PENGELOLAAN HUTAN
JULIJANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Formulasi Strategi Komunikasi Kebijakan Kehutanan: Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya ini kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Pebruari 2015
RINGKASAN
JULIJANTI. Formulasi Strategi Komunikasi Kebijakan Kehutanan: Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dibimbing oleh Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, dan Dodik Ridho Nurrochmat.
Penelitian ini mengambil tema tentang komunikasi kebijakan di tingkat pemerintahan. Kasus yang dipilih adalah kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang menurut pengamatan peneliti terdapat hambatan dalam proses komunikasinya. Proses pengambilan keputusan kebijakan kerap kali mengabaikan masalah komunikasi, padahal salah satu sebab kegagalan kebijakan menurut beberapa ahli terkait masalah komunikasi. Kebijakan pembangunan KPH merupakan mandat UU No. 41/1999 yang digulirkan sebagai upaya preventif dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang sebelumnya berorientasi pada pengusahaan hutan. Perjalanan panjang pemahaman konsep/kebijakan KPH yaitu perubahan paradigma pengusahaan hutan ke paradigma pengelolaan hutan, telah mendapatkan bentuknya dengan lahirnya PP No. 6/2007. Namun dalam proses mengkomunikasikan kebijakan KPH ke daerah banyak mengalami kendala terutama terkait dengan adanya kesenjangan pengetahuan konsep (kebijakan) KPH. Hal ini berimplikasi pada lambatnya proses adopsi kebijakan KPH.
Lambatnya adopsi kebijakan KPH mengindikasikan adanya hambatan dalam (1) proses komunikasinya, sehingga perlu ditelusuri guna mengetahui (2) faktor-faktor yang memengaruhinya (tujuan antara: internalisasi dan operasionalisasi), sehingga diperlukan (3) strategi-strategi komunikasi guna akselerasi adopsi kebijakan KPH (tujuan utama). Penelitian didekati secara kualitatif dengan pilihan lokasi di KPH Provinsi Lampung (KPHL Batutegi, KPHL Kotaagung Utara, dan KPHP Reg 47 Way Terusan) dan dilaksanakan sejak Oktober 2012-Oktober 2013. Data dan informasi secara keseluruhan dianalisis secara kualitatif. Analisis isi kualitatif digunakan untuk menganalisis proses komunikasi kebijakan KPH dan proses pengambilan keputusan kebijakan KPH oleh Daerah. Proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH dianalisis dengan menggunakan analisis interaksi yang dikembangkan oleh International Development Studies (IDS) melalui tiga kerangka pendekatan yaitu discourse/narrative, actors/networks, dan politics/interest. Analisis interaksi melalui analisis jaringan (logical diffusion) digunakan untuk menganalisis proses internalisasi kebijakan KPH. Strategi komunikasi kebijakan KPH menggunakan analisis situasi selama proses kebijakan berlangsung.
profesional, kemauan mengenal dan memahami konsep KPH. Temuan terkait proses operasionalisasi kebijakan KPH yaitu (1) kewenangan yang kurang jelas dan tidak cukup berimplikasi pada legitimasi kebijakan KPH, (2) legitimasi kebijakan KPH terjadi sebagai akibat belum optimalnya proses operasionalisasi KPH, (3) kondisi pemungkin operasionalisasi KPH terkait dengan kapasitas SDM dan efektifitas sistem pengawasan, kelembagaan KPH, sistem informasi dan pengawasan, serta pembiayaan dan sistem penghargaan, (4) proses operasionalisasi kebijakan pembangunan KPH dipengaruhi oleh kejelasan dan ketercukupan kewenangan KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak, legitimasi kebijakan KPH dan hak kelolanya, dukungan stakeholders terkait legalitas dan tindakan, dan adanya hambatan psikologis dan trust.
Temuan-temuan penting tersebut mengerucut pada akar masalah komunikasi kebijakan KPH dan akar masalah struktural kebijakan KPH yaitu (1) adanya kesenjangan pengetahuan antara pemerintah, elit politik daerah, lembaga non pemerintah, dan masyarakat terhadap konsep/kebijakan KPH, dan (2) kewenangan KPH yang dapat berimplikasi pada legitimasi kebijakan KPH. Strategi-strategi komunikasi guna mengatasi kedua akar masalah tersebut adalah (1) strategi terkait kognisi stakeholders, (2) strategi promosi kebijakan KPH, (3) memperjelas kewenangan KPH dengan menyusun suatu tata hubungan kerja yang clear, dan (4) strategi mengurangi in-efisiensi dan in-efektifitas institusi.
Perlu adanya perubahan orientasi komunikasi kebijakan yang sebelumnya bersifat konvensional menjadi lintas institusi karena kesamaan ideologi politik ternyata telah berimplikasi pada akselerasi proses internalisasi kebijakan KPH (KPHL Kotaagung Utara). Sistem komunikasi kebijakan KPH sebaiknya menggunakan kombinasi sistem difusi terpusat dan terdesentralisasi, karena dalam perkembangannya sistem ini dapat mempercepat proses adopsi kebijakan KPH. Percepatan operasionalisasi KPH dapat terjadi jika ada dukungan yang kuat dari Pemprov/Pemkab beserta jajarannya, sehingga kewenangan KPH dan kejelasan hak kelolanya dapat diterjemahkan dan dipahami dengan baik oleh KPHL/P. Percepatan proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH perlu dipelihara dan diperkuat melalui mobilisasi seluruh potensi sumber daya melalui Sekretariat Bersama baik berupa SDM, dana, pengetahuan, informasi, teknologi, network, dan kelembagaan yang ada untuk berpartisipasi aktif dalam proses tersebut.
Kondisi pemungkin operasionalisasi KPH perlu diikuti dengan sistem pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap semua aspek pengelolaan hutan, baik fisik maupun non fisik dengan akuntabilitas publik sebagai tolok ukurnya. Sistem pengawasan ini diberlakukan terhadap ijin-ijin yang sudah ada, lalu lintas alokasi anggaran dan penggunaannya. Konsep pemberdayaan institusi dengan mekanisme reward system dapat dilakukan terhadap (1) alokasi anggaran Bappenas melalui pemberian insentif bertahap berdasarkan kesiapan KPH, (2) dalam konteks kelembagaan secara keseluruhan yaitu melalui penyesuaian-penyesuaian aturan yang terindikasi menghambat operasionalisasi KPH dan hak kelola stakeholders yang berkepentingan dengan sektor kehutanan.
SUMMARY
JULIJANTI. Formulation on Communication Strategy of Forest Policy: The Case of Forest Management Unit. Supervised by Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, and Dodik Ridho Nurrochmat.
This study takes the theme of policy communication at the level of government. The selected case is the policy of Forest Management Unit (FMU), which is according to the observation of researcher was still there obstacle in the communication process. Decision-making processes often ignore the problem of communication, whereas one of policy failure, according to some experts related to communication problems. FMU development policy is the mandate of Law No. 41/1999 as a preventive measure in the forest management system in Indonesia, were previously oriented on forest concession. Length of understanding of FMU concept (policy) i.e. the changes of forest concession paradigm to the forest management paradigm has been getting its shape with the declaration of PP 6/2007. Many problems in the communication process of FMU policy mainly related to the knowledge gap of FMU concept (policy). It has implications to the slow process of adoption of FMU policy.
The slow adoption of FMU policy indicates a bottleneck in (1) communication process, so it should be explored in order to determine (2) factors that affect it (purpose of the internalization and operationalization); (3) communication strategy in order to accelerate the FMU policy adoption (main purpose). This research was approached qualitatively with locations in Lampung (PFMU Batutegi, PFMU Kotaagung Utara, and the Production FMU Reg 47 Way Terusan) and implemented since October 2012-October 2013. Data and information were analyzed qualitatively. Qualitative content analysis was used to analyze the communication process of FMU policy and decision-making processes by regional FMU. The process of internalization and operationalization of FMU policy were analyzed by using interaction analysis which developed by the International Development Studies via three framework of approaches i.e. discourse/narrative, actors/networks, and politics/interest. Analysis of interaction through a network analysis (logical diffusion) was used to analyze the internalization process of FMU policy. Communication strategy of FMU policy was using the situation analysis of during the policy process takes place.
willingness to know and understand the FMUs concept. Findings related to the operationalization process of FMU policy i.e. (1) unclearly authority and not enough have implications to the legitimacy of FMU policy, (2) legitimacy of FMU policy occurs because of FMU operationalization process was not optimal, (3) the enabling conditions for the FMU operationalization related to human resource capacity and effectiveness of surveillance systems, institutional of FMU, systems of information and surveillance, as well as funding and reward systems, (4) operationalization process of the FMU development policy is influenced by the clarity and adequacy of FMU authority as forest managers on site level, legitimacy of FMU policy and its management rights, endorsement from stakeholders related to legality and actions, and psychological barriers and trust.
Key findings in this research are the problem root of policy communication of FMU and the problems root of structural of FMU i.e. (1) knowledge gap between government, local political elite, non-governmental organizations, and community to FMUs concept (policy), and (2) FMU authority have implications to legitimacy of FMU policy. Communication strategies to overcome of both the root of problems are (1) strategies related to cognition of stakeholders, (2) promotion strategy of FMU policy, (3) clarify of FMU authority with arrange an clearer working relationship system, and (4) strategies to reduce in-efficiency and in-effectiveness of institutions.
Orientation change of policy communication was needed from conventional communication become to cross-institutional because the similarity of political ideology have been implications to acceleration of the internalization process of FMU policy (PFMU Kotaagung Utara). Communication system of FMU policy should be using a combination of centralized and decentralized diffusion systems, because this system can speed up the process adoption of FMU policy. Acceleration of the FMU operationalization can occur if there is strong support from the Provincial/District Government and its ranks, so the FMU authority and clarity of its management rights can translated and understood by three FMU. Acceleration of the process of internalization and operationalization of FMU policies need to be maintained and strengthened through mobilization of all resources potential through the Joint Secretariat either in the form of human resources, funding, knowledge, information, technology, network, and institutions to actively participate in the process.
The enabling conditions to FMU operationalization should be followed by surveillance system which is conducted to all aspects of forest management, both physical and non-physical with the public accountability criteria.
It is also applicable to existing permits, traffic of funding allocation and its utilizing. Concept of the institution empowerment with a reward system mechanism can made to (1) budget allocation from Bappenas through incentives gradually based on readiness of FMU, (2) in the all-institutional context i.e. an adjustments of rules that inhibiting to FMU operationalization and management rights of stakeholders with an interest in forestry sector.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2015
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
FORMULASI STRATEGI KOMUNIKASI KEBIJAKAN
KEHUTANAN: KASUS PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN
JULIJANTI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Progran Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya disertasi yang berjudul “Formulasi Strategi Komunikasi Kebijakan Kehutanan: Kasus Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini penulis persembahkan untuk Bapak H. Abdul Rochim (Alm.) dan Hj. Chomsijah yang selalu menjadi pendorong semangat dan keyakinan penulis. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1 Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc.F.Trop selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala masukan, saran dan arahannya selama proses pembimbingan yang semakin menambah wawasan dan pemahaman penulis terhadap substansi disertasi
2 Dr. Ir. Bambang Soepijanto, MM dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku penguji luar komisi pada Sidang Terbuka, Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc., selaku penguji luar komisi pada Sidang Tertutup, dan Dr. Ir. Sarwititi S. Agung dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA selaku penguji luar komisi pada prelim lisan, atas masukan, saran dan kritikannya 3 Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan jajarannya atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendididkan S3 di IPB dan melakukan penelitian di Ditjen Planologi Kehutanan
4 Kepala Pusdiklat Kehutanan dan jajarannya yang telah memberikan dana pendidikan S3 kepada penulis
5 Narasumber penelitian: Pak Trisno, Pak Ismu, Pak Trijoko M, Prof. Endang, Pak Agus Setiyarso, Pak Haryanto, Pak Buce, Pak Ali Djajono, Pak Ubaidillah Salabi dan narasumber lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
6 Seluruh pihak yang telah membantu penyediaan data, informasi, literatur dan semua kebutuhan penelitian selama proses penelitian dan penyusunan disertasi 7 Seluruh pihak pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Institut
Pertanian Bogor selama proses pendidikan penulis di IPB
8 Teman-teman IPH angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 atas ketersediaan waktu untuk diskusi dan tukar pendapat. Khususon angkatan 2010: Bu Retno, Mas Yano, Mbak Maya, Mas Bejo, Mbak Yayuk, Mbak Asihing, Mas Nurdin dan Mas Safe’i atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini
9 Ibu, Ibu Mertua, kakak-kakak dan adik-adikku atas do’a, dukungan dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan S3
10 Suami dan anak-anakku atas do’a, dukungan, perhatian dan pengertiannya sehingga disertasi ini dapat selesai sesuai keinginan dan harapan.
Disertasi ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Batasan Penelitian 7
State of The Art dan Novelty 7
Metodologi Penelitian 9
Pendekatan Penelitian 9
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Metode Pengumpulan Data 10
Metode Analisis Data 12
Keterbatasan Penelitian 16
2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi 17
Sejarah Kawasan 17
Kondisi Fisik Kawasan 17
Potensi Sumber Daya 19
Kawasan Hutan 19
Hasil Hutan 19
Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan 20 Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kotaagung Utara 20
Sejarah Kawasan 20
Kondisi Fisik Kawasan 21
Potensi Sumber Daya 24
Kawasan Hutan 24
Hasil Hutan 26
Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan 28 Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 29
Ijin Pemanfaatan Hutan 29
Ijin Penggunaan Kawasan Hutan 30
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Reg 47 Way Terusan 30
Sejarah Kawasan 30
Kondisi Fisik Kawasan 30
Potensi Sumber Daya 32
Kawasan Hutan 32
Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan 32 Ijin Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan 33 3 KOMUNIKASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN
35
Pendahuluan 35
MetodologiPenelitian 38
Pendekatan Penelitian 38
Metode Pengumpulan Data 38
Metode Analisis Data 39
Hasil dan Pembahasan 39
Menuju Pemahaman Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan 39
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan 49
Proses Komunikasi Kebijakan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
53
Difusi Kebijakan KPH: Sentralisasi atau Desentralisasi? 59
Simpulan 62
4 PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN: ANALISIS PROSES
INTERNALISASI KEBIJAKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN 63
Pendahuluan 63
MetodologiPenelitian 65
Pendekatan Penelitian 65
Metode Pengumpulan Data 66
Metode Analisis Data 66
Hasil dan Pembahasan 67
Pola Adopsi kebijakan KPH 67
KPHL Batutegi 67
KPHL Kotaagung Utara 70
KPHP Register 47 Way Terusan 73
Menuju Adopsi Kebijakan KPH 76
KPHL Batutegi 77
KPHL Kotaagung Utara 77
KPHP Register 47 Way Terusan 79
Bagaimana Stakeholders Bekerja? 80
Simpulan 84
5 PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN: ANALISIS PROSES OPERASIONALISASI KEBIJAKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN
85
Pendahuluan 85
MetodologiPenelitian 88
Pendekatan Penelitian 88
Metode Pengumpulan Data 88
Metode Analisis Data 88
Hasil dan Pembahasan 89
Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan KPH 89
KPHL Kotaagung Utara 91
KPHP Register 47 Way Terusan 92
Kondisi Pemungkin Operasionalisasi KPH 93
Bagaimana Stakeholders Bekerja? 95
KPHL Batutegi 98
KPHL Kotaagung Utara 100
KPHP Register 47 Way Terusan 102
Simpulan 104
6 STRATEGI KOMUNIKASI KEBIJAKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN: SEBUAH SINTESIS
105
7 SIMPULAN DAN SARAN 110
Simpulan 110
Saran 111
DAFTAR PUSTAKA 111
RIWAYAT HIDUP 143
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tipologi informan 11
Tabel 2 Category system 14
Tabel 3 Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan metode penelitian 15 Tabel 4 Kemiringan lahan di wilayah KPHL Kotaagung Utara 23 Tabel 5 Distribusi blok dan petak pada areal KPHL Kotaagung Utara 25 Tabel 6 Penggunaan ruang dan lahan di KPHL Kotaagung Utara 25 Tabel 7 Jumlah penduduk kecamatan yang berbatasan langsung
dengan KPHL Kotaagung Utara tahun 2010
28
Tabel 8 Data kelompok HKm di wilayah KPHL Kotaagung Utara sampai dengan tahun 2010
29
Tabel 9 Tipe penutupan hutan/lahan 32
Tabel 10 Karakteristik sistem difusi terpusat dan terdesentralisasi 37 Tabel 11 Interpretasi makna dalam UU No. 5 Tahun1967 41 Tabel 12 Interpretasi makna dalam Buku I, II, III Manual KPHP 43 Tabel 13 Interpretasi makna dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999
44
Tabel 14 Interpretasi makna dalam PP No. 34/2002 dan Kepmenhut No. 230/Kpts-II/2003
45
Tabel 15 Interpretasi makna dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004
Tabel 16 Interpretasi makna dalam PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008
48
Tabel 17 Persepsi stakeholders terhadap konsep (kebijakan) KPH 48 Tabel 18 Persepsi stakeholders terhadap daya inovasi KPH 53
Tabel 19 Proses komunikasi kebijakan KPH 55
Tabel 20 Taktik mempengaruhi yang dilakukan Pemerintah dalam pembangunan KPH
56
Tabel 21 Sistem difusi kebijakan pembangunan KPH 60 Tabel 22 Perbandingan laju difusi pengetahuan di tiga lokasi penelitian 80 Tabel 23 Interaksi stakeholders dalam proses internalisasi kebijakan
KPH
82
Tabel 24 Interaksi stakeholders dalam proses operasionalisasi kebijakan KPH
96
Tabel 25 Strategi komunikasi kebijakan pembangunan KPH 107
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian 5
Gambar 2 Peta lokasi KPHL Batutegi 18
Gambar 3 Peta Lokasi KPHL Kotaagung Utara 22
Gambar 4 Peta KPHP Register 47 Way Terusan 31
Gambar 5 Sistem difusi kebijakan KPH 61
Gambar 6 Kerangka konseptual internalisasi kebijakan KPH 65 Gambar 7 Difusi pengetahuan konsep KPH di KPHL Batutegi tahun
2004-2012
68
Gambar 8 Difusi pengetahuan konsep KPH di KPHL Kotaagung Utara tahun 2004-2012
71
Gambar 9 Difusi pengetahuan konsep KPH di KPHP Reg 47 Way Terusan tahun 2004-2012
74
Gambar 10 Perkembangan adopsi kebijakan KPH di tiga lokasi penelitian 76 Gambar 11 Kerangka konseptual operasionalisasi kebijakan KPH 87 Gambar 12 Perkembangan operasionalisasi kebijakan KPH di tiga lokasi
penelitian
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pembagian resort di KPHL Batutegi didasarkan atas keberadaan areal pemanfaatan HKm
121
Lampiran 2 Klasifikasi stakeholders atas dasar pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep KPH di tiga lokasi penelitian
126
Lampiran 3 Pola interaksi stakeholders dalam jaringan komunikasi kebijakan KPH di KPHL Batutegi
126
Lampiran 4 Pola interaksi stakeholders dalam jaringan komunikasi kebijakan KPH di KPHL Kotaagung Utara
127
Lampiran 5 Pola interaksi stakeholders dalam jaringan komunikasi kebijakan KPH di KPHP Register 47 Way Terusan
127
Lampiran 6 Persepsi stakeholders dalam proses internalisasi kebijakan KPH
128
Lampiran 7 Pengelompokan isu strategis (kategori) ke dalam tema (naratif) berdasarkan stakeholders pengusungnya
131
Lampiran 8 Kegiatan KPHL Batutegi 132
Lampiran 9 Kegiatan KPHL Kotaagung Utara 133
Lampiran 10 Kriteria operasionalisasi KPH 134
Lampiran 11 Persepsi stakeholders dalam proses operasionalisasi kebijakan KPH
138
Lampiran 12 Pengelompokan stakeholders atas dasar tema isu-isu strategis dalam proses operasionalisasi kebijakan KPH
140
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses kebijakan khususnya dalam proses pengambilan keputusan kebijakan kerap kali mengabaikan masalah komunikasi. Komunikasi adalah penting bagi pemerintah, namun sekaligus menjadi hal yang paling diabaikan arti pentingnya (Dwijowijoto 2004). Sejalan dengan pendapat Dwijowijoto, Edward III (Subarsono 2011) mengidentifikasi bahwa salah satu sebab kegagalan kebijakan adalah terkait masalah komunikasi. Ketika suatu kebijakan dikomunikasikan kepada target kebijakan, maka terjadi proses komunikasi yang diawali dengan adanya kognisi yaitu proses memperoleh pengetahuan (efek kognitif) terhadap kebijakan tersebut.
Proses transmisi pengetahuan terjadi pada proses kognitif, dimana dalam proses ini dapat mengakibatkan munculnya persepsi-persepsi terhadap pengetahuan (inovasi/kebijakan) yang dikomunikasikan. Persepsi-persepsi yang muncul selama berlangsungnya proses komunikasi dapat menimbulkan perbedaan cara pandang (pendapat/persepsi) ketika inovasi (kebijakan) yang dikomunikasikan tersebut tidak dipahami oleh partisipan komunikasi (stakeholders yang terlibat dalam proses komunikasi). Demikian juga yang terjadi dalam kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dimana konsep KPH harus dipahami oleh partisipan komunikasi. Perbedaan persepsi terhadap kebijakan (konsep KPH) dapat berimplikasi pada proses adopsinya. Perbedaan persepsi ini mengindikasikan adanya gap/kesenjangan pengetahuan terhadap konsep KPH di antara partisipan komunikasi (stakeholders).
Komunikasi adalah berbagi makna melalui pertukaran informasi. Schiller (Castells 2009) mengidentifikasi bahwa proses komunikasi antara lain ditentukan oleh ruang lingkup proses komunikasi. Proses komunikasi dapat dipahami ketika ada interaksi sosial dimana informasi dan komunikasi tersebut diproses. Definisi lain dikemukakan oleh Bungin (2009) bahwa komunikasi adalah sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat didalamnya guna mencapai kesamaan makna. Hal ini mengindikasikan pentingnya membangun kesepahaman bersama (common understanding) terhadap suatu inovasi (kebijakan/konsep KPH) melalui komunikasi.
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki karakteristik sumberdaya bersama (Common Pool Resources/CPRs) yang dikuasai oleh negara, sehingga dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan keterlibatan
aturan-aturan dalam pengelolaannya. Kekuasaan ”mengatur” ini apabila tidak diikuti dengan azas keadilan dan kejelasan dalam hak kepemilikan (property right), hak pemanfaatan dan hak kelolanya oleh para pihak, maka akan berpotensi konflik yang akhirnya dapat memengaruhi kinerja pemerintah.
Ngadiono (2004) menyatakan bahwa sistem pengelolaan hutan di Indonesia sebelumnya sangat berorientasi pada kegiatan ”pengusahaan hutan.” Sementara itu, kegiatan pengelolaan hutan menjadi terabaikan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. KPHL Batutegi merupakan KPH Provinsi yang meliputi Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Pringsewu, dan Kabupaten Lampung Barat. Luas KPHL Batutegi mencapai 58.174 ha, namun ± 95% kawasannya telah beralih fungsi menjadi areal pertanian lahan kering/kebun campuran/semak belukar. KPHL Kotaagung Utara merupakan KPH Kabupaten dengan wilayah kelola di Kabupaten Tanggamus. Luas wilayah KPHL ini adalah 56.020 ha dengan tutupan hutan hanya 8,82%, sedangkan 91,18% berupa non hutan. KPHL Batutegi dan KPHL Kotaagung Utara berfungsi sebagai catchment area. KPHP Register 47 Way Terusan memiliki wilayah kelola di Kabupaten Lampung Tengah dan berfungsi sebagai hutan produksi. Luas wilayah KPHP ini ± 12.500 ha terdiri dari 8% berhutan, 52% tidak berhutan, dan rawa 40%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Pemerintah belum berhasil dalam mengelola hutan melalui kebijakan-kebijakannya. Ketidakberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya justru disebabkan oleh ketiadaan atau kelemahan ”rumah dan penghuninya” yaitu pengelola hutan di tingkat tapak. Ketiadaan pengelola di tingkat tapak inilah yang ditengarai sebagai faktor utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah (Kartodihardjo et al. 2011). Birkland (2001) mengidentifikasi beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab ketidakberhasilan atau kegagalan kebijakan yaitu adanya keterbatasan pengetahuan tentang kebijakan tersebut, keterbatasan sumber daya, keadaan yang tak terduga, resistensi selama proses kebijakan, dan liku-liku proses politik. Diamond (Kartodihardjo 2006) menyatakan bahwa kegagalan dan keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam akibat lemahnya para pengambil keputusan memahami adanya kondisi sosial yang kompleks. Hal ini memunculkan pemikiran perlu adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan.
berada di bawah kewenangan Perum Perhutani yaitu DKI, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jumlah keseluruhan KPHL dan KPHP (provinsi dan kabupaten) yang telah ditetapkan dan sudah ada arahan pencadangannya sebanyak 530 unit terdiri atas 34,5% atau 183 unit KPHL dan 65,5% atau 347 unit KPHP (Direktorat WP3H 2014). Kementerian Kehutanan telah menetapkan 120 unit KPH Model (22,64%) dari 530 unit KPH di Indonesia, terdiri dari 40 unit KPHL Model dan 80 unit KPHP Model. 120 unit KPH Model tersebut meliputi 115 unit KPH yang telah terbentuk kelembagaannya dengan 102 unit berbentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dan 13 unit berbentuk Satuan Perangkat Kerja Daerah, sedangkan lima unit KPH masih dalam proses pembentukan organisasinya. Sebanyak 74 unit KPH Model telah mendapatkan sarana dan prasarananya, sementara itu 82 unit KPH Model telah melakukan tata hutan dan menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang KPH.
Lambatnya perkembangan kebijakan pembangunan KPH mengindikasikan bahwa penerimaan terhadap kebijakan KPH masih menyiratkan adanya kendala. Kendala ini terjadi selama proses pembangunan KPH yaitu dalam proses internalisasi dan operasionalisasinya di lapangan. Kemauan menerima (adopsi) atau menolak (resisten) stakeholders terhadap suatu kebijakan merupakan respon
stakeholders ketika kebijakan tersebut disosialisasikan (diterapkan). Hal ini mengindikasikan adanya proses-proses komunikasi yang terjadi antara pembuat kebijakan dengan target/subyek kebijakan, yaitu dalam upaya mengkomunikasikan kebijakan yang disusun (dalam hal ini adalah KPH). Respon
stakeholders ini terjadi sebagai akibat dari adanya persepsi stakeholders selama proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan KPH.
Pemahaman ini sangat penting untuk dikritisi melalui suatu penelitian agar kesalahan masa lalu dalam mengenali suatu permasalahan yang akhirnya melahirkan suatu kebijakan tertentu, tidak terulang lagi, minimal dapat dikurangi tingkat kegagalannya ketika diterapkan (hambatan dalam implementasinya). Situasi dan kondisi tersebut merupakan respon stakeholders terhadap suatu kebijakan, sehingga ada suatu pemikiran yang terkait dengan bagaimana persepsi
stakeholders dalam merespon kebijakan yang terinterpretasi melalui interaksinya. Proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses dimana seorang individu (atau unit pengambilan keputusan) setelah mendapatkan pengetahuan awal tentang suatu inovasi, membentuk sikap terhadap inovasi, membuat keputusan untuk mengadopsi atau menolak, melaksanakan ide baru tersebut, dan melakukan konfirmasi terhadap keputusan ini (Rogers 2003). Suatu inovasi akan diadopsi atau tidak tergantung dari “keunggulan” inovasi itu sendiri, yang menurut Rogers (2003) harus memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, yaitu:
relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (kemampuan menyesuaikan diri/kecocokan), complexity, trialability dan observalilty. Proses pengambilan keputusan kebijakan merupakan proses politik, yang didalamnya stakeholders
(aktor) saling berinteraksi dengan berbagai kepentingan untuk mencapai tujuannya (organisasi). Selama proses ini berlangsung, stakeholders memerlukan media/alat untuk berinteraksi yaitu komunikasi.
penting (Dwidjowijoto 2004). Menurut Rogers (2003), ada lima tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi/kebijakan baik oleh individu maupun unit pengambilan keputusan, yaitu tahap knowledge, persuasion, decision,
implementation dan confirmation. Penelitian ini membagi kelima tahap dalam proses pengambilan keputusan tersebut menjadi dua tahapan inti yaitu tahap internalisasi kebijakan KPH dan tahap operasionalisasi kebijakan KPH. Tahap internalisasi kebijakan meliputi tahap knowledge, persuasion, dan decision, yang mengarah pada keputusan stakeholders untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi kebijakan. Tahap internalisasi kebijakan KPH dapat diketahui dari difusi pengetahuan konsep KPH yang terjadi di antara stakeholders. Dalam perjalanannya, pemahaman terhadap konsep difusi inovasi (pengetahuan) telah berimplikasi pada berkembangnya penggunaan konsep tersebut dalam berbagai penelitian kebijakan, yang menggambarkan tentang pengaruh difusi pengetahuan dan interaksi stakeholders dalam proses kebijakan (Spilsbury & Nasi 2004, Hermans & Thissen 2009
Respon stakeholders berdasarkan persepsinya sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan KPH. Persepsi-persepsi yang muncul terhadap kebijakan pembangunan KPH ini harus dapat diantisipasi melalui strategi-strategi untuk mengamankan proses adopsinya. Strategi dapat dipandang sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang mendefinisikan bagaimana organisasi itu, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa organisasi melakukannya (Bryson 2003). Berdasarkan latar belakang masalah maka dibangunlah teori-teori yang relevan guna menjawab masalah penelitian yang dituangkan dalam kerangka pikir penelitian (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Rumusan Masalah
Masalah komunikasi seringkali diabaikan dalam proses kebijakan, namun seperti yang dikatakan Dwijowijoto (2004) bahwa kebijakan gagal karena mengabaikan arti pentingnya komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa ketidakberhasilan kebijakan perlu ditelusuri melalui proses komunikasi kebijakannya. Demikian juga dengan kebijakan pembangunan KPH yang ditengarai masih mengalami hambatan dalam mengkomunikasikannya, sehingga hal yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana proses komunikasi kebijakan KPH selama ini terjadi?
Persepsi stakeholders
Proses pengambilan keputusan kebijakan KPH (Rogers 2003)
Internalisasi kebijakan KPH (Tujuan antara 2)
Operasionalisasi kebijakan KPH (Tujuan antara 3)
Respon stakeholders
- Adopsi KPH - Tidak adopsi
KPH
- Terus adopsi -
Stagnan/meng-hentikan adopsi
Respon stakeholders
Tujuan Utama: Strategi Komunikasi Kebijakan KPH (Ansoff, King, Pflaum & Delmont di dalam Bryson 2003)
Simpulan dan Saran Analisis:
1 Retrospektif 2 Isi kualitatif 3 Interaksi (logical
diffusion & IDS) 4 Deskriptif
kualitatif 5 Analisis situasi -Knowledge
-Persuasion -Decision
-Implementation -Confirmation Latar belakang masalah
Komunikasi kebijakan KPH (Tujuan antara 1)
- Pemahaman konsep KPH - Proses
komunikasi kebijakan KPH - Sistem difusi
kebijakan KPH
Proses komunikasi dapat dipahami sebagai proses transmisi ide atau informasi dan proses interaksi ide dan gagasan (Dwijowijoto 2004). Proses komunikasi kebijakan umumnya memiliki pola tertentu yang digunakan untuk meyakinkan target kebijakan. Ketika kebijakan dikomunikasikan maka terjadi transmisi kebijakan dan interaksinya dengan pola tertentu. Hal ini menunjukkan ada proses pemberian pemahaman (internalisasi) kepada target yang mengarahkan target untuk mengambil keputusan. Lamanya proses kebijakan pembangunan KPH mngindikasikan adanya kendala terutama dalam proses internalisasinya. Proses internalisasi sangat berkaitan dengan pola adopsi kebijakan karena melalui proses internalisasi maka kebijakan memiliki peluang besar untuk diadopsi. Demikian juga dengan proses operasionalisasi kebijakannya. Proses internalisasi tidak dapat menjamin suatu kebijakan terus diadopsi ketika dalam operasionalisasinya, kebijakan tersebut tidak dapat meyakinkan target kebijakan untuk terus adopsi. Kedua proses tersebut merupakan satu kesatuan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan. Keberhasilan kedua proses ini tidak terlepas dari munculnya persepsi stakeholders selama proses tersebut berlangsung melalui interaksi sosialnya. Pertanyaan penelitian yang kemudian muncul adalah bagaimana proses internalisasi dan operasionalisasi kebijakan pembangunan KPH dalam proses pengambilan keputusannya berdasarkan interaksi stakeholders
tersebut? Apa faktor-faktor penyebabnya dan bagaimana kemungkinan strategi yang dapat dilakukan untuk perbaikan dan antisipasinya?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan strategi komunikasi kebijakan pembangunan KPH melalui tujuan antara:
1 Menganalisis komunikasi kebijakan KPH.
2 Menganalisis proses internalisasi kebijakan KPH dalam kerangka proses pengambilan keputusannya dan faktor-faktor yang memengaruhi stakeholders
dalam berinteraksi.
3 Menganalisis proses operasionalisasi kebijakan KPH dalam kerangka proses pengambilan keputusannya dan faktor-faktor yang memengaruhi stakeholders
dalam berinteraksi.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan baik dari sisi keilmuan (akademis) maupun lingkungan praktis, yaitu:
A Manfaat dalam lingkup keilmuan (akademis):
2 Memberikan pemahaman tentang proses pengambilan keputusan kebijakan berikut faktor-faktor yang memengaruhinya dan proses interaksinya berdasarkan persepsi/isu strategis yang berkembang.
3 Memberikan pemahaman tentang pelembagaan kebijakan KPH. 4 Sebagai informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut. B Manfaat dalam lingkungan praktis
1 Sebagai bahan masukan bagi Unit Eselon I lingkup Kementerian Kehutanan khususnya Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, agar kedepan dapat mengantisipasi ataupun menyusun strategi guna meminimalisasi hal-hal yang menghambat keberhasilan dan kegagalan internalisasi maupun operasionalisasi kebijakan, yang ditengarai dapat berpengaruh terhadap kinerja Kementerian Kehutanan.
2 Sebagai bahan masukan atau referensi bagi unit Eselon I lingkup Kementerian Kehutanan dan para pihak yang berkepentingan terkait dengan proses pengambilan keputusan kebijakan berdasarkan pola interaksi stakeholders yang terlibat didalamnya, yang berpengaruh kuat terhadap kinerja institusi.
Batasan Penelitian
Kajian dalam penelitian ini dibatasi pada (1) waktu penelitian ini yaitu sampai dengan bulan Oktober 2013; (2) sumber data berupa peraturan perundangan dibatasi pada peraturan yang diterbitkan sampai dengan tahun 2013; (3) proses internalisasi konsep KPH dalam proses adopsinya melalui pola difusi pengetahuan kebijakan KPH; (4) proses operasionalisasi kebijakan KPH; (5) analisis terhadap faktor-faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan KPH (internalisasi dan operasionalisasi) berdasarkan hasil interaksi
stakeholders; (6) merumuskan strategi komunikasi kebijakan pembangunan KPH; (7) strategi komunikasi kebijakan yang dimaksud adalah strategi untuk meng”opini publik”kan kebijakan KPH atau dalam istilah kelembagaan adalah “pelembagaan” kebijakan KPH.
State of The Art dan Novelty
Beberapa penelitian terdahulu yang membahas masalah penelitiannya dari perspektif komunikasi, antara lain adalah:
2 Penelitian yang dilakukan oleh Michael J. Spilsbury dan Robert Nasi (2004) dengan judul “The interface of policy research and the policy development process: challenges posed to the forestry community.” Fokus studi ini menggambarkan pengaruh penelitian terhadap kebijakan, yang berkaitan dengan difusi inovasi dan transfer teknologi berdasarkan literatur dan temuan empiris dan kemudian membuat kesimpulan dengan menyusun strategi untuk meningkatkan penyerapan dan penggunaan penelitian tersebut pada umumnya dan khususnya dalam proses kebijakan
3 Penelitian yang dilakukan oleh Julijanti (2005) dengan judul “Perubahan Pemanfaatan Lahan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng: Studi Kasus Difusi Spasial Usaha Tani Kentang di Desa Batur dan Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara.” Penelitian ini menganalisis tentang adopsi inovasi oleh petani dalam melakukan pola usaha pertaniannya serta faktor-faktor yang memengaruhi pola perkembangan usaha tani tersebut, yang berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan petani tetapi sekaligus mengubah pola ruang yang ada sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan. Metode penelitian yang dianut adalah deduktif kuantitatif dengan teknik analisis logical contouring dan analisis statistik X
.
2
4 Penelitian yang dilakukan oleh Raffaella Bellanca (Tanpa Tahun) dengan judul “Diffusion of Innovations: Reforestation in Haiti.” Teori komunikasi dengan konsep difusi inovasi digunakan untuk menjelaskan adopsi program reboisasi di Haiti dengan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini mencoba menggambarkan adanya pergeseran konsep pembangunan yang dilahirkan dari teori modernisasinya (difusi inovasi) sebagai akibat dari adanya ancaman ekologi (kerusakan lingkungan).
.
5 Penelitian Krishnarini Matindas (2011) yang berjudul “Strategi Komunikasi Petani Sayuran Organik dalam Mencari dan Menggunakan Informasi Pertanian Berbasis Gender.” Fokus penelitian ini adalah merancang strategi komunikasi informasi pertanian sayuran organik berbasis gender melalui penggabungan pola pembagian kerja, relasi gender untuk akses dan control pada informasi pertanian dan faktor-faktor komunikasi dengan penggunaan informasi pada komunitas petani sayuran organik. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan desain penelitian secara deskriptif eksplanatori.
Berdasarkan hasil pencermatan maka penelitian ini jelas berbeda dengan keempat penelitian sebelumnya karena fokus penelitian dan bidang kajiannyapun berbeda. Novelty dalam penelitian ini adalah:
1 Terdepan di bidangnya (advance). Hal ini terkait dengan tema/topik penelitian yaitu proses kebijakan kehutanan yang dilihat dari sudut pandang komunikasi (masalah komunikasi kebijakan kehutanan) pada tingkat top management dalam organisasi/institusi.
2 Fokus (focus) penelitian, yaitu merumuskan strategi komunikasi kebijakan KPH berdasarkan hasil analisis terhadap proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan kebijakan KPH ini dipengaruhi oleh persepsi (isu-isu strategis) yang berkembang dan faktor-faktor yang memengaruhi
stakeholders dalam berinteraksi.
mengetahui pola interaksi stakeholders dalam proses komunikasinya. Analisis ini dilakukan guna mengetahui jaringan komunikasi stakeholders dalam adopsi kebijakan kehutanan (KPH). Interaksi stakeholders juga dianalisis dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh International Development Studies (IDS).
Metodologi Penelitian
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Herdiansyah (2011) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. David D. Williamson (Muslimin 2002) menyatakan ada 13 kriteria penelitian kualitatif yaitu:
1 Pengumpulan data dilakukan secara alamiah (natural setting).
2 Peneliti merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan data.
3 Kebanyakan bersifat deskriptif (analisis dilakukan secara holistik). 4 Mengutamakan proses yang terjadi dan interaksinya dibandingkan hasil. 5 Kebanyakan penelitian kualitatif menggunakan analisis induktif, terutama
pada tahap-tahap awal. 6 Berorientasi pada makna.
7 Peneliti melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan. 8 Verifikasi data dengan melakukan triangulasi.
9 Orang yang distudi diperhitungkan sebagai partisipan, konsultan atau kolega peneliti dalam menangani kegiatan penelitian.
10 Menggunakan perspektif emik/partisipan.
11 Temuan penelitian jarang dianggap sebagai “temuan final” sepanjang belum ditemukan bukti-bukti kuat yang tak tersanggah melalui bukti-bukti penyanggah (contrary evidence).
12 Pengambilan sampel secara purposive.
13 Baik data kuantitatif maupun data kualitatif dalam penelitian kualitatif sama-sama digunakan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012-Oktober 2013 dan sebagian di tahun 2014. Penelitian dilakukan di Kementerian Kehutanan dengan pemilihan lokasi secara purposive yaitu KPH di Provinsi Lampung yang meliputi KPHL Batutegi, KPHL Kotaagung Utara, dan KPHP Reg 47 Way Terusan.
Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data (Alfandi 2001). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui (Patton 2002):
1 In-depth interview (wawancara mendalam)
Memiliki sifat pertanyaan yang terbuka (open-ended) dan menghasilkan kutipan-kutipan langsung dari responden tentang pengalaman, persepsi, opini,
feelings, dan pengetahuan mereka. 2 Direct observation (observasi langsung)
Data dari hasil observasi lapangan secara langsung dapat berupa deskripsi yang lebih detail tentang aktivitas responden, perilaku, aksi, dan berbagai interaksi interpersonal dan proses organisasi yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati.
3 Document analysis (studi dokumentasi)
Studi dokumentasi ini termasuk kutipan belajar, kutipan, atau bagian dari seluruh organisasi, catatan klinis, atau program; memorandum dan korespondensi; publikasi resmi dan laporan; buku harian pribadi, dan terbuka untuk tanggapan tertulis, kuesioner dan survei
Data yang diperoleh adalah dokumen pembangunan KPH, notulensi (hasil-hasil rapat, workshop, FGD/Focus Group Discussion), dokumen publikasi KPH, Peraturan Daerah, dan dokumen pendukung penelitian lainnya. Wawancara dilakukan melalui teknik snowball dengan sebelumnya menentukan informan kunci. Hal paling krusial dalam teknik snowball adalah ketika menentukan
gatekeeper atau biasa dikenal sebagai informan kunci, karena informan kunci merupakan petunjuk awal dalam melakukan wawancara, sehingga kesalahan atau kekurangcermatan dalam menentukan informan kunci akan sangat berpengaruh terhadap akurasi informasi yang diperoleh. Peranan informan ini sangat penting, karena data dan informasi yang dibutuhkan akan sangat tergantung dari pengetahuan, keahlian dan penguasaan terhadap persoalan yang diteliti dari informan tersebut.
.
Tabel 1 Tipologi informan
Stakeholders Posisi ketika diwawancarai Catatan
Birokrat Sekretaris Ditjen Planologi Kehutanan Staf Ahli Menteri
Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan
Sekretaris Badan Litbang Kehutanan Sebelumnya pernah menangani pembangunan KPH
Asisten I Bidang Pemerintahan Provinsi Lampung
Kepala Biro Tata Pemerintahan Umum Provinsi Lampung
Kepala Biro Otonomi Daerah Provinsi Lampung
Ketua Komisi II Bidang Pembangunan DPRD Provinsi Lampung
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Mantan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Lampung (2 minggu)
Sekretaris Daerah Kab. Tanggamus
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus
Pendidikan Sarjana Perkebunan
Ketua Komisi B DPRD Kab. Tanggamus Fraksi Partai Amanat Nasional
Asisten II Bidang Perekonomian Kabupaten Lampung Tengah
Kepala Dinas Kehutanan dan Perke-bunan Kabupaten Lampung Tengah
Pendidikan Sarjana Pertanian
Ketua Komisi B Bidang Pemerintahan DPRD Kabupaten Lampung Tengah
Fraksi PDIP
Kepala Sub Direktorat Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Kepala Bidang Kelembagaan Sekretariat Daerah Prov. Lampung
Kepala Bidang INTAG Dishut Provinsi Lampung
Kepala Bidang RHL Dishutbun Kabupaten Lampung Tengah
Kepala Seksi Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Wilayah I
Kasubdit Penggunaan Kawasan Hutan Wilayah II
Kepala Seksi Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Wilayah II
Kepala KPHL/P Tiga lokasi penelitian
Lanjutan
Stakeholders Posisi ketika diwawancarai Catatan
Kepala Seksi Perlindungan dan Penga-manan Hutan Dishutbun Kab. Tanggamus
Staf penyuluh kehutanan BP3K Provinsi Lampung
Tenaga penyuluh pertanian yang baru masuk menjadi tenaga penyuluh kehutanan
Staf penyuluh kehutanan BP4K Kabupaten Tanggamus
Profesional Profesional Kehutanan Mantan Dirjen Planologi Kehutanan
dan Staf Ahli Menteri Kehutanan
Sekretaris Eksekutif pada Sekretariat Nasional KPH
Akademisi pada Fakultas Kehutanan UGM
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Pembina Persaki
Mantan Kepala Dinas Perkebunan Prov. Lampung (2 minggu), mantan Kabid. PPH Dishut Prov. Lampung
LSM Direktur Eksekutif, Manajer Lapangan Dua LSM internasional dan dua LSM nasional
Akademisi Dosen Fakultas Kehutanan IPB dan Unila
Satu orang Profesor, satu orang Ketua Jurusan Kehutanan dan tiga orang staf pengajar
Masyarakat Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Tiga lokasi penelitian, satu orang mantan anggota DPRD
Contoh transkrip wawancara dapat dilihat pada Lampiran 13
Metode Analisis Data
Secara keseluruhan, data dan informasi dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Tipe penelitian deskriptif kualitatif menggunakan alat analisis kualitatif dan juga menggunakan teori sebagai landasan berpijak. Kerangka teoritik digunakan sebagai panduan untuk menganalisis meskipun tidak menjadi acuan yang bersifat baku (masih memungkinkan adanya perubahan teori yang digunakan). Hal ini mengindikasikan bahwa ada proses rasionalitas peneliti dalam proses analisisnya. Fakta, data, dan informasi dideskripsikan secara kualitatif. Sumadi Surjabrata (Sudjarwo 2001) mengatakan bahwa tujuan pola penelitian deskriptif adalah mengupayakan suatu penelitian dengan cara menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dari suatu peristiwa serta sifat-sifat tertentu.
beberapa prosedur analisis sebelumnya yaitu pemantauan (deskripsi), peramalan (prediksi), dan evaluasi. Menurut bentuknya, maka analisis kebijakan dalam penelitian ini termasuk analisis kebijakan retrospektif (ex post) yang dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan (Dunn 2000).
Analisis dokumen policy process dan analisis persepsi stakeholders terkait dengan pemahaman terhadap konsep (kebijakan) KPH dan interaksi stakeholders
dalam proses pengambilan keputusan (pemahaman, internalisasi dan operasionalisasi) menggunakan analisis isi kualitatif (qualitative content analysis). Terdapat dua analisis isi (content analysis) yaitu analisis isi yang sifatnya nyata (manifest) dan tersembunyi (latent). Analisis isi yang nyata (manifest) dilakukan secara kuantitatif, oleh Eriyanto (2011) didefinisikan sebagai suatu teknik penelitian ilmiah yang ditujukan untuk mengetahui gambaran karakteristik isi dan menarik inferensi dari isi. Analisis isi dapat pula dilakukan secara kualitatif, seperti hasil penelitian Graneheim dan Lundman (2003) yang memberikan gambaran konsep penting (isi manifest dan latent, unit analisis, unit arti, kondensasi, abstraksi, area isi, kode, kategori dan tema) terkait dengan analisis isi kualitatif, menggambarkan penggunaan konsep yang berkaitan dengan prosedur penelitian, dan mengusulkan langkah-langkah untuk mencapai kepercayaan (kredibilitas, kehandalan dan transfer) seluruh langkah-langkah dari prosedur penelitian.
Penggunaan analisis isi kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi terhadap makna teks tertentu sehingga akan diketahui detail suatu pesan dalam teks tersebut. Graneheim dan Lundman (2003) mendefinisikan unit makna sebagai konstelasi kata-kata atau pernyataan yang berhubungan dengan makna pusat yang sama, biasa disebut sebagai unit isi atau unit coding (Baxter 1991), unit ide (Kovach 1991), unit tekstual (Krippendorff 1980), kata kunci dan frase (Lichstein & Young 1996), unit analisis (Downe-Wamboldt 1992), dan tema (Polit & Hungler 1991). Unit analisis dilakukan melalui metode pencatatan (recording units), yang berkaitan dengan bagian apa dari isi yang akan dicatat, dihitung, dan dianalisis (interpretasi). Riffe dan Krippendorff (Eriyanto 2011) mengidentifikasi ada lima jenis unit pencatatan (recording units) yaitu: unit fisik (physical units), unit sintaksis (syntactical units), unit referensial (referential units), unit proposisional (propotitional units), dan unit tematik (thematic units).
Walaupun unit tematik memiliki reliabilitas yang rendah, namun memiliki efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Pilihan terhadap unit analisis ini antara lain didasarkan pada kelebihan dan kelemahan dari masing-masing unit analisis yang menurut Krippendorff (Eriyanto 2011), ada tiga kata kunci yaitu:
1 Reliabilitas; unit analisis yang dipilih memungkinkan penafisiran yang sama untuk para coder atas kategori yang dibuat.
2 Efisiensi; unit analisis yang dipilih membuat analisis isi menjadi mudah dan praktis dilakukan. Hal ini menyangkut perlu tidaknya kemampuan akademik tertentu atau cukup dengan suatu petunjuk dan panduan yang jelas.
3 Produktivitas; unit analisis yang diambil memungkinkan menjawab tujuan penelitian, dan sekaligus temuan yang menarik.
Hasil dari unit analisis ini kemudian dilakukan kategorisasi berdasarkan kode-kode tersebut (category system). Penyusunan kategori ini dilakukan dengan prinsip-prinsip:
1 Terpisah satu sama lain (mutually exclusive); yakni dapat dibedakan secara jelas antar satu kategori dengan kategori lain (saling berdiri sendiri).
2 Lengkap (exhaustive); artinya dapat menampung semua kemungkinan yang muncul.
3 Kategori tidak tumpang tindih; yaitu harus merujuk pada satu indikator yang ingin diketahui.
4 Reliabel; yaitu dipahami secara sama oleh semua orang (tidak ada beda penafsiran pada waktu coding).
Kategori yang dipakai dalam analisis isi ini disajikan dalam sebuah lembar coding (coding sheet). Lembar coding (coding sheet) adalah alat yang dipakai untuk menghitung atau mengukur aspek tertentu dari isi media (Eriyanto 2011). Lembar coding memuat semua kategori, aspek yang ingin diketahui dalam analisis isi. Ketajaman dan kemandulan dari analisis isi ditentukan oleh kualitas dari suatu lembar coding (Tabel 2).
Tabel 2 Category system
Tema Kategori Sub kategori Kode
Variabel diartikan sebagai peubah, yaitu sesuatu yang mempunyai variasi nilai (Irawan 2007). Sesuatu di sini mengacu kepada objek yang diteliti oleh peneliti. Indikator adalah hasil operasionalisasi dari variabel, “sampai pada taraf yang siap” diukur dan dijadikan data (Irawan 2007). Variabel, indikator, pengumpulan data dan analisis data merupakan alat yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian (Tabel 3).
Tabel 3 Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan metode penelitian
Tujuan penelitian Variabel Indikator pengumpulMetode
-an data an retrospektif (Dunn 2000) b Analisis isi
kuali-tatif (Lundman & Graneheim 2011) stakeholders dalam berinteraksi
a Analisis isi kuali-tatif (Lundman & Graneheim 2011) b Analisis interaksi: logical diffusion analysis (Bintarto & Hadisumarmo stakeholders dalam berinteraksi
a Analisis isi kuali-tatif (Lundman & Graneheim 2011) b Analisis interaksi:
analisis IDS (IDS 2006)
4 Merumuskan strategi komunikasi kebijakan
pembangunan KPH
Rumusan kebijakan KPH c Strategi b Analisis situasi
Variabel dalam penelitian ini adalah:
1 Komunikasi kebijakan KPH
Indikator dari variabel komunikasi kebijakan KPH meliputi: a Pemahaman konsep KPH
b Proses komunikasi kebijakan KPH c Sistem difusi KPH
2 Pola internalisasi kebijakan KPH dan faktor-faktor yang memengaruhi interaksi stakeholders
Indikator dari variabel pola internalisasi kebijakan KPHdan faktor-faktor yang memengaruhi interaksi stakeholders meliputi:
a Pola difusi pengetahuan konsep KPH
b Persepsi stakeholders dalam proses internalisasi kebijakan KPH
3 Operasionalisasi kebijakan KPH dan faktor-faktor yang memengaruhi interaksi stakeholders
Indikator dari variabel operasionalisasi kebijakan KPH dan faktor-faktor yang memengaruhi interaksi stakeholders meliputi:
a Kriteria implementasi kebijakan KPH
b Persepsi stakeholders dalam proses operasionalisasi kebijakan KPH
4 Rumusan strategi komunikasi kebijakan KPH
Indikator dari variabel rumusan strategi komunikasi kebijakan KPH meliputi: a Strategi komunikasi kebijakan KPH
b Strategi internalisasi kebijakan KPH c Strategi operasionalisasi kebijakan KPH
Strategi komunikasi KPH dianalisis secara deskriptif berdasarkan persepsi/isu strategis sebagai hasil interaksi stakeholders dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Ansoff, King, dan Pflaum & Delmont (Bryson 2003) menyatakan bahwa persepsi/isu strategis harus dikelola untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Asumsi yang digunakan dalam pendekatan manajemen isu-isu strategis bahwa (1) isu-isu strategis dapat berpengaruh besar pada organisasi dan harus dikelola jika organisasi ingin mencapai sasaran-sasarannya, dan (2) identifikasi awal terhadap isu-isu strategis akan menghasilkan pemecahan yang baik dan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Analisis yang digunakan untuk mendapatkan strategi komunikasi ini berdasarkan pada analisis situasi yaitu pengamatan lingkungan.
Keterbatasan Penelitian
Disertasi ini memiliki kekuatan dan sekaligus kelemahan dalam hal: 1 Metode analisis jaringan
Metode analisis jaringan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu socio-spasial analysis dengan teknik logical diffusion, meskipun dapat menunjukkan jaringan (network) yang dibangun (kekuatan), namun tidak dapat menunjukkan seberapa besar peran stakeholders (berupa nominal) dalam jaringan (kelemahan).
2 Rumusan strategi komunikasi kebijakan
Walaupun strategi ini diharapkan dapat merupakan strategi komunikasi terhadap semua kebijakan sektor kehutanan, namun sifatnya masih parsial (hanya dalam kasus yang dibahas dalam disertasi ini).
2
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi
Sejarah Kawasan
Batutegi berasal dari bahasa Lampung yaitu batu dan tegi. Batu artinya adalah batu dan tegi berarti tegak atau berdiri. Batutegi diartikan sebagai tempat yang dulunya ada batu yang tegak. KPHL Batutegi terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK. 68/Menhut-II/2010 tanggaI 28 Januari 2010. Di dalam SK tersebut telah ditetapkan wilayah KPH di Provinsi Lampung sebanyak 16 unit yang terdiri dari 9 unit KPHL dan 7 unit KPHP, termasuk di dalamnya KPHL Batutegi (unit IX).
Kondisi Fisik Kawasan
KPHL Batutegi secara geografis terletak pada 104°27’-104°54’ BT dan 5°5’-5°22’ LS. KPHL Batutegi meliputi sebagian kawasan hutan lindung Register 39 Kotaagung Utara, sebagian kawasan hutan lindung Register 22 Way Waya dan sebagian kawasan hutan lindung Register 32 Bukit Rindingan. KPHL Batutegi terletak pada DAS Sekampung. Luas wilayah kelola KPHL Batutegi adalah 58.174 ha. Batas-batas wilayah KPHL berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Barat di sebelah utara, Kabupaten Tanggamus di sebelah selatan, Kabupaten Lampung Barat di sebelah barat, dan Kabupaten Lampung Tengah di sebelah timur (Gambar 2).
Wilayah KPHL Batutegi merupakan daerah tangkapan air hulu Way Sekampung, yang berada pada ketinggian antara 200-1.750 m di atas permukaan laut (dpl). Daerah ini terbagi dalam beberapa satuan morfologi yaitu satuan morfologi pegunungan, satuan morfologi kerucut gunung api dan satuan morfologi perbukitan. Satuan morfologi pegunungan terdapat pada bagian barat dan barat laut KPHL Batutegi dengan elevasi 400-1.250 m dpl. Satuan morfologi kerucut gunung api terdapat di barat daya KPHL Batutegi dengan variasi elevasi 500-1.750 m dpl (Gunung Rindingan). Satuan morfologi perbukitan bergelombang pada bagian utara, selatan, tenggara dan timur laut KPHL Batutegi dengan variasi elevasi 200-800 m dpl.
bulan Desember (320,6 mm). Berdasarkan tipe hujan, wilayah KPHL termasuk tipe B, karena nilai Q (rata-rata bulan kering dibagi dengan rata-rata bulan basah) sebesar 18,89% dengan tipe iklim Af karena curah hujan terendah > 60 mm dan suhu terendah > 18oC, serta zona agroklimat C2 karena mempunyai bulan basah (> 200 mm) sebanyak 6 kali berturut-turut dan bulan kering (< 100 mm) sebanyak 2 kali.
Gambar 2 Peta lokasi KPHL Batutegi
Potensi Sumber Daya
Kawasan Hutan
Berdasarkan Peta Citra Landsat Provinsi Lampung tahun 2008, tutupan lahan pada areal KPHL Batutegi adalah hutan lahan kering 0,71%, hutan lahan kering sekunder 1,92%, semak belukar 2,22%, dan pertanian lahan kering bercampur dengan semak/kebun campur 95%. Kawasan hutan ini sebagian besar telah digarap oleh masyarakat dengan tanaman pokok kopi dan coklat. Kawasan KPHL Batutegi terdiri dari dua blok, yaitu blok inti dan blok pemanfaatan. Blok inti adalah areal di dalam kawasan hutan yang merupakan kawasan lindung yang seharusnya tidak digarap oleh masyarakat, karena arealnya berat dan menjadi sumber mata air atau termasuk ke dalam sempadan sungai dan bendungan. Pembagian resort meliputi semua wilayah di wilayah kelola KPHL Batutegi, sehingga blok inti terdapat di beberapa resort.
Berdasarkan kondisi di lapangan ada dua jenis blok pemanfaatan, yaitu yang telah digarap oleh masyarakat, baik yang sudah mendapatkan izin maupun yang belum. Petani penggarap sebagian telah tergabung dalam gabungan kelompok tani (gapoktan), yaitu sebanyak 20 gapoktan. Sepuluh gapoktan diantaranya sudah mendapatkan izin HKm, enam sudah diverifikasi oleh Kementerian Kehutanan sedangkan 4 masih dalam tahap fasilitasi, dan sisanya merupakan wilayah tertentu yang akan dimanfaatkan oleh KPHL Batutegi.
Guna efisiensi pengelolaan, maka wilayah kelola KPHL Batutegi telah dibagi menjadi enam resort, yaitu Resort Ulu Semong, Resort Datar Setuju, Resort Way Sekampung, Resort Banjaran, Resort Batulima, dan Resort Way Waya. Pembagian resort di KPHL Batutegi tersebut didasarkan atas keberadaan areal pemanfaatan HKm (Lampiran 1). Selain itu, terdapat izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pemanfaatan air bagi PDAM di wilayah kecamatan Air Naningan dan sekitarnya. Lokasi izin berada di Resort Banjaran dan termasuk dalam Gapoktan Hijau Makmur dengan luas sekitar 5 ha.
Hasil Hutan
Selain hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan hasil hutan lainnya juga banyak dihasilkan di KPHL Batutegi, seperti buah-buahan dan juga jenis tanaman yang menghasilkan biji-bijian. Di kawasan hutan yang sudah digarap oleh masyarakat, jenis tanaman yang banyak ditanam adalah kopi. KPHL Batutegi memiliki flora yang beraneka ragam, yaitu sekitar 238 species dari 55 famili. Flora yang ada diantaranya adalah tanaman endemik bunga bangkai raksasa, cengal, mersawa, pasah, ramin, dan keruing. Fauna yang ada di KPHL Batutegi mencapai ± 17 famili dengan 29 jenis mamalia, dua di antaranya endemik yaitu harimau sumatera dan monyet. Jenis burung yang ada sebanyak 38 famili dengan 140 spesies dan lima di antaranya endemik yaitu sepah gunung, prenjak, cucak kerinci, burung cabe, dan bondol jawa.
Rilau, dan Way Sekampung itu sendiri. Ini merupakan jasa air yang dapat dinikmati masyarakat di hilir Way Sekampung. Selain di hutan hulu Way Sekampung dan Way Rilau juga telah dilakukan pelepasliaran beberapa satwa. Pelepasliaran satwa ini menjadi potensi wisata alam yaitu untuk pendidikan dan penelitian tentang kemampuan adaptasi dengan lingkungan baru dan penelitian lainnya. Disamping itu flora yang ada juga dapat menjadi potensi wisata alam.
Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan
KPHL Batutegi berhimpitan dengan ± 20 wilayah desa di tiga kecamatan Kabupaten Tanggamus dan satu desa di Kabupaten Pringsewu, satu desa di Kabupaten Lampung Barat, dan dua desa di Kabupaten Lampung Tengah. Mata pencaharian penduduk sekitar KPHL Batutegi adalah di sektor pertanian dengan produk unggulan kopi dan kakao. Sebagian kecil lainnya bekerja sebagai pegawai negeri dan di sektor jasa. Kawasan hutan KPHL Batutegi merupakan hutan negara yang berdasarkan fungsinya merupakan hutan lindung (HL). KPHL Batutegi sebagian besar sudah dikelola oleh masyarakat baik yang legal maupun illegal, yaitu berupa hasil hutan non kayu yang merupakan hasil perkebunan, seperti kopi. Di dalamnya baru terdapat 20 gabungan kelompok tani HKm baik yang sudah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) maupun yang belum memiliki IUPHKm.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kotaagung Utara
Sejarah Kawasan
Sejarah pembentukan KPHL Kotaagung Utara dimulai dengan Surat Gubernur Lampung No. 522/4577/III.16/2009 tanggal 14 Desember 2009 perihal Usulan Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Lampung yang mengusulkan sebanyak 16 Unit KPH. Dua KPH diantaranya terdapat di Kabupaten Tanggamus, yaitu KPHL Kotaagung Utara dan KPHL Pematang Neba. Berdasarkan usulan Gubernur tersebut, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan No. SK. 68/MENHUT-II/2010 tanggal 28 Januari 2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Provinsi Lampung. Keputusan Menteri Kehutanan tersebut menetapkan sebanyak 16 Unit KPH di Provinsi Lampung seluas 518.913 ha dan tiga KPH diantaranya terdapat di Kabupaten Tanggamus, yaitu:
1 KPHL Batutegi (Unit IX) luas ± 58.174 ha, dikelola oleh Pemprov. Lampung; 2 KPHL Kotaagung Utara (Unit X) luas ± 56.020 ha, dikelola oleh Pemkab
Tanggamus;
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2010, pemerintah kabupaten sesuai kewenangannya membentuk organisasi KPHL yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dimana kedudukan KPHL tersebut berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Telaahan staf dilakukan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus kepada Bupati Tanggamus perihal Pembentukan Organisasi KPHL Kotaagung Utara dan KPHL Pematang Neba yang isinya sesuai dengan Permendagri No. 61 Tahun 2010, yaitu dua KPHL yang dikelola Pemerintah Kabupaten Tanggamus untuk ditetapkan sebagai KPHL Tipe A melalui Peraturan Daerah.
Dalam rangka percepatan pembangunan KPHL, Bupati Tanggamus melalui Surat No. 522/2.127/39/2011 tanggal 01 April 2011 mengajukan Perrmohonan Penetapan KPHL Kotaagung Utara sebagai KPHL Model kepada Menteri Kehutanan RI. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK. 379/MENHUT-II/2011 tanggal 18 Juli 2011 menetapkan KPHL Kotaagung Utara sebagai wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kotaagung Utara (Unit X) yang terletak di Kabupaten Tanggamus seluas ± 56.020 ha. Menindaklanjuti penetapan KPHL Kotaagung Utara sebagai KPH Model telah dilakukan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan RI c.q. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Selanjutnya, koordinasi dilakukan dengan Bagian Organisasi dan Bagian Hukum Sekretariat Pemda Tanggamus dalam rangka penyusunan draft Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kotaagung Utara dan Pematang Neba Kabupaten Tanggamus.
Kondisi Fisik Kawasan
KPHL Kotaagung Utara secara geografis berada pada posisi 104o17’ BT-104o42’ BT dan 5o10’ LS- 5o
1 sebelah utara dengan Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Lampung Tengah;
30’ LS (Gambar 3). Menurut administrasi kehutanan, KPHL Kotaagung Utara berada di dalam Kawasan Hutan Lindung (KHL) Register 30 Gunung Tanggamus, KHL Register 31 Pematang Arahan, dan sebagian KHL Register 39 Kotaagung Utara yang merupakan sebagian dari wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus. Berdasarkan administrasi pemerintahan, wilayah KPHL Kotaagung Utara terletak di Kabupaten Tanggamus dan mencakup 11 kecamatan, yaitu Kecamatan Wonosobo, Semaka, Bandar Negeri Semuong, Kotaagung, Kotaagung Timur, Kotaagung Barat, Pulau Panggung, Ulu Belu, Sumberejo, dan Gisting. KPHL Kotaagung Utara secara administratif berbatasan dengan:
2 sebelah selatan dengan Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kecamatan Wonosobo, Kecamatan Kotaagung Barat, Kecamatan Kotaagung, Kecamatan Kotaagung Timur, dan Kecamatan Gisting;
3 sebelah barat dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS); dan 4 sebelah timur dengan Kecamatan Pulaupanggung dan Kecamatan
Gambar 3 Peta Lokasi KPHL Kotaagung Utara
Wilayah Kabupaten Tanggamus secara geologis termasuk dalam formasi kwarter. Berdasarkan formasinya, formasi Kabupaten Tanggamus merupakan rangkaian pegunungan Bukit Barisan berupa satu rangkaian yang terletak di sebelah barat patahan (sesar) Semaka dan lainnya terletak di bagian timur patahan (sesar) Semaka. Berdasarkan jenisnya, batuan yang membentuk wilayah KPHL Kotaagung Utara terdiri atas batuan pra tertier, batuan tertier yang meliputi batuan gunung api andesit formasi tua, dan batuan kwarter berupa endapan gunung api muda. Batuan tertier tersebar cukup luas di wilayah Kabupaten Tanggamus. Batuan kwarter tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Tanggamus, namun yang cukup mendominasi terdapat di Kecamatan Wonosobo. Sementara alluvium yang berupa endapan permukaan lebih banyak terdapat di Kecamatan Wonosobo.
KPHL Kotaagung Utara memiliki topografi yang bervariasi mulai dari 225-2.150 meter di atas permukaan laut (mdpl). KPHL Kotaagung Utara memiliki kondisi topografi yang bervariasi mulai dari datar sampai sangat curam (kelerengan > 40%). Kondisi topografi yang berbukit yang mengakibatkan sulitnya dikembangkan sarana dan prasarana dasar. Hal ini berdampak pada terjadinya ketimpangan pertumbuhan wilayah maupun sektor ekonomi potensial.