• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERENCANAAN AGROINDUSTRI GULA TEBU

LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI PROVINSI

NUSA TENGGARA TIMUR

FAHRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Model Perencanaan

Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara

Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Fahrizal

(4)

RINGKASAN

FAHRIZAL. Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering

Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh MARIMIN,

MOHAMAD YANI, M. YANUAR J. PURWANTO dan SUMARYANTO.

Kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia dapat diketahui dari luas areal

tebu, tingkat produktivitas tebu, rendemen serta produktivitas gula yang

dihasilkan. Ditinjau dari indikator rendemen gula, kinerja agroindustri gula tebu di

Indonesia berada di bawah dibandingkan dengan negara penghasil gula lainnya,

seperti Thailand, China, Australia, dan Brazil. Rendahnya rendemen gula di

Indonesia merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produksi gula. Oleh

karena itu salah satu strategi untuk peningkatan produksi gula nasional adalah

penerapan

good agricultural practice

pada kegiatan budidaya tebu,

good

manufacturing practice

pada proses pengolahan tebu menjadi gula, serta

perluasan areal tanaman tebu disertai pembangunan pabrik gula baru pada wilayah

di Indonesia, terutama di KawasanTimur Indonesia (KTI) yang secara agroklimat

memungkinkan diperoleh rendemen tebu lebih tinggi.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu bagian dari

KTI memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan perkebunan tebu.

Berdasarkan peta Zona Agroekologi skala 1:250 000, diketahui luas areal lahan

yang sesuai untuk tanaman pangan semusim (termasuk tebu) sebesar 439 203 ha

yang tersebar di Pulau Sumba, Flores dan Pulau Timor. Hasil percobaan

penanaman tebu dengan berbagai varietas diperoleh rendemen rata-rata 12.73%.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model perencanaan agroindustri

tebu lahan kering berkelanjutan di NTT. Untuk mencapai tujuan ini dirumuskan

beberapa sub model, yaitu sub model pemilihan lokasi agroindustri, sub model

optimasi jumlah

ratoon

, sub model strukturisasi sistem kemitraan tebu rakyat, sub

model analisis kelayakan finansial, dan sub model analisis keberlanjutan.

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik atau metode untuk mencapai

tujuan tersebut. Sub model pemilihan lokasi agroindustri dianalisis menggunakan

metode

Analytical Hierarchy Process

,

Geographycal Information System

, dan

Location Quotient

. Selanjutnya sub model optimasi

ratoon

dianalisis

menggunakan pendekatan optimasi multiobyektif dengan metode

Multiple

Objective Linear Programming

dan

Goal Programming

. Sub model strukturisasi

sistem kemitraan tebu rakyat dikaji menggunakan pendekatan

Interpretive

Structural Modelling

. Sub model analisis kelayakan finansial dianalisis

menggunakan metode analisis kelayakan finansial

fuzzy

,

s

edangkan sub model

keberlanjutan dianalisis menggunakan

Multiple Dimensional Scaling

, Analisis

Leverage

, dan Analisis Monte Carlo.

Hasil penelitian diperoleh bahwa urutan prioritas lokasi untuk

pengembangan agroindustri gula tebu di NTT adalah Kabupaten Belu, Kabupaten

Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah dan

Kabupaten Sumba Timur. Sementara itu, untuk penentuan lokasi agroindustri di

Kabupaten Belu, prioritas pertama berada di Kecamatan Weliman. Jumlah

ratoon

(5)

kebutuhan sistem kemitraan tebu rakyat, kendala utama sistem kemitraan, tolok

ukur keberhasilan sistem kemitraan, lembaga pelaku utama, sektor masyarakat

yang terpengaruh, dan perubahan yang diinginkan, serta elemen aktivitas yang

dibutuhkan. Hasil analisis kelayakan finansial

fuzzy

diperoleh bahwa pada kriteria

rendah, sedang dan tinggi diperoleh keputusan masing-masing tidak layak, cukup

layak, dan sangat layak. Pada analisis keberlanjutan diperoleh hasil bahwa pada

dimensi sumberdaya dengan status cukup berkelanjutan (62.69%), dimensi

ekonomi cukup berkelanjutan (70.85%), dimensi sosial cukup berkelanjutan

(67.18%), dan dimensi lingkungan cukup berkelanjutan (55.89%). Indeks

keberlanjutan multidimensi diperoleh sebesar 65.41, berarti pengembangan

agroindustri tebu lahan kering di NTT secara umum cukup berkelanjutan. Dari 24

atribut yang dianalisis, terdapat 4 faktor atau atribut (ketersediaan tenaga kerja

pertanian, rendemen tebu, dampak industri terhadap kesehatan masyarakat di

sekitarnya, serta pemanfaatan limbah padat dan industri) yang paling sensitif

terhadap indeks dan status keberlanjutan, sehingga perlu dilakukan upaya

perbaikan atau intervensi terhadap atribut-atribut tersebut untuk meningkatkan

keberlanjutan agroindustri.

(6)

SUMMARY

FAHRIZAL. Dry Land Sugarcane Agroindustrial Planning at East Nusa Tenggara

Province. Supervised by MARIMIN, MOHAMAD YANI, M. YANUAR J.

PURWANTO and SUMARYANTO.

Performance of sugarcane agroindustry in Indonesia can be seen from the

area of cane, sugarcane yield levels, the yield and productivity of sugar produced.

In terms of sugar productivity indicators, sugarcane agroindustry performance in

Indonesia was lower compared with other sugar producing countries, such as

Thailand, China, Australia, and Brazil. The low of sugar yield in Indonesia is one

of the factors causing low sugar production. Therefore, one of the strategies to

increase the national sugar production was the expansion of sugarcane plantations

along with the construction of new sugar mills in the region in Indonesia,

especially on dry land in Eastern of Indonesia.

East Nusa Tenggara (ENT) Province is one part of Eastern of Indonesia

which has comparative advantage for the development of sugarcane plantations.

Based on the Agroecology Zone Map 1: 250 000, known area of land suitable for

sugarcane plantation of 439 203 hectares spread across the island of Sumba,

Flores and Timor Island. The results of the experiment in West Sumba with

different varieties of sugarcane were obtained an average yield of 12.73%.

This study used system approach which was supported by several

techniques for achieving the goals. Sugarcane agroindustrial location selection

was analyzed using Analytical Hierarchy Process, Geographical Information

System, and Location Quotient. Then, Ratoon optimization was analyzed using

multi-objective optimization approach that are Multiple Objective Linear

Programming and Goal Programming. Structuring partnership model assessed

using the Interpretive Structural Modelling. While, financial feasibility analysis

model was analyzed using fuzzy methods. The last, sustainability analysis model

was supported by Multiple Dimensional Scaling, Leverage Analysis, and Monte

Carlo Analysis.

(7)

(55.89%). While the composite dimensional sustainability index was 65.41 which

indicates that sustainability of sugarcane agroindustrial development at ENT

Province was at quite sustainable level. Of the 24 attributes analyzed, there were 4

attributes name as the availabilty of agricultural labor, sugarcane yield, healt and

safety, and utilization of solid waste which were very sensitive to the index and

the status of sustainability. Therefore, it is recommended to improve these

attributes performance to enhance the sustainability of sugarcane agroindustry.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

MODEL PERENCANAAN AGROINDUSTRI GULA TEBU

LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI PROVINSI

NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

ii

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Sukardi, MM

Prof Dr Ir Asep Sapei, MS

(11)
(12)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

subhanahu wa t

a’ala

atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah

perencanaan agroindustri gula tebu, dengan judul Model Perencanaan

Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara

Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Marimin, M.Sc,

selaku Ketua Komisi Pembimbing. Dr Ir Mohamad Yani, M.Eng, Dr Ir M. Yanuar

J. Purwanto, MS, dan Dr Ir Sumaryanto, MS, selaku anggota komisi pembimbing.

Penghargaan juga disampaikan kepada Prof (R) Dr Ir Wayan Reda Susila, dari

Asosiasi Gula Indonesia, Dr Ir Cendi Krisnanto dari Balai Besar Litbang Sumber

Daya Lahan Pertanian, Ir Ignas K. Lidjang, MS dan Dr Ir Tony Basuki, dari Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi NTT, Kepala Dinas Pertanian

dan Perkebunan Provinsi NTT, Kepala Bappeda Provinsi NTT. Dr. Bambang

Suhada, dari Unismuh Lampung. Ir Ibnu Haris Parwata MM selaku General

Manager PG Rajawali II unit PG Subang, Ir Nandang Munandar MM selaku

Kepala Litbang PG Subang, Ir H. Chafsul Jaskandi selaku General Manager PG

Rajawali II unit PG Sindanglaut Cirebon, Muhdayin SP selaku Kepala Bina

Sarana Tani PG Sindanglaut Cirebon, Alif dan Giri Rahardjo STP, Bagian

Tanaman PG Sindanglaut, H. Agus Sapari, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat

Sindanglaut Cirebon, H. A. Masasi, Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat Sakarosa

Sindanglaut Cirebon. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah

(alm), ibu, istri dan anak-anak tercinta, bapak (alm) dan ibu mertua serta seluruh

keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak yang telah

membantu proses penyelesaian studi doktor, khususnya kepada rekan-rekan

angkatan 2010 TIP, rekan-rekan kelas bimbingan Prof Dr Ir Marimin MSc, atas

segala curahan waktu dan kebersamaan. Rektor Universitas Nusa Cendana atas

kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan studi doktor. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi atas Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) yang diberikan.

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Dekan Fakultas Teknologi

Pertanian IPB. Penghargaan juga disampaikan kepada Prof Dr Ir Sukardi, MM

dan Prof Dr Ir Asep Sapei, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan

Prof Dr Ir Muhammad Romli, MScSt serta Prof (R) Dr Ir Wayan Reda Susila,

pada ujian terbuka.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal

alamin.

Bogor, Maret 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

x

DAFTAR ISTILAH

xi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

6

Tebu (

Saccharum officinarum

L.)

6

Klassifikasi Iklim

11

Agroindustri Gula Tebu

13

Model Perencanaan Agroindustri

19

Kemitraan Tebu Rakyat

20

Interpretive Structural Modelling

(ISM)

22

Analytical Hierarchy Process

(AHP)

25

Location Quotient

(LQ)

26

Optimasi Multiobyektif

27

Analisis Kelayakan Finansial

Fuzzy

27

Metode Bayes

30

Keberlanjutan Agroindustri

31

Teknik

Multiple Dimensional Scaling

(MDS)

32

Penelitian Terdahulu dan Posisi Kebaruan (

Novelty

) Penelitian

34

3

METODE PENELITIAN

39

Kerangka Pemikiran

39

Tahapan Penelitian

40

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

52

4 ANALISA SITUASIONAL

55

Kondisi Pergulaan Nasional

55

Potensi Pengembangan Agroindustri Gula Tebu di Nusa Tenggara Timur

58

Permasalahan Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur untuk Budidaya Tebu

59

5 MODEL PEMILIHAN LOKASI, STRUKTURISASI SISTEM KEMITRAAN

TEBU RAKYAT DAN ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU

63

6 MODEL OPTIMASI

RATOON

DAN ANALISIS KELAYAKAN

FINANSIAL

FUZZY

PADA PERENCANAAN AGROINDUSTRI GULA

(14)

vi

DAFTAR ISI (lanjutan)

7 ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

GULA TEBU

104

8 PEMBAHASAN UMUM

120

Pemilihan Lokasi Agroindustri

120

Optimasi Jumlah

Raton

dan Pengembangan Agroindustri Gula Tebu

122

Kemitraan Tebu Rakyat

124

Analisis Kelayakan Finansial

139

Analisis Keberlanjutan Agroindustri

140

Implikasi Manajerial

141

9 SIMPULAN DAN SARAN

145

Simpulan

145

Saran

146

DAFTAR PUSTAKA

147

LAMPIRAN

155

(15)

DAFTAR TABEL

1

Luas areal panen, produksi gula dan produktivitas hablur gula di

Indonesia, tahun 2009-2013

1

2

Nilai Kc tebu berdasarkan fase pertumbuhan

10

3

Tipe iklim menurut Schmidt dan Fergusson

12

4

Kriteria klassifikasi iklim Oldeman

13

5

Kriteria zona agroklimat menurut Oldeman

13

6

Komponen-komponen tebu (%)

14

7

Luas lahan tebu kemitraan PG Sindanglaut

21

8

Besaran biaya kredit pinjaman ke kelompok tani

22

9

Keterkaitan antar sub elemen pada teknik ISM

23

10

Penelitian tentang analisis kelayakan

fuzzy

28

11

Kelebihan dan kekurangan penelitian terdahulu

35

12

Posisi strategis penelitian terhadap penelitian sebelumnya

38

13

Posisi penelitian terhadap penelitian sebelumnya pada aspek kapasitas

produksi

38

14

Kebutuhan pelaku utama dalam sistem PAGTLKK

42

15

Format nilai interval kriteria kelayakan finansial

fuzzy

50

16

Tujuan, data dan sumber, metode pengumpulan dan analisis data

53

17

Luas areal perkebunan tebu di Indonesia menurut status pengusahaan

tahun 2005-2013

56

18

Produksi gula di Indonesia menurut status pengusahaan tahun

2005-2013

57

19

Luas areal dan produksi gula di Indonesia menurut provinsi dan status

pengusahaan tahun 2013

57

20

Data curah hujan, jumlah hari hujan, bulan kering dan basah di

Kabupaten Belu

61

21

Hasil simulasi analisis neraca air PC ditanam bulan Mei

61

22

Hasil simulasi neraca air tanaman tebu PC

62

23

Data jumlah penduduk produktif dan curah hujan rata-rata pada

kandidat lokasi pengembangan agroindustri gula tebu di NTT

68

24

Hasil perhitungan nilai LQ dan prioritas lokasi pengembangan

agrondustri gula tebu di Kabupaten Belu

73

25

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan analisis kelayakan

finansial

76

26

Hasil analisis sensitivitas kelayakan finansial menggunakan skenario

77

27

Nilai interval kriteria kelayakan finansial

fuzzy

91

28

Tujuan dan deviasi

94

29

Produktivitas tebu, rendemen tebu, dan suku bunga pada kriteria rendah

94

30

Produktivitas tebu, rendemen tebu, dan suku bunga pada kriteria sedang

95

31

Produktivitas tebu, rendemen tebu, dan suku bunga pada kriteria tinggi

95

32

Perbandingan preferensi DM pada setiap pasangan alternatif, kriteria

tinggi

96

33

Perbandingan preferensi DM pada setiap pasangan alternatif, kriteria

(16)

viii

DAFTAR TABEL (lanjutan)

34

Perbandingan preferensi DM pada setiap pasangan alternatif, kriteria

rendah

96

35

Transformasi hasil preferensi DM menjadi angka-angka

fuzzy

pada

kriteria tinggi

96

36

Transformasi hasil preferensi DM menjadi angka-angka

fuzzy

pada

kriteria sedang

96

37

Transformasi hasil preferensi DM menjadi angka-angka

fuzzy

pada

kriteria rendah

96

38

Nilai

crisp

(ã)

pada kriteria tinggi

97

39

Nilai

crisp

(ã)

pada kriteria sedang

97

40

Nilai

crisp

(ã)

pada kriteria rendah

97

41

Bobot setiap alternatif

97

42

Nilai output kelayakan

98

43

Hasil keputusan analisis kelayakan finansial

fuzzy

agroindustri gula

tebu

98

44

Hasil analisis sensitivitas jumlah

ratoon

optimum menggunakan

skenario

99

45

Kategori indeks dan status keberlanjutan

108

46

Dimensi dan atribut

109

47

Penentuan indeks keberlanjutan multidimensi dari indeks yang

diperoleh dari MDS

110

48

Perbedaan indeks keberlanjutan antara MDS dengan analisis Monte

Carlo

116

49

Nilai S-

stress

dan koefisien determinasi keberlanjutan pengembangan

agroindustri gula tebu di NTT

117

50

Konfigurasi luas lahan dan jenis tanaman tebu pada

ratoon

ke-2

122

51

Hasil perhitungan total keuntungan usaha tani tebu dan biaya kapasitas

idle

123

DAFTAR GAMBAR

1

Pohon industri tebu

15

2

Diagram alir proses pengolahan tebu

16

3

Diagram urutan kerja teknik ISM

25

4

Kerangka pemikiran penelitian

40

5

Tahapan penelitian

41

6

Diagram makro

causal-loop

sistem perencanaan agroindustri tebu lahan

kering berkelanjutan

44

7

Diagram

input-output

sistem perencanaan agroindustri tebu lahan

kering berkelanjutan

45

8

Tahapan penyusunan sub model pemilihan lokasi agroindustri

46

9

Tahapan penyusunan sub model optimasi

ratoon

47

(17)

12

Tahapan penyusunan sub model analisis keberlanjutan

51

13

Grafik curah hujan efektif di Belu, Sumba Barat Daya dan Sumba

Timur

60

14

Tahapan penelitian model penunjang keputusan pengembangan

agroindustri gula tebu

66

15

Peta AEZ Provinsi NTT skala 1:250 000 zona Pulau Sumba

67

16

Peta AEZ Provinsi NTT skala 1:250 000 zona Pulau Timor

67

17

Struktur hirarki goal, tujuan, kriteria, dan alternatif lokasi dalam AHP

71

18

Peta lokasi potensial pengembangan agroindustri tebu di Kabupaten

Belu

72

19

Strukturisasi elemen-elemen kunci sistem pengembangan kemitraan

tebu rakyat

74

20

Tahapan penelitian optimasi

ratoon

dan kelayakan finansial

84

21

Tringular fuzzy number

,

M

87

22

Linguistic labels

dinyatakan menggunakan TFN

90

23

Keuntungan bersih usaha tani tebu dan biaya kapasitas

idle

pada

berbagai jumlah

ratoon

92

24

Kerangka pemikiran penelitian keberlanjutan agroindustri gula tebu

106

25

Tahapan penelitian keberlanjutan agroindustri gula tebu

107

26

Diagram layang (

kite diagram

) indeks keberlanjutan pengembangan

agroindustri gula tebu di Provinsi Nusa Tenggara Timur

110

27

Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sumber

daya

111

28

Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi

112

29

Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial

114

30

Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi lingkungan

115

31

Struktur hirarki antar sub elemen tujuan pengembangan kemitraan

125

32

Matrik

driver power-dependence

elemen tujuan sistem kemitraan

126

33

Struktur hirarki antar sub elemen kebutuhan sistem pengembangan

kemitraan tebu rakyat

127

34

Pemetaan

driver power-dependence

elemen kebutuhan sistem

kemitraan tebu rakyat

128

35

Struktur hirarki antar sub elemen kendala utama sistem pengembangan

kemitraan tebu rakyat

129

36

Pemetaan

driver power-dependence

elemen kendala utama sistem

kemitraan tebu rakyat

130

37

Struktur hirarki antar sub elemen tolok ukur keberhasilan sistem

pengembangan kemitraan tebu rakyat

131

38

Pemetaan

driver power-dependence

elemen tolok ukur keberhasilan

132

39

Struktur hirarki antar sub elemen pelaku utama sistem pengembangan

kemitraan tebu rakyat

133

40

Pemetaan

driver power-dependence

elemen pelaku utama sistem

kemitraan tebu rakyat

134

41

Struktur hirarki antar sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh

sistem pengembangan kemitraan tebu rakyat

135

42

Pemetaan

driver power-dependence

elemen sektor masyarakat yang

(18)

x

Daftar Gambar (lanjutan)

43

Struktur hirarki antar sub elemen perubahan yang diinginkan sistem

pengembangan kemitraan tebu rakyat

136

44

Pemetaan

driver power-dependence

elemen perubahan yang diinginkan

pengembangan kemitraan tebu rakyat

137

45

Struktur hirarki antar sub elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam

perencanaan tindakan pengembangan kemitraan tebu rakyat

138

46

Pemetaan

driver power-dependence

elemen aktivitas yang dibutuhkan

dalam pengembangan kemitraan tebu rakyat

139

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman tebu

156

2 Produktivitas dan rendemen pada tebu tanaman baru (

plant cane

) dan

tebu keprasan (

ratoon cane

) di PG Takalar

157

3 Produktivitas dan rendemen pada tebu tanaman pertama (

plant cane

)

dan tebu keprasan (

ratoon cane

) di Australia

157

4 Komponen-komponen biaya untuk menghitung total keuntungan

usaha tani tebu

157

5 Komponen-komponen instalasi dan biaya irigasi tetes untuk luas 1

hektar

158

6 Total keuntungan usaha tani tebu dan total biaya kapasitas

idle

pada

berbagai jumlah

ratoon

159

7 Estimasi biaya investasi pendirian agroindustri gula tebu (pabrik gula) 159

8 Data elemen dan sub elemen yang digunakan dalam ISM

160

9 Dimensi dan indikator keberlanjutan pengembangan agroindustri

gula tebu

162

10 Diagram alir limbah agroindustri gula tebu

166

11 Neraca massa agroindustri gula tebu

167

12 Analisis neraca energi agroindustri gula tebu

167

13 Neraca air agroindustri gula tebu

168

(19)

DAFTAR ISTILAH

Berikut adalah daftar istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini:

No.

Subyek

Deskripsi

Rujukan

1

Agroindustri

Industri yang mengolah bahan

baku hasil pertanian menjadi

berbagai produk yang

dibutuhkan konsumen.

Pengolahan dalam agroindustri

meliputi transformasi dan

pengawetan melalui perubahan

fisik, kimia, atau biologi,

penyimpanan, pengepakan, dan

distribusi. Kegiatan agroindustri

dikelompokkan menjadi dua

bagian yaitu daur singkat dan

daur panjang. Konsep

agroindustri mensimbiosiskan

dua bidang ilmu pengetahuan

yang berkaitan dengan proses

produksi dan manajemen.

Gumbira dan

Harizt (2004);

Austin (1992);

(Marimin

et al

.

(2013)

2

Analytic Hierarchy

Process

(AHP)

Metode pengambilan keputusan

yang digunakan untuk

penyelesaian persoalan kompleks

melalui penyederhanaan dalam

suatu kerangka berpikir yang

terorganisir, sehingga

memungkinkan pengambilan

keputusan yang efektif

Saaty (2001);

Marimin

et al

.

(2013)

3

Bagasse

Merupakan bahan kering yang

berasal dari batang tebu, yang

dihasilkan dari kegiatan

penggilingan

4

BC Ratio

Perbandingan antara jumlah

cash

flow

masuk dengan jumlah

cash

flow

keluar pada nilai sekarang.

Rustiadi

et al

.

(2011)

5

Blotong

Limbah padat yang dihasilkan

dari proses pemurnian nira.

6

Data

crisp

Data tunggal yang dihasilkan

melalui proses

defuzzifikasi.

7

Data

fuzzy

Kebalikan dari data

crisp

, yaitu

data yang bersifat tidak tunggal.

8

Defuzzyfikasi

Proses konversi nilai

fuzzy

ke

nilai

crisp

(tunggal).

(20)

xii

Lanjutan

No.

Subyek

Deskripsi

Rujukan

9

Interpretive

Structural

Modelling

(ISM)

Teknik pengkajian kelompok

untuk menghasilkan model

struktur guna memotret perihal

kompleks dari suatu sistem

melalui pola yang dirancang

secara seksama dengan

menggunakan grafis atau

kalimat.

Saxena (1992)

10

Irigasi

Penggunaan air pada tanah untuk

keperluan penyediaan air yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan

tanaman.

Hansen

et al

.

(1986)

11

IRR

Internal rate of return

adalah

tingkat suku maksimum yang

dapat dibayar oleh kegiatan

usaha tersebut untuk sumberdaya

yang digunakan.

Rustiadi

et al.

(2011)

12

Kapasitas

idle

Perbandingan tingkat kapasitas

yang digunakan dengan kapasitas

aktual, dinyatakan dalam persen

(www.business

dictionary)

13

Kebakaran tebu di

lahan

Kebakaran yang terjadi pada

lahan tebu pada saat musim

panen, yang diakibatkan oleh

motif petani untuk mendapatkan

gilingan tebu lebih awal

14

Keuntungan usaha

tani tebu

Total penerimaan petani dari

bagi hasil gula dan

molasses

dikurangi dengan biaya

budidaya, panen, dan transportasi

tebu.

PG Sindanglaut

(2013)

15

Kemitraan tebu

rakyat

Hubungan kerjasama antara

kelompok tani dengan pabrik

gula serta pihak-pihak yang

terkait untuk mencapai satu

tujuan yang sama dan saling

menguntungkan sesuai dengan

tugas dan tanggung jawab

masing-masing.

PG Sindanglaut

(2013)

16

Lahan kering

Lahan kering atau

dry land

adalah lahan kering yang berada

di wilayah beriklim kering

(curah hujan <2000 mm per

tahun)

(21)

17 Lahan tebu

kemitraan

Lahan tebu yang dikelola oleh

pabrik

gula

dengan

cara

menyewa lahan lahan ke petani

atau masyarakat

PG Sindanglaut

(2013)

18

Location Quotient

(LQ)

Teknik penentuan lokasi sebagai

sektor basis, berdasarkan

indikator yang digunakan

tergantung pada tujuan penelitian

Rustiadi

et al

.

(2011)

19 Model

Representasi dari pengembangan

sistem untuk tujuan mempelajari

sistem tersebut

Law dan Kelton

(1982)

20 Metode Bayes

Merupakan salah satu teknik

yang dapat digunakan untuk

melakukan analisis dalam

pengambilan keputusan terbaik

dari sejumlah alternatif dengan

tujuan menghasilkan perolehan

yang optimal dengan

mempertimbangkan berbagai

kriteria.

Marimin (2008)

21 MDS

Multiple dimensional scaling

adalah teknik statistika untuk

memvisualisasikan

dissimilarity

dari obyek penelitian yang

bersifat kuantitatif maupun

kualitatif ke dalam ruang

berdimensi 2

Kavanagh dan

Pitcher (2004)

22 Neraca air tanaman Selisih antara curah hujan efektif

dengan evapotranspirasi tanaman

Sukirno

et al

.

(2008)

23 NPV

Net present value

merupakan

selisih antara

present value

manfaat dengan

present value

biaya.

Rustiadi

et al

.

(2011)

24 Optimasi

multiobyektif

Metode untuk menyelesaikan

masalah dengan meliputi

beberapa tujuan yang saling

bertentangan (

trade off

)

Hung (2006);

Deb (2001)

25 Peta ZAE

Peta Zona Agroekologi

merupakan peta atau alat bantu

untuk menentukan kesesuaian

lahan pada tingkat global

(tingkat ordo). Berdasarkan peta

ini, kesesuaian lahan dibagi

menjadi sesuai dan tidak sesuai.

Puslittanak (2002)

26 Perencanaan

Proses penyiapan seperangkat

keputusan untuk dilaksanakan

dalam rangka pencapaian tujuan

(22)

xiv

27

Penggunaan air

Jumlah satuan air (m

3

) yang

digunakan untuk menghasilkan

gula dari proses penggilingan

tebu sampai menghasilkan gula

kristal putih

28 Produktivitas tebu

Total produksi tebu dalam satuan

luas (ton per hektar)

29

Rapfish

Rapid appraisal for fisheries

adalah teknik multidisiplin untuk

mengevaluasi status

keberlanjutan perikanan

didasarkan pada skoring yang

bersifat semi kuantitatif pada

aspek ekologi, ekonomi, sosial,

teknologi, dan etik

Pitcher (1999)

30 Rendemen

Nilai yang menunjukkan jumlah

gula potensial yang dapat

diperah menjadi gula atau

persentase gula yang dapat

diperah dari gula yang ada dalam

tebu. Rendemen terdiri dari

rendemen sampel, rendemen

sementara, dan rendemen efektif.

Rendemen sampel (rendemen

tebu) adalah hasil perhitungan

rendemen dengan sampel tebu

untuk analisis tingkat

kemasakan. Rendemen

sementara (rendemen gula)

adalah rendemen yang didapat

dari hasil perahan tebu pertama

atau perkalian antara faktor

rendemen dengan nilai nira,

digunakan untuk menentukan

bagi hasil gula petani secara

cepat.

Indrawanto

et al

.

(2010)

31 Tebu rakyat

Perkebunan tebu yang dikelola

oleh petani/kelompok tani tebu

PG Sindanglaut

(2003

32 Tebu

PC

Plant cane

atau tebu tanaman

pertama yang berasal dari bibit

Muchow

et al

.

(1998)

33 Tebu

ratoon

Tanaman tebu yang tumbuh

kembali (

re-growth

) setelah

dipanen.

Muchow

et al

.

(1998)

34 TFN

(

Triangular Fuzzy Number

)

merupakan representasi bilangan

fuzzy dengan pendekatan

segitiga.

(23)

Latar Belakang

Kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia dapat diketahui dari luas areal

tebu, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula serta

produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula. Luas areal tebu

berkaitan dengan upaya pabrik gula memenuhi kapasitas giling dan konsistensi

petani menanam tebu. Produktivitas tebu berkaitan dengan kesesuaian lahan dan

penerapan teknologi pada budidaya tebu, sedangkan rendemen, produksi dan

produktivitas hablur gula sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku tebu serta

efisiensi pabrik gula. Kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia dapat dilihat

selama kurun waktu 2009-2013 (Tabel 1).

Tabel 1 Luas areal panen, produktivitas tebu, rendemen gula, produksi gula dan

produktivitas gula di Indonesia tahun 2009-2013.

Kinerja agroindustri gula

tebu nasional

Tahun

2009

2010

2011

2012

2013

Luas areal panen (ha)

Produktivitas tebu

(ton/ha)

Rendemen gula (%)

422 935

71.54

7.60

432 714

81.94

6.08

450 298

67.34

7.29

451 191

72.10

8.13

460 496

76.80

7.20

Produksi gula (juta ton)

2.299

2.290

2.229

2.591

2.390

Produktivitas gula

(ton per ha)

5.437

5.292

4.948

5.744

5.190

Sumber : DGI (2013)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata produktivitas tebu di

Indonesia dalam 5 tahun terakhir sebesar 73.944 ton per ha, rata-rata rendemen

sebesar 7.26%, sedangkan rata-rata produktivitas hablur gula sebesar 5.322 ton

per ha. Jika dibandingkan dengan negara penghasil gula lainnya, seperti China,

Thailand, Brazil, dan Australia kinerja agroindustri gula tebu Indonesia berada di

bawah dengan negara-negara tersebut. Produktivitas hablur gula di Cina rata-rata

mencapai 10.794 ton per ha, sedangkan

di Thailand mencapai 8.4-9 ton per ha.

Sementara itu produktivitas hablur gula di Brazil mencapai 9.52-9.80 ton per ha,

dan di Australia mencapai 11.76-12.60 ton per ha. Tingginya produktivitas hablur

gula di negara-negara penghasil gula tersebut, bukan disebabkan oleh tingkat

produktivitas tebu yang lebih tinggi, tetapi disebabkan oleh faktor tingginya

perolehan rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu di Indonesia sebesar

73.944 ton per ha, tidak jauh berbeda dengan produktivitas tebu di China 77.1 ton

per ha, dan Thailand 70-75 ton per ha, bahkan Brazil 68-70 ton per ha. Rata-rata

rendemen gula di Indonesia hanya mencapai 7.26%, lebih rendah dibandingkan

dengan Cina 14%, Thailand 12%, Brazil 14-16%, dan Australia 14-15%

(Purwono 2012).

(24)

Indonesia 2012a). Konsumsi gula nasional diperkirakan akan terus meningkat

seiring dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49% per tahun (BPS

Republik Indonesia 2012b) dengan tingkat konsumsi gula sebesar 66.48 kg per

kapita (BPS Republik Indonesia 2013).

Salah satu strategi untuk meningkatkan produksi gula nasional adalah

peningkatan perolehan rendemen gula. Untuk mendapatkan rendemen gula yang

tinggi dapat ditempuh melalui penerapan

good agricultural practice

pada kegiatan

budidaya tebu, penerapan

good manufacturing practice

pada proses pengolahan

tebu menjadi gula, dan pengembangan agroindustri gula tebu pada wilayah di

Indonesia yang secara agroklimat memungkinkan diperoleh rendemen tebu lebih

tinggi.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk peningkatan produksi gula nasional.

Selain upaya peningkatan produktivitas di tingkat perkebunan tebu (on farm) dan

industri pengolahan (off farm), upaya lain adalah mengembangkan agroindustri

gula tebu di luar Pulau Jawa, terutama pada lahan kering di Kawasan Timur

Indonesia (KTI). Pengembangan agroindustri gula tebu di KTI didasarkan pada

dua alasan yang sangat mendukung, yaitu potensi luas lahan masih tersedia

menurut skala ekonomi terutama lahan kering dan kesesuaian agroklimat. Potensi

lahan kering untuk pengembangan perkebunan tebu di KTI mencapai 4.0x10

6

ha,

tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur

dan Papua (Mulyadi

et al. 2009).

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan bagian dari KTI memiliki

potensi untuk menjadi produsen gula nasional. Hal tersebut dimungkinkan karena

dukungan agroekosistem, luas lahan, dan tenaga kerja. Luas lahan masih tersedia

berupa semak belukar, lahan terbuka (bero), dan sedikit merupakan areal

perkebunan (Mulyadi

et al. 2009). Berdasarkan peta Zona Agroekologi (ZAE)

skala 1:250 000, diketahui bahwa luas areal lahan kering yang sesuai untuk

tanaman pangan semusim termasuk tebu mencapai 439 203 ha, yang tersebar di

Pulau Sumba, Flores, dan Pulau Timor (BPPT Provinsi NTT 2007). Intensitas

radiasi matahari dan lama penyinaran yang tinggi menjadi keunggulan komparatif

wilayah NTT untuk pengembangan perkebunan tebu. Menurut Irianto (2003)

pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan

untuk dikembangkan. Intensitas radiasi matahari dan lama penyinaran yang tinggi

di lahan kering menyebabkan hasil fotosintesa bersih (net photosynthetic yield)

tanaman tebu dapat maksimal atau rendemen tebu meningkat.

Wilayah NTT beriklim kering dipengaruhi oleh angin musim. Periode

musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai November), sedangkan

musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai April). Suhu udara maksimum

rata-rata 29

o

C, dan suhu udara minimum 26.1

o

C. Jenis tanah umumnya mediteran,

latosol, dan grumosol (Setda Provinsi NTT 2009). Curah hujan dominan pada

kisaran antara 1000-2000 mm per tahun (Djaenudin

et al. 2002). Rata-rata lama

penyinaran matahari tahun 2008 sampai dengan 2012 sebesar 93.76% (BMKG

Provinsi NTT 2012). Kriteria tersebut memungkinkan wilayah NTT cocok untuk

pengembangan perkebunan tebu. Hasil percobaan penanaman tebu dengan

varietas F 154, F 156, M 442-51, Q 90, Co 1148, Ps 56, BM 261, BP 138, dan BR

1381, diperoleh rendemen tebu rata-rata 12.73% (BPPPG 1985).

(25)

perusahaan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar negara

merupakan perkebunan tebu yang dikelola oleh negara melalui Perseroan Terbatas

Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Perusahaan besar negara yang mengelola perkebunan tebu diantaranya adalah

PTPN II dan PTPN IX, serta PT PG Rajawali. Perkebunan besar swasta adalah

perkebunan tebu yang dikelola oleh perusahaan swasta. Perusahaan besar negara

maupun perusahaan besar swasta mengelola perkebunan tebu

sampai

menghasilkan gula dalam satu manajemen. Kemitraan juga dibangun dengan

petani tebu di sekitar perusahaan sebagai pemasok, namun dalam jumlah kecil.

Berbeda dengan perkebunan tebu rakyat, pengelolaan budidaya tebu dilakukan

oleh petani dalam bentuk kemitraan dengan pabrik gula. Kewajiban petani adalah

memproduksi tebu untuk diolah di pabrik gula, sedangkan pabrik gula berperan

mengolah tebu petani menjadi gula dengan sistem bagi hasil.

Pengelolaan lahan tebu di Indonesia saat ini didominasi oleh perkebunan

rakyat yang mencapai 56.14%, sedangkan perusahaan besar negara dan

perusahaan besar swasta masing-masing sebesar 18.56% dan 25.30% (BPS

Republik Indonesia 2012a). Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dan minat

petani untuk menanam tebu cukup tinggi serta komoditas tebu masih menjadi

pilihan bagi petani. Namun demikian, belum adanya kesepakatan antara petani

dengan pabrik gula pada pembatasan jumlah tebu

ratoon, menyebabkan petani

secara individual memelihara tebu

ratoon

tidak sesuai dengan keinginan pabrik

gula. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004) melaporkan bahwa sekitar

70% dari total areal perkebunan rakyat merupakan tebu

ratoon. Di Pabrik Gula

(PG) Tjoekir, tanaman tebu

ratoon

yang dilakukan lebih dari tujuh kali dan

besarnya mencapai 70% dari luas keseluruhan. Begitupula di PG Madukismo,

ratoon

dilakukan berulang kali, bahkan ada yang mencapai belasan kali (Ariani

2014). Situasi ini menyebabkan pasokan tebu lebih rendah dari kapasitas giling.

Marjayanti dan Arsana (1999) melaporkan bahwa produktivitas tebu

ratoon

hanya

67-85% dari tebu tanaman pertama (plant cane). Karakteristik tebu

ratoon

yang

demikian menjadi penyebab utama penurunan produktivitas gula (Sekretariat

Dewan Ketahanan Pangan 2004). Produktivitas tebu

ratoon

yang lebih rendah

merupakan salah satu faktor tidak terpenuhinya kapasitas giling maksimal pabrik

gula yang berakibat munculnya biaya kapasitas

idle

yang harus ditanggung oleh

pabrik gula. Pabrik gula di Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu

per tahun (180 hari giling). Pada tahun 2006, bahan baku yang tersedia hanya

sekitar 12.8 juta ton, sehingga pabrik-pabrik gula di Jawa mempunyai kapasitas

idle

sekitar 46.2%. Selanjutnya pabrik gula di luar Jawa mempunyai kapasitas

giling 14.2 juta ton tebu, sementara bahan baku yang tersedia hanya 8.6 juta ton,

sehingga kapasitas

idle

mencapai 39.4% (Kementerian Pertanian 2007) .

Produktivitas tebu

ratoon

berkaitan langsung dengan keuntungan usaha tani

tebu dan jumlah pasokan tebu. Oleh karena itu untuk memaksimasi keuntungan

usaha tani tebu dan menjamin pemenuhan kapasitas giling, maka jumlah

ratoon

optimal harus ditentukan dalam perencanaan agroindustri gula tebu, terutama pada

agroindustri berbasis tebu rakyat. Penentuan optimasi tebu

ratoon

ini akan

menjadi dasar dalam perhitungan analisis kelayakan finansial pengembangan

agroindustri gula tebu.

(26)

hulu-hilir yang baik pada komoditas tebu akan memberikan nilai tambah (value

added) yang tinggi (Indraningsih dan Malian 2005). Dalam konteks sistem,

produksi gula di tingkat industri pengolahan sangat dipengaruhi oleh tingkat

produksi tebu di tingkat kebun (Suhada 2012). Hal tersebut berarti, sub sistem

usaha tani (on farm) dan sub sistem pengolahan tebu

(off farm) adalah satu

kesatuan yang tidak terpisahkan. Keterpaduan tersebut merupakan kegiatan yang

dilakukan secara terintegrasi antara sub sistem

on farm

dengan sub sistem

off

farm.

Penerapan

zero waste

tebu merupakan salah satu strategi yang dapat

ditempuh untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri gula nasional

(Indraningsih dan Malian 2005).

Zero waste

atau nir limbah adalah pemanfaatan

limbah, baik limbah di kebun maupun limbah industri pengolahan, untuk efisiensi

penggunaan

input

produksi. Konsep

zero waste

menjadi salah satu indikator

dalam analisis keberlanjutan pengembangan agroindustri gula tebu.

Perencanaan pada hakekatnya merupakan

suatu proses penyiapan

seperangkat keputusan yang dilakukan secara terarah dan sistematis agar tujuan

dapat dicapai secara efektif dan efisien (Kunarjo 2002; Firman 2008). Seiring

dengan upaya pemerintah untuk peningkatan produksi gula nasional dan menuju

swasembada gula nasional, melalui kegiatan pengembangan areal perkebunan

tebu dan pembangunan industri pengolahan, maka perlu dilakukan perencanaan

dalam penyiapan pengambilan keputusan pengembangan agroindustri gula tebu

lahan kering khususnya di NTT.

State of the art

penelitian ini adalah mengembangkan model perencanaan

agroindustri gula tebu lahan kering, yang dirancang dengan pendekatan sistem,

melalui integrasi sub sistem usaha tani tebu (on farm) dan sub sistem pengolahan

tebu (off farm) untuk memaksimalkan keuntungan usaha tani tebu dan menjamin

pemenuhan kapasitas giling pabrik gula.

State of the art

penelitian selanjutnya adalah menyusun strukturisasi sistem

pengembangan kemitraan tebu rakyat. Kemudian dilakukan analisis kelayakan

finansial menggunakan pendekatan

fuzzy

pengembangan agroindustri tebu serta

analisis keberlanjutan berdasarkan dimensi sumber daya, ekonomi, sosial dan

lingkungan. Penerapan pendekatan tersebut akan menghasilkan agroindustri tebu

lahan kering yang berkelanjutan dan merupakan unsur kebaruan atau

novelty

pada

penelitian ini.

(27)

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model perencanaan

agroindustri gula tebu lahan kering yang berkelanjutan, sedangkan secara khusus

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan model pemilihan lokasi agroindustri gula tebu.

2. Mendapatkan model optimasi jumlah tebu keprasan (ratoon).

3. Mendapatkan model strukturisasi sistem pengembangan kemitraan tebu rakyat.

4. Mendapatkan model analisis kelayakan

finansial

fuzzy

pengembangan

agroindustri gula tebu.

5. Mendapatkan model keberlanjutan agroindustri gula tebu.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari terbentuknya model perencanaan agroindustri

gula tebu lahan kering yang dihasilkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pelaku yang menjadi pengguna (user) pada kajian ini, model yang

dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan pengembangan

agroindustri tebu lahan kering

maupun usaha perbaikan pengelolaan

agroindustri gula tebu.

2. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dapat menjadi model rujukan

dalam pengambilan keputusan perencanaan pengembangan agroindustri gula

tebu lahan kering yang akan dikembangkan.

3. Bagi para akademisi dan peneliti, model yang dihasilkan dapat digunakan

sebagai bahan rujukan untuk pengembangan keilmuan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup untuk mencapai tujuan penelitian dibatasi oleh beberapa

elemen sebagai berikut:

1. Model perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering berkelanjutan

mencakup beberapa aspek kajian, meliputi aspek pemilihan lokasi, aspek

penentuan

ratoon

optimal, aspek kemitraan tebu rakyat, aspek kelayakan

finansial, dan aspek keberlanjutan.

2. Kajian kelayakan finansial difokuskan pada indikator

Net Present Value

(NPV)

fuzzy,

Internal Rate of Return

(IRR)

fuzzy

dan

Benefit Cost Ratio

(BC R)

fuzzy.

3. Kajian keberlanjutan agroindustri tebu lahan kering difokuskan pada dimensi

sumber daya, ekonomi, sosial, dan lingkungan.

(28)

Tebu (

Saccharum officinarum L.

)

Morfologi dan Syarat Tumbuh

Tebu merupakan tanaman perkebunan semusim, yang termasuk keluarga

rumput-rumputan (

f

ili

i

L

.). Tebu termasuk tanaman C4, yaitu

tanaman yang memiliki sifat adaptif di daerah panas dan kering. Tanaman tebu

terdiri atas batang, akar, daun, bunga, dan buah (Indrawanto

et al

. 2010). Bagian

tebu yang banyak dimanfaatkan adalah batang dan daun. Solomon dan Singh

dalam Prihandana (2005) menyatakan bahwa ada 64 bagian yang dapat

dimanfaatkan dari batang tebu. Di Indonesia hanya 13 bagian tebu yang bisa

diolah di pabrik gula (Martini 2008). Gula merupakan produk utama tebu yang

dihasilkan dari batang. Pucuk daun tebu (

cane top

) dapat dimanfaatkan sebagai

makanan ternak. Potensi pucuk daun tebu dapat mencapai 3.8 ton per ha

(Kuswandi 2007). Serasah merupakan daun tebu, tetapi tidak bisa dimanfaatkan

untuk pakan ternak. Potensi serasah mencapai 20-25 ton per ha dan dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk kompos (Iqbal 2012).

Tanaman tebu tumbuh di daerah tropika dan sub tropika, yaitu antara 19

o

LU

– 35

o

LS. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman tebu adalah yang tidak terlalu

kering dan tidak terlalu basah. Dilihat dari jenis tanah, tanaman tebu dapat tumbuh

dengan baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol,

dan regusol, dengan pH tanah 6-7.5. Lahan yang paling sesuai adalah kurang dari

500 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan kemiringan lahan kurang dari

8% dengan kelembapan >70%. (Indrawanto

et al

. 2010).

Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan tebu dan rendemen tebu sangat besar.

Dalam masa pertumbuhan vegetatif tanaman membutuhkan banyak air, sedangkan

saat masak (pertumbuhan generatif) tanaman tebu membutuhkan keadaan kering

agar pertumbuhan vegetatif terhenti. Apabila hujan tetap tinggi maka

pertumbuhan vegetatif akan terus terjadi dan tidak ada kesempatan untuk menjadi

masak sehingga rendemen menjadi rendah. Tanaman tebu dapat tumbuh dengan

baik di daerah dengan curah hujan berkisar 1 000-1 300 mm per tahun dengan

sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Distribusi curah hujan yang ideal untuk

pertanaman tebu adalah: pada periode pertumbuhan vegetatif diperlukan curah

hujan yang tinggi (200 mm per bulan) selama 5-6 bulan. Periode selanjutnya

selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan 4-5 bulan dengan curah hujan

kurang dari 75 mm per bulan yang merupakan periode kering. Periode ini

merupakan periode pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu (Indrawanto

et al

.

2010).

Ditinjau dari kondisi iklim yang diperlukan, wilayah yang ideal diusahakan

untuk tebu lahan kering/tegalan berdasarkan Oldeman adalah tipe B2, C2, D2, dan

E2. Sedangkan untuk tipe iklim B1, C1, D1, dan E1 dengan 2 bulan musim

kering, dapat diusahakan dengan syarat tanahnya ringan dan berdrainase bagus.

Untuk tipe iklim D3, E3, dan D4 dengan 4 bulan kering, dapat pula diusahakan

dengan syarat adanya ketersediaan air irigasi (Indrawanto

et al

. 2010).

Pengaruh suhu pada pertumbuhan tebu dan pembentukan sukrosa cukup

(29)

antara siang dan malam tidak lebih dari 10

o

C. Proses pembentukan sukrosa terjadi

pada siang hari, dan proses penimbunan sukrosa di batang tebu terjadi pada

malam hari. Disamping itu, tanaman tebu membutuhkan penyinaran 12-14 jam

setiap harinya. Proses assimilasi akan terjadi secara optimal, apabila daun

tanaman memperoleh radiasi penyinaran matahari secara penuh sehingga cuaca

yang berawan pada siang hari akan mempengaruhi intensitas penyinaran dan

berakibat pada menurunnya proses fotosintesa. Faktor yang penting juga

diperhatikan dalam budidaya tebu adalah kecepatan angin. Faktor ini sangat

berperan dalam mengatur keseimbangan kelembaban udara dan kadar CO

2

disekitar tajuk yang mempengaruhi proses fotosintesa. Angin dengan kecepatan

kurang dari 10 km per jam akan berdampak positif pada petumbuhan tebu

(Indrawanto

t

. 2010).

Kesesuaian Lahan

Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman tebu telah disusun oleh Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat (2003), dan merupakan salah satu rujukan dalam

budidaya tanaman tebu. Sistem evaluasi lahan ini mengacu pada hukum minimal

yaitu dengan mencocokkan (

m

h

in

g

) antara kualitas lahan dengan persyaratan

penggunaan tebu. Petunjuk evaluasi lahan untuk komoditas tebu disajikan pada

Lampiran 1.

Karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman

adalah faktor iklim, topografi, hidrologi, dan tanah. Menurut FAO (1976)

kerangka kesesuaian lahan ditentukan oleh ordo dan kelas. Pada tingkat ordo,

keadaan kesesuaian lahan dilihat secara global, yaitu kesesuaian lahan dibedakan

antara lahan yang sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Kesesuaian lahan pada tingkat

ordo, kemudian diklassifikasi pada tingkat kelas. Lahan yang tergolong sesuai

dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),

dan lahan sesuai marginal (S3). Kelas S1 merupakan lahan yang tidak mempunyai

faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara

berkelanjutan. Kelas S2 merupakan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang

dapat mempengaruhi produktivitasnya dan memerlukan tambahan masukan

(

in

p

u

t

) relatif ringan yang biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3

merupakan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau

sulit diatasi, misalnya lereng terjal, ketinggian tempat, suhu udara, tekstur,

salinitas, dan sebagainya.

Peta Zona Agroekologi (ZAE) merupakan salah satu alat bantu untuk

menentukan kesesuaian lahan pada tingkat global (ordo). Peta ini menggunakan

skala 1:250 000, atau 1cm

2

pada peta ekivalen dengan 625 hektar. Berdasarkan

peta ini, kesesuaian lahan dibagi menjadi sesuai dan tidak sesuai.

Komponen utama zona agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk

wilayah dan tanah. Berdasarkan karakteristik sumber daya lahan dan iklim

diperoleh 7 zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan

(Puslittanak 2002).

Zona I Zona dengan lereng>40%, tipe pemanfaatan lahan untuk kehutanan.

Zona II Zona dengan lereng 16-40%, tipe pemanfaatan lahan untuk perkebunan

(budidaya tanaman tahunan).

(30)

Zona IV Zona dengan lereng <8%, tipe pemanfaatan lahan untuk tanaman

pangan.

Zona V Zona dengan lereng <3%, dengan jenis tanah gambut, tipe pemanfaatan

lahan untuk tanaman hortikultura atau kehutanan.

Zona VI Zona dengan lereng <3%, dengan jenis tanah yang mempunyai

kandungan sulfat tinggi (sulfat masam) atau kandungan garam tinggi, tipe

lahan untuk perikanan.

Zona VII Zona dengan lereng <8%, dengan jenis tanah yang berkembang dari

pasir kuarsa, tipe pemanfaatan lahan untuk kehutanan dan padang

pengembalaaan.

Kebutuhan Air Tanaman Tebu

Pertumbuhan tanaman tebu membutuhkan waktu sekitar 9-12 bulan. Pada 7

bulan pertama terjadi fase pertumbuhan vegetatif, yaitu perkecambahan,

pembentukan anakan, dan pemanjangan batang. Pada fase selanjutnya terjadi

proses pemasakan tebu atau fase pertumbuhan generatif. Selama fase

pertumbuhan vegetatif ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman. Kekurangan air dapat berakibat penurunan produktivitas tebu (Rosadi

t

. 2004).

Irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanah untuk

keperluan penyediaan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Hansen

t

. 1986). Tujuan utama pemberian air irigasi adalah untuk memenuhi

kebutuhan air pada waktu dan jumlah yang tepat untuk pertumbuhan tanaman.

Ada dua macam sistem irigasi, yaitu sistem irigasi gravitasi dimana sistem

tersebut tergantung sepenuhnya pada gaya berat dan sistem irigasi non gravitasi

yang tidak sepenuhnya tergantung pada gaya berat karena memanfaatkan energi

dari luar (pompa). Berdasarkan sistem irigasi gravitasi, maka lahan pertanian

dibagi menjadi dua macam, yaitu lahan pertanian yang dapat diairi (

irri

l

) dan lahan pertanian yang tidak dapat diairi (

n

o

n

irri

l

) (Jansen

1980).

Kebutuhan air irigasi (

irri

io

n

w

r

quirement

) adalah air irigasi yang

digunakan oleh lahan dan tanaman pada selang waktu tertentu. Kebutuhan air

irigasi dapat dibedakan menjadi menjadi: (1) kebutuhan air tanaman (

crop water

requirement

) adalah evapotranspirasi atau

consumptive use

bagi suatu jenis

tanaman; (2) kebutuhan air lahan (

farm water requirement

) adalah kebutuhan air

untuk suatu unit areal tanaman; dan (3) kebutuhan air untuk irigasi (

irrigation

project water requirement

) adalah jumlah kebutuhan air keseluruhan suatu areal

irigasi.

Kebutuhan air tanaman atau kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman

adalah kebutuhan air untuk memenuhi evapotranspirasi atau

consumptive use

tanaman, yaitu air irigasi yang diperlukan untuk memenuhi evapotranspirasi

dikurangi curah hujan efektif (Linsley dan Franzini 1979).

(31)

digunakan untuk untuk pembentukan serat-serat atau air yang hilang melalui daun

ke atmosfir (Israelsen dan Hansen 1986).

Besarnya evapotranspirasi tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim,

jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman. Faktor-faktor iklim yang

berpengaruh adalah suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, penyinaran

matahari dan garis lintang (Hansen

t

. 1986). Laju evapotranspirasi tanaman

ditentukan dengan menggunakan persamaan empiris:

=

(1)

dimana :

Et

c

= evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Et

o

= evapotranspirasi acuan (mm/hari)

K

c

= koefisien tanaman

Evapotranspirasi acuan (

ET

o

) dapat dihitung menggunakan metode radiasi,

dengan persamaan (Doorenbos dan Pruitt 1977):

=

(0.25 + 0.5 ⁄

)

(2)

dimana:

ETo

= evapotranspirasi acuan (mm/hari)

c

= faktor penyesuaian berdasarkan kelembapan relatif dan kecepatan angin

pada siang hari.

W

= faktor pembobot berdasarkan suhu udara dan

lattitude

(ketinggian)

n/N

= perbandingan lama penyinaran matahari sebenarnya dengan lama

penyinaran potensial.

Ra

= radiasi ekstraterestial dalam ekivalen evapotranspirasi (mm/hari).

Metode evaporasi panci juga umum digunakan untuk mengukur evaporasi.

Ada beberapa tipe panci untuk mengukur evaporasi, tetapi yang umum digunakan

di Indonesia adalah tipe klas A. Pengukuran dengan panci klas A dianggap

sebagai alat lapangan yang baik dan nilai evaporasinya berubah menurut warna,

bahan, dan dalamnya penempatan panci serta lingkungan dimana panci berada.

Nilai evaporasi menggunakan metode evaporasi panci dapat dihitung dengan

persamaan (Manan

et al

. 1980).

=

(3)

dimana:

ET

o

= evaporasi referensi (mm/hari) atau (liter/hari)

K

p

= evaporasi panci (mm/hari)

E

panci

= koefisien panci nilainya tergantung pada lokasi penempatan panci,

kelembapan, kecepatan angin dan jarak tanam searah angin terhadap

panci.

Nilai

ET

c

tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi

(32)

ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisien tanaman

memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan

tanaman, sehingga nilai

ET

c

tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal

tersebut. Pada Tabel 2 disajikan nilai

K

c

pada tanaman tebu berdasarkan fase

pertumbuhan.

Tabel 2 Nilai

K

c

tebu berdasarkan fase pertumbuhan

Umur tanaman (bulan)

Fase pertumbuhan

Nilai

Kc

0-1

Perkecambahan-pertumbuhan tunas

0.55

1-2

Pembentukan anakan

0.80

2-3

Pembentukan anakan

0.90

2.5-4

Pertumbuhan anakan-kanopi penuh

1.00

4-10

Pertumbuhan puncak (pemanjangan

batang)

1.05

10-11

Pematangan-awal senesen

0.80

11-12

Matang

0.60

Sumber : Inman-Bamber dan Smith (2005)

Ketersediaan air irigasi dapat berasal dari sumber curah hujan dan sumber

air irigasi. Curah hujan dapat dimanfaatkan untuk penyiapan lahan, mengganti air

yang hilang karena perkolasi, dan terutama untuk pertumbuhan tanaman. Namun

demikian sebagian hujan tidak dapat dimanfaatkan karena akan mengalir sebagai

aliran limpasan permukaan (

run off

), maka bagian hujan yang dapat dimanfaatkan

hanya hujan yang dinyatakan sebagai hujan efektif (

effective rainfall

) yang

diperhitungkan dalam pengairan. Curah hujan efektif adalah curah hujan yang

jatuh selama periode pertumbuhan tanaman dan hujan itu berguna untuk

memenuhi kebutuhan air tanaman. Menurut Oldeman (1977), bahwa curah hujan

yang jatuh dan efektif untuk pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas

curah hujan, topografi sistem penanaman dan tahap pertumbuhan. Curah hujan

efektif dengan peluang 80% dapat dihitung dengan persamaan (FAO 2001).

= 0.60

− 10,

untuk CH < 70 mm

(4)

= 0.80

− 25,

untuk CH > 70 mm

(5)

dimana:

P

e

= curah hujan efektif (mm/bulan)

P

total

= total curah hujan (mm/bulan)

Irigasi adalah pemberian air pada tanah untuk mempertahankan kelembaban

tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman (Hansen

et al

. 1986). Sumber

air irigasi yang digunakan dapat berupa air permukaan dan dapat pula berupa air

tanah yang dipompakan. Menurut Schwab

et al

. (1981) metode irigasi dapat

dibedakan menjadi: irigasi permukaan (

surface irrigation

), irigasi bawah

permukaan (

subsurface irrigation

), irigasi curah (

sprinkler irrigation

), dan irigasi

tetes (

drip

/

trickle irrigation

).

Irigasi tetes adalah suatu metode pemberian air dengan kecepatan lambat dari

(33)

terdiri dari jalur pipa yang ekstensif dan biasanya dengan diameter yang kecil

yang memberikan air yang tersaring langsung ke tanah dekat tanaman.

Sistem irigasi tetes di lapangan umumnya terdiri dari jalur utama, pipa

pembagi, pipa lateral, alat aplikasi dan sistem pengontrol. Jalur utama terdiri dari

pompa, tangki injeksi, filter (saringan) utama dan komponen pengendali

(pengukur tekanan, pengukur debit dan katup). Jalur utama berikutnya adalah pipa

utama umumnya terbuat dari pipa

o

lyvin

yl

p

ri

lo

h

(PVC),

v

st

l

atau

besi cor berdiameter antara 7.5–25 cm. Pipa utama dapat dipasang di atas atau di

bawah permukaan tanah. Pipa pembagi (

su

b -main

,

manifold

) dilengkapi dengan

filter kedua yang lebih halus (80-100 μm), katup selenoid, regulator tekanan,

pengukur tekanan dan katup pembuang. Pipa sub-utama terbuat dari pipa PVC

atau pipa HDPE (

high density polyethylene

) berdiameter antara 50 – 75 mm. Pipa

lateral merupakan pipa tempat dipasangnya alat aplikasi, umumnya dari pipa

polyethylene

(PE) berdiameter 8 – 20 mm dan dilengkapi dengan katup

pembuang. Alat aplikasi terdiri dari penetes (

emitter

), pipa kecil (

small tube,

bubbler

) dan penyemprot kecil (

micro sprinkler

) yang dipasang pada pipa lateral.

Alat aplikasi terbuat dari berbagai bahan seperti PVC, PE, keramik, kuningan dan

sebagainya.

Klasifikasi Iklim

Klasifikasi iklim merupakan usaha untuk mengidentifikasi dan mencirikan

perbedaan iklim yang terdapat di bumi. Akibat perbedaan

latitude

(posisi relatif

terhadap khatulistiwa, garis lintang), letak geografi, dan kondisi topografi, suatu

tempat memiliki kekhasan iklim. Klasifikasi iklim biasanya terkait dengan bioma

karena iklim mempengaruhi vegetasi asli yang tumbuh di suatu kawasan.

Klassifikasi iklim yang banyak digunakan adalah klassifikasi iklim Köppen,

klassifikasi iklim Oldeman, dan klasisifikasi iklim Schmidt dan Ferguson

(Kartasapoetra 2004; Lakitan 2002).

Klasifikasi iklim Köppen adalah salah satu sistem klasifikasi iklim yang

paling banyak digunakan secara luas. Sistem ini dikembangkan oleh Vladimir

Köppen, seorang ahli iklim Jerman, sekitar tahun 1884 (dengan beberapa

perubahan oleh Köppen, tahun 1918 dan 1936). Seorang ahli iklim Jerman yang

bernama Rudolf Geiger bekerjasama dengan Köppen untuk mengubah sistem

klasifikasi, sehingga sistem ini kadang-kadang disebut sebagai sistem klasifikasi

Köppen–Geiger. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada konsep bahwa tanaman

adalah ekspresi terbaik iklim dan lingkaran zona iklim telah dipilih dengan

distribusi tanaman. Sistem ini menggabungkan temperatur dan kelembaban

rata-rata bulanan dan tahunan, dan kelembaban musiman.

Klassifikasi iklim Köppen membagi wilayah menjadi 5 kelompok iklim,

yaitu: Kelompok A: iklim tropis (megatermal); Kelompok B: iklim kering

(gersang dan semi gersang); Kelompok C: iklim sedang (mesotermal); Kelompok

D: iklim benua (mikrotermal); Kelompok E: iklim kutub.

(34)

Mereka berdua membuat klasifikasi iklim ini dengan alasan sistem klasifikasi

yang telah dikenal seperti Koppen, Thornwaite dan Thornwaite kurang sesuai

dengan keadaan di Indonesia khususnya mengenai teknik menilai curah hujan.

Schmidt Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan ukuran bulan

basah, bulan lembab dan bulan kering. Kriteria tersebut mengacu pada jumlah

curah hujan yang diterima setiap daerah. Kriteria yang digunakan untuk

menentukan bulan basah, bulan lembab dan kering adalah sebagai berikut : Bulan

Basah (BB) dengan jumlah curah hujan lebih dari 100 mm; Bulan Lembab (BL)

dengan jumlah curah hujan antara 60-100 mm; dan Bulan Kering (BK) dengan

jumlah curah hujan kurang dari 60 mm.

Schmidt dan Ferguson menentukan BB, BL, dan BK tahun demi tahun

selama pengamatan, yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya.

Penentuan tipe iklimnya mempergunakan nilai Q yaitu:

=

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pekerjaan Pekerjaan Taman Kantor Gabungan Dinas - Dinas , dimana perusahaan saudara termasuk

Terdapat ribuan molekul mtDNA dalam tiap sel, dan secara umum terdapat beberapa mutasi patogenik mtDNA, tetapi bukan semuanya.Sehingga sel dan jaringan tercampur mtDNA normal

Demikian pula energi yang diproduksi tiap tahun (baru mulai diproduksi pada masa operasi) juga dirinci dalam nilai tahunan, sehingga akan ada sebanyak 40 nilai

Berdasarkan paparan data, temuan penelitian, dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw

(2) Kemampuan Guru dalam melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media teks dialog sudah sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

Sebagai pembanding tingkat akurasi teleskop Vixen Sphinx, parameter yang digunakan untuk menilai akurasi optik teodolit Nikon NE-202 antara lain lubang lensa

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisa data menunjukkan bahwa pola pertumbuhan kedua jenis ikan sampel (Rasbora sp dan Puntius brevis) bersifat allometrik negatif.Ikan

Berdasarkan analisis yang dilakukan, ada tiga temuan dalam analisis ini yaitu (1) kategori gramatikal dari leksikon alam dalam beblabadan adalah verba seperti mabawang