ab

0:1:1 175.4053bc

1:0:0 19.9135a

0:1:0 103.3161ab

0:0:1 281.4561c

Ket: M:K:T = Meniran:Kunyit:Temulawak Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa secara statistik formulasi berbeda nyata pada

α=0.05 dengan uji Duncan.

Gambar 4 Grafik hubungan antara rendemen ekstrak dan aktivitas antioksidan ekstrak.

Berbeda dari kedua ekstrak sebelumnya, ekstrak ketiga yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi adalah formula 0:1:0

(mengandung 100% kunyit). Adanya

golongan senyawa kurkuminoid di dalam kunyit menyebabkan radikal bebas dalam sistem DPPH dapat diredam. Golongan kurkuminoid maupun salah satu senyawa hasil isolasi maupun kurkuminnya mempunyai aktivitas antioksidan (Rustam et al. 2007). Akan tetapi, ketika dilakukan pencampuran antara meniran dengan kunyit (formula 1:1:0), kunyit dengan temulawak (formula 0:1:1), dan pencampuran ketiga simplisia (formula 1:1:1), aktivitas antioksidan yang dimiliki ketiga ekstrak tersebut lebih rendah dibandingkan

ketiga ekstrak yang sudah dijelaskan

sebelumnya.

Hasil analisis statistik dengan uji Duncan

(α=0.05) pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai IC50 ekstrak formula 1:0:0 tidak berbeda

nyata dengan formula 1:1:0, 1:0:1, dan 0:1:0 (lihat variabel a pada Tabel 5). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak dengan formula 1:0:0, 1:1:0, dan 1:0:1 dipengaruhi oleh

adanya kandungan meniran, sedangkan

formula 0:1:0 dan 1:1:0 dipengaruhi oleh

adanya kandungan kunyit. Ekstrak dengan formula 1:0:1, 0:1:0, 1:1:0, 1:1:1, dan 0:1:1 menunjukkan hasil IC50 rata-rata yang tidak

berbeda nyata (lihat variabel b pada Tabel 5). Hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (nilai IC50) kelima ekstrak

memiliki nilai yang sama besar dan

kemungkinan dipengaruhi oleh adanya

kandungan temulawak dan kunyit dalam ekstrak. Ekstrak dengan formula 0:1:1 dan 0:0:1 memiliki nilai IC50 rata-rata yang tidak

berbeda nyata (lihat variabel c pada Tabel 5). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kandungan temulawak dalam kedua ekstrak.

Profil Kimiawi Tiga Ekstrak Ramuan Terbaik

Spektrofotometer Fourier Transform

Infrared (FTIR)

Setelah diketahui tiga ekstrak yang memiliki nilai IC50 paling rendah, selanjutnya

dilakukan analisis profil kimiawinya

menggunakan spektrofotometer fourier

transform infrared (FTIR). Spektrofotometer FTIR bekerja berdasarkan interaksi antara sampel dengan sinar (radiasi elektromagnetik)

sehingga ikatan kimia pada panjang

gelombang tertentu akan menyerap sinar ini dan akan bervibrasi, baik vibrasi ulur maupun tekuk. Vibrasi tersebut dihubungkan dengan ikatan tunggal atau gugus fungsi dari molekul untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui (Dunn & David 2005, diacu dalam Yulanda 2007). Bilangan gelombang yang digunakan untuk menganalisis profil kimiawi tiga ekstrak terbaik merupakan spektrum IR sedang, yaitu 4000-400 cm-1 karena sesuai untuk penentuan gugus fungsi senyawa organik (Nuance 2004, diacu dalam Yulanda 2007).

Profil kimiawi tiga ekstrak ramuan terbaik, yaitu 1:0:0, 1:0:1, dan 0:1:0 ditunjukkan pada Gambar 5. Profil kimiawi yang dihasilkan merupakan spektrum Infrared (IR) yang sangat kaya dengan informasi struktur molekul yang terdiri atas gerak vibrasi dan rotasi (Stechur et al. 2002, diacu dalam Kurniasari 2006). Spektrum ini sangat rumit dan perbedaan spektrum dari tanaman sejenis tidak tampak dengan jelas serta pada umumnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang (Chew et al. 2004, diacu dalam Kurniasari 2006).

Gambar 5a sampai Gambar 5c

(23)

13

spektrum yang berbeda untuk setiap ekstrak. Setiap spektrum memiliki bentuk dan ciri tersendiri yang sangat khas. Perbedaan profil kimiawi setiap ekstrak disebabkan oleh kandungan simplisia yang berbeda dalam setiap ekstrak sehingga senyawa kimia dan gugus fungsi yang terkandung di dalam ekstrak juga berbeda. Pada Gambar 5a sampai Gambar 5c terlihat bahwa ketiga spektrum memiliki gugus fungsi yang sama, yaitu O-H, C-H, C=O, dan C=C tetapi nilai transmitan pada setiap spektrumnya berbeda-beda.

Profil kimiawi ekstrak 1:0:0 memiliki nilai transmitan O-H yang lebih kecil dibandingkan

ekstrak 1:0:1 dan ekstrak 0:1:0 sehingga jumlah gugus O-H yang terkandung di dalam ekstrak 1:0:0 lebih banyak dibandingkan dua ekstrak lainnya. Aktivitas antioksidan meningkat seiring dengan penambahan jumlah O-H (Mikamo et al. 2000, diacu dalam Kresnawaty & Zainuddin 2009). Hal tersebut

telah dibuktikan oleh Kresnawati dan

Zainuddin (2009) yang melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan dan antibakteri dari derivat metil ekstrak etanol daun gambir (Uncaria gambir) yang menyebutkan bahwa isolat yang memiliki gugus O-H lebih banyak memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi.

(a)

(b)

(c)

(24)

14

Tabel 6 Gugus fungsi yang terdapat pada spektrum ekstrak formula 1:0:0, 1:0:1, dan 0:1:0 Bilangan gelombang (cm-1) untuk formula M:K:T Acuan (Creswell

et al. 1991)

Gugus fungsi (Creswell et al. 1991)

1:0:0 1:0:1 0:1:0

3742.22 - 3369.02

3390.22 3363.34 3750-3000 Regang O-H

2926.08-2854.18 3015.09-2728.90 3109.15-2929.08

3300-2900 Regang C-H

2361.47 2360.52 - 2400-2100 Regang C≡C

1718.84

1739.07-1679.56

1680.75 1900-1650 Regang C=O

1613.24-1517.52 1623.05-1513.54 1626.89-1512.66

1675-1500 Regang C=C

1443.82-1385.99 1450.94-1378.60 1430.82-1378.16

1475-1300 Lentur C-H

867.56-766.58 979.23-723.81 978.95-673.64 1000-650 Lentur C=C

Ket: M:K:T = Meniran:Kunyit:Temulawak Selain itu, ekstrak 1:0:0 memiliki intensitas transmitan gugus C-H yang lebih sedikit dibanding ekstrak 1:0:1 dan 1:0:0. Serapan C-H dapat menandakan gugus CH3

(metil). Semakin banyak gugus metil dalam suatu isolat, aktivitas antioksidannya semakin rendah (Kresnawaty & Zainuddin 2009). Ekstrak dengan formula 0:1:0 memiliki nilai transmitan untuk gugus fungsi C-H yang paling tinggi dibanding formula 1:0:0 dan 1:0:1. Informasi mengenai kandungan gugus fungsi ketiga ekstrak ditunjukkan pada Tabel 6. Selain memiliki gugus fungsi yang sama, Ketiga ekstrak juga memiliki perbedaan kandungan gugus fungsi. Ekstrak dengan

formula 1:0:0 dan 1:0:1 memiliki regang C≡C

sedangkan ekstrak dengan formula 0:1:0 tidak mengandung gugus fungsi tersebut. Ekstrak formula 1:0:0 dan 1:0:1 mengandung meniran

sehingga adanya gugus fungsi C≡C

kemungkinan diindikasikan berasal dari meniran. Sebagian besar senyawa metabolit sekunder yang terdapat di alam tidak

mengandung gugus fungsi C≡C (alkuna)

sehingga diperlukan isolasi dan identifikasi

lebih lanjut mengenai senyawa yang

terkandung di dalam meniran untuk

mengetahui senyawa yang mengandung gugus

fungsi C≡C tersebut. Kemungkinan lain yang

dapat terjadi adalah gugus alkuna yang terdeteki berasal dari metabolit primer yang ikut terekstrak bersama pelarut.

Ekstrak formula 1:0:0 mengandung regang O-H pada bilangan gelombang 3742.22- 3369.02 cm-1 (Tabel 6). Menurut Winarno et

al. (1973), gugus O-H pada bilangan

gelombang 3369.02 cm-1 menunjukkan gugus O-H yang terdapat pada senyawa alkohol dan fenol (Tabel 6). Winarno et al. (1973) menyebutkan pula bahwa regang C-H yang terbaca pada kisaran bilangan gelombang 2926.08-2854.18 cm-1 merupakan gugus fungsi metil (CH3). Hal tersebut diperkuat

dengan adanya lentur C-H pada bilangan gelombang 1443.82-1385.99 cm-1 (Winarno et al. 1973). Gugus fungsi C=C yang terdeteksi pada kisaran bilangan gelombang

1613.24-1517.52 cm-1 kemungkinan merupakan

aromatik alkena (Cresswel 1991). Hal tersebut diperkuat dengan adanya lentur C=C pada kisaran bilangan gelombang 867.56-766.58 cm-1 yang menunjukkan aromatik alkena dengan substitusi C-H pada posisi karbon meta (Winarno et al. 1973). Regang C=O yang terdeteksi pada panjang gelombang 1718.84 cm-1 merupakan gugus fungsi yang terdapat pada gugus fungsi asam karboksilat, keton, atau aldehid (Winarno et al. 1973).

Regang O-H pada bilangan gelombang 3390.22 cm-1 yang terdeteksi pada ekstrak formula 1:0:1 merupakan gugus fungsi yang terdapat pada kerangka alkohol atau fenol (Winarno et al. 1973). Regang C-H pada serapan 3015.09 cm-1 merupakan gugus fungsi alkenil, sedangkan lentur C-H pada bilangan gelombang 1450.94-1378.60 cm-1 merupakan gugus metil (CH3). Regang C=O yang

(25)

15

C=C yang terdeteksi pada bilangan

gelombang 1623.05-1513.454 cm-1

merupakan gugus karbon aromatik dan alifatik (Winarno et al. 1973).

Ekstrak formula 0:1:0 mengandung gugus fungsi yang lebih sedikit dibandingkan ekstrak 1:0:0 dan 1:0:1. Regang O-H yang terdeteksi pada bilangan gelombang 3363.34 cm-1 merupakan gugus hidroksil yang terdapat pada gugus alkohol atau fenol (Winarno et al. 1973). Winarno et al. (1973) menyebutkan pula bahwa adanya serapan pada bilangan gelombang 2929.08 cm-1 yang terdeteksi sebagai regang C-H merupakan bagian dari

isopropil, sedangkan lentur C-H yang

terdeteksi pada bilangan gelombang 1430.82-1378.16 cm-1 merupakan gugus metil (CH3).

Adanya regang C=C pada bilangan

gelombang 1512.66 cm-1 menunjukkan bahwa di dalam ekstrak kasar 0:1:0 mengandung senyawa dengan kerangka C=C aromatik. Selain itu, adanya regang C=O pada bilangan gelombang 1680.75 cm-1 menunjukkan bahwa dalam ekstrak terkandung senyawa yang mengandung gugus keton.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ketiga ekstrak mengandung beberapa gugus fungsi yang sama dan gugus fungsi yang berbeda. Perbedaan kandungan gugus fungsi yang terdapat dalam setiap ekstrak diindikasikan menyebabkan perbedaan profil

kimiawinya. Perbedaan profil kimiawi

tersebut diindikasikan menyebabkan

perbedaan aktivitas antioksidannya. Cutler dan Cutler (2000), Dalimartha dan Setiawan (2000), diacu dalam Lisdawati et al. (2007) menyebutkan bahwa struktur kimia atau gugus dari suatu senyawa dalam ekstrak tumbuhan mempengaruhi aktivitas biologinya karena berkaitan dengan mekanisme kerja senyawa terhadap reseptor di dalam tubuh.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Selain menggunakan spektrofotometer

FTIR, profil kimiawi dari ketiga ekstrak

terbaik ditentukan pula menggunakan

kromatografi lapis tipis (KLT). Berbeda dengan profil kimiawi yang dihasilkan dari FTIR, profil kimiawi yang dihasilkan dari KLT merupakan pola kromatogram yang

menggambarkan senyawa dalam setiap

tumbuhan obat (Stoenoiu et al. 2006, diacu dalam Puspita 2009). Metode KLT yang digunakan untuk penentuan profil kimiawi ketiga ekstrak terbaik adalah metode KLT analitik karena hanya digunakan untuk memisahkan cuplikan yang terdapat di dalam ekstrak (Gritter et al. 1991).

Fase gerak (eluen) yang digunakan untuk

memisahkan senyawa dalam ekstrak

merupakan eluen terbaik yang dapat

memisahkan senyawa kimia paling banyak sehingga menghasilkan spot paling banyak dan paling jelas. Ekstrak 1:0:0 dan 0:1:0 menggunakan eluen terbaik hasil penelitian sebelumnya, yaitu kloroform:diklorometana dengan perbandingan 0.6553:0.3447 untuk formula 1:0:0 (Puspita 2009), dan 67.5:32.5 untuk formula 0:1:0 (Miftahuddin 2010). Eluen yang digunakan untuk menentukan

profil kimiawi ekstrak formula 1:0:1

merupakan hasil optimasi pencarian eluen terbaik menggunakan pelarut yang sama dengan perbandingan 90:10 (Lampiran 14).

Deteksi komponen yang dihasilkan

menggunakan sinar ultra violet (UV) pada panjang gelombang 366 nm karena senyawa yang terdeteksi lebih banyak dan lebih jelas

terlihat perbedaan warnanya. Senyawa

golongan alkaloid, flavonoid, triterpen, dan

lignan dapat terdeteksi pada panjang

gelombang 366 nm, sedangkan pada panjang gelombang 254 nm, senyawa yang dapat terdeteksi adalah senyawa golongan alkaloid, flavonoid, dan triterpen (Fernand 2003, diacu dalam Puspita 2009). Ketika disinari dengan lampu UV pada panjang gelombang 366 nm, spot yang terpisah berpendar dan plat berwarna gelap, sehingga perbedaan senyawa yang terkandung pada ketiga e

Gambar

Gambar 3  Daun meniran.
Tabel 4  Rendemen rata-rata ekstrak ramuan rimpang kunyit, temulawak, dan daun meniran
Gambar 5  Profil FTIR tiga ekstrak terbaik. (a) formula 1:0:0; (b) formula 1:0:1; dan (c) formula
Tabel 6  Gugus fungsi yang terdapat pada spektrum ekstrak formula 1:0:0, 1:0:1, dan 0:1:0
+2

Referensi

Dokumen terkait

Larutan pupuk N, P dan K mengandung sejumlah nutrien dan merangsang hormon pertumbuhan untuk merang- sang tanaman sehingga dengan responnya terhadap konsentrasi

Meskipun demikian ada pula jenis yang menyukai daerah muara sungai dengan pantai yang agak terlindung (semi-exposed) serta salinitas perairan yang relatif rendah, yaitu

Pengadaan Penginapan Peserta Pelatihan Wirausaha Perikanan Kab Pelalawan Pengadaan Barang Pengadaan Langsung 20.000.000 c.. Pengadaan Makanan dan Minuman Peserta

Berdasarkan hasil penelitian, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara orientasi masa depan dan dukungan orang tua dengan minat melanjutkan studi

Akibatnya, saat dilakukan perlakuan media visual, Sismantik di sekolah tersebut merasa lebih yakin terhadap informasi yang diberikan karena tidak banyak informasi lain tentang

skor di atas kelompok rata-rata berjumlah sebanyak 17 orang (42,50%) dan yang berada dalam skor kelompok rata-rata tidak ada satu orangpun yang memilikinya.. 35

Hasil yang di dapatkan dalam penelitian didapatkan bahwa dari tiga dimensi LibQual +TM diketahui bahwa dimensi affect of service indikator yang memiliki hasil mean

Pendidikan minimal Diploma III (D-3) atau sederajat, dengan pengalaman profesional dalam bidang pengelolaan keuangan desa dan pemberdayaan masyarakat atau yang relevan, dengan