(Hylobates agilis albibarbis) DI TAMAN NASIONAL
SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH
SUYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Morfologi Dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
Suyanti
SUYANTI. Analisis Morfologi dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan ANI MARDIASTUTI.
Kalawet (H.a. albibarbis) merupakan salah satu spesies Hylobates yang terdapat di kalimantan dan dapat dijumpai di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) CIMTROP Universitas Palangkaraya, di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli s/d Oktober 2005 di LAHG dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi dan ekologi (populasi dan habitat) kalawet. Pengamatan morfologi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan untuk survei populasi line transect sampling. Pengamatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum vegetasi dan profil pohon, yang hasilnya digambarkan dalam bentuk diagram profil habitat. Wawancara kepada masyarakat di sekitar kawasan LAHG juga dilakukan untuk mendapatkan informasi aktivitas masyarakat sekitar Taman Nasional.
Karakteristik kualitatif bagian tubuh kalawet mempunyai warna rambut yang beragam yaitu hitam, putih, coklat muda dan coklat tua. Karakteristik kuantitatif dari segi ukuran tubuh kalawet jantan dewasa lebih besar dari jantan remaja dan betina dewasa. Bobot badan jantan dewasa 4,0±1,0 kg, jantan remaja 3,1±0,5 kg dan betina dewasa 3,9±0,7 kg. Dari segi bentuk tubuh antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja sama, sebaliknya antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Hasil survei populasi dengan luas daerah survei 6,0 km2 di tipe hutan gambut campuran ditemukan 15 kelompok kalawet dengan jumlah anggota kelompok 2-4 individu. Kepadatan populasi 7,67 individu/km2 dengan kepadatan kelompok 2,5 kelompok/km2 dan rata-rata ukuran kelompok 3 individu/kelompok. Stratum vegetasi yang paling banyak digunakan kalawet adalah stratum B (60%) yang tingginya lebih dari 15-25 m dari permukaan tanah. Untuk jenis pohon yang paling umum ditemukan Callophyllum canum, Palaquium leiocarpum,
Camnosperma coriaceum, Syzygium clavatum, Callophyllum sclerophyllum dan
Diospyros pseudomalabarica. Masyarakat tidak melakukan perburuan terhadap kalawet, perburuan di LAHG hanya pada babi hutan, kelelawar, burung, ular dan biawak.
SUYANTI. Morphological and Ecological Analyses of Kalawet (Hylobates
agilis albibarbis) in Sebangau National Park, Central Kalimantan, under
supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and ANI MARDIASTUTI.
Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) is one species of Hylobates naturally in Kalimantan and can be found in Natural Peat Swamp Forest Laboratory (LAHG) CIMTROP of Palangkaraya University, Sebangau National Park, Central Kalimantan. This research was aimed to assess the morphology and ecology (population and habitat) of kalawet. It was carried out in July up to October 2005. The morphological characteristics of kalawet were observed qualitatively and quantitatively. The line transects sampling method was used to survey population. Whereas, habitat study focused on vegetation stratum and tree profile uses, and the characteristics of habitat was shown in a habitat profile diagram. Interview with community surrounding, who live around the park, aimed to collect information about community’s activities related with kalawet.
The qualitative characteristics of kalawet were varied on hair color, such as white, black, light brown and dark brown. Whereas, the quantitative characteristics, in case of body size of adult males were bigger than juveniles and adult females. The body weight of adult males were 4,0±1,0 kg, the juvenile males were 3,1±0,5 kg and the adult females were 3,9±0,7 kg. In case of body shape, the adult and juvenile males were similar, while the adult males and the adult females were different. The results of population survey of 6 km2 of mixed swamp forest were found 15 groups of kalawet, which consisted of 2-4 individuals/group. The population density were 8 individuals/km2 with group density were 2,5 groups/km2 and the average of group size were 3 individuals/group. The most vegetation stratum used by kalawet was B (60%), which had more than 15-25 m from the ground. The most general trees found were Callophyllum canum, Palaquium leiocarpum, Camnosperma coriaceum,
Syzigium clavatum, Callophyllum sclerophyllum and Dyospyros pseudomalabarica. The local communities did not hunt on kalawet, but in LAHG, they did hunt on wild boars, cave bats, birds, snakes and lizards.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
albibarbis) DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH
SUYANTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah
Nama : Suyanti
NRP : P. 057030031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan serangkaian penelitian hingga penulisan tesis yang berjudul “Analisis Morfologi Dan Ekologi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah”.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini dapat terlaksana dengan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan peghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc,
masing-masing sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari pesiapan, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. 2. Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si, yang telah meluangkan waktu dan berkenan
menjadi penguji luar komisi atas segala saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Drh. Joko Pamungkas, M.Sc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) beserta staf, yang telah memberikan fasilitas selama perkuliahan. 4. Ir. Hi. Ilyas Mekka (mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali)
dan Drh. Sujanarto (Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah), yang telah memberi izin tugas belajar; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Primatologi serta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di SPs-IPB.
5. Direktur CIMPTROP Universitas Palangkaraya, Ir. Suwido H. Limin, MS, dan staf atas izin, fasilitas dan bantuan yang diberikan dalam melakukan penelitian di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG).
6. Saudara Dr. drh. Hery Wijayanto, MP; Dr. Ir. Yulius Duma, MS; Moh. Irfan S.Pt, M.Si; Ir. M.R. Yantu, MS; Ir. Wardah, MFSc; Ir. Rizal Tantu, M.Si; rekan-rekan seangkatan 2003, rekan-rekan-rekan-rekan mahasiswa Primatologi (HIMAPRIMA), serta rekan-rekan mahasiswa pacasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST) di Bogor, atas bantuan dan dukungannya langsung maupun tidak langsung selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.
dan dukungan moral kepada penulis.
Kepada suamiku tercinta Hardi Mustakim dan anak-anakku tersayang Anda Ryan Syah, Mahvicka Ariyani dan Nugrah Setiawan, terima kasih atas segala kesabaran, pengertian, pengorbanan dan dukungan yang diberikan, yang senantiasa menyemangati penulis dalam penyelesaian tesis.
Akhirnya dengan penuh rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada ayahanda Drs. Hi. Tato Masitudju dan ibunda Hj. Zamani. Hi. Laraga yang telah dengan sabar mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan senantiasa mendorong dan memberikan semangat kepada penulis untuk terus melangkah meraih pendidikan yang lebih tinggi.
Semoga karya ilimiah ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2007
penulis
Penulis dilahirkan di Palu pada tanggal 10 Juni 1972 dari ayah Drs. Hi. Tato Masitudju dan ibu Hj. Zamani Hi. Laraga. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1985 di SDN 15 Palu. Tahun 1988 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Palu dan tahun 1991 menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Karya Palu. Pada tahun 1991 pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Tadulako dan lulus pada tahun 2000.
Di tahun 2000 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. Tahun 2003 penulis diterima masuk ke Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Primatologi. Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
Kerangka Pemikiran ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran ... 5
Morfologi ... 7
Ekologi ... 8
Populasi dan Kepadatan Populasi ... 9
Habitat ... 11
Stratifikasi ... 12
Pakan ... 13
Interaksi Masyarakat dengan Hutan ... 14
Status Konservasi ... 15
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Luas dan Letak ... 16
Dasar Hukum ... 17
Topografi dan Tanah ... 17
Iklim ... 17
Potensi Flora dan Fauna ... 18
Pencapaian ke Lokasi ... 19
Profil Kelurahan Kereng Bangkirai ... 19
MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi Penelitian ... 21
Tempat dan Waktu ... 21
Alat dan Bahan ... 21
Metode Penelitian ... 22
Cara Pengumpulan Data ... 22
Morfologi ... 22
Ekologi ... 26
Populasi ... 26
Tipe Habitat ... 28
Profil Habitat ... 28
Stratum Vegetasi ... 29
Sumber dan Jenis Pakan ... 29
Survei Aktivitas Masyarakat ... 30
Sifat Kuantitatif ... 32
Ukuran Tubuh Kalawet ... 32
Hasil dan Analisis Komponen Utama ... 34
Perbandingan Ukuran dan Bentuk Kalawet Jantan Dewasa, Jantan Remaja dan Betina Dewasa ... 37 Populasi ... 38
Komposisi Kelompok ... 38
Ukuran Kelompok ... 41
Kepadatan Populasi ... 42
Habitat ... 45
Tipe Habitat ... 45
Profil Habitat ... 47
Pemanfaatan Stratum Vegetasi ... 52
Sumber Pakan ... 54
Aktivitas Masyarakat ... 57
SIMPULAN ... 64
SARAN ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
Halaman
1 Estimasi kepadatan populasi Hylobates agilis ...... 10
2 Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet ... 23
3 Deskripsi morfologi eksternal kalawet ... 31
4 Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran kalawet jantan dewasa dan jantan remaja ... 33
5 Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran kalawet jantan dewasa dan betina dewasa ... 34
6 Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa .. 35
7 Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T0 ... 39
8 Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T1A ... 40
9 Jumlah dan komposisi kelompok kalawet pada jalur T2... 41
10 Estimasi populasi kalawet di lokasi penelitian ... 42
11 Persentase pemanfaatan stratum oleh kalawet ... 52
Halaman
1 Bagan alur kerangka pemikiran ... 4
2 Peta penyebaran kalawet (H.a. albibarbis) ... 6
3 Kalawet (H.a. albibarbis) jantan remaja ... 7
4 Profil pohon yang melintasi hutan rawa gambut ... 12
5 Peta taman nasional sebangau ... 16
6 Laboratorium alam hutan gambut CIMTROP UNPAR ... 21
7 Bagian tubuh kalawet yang diukur ... 24
8 Sketsa transek pengamatan ... 28
9 Profil kalawet (H.a. albibarbis) ... 32
10 Perbandingan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ... 37
11 Profil vegetasi di LAHG TN. Sebangau ... 46
12 Diagram profil pohon dijalur T0 ... 49
13 Diagram profil pohon dijalut T1A ... 50
14 Diagram profil pohon dijalur T2 ... 51
15 Sampel pakan kalawet di LAHG, Blumeodendron tokbrai,Ficus sp dan Gnetum sp ... 54
16 Jenis mata pencaharian masyarakat ... 57
17 Kayu log dihanyutkan di sungai ... 58
18 Jenis kayu yang ditebang ... 59
19 Kebakaran hutan di sekitar kawasan LAHG ... 60
20 Tingkat perburuan pada lokasi penelitian ... 61
Halaman
1 Data umum kalawet ... 70
2 Hasil analisis komponen utama kalawet jantan dewasa ... 71
3 Hasil analisis komponen utama kalawet jantan remaja ... 72
4 Hasil analisis komponen utama kalawet betina dewasa ... 73
5 Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan jantan remaja ... 74
6 Hasil uji-t antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa ... 77
7 Persamaan ukuran dan bentuk tubuh dengan keragaman total dan nilai eigen (Eigen value) pada kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ... 80
8 Nilai koefisien korelasi dengan komponen utama I (ukuran) dan komponen utama II (bentuk) antara kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa ... 81
9 Data survei populasi pada setiap jalur penelitian ... 82
Latar Belakang
Tak dapat dipungkiri bahwa lokasi Indonesia di daerah tropik dan keragaman floranya sangat mendukung kehidupan satwa yang ada di dalamnya. Tidak mengherankan, jika Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam jenis satwa primata terkaya di dunia. Namun, tekanan yang besar terhadap keberadaan keanekaragaman hayati menempatkan Indonesia sebagai negara dengan daftar jenis satwa terancam punah tertinggi pula.
Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) adalah salah satu spesies Hylobates
yang dapat dijumpai di Kalimantan dan Sumatera. Pada CITES, kalawet dicantumkan dalam Appendix I (Soehartono & Mardiastuti 2002) dan IUCN mengkategorikannya sebagai spesies yang lower risk. Perbedaan utama kalawet dengan spesies lainnya adalah pada morfologi, pola suara dan struktur genetiknya. Kalawet dalam penyebarannya dapat dijumpai di hutan rawa gambut Kalimantan Barat dan Tengah (Supriatna & Wahyono 2000).
Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau merupakan bagian dari Taman Nasional Sebangau yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau. Secara administratif kawasan ini meliputi Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Kawasan Sebangau merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan rawa gambut yang masih tersisa di Kalimantan Tengah dengan ketebalan gambut mencapai 12 m dan memiliki karakteristik ekosistem yang unik di tinjau dari jenis tanah, topografi, hidrologi, flora dan fauna, serta memiliki ciri khas air hitam, dan juga merupakan habitat orang utan, binturung, beruang madu, kalawet dan kelasi (Drasospolino 2004).
merusak struktur lahan gambut. Selain itu, masalah lain yang tidak bisa dikendalikan seperti kebakaran hutan yang sering terjadi di sekitar kawasan tersebut.
Dengan berbagai tekanan ini, sudah dapat dipastikan bahwa kehidupan kalawet di alam mengalami penurunan dan tidak menutup kemungkinan suatu ketika akan mengalami kepunahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka perlu diupayakan berbagai macam pendekatan konservasi.
Dalam upaya konservasi kalawet, diperlukan pemahaman tentang aspek kehidupan alami, antara lain aspek morfologi dan ekologinya. Oleh karena itu, suatu penelitian akan dilakukan untuk mempelajari morfologi dan ekologi kalawet yang terdapat di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau, Kalimantan Tengah. Ketersediaan data ini diharapkan dapat melahirkan rekomendasi yang berkaitan dengan upaya konservasi kalawet, agar keberadaannya dapat dipertahankan dan dilestarikan.
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan karakteristik morfologi secara kualitatif dan kantitatif terhadap kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa.
2. Mengetahui keadaan ekologi (populasi dan habitat) kalawet di Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya, Taman Nasional Sebangau
3. Mendapatkan informasi sikap dan aktivitas masyarakat yang terkait dengan keberadaan kalawet di sekitar kawasan.
Manfaat Penelitian
1. Menggunakan informasi karakteristik morfologi dan ekologi kalawet sebagai dasar pijakan dalam pengembangan dan strategi konservasi.
Kerangka Pemikiran
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi, dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk banyak kepentingan manusia, meliputi berbagai aspek kehidupan baik untuk kepentingan ekologis, ekonomis, sosial maupun kebudayaan. Manusia memanfaatkan dengan berbagai cara dan seringkali menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat dan penurunan populasi satwa liar, bahkan telah menyebabkan beberapa jenis satwa liar termasuk satwa primata terancam kepunahan (Gambar 1).
Pemecahan Masalah Melalui Penelitian
Analisis : Morfologi
Analisis :
- Karakteristik
populasi (ukuran kelompok, komposisi kelompok dan kepadatan populasi)
Analisis : -Tipe habitat - Profil habitat - Pemanfaatan
stratum - Sumber pakan
Analisis : Sikap masyarakat
Rekomendasi Konservasi Permasalahan
Kurangnya informasi karakteristik biologi
Penurunan populasi
Kurangnya kesadar
an
konservasi
Penyempitan habitat Kalawet (H.a.albibarbis)
Gambar 1 Bagan alur kerangka pemikiran
Taksonomi dan Penyebaran
Hylobates merupakan salah satu genus dari famili Hylobatidae. Menurut Geissman (2003), Hylobatidae terdiri dari empat genus dan 12 spesies yang hidup tersebar di kawasan hutan tropik Asia Tenggara, yaitu
1) Genus Nomascus Miller, 1933 terdiri dari empat spesies: a) Nomascus concolor,
b) Nomascus gabriellae, c) Nomascus leucogenys, dan
d) Nomascus nasutus menyebar di China, Hainan, Laos, Vietnam dan Kamboja;
2) Genus Symphalangus Glonger, 1841: Symphalangus syndactylus, menyebar di Sumatera dan Malaysia;
3) Genus Bunopithecus: Matthew dan Granger, 1923: Bunopithecus hoolock, menyebar di Assam, Bangladesh dan Myanmar;
4) Genus Hylobates Illiger, 1811 terdiri dari 6 spesies: a) H. pileatus, menyebar di Thailand dan Kamboja, b) H. klossii, menyebar di Kepulauan Mentawai, c) H. lar, menyebar di Sumatera bagian utara, d) H. moloch, menyebar di Pulau Jawa, e) H. muelleri, menyebar di Kalimantan, dan
f) H. agilis, menyebar di Sumatera, Kalimantan, Malaysia dan Thailand.
Hylobates agilis memiliki tiga subspesies, yakni (a) Hylobates agilis agilis, yang menyebar di dataran tinggi Sumatera bagian barat dan semenanjung Malaysia, (b) Hylobates agilis ungko, menyebar di dataran rendah Sumatera bagian timur, dan (c) Hylobates agilis albibarbis, menyebar di Kalimantan Barat dan Tengah, dibagian utara di batasi oleh Sungai Kapuas, di timur dibatasi oleh Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito (Gambar 2) (Chivers 2001).
Nama lokal Hylobates agilis menurut Supriatna & Wahyono (2000) lebih dikenal dengan nama wau-wau (Kalimantan), ungko tangan hitam (Sumatera) dan kelawat (bagian selatan Sumatera). Di Kalimantan Tengah Hylobates agilis albibarbis dikenal dengan nama kalawet. Klasifikasi Hylobates agilis albibarbis
Kerajaan : Animalia,
Filum : Chordata,
Subfilum : Vertebrata,
Kelas : Mamalia,
Ordo : Primata,
Subordo : Anthropoidea, Infraordo : Catarrhini, Superfamili : Hominoidea, Famili : Hylobatidae, Genus : Hylobates,
Spesies : Hylobates agilis,
Subspesies : Hylobates agilis albibarbis, dan Nama lokal : Kalawet
Di daerah hulu Sungai Barito (Barito Ulu) sebagai batas daerah sebaran
Hylobates agilis albibarbis dan Hylobates muelleri dilaporkan telah terjadi hibrida di antara keduanya (Marshall & Sugardjito 1986, McConkey et al. 2003). Selain di Barito Ulu, hibrida juga terjadi di Semenanjung Malaysia antara Hylobates agilis dengan Hylobates lar, dan di Thailand terjadi hibrida antara Hylobates lar
dengan Hylobates pileatus (Brockelman dan Gittins 1984). Morfologi
Genus Hylobates merupakan kera kecil tak berekor, mempunyai kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil, rongga dada pendek tetapi lebar, serta memiliki rambut tebal dan halus (Chivers 1977).
Menurut Groves (2001) pada genus Hylobates baik jantan maupun betina mempunyai ukuran tubuh relatif sama. Gambaran sifat-sifat pada tubuh ditunjukkan dengan seluruh tubuh ditutupi oleh rambut berwarna abu-abu, kecoklatan hingga hitam. Rambut yang tumbuh pada tangan berwarna hitam dan umumnya lebih gelap dari bagian tubuh lainnya, sehingga sering disebut
black/dark-handed gibbon. Pada umumnya memliki garis lengkungan putih pada alis (white brow) sampai pipi (cheek patches). Garis lengkungan putih di sekeliling wajah pada jantan lebih jelas daripada betina. Profil kalawet jantan dapat dilihat pada Gambar 3.
Pada betina, garis putih di pipi (cheek patches) berangsur hilang pada umur sekitar enam tahun atau menjelang dewasa. Kalawet betina dewasa, yang dipelihara pada kondisi cahaya yang kurang atau defisiensi nutrisi dapat kehilangan garis putih pada alis (GCC 2004).
Satwa primata yang tergolong satwa arboreal (termasuk kalawet) mempunyai bentuk empat jari yang panjang dan ibu jari yang lebih kecil, morfologi telapak tangan berupa segitiga dan datar, mempunyai telapak tangan dan pergelangan tangan yang panjang, demikian pula telapak kaki dan pergelangan kakinya, yang merupakan adaptasi mereka untuk brakhiasi/berayun dan menggantung di tajuk-tajuk pohon (Napier & Napier 1967).
Genus Hylobates memiliki rumus gigi 2 1 2 3/2 1 2 3 = 32, dengan gigi seri kecil dan sedikit ke depan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang, ada sedikit perbedaan antara ukuran jantan dan betina. Diastema terdapat di rahang atas untuk gigi taring bawah. Premolar atas dan bawah berbentuk bikuspid. Premolar bawah pertama berbentuk sektorial. Molar atas berbentuk kuadrikuspid yang menunjukkan tipe hominoidea dan molar bawah berbentuk kuinkuekuspid (Napier & Napier 1985).
Sariyani (2003) melaporkan ciri yang menonjol pada kalawet jantan adalah jumbai seperti ekor yang menutupi skrotum (scrotal tuft). Scrotal tuft
berwarna hitam dengan kerapatan rambut bervariasi. Besar klitoris pada kalawet betina sama besarnya dengan ujung penis pada jantan.
Panjang tubuh kalawet berkisar antara 45-55 cm dengan bobot badan antara 5–7 kg. Hidup membentuk keluarga atau pasangan (monogamous) dengan satu atau dua anaknya yang belum dewasa (Collinge 1993). Indeks intermembral sebesar 121 (Rowe 1996). Masa kehamilan antara 7–8 bulan, dengan jarak kelahiran satu anak dengan anak berikutnya sekitar 38 bulan, dan individu yang siap melakukan perkawinan berumur sekitar 8–9 tahun (Supriatna & Wahyono 2000) dengan masa hidupnya mencapai 30-40 tahun (Napier & Napier 1985).
Ekologi
organisme, menyangkut kelangsungan hidup individu, kelangsungan hidup jenisnya (populasi), dan kelangsungan hidup komunitas.
Menurut Suin (2003) lingkungan abiotik terdiri dari litosfir (tanah) adalah bahan, tipe, struktur, tekstur, warna serta faktor fisika dan kimia tanah lainnya. Adapun yang tergolong hidrolisfir (air) adalah arus, kedalaman, suhu, kekeruhan, bahan-bahan terlarut, dan faktor fisika-kimia lainnya dan unsur-unsur atmosfir antara lain adalah iklim, cuaca, angin dan suhu. Lingkungan biotik adalah totalitas dari semua organisme yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Bila sejenis organisme oleh karena sesuatu hal, sampai pada suatu daerah baru yang pada mulanya tidak ada di daerah itu, maka organisme itu akan berusaha untuk menetap dan selanjutnya bereproduksi disana. Apabila di lokasi baru itu keadaan lingkungan abiotik dan biotiknya dapat mendukung organisme tersebut untuk berkembang biak dengan baik, maka akan bertambahlah jumlahnya, dengan kata lain populasi organisme tersebut akan bertumbuh kepadatan populasinya. Sebaliknya apabila keadaan lingkungan tidak mendukung untuk kelangsungan kehidupannya, maka organisme tersebut akan berusaha pindah ke tempat yang lain. Organisme yang tidak dapat berpindah seperti tumbuhan dan hewan-hewan yang tingkat mobilitasnya rendah akan mati. Dengan demikian jelaslah bahwa faktor lingkungan sangat menentukan keberadaan dan kepadatan populasi suatu organisme di suatu daerah.
Populasi dan Kepadatan Populasi
Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu serta memiliki ciri/sifat khusus kelompok dan bukan ciri individu. Ciri tersebut antara lain kerapatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik dan pertumbuhan (Anderson 1985).
Suatu populasi dapat menempati wilayah yang sempit sampai yang luas tergantung pada spesies dan kondisi daya dukung habitatnya. Kebutuhan dasar populasi adalah untuk berlindung, makan, bergerak dan berkembang biak. Populasi dapat stabil, berkembang atau menurun yang disebabkan oleh: (1) keadaan lingkungan hidup satwa seperti makanan, tempat tinggal, pelindung dan lain-lain (2) keadaan sikap hidup satwa yaitu kelahiran, kematian dan survival, serta (3) perpindahan satwa (Alikodra 2002).
terjadinya perubahan lingkungan, dan faktor dalam seperti interaksi antara individu (persaingan, pemangsaan dan penyakit), yang menyebabkan terjadinya perkembangan atau penurunan kepadatan. Brockelman & Srikosamatara (1993) menambahkan bahwa kepadatan populasi Hylobates dapat diperkirakan dengan mendengarkan nyanyian bersama pada tiap teritorial kelompok monogami.
Kalawet telah kehilangan sekitar 66% habitatnya yang semula cukup luas, yaitu sekitar 500.000 km² menjadi 170.000 km². Diperkirakan pada tahun 1986 populasi kalawet yang tertinggal di alam hanya sekitar 30.000 ekor, dan dapat dipastikan populasinya sampai saat ini semakin jauh berkurang dibanding data tahun 1986 di atas. Kini kalawet hanya hidup di dalam kawasan konservasi di Kalimantan dan Sumatera (Supriatna & Wahyono 2000).
Umumnya populasi satwa primata menghadapi beberapa ancaman karena faktor destruksi dan fragmentasi habitat, perburuan dan penangkapan untuk konsumsi atau tujuan lain. Faktor tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: tingkat dan jenis aktivitas manusia, tradisi perburuan lokal, jumlah permintaan satwa primata untuk hewan piaraan semakin meningkat dan untuk diperjualbelikan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi
Hylobates agilis di Sumatera dan Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Estimasi kepadatan populasi Hylobates agilis
Lokasi Densitas (ekor/km²)
Sumber
TN. Gunung Palung
TN. Way Kambas Sumatera TN. Kerinci Seblat Sumatera
Kawasan Lindung HPHTI Riau
Sebangau, Kalimantan Tengah Yanuar & Sugardjito 1993
Yanuar 2001
Apriadi 2001
Buckley 2004
*) Hylobates agilis albibarbis
Palung sudah di tetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa dan kemudian pada tahun 1990 ditetapkan sebagai taman nasional, sedangkan LAHG Sebangau merupakan bekas konsesi HPH dan baru ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2004. Dengan kata lain kondisi habitat di TN Gunung Palung jauh lebih baik daripada TN Sebangau sehingga kepadatan populasi kalawetnya lebih tinggi.
Habitat
Habitat adalah suatu tempat hidup organisme atau individu biasanya ditemukan dan berkembang biak secara alami. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim (makro, mikro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegetasi dan satwa (Smieth 1986). Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Sebaliknya, habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Alikodra 2002).
Habitat satwa primata dapat ditemukan di hutan tropik dataran tinggi, hutan dataran rendah, hutan mangrove dan hutan rawa gambut. Hutan rawa gambut adalah hutan yang tumbuh diatas gambut yang tebalnya berkisar antara 1 – 20 m. Gambut dan air yang mengaliri bersifat asam dengan pH rata-rata 3,5 – 4,0. Ini tentunya menjadikan tanah sangat miskin akan unsur hara (oligotrof), khususnya kalsium. Hutan ini juga merupakan suatu ekosistem yang cukup unik, karena tumbuhnya diatas tumpukan bahan organik yang melimpah dan hidupnya tergantung pada hujan. Tumbuhan yang hidup pada daerah ini adalah jenis-jenis Shorea sp, Dacrydium sp, Calophyllum sp, dan Alstonia sp (Arief 1994).
Gambar 4 Profil pohon yang melintasi hutan rawa gambut (MacKinnon et al. 2000)
Monyet, owa dan bahkan orang utan ditemukan di hutan rawa gambut, tetapi dengan kerapatan yang lebih rendah. Macaca fascicularis dan Presbytis cristata, terdapat dalam kerapatan yang lebih tinggi di hutan rawa gambut daripada di hutan dataran rendah lainnya, tetapi hanya di sepanjang sungai. Jauh dari sungai, semua kerapatan satwa primata jauh lebih rendah, dengan kerapatan rata-rata menurun dari 10 kelompok/km² menjadi 3 kelompok/km² di pedalaman. Ini terjadi mengingat hutan rawa gambut miskin akan jenis dan kurangnya pohon buah-buahan dan pohon-pohon besar untuk melakukan perjalanan, khususnya menuju ke bagian tengah rawa (MacKinnon et al. 2000). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) kalawet dapat hidup di hutan rawa, selain itu mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering. Selanjutnya Raemaekers (1979) menambahkan, ungko dapat hidup simpatrik dengan H. lar dan siamang, serta pada kesempatan tertentu dapat berhibridisasi dengan H. muelleri.
Stratifikasi
lapisan tajuk, sedangkan stuktur horisontal untuk menerangkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya, yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan (Ewusie 1990).
Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang dibawahnya. Batas-batas tinggi stratifikasi pohon itu akan berbeda pada keadaan tempat tumbuh dan komposisi hutan yang berlainan. Misalnya didalam hutan hujan Way Kambas, tinggi rata-rata statum A dapat bervariasi antara 30 m keatas, stratum B antara 20-30 m, stratum C antara 4-20 m. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah yaitu stratum D antara 1-4 m dan stratum E merupakan lapisan penutup tanah, tingginya 0-1 m (Soerianegara dan Indrawan 2002).
Antara stratum A dan stratum B terdapat perbedaan yang jelas karena terdapat diskontinuitas tajuk yang vertikal. Antara stratum B dan stratum C perbedaan ini umumnya kurang jelas, sehingga hanya dapat dibedakan berdasarkan tinggi dan bentuk pohon saja. Tidak semua hutan memiliki ketiga stratum diatas, yang berarti hutan hanya mempunyai stratum A-B atau A-C saja. Yang penting adanya peranan liana (tumbuh-tumbuhan pemanjat) berkayu yang dapat menjadi bagian dari tajuk hutan (Arief 1994).
Pohon-pohon dari stratum A tumbuh menjulang tinggi dari tajuk hutan seringkali disebut emergents, sedangkan stratum B yang merupakan tajuk paling tebal seringkali disebut tajuk hutan utama (main canopy atau main storey) (Soerianegara dan Indrawan2002).
Salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal adalah dengan membuat diagram profil hutan, tetapi diagram profil ini hanya bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan (Richards, 1983). Torquebian (1982) menambahkan dalam pembuatan diagram profil peubah yang diukur adalah tinggi total pohon, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk.
Pakan
buah ficus), daun 39%, bunga 3% dan sisanya 1% berbagai jenis serangga. Umumnya mereka makan sambil bergantungan pada dahan dan memetik satu persatu buah, biji, bunga atau daun muda (Supriatna & Wahyono 2000).
Apriadi (2001) menyatakan bahwa sikap bergantung pada Hylobates agilis banyak digunakan pada saaat makan buah dan sikap duduk pada saat makan daun. Kegiatan makan cenderung terjadi pada tajuk dengan ketinggian menengah (15-25 m) dari permukaan tanah. Kalawet biasanya mencari buah dan daun muda pada kanopi bagian tengah dan atas.
Selain makanan, air juga merupakan komponen habitat yang penting. Satwa primata arboreal seperti kalawet, minum di tempat yang tergenang air diantara cabang pohon. ungko minum dengan cara merendam tangannya pada genangan air dan meraihnya ke mulut, menghisap dan menjilati air yang terdapat pada bulu tangannya. Tempat minum kalawet berada antara 10-30 m dari permukaan tanah (Chivers 1977).
Whitington (1992) melaporkan adanya interaksi antara Hylobates sp dan
Macaca nemestrina (beruk) dalam mencari sumber makanan. Hylobates sampai di pohon tempat makan lebih dahulu dibanding M. nemestrina. M. nemestrina
tidak mendekati pohon buah yang sedang di kuasai oleh Hylobates, tetapi menunggu sampai kelompok Hylobates selesai makan dan menjauh dari pohon tersebut. Setelah Hylobates pergi, M. nemestrina mulai makan pada pohon buah yang sama.
Hylobates merupakan penyebar biji yang baik di hutan. Hylobates
menyebarkan 81% biji dari buah yang mereka makan dan hanya merusak 12% biji yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Efektivitas tumbuh dari biji tersebut bervariasi, tetapi hampir semua spesies biji tersebut dapat tumbuh (McConkey 2000).
Interaksi Manusia dengan Hutan
Interaksi diartikan sebagai suatu hubungan antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi atau saling memberi aksi dan reaksi. Interaksi sosial pengertiannya menunjuk pada hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan di antara orang per orang, antara perorangan dengan kelompok manusia, maupun antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia lainnya (Sulistiadi 1986).
1) berdasarkan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang dilakukan oleh manusia, dan
2) berdasarkan bentuk-bentuk fungsional dan sifat-sifat ketergantungan manusia terhadap hutan dan sebaliknya.
Pengelompokan cara pertama bersifat struktural, oleh karena dasar-dasar pengelompokan bentuk interaksi berlandaskan kepada sifat-sifat yang terstruktur, sedangkan pengelompokan cara kedua bersifat fungsional, oleh karena dasar-dasar pengelompokan bentuk interaksi berlandaskan kepada sifat-sifat yang menerangkan bentuk-bentuk fungsi yang melekat pada masing-masing, yaitu hutan dan manusia.
Jadi dasar pengelompokannya adalah macam-macam fungsi hutan bagi kehidupan dan peradaban manusia, demikian pula sebaliknya macam-macam fungsi manusia bagi keberlanjutan keberadaan hutan di muka bumi ini, diukur menurut kuantitas dan kualitas hutannya (Suhendang 2002).
Status Konservasi
Pada saat ini banyak diantara spesies satwa yang tersebar di wilayah zoogeografisnya terancam kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkannya, terutama karena penyempitan dan kerusakan habitat serta perburuan yang tidak terkendali. Berbagai negara termasuk Indonesia, telah giat melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies satwa tersebut melalui program konservasi. Program konservasi ini bukan hanya melestarikan spesies satwa yang terancam punah, tetapi sekaligus melestarikan habitatnya.
Luas dan Letak
Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, sebagian kawasan hutan Sebangau dikelola oleh CIMTROP (Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland) Universitas Palangkaraya sebagai Laboratotium Alam Hutan Gambut (LAHG) yang luasnya kurang lebih 50.000 ha. LAHG berada pada daerah aliran sungai Sebangau yang dibatasi dengan Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau. Taman Nasional Sebangau secara geografis terletak pada 113º18’-114º 03’ BT dan 01º55’-03º07’ LS, dan secara administratif terletak di Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya (Gambar 5). Mempunyai luas 568.700 ha, terdiri dari hutan produksi seluas 510.250 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas kurang lebih 58.450 ha.
P H l Pegatan Hilir Mendawai
Dasar Hukum
Taman Nasional ini ditetapkan di Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 423/Menhut-II/2004, pada tanggal 19 Oktober 2004 (Drasospolino 2004).
Topografi dan Tanah
Kawasan Taman Nasional Sebangau membentuk topografi yang relatif datar, dengan ketinggian antara 5-20 m dari permukaan laut (dpl) dan ketebalan gambut antara 0-12 m (CIMTROP 2002). Keadaan ini membentuk beberapa tipe hutan dengan vegetasi yang berbeda. Berdasarkan tipe hutan beserta vegetasi di LAHG berbeda menurut jaraknya dari pinggir sungai Sebangau, yaitu (1) hutan rivarian (RF) dengan jarak sampai 1 km dari sungai, (2) hutan rawa gambut (MSF) 1-5 km dari pinggir sungai, (3) hutan tegakan rendah (LPF) 5-13 km dari pinggir sungai dan (4) hutan tegakan tinggi (TIF) kurang lebih 13 km dari pinggir sungai (Rieley et al. 1996 dan Shepherd et al. 1997).
Jenis tanah yang terdapat dalam wilayah Taman Nasional adalah tanah organosol yang merupakan tanah gambut. Adapun tanah gambut ini termasuk jenis ombrogen, yaitu tanah gambut yang pembentukannya hanya dipengaruhi oleh air hujan (Ismunadji & Soepardi 1984). Pengukuran kedalaman muka air tanah (water table) yang dilakukan pada akhir musim kemarau di bawah permukaan gambut di LAHG ini bervariasi menurut tipe hutan. Di tipe hutan MSF (2 lokasi) masing-masing 39,0 cm, di LPF (3 lokasi) masing-masing 34,3 cm, 23,7 cm dan 24 cm, dan di TIF (1 lokasi) 150 cm (Rieley et al. 1996, Shepherd et al. 1997).
Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada gambut ombrogen ini diantaranya Tristania spp, Eugenia spp, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostachys, Diospyros spp dan Myristica spp.
Iklim
(basecamp LAHG) dan temperatur udara di dalam hutan rata-rata 25,6ºC dengan kisaran 23,0ºC-29,6ºC (Rieley et al. 1996).
Potensi Flora dan Fauna
Taman Nasional Sebangau memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi, meliputi 166 jenis flora, 116 jenis burung, 35 jenis mammalia dan 36 jenis ikan, serta merupakan habitat orang utan (Pongo pygmaeus) dengan kelimpahan populasi sebanyak kurang lebih 6.200 ekor (Drasospolino 2004).
Jenis flora yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), balangeran (Shorea balangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), jinjit (Calophyllum canum), meranti (Shorea sp.), nyatoh (Palaquium sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), agathis (Agathis sp.), menjalin (Xanthophyllum sp.), bengaris (Kompassia malaccensis), hangkang (Palaquium leiocarpum), tumih (Combretocarpus rotundatus), jambu-jambu (Eugenia sp.), galam tikus (Eugenia spicata), manggis-manggis (Garcinia sp.), malam-malam (Diospyros pseudomalabarica dan D. siamang), medang (Ixora sp.), kenari (Blumeodendron tokbrai), mahang kerume (Ternstroemia magnifica), Lithocarpus dasystachys, milas merah (Xanthophyllum amoenum), kopi-kopi (Randia sp.), kajalaki (Aglaia rubiginosa), Parastemon sp.,
Polyalthia sp., Neoscortechinia kingii, Litsea sp., jangkang putih (Xylopia fusca), kambasira (Aromadendron nutans), mendarahan merah (Horsfieldia crassifolia),
Cotylelobium lanceotlatum, karipak (Lisania splendens), terantang (Camnosperma coriaceum), rembangun (Tetractomia tetrandra), pampaning (Castanopsis foxworthyii), Gymnostoma sumatrana, tebaras (Ilex hypoglauca),
Palaquium pseudorostratum, punak (Tetrameristra glabra) dan galam tikus merah (Syzygium remotifolium) (Shepherd et al. 1997 dan BKSDA 2006).
(Ahaetulla prasina), ular coklat malaya (Xenelaphis hexagonatus), cecak terbang (Draco sp.), biawak (Varanus salvator), kura-kura kotak (Cuora amboinensis) dan kura-kura berduri (Heosemys spinosa). Jenis burung antara lain pecuk ular (Anhinga melanogaster), cangak laut (Ardea sumatrana), cangak merah (Ardea purpurea), elang hitam (Ictinaetus malayensis), pergam (Ducula bicolor), enggang berjambul putih (Aceros comatus), enggang gunung (A. undulatus), enggang gading (Buceros vigil), enggang badak (Buceros rhinoceros), bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus), layang-layang api (Hirundo rustica) dan layang-layang bulu (H. tahitica) (Page et al. 1997 dan BKSDA 2006).
Pencapaian ke Lokasi
Taman Nasional Sebangau berjarak kurang lebih 20 km arah selatan dari Kota Palangkaraya, tepatnya di Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sabangau. Sarana transportasi dari Kereng Bangkirai ke Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya, masih menggunakan transportasi laut (speed boat dan kelotok).
Profil Kelurahan Kereng Bangkirai
Kelurahan Kereng Bangkirai Kecamatan Sabangau Kota palangkaraya, secara geografis terletak 020 16 LS dan 1130 56’ BT. Secara administratif memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
- sebelah utara dengan : Kelurahan Menteng, - sebelah selatan dengan : Laut,
- sebelah timur dengan : Kelurahan Sabaru, dan - sebelah barat dengan : Kabupaten Katingan.
Luas wilayah 39.442,8 km2 dengan jumlah penduduk 4.246 jiwa (1063 KK), yang dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu penduduk asli yang terdiri dari suku Dayak Ngaju, Bakumpai dan Ma anyan, dan penduduk pendatang yang terdiri dari suku Jawa, Banjar,Madura, Bugis dan Sunda. Mata pencaharian penduduk terdiri atas buruh/swasta 586 orang, PNS 239 orang pengrajin 2 orang, pedagang 119 orang, penjahit 6 orang, tukang batu 15 orang, tukang kayu 30 orang, peternak 11 orang dan TNI/Polri 17 orang (Disnaker 2005).
Materi Penelitian
Tempat dan Waktu
Sebelum melaksanakan penelitian telah dilakukan observasi lapangan
dan survei awal pada bulan Oktober 2004. Pengambilan data di Laboratorium
Alam Hutan Gambut CIMTROP (Centre For International Co-Operation In
Management of Tropical Peatland) Universitas Palangkaraya, Taman Nasional
Sebangau, Propinsi Kalimantan Tengah (Gambar 6), dilakukan mulai dari bulan
Juli sampai dengan Oktober 2005.
Gambar 6 Laboratorium Alam Hutan Gambut CIMTROP Universitas Palangkaraya (CIMTROP 2000)
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi: pita ukur, jangka sorong, alat suntik,
timbangan, binokuler, kamera, jam, kompas, GPS (Global Positioning System),
peta lokasi, meteran, kertas millimeter dan lembar pengamatan. Bahan yang
dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kalawet (Hylobates agilis albibarbis)
dan vegetasi yang ada di habitatnya. Untuk analisis morfologi digunakan obat
Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan untuk mendapatkan
informasi tentang keadaan lokasi penelitian dan keberadaan kelompok kalawet
dari masyarakat setempat. Setelah dilakukan survei awal ke lokasi yang telah
ditentukan, selanjutnya dilakukan pengamatan untuk pengambilan data pada
jalur yang telah ada.
Pengamatan dilakukan setiap hari, mulai pukul 04.30-08.00 WIB dan
siang hari sampai pukul 11.00-13.30. Pada waktu tersebut, diasumsikan kalawet
sedang aktif bersuara, mencari makan dan melakukan aktivitas lainnya. Apabila
cuaca tidak memungkinkan (berkabut dan hujan), survei ditunda pada keesokan
harinya.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini untuk morfologi (pengamatan
kualitatif dan kuantitatif) dan untuk ekologi mencakup populasi (komposisi
kelompok, ukuran kelompok, kepadatan populasi), habitat (tipe habitat, profil
habitat, penggunaan strata vegetasi, sumber pakan) dan aktivitas masyarakat
sekitar Taman Nasional.
Cara Pengumpulan Data
Morfologi
Pengamatan morfologi ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif
terhadap kalawet yang dipelihara oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian.
Sebelum pengamatan, kalawet dibius dengan cara disuntik dengan
menggunakan suntikan berobat bius (ketamin hidroklorida 1 ml/ 10 kg bobot
badan).
Pengamatan secara kualitatif meliputi perbedaan jenis kelamin, pola
sebaran warna bulu pada seluruh tubuh (kepala, wajah, alis, dagu, punggung,
lengan dan kaki), dan tingkatan umur. Untuk menentukan tingkatan umur,
dilakukan pengamatan pada gigi kalawet tanpa memperhatikan keausannya.
Kalawet dengan gigi permanen lengkap ditetapkan dewasa.
Pengamatan secara kuantitatif meliputi pengukuran bobot tubuh kalawet
dengan menggunakan alat timbang badan. Pengukuran bagian-bagian tubuh
lainnya menggunakan jangka sorong dan pita ukur sampai 0,1 mm pengukuran
terkecilnya. Bagian-bagian tubuh yang diukur mengikuti pengukuran yang biasa
dilakukan oleh Hamada et al. (1995) (Gambar 7). Hasil pengukuran yang
terdiri atas jantan dewasa 12 ekor, jantan remaja 5 ekor dan betina dewasa 5
ekor.
Tabel 2 Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet
Bagian tubuh yang diukur (cm) Cara Mengukur
Tinggi kepala (TK) Tinggi dari ujung kepala – ujung dagu
Panjang leher (PL) Panjang dari ruas tulang leher pertama sampai terakhir
Panjang badan (PB) Panjang dari pangkal tulang dada–tonjolan tulang diatas alat kelamin
Lingkar dada (LD) Lingkar tengah-tengah tulang dada sejajar puting susu
Panjang humerus (PH) Panjang dari pangkal tulang humerus– ujungnya (tulang tangan atas)
Panjang radius ulna (PRU) Panjang dari pangkal radius/siku–ujungnya /pergelangan tangan (tulang tangan bawah)
Panjang Telapak Tangan (PTT) Ujung ruas ketiga jari tengah sampai pergelangan tangan
Panjang femur (PF) Panjang dari pangkal tulang paha – ujungnya /persendian lutut
Panjang tibia fibula (PTF) Panjang dari pangkal tulang tibia/persendian
lutut – ujungnya/pergelangan kaki (tulang
kaki bawah)
Panjang telapak kaki (PTK) Ujung jari kaki sampai pergelangan kaki
PB TK PH
PRU
LD
PF
PTF
PTT
PTK
PL
Gambar 7 Bagian tubuh kalawet yang diukur (Hamada et al. 1995)
Peubah yang diukur dianalisis menggunakan Analisis Komponen Utama
(Principal Component Analysis) menurut Gaspersz (1992) dengan model sebagai
berikut:
Yp = a1pX1 + a2pX2 + a3pX3...+ a10pX10
Keterangan:
Yp = komponen utama ke-p,
a1p, a2p…….a14p = vektor ciri (koefisien pembobot komponen utama), X1 = tinggi kepala,
X2 = panjang leher, X3 = panjang badan, X4 = lingkar dadar, X5 = panjang humerus, X6 = panjang radius ulna, X7 = panjang telapak tangan, X8 = tinggi femur,
Uji-t dilakukan terhadap peubah-peubah antara jantan dewasa, jantan
remaja dan betina dewasa dengan tujuan memperoleh kesimpulan mengenai
perbedaan dari rata-rata peubah antara jantan dewasa, jantan remaja dan betina
dewasa. Adapun rumus uji-t menurut Gaspersz (1992) sebagai berikut:
X1 – X2
Uji-t diperoleh dengan rumus: t =
S√(1/n1 + 1/n2)
Keterangan:
X1 = rerata kelompok pertama, X2 = rerata kelompok kedua, n1 = jumlah kelompok pertama, n2 = jumlah kelompok kedua, dan S = galat baku.
Dua komponen utama yang mempunyai nilai keragaman tertinggi
digunakan sebagai persamaan ukuran dan bentuk. Korelasi antara ukuran dan
bentuk dari masing-masing peubah dihitung berdasarkan rumus (Gaspersz
1992):
Pengukuran bagian-bagian tubuh kalawet (Hylobates a.albibarbis)
dianalisis secara deskriptif meliputi rerata, nilai maksimum, simpangan baku dan
koefisien keragaman. Model statistik yang digunakan untuk menghitung rerata
dan simpangan baku menurut Mattjik dan Sumertajaya (2000) sebagai berikut :
∑
x nilai tengah contoh.
Masing-masing ukuran tubuh kalawet dihitung koefisien keragamannya.
Model matematika yang digunakan untuk menghitung koefisien keragaman
menurut Steel and Torrie (1995):
%
Data ukuran dan bentuk diolah dengan bantuan Minitab versi 14 dan
dianalisis secara deskriptif.
Ekologi
Populasi
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode garis
transek (line transect method), yang dilakukan sebanyak sepuluh kali
pengulangan di tiga jalur yang telah ditentukan. Panjang transek untuk ketiga
jalur masing-masing 2 km (jalur T0, T1A dan T2), dengan lebar transek 100 m
(50 m kiri dan 50 m kanan) (Gambar 8). Dalam pelaksanaan metode ini peneliti
berjalan sepanjang garis transek secara perlahan-lahan dengan kecepatan 1
km/jam, dan apabila dilihat kelompok kalawet pengamat berhenti selama 10
menit untuk melakukan pencatatan pada lembar pengamatan. Selama
pengamatan, dilakukan pencatatan: waktu kalawet terlihat pertama, jarak peneliti
dengan kalawet, lokasi (nomor transek), tempat kalawet berada waktu pertama
kali terlihat (di pohon dan perkiraan tingkat kanopi), jumlah kelompok, jumlah
individu, dan kelompok umur. Batasan peubah-peubah yang diamati dirinci
1. Komposisi Kelompok
Data komposisi kelompok ditentukan dengan mengidentifikasi setiap
anggota kelompok ke dalam beberapa kelompok umur, yaitu
a) bayi (infant): berumur 0-2 tahun. Masih menyusui dan dirawat oleh
induknya selama kurang lebih setahun, dan kemanapun induknya pergi,
bayi akan selalu dibawa/digendong dengan cara diletakkan pada bagian
depan perut;
b) anak (Juvenile): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil dan berjalan sendiri
tapi cenderung dekat dengan induknya. Kelompok umur ini lebih banyak
menghabiskan waktu untuk bermain;
c) remaja (Sub-adult): berumur diatas 4 tahun, hampir sama dengan dewasa
tetapi belum matang seksual dan masih tetap tinggal dalam kelompok;
d) dewasa (Adult): dicirikan dengan pertumbuhan tubuh yang optimal dan
kematangangan reproduksi.
2. Ukuran kelompok
Data ukuran kelompok diperoleh dengan menghitung semua anggota
dalam satu kelompok yang ditemui selama sensus dilakukan.
3. Kepadatan populasi
Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang
ditemui selama sensus.
Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang,
yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit atau
volume. Penghitungan kepadatan populasi dengan menggunakan rumus
(Subcommittee on Conservation of Natural Populations 1981):
P = D x A, dengan keterangan:
P = populasi
D = kepadatan populasi A = areal yang dihuni
Kepadatan populasi dapat diperoleh dengan menghitung jumlah individu
yang diidentifikasi dan membaginya dengan luas areal penelitian, sebagai
berikut:
Jumlah individu teridentifikasi D = ---
Gambar 8 Sketsa transek pengamatan (CIMTROP 2002)
Tipe Habitat
Untuk tipe habitat dilakukan observasi lapangan untuk menentukan
kawasan hutan yang tergolong hutan primer dan hutan sekunder. Kriteria
penggolongan didasarkan pada vegetasi yang ada dan kondisi hutan. Kawasan
hutan yang digolongkan sebagai hutan sekunder adalah hutan yang sudah
terganggu oleh aktivitas manusia berupa penebangan, perkebunan dan
perladangan yang letaknya berada di sekitar pemukiman penduduk, selain itu di
hutan sekunder masih banyak di jumpai pohon dalam taraf pertumbuhan dan
adanya semak belukar. Sebaliknya hutan primer tidak dijumpai lagi pohon dalam
taraf pertumbuhan maupun semak belukar. Hutan primer merupakan kawasan
hutan yang relatif jauh dari pemukiman, sehingga belum terganggu oleh aktivitas
manusia.
Profil Habitat
Untuk pengamatan diagram profil habitat dibuat masing-masing satu plot
pada ketiga jalur dengan ukuran 10x100 m yang merupakan daerah tempat
makan dan pohon tidur kalawet, dengan mengidentifikasi semua pohon yang
mempunyai DBH ≥ 12 cm. Pohon yang tidak diketahui nama lokal maupun
Palangkaraya dan Herbarium Bogoriense LIPI, Bogor. Pengambilan data
dilakukan dengan mencatat jenis pohon, tinggi pohon, tinggi dan lebar tajuk,
diameter pohon dan posisi pohon. Selanjutnya berdasarkan data-data tersebut,
dibuat gambar profil vegetasi dengan menggunakan Program Corel Draw 12.
Stratum Vegetasi
Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan karakteristik serta
hubungan antara habitat dan populasi kalawet. Pengamatan difokuskan pada
pemanfaatan strata/tajuk pohon oleh kalawet dalam melakukan aktivitas.
Pengamatan pemanfaatan stratum ini dilakukan bersamaan dengan survei
populasi, dengan mencatat selang ketinggian di atas pohon, yang digunakan
oleh kalawet saat terlihat pertama kali. Dalam menentukan tinggi pohon dengan
menggunakan alat bantu berupa kayu yang panjangnya 5 m. Adapun
pemanfaatan stratum vegetasi dibagi menjadi 5 yaitu
1) Stratum A dengan ketinggian di atas 25 m, merupakan lapisan teratas
yang mempunyai batang pohon tinggi dan tegak lurus,
2) Stratum B dengan ketinggian 15-25 m, terdiri dari pohon-pohon yang
tinggi serta mempunyai banyak cabang,
3) Stratum C dengan ketinggian 10-14 m, yang terdiri dari pohon-pohon
kecil, rendah dan banyak cabang,
4) Stratum D dengan ketinggian di atas lantai 1- 9 m, merupakan tanaman
perdu dan semak-semak,
5) Stratum E merupakan lantai hutan dan lapisan penutup tanah.
Sumber dan Jenis Pakan
Pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan survei populasi. Saat
kalawet terlihat sedang makan, kemudian dicatat jenis dan bagian pohon yang
dimakan di lembar borang pengamatan. Disamping pengamatan langsung, jenis
pohon pakan yang dimakan oleh kalawet yang diketahui melalui informasi
masyarakat yang mempunyai akses ke hutan dan enumerator. Data yang
dikumpulkan meliputi jumlah dan jenis pohon (Ficus dan Nonficus) serta bagian
bagian pohon yang dimakan (bunga, buah, daun dan getah), yang dilakukan
Survei Aktivitas Masyarakat
Survei ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas masyarakat dalam
pemanfaatan hutan, sikap (attitude) terhadap kalawet serta tanggapan atas
kegiatan konservasi, yang dilakukan dengan metode wawancara.
Wawancara ini dirancang dalam bentuk borang wawancara untuk
mendapatkan jawaban secara terbuka, dan ditujukan kepada masyarakat
kelurahan kereng bangkirai yang berbatasan dengan kawasan LAHG Taman
Nasional Sebangau. Seleksi responden berdasarkan pendidikan, pekerjaan,
umur, dan terutama mereka yang berhubungan langsung dengan kalawet dan
hutan. Jumlah responden yang di wawancarai 60 orang (5,64%). Survei ini
ditambahkan dengan data sekunder dari kepala desa, kecamatan, kelompok
masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil data survei disajikan
Morfologi
Sifat Kualitatif
Karakteristik suatu individu dapat dicirikan melalui ciri morfologi, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Ciri kualitatif lebih didasarkan dari
penampilan luar tubuh kalawet sedangkan ciri kuantitatif didasarkan pada
pengukuran komponen-komponen tubuh kalawet. Deskripsi morfologi eksternal
kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Deskripsi morfologi eksternal kalawet
Kalawet Bagian Tubuh
Jantan dewasa Jantan remaja Betina dewasa
Kepala
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa variasi warna rambut tubuh pada
kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa sangat beragam yaitu
hitam, putih, coklat muda dan coklat tua. Warna hitam didapatkan di bagian
kepala, wajah, dagu, jari tangan dan jari kaki, sedangkan warna putih ditemukan
pada alis. Warna coklat muda dan coklat tua didapatkan di bagian punggung,
dada, perut, tangan dan kaki. Pola warna rambut baik pada tubuh kalawet jantan
dan betina mulai dari usia anak sampai dewasa akan mengalami perubahan.
Profil kalawet jantan remaja, jantan dewasa, betina remaja dan betina dewasa
bahwa didapatkan variasi warna pada tubuh H.agilis Kalimantan mulai dari
coklat muda sampai coklat tua dan bagian perut warnanya lebih gelap daripada
bagian punggungnya.
Kalawet jantan remaja Kalawet betina remaja
Kalawet jantan dewasa Kalawet betina dewasa
Gambar 9 Profil kalawet (Hylobates agilis albibarbis) (Duma 2007)
Tampak pada gambar diatas perbedaan yang sangat nyata antara
kalawet jantan dan betina adalah pada jantan dewasa mempunyai garis
lengkungan putih (jambang) yang lebih jelas disekeliling wajahnya dan pada
kalawet betina garis lengkungan putih ini akan berangsur hilang setelah dewasa.
Tetapi di lapangan, sangat sulit untuk membedakan antara kalawet jantan dan
betina hanya berdasarkan warna rambutnya saja.
Sifat Kuantitatif
Ukuran Tubuh Kalawet
Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran tubuh
kalawet jantan dewasa dan jantan remaja disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan
Tabel 4, kalawet jantan dewasa memiliki rerata tinggi kepala, panjang badan,
telapak kaki dan bobot badan (kg) lebih besar daripada kalawet jantan remaja,
tetapi berdasarkan hasil uji-t tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Berdasarkan hasil uji-t rerata panjang leher, lingkar dada, panjang
humerus dan panjang femur pada kalawet jantan dewasa berbeda sangat nyata
(P<0,01) lebih besar dibanding kalawet jantan remaja. Panjang leher, lingkar
dada, panjang humerus dan panjang femur merupakan peubah yang
memberikan sumbangan besar terhadap ukuran tubuh untuk pertumbuhan.
Tabel 4 Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran kalawet jantan dewasa dan jantan remaja
Jantan dewasa (n=12) Jantan Remaja (n=5) Keterangan ; huruf superskrip kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
sangat berbeda nyata (P<0,01).
Panjang leher dan lingkar dada yang besar bagi kalawet terutama terkait
dengan kemampuan kalawet dalam bersuara. Panjang leher mempengaruhi
volume suara dan lingkar dada berhubungan dengan besar kecilnya kantong
udara. Lingkar dada yang besar memungkinkan paru-paru menyimpan udara
yang diperlukan dalam bersuara, meskipun saat bersuara kantung udara kecil
tetapi mempunyai peranan penting dalam mengeluarkan suara dengan frekuensi
tinggi. Supriatna dan Wahyono (2000) menambahkan bahwa Hylobates memiliki
kantung udara yang berperan dalam vokalisasi.
Panjang humerus memiliki peranan yang penting bagi kalawet dalam
melakukan brakhiasi di tajuk-tajuk pohon. Menurut Napier dan Napier (1967)
bahwa struktur tangan dan jari yang panjang memungkinkan bagi Hylobates
untuk menjangkau dahan yang jauh dan efisien dalam pergerakan di antara
tajuk-tajuk pohon di dalam hutan.
Nilai koefisien keragaman panjang leher, lingkar dada, panjang humerus
tinggi berkisar dari 7,5%-22,3%, sedangkan untuk kalawet jantan remaja
koefisien keragaman berkisar antara 4,3%-8,7%.
Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran tubuh
kalawet jantan dewasa dan jantan remaja disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Rerata, simpangan baku dan koefisien keragaman (KK) ukuran kalawet jantan dewasa dan betina dewasa
Jantan dewasa (n=12) Betina Dewasa (n=5) Keterangan ; huruf superskrip kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
sangat berbeda nyata (P<0,01).
Berdasarkan Tabel 5, antara kalawet jantan dewasa dan betina dewasa
memiliki perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada panjang badan. Kalawet
jantan mempunyai ukuran badan yang lebih panjang daripada kalawet betina
sehingga bentuk badannya lebih ramping. Kalawet betina memiliki ukuran lingkar
dada yang lebih lebar dibanding kalawet jantan dikarenakan kalawet betina
memiliki glandula mamae yang berfungsi untuk menyusui anaknya, sehingga
ukuran/panjang badannya lebih pendek dibanding kalawet jantan dewasa.
Koefisien keragaman untuk panjang badan kalawet jantan dewasa adalah 10%
dan kalawet betina dewasa 6,4%.
Hasil Analisis Komponen Utama
Perbedaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dan betina dapat
terlihat dengan melakukan analisis konformasi tubuh satwa. Umumnya dengan
melakukan Analisis Komponen Utama (AKU). Analisis komponen utama (AKU),
merupakan salah satu metode multivariasi yang sering digunakan untuk
membandingkan susunan tubuh, meliputi ukuran dan bentuk tubuh. Melalui AKU
dapat dibedakan karakteristik tiap hewan yang merupakan ciri khas dari hewan
tersebut. Variabel yang mempunyai nilai Eigen yang besar dari suatu persamaan
bentuk kalawet karena memiliki kontribusi yang besar pada persamaan tersebut.
Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada kalawet
jantan dewasa, jantan remaja dan betina dewasa disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan penciri utama ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada kalawet jantan dan betina
Kalawet Penciri Ukuran Tubuh
Berdasarkan Tabel 6, panjang badan dan lingkar dada merupakan
penciri utama ukuran tubuh kalawet jantan dewasa dengan nilai Eigen terbesar
berturut-turut sebesar 0,503 dan 0,539. Panjang badan dan lingkar dada
berkontribusi besar terhadap skor ukuran tubuh dengan nilai koefisien korelasi
masing-masing sebesar 0,903 dan 0,848. Hal ini menunjukkan bahwa keeratan
hubungan antara panjang badan dan lingkar dada dengan ukuran tubuh positif,
sehingga pada kalawet jantan dewasa semakin besar panjang badan dan lingkar
dada maka ukuran tubuhnya semakin besar.
Panjang radius ulna dan panjang tibia fibula dengan nilai Eigen, sebesar
0,755 dan 0,432 merupakan penciri utama bentuk tubuh kalawet jantan dewasa.
Panjang radius ulna dan panjang tibia fibula berkontribusi besar terhadap skor
bentuk tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,749 dan
0,616. Korelasi antara panjang radius ulna dan panjang tibia fibula pada kalawet
jantan dewasa memiliki pola hubungan positif. Artinya semakin besar panjang
radius ulna dan panjang tibia fibula maka semakin besar skor untuk bentuk tubuh
atau sebaliknya.
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa memiliki
keragaman total masing-masing sebesar 54,4% dan 17,8% dengan nilai Eigen
utama pertama (ukuran tubuh) dan komponen kedua (bentuk tubuh) kalawet
jantan dewasa sebesar 72,2%. Ini berarti bahwa sebesar 72,2% keragaman data
kalawet jantan dewasa dapat dijelaskan oleh kedua komponen utama tersebut.
Penciri utama ukuran tubuh kalawet jantan remaja adalah panjang radius
ulna dan panjang tibia fibula dengan nilai Eigen berturut-turut sebesar 0,854 dan
0,355 (Tabel 6). Panjang radius ulna dan panjang tibia fibula memiliki kontribusi
besar terhadap skor ukuran tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing
sebesar 0,398 dan 0,458. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang
radius ulna dan panjang tibia fibula memilki pola hubungan positif, sehingga
semakin besar panjang radius ulna dan panjang tibia fibula maka ukuran tubuh
kalawet jantan remaja semakin besar.
Panjang badan dan lingkar dada dengan nilai Eigen 0,642 dan 0,540
merupakan penciri utama bentuk tubuh kalawet jantan remaja. Panjang badan
dan lingkar dada berkontribusi besar terhadap skor bentuk tubuh dengan nilai
koefisien korelasi masing-masing 0,594 dan 0,929. Korelasi antara panjang
badan dan lingkar dada pada kalawet jantan remaja memiliki pola hubungan
positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar panjang badan dan lingkar
dada maka semakin besar pula skor bentuk tubuhnya dan sebaliknya.
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan remaja memiliki
keragaman total masing-masing sebesar 47,9% dan 34,4% sedangkan nilai
Eigen berturut-turut sebesar 19,483 dan 14,005. Keragaman kumulatif pada
komponen I (ukuran tubuh) dan komponen II (bentuk tubuh) sebesar 82,3%. Ini
berarti sebesar 82,3% keragaman data kalawet jantan remaja dapat dijelaskan
oleh kedua komponen utama tersebut.
Penciri utama ukuran tubuh kalawet betina adalah panjang humerus dan
panjang radius ulna dengan nilai Eigen berturut-turut sebesar 0,438 dan 0,745
(Tabel 6). Panjang humerus dan panjang radius ulna memiliki kontribusi besar
terhadap skor ukuran tubuh dengan nilai koefisien korelasi masing-masing
sebesar 0,933 dan 94,2. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang
humerus dan panjang radius ulna memilki pola hubungan positif, sehingga
semakin besar panjang humerus dan panjang radius ulna maka ukuran tubuh
kalawet betina dewasa semakin besar.
Tinggi kepala dan panjang radius ulna dengan nilai Eigen 0,472 dan
-0,452 merupakan penciri utama bentuk tubuh kalawet betina dewasa. Tinggi
dengan nilai koefisien korelasi masing-masing 0,787 dan -0,314. Korelasi antara
tinggi kepala dan panjang radius ulna pada kalawet betina memiliki pola
hubungan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ukuran panjang
radius ulna maka skor bentuk tubuh semakin menurun sebesar -0,314. Namun
untuk korelasi antara tinggi kepala dan skor bentuk tubuh memberikan kontribusi
positif yang berarti semakin besar tinggi kepala maka semakin besar pula skor
bentuk tubuhnya dan sebaliknya.
Persamaan ukuran dan bentuk tubuh kalawet betina memiliki keragaman
total masing-masing sebesar 61,3% dan 18,5% sedangkan nilai Eigen
berturut-turut sebesar 20,678 dan 6,243. Keragaman kumulatif pada komponen I (ukuran
tubuh) dan komponen II (bentuk tubuh) sebesar 79,8%. Ini berarti sebesar 79,8%
keragaman data kalawet betina dewasa dapat dijelaskan oleh kedua komponen
utama tersebut.
Perbandingan ukuran dan bentuk kalawet jantan dewasa, jantan remaja dan betina
Perbandingan ukuran dan bentuk tubuh kalawet jantan dewasa, jantan
remaja dan betina dewasa disajikan pada Gambar 10.
Ko mp o n e n Ut a ma I ( V e kt o r Uku r a n )
Gambar 10 Diagram ukuran dan bentuk tubuh kalawet
Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa kalawet jantan dewasa dan betina
dewasa memiliki ukuran tubuh yang sama dibandingkan dengan kalawet jantan
remaja. Namun ada satu kalawet jantan remaja yang memiliki ukuran tubuh yang
hampir sama dengan kalawet jantan dewasa. Keadaan ini ditunjukkan dengan
wilayah jantan remaja yang tumpang tindih dengan kalawet jantan dewasa. Pada