• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inclusive Green Economy Di Provinsi Kalimantan Timur Trade Off Antara Pengurangan Emisi Dan Kinerja Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Inclusive Green Economy Di Provinsi Kalimantan Timur Trade Off Antara Pengurangan Emisi Dan Kinerja Ekonomi"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

INCLUSIVE GREEN ECONOMY

DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR:

TRADE-OFF

ANTARA

PENGURANGAN EMISI DAN KINERJA EKONOMI

YUSNIAR JULIANA NABABAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Inclusive Green Economy di Provinsi Kalimantan Timur: Trade-off antara Pengurangan Emisi dan Kinerja Ekonomi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

YUSNIAR JULIANA NABABAN. Inclusive Green Economy di Provinsi Kalimantan Timur: Trade-off antara Pengurangan Emisi dan Kinerja Ekonomi. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT, BAMBANG JUANDA dan SLAMET SUTOMO.

Konsep inclusive green economy atau ekonomi hijau inklusif merupakan pengembangan dari konsep ekonomi hijau, yang dipahami sebagai suatu cara yang menyatukan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (Poverty-Environment Partnership/PEP 2012). Ekonomi hijau inklusif merupakan konsep pembangunan yang memberikan saran agar pembangunan ekonomi perlu mempertimbangkan ekonomi yang ramah lingkungan dan juga berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat, atau yang disebut sebagai triple bottom line. Konsep kebijakan ekonomi hijau diperkirakan mampu menciptakan peningkatan pengelolaan asset lingkungan dengan mengurangi polusi dan degradasi lingkungan serta menjamin terjadinya distribusi manfaat yang berkeadilan.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan ekonomi hijau tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Makmun, 2011). Strategi dari kebijakan tersebut dituangkan dalam dokumen Indonesia

Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang diterbitkan oleh Bappenas, yang memuat strategi sembilan sektor dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah membuat perencanaan target penurunan emisi tersebut dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang diatur dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 61 Tahun 2011.

Sebagai respon terhadap kebijakan nasional dalam mengurangi emisi, maka Provinsi Kalimantan Timur memiliki komitmen guna berkontribusi secara aktif. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) pada tahun 2012. Pengurangan emisi di Kalimantan Timur menjadi penting, karena Provinsi ini termasuk dalam penghasil emisi terbesar ketiga di Indonesia. Kinerja ekonomi Kalimantan Timur yang baik, diikuti dengan munculnya eksternalitas lingkungan berupa emisi, serta masalah sosial seperti distribusi pendapatan.

Terkait dengan uraian dan permasalahan di atas, penelitian memiliki tiga tujuan:(1) mengestimasi dampak kebijakan pengurangan emisi terhadap kinerja ekonomi dan tingkat emisi di Kalimantan Timur; (2) mengestimasidampak penerapan kebijakan pengurangan emisi terhadap distribusi pendapatan masyarakat; dan (3) mengestimasi dampak kebijakan perdagangan emisi terhadap kinerja ekonomi, tingkat emisi dan distribusi pendapatan.

(6)

Target lingkungan ditentukan berdasarkan besaran target mitigasi emisi dari dokumen RAD GRK Kalimantan Timur.

Tujuan pertama penelitian dijawab dengan menggunakan model Goal Programming untuk memperoleh kinerja ekonomi yang optimal dengan adanya penerapan kebijakan pengurangan emisi. Model Reduced Form SAM digunakan untuk menganalisis dampak perubahan output yang disebabkan kebijakan pengurangan emisi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Model Linear Programming digunakan untuk mengestimasi manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan perdagangan emisi dalam rangka mencapai target pengurangan emisi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:(1) terjadi perlambatan ekonomi akibat penerapan kebijakan pengurangan emisi atau terdapat trade-off antara pengurangan emisi dan kinerja ekonomi Kalimantan Timur, akibat adanya transformasi struktur ekonomi; (2) penerapan kebijakan pengurangan emisi berpotensi dalam menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat, melalui penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor yang lebih bersifat labour-intensive; dan (3) perdagangan emisi dapat meminimalkan trade-off yang terjadi, bahkan berpotensi dalam meningkatkan kinerja ekonomi wilayah Kalimantan Timur.

(7)

SUMMARY

YUSNIAR JULIANA NABABAN. Inclusive Green Economy in East Kalimantan Province: Emission Reduction and Economic PerformanceTrade-off. Supervised by YUSMAN SYAUKAT, BAMBANG JUANDA dan SLAMET SUTOMO.

Green economy concept has been improved into inclusive green economy. Inclusive green economy is believed as a way in integrating social, economic and environmental goals in order to achieve sustainable development (Poverty-Environment Partnership/PEP 2012). It is a development concept which recommends conserving the environment and considering the distributional impact of income while developing the economy,or so called triple bottom line. It is believed to be able in creating benefits for marginal and vulnerable group and reducing inequality.

The inclusive green economy has been adopted in Indonesia. It is marked by national planning documents, the Indonesa Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) which is developed by National Development Planning Agency (BAPPENAS). The document contains various strategies that should be implemented in nine sectors as responses to the global climate change. Moreover, Indonesian Government also developed National Action Plan of Emission Reduction of Greenhouse Gasses (RAN GRK) that is arranged in Presidential Regulation (PerPres) No. 61 Year 2011.

As a response to the national policy of emission reduction, East Kalimantan Government commits to take an active part. The Regional Government formulated Regional Action Plan in Reducing Greenhouse Gas (RAD GRK) in 2012. For East Kalimantan, emission reduction becomes important because the Province is included into top-three emitter in Indonesia. It has excellent economic performance. Yet there is also negative externalities, such as emission and disparity, caused by its economic activities.

Based on the description, this study aims to: (1) estimate the impact of emission reduction policy on economi performance and emission level; (2) estimatethe impact of emission reduction policy on income distribution; and (3) estimate the impact of emission trading on economic performance, emission level and income distribution.

Some policy scenarios have been designed by using secondary data, which is taken from official documents published by Regional Government. Target of economic growth and social target is set from Regional Medium Development Plan of East Kalimantan. Whereas environmental target is taken from mitigation planning of RAD GRK.

First objective is analyzed by employing Goal Programming model to measure an optimal economic level while implementing emission reduction policy. Reduced Form SAM is employed to analyze the impact of output level change, caused by implementing emission reduction policy, on income distribution. Linear Programming model is used to estimate economic benefit of emission trading.

(8)

may reduce income disparity in East Kalimantan through labour absorption of the labour-intensive sectors; and (3) emission trading is able to minimize the trade-off and it is considered to be potential in enhancing economic performance of East Kalimantan Province.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

INCLUSIVE GREEN ECONOMY

DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR:

TRADE-OFF

ANTARA

PENGURANGAN EMISI DAN KINERJA EKONOMI

YUSNIAR JULIANA NABABAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc

(13)

Judul Penelitian : Inclusive Green Economy di Provinsi Kalimantan Timur:

Trade-off antara Pengurangan Emisi dan Kinerja Ekonomi Nama : Yusniar Juliana Nababan

NRP : H 162100101

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Anggota

Dr. Ir. Slamet Sutomo, MS. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kasih dan anugrahNya saya diberikan kesempatan untuk menjalani studi S3 di IPB, serta atas penyertaanNya saya dapat menyelesaikan studi ini.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang telah sangat membantu selama penyelesaian disertasi ini.

Pertama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. (ketua), Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS (anggota), dan Dr. Ir. Slamet Sutomo, MS (anggota). Terimakasih atas dedikasinya dalam membimbing dan mendukung sejak awal hingga penyelesaian disertasi ini. Terimakasih atas upaya yang diberikan dalam memberikan saran dan masukan, bagi penyempurnaan penelitian ini. Hal ini merupakan kehormatan bagi saya untuk mendapatkan kesempatan dibimbing selama penelitian berlangsung.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Akhmad Fauzi, M.Ec. dan Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc.yang telah memberi masukan substansial, komentar yang bermanfaat, saran dan koreksi, sehingga meningkatkan kualitas disertasi ini.

Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), yang telah menjadi teman diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi tak lupa saya sampaikan kepada semua dosen dan staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

Tentunya, sangatlah pantas ungkapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Mama dan keluarga besar. Terima kasih juga saya sampaikan kepada suami, Saur Parsaoran Tampubolon dan anak-anak saya (Raphael Tobias, Josephine Abigail, dan Jeremiah Aiden) yang selalu memberi dukungan dan doasehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.

Terakhir, saya tidak merasa bahwa penelitian ini suatu pemikiran yang orisinil. Apabila tidak didukung tulisan-tulisan para ahli yang tercantum di daftar pustaka, barangkali disertasi ini tidak pernah ada. Dengan demikian, saya merasa sangat berhutang budi kepada para ahli tersebut. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.

Bogor, Agustus 2015

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 10

Manfaat Penelitian 10

2 TINJAUAN PUSTAKA 12

Pembangunan Berkelanjutan 12

Inclusive Green Economy dan Pengurangan Emisi 14

Perdagangan Emisi dan Pengurangan Emisi 19

3 KERANGKA PEMIKIRAN 21

Kerangka Teoritis 21

Kerangka Konseptual Penelitian 34

4 METODE 37

Data yang Digunakan 38

Prosedur Analisis Data 38

Model Input-Ouput 39

Linear dan Goal Programming 46

Sistem Neraca Sosial Ekonomi Bentuk Sederhana 54

5 GAMBARAN WILAYAH KALIMANTAN TIMUR 56

Gambaran Kondisi Sosial dan Lingkungan Wilayah Kalimantan Timur 60

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 73

Pengantar 73

Dampak Kebijakan Pengurangan Emisi Terhadap Kinerja Ekonomi 74 Dampak Kebijakan Pengurangan Emisi Terhadap Distribusi Pendapatan 91 Potensi Perdagangan Emisi Terhadap Kinerja Wilayah Kalimantan Timur 95

7 SIMPULAN DAN SARAN 99

Simpulan 99

Saran dan Implikasi Kebijakan 100

DAFTAR PUSTAKA 102

(18)

DAFTAR TABEL

1. Luas Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan

Berbagai Sumber Legalitas 6

2. Klasifikasi Sektor Ekonomi Tabel Input-Output Provinsi Kalimantan

Timur 46

3. Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Menurut

ProvinsiTahun 2006-2009 56

4. Kontribusi PDRB Kalimantan Timur Terhadap PDB Nasional Tahun 2000,

2005-20011 57

5. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK Menurut Lapangan UsahaTahun 2000,

2009-2012 (Persen) 57

6. PDRB per Kapita dan Pendapatan per Kapita 60

7. Persentase Kemiskinan Menurut Lokasi Tahun 2010 - 2011 64 8. Persentase Kemiskinan Berdasarkan Data PPLS Menurut Lokasi 65 9. Emisi GRK Skenario Business As Usual (BAU) Menurut Sektor 68 10. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan

Skenario Prioritas Maksimisasi Nilai Tambah 76

11. Output Tahun 2012, 2013 dan Output Optimal Menurut Sektor Berdasarkan Skenario Prioritas Maksimisasi Nilai Tambah 78 12. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan

Skenario Prioritas Minimisasi Emisi 81

13. Output Tahun 2012, 2013 dan Output Optimal Menurut Sektor

Berdasarkan Skenario Prioritas Minimisasi Emisi 82

14. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Skenario Prioritas Maksimisasi Penyerapan Tenaga Kerja 84 15. Output Tahun 2012, 2013 dan Output Optimal Menurut Sektor

Berdasarkan Skenario Prioritas Maksimisasi Penyerapan Tenaga Kerja 85 16. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan

Skenario Prioritas 88

17. Indeks Gini Menurut Skenario Kebijakan dan Wilayah Target

Pertumbuhan 1,59 persen 93

18. Indeks Gini Menurut Skenario Kebijakan dan Wilayah Target

Pertumbuhan 5,00 persen 94

(19)

DAFTAR GAMBAR

1. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur tahun 2000 – 2013 (persen) 4 2. Distribusi PDRB atas dasar harga konstan tahun 2008, emisi CO2e

tahun 2010 dan lapangan pekerjaan tahun 2008 menurut sektor 5 3. Persentase kemiskinan di Kalimantan Timur tahun 2005 – 2011 (%)

4. Inclusive green economy merupakan gabungan dari pertumbuhan

inklusif dan pertumbuhan hijau 16

5. Inclusive green economy, pengurangan kemiskinan dan MDGs

6. Pemerataan versus efisiensi pada model dua periode waktu 23 7. Pertimbangan dinamis dalam analisis biaya manfaat sumberdaya yang

tidak dapat diperbaharui 24

8. Dampak kesejahteraan antar waktu akibat penggunaan sumberdaya

alam tidak terbarukan 25

9. Eksternalitas 27

10. Potensi gain kebijakan pengurangan emisi 26 persen 31 11. Potensi gain kebijakan pengurangan emisi 41 persen 31

12. Kerangka pemikiran 35

13. Ilustrasi Tabel Input Output (29 x 29 sektor) 40 14. Ilustrasi Sistem Neraca Sosial Ekonomi bentuk sederhana 54 15. Distribusi PDRB ADHB Kalimantan Timur menurut lapangan usaha

tahun 2009-2012 (persen) 58

16. Jumlah dan kontribusi penerimaan pemerintah dari sektor

ESDMtahun2009-2013 59

17. Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2000-2012 61 18. Persentase kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur tahun

2005-2012 62

19. Indeks Gini Provinsi Kalimantan Timur tahun 2000-2012 63 20. Indeks Gini menurut kabupaten/kota tahun 2011-2013 64 21. Tingkat pengangguran di Provinsi Kalimantan Timur tahun

2000-2012 65

22. Jumlah tenaga kerja dan distribusi PDRB menurut sektor tahun

2010-2012 66

23. Indeks Kualitas Hidup Lingkungan (IKLH) tahun 2009 - 2012 67 24. Intensitas emisi GRK (dalam ton CO2e per kapita) tahun 2000 - 2012 69

25. Intensitas penggunaan energi batubara (dalam ton per kapita) tahun

(20)

26. Efisiensi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tahun 2000–

2012 71

27. Strategi transformasi ekonomi Provinsi Kalimantan Timur 71 28. Persentase perubahan output relatif terhadap kondisi baseline menurut

kabupaten/kota untuk kebijakan pengurangan emisi dengan prioritas

maksimisasi output 79

29. Persentase perubahan output relatif terhadap kondisi baseline menurut kabupaten/kota untuk kebijakan pengurangan emisi dengan prioritas

minimisasi emisi 83

30. Persentase perubahan output relatif terhadap kondisi baseline menurut kabupaten/kota untuk kebijakan pengurangan emisi dengan prioritas

maksimisasi penyerapan tenaga kerja 87

31. Trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan emisi yang dihasilkan 90

32. Elastisitas sektoral output terhadap emisi 91

33. Multiplier pendapatan masyarakat menurut wilayah 92

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Target Emisi dan pertumbuhan serta Skenario Prioritas Kebijakan 111 Lampiran 2 Realisasi Capaian Emisi Menurut Target Emisi dan

Pertumbuhan serta Skenario Prioritas Kebijakan 113 Lampiran 3 Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja

Menurut Sektor Skenario Kebijakan: Prioritas Output dan

Target Pertumbuhan 1,59 Persen 114

Lampiran 4 Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja Menurut Sektor Skenario Kebijakan: Prioritas Output dan

Target Pertumbuhan 5,00 Persen 115

Lampiran 5 Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja Menurut Sektor Skenario Kebijakan: Prioritas Emisi dan

Target Pertumbuhan 1,59 Persen 116

Lampiran 6 Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja Menurut Sektor dan Skenario Kebijakan 117 Lampiran 7 Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja

Menurut Sektor dan Skenario Kebijakan 118 Lampiran 8 Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja

Menurut Sektor dan Skenario Kebijakan 119 Lampiran 9 Kontribusi perubahan output menurut sektor 111 Lampiran 10 Kontribusi perubahan output menurut sektor 112 Lampiran 11 Kontribusi perubahan output menurut sektor 113 Lampiran 12 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor 114 Lampiran 13 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor 115 Lampiran 14 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor 116 Lampiran 15 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor 117 Lampiran 16 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor 118

Lampiran 17 Output perdagangan emisi 119

Lampiran 18 Tabel Input-Output Provinsi Kalimantan Timur

tahun 2013 120

(22)
(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Degradasi dan kelangkaan sumberdaya alam merupakan isu utama di berbagai negara. Eksploitasi sumberdaya, baik yang terbarukan dan tidak terbarukan, secara tidak bijaksana semakin memperburuk kualitas lingkungan manusia. Sementara itu, potensi ancaman bencana yang mungkin ditimbulkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global semakin mengurangi kemampuan bumi dalam menyediakan sumberdaya alam yang diperlukan untuk kelangsungan kehidupan manusia. Oleh karena itu, membangun hubungan yang harmonis dengan alam perlu terus diupayakan, sehingga konsepsi pembangunan hijau atau pembangunan berkelanjutan tidak hanya untuk kepentingan alam namun juga bagi keberlanjutan kehidupan manusia.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai peningkatan utilitas atau kesejahteraan per kapita sepanjang waktu atau peningkatan dari sekumpulan indikator pembangunan (Pearce dan Atkinson 1998). Terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Pertama, jumlah agregat dari modal buatan manusia dan modal alam tidak boleh mengalami penurunan dan terdapat kemungkinan substitusi antara modal buatan manusia dan modal alami. Kedua, depresiasi modal lingkungan harus dihindari. Ketiga, total stok lingkungan tidak boleh menurun. United Nations Environment Programme atau UNEP (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan maka dibutuhkan suatu „alat‟ atau konsep yang disebut sebagai green economy atau ekononomi hijau. Ekonomi hijaudiartikan sebagai salah satu cara untuk menciptakan peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, yang disertai dengan pengurangan resiko kerusakan lingkungan secara signifikan dan kelangkaan ekologis.

Terdapat dua asumsi utama dalam ekonomi hijau (UNEP 2011), yaitu: pertama, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, dimana kemajuan ekonomi dicapai melalui penggunaan teknologi yang bersifat ramah lingkungan; kedua, bahwa ekonomi hijau dapat diterapkan di semua negara, baik negara maju maupun tidak maju, dimana umumnya aktivitas transformasi menuju ekonomi hijau telah banyak dilakukan di negara berkembang juga. Terdapat tiga kelompok utama dalam ekononomi hijau, yaitu (i) sektor modal alam (pertanian, hutan, perikanan); (ii) modal buatan dan kondisi yang memungkinan terbentuknya ekonomi hijau, seperti reformasi kebijakan, kebijakan fiskal, perdagangan dan pengembangan kapasitas masyarakat.

(24)

menjamin penciptaan lapangan kerja dan perlindungan lingkungan serta inklusi sosial, atau yang disebut sebagai triple bottom line. Konsep kebijakan ekonomi hijau diperkirakan mampu menciptakan peningkatan pengelolaan asset lingkungan dengan mengurangi polusi dan degrasi lingkungan serta menjamin terjadinya distribusi manfaat yang berkeadilan. Oleh karena itu, suatu kebijakan ekonomi hijau inkslusif yang bersifat rendah karbon dan memiliki daya tahan terhadap perubahan iklim akan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya secara efisien, menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan lebih berdaya tahan (resilient), serta menciptakan kesempatan ekonomi yang lebih besar serta keadilan sosial bagi kelompok miskin (PEP2012).

Dalam konteks Indonesia, kebijakan ekonomi hijau tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Makmun2011). Strategi dari kebijakan tersebut dituangkan dalam dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang dikembangkan oleh Bappenas, yang memuat strategi sembilan sektor dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan. Kesembilan sektor tersebut adalah energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumberdaya air, kesehatan, dan termasuk kehutanan. Pemerintah juga berkomitmen dalam menurunkan tingkat emisi sampai dengan 26 persen hingga tahun 2020 atau penurunan hingga 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luarnegeri. Sebagai konsekuensinya, Pemerintah akan menerima insentif dengan melakukan perlindungan terhadap hutan sebagai upaya mengurangi emisi, melindungi biodiversitas dan mendukung penduduk asli lokal. Pemerintah Indonesia bahkan telah membuat perencanaan target penurunan emisi tersebut dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang diatur dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 61 Tahun 2011.

RAN GRK merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Dokumen tersebut bermanfaat sebagai acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK di beberapa bidang prioritas baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, RAN GRK digunakan sebagai acuan investasi terkait penurunan emisi GRK dan sebagai acuan pengembangan strategi dan rencana aksi penurunan emisi GRK oleh daerah-daerah di Indonesia.

World Bank (2009) menyatakan bahwa perubahan iklim akan memberikan dampak negatif bagi Indonesia dan memperkirakan besaran biaya ekonomi yang dapat terjadi. Hingga tahun 2100, biaya ekonomi yang terjadi mencapai sebesar antara 2,5-7,0 persen dari total PDB. Biaya ekonomi tersebut disebabkan oleh adanya penurunan produksi hasil pertanian, peningkatan permukaan laut, peningkatan resiko banjir, pengikisan batu karang, serta penyebaran penyakit yang disebabkan oleh serangga atau nyamuk akibat kualitas lingkungan yang buruk.

(25)

bencana, baik alam atau lainnya. World Bank (2006) menyatakan bahwa sebesar 10 juta penduduk dari total 36 juta penduduk miskin Indonesia, sangat bergantung pada hutan, sehingga kerusakan hutan berdampak negatif terhadap penduduk miskin tersebut, menurunkan jasa lingkungan dan semakin mempersulit upaya pencapaian pengurangan kemiskinan.

Sebagai respon terhadap kebijakan nasional dalam mengurangi emisi, maka Provinsi Kalimantan Timur memiliki komitmen guna berkontribusi secara aktif. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) pada tahun 2012. Kebijakan dalam RAD GRK bersifat menyeluruh, mencakup sektor berbasis lahan, energi dan transportasi. Selain itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga menyusun Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ dan membentuk kelompok kerja Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (REDD+) pada tahun 2010. Melalui penyusunan dokumen RAD GRK dan SRAP GRK tersebut diharapkan bahwa kedua dokumen tersebut dapat memberikan panduan bagi pemerintah daerah, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota, dalam melakukan upaya pengurangan emisi pada setiap sektor ekonomi yang ada di wilayah. Lebih lanjut, Pemerintah Kalimantan Timur juga mendeklarasikan gerakan Kaltim Hijau (Kaltim Green) pada Kaltim Summit tanggal 7 Januari 2010, yang bertujuan untuk melakukan pembangunan ekonomi secara simultan dengan penyelamatan lingkungan dari kepunahan dan kerusakan sumberdaya alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun terdapat beberapa tantangan bagi Kalimantan Timur dalam melakukan upaya pengurangan emisi.

Data Bappenas dan Dewan Nasional Perubahan Iklim menyebutkan bahwa pada tahun 2008 Provinsi Kalimantan Timur merupakan penghasil emisi terbesar ketiga di Indonesia yaitu sebesar 255 juta ton CO2e, setelah Kalimantan Tengah

dan Riau. Emisi tersebut berasal dari bidang penggunaan lahan, energi dan pertambangan. Pada sisi lain, sektor-sektor tersebut merupakan penyumbang PDRB tertinggi dan berperan penting dalam perekonomian Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini menunjukkan bahwa isu degradasi lingkungan terutama sebagai akibat dari aktivitas sektor ekonomi yang dominan, masih merupakan masalah utama di Kalimantan Timur.

Tantangan lain yang dihadapi yaitu berupa data atau informasi terkait transisi paradigma pembangunan dari konvensional ke ekonomi hijau. Provinsi Kalimantan Timur minimnya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur secara langsung kinerja pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, terkait dengan implementasi kebijakan pengurangan emisi, belum dapat dilakukan pengukuran atas dampak yang mungkin ditimbulkan oleh penerapan kebijakan tersebut bagi perekonomian dan juga kondisi sosial di Kalimantan Timur.

Perumusan Masalah

(26)

minyak, gas dan batubara, dan kehutanan. Diperkirakan hampir 69 persen dari total ekonomi Kalimantan Timur berasal dari kegiatan eksploitasi sumber-sumber daya alam, seperti pertambangan migas dan batubara. Dengan dominasi sektor-sektor ekonomi tersebut, Kalimantan Timur secara konsisten mengalami pertumbuhan ekonomi sepanjang periode 2000 hingga 2013, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 3,3 persen (Gambar 1). Namun sektor-sektor dominan tersebut, menyumbang sebagian besar emisi karbon di wilayah Kalimantan Timur sehingga menempatkan Provinsi ini sebagai penyumbang emisi terbesar ketiga di Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh tim DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan Mc Kinsey Company yang bekerja sama dengan Provinsi Kalimantan Timur (2011), sektor-sektor dominan, yaitu perkebunan kelapa sawit, petanian, kehutanan, pertambangan dan batubara, serta minyak dan gas, merupakan sektor-sektor pendorong utama emisi CO2. Pada tahun 2010, tercatat

bahwa dari total 251 juta ton CO2e, sebesar 90 persen emisi adalah berasal dari

sektor-sektor tersebut yang juga diidentifikasi sebagai sektor-sektor pengguna lahan terutama lahan hutan (Gambar 2).

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, berbagai tahun penerbitan

Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur tahun 2000 – 2013 (persen) Kondisi penutupan lahan di wilayah Kalimantan Timur pada umumnya berupa vegetasi hutan.Namun demikian, dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya potensi hutan-hutan tersebut termasuk jumlah pohonnya sudah banyak berkurang karena sebagian besar sudah mengalami pembalakan. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2004 hingga 2009 kerusakan hutan di Kalimantan Timur terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu mencapai 350.000 Ha per tahun atau 2,39 persen dari total lahan hutan setiap tahunnya, dalam nilai moneter setara Rp 66,6 triliun. Pada tahun 2004 terdapat kerusakan kawasan sumber daya hutan seluas 6,4 juta Ha (43,68 persen dari total lahan hutan), dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 8,1 juta Ha (55,28 persen dari total lahan hutan).

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0

2000 2009 2010 2011r) 2012*) 2013**)

Pers

e

n

(27)

Sumber: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2009

Gambar 2 Distribusi PDRB atas dasar harga konstan tahun 2008, emisi CO2e

tahun 2010 dan lapangan pekerjaan tahun 2008 menurut sektor

Dalam Laporan Tim Terpadu Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur (2009) disebutkan bahwa kawasan hutan produksi yang seharusnya berupa kawasan hutan yang produktif pada kenyataannya di lapangan hanyalah berupa hutan-hutan sekunder ataupun semak belukar. Begitu pula kawasan hutan mangrove yang berlokasi di wilayah pesisir Kalimantan Timur seluas 405.000 hektar, sebagian besar telah hilang dan berubah menjadi kawasan pertambakan. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian termasuk perladangan mencapai luas 675.000 hektar sedang yang digunakan untuk pemukiman baik pedesaan maupun perkotaan mencapai luas 110.000 hektar. Luas kawasan hutan di wilayah Kalimantan Timur berdasarkan sumber legalitas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa apabila usulan revisi RTRWP Kalimantan Timur disetujui, maka akan terjadi pengurangan luas Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) sebanyak 2.692.806 Ha dari luas KBK menurut SK Menhut No. 79/Kpts-II/2001. Pengurangan ini akan dapat berdampak terhadap pengurangan potensi penyerapan karbon (CO2). Lebih lanjut, hutan produksi yang luasnya lebih

dari 60 persen dari total luas kawasan hutan, sudah diusahakan sejak tahun 1970an, tren jumlah produksi kayu selama 10 tahun terakhir ini semakin menurun (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2012). Deforestrasi yang terjadi mengakibatkan semakin meningkatnya lahan kritis di Kalimantan Timur. Akibatnya, kerusakan sumber daya hutan tersebut juga menyebabkan kepunahan berbagai jenis flora fauna endemik dan langka, sehingga potensi pelepasan emisi karbon menjadi semakin meningkat sedangkan penyerapan emisi karbon menjadi semakin berkurang.

(28)

deforestrasi yang terjadi adalah seluas 99,65 ribu hektar, meningkat di tahun 2008 menjadi 183,19 ribu hektar.

Tabel 1 Luas kawasan hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan berbagai sumber legalitas

14.651.553 73,64 11.958.747 60,44

5. Kawasan Budidaya Non hutan untuk kegiatan ekonomi seperti pertambangan batubara, minyak dan gas serta perkebunan kelapa sawit menciptakan permasalahan emisi di Kalimantan Timur (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2012). Hasil pembangunan yang bersifat ekstraktif tersebut menciptakan emisi yang cukup besar, sehingga menempatkan Kalimantan Timur sebagai provinsi penghasil emisi ketiga setelah Kalimantan Tengah dan Riau. Selain itu, emisi juga dihasilkan oleh adanya aktivitas perluasan kawasan untuk pembangunan dan sebagai dampak dari kebakaran hutan dan lahan di tanah mineral dan di lahan gambut. Sumber emisi lainnya di Kalimantan Timur adalah pembangkit listrik yang dioperasikan oleh Pemda dan tidak terkoneksi PLN, pemakaian listrik serta konsumsi bahan bakar fosil untuk alat-alat transportasi dan aktivitas industri kecil menengah, serta dari sampah yang dihasilkan masyarakat.

Yusuf (2010) melakukan estimasi terhadap nilai Produk Domestik Regional Hijau (Green/Eco Regional Domestic Product) dengan menggunakan data tahun 2005 untuk 30 provinsi di Indonesia. Ukuran tersebut merupakan suatu pendekatan yang memberikan gambaran awal mengenai pembangunan berkelanjutan di Indonesia (Yusuf 2010) dan merupakan proxy bagi indikator

(29)

migas, non migas dan hutan) dan degradasi (terdiri dari polusi lokal dan polusi global).

Penelitian Yusuf (2010) menunjukkan perkiraan bahwa dari nilai PDRB sebesar Rp. 180,3 triliun pada tahun 2005, nilai PDR Hijau Kalimantan Timur adalah sebesar Rp. 129,9 triliun atau menjadi hanya sekitar 72,05 persen dari nilai total PDRB. Hal ini disebabkan oleh adanya depresiasi sebesar Rp. 7,8 triliun atau sebesar 4,3 persen dari total PDRB Kalimantan Timur. Selain itu, terdapat komponen deplesi yang juga menjadi pengurang, yaitu deplesi sumberdaya migas sebesar Rp. 27,4 triliun (15,2 persen), deplesi sumber daya non-migas sebesar Rp. 11,3 triliun (6,3 persen) dan deplesi sumberdaya hutan sebesar Rp. 2,2 triliun (1,24 persen). Selain itu, komponen pengurang lainnya adalah polusi, baik polusi lokal (sebesar Rp. 916 milyar atau 0,5 persen) dan polusi global (sebesar Rp. 825 milyar atau 0,5 persen).

Dibandingkan provinsi lainnya, besaran relatif nilai komponen pengurang dalam penghitungan PDR Hijau untuk Provinsi Kalimantan Timur cukup tinggi, terutama komponen deplesi, yaitu sebesar 22,7 persen dari total PDRB (Lampiran 1). Akibatnya, Kalimantan Timur memiliki PDR Hijau terendah kedua, dengan nilai rasio PDR Hijau terhadap PDRB sebesar 72,0 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan nilai stok sumber daya yang berkurang cukup signifikan, akibat aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang cukup tinggi.

Ditinjau dari aspek sosial, pemanfaatan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, yang bersifat ekstraktif ternyata belum memberikan manfaat positif bagi masyarakat perdesaan, khususnya perdesaan di sekitar kawasan hutan. Padahal, secara spasial sumber daya penyusun PDRB Kalimantan Timur sebagian besar berada di wilayah pedesaan.Salah satu penyebab kondisi tersebut adalah karena sebagian besar masyarakat tersebut tidak memiliki akses ke sumber daya, terutama hutan dan lahan hutan. Studi yang dilakukan oleh Justianto (2005) menunjukkan bahwa penguasaan akses hanya diberikan kepada para pengusaha atau swasta di sektor kehutanan, sehingga peran serta masyarakat lokal dalam aktivitas ekonomi di sektor tersebut relatif sangat kecil.

Data kemiskinan BPS menunjukkan bahwa walaupun terdapat penurunan pada persentase penduduk miskin di Kalimantan Timur, yaitu dari 10,57 persen pada tahun 2005 menjadi 6,77 persen pada tahun 2011, proporsi penduduk miskin lebih besar berada di wilayah perdesaan (Gambar 3). Pada tahun 2011, persentase penduduk miskin di wilayah perkotaan hanya 4,06 persen, sedangkan di wilayah perdesaan sebesar 11,21 persen. Pada periode yang sama nilai Poverty Gap Index

(P1) 1,352 dan Poverty Severity Index (P2)0,289, artinya kemiskinan di wilayah

perdesaan lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran dari penduduk miskin pedesaan relatif lebih rendah dibandingkan penduduk miskin perkotaan. Pada saat yang sama, kesenjangan pengeluaran antar penduduk miskin di perdesaan juga relatif lebih besar dibandingkan perkotaan. Hal ini merefleksikan bahwa eksploitasi sumber daya alam nampaknya tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi penduduk miskin di wilayah perdesaan.

(30)

miskin berada di wilayah sekitar kawasan hutan. Padahal hutan di Kalimantan Timur telah dimanfaatkan secara ekonomis, namun tampaknya kurang memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitarnya.

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, berbagai seri penerbitan

Gambar 3 Persentase kemiskinan di Kalimantan Timur tahun 2005-2011 (%) Tim Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (2011) melakukan analisis terkait strategi pembangunan berkelanjutan untuk Provinsi Kalimantan Timur. Hasil analisis menunjukkan bagaimana Kalimantan Timur dapat bertumbuh sekaligus melakukan konservasi lingkungan melalui pengurangan emisi karbon. Pada sektor kehutanan, hingga tahun 2030 terdapat potensi peningkatan nilai tambah sektor tersebut hingga Rp 16 triliun. Hal ini dapat dilakukan jika aktivitas ekonomi difokuskan kepada kegiatan pengolahan hasil hutan. Selain itu, dengan memanfaatkan hasil hutan kayu secara menyeluruh, seperti yang dilakukan oleh negara-negara di Eropa, Amerika Utara dan Brazil, maka akan diperoleh potensi nilai tambah hingga Rp. 700 miliar. Batang kayu digunakan untuk kayu lapis, sedangkan cabang-cabang dan sisaannya dapat digunakan untuk industri pulp dan kertas. Dengan menjalankan prinsip ekonomi hijau pada sektor kehutanan, diyakini dapat diperoleh potensi peningkatan nilai tambah. Seharusnya, potensi tersebut dapat ditangkap untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.Namun faktanya, kemiskinan di sekitar hutan masih merupakan masalah di Provinsi Kalimantan Timur.

Selain menciptakan tambahan pendapatan, ekonomi hijau juga diyakini dapat meningkatkan pemerataan (World Bank 2012). Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yang baik, termasuk pengurangan emisi, berpotensi dalam memberikan dampak sosial yang baik terhadap masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin yang sangat bergantung pada lingkungan dan paling terdampak oleh adanya kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, penerapan praktik pertanian yang ramah lingkungan di Uganda mampu mendorong produktivitas dan meningkatkan akses pasar (PEP 2012). Lebih lanjut, untuk beberapa negara yang masih memiliki wilayah hutan yang signifikan, penerapan skema pembayaran seperti REDD+ atau jasa lingkungan dapat menciptakan pendapatan sekaligus

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(31)

menjaga lingkungan (ILO/UNEP 2012). Studi menunjukkan bahwa investasi internasional sebesar US$ 30 milyar setiap tahunnya untuk kegiatan REDD+ dapat menciptakan lapangan kerja hingga 8 juta di negara berkembang.

Namun demikian, beberapa studi empiris menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, kebijakan pengurangan emisi menciptakan trade-off dengan kinerja ekonomi, berupa perlambatan ekonomi atau penurunan output (Boopen dan Harris 2012; Cristóbal 2012). Penelitian dengan menggunakan data Mauritius yang dilakukan oleh Boopen dan Harris menunjukkan bahwa emisi CO2 berpengaruh

secara negatif terhadap besaran output, yang pada akhirnya mengakibatkan perlambatan ekonomi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Cristóbal dengan menggunakan data Spanyol menunjukkan bahwa tingkat output menjadi lebih rendah jika kebijakan pengurangan emisi serta kebijakan peningkatan penyerapan tenaga kerja sekaligus diterapkan dalam suatu ekonomi.

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Grottera et al. (2013) di Brazil menunjukkan bahwa terdapat dampak pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap ketimpangan pendapatan di Brazil. Kebijakan pengurangan emisi direpresentasikan oleh penerapan pajak untuk setiap ton CO2e yang dihasilkan

dalam aktivitas ekonomi. Dampak kebijakan terhadap distribusi pendapatan dianalisis dengan menggunakan model SAM. Hasil menunjukkan bahwa dampak yang diberikan berbeda, bergantung kepada bagaimana pendapatan pajak tersebut digunakan dalam perekonomian. Jika pajak tersebut digunakan dalam bentuk pengurangan pajak tenaga kerja, akan terdapat kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, jika pendapatan dari pajak digunakan dalam bentuk transfer langsung ke rumahtangga, maka kebijakan pengurangan emisi akan mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Cristóbal (2012) mengenai analisis kebijakan lingkungan dalam perekonomian Spanyol. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan secara simultan terhadap perekonomian Spanyol. Model Goal Programming

berbasis Tabel Input-Output Spanyol digunakan dalam menggambarkan keterkaitan antar aspek ekonomi, energi, sosial dan lingkungan. Selain itu, model juga digunakan dalam mengestimasi beberapa tujuan pembangunan yang seharusnya diterapkan untuk mencapai keberlanjutan.

Penelitian tersebut memberikan gambaran mengenai kebijakan pembangunan yang sebaiknya dilakukan, yang mencakup dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan, untuk mencapai keberlanjutan. Hasil penelitian menunjukkan besaran tingkat output ekonomi, jumlah penyerapan tenaga kerja, tingkat emisi serta penggunaan energi yang sebaiknya dicapai, untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dalam suatu perekonomian. Namun demikian, penelitian tersebut belum dapat menjawab mengenai dampak kebijakan lingkungan terhadap distribusi pendapatan masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:

(32)

2. Bagaimana dampak tidak langsung yang ditimbulkan oleh kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap distribusi pendapatan masyarakat perdesaan dan perkotaan di wilayah Kalimantan Timur?

3. Apakah kebijakan perdagangan emisi dapat mengatasi atau mengurangi

trade-off yang ditimbulkan oleh kebijakan pengurangan emisi?

Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi trade-off

yang terjadi antara pengurangan emisi dan kinerja ekonomi. Selain itu, penelitian ini juga mengestimasi dampak tidak langsung dari kebijakan pengurangan emisi terhadap distribusi pendapatan masyarakat di Kalimantan Timur.

Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengestimasi dampak yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap kinerja ekonomi Kalimantan Timur

2. Mengestimasi dampak tidak langsung yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap distribusi pendapatan masyarakat perkotaan dan perdesaan di wilayah Kalimantan Timur

3. Mengestimasi potensi ekonomi kebijakan perdagangan emisi dalam mengatasi dampak kebijakan pengurangan emisi di Provinsi Kalimantan Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1 Bahan evaluasi dan masukan bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Timur terkait dengan kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca

2 Bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur dalam menyusun perencanaan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan pemerataan pendapatan masyarakat

3 Bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijakan alternatif untuk meminimalkan trade-off ekonomi akibat kebijakan pengurangan emisi.

Kebaruan Penelitian

(33)

sifatnya lebih makro cakupan wilayah Provinsi dengan mempertimbangkan keterkaitan antar sektor ekonomi, belum pernah dilakukan di Kalimantan Timur.

Lebih lanjut, penelitian ini menyajikan beberapa opsi skenario untuk dapat mencapai ekonomi hijau. Melalui pengembangan skenario tersebut dapat diperoleh gambaran sektor-sektor ekonomi dan wilayah-wilayah yang relatif lebih terdampak akibat penerapan kebijakan ekonomi hijau. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar penentuan opsi kebijakan investasi Pemerintah Daerah dalam upaya mencapai ekonomi hijau.

(34)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Berkelanjutan

Dalam buku yang berjudul Limits to Growth, Meadows et al. (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia adalah terbatas dengan memperhitungkan lima faktor utama yaitu percepatan industri, pertumbuhan penduduk yang tinggi, wabah malnutrisi, deplesi sumberdaya alam tidak terbarukan dan penurunan kualitas lingkungan. Dengan menggunakan teori sistem dinamis dan model yang disebut sebagai World3, buku tersebut menyajikan dan menganalisa sebanyak 12 skenario yang memberikan gambaran mengenai pola pembangunan dunia dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan. Model tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dan penggunaan sumberdaya alam berinteraksi dan menciptakan keterbatasan bagi pertumbuhan industri. Namun, pada saat itu kondisi perekonomian dan penduduk masih berada dalam daya dukung bumi.

Pada tahun 1990an, penulis melakukan pembaharuan pada penelitian tersebut dalam buku yang berjudul Beyond the Limits. Terdapat fakta bahwa berbagai aktivitas yang dilakukan manusia cenderung menciptakan eksternalitas negatif terhadap lingkungan hingga melampaui daya dukung lingkungan. Akibatnya muncul ancaman terhadap keberlanjutan sumberdaya alam. Buku tersebut menyajikan penjelasan mengenai bagaimana penyesuaian yang perlu dilakukan dalam proses pembangunan sehingga keberlanjutan sumberdaya alam dapat tercapai.

Timbulnya kesadaran akan penurunan kualitas lingkungan tersebut melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang memperhatikan aspek ekonomi dan konservasi dari sumberdaya alam (Justianto 2005). Konsep pembangunan berkelanjutan sangat luas, karena mencakup seluruh aspek kehidupan.Konsep tersebut memberi perhatian kepada pembangunan, penggunaan secara berkelanjutan dan konservasi sumberdaya alam.

Berdasarkan Brundtland Report, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan pada waktu saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Tietenberg 2004). Pembangunan berkelanjutan menitikberatkan fokus perhatian pada hubungan antara ekonomi dan ekologi. Implikasi dari konsep tersebut bagi kebijakan ekonomi dan lingkungan adalah dengan menerapkan konsep efisiensi dan keberlanjutan secara simultan. Strategi kebijakan ditentukan dengan mempertimbangkan alternatif pemanfaatan sumber daya yang memenuhi kriteria berkelanjutan, dan memilih salah satu alternatif yang dapat memberikan manfaat secara maksimal antar waktu.

(35)

modal alami. Kedua, depresiasi modal lingkungan harus dihindari. Ketiga, total stok lingkungan tidak boleh menurun.

Pada tahun 2002, konsep pembangunan berkelanjutan kemudian diperluas cakupannya, yaitu mencakup ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan lingkungan hidup (Purwoko 2011). Dalam konsep ini alam dianggap sebagai sumberdaya yang perlu dikelola dengan baik, agar terjadi kesinambungan penggunaannya hingga generasi berikutnya. Oleh karena itu, penggunaan sumberdaya alam harus dilakukan secara efisien untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tetap memperhatikan kebutuhan sosial kemasyarakatan.

Konsep pembangunan berkelanjutan merepresentasikan suatu upaya untuk mempertimbangkan keterbatasan fisik dari pertumbuhan ekonomi, dan lebih luas lagi melakukan eksplorasi mengenai bagaimana dan sejauhmana tujuan sosial ekonomi dapat tercapai dengan memperhatikan masalah kualitas lingkungan dan keseimbangan antar waktu. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutan memiliki dua hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu keberadilan dan keseimbangan. Hal tersebut berarti bahwa agar pembangunan dapat berjalan secara berkelanjutan, maka pembangunan tersebut harus memperhatikan kepentingan berbagai kelompok masyarakat, dalam generasi yang sama dan antar generasi, sekaligus juga dengan mempertimbangkan aspek yang saling berkaitan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan secara komprehensif (World Bank 2004).

Dari sudut pandang ekonomi, Panayatou (1993) menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan oleh adanya kegagalan pasar. Kegagalan pasar digambarkan sebagai suatu kondisi dimana kelangkaan sumberdaya dan biaya sosial yang semakin meningkat akibat aktivitas ekonomi tidak terepresentasikan pada tingkat harga output. Deplesi yang terjadi pada sumber daya alam tidak dimasukkan kedalam biaya produksi sehingga fungsi pasar yang seharusnya dapat menciptakan efisiensi, substitusi, konservasi dan inovasi dalam rangka menyeimbangkan suplai dan permintaan tidak dapat berjalan.

Menurut Panayatou, pembangunan berkelanjutan seharusnya dapat memberikan manfaat bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Namun, masalah pembangunan berkelanjutan bukan sekedar masalah trade-off antara masa kini dan masa yang akan datang, ataupun masalah transfer antar generasi. Masalah pembangunan berkelanjutan adalah terkait dengan masalah biaya dan efisiensi dari pertumbuhan ekonomi. Selain memberikan manfaat ekonomi, seperti peningkatan standar kehidupan, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, harapan hidup yang lebih panjang, serta kondisi pekerjaan yang lebih baik; pertumbuhan ekonomi juga menciptakan biaya, seperti deplesi sumberdaya, degradasi lingkungan, gangguan ekologis dan ketimpangan yang semakin melebar.

(36)

terhadap bentuk kegagalan pasar lainnya melalui penciptaan insentif dan disintensif ekonomi yang didasarkan pada sistem pasar secara konsisten, serta (4) melakukan penilaian dan pemeriksaan dampak lingkungan atas berbagai proyek publik.

Dalam Deklarasi Johanesburg di tahun 2002 disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yang mendukungnya yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Ketiga pilar tersebut merupakan tanggungjawab bersama semua pihak, dari tingkat lokal hingga internasional (Justianto 2005). Melalui ketiga pilar tersebut, diharapkan pembangunan akan berimplikasi pada tiga hal, yaitu (i) produksi harus dilakukan dengan menggunakan sumber alam yang seefisien mungkin, pertumbuhan ekonomi harus tersebar dan mempunyai dampak terhadap lingkungan yang terkelola secara seimbang, dan (iii) konflik kepentingan dalam penggunaan sumberdaya alam harus dikelola secara baik dan adil agar menghasilkan produksi yang member kemanfaatan yang maksimal.

Perman et al. (1996) menyatakan bahwa terdapat tiga alasan utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, alasan moral, dimana generasi saat ini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan memiliki tanggungjawab moral untuk menyisakan jasa yang diperoleh dari sumberdaya alam tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup tidak melakukan ekstraksi sumberdaya alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan sehingga berpotensi dalam menghilangkan kesempatan generasi mendatang untuk memperoleh manfaat yang sama dari sumberdaya alam. Kedua, alasan ekologi yaitu bahwa keanekaragaman hayati dalam sumberdaya alam memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi, sehingga aktivitas ekonomi perlu diarahkan untuk menghindari terjadinya kerusakan ekologi. Ketiga, alasan ekonomi, dimana pemanfaatan sumberdaya alam secara ekonomi perlu memperhatikan kesejahteraan antar generasi (intergenerational welfare maximization).

Inclusive Green Economy dan Pengurangan Emisi

Konsep green economy diyakini dapat diterapkan untuk mencapai tujuan

(37)

Terkait dengan konsep pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan, konsep green economy dipandang secara berbeda oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Perbedaan ini merujuk kepada proses-proses pembangunan dan struktur masyarakat antara negara maju dan berkembang. Untuk itu, definisi green economy menyiratkan perlunya fleksibilitas dengan mempertimbangkan tingkat pembangunan ekonomi, sosial, dan lingungan yang berbeda-beda di setiap negara.

Beberapa lembaga internasional sudah mulai mendefinisikan konsep green economy. UNEP (2011) mendefinisikan green economy adalah:

One that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities. It is low carbon, resource efficient and socially inclusive. In a green economy, growth in income and employment should be driven by public and private investment that reduce carbon emissions and pollution, enhance energy and resource efficiency, and preven the loss of biodiversity and ecosystem services

UNEP (2011) menyatakan bahwa pengertian green economy lebih luas cakupannya dibandingkan Low-Carbon Economy (LCE) atau Low-Fossil-Fuel Economy (LFFE), yaitu aktivitas ekonomi yang memberikan output minimal terhadap emisi Green Houses Gas (GHG) yang dilepaskan. Model ekonomi baru tersebut didasarkan pada pengetahuan ecological economics yang membahas tentang ketergantungan manusia secara ekonomis terhadap ekosistem alam dan akibat dari efek aktivitas ekonomi manusia terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Indikator penerapan green economy dalam suatu perekonomian, dapat dilihat melalui beberapa aktivitas seperti peningkatan investasi publik dan private dalam sektor green, peningkatan dalam kuantitas dan kualitas lapangan pekerjaan di sektor green, peningkatan GDP dari sektor green, penurunan penggunaan energi/sumberdaya per unit produksi, penurunan level CO2dan

polusi/GDP, serta penurunan konsumsi yang banyak menghasilkan limbah. Dalam konteks Indonesia, konsep ekonomi hijau idealnya mengandung karakteristik khusus yang dimiliki oleh Indonesia dan tidak terbatas pada penekananan penggunaan sumberdaya alam secara efisien. Kebijakan ekonomi hijau Indonesia menekankan pada pengurangan kemiskinan dan internalisasi biaya lingkungan hidup (Fauzi 2010; Pokjanas HoB 2013). Delegasi Indonesia dalam pertemuan Global Ministerial Forum di Bali tahun 2010 menyatakan bahwa definisi ekonomi hijau menurut Indonesia, adalah:

―a development paradigm that based on resource efficiency approach

with strong emphasizes on internalizing cost of natural resource depletion on environmental degradation, efforts on alleviate the poverty, creating decent jobs and ensuring sustainable economi growth‖.

Sehingga bagi Indonesia penerapan ekonomi hijau berarti menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan prinsip lingkungan dan dapat menciptakan sumber pertumbuhan baru melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan.

(38)

untuk mendukung penerapan ekonomi hijau, (iii) aktivasi pasar karbon global, (iv) pengembangan pasar global untuk servis ekosistem, (v) pengembangan dan transfer teknologi yang ramah lingkungan, serta (vi) koordinasi internasional dalam implementasi paket stimulus green.

Saat ini, terdapat pengembangan pandangan dari green economy menjadi konsepsi ekonomi hijau yang inklusif (inclusive green economy). Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Poverty-Environment Partnership atau PEP (2012),

inclusive green economy diyakini dapat menguraikan masalah sistemik dalam sistem ekonomi sekarang dan dapat menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan dengan meningkatkan perolehan ekonomi dan manfaat sosial dari kegiatan investasi di bidang peningkatan kualitas lingkungan dan pembangunan rendah karbon dan climate-resilient. Oleh karena itu, inclusive green economy merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan dari pembangunan berkelanjutan secara simultan sehingga dapat memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rawan serta mengurangi ketimpangan (Gambar 4).

Sumber: PEP, 2012

Gambar 4 Inclusive green economy merupakan gabungan dari pertumbuhan inklusif dan pertumbuhan hijau

UNEP (2012) juga menjelaskan bahwa strategi menuju inclusive green economy akan berbeda untuk setiap ekonomi, hal ini didasarkan kepada tantangan dan peluang yang dihadapi oleh masing-masing ekonomi. Namun demikian, terdapat sejumlah karakteristik kunci dari inclusive green economy yang dapat ditemui berdasarkan ketiga aspek. Dilihat dari aspek ekonomi, karakteristik dari

inclusive green economy bersifat (i) mendukung alokasi sumberdaya secara efisien dan pertumbuhan ekonomi yang resilient terhadap perubahan iklim, (ii) menciptakan dan menjaga lapangan pekerjaan dan peluang ekonomi lainnya yang

Inclusive Growth

Green Growth

(39)

memberikan manfaat bagi kelompok miskin, termasuk juga sektor informal, (iii) merangsang inovasi dan adopsi teknologi hijau yang memberikan manfaat bagi kelompok miskin, serta (iv) melakukan diversifikasi dan memperluas ketahanan ekonomi lokal dan nasional.

Dilihat dari aspek sosial, karakteristik dari inclusive green economy adalah: (i) meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, khususnya kelompok miskin, (ii) mendukung keberadilan, termasuk kesetaraan jender, (iii) membangun modal sosial dan mengembangkan ketahanan komunitas lokal, terutama antar kelompok miskin. Sedangkan dari aspek lingkungan, sifat yang dimiliki adalah: (i) meningkatkan produktivitas dan penggunaan sumberdaya alam secara efisien, (ii) mengurangi pencemaran dan dampak dari bencana alam, serta meningkatkan pengelolaan resiko lingkungan, serta (iii) melakukan investasi dalam perbaikan dan pemeliharaan ketahanan dan keberlangsungan ekosistem. Karakteristik pengelolaan (governance) dari suatu inclusive green economy adalah: (i) memberdayakan masyarakat melalui akses informasi dan keberadilan serta partisipasi dalam pengambilan keputusan, khususnya untuk masyarakat kaum marjinal, dan (ii) meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pada sektor public dan swasta, termasuk regulasi pasar yang lebih baik.

Asian Development Bank atau ADB (2012) menyatakan bahwa inclusive green economy diyakini dapat meningkatkan efisiensi sumberdaya, daya tahan ekosistem dan peluang ekonomi yang lebih besar, serta keberadilan sosial bagi kelompok miskin. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan pengelolaan dan nilai asset lingkungan melalui upaya pengurangan pencemaran dan degradasi lingkungan, serta dengan menjamin distribusi manfaat sumberdaya secara merata. Langkah kebijakan ekonomi hijau tersebut diharapkan dapat meningkatkan kehidupan, kesehatan dan daya tahan kelompok miskin. Keterkaitan antara kebijakan ekonomi hijau dan pengurangan kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: PEP, 2012

Gambar 5 Inclusive green economy, pengurangan kemiskinan dan MDGs

(40)

dan produksi yang berkelanjutan. Selain itu, konsep tersebut juga harus didukung oleh adanya peningkatan nilai tambah serta investasi pada aktivitas yang didukung oleh sumberdaya yang berlimpah dalam suatu perekonomian.

Lebih lanjut, UN (2011) juga menyatakan bahwa selain aspek ketersediaan sumberdaya alam, adanya pertumbuhan jumlah populasi juga perlu dipertimbangkan dalam suatu perekonomian untuk mencapai keberlanjutan pembangunan. Populasi dipandang sebagai sumberdaya sekaligus juga target pembangunan. Peningkatan jumlah populasi dapat menciptakan tekanan yang semakin berat bagi sumberdaya alam. Oleh karena itu, aspek sosial pembangunan perlu diperhatikan, terutama terkait dengan pemerataan pendapatan masyarakat.

Alfredson dan Wijkman (2014) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup kontras antara konsep ekonomi konvensional dan green economy. Konsep

green economy merupakan perbaikan dari konsep ekonomi konvensional, dimana terdapat perubahan signifikan terkait struktur insentif yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan. Penerapan konsep green economy dalam suatu perekonomian diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial dan ekologi. Ini berarti bahwa yang menjadi tujuan adalah pembangunan yang berkelanjutan secara sosial, dimana keberlanjutan ekologi merupakan syarat dasar dengan ekonomi sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Salahsatu cara untuk dapat menghasilkan suatu inclusive green economy

adalah dengan menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi yang hijau (green growth) dan inklusif. Pertumbuhan ekonomi hijau mengandung lima dimensi, yaitu (1) pengurangan emisi gas rumah kaca, (2) pembangunan ekonomi berkelanjutan, (3) ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan, (4) ekosistem yang produktif dan sehat sebagai penyedia jasa lingkungan, dan (5) pertumbuhan yang inklusif dan berkeadian.

Dalam konteks Kalimantan Timur, kebijakan inclusive green economy

diterjemaahkan kedalam bentuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Pemerintah Daerah telah menyusun rancangan program strategis guna menurunkan emisi atau yang disebut sebagai Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Provinsi Kalimantan Timur 2010-2020.Dokumen tersebut merupakan pedoman resmi bagi pemerintah daerah, baik tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota, dalam melakukan upaya pengurangan emisi. Dokumen tersebut memuat sektor-sektor yang berkaitan langsung dan tidak langsung dalam mempengaruhi perubahan iklim dan rencana aksi kegiatan yang perlu dilakukan dalam mengurangi emisi untuk masing-masing sektor. Sektor-sektor tersebut adalah kehutanan, pertanian dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah dan kegiatan pendukung lainnya.

(41)

berbagai inisiatif/program kegiatan yang muncul baik secara lokal atau bahkan internasional terkait dengan pengurangan emisi, dan (3) menyelaraskan upaya vertikal dan horizontal agar lebih memiliki sensitifitas lingkungan menuju satu visi yang sama.

Perdagangan Emisi dan Pengurangan Emisi

Dua alternatif kebijakan dalam melakukan koreksi eksternalitasberupa emisi dalam perekonomian adalah pajak (Pigouvian Taxes) atau dengan menggunakan pendekatan perdagangan ijin emisi yang didasari oleh Teorema Coase (Folmer dan Gabel 2000; DiNapoli 2007). Penerapan pajak emisi memberikan insentif bagi produsen (emitter) untuk menekan emisi yang dihasilkan. Pajak akan mendorong produsen untuk berupaya dalam menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, sehingga emisi yang dihasilkan akan berkurang dan beban pajak yang ditanggung dapat dikurangi. Perdagangan emisi didasari pemikiran bahwa akan terdapat produsen yang mau saling memperdagangkan keunggulan produk dan ijin emisi, jika hal tersebut memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Perdagangan emisi juga memberikan insentif dalam mengembangkan penggunaan teknologi, karena dengan nilai emisi yang lebih kecil memberikan ruang bagi produsen untuk dapat memperoleh pendapatan dari ijin emisi yang dapat diperjualbelikan.

Walaupun secara konsep kedua pendekatan tersebut adalah baik dalam mengkoreksi eksternalitas, namun terdapat beberapa kelemahan. Penerapan pajak membutuhkan pengawasan yang ketat terhadap emisi yang dihasilkan. Hal ini diperlukan untuk dapat memperoleh penghitungan yang tepat mengenai tingkat polusi yang dihasilkan sebagai dasar penghitungan pajak. Lebih lanjut, diperlukan juga informasi mengenai tingkat teknologi produksi yang digunakan oleh produsen, yang direpresentasikan oleh fungsi biaya produksi dari perusahaan. Selain itu, penelitian empiris yang dilakukan oleh Creedy dan Sleeman (2005) menunjukkan bahwa penerapan pajak karbon di New Zealand mengakibatkan rumahtangga dengan tingkat pengeluaran yang lebih rendah akan mengeluarkan proporsi yang lebih besar untuk barang-barang yang bersifat carbon-intensive, seperti bahan bakar dan energi. Hal ini disebabkan karena penerapan pajak karbon terhadap aktivitas yang dilakukan oleh produsen, dibebankan kepada konsumen. Hasil penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh Symons et al. (2000) yang melakukan penelitian dampak penerapan pajak emisi terhadap tingkat harga di beberapa negara di Eropa. Walaupun dampak yang dirasakan tidak sama, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa negara seperti Jerman, Perancis dan Sanyol akan terdapat peningkatan harga atas barang-barang konsumsi yang harus ditanggung konsumen.

(42)
(43)

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Teoritis

Keberlanjutan

Keberlanjutan merupakan suatu konsep yang merupakan panduan untuk setiap aktivitas ekonomi untuk mengukur apakah aktivitas tersebut dapat berlanjut tanpa terbatas oleh interval waktu tertentu (Anderson 2010). Konsep umum dari keberlanjutan dapat diterapkan pada proses produksi dan konsumsi, hingga arus modal alam, fisik dan manusia. Berdasarkan UN (1987) dalam World Commission on Environment and Development Report, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan pada saat sekarang tanpa mengorbankan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang. Dalam konteks ekonomi lingkungan, terminologi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan berbagi arti yang sama.

Kriteria keberlanjutan didasarkan kriteria yang dibuat oleh ahli ekonomi, John R. Hicks yaitu mempertahankan tingkat konsumsi yang didefinisikan sebagai output bruto dikurangi investasi. Modal dibutuhkan produksi, yang mendorong adanya konsumsi dan pada akhirnya menciptakan kesejahteraan. Sehingga, para ahli ekonomi menganggap bahwa kriteria dari level kapital yang tidak menurun dan mempertahankan level konsumsi adalah sama dengan kriteria kesejahteraan yang tidak menurun. Stok modal yang tidak menurun dapat menjamin pemerataan antar generasi dalam konteks kesempatan untuk melakukan produksi, konsumsi, kesejahteraan. Terdapat beberapa kriteria keberlanjutan, yaitu: weak sustainability,

strong sustainability dan beberapa tipe keberlanjutan lainya.

Weak sustainability menyatakan bahwa modal fisik dan sumber daya alam bersifat substitusi, sehingga penurunan pada modal sumber daya alam sepanjang waktu tidak akan menjadi masalah jika diiringi dengan peningkatan modal fisik. Ahli ekonomi yang mendukung pemahaman tersebut diantaranya adalah John Hartwick dan Robert Solow. Kriteria strong sustainability menitikberatkan pada bagaimana mempertahankan modal sumber daya alam. Ahli ekonomi ekologi, seperti Herman Daly, memandang bahwa modal sumber daya alam dan fisik bersifat komplementer, dan bukan substitusi. Dalam proses produksi dan konsumsi untuk menciptakan kesejahteraan, modal sumber daya alam merupakan faktor utama penting. Dalam pemahaman ahli ekonomi ekologi, ahli ekonomi neoklasik kurang memberikan perhatian terhadap masalah degradasi lingkungan dan polusi, yang dapat berdampak terhadap pengurangan kesejahteraan sosial walaupun tingkat modal secara keseluruhan dapat dipertahankan.

Gambar

Gambar 3 Persentase kemiskinan di Kalimantan Timur tahun 2005-2011 (%)
Gambar 6 Pemerataan versus efisiensi pada model dua periode waktu
Gambar 7 Pertimbangan dinamis dalam analisis biaya manfaat sumber daya yang
Gambar 8 Dampak kesejahteraan antar waktu akibat penggunaan sumber daya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan tentang Deskriptif model role playing pada Kegiatan Ekstrakurikuler Palang Merah Remaja di SMPN 18 Padang diperoleh

(2) Tunjangan yang dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini diberikan kepada Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi tidak cakap bekerja karena cacat fisik atau

Selain itu, faktor genetik host juga berperan dalam patogenesis infeksi dengue, yang terlihat dari polimorfisme yang dijumpai pada beberapa gen yang berperan

Oleh karena itu, seorang mahasiswa kebidanan selaku tenaga kesehatan harus mampu untuk melakukan presentasi dengan baik di depan perorangan maupun kelompok

Abstrak: Implementasi Program Software Matlab dalam Memecahkan Kasus Fisika: Dinamika Sistem Massa dan Pegas (Prinsip Nilai dan Vektor Eigen).. Software Matlab diaplikasikan

pengumpul tingkat desa yang menjalin kerjasamadengan petani, selanjutnya pedagang pengumpul tingkat desa menjalin kerjasama dengan pedagang pengecer dan pedagang

Warga Perkemahan Reswara Praja Kendalisada Tahun 2016 yang dimaksud adalah Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega yang terlibat aktif dalam pelaksanaan kegiatan

Kesimpulan hasil penelitian ini melalui rumus kolerasi product moment menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan logis matematis