REKAYASA MODEL EVALUASI KELAYAKAN PEMBIAYAAN
AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI DENGAN POLA SYARIAH
Chandra Indrawanto
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Agroindustri dengan Pola Syariah. Dibimbing oleh ERIYATNO, ANAS M.
FAUZI, MACHFUD, SUKARDI dan NOER SOETRISNO
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan agroindustri
minyak atsiri karena memiliki keunggulan komparatif dalam pengadaan bahan
bakunya disamping teknologi pengolahannya yang sederhana dan mudah dikuasai.
Pengembangan agroindustri minyak atsiri akan menimbulkan efek berganda berupa
peningkatan kesejahteraan petani tanaman atsiri mengingat mayoritas perkebunan
tanaman atsiri yang ada adalah perkebunan rakyat. Sumber pembiayaan yang dapat
digunakan untuk pengembangan agroindustri minyak atsiri adalah pembiayaan dari
lembaga keuangan syariah (LKS) dengan pola musyarakah berdasarkan skema bagi
hasil dan bagi resiko. Dengan pola ini tingkat keuntungan yang akan diterima LKS
ditentukan oleh tingkat laba operasional usaha. Sedangkan jika usaha mengalami
kerugian, maka LKS juga harus menanggung kerugian tersebut bersama-sama dengan
pengusaha mitra usahanya. Dengan posisi seperti ini LKS memerlukan suatu cara
evaluasi kelayakan pembiayaan yang dapat memperkirakan keuntungan yang akan
didapat oleh LKS dan memperkirakan tingkat resiko yang harus ditanggung.
Model evaluasi kelayakan pembiayaan usaha agroindustri minyak atsiri
dengan pola syariah yang dibuat dalam perangkat lunak Sistem Manajemen Ahli
(SMA) Ekpama-Syariah memiliki sub model untuk mengevaluasi tingkat resiko
pembiayaan yang terdiri dari resiko usaha dan resiko industri dengan metode AHP
untuk menentukan bobot faktor resiko dan teknik heuristik untuk memformulasikan
konklusi tingkat resiko, sub model untuk mengevaluasi tingkat keuntungan
pembiayaan yang ditunjang oleh model prakiraan harga bahan baku dan prakiraan
harga produk minyak atsiri dengan memakai teknik Jaringan Syaraf Tiruan (
Artificial
Neural Network
), sub model analisis laba operasional dengan memakai analisa
finansial, sub model penentuan target keuntungan minimal LKS yang
memperhitungkan keuntungan bebas resiko ditambah premi atas resiko pembiayaan,
sub model penentuan nisbah bagi hasil dengan memakai teknik
Fibonacci
dan sub
model evaluasi tingkat keuntungan pembiayaan dengan memakai
Inverse
Transformation Method
. Berdasarkan tingkat keuntungan pembiayaan dan tingkat
resiko pembiayaan yang diperoleh, ditentukan kelayakan pembiayaan usaha dengan
memakai suatu
rule base
yang telah ditentukan. Verifikasi model dilakukan pada
agroindustri minyak akarwangi di Kabupaten Garut.
Hasil verifikasi menunjukkan, berdasarkan hasil prakiraan harga bahan baku
dan harga produk minyak akarwangi, kapasitas alat suling 3500 liter atau 350 kg
akarwangi kering jemur tanpa bonggol dan frekwensi suling 16 kali per bulan didapat
laba operasional sebesar Rp 5,45 juta per bulan.
Tingkat resiko pembiayaan didapat dari nilai rata-rata terbobot faktor resiko
usaha dan resiko industri. Bobot dari setiap faktor didapat dengan memakai metode
AHP. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dan dengan memakai kaidah keputusan
yang telah ditentukan didapat tingkat resiko pembiayaan dan saran-saran yang perlu
diperhatikan untuk menurunkan tingkat resiko tersebut. Hasil verifikasi menunjukkan
tingkat resiko pembiayaan agroindustri minyak akarwangi pada tingkat sedang.
target keuntungan minimal LKS sebesar 24,10% per tahun.
Nisbah bagi hasil antara LKS dengan pengusaha ditentukan dengan
mempertimbangkan dua proposisi yaitu (1) LKS akan bersedia memberikan
pembiayaan usaha jika keuntungan yang akan diperoleh lebih besar dari target
keuntungan minimal yang telah ditentukan, (2) upaya yang dilakukan pengusaha
untuk mendapatkan laba operasional yang tinggi perlu dihargai. Berdasarkan kedua
proposisi tersebut maka nisbah bagi hasil untuk LKS minimal sama dengan ratio
antara nilai keuntungan minimal dengan laba operasional usaha dan maksimum sama
dengan ratio kontribusi pembiayaan LKS atas total modal usaha. Hasil verifikasi
menunjukkan dengan kontribusi pembiayaan LKS 57,3%, nisbah bagi hasil untuk
LKS sebesar 23,55% dan untuk pengusaha 76,45%.
Keuntungan pembiayaan yang diperoleh LKS didapat dari nisbah bagi hasil
LKS dikalikan laba operasional usaha.. Tingkat keuntungan pembiayaan dinilai layak
jika peluangnya untuk lebih besar daripada target keuntungan minimal LKS lebih dari
50%. Hasil verfikasi menunjukkan tingkat keuntungan pembiayaan layak jika
kontribusi pembiayaan yang diberikan oleh LKS maksimum 57,3% total modal usaha.
Berdasarkan tingkat keuntungan pembiayaan dan tingkat resiko pembiayaan,
dievaluasi kelayakan pembiayaan usaha. Hasil verifikasi menunjukkan pembiayaan
usaha dengan tingkat kontribusi LKS atas modal usaha sebesar 51,6% - 57,3% berada
pada layak-3 yaitu kondisi layak dengan tingkat keuntungan pembiayaan sedang dan
tingkat resiko pembiayaan sedang. Jika kontribusi pembiayaan LKS < 51,6% maka
tingkat kelayakan pembiayaan usaha berada pada layak-2 yaitu kondisi layak dengan
tingkat keuntungan pembiayaan tinggi dan tingkat resiko pembiayaan sedang.
Sistem manajemen ahli Ekpama -Syariah yang dikembangkan bersifat fleksibel
sehingga dapat memberikan evaluasi kelayakan pembiayaan berdasarkan perubahan
nilai pada harga bahan baku atau harga minyak atsiri, pada berbagai kondisi bahan
baku, pada berbagai kapasitas berjalan usaha, serta pada berbagai tingkat kontribusi
dan waktu pembiayaan LKS. Asumsi yang ada dalam implementasi model ini adalah
(1) LKS pengguna memiliki kemampuan membiayai usaha agroind ustri dengan pola
musyarakah dengan jangka waktu hingga 24 bulan. Selain itu LKS memiliki SDM
yang mampu memahami perangkat lunak dan mengoperasionalkan komputer. (2)
Agroindustri minyak atsiri yang akan dibiayai hanya memiliki satu jenis usaha atsiri
dan memiliki SDM yang mampu melakukan pembukuan keuangan dengan baik. (3)
Pola bagi hasil yang dilakukan adalah bagi laba operasional usaha.
Prasyarat implementasi yang harus dipenuhi oleh LKS yang akan menerapkan
SMA Ekpama-Syariah adalah (1) Sehat dari aspek keuangan, manajemen dan
kelembagaan serta melaksanakan prinsip-prinsip syariah dalam aturan-aturan
operasionalnya. (2) Memiliki perangkat keras dan perangkat lunak komputer dengan
spesifikasi yang memadai. (3) SDM
account officer
yang dimiliki mampu memahami
dan mengoperasionalkan SPK Ekpama -Syariah dan memiliki pengetahuan tentang
agroindustri minyak atsiri. (4) Memiliki SDM yang mampu memahami dan
menangani SMA Ekpama-syariah sebagai administrator yang akan selalu
memperbaharui data yang dibutuhkan oleh SMA tersebut. (5) Melakukan dialog
dengan pengusaha calon mitra usaha agar didapat titik temu yang memuaskan rasa
keadilan kedua pihak.
Oil Agroindustry Financing with Syariah Pattern.
Under the direction of
ERIYATNO, ANAS M. FAUZI, MACHFUD, SUKARDI
and
NOER SOETRISNO
The objective of this research is to design feasibility evaluation model of
profit and risk sharing for financing essential oil agroindustry. The Expert
Management System (EMS) model was built to support Syariah Finance Institution
(SFI). Analitycal tools such as Artificial Neural Network method, Fibonacci
technique and Inverse Transformation Method were applied.
The EMS software named Ekpama-Syariah consists of modules for forecasting
raw material and essential oil prices, estimating operational profit, calculating profit
sharing ratio, evaluating the SFI profit, predicting target of minimum profit and
evaluating risk of the industry finance. Heurustic technique was used to formulate the
risk conclution, and rule base method was used for dialog management system.
The model was verified through case study on vetiver oil agroindustry in
Garut Regency. The total capital investment with destilation capacity 350 kg dried
vetiver, is around Rp 198 million. The results show that finance risk of vetiver oil
agroindustry is in medium level. The project is feasible if the SFI’s investment
contribute not more than 57.3% to total investment.
The model can be used to simulate the feasibility of essential oil agroindustry
finance based on the variation of the raw material prices, essential oil prices,
recovery level, destillation frekwency and the contribution of SFI to total investment.
Assumptions of the model implementation is SFI has ability to finance
essential oil agroindusty with musyarakah pattern for up to 24 months and has
human resources to operate the computer software of Ekpama-Syariah.
Conditions needed in implementing the Ekpama-Syariah are: (1) The SFI is
perform well in financial and management aspects. (2) SFI has hardware and
software as required. (3) Account officers have knowledge in essential oils
agroindustry.
rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah aspek pembiayaan agroindus tri minyak atsiri dengan pola
syariah dengan judul Rekayasa Model Evaluasi Kelayakan Pembiayaan Agroindustri
Minyak Atsiri dengan Pola Syariah.
Disertasi ini dapat diselesaikan berkat arahan dan bimbingan yang tak kenal
lelah dari semua komisi pembimbing yakni, Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE selaku
katua serta Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng., Dr. Ir. Machfud, MS., Dr. Noer Soetrisno,
MA dan Dr. Ir. Sukardi, MM masing-masing sebagai anggota. Kepada
Beliau-beliaulah pertama kali penulis mengucapkan terima kasih dan semoga amal baik ini
menjadi amal ibadah dihadapan Allah SWT.
Kepada Dr. Ir. Maika S. Rusli, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian
tertutup serta Dr. Chaerul Djamhari dan Dr. Mat Syukur sebagai penguji luar komisi
pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya atas
masukan yang diberikan untuk lebih memperbaiki disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Ketua Program Studi Teknologi
Industri Pertanian Dr. Ir. Irawadi Jamaran dan seluruh staf pengajar Program Studi
Teknologi Industri Pertanian yang telah membarikan curahan ilmu dan pengalaman
selama penulis menempuh pendidikan di IPB.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Kepala Balittro dan
Kepala Puslitbang Perkebunan atas bantuan dan kesempatan yang diberikan selama
penulis menempuh pendidikan doktor ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Dr. Agus Wahyudi yang telah mendorong untuk menempuh pendidikan
doktor ini serta memberikan bantuan dan nasihat selama penulis menempuh
pendidikan, kepada rekan-rekan Ir. Ketut Ardhana, MS, Kusumo, Yulius Ferry, Ir.
Suci Wulandari, MM, Sri Hastuti, Lina Marlina dan Tri Hayani atas bantuan dan
dorongannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Kahirul
dari BMI Pusat, Bapak Andri dari BPRS – PNM Mentari, Ketua KJKS Al Hanif,
Ketua KJKS Muazarah, Ketua KJKS Al Furqon, Ketua BMT Madani dan Ketua BMT
Al Inayah serta para pengusaha penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut atas data
dan informasi yang diberikan selama penulis melakukan penelitian.
Penghargaan dan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada istri
tercinta Drh Mirzayenni serta ananda Rizky Amelia dan Aulia Rifqi Nurahman atas
kesabaran dan dorongan yang diberikan. Rasa hormat dan terima kasih penulis
sampaikan kepada Ayahanda Marlono dan Ibunda S. Umiyati serta Ayah mertua
Yunas Murad dan Ibu mertua Nailis Sa’adah atas dorongan semangat yang diberikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan Dedy
Sugiarto, Sri Hidayati, Nofi Erni, Erlina, Ari Achyar, Tri Yuni Hendrawati, Angga
Jatmika, Nunung dan rekan-rekan TIP lainnya atas silaturahmi dan diskusinya
sehingga semangat tetap terjaga.
Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis
berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan pembiayaan syariah
untuk agroindustri. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
keempat dari enam bersaudara dari pasangan Marlono dan Siti Umiyati. Menikah
dengan drh. Mirzayenni dan dikaruniai dua anak yakni Rizky Amelia (16) dan Aulia
Rifqy Nurahman (11).
Penulis menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Jakarta. Setelah
lulus dari SMAN 3 Jakarta pada tahun 1982, penulis melanjutkan pendidikan S1 di
Fakultas MIPA jurusan Statistika IPB, Bogor dan lulus pada tahun 1987. Antara
tahun 1992 – 1994 penulis meneruskan pendidikan di Lancaster University – UK
dengan beasiswa dari British Council dan mendapat dua gelar yaitu Post Graduate
Diploma in Development Study dan Master of Science in International Trade and
Finance. Sejak tahun 2002 penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana S3 di
Program Studi Teknologi Industri Pertanian – Institut Pertanian Bogor.
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Model Evaluasi
Kelayakan Pembiayaan Agroindustri Minyak Atsiri dengan Pola Syariah adalah karya
saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam tekjs dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir
disertasi.
Bogor, April 2007
Daftar Isi
...
Daftar Tabel
...
Daftar Gambar
...
Daftar Lampiran ...
PENDAHULUAN ...
Latar Belakang ...
Tujuan Penelitian ...
Manfaat Penelitian ...
Ruang Lingkup Penelitian ...
Keluaran Hasil Penelitian ...
TINJAUAN PUSTAKA ...
Agroindustri Minyak Atsiri ...
Teknologi Penyulingan Minyak Atsiri ...
Pembiayaan Usaha dengan Pola Syariah ...
Manajemen Resiko ...
Sistem Penunjang Keputusan ...
Sistem Manajemen Ahli ...
Feedback Loop
...
Penelitian Terdahulu ...
LANDASAN TEORITIS ...
Metode Prakiraan ...
Teknik Optimasi Fibonacci ...
Inverse Transformation Method
...
Proses Hirarki Analitik...
Analisis Finansial ...
Akuntansi Syariah ...
METODE PENELITIAN ...
Kerangka Pemikiran ...
Tahapan Penelitian ...
Metode Pengumpulan Data ...
Metode Pengolahan Data ...
Waktu dan Tempat Penelitian ...
Rekayasa Sistem Manajemen Ahli ...
ANALISA SISTEM ...
Analisis Situasional ...
Analisis Kebutuhan Sistem ...
Formulasi Permasalahan ...
Identifikasi Sistem ...
Sistem Manajemen Basis Pengetahuan ...
Sistem Manajemen Basis Model ...
Sistem Manajemen Basis Data ...
Sistem Manajemen Dialog ...
VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL ...
Model Prakiraan Harga ...
Evaluasi Resiko Usaha ...
Evaluasi Resiko Industri ...
Model Evaluasi Tingkat Resiko Pembiayaan ...
Model Analisis Laba Operasional ...
Model Penetapan Target Keuntungan ...
Model Penentuan Nisbah Bagi Hasil ...
Model Analisis Keuntungan Usaha...
Model Evaluasi Tingkat Keuntungan Pembiayaan ...
Model Penentuan Kelayakan Pembiayaan ...
Validasi Model ...
RANCANGAN IMPLEMENTASI
...
Kelebihan dan Keterbatasan Model ...
Rekomendasi Operasional ...
SIMPULAN DAN SARAN ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1.Perlakuan kondisi bahan baku untuk penyulingan ...
Skala komparasi antar elemen ...
Nilai random indeks ...
Kategori biaya usaha penyulingan minyak atsiri...
Unsur-unsur biaya produksi dengan metode
full
costing
dan
Variable costing
Unsur-unsur Laporan Rugi/Laba ...
Pelaku dan kebutuhan pelaku ...
Rule base penentuan tingkat keuntungan pembiayaan
usaha
Rule base penentuan kelayakan pembiayaan usaha ...
Harga minyak akarwangi Januari 2000 – Agustus 2006
dan prakiraannya sampai Agustus 2008 (Rp ribu/kg)
Harga akarwangi Januari 2000 – Agustus 2006 dan
prakiraannya sampai Agustus 2008 (Rp/kg)
Hasil evaluasi resiko harga bahan baku...
Hasil evaluasi resiko harga produk...
Nilai resiko pembiayaan berdasarkan rata-rata terbobot
skor parameter ...
Kadar air, rendemen dan berat bahan baku pada
berbagai kondisi...
Pendapatan , harga pokok produksi, laba kotor, beban
usaha dan laba operasional per bulan ...
Nisbah bagi hasil dan keuntungan pembiayaan per
bulan dengan pola musyarakah menurun selama 24
bulan ...
Kelayakan keuntungan pembiayaan dengan pola
musyarakah menurun selama 24 bulan...
Tingkat keuntungan pembiayaan dengan pola
musyarakah menurun selama 24 bulan...
Penentuan kelayakan pembiayaan dengan pola ...
musyarakah menurun selama 24 bulan
Rangkuman hasil validasi model Ekpama -Syariah ...
91
92
93
94
94
95
97
98
99
100
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Nomor
Teks
Halaman
18
21
22
24
25
26
27
34
35
39
41
55
61
62
62
67
70
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Struktur Sistem Penunjang Keputusan ...
Contoh Jaringan Semantik ...
Frame
minyak atsiri dan ”anak”
frame
minyak
akarwangi
Prosedur
Backward Chaining ...
Feedback loop
dalam suatu sistem ...
Feedback
positif kecepatan reproduksi bakteri E.Coli ...
Feedback
negatif kecepatan produksi...
Arsitektur jaringan layar tunggal ...
Arsitektur Jaringan Layar Jamak ...
Algoritma teknik optimasi fibonacci ...
Grafik ilustrasi
Inverse Transformation Method
. ...
Diagram alir model evaluasi kelayakan pembiayaan
agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah ...
Diagram Alir Proses Pengolahan Minyak Akarwangi ...
Grafik Perkembangan Harga Akarwangi di Kabupaten ...
Garut
Grafik Perkembangan Harga Minyak Akarwangi di ...
Kabupaten Garut
Diagram input output sistem pembiayaan agroindustri
minyak atsiri dengan pola syariah
72
73
74
75
78
80
83
85
87
90
91
96
96
104
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Diagram alir prakiraan harga bahan baku akarwangi dan
harga minyak akarwangi
Diagram alir perkiraan laba operasional usaha ...
Diagram alir penetapan target keuntungan LKS ...
Diagram alir penentuan nisbah bagi hasil...
Diagram alir analisis keuntungan LKS dan Pengusaha ....
Diagram alir penentuan tingkat resiko pembiayaan ...
Grafik harga dan prakiraan harga minyak akarwangi ...
Grafik harga dan prakiraan harga akarwangi ...
Grafik perkembangan dan Trend harga akarwangi ...
Grafik volume ekspor minyak akarwangi Indonesia ...
Grafik harga FOB ekspor minyak akarwangi Indonesia ..
Grafik distribusi kumulatif keuntungan usaha untuk ...
LKS
Grafik distribusi kumulatif peluang nilai keuntungan
usaha untuk Pengusaha
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Tampilan menu input data dasar finansial ...
Tampilan menu evaluasi resiko usaha ...
Tampilan menu evelausi resiko industri ...
Tampilan menu hasil evaluasi Tingkat Resiko
Pembiayaan...
Tampilan menu evaluasi Tingkat Keuntungan
Pembiayaan...
Tampilan menu Hasil Evaluasi Kelayakan Pembiayaan ..
Evaluasi resiko ketersediaan bahan baku ...
Evaluasi resiko pengolahan ...
Evaluasi resiko pemasaran...
Evaluasi resiko pengusaha mitra usaha ...
Evaluasi resiko permintaan dan penawaran produk ...
Evaluasi resiko harga bahan baku ...
Evaluasi resiko harga produk ...
Aturan-aturan dalam penentuan tingkat keuntungan ...
Aturan-aturan dalam penentuan tingkat resiko ...
Aturan-aturan dalam penentuan kelayakan pembiayaan ..
Skor Mse dan r hasil training dan testing harga minyak
akarwangi dengan input data 12, pola data training 70%
dan pola data testing 30% ...
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Skor Mse dan r hasil training dan testing harga
akarwangi dengan input data 12, pola data training 70%
dan pola data testing 30% ...
Biaya investasi tetap usaha agroindustri akarwangi ...
Proyeksi biaya langsung agroindustri akarwangi ...
Proyeksi biaya tidak langsung agroindustri akarwangi ....
Proyeksi biaya depresisasi dan amortisasi agroindustri
akarwangi...
Proyeksi penerimaan, laba kotor dan laba operasional
agroindustri akarwangi ...
Proyeksi investasi asset tetap dan modal kerja
agroindustri akarwangi ...
Analisis finansial usahatani akarwangi (1 ha). ...
Form validasi model Ekpama -Syariah
Nilai bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia per tahun
155
157
159
161
163
165
166
Latar Belakang
Strategi pembangunan nasional seharusnya didasarkan pada keunggulan
kompetitif yang dimiliki Indonesia. Salah satu cara mendapatkan keunggulan
kompetitif adalah dengan mengembangkan sektor yang didukung oleh
sumberdaya domestik dan memiliki peluang usaha. Agroindustri adalah salah
satu sektor yang sangat ditunjang oleh sumberdaya domestik. Membangun
agroindustri yang kuat berarti membangun pertumbuhan sekaligus pemerataan
dan keseimbangan antar sektor dan antar wilayah.
Agroindustri minyak atsiri merupakan salah satu industri yang patut
diperhitungkan untuk dikembangkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan
komparatif dalam pengadaan bahan bakunya disamping teknologi pengolahannya
yang cukup sederhana sehingga mudah dikembangkan. Pengembangan Industri
minyak atsiri bukan hanya meningkatkan kesejahteraan pengusaha agroindustri,
akan tetapi juga akan meningkatkan kesejahteraan petani tanaman atsiri.
Saat ini ada sekitar 10 jenis minyak atsiri Indonesia yang telah diekspor
dengan 5 diantaranya memiliki pangsa diatas 50% pada pasar dunia. Kesepuluh
jenis minyak atsiri tersebut dan pangsa pasarnya adalah minyak nilam (63%),
minyak kenanga (67%), minyak akarwangi (22%), minyak sereh wangi (12%),
minyak pala (72%), minyak cengkeh (63%), minyak cendana (14%), minyak
kayu putih (83%), minyak jahe (0,4%) dan minyak lada (0,9%).
Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor minyak atsiri jenis lain
atau fraksinya sebagai bahan baku industri. Impor minyak atsiri Indonesia yang
terbesar adalah minyak piperita sekitar 232,6 ton dengan nilai US$ 2 161 548
serta minyak Lavender sekitar 28 ton dengan nilai US$ 548 645 pada tahun 2000.
Upaya untuk membangun industri substitusi impor minyak atsiri tentunya akan
dapat mendorong penghematan devisa nasional.
Minyak akarwangi (Vetiveria zizanioides L.) sebagai salah satu komoditas
utama minyak atsiri Indonesia, saat ini sekitar 90% produksinya diekspor. Dalam
lima tahun terakhir rata-rata ekspor minyak atsiri akarwangi Indonesia sekitar 66
di Kabupaten Garut dengan kontribusi produksi sekitar 90% produksi nasional
(BPS, 2006). Dengan pangsa pasar ekspor sekitar 22%, Indonesia bukanlah
negara yang dapat menentukan harga minyak akarwangi, sebaliknya harga
minyak akarwangi dalam negeri dipengaruhi oleh harga minyak akarwangi dunia.
Kondisi ini menyebabkan sangat fluktuatifnya harga minyak akarwangi dalam
negeri karena mengikuti harga minyak akarwangi dunia yang selalu fluktuatif
sehingga mendorong pula terjadinya fluktuasi harga bahan baku akarwangi.
Fluktuasi pada harga bahan baku dan harga minyak akarwangi
menyebabkan keuntungan usahatani akarwangi dan keuntungan usaha
penyulingan akarwangi menjadi sangat fluktuatif pula. Kondisi ini menyebabkan
tingkat resiko agroindustri minyak akarwangi menjadi tinggi sehingga perbankan
konvensional enggan memberikan kredit. Dilain pihak pengusaha agroindustri
minyak akarwangi juga enggan memakai kredit dari perbankan konvensional
sebagai sumber pemodalan karena ketidakmampuannya dalam memberikan
agunan dan untuk mengemban resiko bunga dari pengambilan kredit. Sumber
pemodalan yang digunakan hanya berasal dari modal keluarga sehingga
umumnya agroindustri minyak akarwangi merupakan usaha dengan skala kecil
(UK). Menurut UU No. 9 tahun 1995 usaha kecil adalah usaha dengan aset
kurang dari Rp 200 juta diluar tanah dan bangunan, sebagaimana dikutip oleh
Soetrisno (2005).
Secara umum faktor-faktor yang menghambat Bank konvensional
memberikan kredit kepada agroindustri di pedesaan adalah: (1) Tidak tersedianya
kredit atau jika tersedia maka tidak sesuai dengan kebutuhan agroindustri. (2)
Resiko yang tinggi terutama pada agroindustri skala kecil. (3) Pengusaha kecil
agroindustri umumnya tidak memiliki cukup cadangan untuk menghadapi
fluktuatif harga yang terjadi. (4) Struktur administratif Bank besar yang
seharusnya mampu memberikan kredit pada pengusaha agroindustri skala kecil
ironisnya justru bekerja menghindari pemberian kredit kepada pengusaha kecil
agroindusti.
Untuk menunjang pengembangan UK agroindustri minyak atsiri maka
perlu dicari bentuk lain pola pembiayaan. Salah satu bentuk pola pembiayaan
yang disediakan oleh lembaga keuangan syariah (LKS). Pola ini diperkirakan
sesuai untuk UK agroindustri minyak atsiri karena tidak memerlukan agunan dan
resiko yang ada tidak ditanggung sendiri oleh pengusaha. Apabila usaha
mengalami kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama antara
pengusaha dengan LKS, sebaliknya jika keuntungan usaha yang didapat tinggi
maka keuntungan tersebut dinikmati bersama pula.
Kendala yang menghambat berkembangnya pembiayaan dengan pola
syariah ini adalah belum ditemukan suatu metode dan formula yang efektif untuk
mengevaluasi kelayakan pembiayaan suatu agroindustri minyak atsiri dengan
pola syariah. Tingkat keuntungan pembiayaan yang diterima LKS tergantung
pada tingkat laba operasional usaha dan nisbah bagi hasil yang ditetapkan
sehingga perlu dilakukan analisa proyeksi laba operasional usaha yang akurat dan
nisbah bagi hasil yang dapat diterima oleh LKS dan pengusaha. Sifat dinamis dari
parameter-parameter penentu laba operasional usaha dapat menyebabkan tingkat
keuntungan pembiayaan menjadi rendah bahkan merugi atau menyebabkan
tingkat keuntungan pembiayaan menjadi tinggi. Ketidak pastian tingkat
keuntungan pembiayaan ini menyebabkan model evaluasi kelayakan pembiayaan
konvensional yang memakai prinsip bunga menjadi tidak sesuai untuk
diterapkan.
Ditemukannya model evaluasi kelayakan yang tepat dan sesuai, yang
dapat memprakirakan perubahan dinamis parameter-parameter utama penentu
laba operasional usaha agroindustri minyak atsiri dan memasukkan perubahan
dinamis tersebut kedalam perhitungan evaluasi kelayakan pembiayaan,
diharapkan akan lebih mendorong lembaga keuangan syariah untuk membantu
pembiayaan usaha kecil agroindustri minyak atsiri sehingga dapat lebih
berkembang.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan sistem manajemen ahli model
evaluasi kelayakan pembiayaan usaha kecil agroindustri minyak atsiri dengan
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak
yaitu:
1. Bagi lembaga keuangan syariah, hasil penelitian ini merupakan alat
penunjang keputusan dalam mengevaluasi kelayakan pembiayaan
agroindustri minyak atsiri dengan skema bagi hasil dan bagi resiko.
2. Bagi pengusaha agroindustri minyak atsiri, hasil penelitian ini merupakan alat
penunjang keputusan dalam mencari sumber permodalan yang lebih
berkeadilan untuk pengembangan usaha agroindustri minyak atsirinya.
3. Bagi akademisi dan pengembangan iptek, hasil penelitian ini merupakan
kontribusi pemikiran untuk pengembangan aplikasi pola syariah melalui
pendekatan sistem
4. Bagi pemerintah sebagai pembina UKM, hasil penelitian ini dapat menjadi
alat untuk memfasilitasi alternatif pembiayaan dengan pola syariah yang lebih
berkeadilan untuk mendukung pengembangan agroindustri minyak atsiri.
Ruang Lingkup Penelitian
Skema pembiayaan pada penelitian ini adalah pembiayaan musyarakah
yang memiliki prinsip bagi keuntungan dan bagi resiko. Evaluasi kelayakan akan
memperhitungkan tingkat keuntungan pembiayaan yang akan didapat dan tingkat
resiko pembiayaan yang ada. Obyek kajian pada penelitian ini adalah
agroindustri penyulingan minyak atsiri akarwangi di Kabupaten Garut.
Pemilihan agroindustri minyak akarwangi karena pada umumnya merupakan
usaha kecil dengan sentra produksi di Kabupaten Garut.
Keluaran Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini adalah suatu rekomendasi model evaluasi kelayakan
pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah. Model ini
dituangkan dalam suatu perangkat lunak sistem manajemen ahli evaluasi
kelayakan pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah. Model
akan bermanfaat untuk pihak lembaga keuangan syariah, pengusaha agroindustri,
Agroindustri Minyak Atsiri
Minyak atsiri akarwangi (vetiver oil) diperoleh melalui proses
penyulingan dari bagian akar tanaman akarwangi (Vetiveria zizanioides L.).
Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus yang dihasilkan oleh ester
dari asam vetivenat serta senyawa vetiverone dan vetivenol yang saat ini belum
dapat dibuat sintetisnya. Minyak akarwangi digunakan secara luas untuk
pembuatan parfum, kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta pembasmi
dan pencegah serangga. Di Indonesia, tanaman akarwangi telah lama dikenal
sebagai komoditas ekspor. Sekitar 90% produksi minyak akarwangi Indonesia
diekspor, dengan rata-rata volume ekspor dalam lima tahun terakhir sebanyak 66
ton atau 22% dari total produksi dunia yang diperkirakan mencapai 300 ton setiap
tahunnya. Di pasar dumia minyak akarwangi dari Indonesia dikenal dengan
nama Java Vetiver Oil. Masih rendahnya pangsa pasar minyak akarwangi
Indonesia mengindikasikan industri akar wangi masih terbuka untuk
dikembangkan.
Akarwangi biasanya ditanam secara monokultur atau tumpangsari dengan
tanaman sayuran. Bahan tanaman akar wangi yang digunakan petani umumnya
berasal dari jenis lokal tanpa adanya seleksi. Jarak tanam yang digunakan sangat
bervariasi yaitu 20 x 30 cm2, 30 x 30 cm2, 30 x 40 cm2, 40 x 40 cm2, 40 x 60 cm2
dan 40 x 80 cm2. Pemupukan dan pemeliharaan tanaman umumnya tidak
dilakukan, kecuali pada tanaman akar wangi yang ditumpangsarikan dengan
tanaman sayuran seperti wortel, kol, bawang daun, dan bawang putih.
Tanaman akar wangi yang ditumpangsarikan dipangkas dan disiangi pada umur
tiga dan enam bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
tumbuhnya tanaman sela serta memungkinkan penanaman kembali tanaman sela
sebelum akar wanginya tumbuh besar. Hasil akar wangi yang didapat rata-rata
12 ton akarwangi kering angin per ha (Hobir, et. al, 2007).
Penyulingan akar wangi umumnya dengan cara penyulingan uap dan air.
Ketel yang digunakan rata-rata mempunyai diameter 1,5 m dan tinggi 4,2 m,
dihasilkan hanya sekitar 0,3% - 1,33%, jauh lebih rendah dari potensi yang
seharusnya bisa didapat yaitu sekitar 1,6 – 2,1 % (Rusli, 1985). Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, pertama akar wangi yang digunakan adalah akar
muda yang belum mencapai umur 12 bulan, kedua bonggol akar wangi yang
memiliki rendemen yang rendah turut disuling, dan ketiga karena lama
penyulingan hanya 12 - 15 jam saja dari rekomendasi sekitar 18 jam.
Kabupaten Garut di Jawa Barat, merupakan sentra produksi utama
akarwangi dengan kontribusi produksi minyak sekitar 90% dari produksi minyak
akarwangi Indonesia. Areal pertanaman akarwangi dikabupaten ini sekitar
1.475 ha pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 2.400 ha pada tahun 2005
dengan areal tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Samarang, Leles,
Ciwalu dan Bayongbong. Kesemua areal pertanaman tersebut merupakan
perkebunan rakyat. Saat ini di Kabupaten Garut terdapat 43 unit penyulingan
akar wangi dengan total kapasitas terpasang sekitar 60 ton terna akar wangi
kering angin dengan bonggolnya per kali suling.
Teknologi Penyulingan Minyak Atsiri
Agroindustri minyak atsiri adalah agroindustri yang mengekstraksi
minyak atsiri hasil metabolit sekunder pada buah, bunga, daun, kulit, dahan atau
akar dengan cara penyulingan atau destilasi. Tiga cara penyulingan yaitu cara
direbus, cara uap-air atau dikukus dan cara uap langsung atau steam.
Cara penyulingan dengan direbus merupakan cara yang tertua. Prinsip
kerja cara ini adalah: ketel penyulingan diisi air hingga separuhnya, lalu
dipanaskan. Sebelum air mendidih bahan baku dimasukkan kedalam ketel
penyulingan sehingga pada saat terjadi penguapan minyak atsiri menguap
bersama dengan menguapnya air. Uap dengan partikel minyak atsiri ini dialirkan
melalui pipa ke alat pendingin sehingga uap air yang bercampur minyak atsiri
mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah untuk
memisahkan air dengan minyak atsiri. Cara penyulingan ini disebut juga
penyulingan langsung (direct distillation). Penyulingan dengan cara ini mudah
dilakukan dan memerlukan modal yang tidak banyak. Akan tetapi kadar minyak
Terkadang juga terjadi hidrolisir ester dan produk minyak atsiri tercampur
dengan bahan lain. Cara penyulingan ini biasanya digunakan untuk bahan yang
halus atau mudah menggumpal dengan uap langsung seperti bunga.
Cara penyulingan dengan uap-air sedikit lebih maju dari cara pertama.
Prinsip kerja cara ini adalah sebagai berikut: ketel penyulingan diisi air sampai
batas saringan. Bahan baku diletakkan diatas saringan sehingga tidak
berhubungan langsung dengan air. Uap air yang terjadi akan melewati bahan
baku dan membawa partikel-partikel minyak atsiri. Uap dengan partikel minyak
atsiri ini dialirkan melalui pipa ke alat pendingin sehingga uap air yang
bercampur minyak atsiri mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya
dialirkan ke alat pemisah untuk memisahkan air dengan minyak atsiri. Cara ini
disebut juga dengan cara penyulingan secara tidak langsung (indirect distillation).
Dengan cara ini kualitas produk minyak atsiri yang dihasilkan cukup baik,
bahkan jika dikerjakan dengan baik kualitas yang dihasilkan dapat masuk dalam
kategori ekspor. Cara ini biasanya untuk bahan berupa rumput atau daun seperti
seraiwangi, daun klausena dan daun cengkeh.
Cara penyulingan dengan uap langsung memerlukan modal yang cukup
besar karena memerlukan dua buah ketel. Prinsip kerja penyulingan ini hampir
sama dengan cara penyulingan tidak langsung (indirect distillation) hanya saja
pada cara ini antara ketel uap dan ketel penyaringan terpisah. Ketel uap yang
berisi air dipanaskan, lalu uap yang terjadi dialirkan ke ketel penyulingan yang
berisi bahan baku. Partikel minyak atsiri yang terdapat dalam bahan baku akan
menguap bersama dengan uap air dan dialirkan kealat pendingin. Dalam alat
pendingin akan terjadi pengembunan dimana uap air akan mengembun dan
mencair kembali. Selanjutnya dialirkan kealat pemisah untuk memisahkan air
dengan minyak atsiri. Cara ini walaupun membutuhkan biaya yang cukup besar
akan tetapi memberikan hasil produk minyak atsiri dengan mutu yang lebih bagus
dari cara pertama dan kedua. Cara ini biasanya digunakan untuk bahan yang
mengandung minyak atsiri dengan titik didih tinggi.
Efisiensi penyulingan selain ditentukan oleh ketepatan pemilihan cara
Cara penanganan yang tepat untuk beberapa bahan baku dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan kondisi bahan baku untuk penyulingan
Jenis Bahan Baku Kondisi Bahan Baku Ukuran Bahan Baku
Bunga Kenanga Segar Utuh
Bunga Ylang-Ylang Segar Utuh
Daun Klausena Segar Utuh
Seraiwangi Setengah Kering Dipotong/Utuh
Daun Cengkah Kering Utuh
Nilam Kering Dipotong/Utuh
Akarwangi Kering Dipotong/Utuh
Kulitmanis Kering 2-4 mm
Kulit Masoia Kering 2-4 mm
Kayu Cendana Kering 2-4 mm
Kayu Gaharu Kering 2-4 mm
Rimpang Jahe Kering 2-4 mm
Rimpang Temulawak Kering 2-4 mm
Biji Pala Kering 2-4 mm
Biji Lada Kering 2-4 mm
Sumber: Rusli, 2000
Pembiayaan Usaha dengan Pola Syariah
Suatu perusahaan harus mempunyai aktiva (assets) agar dapat beroperasi,
dan untuk dapat memiliki assets perusahaan harus memiliki modal (capital). Dua
bentuk dasar modal perusahaan adalah pinjaman (debts) dan kekayaan atau dana
pemilik (equity). Pada perusahaan perorangan dan persekutuan, equity berasal
dari dana pribadi pemilik. Sedangkan pada perusahaan perseroan equity berasal
dari saham biasa (common stocks) dan saham istimewa (preferred stocks)
(Brigham dan Gapenski, 1991). Pinjaman (debts) dapat diperoleh perusahaan
Beberapa macam instrumen pinjaman (debt) dan equity pada lembaga
pembiayaan konvensional yang dapat digunakan untuk mengungkit (leverage)
kemampuan pembiayaan perusahaan adalah (Vogel dan Hayes, 1998): (1)
Secured debt, yaitu hutang yang memiliki posisi prioritas pada struktur modal perusahaan dan memiliki klaim langsung atas aset perusahaan; (2) Leasing,
adalah pemindahan hak guna atas barang melalui pembayaran sewa. Dua macam
leasing yaitu finansial leasing dan operasional leasing. Pada finansial leasing
biaya sewa memperhitungkan pula harga barang pada akhir masa sewa karena
pada saat itu kepemilikan barang berpindah kepenyewa. Sedangkan pada
operasional leasing kepemilikan barang tidak berpindah kepenyewa pada akhir
masa leasing; (3) Unsecured debt, yaitu hutang dengan posisi lebih rendah
daripada secured debt dan klaim atas aset perusahaan hanya dapat dilakukan
setelah klaim secured debt dipenuhi; (4) Subordinated debt, yaitu hutang yang
secara hirarki memiliki tingkat lebih rendah dari secured dan unsecured debt
instrumen diatas dalam hal klaim aset perusahaan; (5) Saham Preferred, yaitu
hibrid antara debt dengan equity. Saham ini memiliki posisi lebih rendah
dibanding hutang dalam hal klaim terhadap aset. Akan tetapi dibanding saham
biasa, saham preferred memiliki dividen tetap yang dibayarkan sebelum dividen
saham biasa diberikan dan memiliki prioritas klaim atas aset sebelum saham
biasa.
Secara syariah instrumen diatas yang menempatkan sumber modal pada
posisi yang berbeda dan pengenaan bunga pada pinjaman (debt) yang ditentukan
besarnya dari awal, serta resiko yang sepenuhnya ditanggung pengusaha
peminjam modal, tidaklah sesuai dengan syariah islam yang berdasarkan spirit
kebersamaan yaitu sama merasakan keberuntungan jika untung dan
sama-sama susah jika mengalami kerugian. Tiga prinsip dasar sistem keuangan syariah
menurut Bank Indonesia (2002) adalah pertama prinsip keadilan yang ditandai
dengan transaksi yang fair, transparan dan jujur, persaingan yang sehat serta
perjanjian yang saling menguntungkan. Kedua prinsip menghindari kegiatan
yang dilarang, yaitu dengan larangan memproduksi produk, jasa dan proses yang
merugikan dan berbahaya. Ketiga prinsip kemanfaatan, yaitu berperilaku
tidak efisien serta membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
memperoleh sumberdaya. Prinsip ini diterapkan dalam tiga pola dasar kegiatan
lembaga pembiayaan syariah yaitu pola bagi hasil dan bagi resiko, pola jual beli
dan pola sewa.
Bagi hasil dan bagi resiko. Dua pola utama bagi hasil dan bagi resiko
adalah pola al-mudarabah yaitu suatu kerjasama antara dua pihak dimana pihak
pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua menyediakan
manajemen dan enterpreunership, dan pola al-musyarakah yaitu kerjasama
antara dua atau lebih pihak dimana masing-masing pihak menyediakan modal,
management dan enterpreunership. Prinsip mudarabah dibangun berdasarkan
bentuk kerjasama yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin untuk
mengembangkan jaringan perdagangan secara luas (Qureshi, D.M, 1988). Oleh
karena itu dalam perbankan islam, kontrak ini biasanya digunakan untuk tujuan
perdagangan jangka pendek atau jenis usaha tertentu yang berjangka waktu
pendek. Pada pola ini pemilik modal (investor) mempercayakan modalnya
kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan sesuai ketentuan dalam kontrak
untuk mendapatkan keuntungan. Kontrak mudarabah mengikat hubungan antara
investor dan mudharib berdasarkan saling mempercayakan, sehingga investor
tidak dapat meminta jaminan (garansi). Adanya jaminan, menurut pendapat
Imam Malik dan Imam Syafi’i, menyebabkan kontrak menjadi tidak sah (Ibn
Qudama, 1981). Kontrak mudarabah juga menetapkan tingkat keuntungan bagi
masing-masing pihak berdasarkan ratio, bukan berdasarkan jumlah yang pasti.
Dengan demikian jika keuntungan yang didapat dari hasil usaha tinggi maka
masing-masing pihak akan mendapat jumlah keuntungan yang tinggi, sebaliknya
jika keuntungan yang didapat dari hasil usaha rendah maka masing-masing pihak
akan mendapat jumlah keuntungan yang rendah. Sedangkan jika terjadi kerugian
maka pihak mudharib tidak memperoleh keuntungan dan kerugian yang ada
ditanggung sepenuhnya oleh investor dengan syarat pihak mudharib dalam
menjalankan usahanya sesuai dengan aturan yang tertuang dalam kontrak. Akan
tetapi jika kerugian yang terjadi disebabkan oleh pelanggaran kontrak yang
dilakukan oleh mudharib, maka seluruh kerugian ditanggung oleh mudharib (El
Pola musyarakah merupakan bentuk kerjasama antar dua atau lebih pihak
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi persentase modal. Dalam
perbankan islam, bentuk pembiayaan musyarakah meliputi: musyarakah untuk
perdagangan (commercial musyarakah), keikutsertaan untuk sementara
(decreasing partisipation) dan keikutsertaan untuk selamanya (permanent
partisipation). Pada persetujuan musyarakah untuk perdagangan, Bank dan
pengusaha memberikan kontribusi modal untuk melakukan usaha yang
menyangkut pembelian dan penjualan komoditas dalam rangka mendapatkan
keuntungan yang akan dibagi antara Bank dan pengusaha. Pihak pengusaha
memegang kendali manajemen dalam usaha tersebut. Tidak ada ketentuan
besarnya perbandingan modal yang disertakan dalam kontrak ini. Selain itu masa
berlakuknya kontrak ditentukan secara jelas (Antonio, 2003).
Pola pembiayaan musyarakah dimana keikutsertaan Bank bersifat
sementara (decreasing partisipation) biasanya untuk kerjasama industri yang
baru, proyek pertanian atau usaha yang bergerak dalam pelayanan. Pada pola ini
Bank membiayai sebagian modal dengan syarat menerima bagian keuntungan
atau menanggung kerugian yang didapat dari hasil usaha berdasarkan persetujuan
dalam kontrak dan dalam jangka waktu yang telah disepakati. Dalam jangka
waktu kontrak tersebut, bagian modal Bank dibayar kembali oleh pengusaha
secara cicilan sehingga bagian modal pengusaha semakin besar dan pada akhir
kontrak pengusaha memiliki seluruh modal usahanya (Salam, 2000).
Pola pembiayaan musyarakah dimana keikutsertaan Bank adalah untuk
selamanya (permanent partisipation) pihak Bank membiayai bagian modal yang
dibutuhkan dalam usaha sehingga Bank menjadi pemegang saham dan ikut serta
mengelola usaha tersebut dengan ketentuan pihak Bank akan menerima bagian
keuntungan yang didapat atau menanggung kerugian dari usaha tersebut. Istilah
selamanya (permanent) disini mengacu pada masa berlakunya kontrak, pada saat
masa kontrak berakhir pihak Bank akan mengambil kembali bagian modalnya
(Arifin, 2002).
Keuntungan hasil usaha dengan pola pembiayaan musyarakah dibagi
kepada para pemilik modal yaitu Bank dan pengusaha setelah dikurangi biaya
pembagian keuntungan didasari oleh kontribusi modal yang diberikan, sedangkan
menurut mazhab Hanbali dan Hanafi pembagian keuntungan sedapat mungkin
dilakukan dengan fleksibel dengan memperhitungkan kontribusi modal serta
peran dalam pekerjaan atau tanggung jawab dalam kontrak. Sedangkan jika
terjadi kerugian, keempat mazhab sepakat bahwa kerugian tersebut harus
ditanggung bersama berdasarkan besarnya kontribusi modal (Saeed, A. 2004).
Dalam praktek perbankan islam, seperti yang dilakukan oleh Tadamon Islamic
Bank of Sudan bagian keuntungan bagi pengusaha ditentukan berdasarkan
kontribusi modal pengusaha dan kinerja yang dilakukannya, sehingga bagian
keuntungan pengusaha tersebut dapat naik atau menurun. Sedangkan jika
terjadi kerugian maka akan ditanggung oleh Bank dan pengusaha secara
bersama sesuai dengan kontribusi modalnya, kecuali jika kerugian tersebut
karena, kelalaian, kesalahan atau pelanggaran kesepakatan dalam kontrak
yang dilakukan oleh pengusaha maka kerugian ditanggung sepenuhnya oleh
pengusaha.
Jual Beli . Tiga pola utama jual beli dalam ekonomi syariah adalah pola
al-murabahah yaitu transaksi jual beli dengan keuntungan dimasukkan dalam
mark-up harga. Murabahah dapat digunakan untuk pembiayaan pengadaan bahan
baku bagi perusahaan. Misalnya perusahaan memerlukan bahan baku seharga Rp
20 juta. Untuk pembelian bahan baku tersebut perusahaan dapat meminta Bank
Syariah untuk membelikannya, tambahkan marjin keuntungan dan jual kembali
keperusahaan dengan harga , misalnya Rp 22 juta dengan pembayaran tunda
selama 3 bulan.
Pola as-salam yaitu pembelian barang dengan bayaran tunai dimuka
sedangkan barang diserahkan dikemudian hari. Pola ini dapat digunakan untuk
pembiayaan in-process stok. Misalkan perusahaan mendapat pesanan
memproduksi suatu barang dengan jumlah besar dalam waktu singkat. Untuk
mendapatkan uang tunai bagi operasionalnya perusahaan dapat melakukan
kontrak as-salam dengan Bank Syariah. Dengan kontrak ini maka barang yang
diproduksi akan menjadi milik Bank dan pemesan barang menjadi harus
berhubungan dan melakukan kontrak dengan Bank. Karena resiko yang ada
Kondisi yang harus dipenuhi dalam kontrak as-salam adalah pada saat
penandatanganan kontrak harga barang sudah harus dibayar dan waktu serta
tempat penyerahan barang dimasa datang harus sudah ditentukan. Selain itu
barang yang diperdagangkan harus dapat diantar, dan diukur kuantitas dan
kualitasnya sehingga memiliki perjanjian yang jelas.
Pola al-istishna yang mirip dengan as-salam dengan perbedaan terletak pada
sistem pembayaran oleh Bank yang bertahap sesuai dengan tahap penyelesaiana
pekerjaan produksi oleh perusahaan. Dengan demikian kontrak ini lebih sesuai
untuk produk dengan tahap penyelesaian yang jelas dan terukur.
Sewa. Pola yang sesuai dengan syariah untuk sewa adalah leasing atau
ijara, yaitu pemindahan hak guna atas barang melalui pembayaran sewa. Dua
macam leasing yaitu operasional leasing (Al Ijara) dan finansial leasing (Al Ijara
Al Muntahia Bit Tamlik). Pada operasional leasing tidak ada skim dimana
kepemilikan barang berpindah kepenyewa pada akhir masa leasing, sedangkan
pada finansial skim kepemilikan barang berpindah kepenyewa pada akhir masa
leasing. Peranan Bank dalam hal ini adalah dapat sebagai pembeli barang dan
kemudian meleasingkan keperusahaan.
Menurut Hamidi (2003), terdapat tiga bank umum syariah dan 17 unit usaha
syariah. Ketiga bank umum syariah tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia,
Bank Syariah Mandiri dan Bank Syariah Mega Indonesia. Berdasarkan data
Bank Indonesia jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah per
April 2005 sebesar Rp.14,39 triliun sedangkan penyaluran pembiayaan mencapai
Rp. 16,55 triliun angka ini menunjukkan kenaikan sebesar 75,7% dibandingkan
periode yang sama tahun 2004. Sayangnya dari total penyaluran pembiayaan
tersebut, sebagian besar (64,3%) memakai pola murabahah sedangkan yang
memakai pola bagi hasil dan bagi resiko (musyarakah atau mudarabah) hanya
sekitar 29,92%. Rendahnya porsi pembiayaan dengan pola bagi hasil bagi resiko
ini disebabkan resiko yang tinggi terutama pada pembiayaan usaha yang bersifat
produksi. Kemampuan menganalisa prospek dan resiko usaha secara baik sangat
diperlukan untuk meyakinkan perbankan syariah memberikan pembiayaan
Manajemen Resiko
Resiko adalah akibat dari setiap keputusan yang diambil atau dari
perubahan kondisi luar. Resiko dapat menimpa setiap tahap aktivitas perusahaan
mulai dari penyediaan bahan baku, proses pengolahan dan pemasaran. Resiko
juga dapat terjadi setiap saat dan umumnya saling berinteraksi dan selalu
berpotensi merugikan. Resiko dapat dikelola agar tidak merugikan, untuk itu
perlu identifikasi dan kuantifikasi potensi kerugian resiko. Resiko yang tidak
dapat diidentifikasi tidak dapat dikelola (Djohanputro, 2006).
Suatu keputusan atas pembiayaan suatu agroindustri minyak atsiri akan
memililki resiko rendahnya tingkat keuntungan yang didapat dari pembiayaan
yang dilakukan atau bahkan merugi hingga hilangnya modal pembiayaan yang
telah dikeluarkan.
Dua sumber yang menyebabkan dapat terjadinya resiko keputusan
pembiayaan adalah tidak berjalannya operasional usaha sesuai dengan kondisi
yang diasumsikan dalam evaluasi kelayakan pembiayaan yang dapat disebut
sebagai resiko usaha dan terjadinya dinamika industri yang menyebabkan asumsi
dalam evaluasi kelayakan menjadi tidak tercapai yang dapat disebut sebagai
resiko industri.
Parameter resiko industri yang dapat menyebabkan terjadinya resiko
pembiayaan adalah harga bahan baku yang lebih tinggi daripada perkiraan dan
harga produk yang lebih rendah daripada perkiraan. Kedua perubahan yang tidak
sesuai perkiraan tersebut dapat menyebabkan perkiraan laba operasional menjadi
rendah sehingga tingkat keuntungan pembiayaan usaha juga menjadi rendah.
Pada agroindustri minyak atsiri, resiko industri merupakan resiko murni.
Empat parameter resiko usaha yang dapat menyebabkan terjadinya resiko
pembiayaan adalah (1) ketersediaan bahan baku yang lebih rendah dari perkiraan
sehingga dapat menyebabkan asumsi tingkat frekwensi suling tidak tercapai yang
berakibat pada tidak tercapainya perkiraan laba operasional, (2) operasional
pengolahan dengan tingkat kinerja yang rendah yang menyebabkan rendahnya
kapasitas berjalan usaha, rendahnya rendemen yang didapat dan tingginya biaya
variabel sehingga perkiraan laba operasional menjadi tidak tercapai, (3)
sehingga perkiraan laba operasional menjadi tidak tercapai, (4) pengusaha mitra
usaha yang kurang berpengalaman sehingga pengelolaan usaha menjadi kurang
efisien, hubungan pengusaha miktra usaha dengan pemasok bahan baku dan
pembeli produk yang kurang baik sehingga dapat mengganggu pengadaan bahan
baku dan penjualan produk dan kurang seriusnya pengusaha mitra usaha dalam
mengelola usahanya.
Manajemen resiko pengadaan bahan baku. Resiko pengadaan bahan
baku merupakan parameter penting dalam resiko usaha agroindustri karena
ketersediaan bahan bakunya tergantung pada sektor pertanian yang memiliki
ketidakpastian yang tinggi (Soekartawi, 2000). Potensi resiko pengadaan bahan
baku terletak pada (1) sifat produksinya yang musiman, mudah rusak, bervariasi
dan bervolume besar, (2) sifat produsennya yang resisten terhadap inovasi dan (3)
sifat pasarnya yang tersebar secara geografis dan dalam unit-unit kecil dengan
jumlah yang banyak (Austin, 1992).
Resiko bahan baku dari aspek teknis meliputi kuantitas, kualitas dan
waktu pengadaan. Resiko kualitas dapat diperkecil melalui pengembangan
standar bahan baku yang dibutuhkan, peningkatan kepastian produsen dapat
memenuhi standar dan penyediaan insentif bagi produsen yang dapat memenuhi
standar produksi dan waktu.
Beberapa alternatif pola pengadaan bahan baku dalam memperkecil resiko
adalah (1) memproduksi sendiri bahan baku, (2) mengadakan kontrak pembelian
dengan petani, (3) membeli langsung dipasar terbuka dan (4) kombinasi dari cara
1,2 dan 3. Masing-masing alternatif memberikan implikasi yang berbeda dari
segi pembiayaan, pengendalian dan fleksibilitas (Brown, 1994).
Manajemen resiko proses pengolahan. Pemilihan teknologi
pengolahan yang tepat merupakan faktor penting dalam manajemen resiko
pengolahan. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kerusakan alat
pengolahan serta keahlian dan perilaku SDM. Resiko pengolahan dapat berakibat
pada terjadinya variasi proses atau bahkan produksi menjadi terhenti. Upaya
memperkecil resiko pengolahan dapat dilakukan dengan cara (1) melakukan
pengujian kemampuan produksi melalui simulasi kondisi operasi aktual secara
menelaah variasi proses yang terjadi dan penyebabnya meliputi tingkat
keseriusan dan frekwensi terjadinya, (3) menentukan alternatif perbaikan yang
dapat menghilangkan penyebab variasi proses sampai dibawah batas kendali
(Kolarik, 1995).
Salah satu upaya mengendalikan resiko pengolahan adalah dengan sistem
pengendalaian proses. Beberapa teknik perancangan sistem pengendalian proses
adalah melalui analisis mutu proses, kendalik tabel struktur dan bagan kendali
(Feigenbaum, 1996).
Manajemen resiko pemasaran. Resiko pemasaran yang dapat terjadi
adalah tidak tercapainya target penjualan baik dari segi volume maupun nilai
pendapatan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab resiko pemasaran adalah
kekurang siapan perusahaan memasuki pasar seperti tidak tepatnya program
bauran pemasaran yang diterapkan dan situasi eksternal yang tidak dapat
dikendalikan oleh perusahaan. Manajemen resiko pemasaran dilakukan melalui
pengenalan dan diagnosa masalah, menentukan sumber masalah, membuat dan
menerapkan rencana pemasaran yang tepat, serta melakukan evaluasi penerapan
rencana pemasaran. Resiko pemasaran dapat diperkecil malalui pengembangan
startegi pemasaran dengan memanfaatkan bauran pemasaran terintegrasi (Leod,
1995).
Manajemen resiko pengusaha mitra usaha. Resiko yang dapat terjadi
dari resiko ini adalah rendahnya kapasitas berjalan usaha, tidak efisiennya usaha
berjalan serta rendahnya motivasi pengusaha mitra usaha dalam menjalankan
usaha. Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab resiki ini adalah kurangnya
pengalama pengusaha, tingkat kontribusi investasi pengusaha mitra usaha yang
rendah, serta kurang baiknya hubungan pengusaha mitra usaha dengan pemasok
bahan baku maupun dengan pembeli produk. Resiko yang bersumber dari
pengusaha mitra usaha ini dapat diperkecil melalui peningkatan kontribusi
investasi pengusaha mitra usaha sehingga memiliki rasa tanggung jawab yang
lebih besar serta membuat hubungan yang harmonis antara pengusaha mitra
Sistem Penunjang Keputusan
Sistem penunjang keputusan (SPK) adalah suatu sistem berbasis
komputer untuk membantu pengambil keputusan mengatasi masalah
ketidaksehatan suatu struktur melalui interaksi langsung dengan data dan
model-model analisis (Sprague dan Carlson, 1982). Selanjutnya Eriyatno (1996)
menyatakan bahwa agar fungsi SPK tersebut dapat tercapai maka elemen-elemen
yang membangun struktur sistem yang menjadi perhatian harus dipaparkan secara
rinci.
Proses pengambilan keputusan dengan sistem penunjang keputusan ini
bersifat semi struktural, yaitu keputusan yang sebagian telah terstruktur dengan
jelas dan sebagian lagi merupakan penilaian subjektif dari pengambil keputusan.
Dengan demikian SPK harus mampu mengintegrasikan keduanya (Keen dan
Morton, 1978).
Karakteristik pokok dari teknik dasar sistem penunjang keputusan adalah
(Minch dan Burns, 1983): Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil
keputusan; dukungan menyeluruh dari keputusan bertahap ganda; sintesa
konsep-konsep dari bidang ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan, ilmu sistem
dan ilmu manajemen; dan mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan
dan dapat berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
Konsep model sistem penunjang keputusan adalah hubungan antara tiga
komponen utamanya yaitu pengguna, basis data dan basis model (Gambar 1).
Basis data yang digunakan dalam sistem penunjang keputusan dikreasi, diubah
dan dikontrol melalui suatu sistem manajemen basis data yang harus bersifat
interaktif dan fleksibel. Karakteristik basis data dalam SPK, pertama harus berisi
data internal dan eksternal mengingat dalam pengambilan keputusan, terutama
pada manajemen level atas, sangat dipengaruhi oleh data eksternal. Kedua,
proses ekstraksi data, yang dilakukan oleh manajemen basis data, harus cukup
fleksibel untuk mengikuti kecepatan tambahan dan perubahan data sebagai
respon terhadap permintaan pengguna yang tidak diantisipasi. Ketiga, pembuatan
data dasar harus terpisah dengan operasional pengolahan data dasar lainnya.
Kemampuan yang dibutuhkan dari sistem manajemen basis data adalah (Sprague
proses ekstraksi data; (2) Menambah, merubah dan membuang data secara cepat
dan mudah; (3) Menampilkan struktur data seperti yang diinginkan oleh
pengguna sehingga pengguna mengetahui apa yang tersedia dan dapat
menentukan tambahan atau pengurangan yang diperlukan; (4) Mengatur data
secara penuh terhadap jenis data yang luas.
Sistem manajemen basis model megelola, mengubah dan mengontrol
model komputasi data yang ada untuk pengambilan keputusan. Model tersebut
dapat berupa model finansial, statistik, atau kuantitatif lainnya. Kemampuan
kunci dari sistem manajemen basis model ini adalah (Sprague dan Watson,
1989): (1) Membuat model baru secara cepat dan mudah; (2) Mengatur
model-model yang banyak untuk dapat mendukung segala tingkat manajemen; (3)
Menghubungkan dengan tepat basis model dengan basis data.
DSS
Gambar 1. Struktur Sistem Penunjang Keputusan
Sistem manajemen dialog adalah sistem untuk komunikasi antara
pengguna dengan komputer. Sistem ini menerima masukan dari pengguna dan
memberikan keluaran atau hasil yang dikehendaki kepada pengguna. Modus
interaksi dalam sistem ini dapat berbentuk format tabel, grafik dan sebagainya. Pengguna
Model Data
Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Pengolahan Terpusat
Sistem pengolahan pusat merupakan koordinator dan pengendali dari
operasi sistem penunjang keputusan secara langsung dan menyeluruh. Sistem ini
menerima masukan dari ketiga sistem lainnya dalam bentuk yang baku dan
memberikan keluaran kepada ketiga sistem lain dalam bentuk yang baku pula.
Sistem Manajemen Ahli
Sistem manajemen ahli adalah integrasi antara sistem penunjang
keputusan dengan sistem berbasis pengetahuan yang diintegrasikan kedalam
komponen-komponen SPK tersebut. Sistem berbasis pengetahuan adalah suatu
sistem yang menangkap keahlian seorang ahli dalam suatu permasalahan tertentu
dan menstrukturisasi pengetahuan tersebut kedalam komputer sehingga dapat
mendekati kemampuan seorang ahli dalam permasalahan tersebut.
Pengembangan sistem manajemen ahli dilakukan melalui enam tahapan
yang bebas satu dengan lainnya (Eriyatno dan Hartrisari, 1995), yaitu: (1) seleksi
perihal; (2) pengembangan sistem prototipe; (3) pengembangan sistem ahli
lengkap; (4) evaluasi sistem; (5) integrasi sistem; (6) pemeliharaan sistem.
Komponen dari suatu sistem berbasis pengetahuan terdiri dari: basis
pengetahuan, yaitu representasi dari pengetahuan yang dibutuhkan yang didapat
dari mengakuisisi pengetahuan dari seorang ahli; mekanisme inferensi, yaitu
mekanisme untuk mengarahkan dan memanipulasi pengetahuan tersebut untuk
mencapai kesimpulan; dan interface masukan-keluaran, yaitu media interaksi
pengguna dengan sistem (Hart, 1986).
Akuisisi dan Representasi Pengetahuan. Akuisisi pengetahuan
dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan seorang ahli dalam memecahkan
suatu masalah dengan batasan tertentu. Dua hal yang penting dalam akuisisi
pengetahuan adalah penentuan ahli yang akan ditiru keahliannya dan cara
mendapatkan pengetahuan tersebut dari ahli yang terpilih.
Menurut Hart (1986) seseorang dapat dianggap ahli dilihat dari
pengalaman pribadinya yang menunjukkan kemampuannya memecahkan
persoalan dengan memuaskan, atau dari reputasi dan kedudukannya yang
Metode utama yang biasanya digunakan dalam mengakuisisi pengetahuan
adalah melalui wawancara berulang dan mendalam dengan sang ahli. Beberapa
petunjuk yang penting dalam melakukan wawancara untuk mengakuisisi
pengetahuan pakar adalah (Hart, 1986): (1) Harus spesifik, yaitu persoalan yang
ditanyai harus spesifik dan sangat dikuasai oleh ahli tersebut; (2) Jangan
memaksakan alat bantu tertentu pada sang ahli, akan tetapi membiarkan sang ahli
menjelaskan memakai alat bantu yang dikuasainya; (3) Jangan menyelang
pembicaraan sang ahli; (4) Mencatat semua informasi yang diberikan sang ahli;
(5) Cermati bagaimana cara sang ahli menggunakan pengetahuannya dalam
memecahkan masalah yang ditanyakan.
Pengetahuan yang didapat dari para ahli dapat diorganisir dengan
beberapa cara untuk memberikan hasil representasi pengetahuan secara baik.
Satu hal yang penting adalah jika hasil representasi pengetahuan tidak dapat
dimengerti oleh pengguna maka representasi tersebut salah (Stein, 1996). Tiga
metode representasi pengetahuan adalah metode jaringan semantik, production
rules, dan frames (Turban dan Aronson, 2001).
Jaringan semantik adalah gambaran berupa grafik dari pengetahuan yang
dikomposisikan dalam simpul dan panah penghubung yang memperlihatkan
hubungan hirarki antar simpul tersebut. Simpul dapat berupa representasi dari
objek, konsep, kejadian atau atribut lain dari objek. Sedangkan panah
penghubung menunjukkan bentuk hubungan antar simpul yang dihubungkan oleh
panah tersebut. Hal menarik dari jaringan semantik ini adalah dapat
memperlihatkan hubungan transmisi alami antar simpul seperti dapat dilihat pada
Gambar 2.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa sentra objek jaringan semantik adalah
minyak akarwangi. Salah satu hubungan menunjukkan minyak akarwangi
sebagai hasil dari penyulingan yang berbahan baku akarwangi yang diuhasilkan
dari usahatani. Hubungan lain memperlihatkan akarwangi adalah jenis minyak
atsiri yang merupakan komoditas ekspor. Selain itu minyak akarwangi juga
sebagai bahan baku untuk obat-obatan, kosmetik, sabun, parfum dan insektidida
berbahan baku
adalah
[image:36.612.156.533.107.316.2]bahan bahan bahan
Gambar 2. Contoh Jaringan Semantik
Production rules merepresentasikan pengetahuan dalam bentuk pasangan
kondisi-aksi, yaitu bentuk IF kondisi (premis atau anteseden) ini muncul Then
aksi (hasil, konklusi atau konsekuensi) tertentu akan atau seharusnya muncul.
Production rules dapat dalam beberapa bentuk yang berbeda, yaitu:
1. IF premis, THEN conclusion. Contoh: IF harga minyak akarwangi
meningkat, THEN harga terna akarwangi akan meningkat.
2. Conclusion, IF premis. Contoh: Harga terna akarwangi akan meningkat,
IF harga minyak akarwangi meningkat
3. Inclusion of ELSE. Contoh: IF produktivitas usahatani akarwangi tinggi
OR harga terna akarwangi tinggi, THEN pendapatan petani akarwangi
tinggi, OR ELSE pendapatan petani akarwangi rendah.
4. Rule yang lebih komplek. Contoh: IF peluang keuntungan usaha tinggi
AND tingkat resiko usaha rendah, OR nilai agunan lebih besar dari nilai
pinjaman AND kredibilitas pengusahanya tinggi, THEN pinjaman
pembiayaan usaha dapat dikabulkan. Minyak Akarwangi Minyak
Atsiri
Penyulingan
Komoditi Ekspor
Akarwangi
Usahatani
Obat-obatan
Kosmetika Sabun Parfum
Insektisida nabati adalah
hasil
hasil
Frame adalah suatu struktur data yang berisi seluruh pengetahuan tentang suatu objek. Pengetahuan tersebut diorganisir dengan struktur hirarki tertentu
yang memungkinkan melakukan diagnosis pengetahuan secara independen. Dua
elemen dasar dari frames adalah slots dan facets. Slots adalah satu set atribut dari
objek yang direpresentasikan dalam frames, contohnya dalam frame minyak atsiri
akan ada slots jenis minyak, asal bahan baku, bahan aktif, negara produsen,
harga. Setiap slots akan memiliki beberapa facets, yaitu pengetahuan atau
informasi tentang atribut dari slots. Suatu sistem ahli biasanya menggunakan
beberapa macam frame yang berhubungan secara hirarki. Contoh frame minyak
atsiri dan ”anaknya” yaitu frame minyak akarwangi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Frame minyak atsiri dan ”anaknya”, frame minyak akarwangi.
Teknik Inferensia. Inferensia adalah suatu proses memanipulasi fakta
atau pengetahuan yang ada untuk mendapatkan solusi atau simpulan. Sedangkan
teknik inferensia adalah prosedur untuk mendapatkan penelusuran dan
pengendalian bagi proses mengemukakan pendapat (Eriyatno, 1999). Dua
prosedur yang paling terkenal adalah forward chaining dan backward chaining.
Backward Chaining. Adalah prosedur teknik inferensia dengan
pendekatan goal-driven. Prosedur ini dimulai dari kejadian yang diharapkan
yang diikuti dengan pencarian fakta yang mendukung kejadian yang diharapkan Nama: Minyak Atsiri
Slots Facets
Jenis Nilam, Akarwangi, Seraiwangi, Cengkeh.
Bahan aktif Patchouly, vetiverol, citroneral, eugenol
Produsen Indonesia, China, Haiti, Rumania, Madagascar
Harga 20.000 – 450.000
Nama: Minyak akarwangi
Slots Facets
Jenis Akarwangi
Bahan aktif Vetiverol
Produsen Indonesia, Haiti
tersebut. Jika ternyata kejadian yang diharapkan (goal) tidak didukung oleh fakta
yang ada yang berarti tujuan tersebut gagal, atau jika tujuan tersebut terbukti
benar karena didukung oleh fakta yang ada, maka tujuan lainnya mulai diproses.
Contoh prosedur backward chaining:
Tujuan: Memberikan pinjaman pembiayaan usaha agroindustri minyak atsiri
akarwangi
Variabel yang ada adalah:
A = NPV Usahatani tanaman akarwangi > Rp 10 juta/ha
B = Bahan baku agroindustri minyak atsiri akarwangi selalu tersedia
C = Biaya penyulingan diluar bahan baku < Rp 40 rb/kg minyak akarwangi
D = Harga terna akarwangi > Rp 1 600/kg
E = Harga minyak atsiri akarwangi > Rp 200 rb/kg
F = Harga minyak akarwangi > 125 persen harga ternanya
G= Kelembagaan industri minyak akarwangi efisien
H = Resiko agroindustri minyak atsiri akarwangi rendah
I = Prospek keuntungan usaha agroindustri minyak atsiri akarwangi tinggi
J = Pinjaman pembiayaan usaha agroindustri minyak akarwangi layak diberikan
Diasumsikan diketahui fakta bahwa C dan G benar.
Sedangkan 5 rules yang berdasarkan basis pengetahuan yang ada adalah:
R1: IF D THEN A
R2: IF A THEN B
R3: IF B AND C THEN H
R4: IF D AND E THEN F
R5: IF F AND G THEN I
R6: IF H AND I THEN J
Langkah prosedur backward chaining adalah:
Langkah 1: Tetapkan H sebagai tujuan, dan akan ditelusuri apakah didukung
fakta yang ada atau tidak.
Langkah 2: Berdasarkan rule 6, J akan benar jika H dan I benar. Jika diketahui
bahwa H dan I benar maka masalah selesai, akan tetapi ternyata H
Langkah 3: H benar jika B dan C benar. Diketahui C benar, akan tetapi B belum
diketahui kebenarannya. B benar jika A benar untuk itu harus
diketahui kebenaran A.
Langkah 4: A akan benar jika D benar, akan tetapi D tidak dapat disimpulkan
oleh rule yang ada, oleh karena itu komputer perlu bertanya kepa