• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan pada dewasa awal dengan orangtua bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan pada dewasa awal dengan orangtua bercerai"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN KEINTIMAN TERHADAP PASANGAN PADA DEWASA AWAL

DENGAN ORANGTUA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Nani Nuritasari NIM : 109114127

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

(2)
(3)

iii

(4)

iv

MOTTO

The mind is everything. What you think you become.

(5)

v

Karya ini kupersembahkan untuk :

Mama dan Mami yang tercinta…

Kakak Novita yang tersayang …

Kedua adikku, Nana dan Navaro, yang lucu dan menggemaskan…

Sahabat-sahabat yang luar biasa …

Dan teman – teman Psikologi 2010.. You rock!!!

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN KEINTIMAN TERHADAP PASANGAN PADA DEWASA AWAL

DENGAN ORANGTUA BERCERAI

Nani Nuritasari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara

komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan pada dewasa awal

dengan orangtua bercerai. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif bersifat

korelasional yang dilakukan terhadap 51 subjek yang berusia 20 hingga 31 tahun.

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi product

moment Pearson dan diperoleh nilai korelasi sebesar 0,936 dengan nilai

signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini berarti terdapat hubungan yang

positif dan signifikan antara komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap

pasangan pada dewasa awal dengan orangtua bercerai.

Kata kunci : komunikasi interpersonal, keintiman, perceraian, dewasa awal

(8)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN INTERPERSONAL COMMUNICATION AND INTIMACY ON EARLY ADULT WITH DIVORCES PARENTAL ISSUE

Nani Nuritasari

ABSTRACT

This empirical study purpose is to measure significantly correlation

between interpersonal communication and intimacy on early adult with divorces parental issue. Quantitative research method applied with 51 subjects, consist of 20 until 31 range of ages. The data in this resear ch was analyzed by using the

Pearson product moment correlation and was found that the correlation values was 0,936 with a significant value of 0,000 (p < 0,05). This finding means that

there is a positive and significant relationship between interpersonal communication and intimacy on early adult with divorces parental issue.

Keywords : interpersonal communication, intimacy, divorces parental issue, early

(9)

ix

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas pernyertaan dan tuntunanNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Hubungan antara

Komunikasi Interpersonal dengan Keintiman terhadap Pasangan pada Dewasa

Awal dengan Orangtua Bercerai”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan banyak

pihak. Maka daripada itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dekan dan dosen pembimbing

akademik serta dosen penguji. Terimakasih atas bantuannya dalam

kelancaran proses pembuatan skripsi ini.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku kepala progam studi dan dosen

pembimbing skripsi. Terimakasih atas kesedian Ibu dalam mendampingi

serta membimbing juga mendiskusikan perihal skripsi ini dengan penuh

perhatian dan sabar.

3. Ibu Debri Pristinella, M.Si selaku dosen penguji. Terimakasih atas

dukungan dan kritikan yang membangun dalam proses pengerjaan skripsi

ini.

4. Mama, mami, kakak, dan adik-adikku yang senantiasa memberi doa,

(11)

xi

yang sangat besar kepada saya dalam memberikan tanggungjawab

sepenuhnya selama mengerjakan skripsi ini.

5. Dr. A. Priyono Marwan, S.J. Terimakasih atas bantuan dan saran yang luar

biasa agar saya tetap giat dan pantang menyerah hingga akhir.

6. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Terimakasih karena telah membimbing dan membagikan ilmunya.

7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi, Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gi,

Mas Muji, Mas Donny, dan student staff yang senantiasa membantu saya serta memberikan suasana kekeluargaan dengan canda tawanya.

8. Teman – teman Psikologi angkatan 2010 yang luar biasa hebat terutama

kelas D. Terimakasih atas peran serta dukungannya. Saya merasa sangat

beruntung menjadi bagian dari kalian. Kalian adalah bagian paling luar

biasa di masa perkuliahan saya.

9. Sahabat – sahabat terbaikku The RAINBOW yang terkadang alay dan

nyebelin. I love u, too. Terimakasih saja mungkin tidak akan cukup jika mengingat apa saja yang telah kalian berikan kepada saya. Saya minta

maaf atas segala kekurangan yang saya miliki selama berproses dengan

kalian: Sose, Silai, Tyas, Opah, Irma, Geri, Wendy, Abi, dan Yoga.

10.Teman – teman Asrama Putri Kinasih yang cantik dan baik, Mba Ya,

Cen-Cen, Xiao-Xiao, Chelly, Vero, Ika, Ike, Tirsa, Lia dan masih banyak lagi

terimakasih atas kebersamaannya selama ini.

(12)

xii

11.Teman – teman seperjuangan ujian skripsi pada bulan Desember : Kiki,

Septian Pace, Septian Twiboy, Kakak suster (Suster Marcel), Hilda, Ka

Lezza, dan Nael. Terimakasih atas motivasi dan kebersamaannya.

12.Pan Pan a.k.a Otniel Gerri Dimas Fabian, pria yang sering terlupakan

namun selalu siap sedia saat dibutuhkan. Terimakasih atas peranannya

yang luar biasa sebagai tempat curahan hati dan penyaluran emosi ketika

menghadapi persoalan yang berkaitan dengan skripsi. Terimakasih juga

atas dukungan dan penyertaannya dalam menjadi sahabat, kakak, adik,

tukang masak, tukang ojek, musuh bebuyutan, dan pasangan yang luar

biasa sabar.

13.Teman, sahabat, kerabat, dan orang-orang yang tidak sempat saya

sebutkan satu per satu. Terimakasih atas bantuannya baik langsung mapun

tidak langsung sehingga saya dapat mengerjakan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan

bagi dari segi metode maupun pelaporan penelitian. Oleh karena itu, penulis

menerima segala kritik dan masukan yang membangun demi perbaikan penelitian

selanjutnya. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi banyak pihak dan kiranya

Allah SWT memberkati apa telah dikerjakan.

Yogyakarta, 12 Januari 2015

Penulis,

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING …….……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN MOTTO ……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi

ABSTRAK ………... vii

ABSTRACT ………... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………… ix

KATA PENGANTAR ………. x

DAFTAR ISI ……… xiii

DAFTAR TABEL ……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….………... xviii

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….……... 11

C. Tujuan Penelitian ……….. 11

D. Manfaat Penelitian ………... 11

1.Manfaat Teoritis ………...……... 11

2.Manfaat Praktis ………..……….. 12

BAB II : TINJAUAN TEORI ……….. 13

(14)

xiv

A. Keintiman ………..………... 13

1. Pengertian Keintiman ………... 13

2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keintiman …………. 14

3. Aspek –Aspek Keintiman ……… 16

4. Manfaat Keintiman ………... 18

B. Komunikasi Interpersonal ………...………….. 20

1. Pengertian Komunikasi Interpersonal ……….. 20

2. Aspek – aspek Komunikasi Interpersonal ……… 21

3. Komponen – Komponen Komunikasi Interpersonal ……… 23

C. Perceraian Orangtua ……….……… 25

1. Perceraian ………. 25

2. Dampak Perceraian ……….. 25

D. Dewasa Awal ……… 27

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal ……… 27

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal ……… 28

E.Dinamika Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Keintiman terhadap Pasangan pada Dewasa Awal dengan Orangtua Bercerai………...… 31

F. Skema Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Keintiman terhadap Pasangan pada Dewasa Awal dengan Orangtua Bercerai ... 35

G. Hipotesis …………..………... 36

(15)

xv

A.Jenis Penelitian ………... 37

B.Identifikasi Variabel Penelitian ……….. 37

C.Definisi Operasional Variabel Penelitian ………... 37

1. Komunikasi Interpersonal ……… 37

2. Keintiman Terhadap Pasangan ……….. 38

D.Subjek Penelitian ……… 38

E.Metode Pengumpulan Data ……… 39

1. Skala Komunikasi Interpersonal ………. 40

2. Skala Keintiman Terhadap Pasangan ………. 43

F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data.. 47

(16)

xvi

E. Analisis Data Penelitian ……… 60

1. Uji Asumsi ………... 60

2. Uji Hipotesis ……… 63

F. Pembahasan ……….. 64

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ……… 70

A. Kesimpulan ……….. 70

B.Saran ……….. 70

1. Bagi Dewasa Awal ………. 71

2. Bagi Orangtua ………. 71

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ………. 71

DAFTAR PUSTAKA ……….. 72

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Blue Print dan Distribusi Item Skala Komunikasi Interpersonal Sebelum Uji Coba ……….……….. 43 Tabel 3.2. Blue Print dan Distribusi Item Skala Keintiman Terhadap Pasangan Sebelum Uji Coba ………..…..……… 47 Tabel 3.3. Blue Print dan Distribusi Item Skala Keintiman Terhadap Pasangan

Setelah Uji Coba ………..……… 50 Tabel 3.4. Blue Print dan Distribusi Item Skala Komunikasi Interpersonal

Setelah Uji Coba ……….. 51

Tabel 4.1 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 55

Tabel 4.2 Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ………. 55

Tabel 4.3 Deskripsi Subjek Berdasarkan Lama Berpacaran ………… 56

Tabel 4.4 Data Penelitian ………. 57

Tabel 4.5 Norma Kategorisasi ………. 58

Tabel 4.6 Kategorisasi Skala Komunikasi Interpersonal ………. 59

Tabel 4.7 Kategorisasi Skala Keintiman Terhadap Pasangan ………. 60

Tabel 4.8.1 Hasil Uji Normalitas ……….... 61

Tabel 4.8.2 Hasil Uji Linearitas ……….. 62

Tabel 4.9 Hasil Uji Hipotesis ………... 62

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Komunikasi Interpersonal dan Keintiman terhadap

Pasangan ………. 78

Lampiran 2. Hasil Seleksi Item Skala Komunikasi Interpersonal dan Keintiman terhadap Pasangan ………....…… 91

Lampiran 3. Reliabilitas Skala Komunikasi Interpersonal dan Keintiman terhadap Pasangan ……….…. 97

Lampiran 4. Uji Deskriptif Mean Empirik ……… 99

Lampiran 5. Uji Normalitas ………...………… 100

Lampiran 6. Uji Linearitas ………. 101

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus perceraian di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Bahkan jumlah kasus perceraian tersebut mencapai angka perceraian tertinggi

di Asia-Pasifik. Data Badan Peradilan Agama ( Badilag ) Mahkamah Agung

RI tahun 2010 mengungkapkan bahwa selama tahun 2005 hingga 2010

rata-rata 1 dari 10 pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian. Sedangkan

pada tahun 2010, dari dua juta pasangan yang menikah terdapat sekitar

285.184 pasangan yang bercerai. Berdasarkan data tersebut sebanyak 70%

penyebab terjadinya perceraian dikarenakan ketidakharmonisan dalam

rumah tangga dan sebagian besar gugatan dilakukan oleh pihak istri (BKKBN

Online, 2012).

Terlepas dari pihak manapun yang melakukan gugatan cerai, keputusan

untuk bercerai bukanlah sesuatu yang mudah. Pada umumnya tidak ada

seorangpun yang menginginkan perceraian dalam kehidupan rumah

tangganya, namun perceraian kerap kali dianggap sebagai keputusan terbaik

dalam menyelesaikan persoalan dalam pernikahan. Jones & Gallois (dalam

Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa permasalahan dan konflik yang

terjadi dalam rumah tangga dapat menghancurkan cinta dan pernikahan yang

dinyatakan baik diantara dua individu. Perceraian dipandang sebagai solusi

(20)

2

positif untuk menghindari konflik yang destruktif seperti permasalahan,

perselisihan, dan pertikaian yang terjadi diantara suami dan istri.

Angka perceraian yang tinggi secara tidak langsung menyiratkan

banyaknya anak yang menjadi korban perceraian orangtua. Perceraian

umumnya dapat diterima oleh orangtua namun tidak demikian pada anak.

Orangtua sudah mengalami proses hingga mengambil keputusan bercerai

sebagai keputusan yang matang. Sedangkan kebanyakan anak hanya dapat

menerima keputusan akhir orangtua tanpa ada bayangan kondisi keluarga

berpisah sebelumnya. Hal ini didukung oleh Bintang (2008) yang dalam

penelitiannya menyatakan bahwa perceraian orang tua akan membawa

pengaruh langsung bagi anak yang tiba-tiba saja harus menerima keputusan

yang telah dibuat orangtua tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan

berubah. Dengan demikian perceraian orangtua akan menyisakan pengalaman

tidak menyenangkan dan traumatis pada anak. Garrison (2010) dalam

penelitiannya menambahkan bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan

menimbulkan dampak terhadap suami, istri, dan anak. Dampak perceraian

tersebut tidak hanya berlangsung beberapa saat setelah perceraian berakhir,

bahkan dapat memberikan dampak jangka panjang serta akan mempengaruhi

perkembangan anak hingga masa dewasa.

Masa dewasa awal adalah permulaan dari tahap baru dalam kehidupan

manusia. Masa ini merupakan tanda bahwa individu sudah dapat mengambil

bagian dalam tujuan hidup yang telah dipilih dan menemukan kedudukan

(21)

3

dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan

eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging adulthood

(Amett dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Masa dewasa awal juga

merupakan masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis,

dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya (Santrock, 2002).

Seperti pada tahap-tahap kehidupan sebelumnya, individu pada masa

dewasa awal juga akan dihadapkan pada sekumpulan tugas perkembangan.

Jika tugas tersebut berhasil dijalankan maka akan menimbulkan rasa bahagia

dan memicu keberhasilan pada tugas-tugas selanjutnya, namun jika tugas

tersebut gagal maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan

dalam menghadapi tugas-tugas selanjutnya (Havighurst dalam Hurlock,

1980). Hurlock (1980) menambahkan bahwa tugas-tugas perkembangan pada

masa dewasa awal dititikberatkan pada aspek karier dan membina sebuah

hubungan sosial yang lebih berarti. Pada aspek karier, individu diharapkan

dapat meniti sebuah pekerjaan yang dapat mendukung gaya hidupnya.

Sedangkan pada aspek hubungan sosial, individu diharapkan mampu

membangun sebuah keintiman dengan lawan jenis agar kelak dapat memilih

pasangan hidup dan membangun rumah tangga.

Robert J. Sternberg dalam triangular theory of love (teori segitiga cinta)

mengartikan cinta sebagai segitiga yang memiliki tiga komponen, yaitu

keintiman, gairah, dan komitmen (Sternberg & Barnes, 1988). Keintiman

merupakan perasaan dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan,

keterikatan, dan ketertarikan. Keintiman mendorong individu untuk selalu

(22)

4

melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya. Gairah

merupakan ekspresi hasrat dan kebutuhan seksual yang menyebabkan

seseorang merasa ingin dekat secara fisik. Komitmen merupakan ketetapan

seseorang untuk bertahan bersama sesuatu atau seseorang sampai akhir.

Keintiman dan komitmen relatif stabil dalam hubungan dekat,

sementara gairah cenderung tidak stabil. Dalam hubungan romantis jangka

pendek gairah lebih berperan, sedangkan dalam hubungan romantis jangka

panjang keintiman dan komitmen memainkan peranan yang lebih besar.

Namun pada individu dewasa awal hambatan yang dominan muncul adalah

keintiman, hal ini terjadi karena individu lebih banyak mengalami kesulitan

dalam membentuk kedekatan emosional. Penelitian Cherlin, Chase-Lansdale,

& McRae (dalam Sager, 2009) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan

masalah-masalah emosional yang berhubungan dengan perceraian ketika anak

mencapai usia dewasa awal. Dampak perceraian tersebut semakin tampak

ketika mulai menjalin keintiman pada masa dewasa awal. Hal tersebut

didukung oleh Franklin, dkk (dalam Sager, 2009) yang menyatakan bahwa

terlepas dari berapa pun usia anak saat orangtua bercerai, dampak perceraian

orangtua akan menonjol pada masa dewasa awal ketika anak mulai

membangun hubungan romantis terhadap lawan jenisnya.

Santrock (2002) mengemukakan bahwa hubungan pernikahan orangtua

akan mempengaruhi individu dalam membentuk hubungan dengan lawan

jenis, sehingga individu tidak mampu mengembangkan keintiman yang

(23)

5

keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pola sikap

dan perilaku individu dalam membina hubungan dengan orang lain. Hal ini

disebabkan keluarga termasuk ayah dan ibu merupakan lingkungan pertama

seorang individu melakukan sosialisasi, tak terkecuali individu dengan

orangtua bercerai. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nihayah, dkk (2013)

menunjukkan bahwa religiusitas dan cinta memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap kepuasan pernikahan. Variabel keintiman, gairah,

komitmen, keyakinan, pengalaman, ritual, pengetahuan, konsekuensi, dan

usia pernikahan menjelaskan bervariasinya variabel kepuasan pernikahan

sebesar 35,4%. Berdasarkan penelitian tersebut variabel yang dominan

terhadap kepuasan pernikahan adalah variable keintiman.

Penelitian Bruce, Flora, & Stacey (2004) menunjukkan perbedaan

tingkat keintiman antara individu dengan orangtua bercerai dengan individu

dengan orangtua tidak bercerai. Individu yang berasal dari keluarga utuh

memiliki tingkat keintiman yang lebih tinggi dengan pasangannya daripada

individu yang berasal dari keluarga bercerai. Hal ini disebabkan individu

yang berasal dari keluarga yang bercerai memiliki tingkat ketakutan yang

lebih tinggi untuk membangun hubungan intim dengan pasangannya daripada

individu yang berasal dari keluarga yang utuh. Berdasarkan penelitian

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa individu dengan orangtua tidak

bercerai atau berasal dari keluarga utuh memiliki tingkat keintiman yang

lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan orangtua bercerai.

(24)

6

Keintiman digambarkan oleh Erikson (dalam Santrock, 2002) sebagai

penemuan diri sendiri pada diri orang lain. Saat individu membentuk

persahabatan yang sehat dan relasi yang akrab dengan orang lain maka

keintiman akan dicapai, namun jika tidak maka akan terjadi isolasi.

Ketidakmampuan untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang

lain dapat berbahaya bagi kepribadian individu. Hal itu mungkin

menyebabkan seseorang menolak, mengabaikan, atau menyerang orang-orang

yang dianggap mereka membuat frustasi. Perkembangan sosio-emosional

pada dewasa awal mencangkup mengenai bagaimana seseorang mulai

mencintai lawan jenisnya dan memiliki hubungan dekat dengan lawan

jenisnya tersebut, kemudian biasanya akan melanjutkannya pada pernikahan

yaitu keinginan untuk berkeluarga (Santrock, 2002). Kondisi ini mungkin

akan berbeda jika dialami oleh dewasa awal dengan orangtua bercerai. Hal

tersebut disebabkan individu memperhatikan pernikahan orangtua dan

perikahan tersebut merupakan indikator bagi individu untuk meniru perilaku

orangtua serta mengkaitkannya dengan pernikahannya kelak. Dalam hal ini

perceraian orangtua cenderung meningkatkan keturunannya membentuk sifat

dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu keintiman di masa

dewasa.

Ramaiah (2003) mengemukakan bahwa pernikahan yang seharusnya

menjadi hal yang dinantikan dapat menjadi kecemasan bagi perempuan yang

berasal dari keluarga tidak harmonis. Kecemasan akan pernikahan tersebut

(25)

7

yang ditekan selama masa anak-anak, dan tidak mendapat teladan mengenai

pernikahan yang baik dari orangtua. Penelitian yang dilakukan oleh Heler &

Wood (1998) menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara

signifikan dalam merasakan keintiman dengan pasangannya. Hal ini karena

perempuan merasakan tingkat keintiman yang lebih tinggi kepada

pasangannya dibandingkan laki-laki.

Amato (2012) dalam penelitiannya menambahkan bahwa perceraian

yang dialami orangtua cenderung meningkatkan perceraian pada anak-anak

mereka. Individu dengan orangtua bercerai cenderung memiliki pandangan

yang kompleks terhadap pernikahan. Individu tersebut memperlihatkan

kecemasan akan pernikahannya, ragu-ragu memutuskan untuk menikah atau

tidak, serta menjadi lebih selektif dalam memilih pasangan. Hal ini dapat

terjadi karena individu mengamati pernikahan orangtuanya, dan kondisi

pernikahan tersebut dijadikan patokan oleh individu terhadap relasi dengan

pasangannya. Berdasarkan uraian yang diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa perceraian memberikan dampak yang begitu besar terhadap keintiman

dewasa awal baik dalam hubungan dengan lawan jenis maupun tahapan yang

lebih serius yaitu pernikahan.

Keintiman akan didapat jika individu memiliki kedekatan emosional

terhadap pasangannya. Kedekatan emosional ini dapat tercapai jika hubungan

antar individu terjalin dengan baik dimana individu mampu mengenali

kebutuhan pasangan dan saling memahami satu sama lain. Dengan demikian

hubungan yang baik dengan pasangan akan memicu kedekatan emosional

(26)

8

sehingga dapat meningkatkan keintiman. Hal tersebut kemudian dapat

diawali dengan jalinan komunikasi yang baik dan efektif dengan pasangan.

Menurut Lazarus ( dalam Prabaningsih, 1999) komunikasi merupakan salah

satu hal yang memegang peranan dalam kehidupan manusia. Tingkatan yang

paling penting dalam komunikasi adalah komunikasi antar pribadi atau

komunikasi interpersonal yang diartikan sebagai relasi individual dengan

orang lain dalam konteks sosialnya.

Komunikasi interpersonal dirasa penting untuk dimiliki oleh pasangan

dibandingkan bentuk-bentuk komunikasi lainnya karena komunikasi

interpersonal merupakan bentuk komunikasi yang biasanya dilakukan antara

dua individu secara tatap muka yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap

dan tingkah laku lawan komunikasi dengan umpan balik secara langsung.

Dalam komunikasi interpersonal terdapat proses transaksi pesan yang bersifat

dua arah, dan perhatian masing-masing pihak tidak semata-mata tertuju pada

pesan, melainkan juga pada perilaku lawan komunikasi. Menurut Berger

(dalam Little John, 1989) komunikasi interpersonal juga ditandai dengan

individu yang saling mengenal, sehingga dapat menimbulkan rasa kedekatan

antara kedua pihak. DeVito (1997) menambahkan bahwa komunikasi

interpersonal yang baik dan efektif ditandai dengan adanya keterbukaan,

empati, dukungan, sikap positif, dan kesamaan antara kedua belah pihak.

Komunikasi interpersonal dirasa penting dilakukan terhadap pasangan karena

masing-masing pasangan dapat mengungkapkan pendapat dan pandangannya

(27)

9

komunikasi interpersonal yang baik dan efektif antara pasangan dapat

memicu terjadinya kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan munculnya

sejumlah permasalahan bagi kedua belah pihak. Individu yang mengalami

hambatan dalam berkomunikasi akan kesulitan dan merasa cemas ketika

harus melakukan komunikasi interpersonal, sehingga tidak mampu

mencerminkan rasa kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Masalah

kecemasan komunikasi interpersonal telah diteliti oleh Mariani (1991) yang

menemukan bahwa 8% dari 189 mahasiswa mengalami kecemasan akan

komunikasi interpersonal. Untuk mengatasi kecemasan yang menjadi

hambatan dalam komunikasi interpersonal Markman (dalam Kanfer dan

Goldstein, 1997) melakukan teknik modifikasi perilaku-kognitif yang

menunjukkan bahwa teknik tersebut efektif mengatasi kecemasan komunikasi

interpersonal.

Penelitian Dewi & Sudhana (2013) mengungkapkan ada hubungan

yang kuat antara variabel komunikasi interpersonal dan variabel

keharmonisan pernikahan. Hasil analisis data tersebut menunjukkan korelasi

anatara kedua variabel dengan nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh

sebesar 0,649, menunjukkan bahwa adanya hubungan yang searah yaitu

bernilai positif. Dimana semakin tinggi skor komunikasi interpersonal maka

akan mengakibatkan semakin tinggi pula skor pada keharmonisan

pernikahan. Penelitian lain mengenai komunikasi adalah penelitian yang

dilakukan oleh Emmers-Sommers (2004) yang menunjukkan bahwa kualitas

komunikasi menjadi indikator yang lebih baik daripada kuantitas komunikasi

(28)

10

untuk sebuah keintiman dalam hubungan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kualitas komunikasi dirasa sangat penting dalam

menjalankan keintiman dalam sebuah hubungan dengan lawan jenis bahkan

hingga jenjang pernikahan. Namun penelitian tersebut tidak secara spesifik

dialami oleh dewasa awal dengan orangtua bercerai. Penelitian yang

dilakukan oleh Yudistriana, Basuki, & Harsanti (2010) mengungkapkan

bahwa terdapat faktor adanya keterbukaan kepada pasangan yang dapat

mempengaruhi keintiman pada pria dewasa awal. Keterbukaan sendiri

merupakan salah satu aspek penting komunikasi interpersonal.

Peneliti tertarik untuk menemukan hubungan antara komunikasi

interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan, khususnya pada dewasa

awal dengan orangtua bercerai. Mengingat adanya hambatan mengenai

keintiman yang dialami dewasa awal dengan orangtua bercerai karena

orangtua tidak memberikan gambaran mengenai hubungan terhadap lawan

jenis pada individu. Selain itu minimnya penelitian mengenai komunikasi

interpersonal pada dewasa awal yang memiliki hambatan terhadap keintiman

menjadi langkah awal bagi peneliti untuk mencari jawaban mengenai

hubungan kedua variabel tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas,

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah komunikasi

(29)

11

awal dengan orangtua bercerai, mengingat adanya hambatan dalam

membangun keintiman tersebut?”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara

komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan pada dewasa

awal dengan orangtua bercerai.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi yang dapat memperkaya wawasan dan pemahaman mengenai

komunikasi interpersonal dan kaitannya dengan keintiman serta dapat

memperkaya referensi ilmiah dalam bidang psikologi khususnya

psikologi keluarga dan perkembangan. Selain itu penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik

dengan masalah serupa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan

dampak dari perceraian bagi kehidupan anak-anak mereka,

(30)

12

terutama dalam membina keintiman terhadap lawan jenis pada

masa dewasa awal.

b. Bagi dewasa awal, khususnya dewasa awal dengan orangtua

bercerai, dapat memberikan informasi mengenai keintiman

terhadap pasangan dan komunikasi interpersonal serta dapat

memanfaatkan informasi tersebut sebagai pertimbangan terhadap

segala tindakan yang akan diambil selanjutnya sehingga dapat

mencoba menanggulangi masalah yang mungkin tampak mengenai

(31)

13

BAB II

TINJAUAN TEORI

A.Keintiman

1. Pengertian Keintiman

Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson dalam Kroger, 2001 (dalam Amalia, 2013) mendefinisikan

keintiman mengacu pada perasaan saling percaya, terbuka dan saling

berbagi dalam suatu hubungan. Menurut Erikson (dalam Marcia, dkk.

1993) individu yang memiliki kemampuan keintiman akan mampu

berkomitmen pada pilihan yang telah diambilnya walaupun untuk

mempertahankannya membutuhkan pengorbanan dan banyak perundingan.

Olforsky (dalam Marcia, dkk., 1993) mendefinisikan kemampuan

keintiman sebagai kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan

hubungan yang intim atau akrab, yang biasanya terlihat dalam bentuk

kedekatan, penghargaan terhadap individualitas, keterbukaan, komunikasi,

tanggungjawab, hubungan timbal balik, komitmen dan seksualitas.

Seksualitas disini tidak mengacu pada hubungan seks, tetapi lebih kepada

kepuasan yang dirasakan individu dalam berinteraksi dengan orang lain.

Levinger (dalam Masters, Johnson, & Kolodny, 1992) mendefinisikan

keintiman sebagai sebuah proses dimana dua orang saling memberi

perhatian sebebas mungkin dalam pertukaran perasaan, pikiran dan

tindakan. Keintiman secara umum ditandai oleh perasaan penerimaan,

(32)

kedekatan, komitmen dan kepercayaan antara kedua belah pihak.

Keintiman menunjukkan bukti bahwa individu terhubung dan dekat dengan

orang yang dicintainya.

Santrock (2002) mendefinisikan keintiman sebagai perasaan

emosional tentang kehangatan, kedekatan, dan berbagi dalam hubungan.

Melengkapi pernyataaan tersebut Baron & Byrne (2004) juga menyebutkan

bahwa keintiman merupakan kedekatan yang didasarkan pada dua orang

dan kekuatan dari ikatan yang menahan mereka bersama. Keintiman

merupakan tahap perkembangan psikososial keenam dari delapan tahap

yang diajukan oleh Erikson. Pada tahap perkembangan ini, terdapat kutub

bipolar yaitu keintiman versus isolation. Keberhasilan pada tahap tugas perkembangan ini adalah terbentuknya orientasi pada keintiman.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pengertian keintiman adalah kemampuan yang dimiliki oleh

seseorang untuk menjalin hubungan yang dekat atau akrab dengan orang

lain dengan menunjukkan perasaan saling percaya, saling berbagi

(keterbukaan diri), adanya hubungan timbal balik dan terbentuknya

komitmen dalam suatu hubungan.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keintiman

Keintiman tidak terjadi begitu saja, akan tetapi terdapat faktor-faktor

(33)

15

Beberapa faktor yang dapat menghalangi terjalinnya keintiman (Cox, 1984)

adalah :

a. Pengalaman masa lalu

Adanya peristiwa yang bagi sebagian orang merupakan peristiwa

traumatis, seperti meninggalnya orang tua, perceraian dan sebagainya.

Akibatnya, orang-orang yang demikian dapat menghindar untuk

berhubungan secara dekat dengan orang lain untuk mencintai orang

lain. Ketakutan ini dapat menghalangi terjalinnya keintiman.

b. Kecemasan akan identitas diri

Seseorang yang memiliki identitas diri yang belum mantap, belum

mengetahui siapa dirinya sebenarnya, mengenai pilihan-pilihan yang

akan diambilnya. Hal ini akan menyulitkan seseorang untuk menjalin

keintiman dengan orang lain.

c. Ketakutan akan terungkapnya kelemahan

Ada orang yang menghindar menjalin hubungan dekat dengan orang

lain karena merasa takut kelemahan-kelemahan dan

kesalahan-kesalahan mereka akan terungkap.

d. Membawa kekesalan atau dendam masa lalu ke masa kini.

Mengungkapkan kembali peristiwa di masa lalu yang kurang berkenan,

atau harapan-harapan di masa lalu yang tidak tercapai merupakan

hal-hal yang dapat menghal-halangi terjalinnya keintiman.

e. Konflik masa kecil yang tidak terselesaikan

(34)

Konflik yang sering menimbulkan perasaan kompetitif, bersaing, iri dan

sebagainya sehingga dapat mengganggu terjalinnya keintiman dengan

baik.

f. Ketakutan akan mengungkapkan perasaan negatif

Ada orang yang mengalami ketakutan untuk mengungkapkan perasaan

negatif seperti amarah, dendam, permusuhan dan sebagainya karena

mereka merasa takut akan ditolak atau memperoleh penilaian yang

kurang baik. Dalam hal ini komunikasi interpersonal yang terjalin

menjadi tidak efektif.

g. Harapan-harapan terhadap peran suami istri

Pasangan yang menikah belum tentu memiliki pandangan yang sama

tentang peran suami istri sehingga akan menimbulkan konflik yang

dapat menghalangi terjalinnya keintiman.

h. Pandangan tentang seks

Mereka yang sejak kecil mendapatkan penjelasan yang negatif tentang

seks, dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap seks ketika

mereka telah menikah. Sedangkan dalam pernikahan, seks merupakan

hal yang penting karena merupakan salah satu cara yang tepat untuk

mengurangi ketegangan dan menjalin keintiman.

3. Aspek-aspek Keintiman

Aspek-aspek keintiman menurut Turner & Helms (2001) antara lain adalah:

(35)

17

Berkaitan dengan kebutuhan untuk menyampaikan dan berbagi

perasaan dengan pasangan. Individu dapat berbagi emosi positif seperti

kebahagiaan, suka cita, kegembiraan, dan sebagainya. Adapun emosi

negatif yang biasa dibagi yaitu perasaan marah, kesepian, penat,

kesedihan, dan sebagainya.

b. Psikologis

Keintiman psikologis meliputi keinginan untuk berbagi, impian, fantasi,

aspirasi, dan rencana untuk masa depan, selain itu juga berbagi rasa

takut, perhatian, perasaan ragu-ragu, ketidaknyamanan, masalah, dan

konflik kepada pasangan.

c. Intelektual

Kebutuhan untuk menyampaikan dan berbagi gagasan penting, pikiran,

dan kepercayaan dari salah satu pasangan seperti keuangan dan rencana

masa depan. Hal yang sangat penting dalam mengembangkan aspek

tersebut adalah adanya timbal balik akan kepercayaan dan rasa hormat.

d. Fisik non seksual

Keperluan menyampaikan akan kedekatan fisik pada pasangan.

Keintiman seksual dapat melalui sentuhan sederhana atau mungkin

kontak fisik, seperti pelukan. Keintiman fisik meliputi sentuhan,

memegang tangan, memeluk, mencium, bahkan menari dengan

pasangan.

e. Spiritual

(36)

Keperluan berbagi dengan seseorang yaitu merasakan kepercayaan, dan

pengalaman dengan seorang pasangan yang berhubungan dengan

agama, keberadaan rohani, hal-hal yang gaib, nilai-nilai moral, dan

hubungan seseorang dengan yang Maha Kuasa.

f. Sosial dan rekreasi

Berkenaan dengan rekreasi yaitu pentingnya terlibat dalam aktivitas

yang menyenangkan bersama pasangan.

g. Temporal

Berkenaan dengan waktu atau lamanya individu menghabiskan waktu

dengan pasangannya. Baik itu hanya beberapa menit bahkan

berjam-jam lamanya.

4. Manfaat Keintiman

Menurut Cox (1984), manfaat keintiman dalam suatu hubungan antara lain:

a. Kepuasan emosional

Kepuasan emosional meliputi perasaan, seperti merasa dihargai

dan berguna. Kepuasan emosi juga terjadi saat ada proses pemberian

dan penerimaan afeksi timbal balik.

b. Mengatasi krisis-krisis

Ketika individu mengalami krisis, maka ia akan menceritakan

krisis tersebut kepada pasangannya, begitu pula sebaliknya. Individu

(37)

19

yang dialaminya, baik dengan memberikan dukungan, nasehat, dan

sebagainya.

c. Dukungan agar dapat tumbuh dan berkembang

Bila salah satu pihak ingin berubah dalam arah yang positif maka

menjalin keintiman merupakan salah satu cara untuk menunjukkan

dukungan.

d. Belajar mengenali diri sendiri (self knowledge)

Pasangan akan lebih mengenali diri masing-masing setelah ada

pengungkapan diri. Dengan demikian individu dapat saling mengenali

pasangannya serta masalah-masalah yang dihadapi.

e. Belajar untuk mendengar aktif

Individu dapat belajar mendengarkan secara aktif ketika

pasangannya berbicara. Pada saat berbicara, seseorang tidak hanya

mendengarkan kata-kata verbal yang diucapkan pasangannya, tetapi

juga menangkap bahasa non-verbal pasangan seperti gerakan tubuh dan

simbol-simbol lainnya untuk memahami perasaan pasangan.

f. Pengalaman yang menyenangkan dan mengesankan

Individu dan pasangannya akan merasakan kegembiraan karena

kedekatan yang terjalin. Proses yang terjadi dalam hubungan tersebut

akan menghasilkan pengalaman yang menyenangkan dan mengesakan

bagi keduanya.

(38)

B.Komunikasi Interpersonal

1. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya memberitahukan dan berasal dari bahasa Inggris communication yang

artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan

lain-lain antara dua orang atau lebih. Komunikasi adalah proses pengiriman

pesan atau simbol-simbol yang mengandung arti dari komunikator kepada

komunikan dengan tujuan tertentu (Suranto, 2010).

Menurut Devito (2011), komunikasi interpersonal didefinisikan

sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang

atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan

beberapa umpan balik seketika (Soyomukti, 2010). Gitosudarmo dan

Mulyono (dalam Suranto, 2010) memaparkan bahwa komunikasi

interpersonal adalah komunikasi yang berbentuk tatap muka, interaksi

orang ke orang, dua arah, verbal dan nonverbal, serta saling berbagi

informasi dan perasaan antara individu dengan individu atau antar-individu

di dalam kelompok kecil. Dalam pengertian ini tidak diberikan batasan

mengenai kelompok kecil dalam jumlah yang ditentukan.

Selanjutnya, Mulyana (2005) menyebutkan bahwa komunikasi

interpersonal atau komunikasi antarpribadi berarti komunikasi antara

orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya

menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun

(39)

21

adalah komunikasi yang hanya melibatkan dua orang. Komunikasi

demikian menunjukkan pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam

jarak yang dekat dan mereka saling mengirim dan menerima pesan baik

verbal ataupun nonverbal secara simultan dan spontan (Mulyana, 2005).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

komunikasi interpersonal merupakan komunikasi verbal dan nonverbal

antara dua orang atau sekelompok kecil orang secara langsung (tatap muka)

disertai respon yang dapat segera diketahui (instant feedback).

2. Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal

Aspek-aspek komunikasi interpersonal menurut DeVito (2011), antara lain

adalah :

a. Keterbukaan

Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi

interpersonal. Tiga aspek tersebut antara lain :

1) Komunikator interpersonal harus terbuka kepada orang yang diajak

berinteraksi. Dimana terdapat kesediaan untuk membuka diri dan

mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan asalkan

patut untuk diungkapkan, seperti pendapat, pikiran, dan gagasan.

2) Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap

stimulus yang datang. Memperlihatkan keterbukaan dengan

bereaksi spontan terhadap orang lain. Memberikan tanggapan

terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang mengenai segala

sesuatu yang dikatakannya.

(40)

3) Perasaan dan pemikiran yang dilontarkan adalah milik pribadi.

Mempertanggungjawabkan perasaan dan pemikiran yang

diucapkan. Cara terbaik untuk menyatakan tanggungjawab ini

adalah dengan pesan yang menggunakan kata “saya” (kata ganti

orang pertama tunggal).

b. Empati

Empati merupakan kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya

pada peranan atau posisi orang lain. Individu yang memiliki empati

mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan

sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa

mendatang sehingga lebih mampu menyesuaikan komunikasinya.

c. Perilaku Suportif

Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif jika dalam diri

seseorang terdapat perilaku suportif. Individu memperlihatkan sikap

tersebut dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan

strategik, dan provisionalisme bukan sangat yakin. Deskriptif dimana

lebih banyak meminta informasi atau deskripsi mengenai sesuatu hal.

Dalam situasi ini biasanya orang tidak akan merasa dihina atau

ditantang, melainkan diberi dukungan. Sedangkan evaluatif cenderung

memberi penilaian tertentu. Spontanitas mengacu pada keterbukaan dan

terus terang mengenai apa yang dipikirkan dan biasanya akan

(41)

23

Provisionalisme dimana terdapat kemauan untuk mendengar pandangan

yang berbeda dan bersedia menerima pendapat orang lain. Sedangkan

sikap sangat yakin merupakan sikap tertutup dan tidak bisa diganggu

gugat.

d. Sikap Positif

Individu harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong

orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi

komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.

e. Kesetaraan

Dalam setiap situasi, barangkali ada ketidaksetaraan. Salah seorang

mungkin lebih kaya, lebih pandai, lebih tampan atau cantik, dan

sebagainya. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal

akan lebih efektif jika memiliki suasana setara. Harus ada pengakuan

secara diam-diam bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan

berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang

penting untuk disumbangkan. Kesetaraan tidak mengaharuskan kita

menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan

nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain atau

memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada orang lain.

3. Komponen - komponen Komunikasi Interpersonal

Berikut ini merupakan komponen-komponen yang berperan dalam

komunikasi interpersonal (Suranto, 2010):

(42)

a) Komunikator, yaitu orang yang menciptakan, memformulasikan, dan

menyampaikan pesan.

b) Encoding, yaitu tindakan komunikator memformulasikan isi pikiran ke

dalam simbol-simbol, kata-kata, dan sebagainya sehingga komunikator

merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaiannya.

c) Pesan, merupakan hasil encoding berupa informasi, gagasan, ide, simbol, atau stimuli yang dapat berupa pesan verbal maupun nonverbal.

d) Saluran/Media, yaitu sarana yang digunakan untuk menyampaikan

pesan dari komunikator kepada komunikan yang dapat berupa media

cetak, audio, maupun audiovisual.

e) Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan, menganalisis, dan

menafsirkan pesan tersebut sehingga memahami maknanya.

f) Decoding, merupakan proses memberi makna dari pesan yang diterima.

g) Umpan Balik, merupakan respon/tanggapan/reaksi yang timbul dari

komunikan setelah mendapat pesan.

h) Gangguan, merupakan komponen yang mendistorsi (menyebabkan

penyimpangan/kekeliruan) pesan. Gangguan dapat bersifat teknis

maupun semantis.

i) Konteks Komunikasi, konteks dimana komunikasi itu berlangsung yang

(43)

25

C.Perceraian Orangtua 1. Perceraian

Perceraian ialah berakhirnya hubungan sepasang suami istri secara sah

sebelum kematian salah satu pasangan. Saat suami istri sudah tidak dapat

melanjutkan kehidupan pernikahannya, kedua belah pihak bisa meminta

pemerintah untuk memisahkan keduanya melalui keputusan yang sah atau

legal dari pengadilan agama. Perceraian merupakan alasan terakhir yang

diambil pasangan suami istri jika tidak tersedia lagi jalan lain yang lebih

bermanfaat dari mempertahankan rumah tangga yang telah dibangun.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2005) cerai atau pisah

adalah putus perhubungan sebagai suami dan istri selagi mereka masih

hidup. Sedangkan bercerai atau berpisah adalah tidak bercampur atau tidak

berhungan atau tidak bersatu. Berdasarkan data di atas maka dapat

disimpulkan bahwa orangtua bercerai merupakan kondisi dimana suami

dan istri sudah tidak mampu lagi mencari solusi dalam memecahkan

masalah sehingga memutuskan untuk berpisah.

2. Dampak Perceraian

Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang

terlibat termasuk anak-anak (Tasmin & R. S. Martina, 2002). Perceraian

juga dapat menimbulkan stress dan trauma untuk membina hubungan baru

dengan lawan jenis. Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap

menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal

(44)

tersebut karena sebelum bercerai mereka sudah melakaukan proses berpikir

dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan baik

fisik maupun mental. Namun tidak demikian dengan anak, mereka tiba-tiba

saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtuanya, tanpa

ada banyangan dan pemikiran bahwa kehidupan keluarganya akan berubah.

Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya

bercerai adalah merasa tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau

ditolak oleh orangtuanya, perasaan sedih, kesepian, marah, kehilangan,

serta merasa bersalah sebagai penyebab perceraian. Perasaan-perasaan

tersebut dapat dimanifestasi dalam bentuk perilaku seperti suka mengamuk,

menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak ceria,

tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak minat pada tugas sekolah.

Perceraian orangtua akan menyisakan pengalaman-pengalaman yang

tidak menyenangkan dan traumatis terhadap anak. Pengalaman yang tidak

menyenangkan tersebut antara lain kehilangan salah satu figur orangtua dan

keluarga harmonis, kehilangan kasih sayang dan perhatian orangtua,

menimbulkan tekanan emosional, serta cela sosial. Setelah bertahun-tahun

terjadinya perceraian, anak akan mampu beradaptasi dengan baik dan tidak

mengalami kesulitan ketika meneruskan kehidupannya ke masa

perkembangan selanjutnya. Tetapi bagi anak yang bermasalah dalam

beradaptasi maka ia aka membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak

(45)

27

D.Dewasa Awal

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju

masa dewasa. Dewasa dalam bahasa Belanda adalah volwassen, vol artinya

penuh dan wassen artinya tumbuh, sehingga pengertian volwassen adalah sudah bertumbuh dengan penuh. Menurut Monks & Knoers (1984),

pertumubuhan anak berakhir antara kurang lebih usia 16 tahun pada

perempuan dan 18 tahun pada laki-laki, tetapi pada umumnya orang tidak

terbiasa memandang umur 16 dan 18 tahun sebagai sudah dewasa. Hurlock

(1980) berpendapat bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun

sampai dengan 40 tahun. Memperkuat argumen tersebut, Santrock (2002)

juga menetapkan batasan usia dewasa awal adalah usia 18 tahun hingga 40

tahun.

Pada usia dewasa, individu sudah dianggap mempunyai

tanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannya. Individu tersebut

mendapatkan hak-hak tertentu sebagai orang dewasa, misalnya memilih

Dewan Perwakilan Rakyat, dapat nikah tanpa wali, dan sebagainya.

Tanggungjawab terhadap perbuatannya tadi berarti pula bahwa individu

tersebut sudah dapat dikenakan sangsi-sangsi pidana tertentu apabila

melanggar hukum yang ada. Ditinjau dari segi ini maka arti kedewasaan

disinipun mengandung arti yuridis dan sosiologis (Monks & Knoers, 1984).

(46)

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus

dipenuhi pada setiap tahap perkembangannya (Hurlock, 1980). Tugas-tugas

perkembangan dewasa awal menurut Dariyo (2003), adalah :

a. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup

Pada masa dewasa awal, individu semakin memiliki kematangan

seksual sehingga siap untuk melakukan reproduksi, yaitu kemampuan

untuk menghasilkan keturunan. Dengan demikian individu pada masa

dewasa awal mulai berusaha untuk mencari pasangan hidup dan

membentuk kehidupan rumah tangga.

b. Membina kehidupan rumah tangga

Individu dewasa awal akan berusaha untuk membuktikan bahwa

dirinya sudah mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada

orangtua. Perilaku tersebut merupakan modal awal individu sebagai

persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga. Individu dewasa

awal dituntut untuk dapat membentuk, membina dan mengembangkan

kehidupan rumah tangga sebaik-baiknya agar dapat mencapai

kebahagiaan hidup. Oleh karena itu, individu pada masa dewasa awal

harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan

hidup mereka.

c. Meniti karier untuk memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga

Individu dewasa awal biasanya telah menyelesaikan

(47)

29

keahliannya. Mereka berusaha untuk menekuni karier yang sesuai

dengan minat dan bakat yang mereka miliki, serta memberi jaminan

masa depan keuangan yang baik. Masa dewasa awal adalah masa

untuk mencapai puncak prestasi. Mereka akan sangat bersemangat dan

penuh idealisme. Oleh karenanya, mereka akan berkerja keras dan

bersaing dengan teman sebaya untuk mewujudkan prestasi kerja.

Individu dewasa awal akan berusaha untuk mencapai prestasi kerja

yang terbaik sehingga mampu untuk memberi kehidupan yang

makmur dan sejahtera bagi keluarganya.

d. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab

Individu dewasa awal wajib untuk memenuhi seluruh

persyaratan yang terdapat di dalam undang-undang.

Perkembangan sosio-emosional pada dewasa awal mencangkup

mengenai bagaimana seseorang mulai mencintai lawan jenisnya dan

memiliki hubungan dekat dengan lawan jenisnya tersebut, kemudian

biasanya akan melanjutkannya pada pernikahan yaitu keinginan untuk

berkeluarga. Seseorang yang memasuki masa dewasa awal mulai

menyeleksi secara emosional apa yang akan dibawa dari keluarga asal, apa

yang akan ditinggalkan, dan apa yang hendak diciptakan bagi dirinya

(Santrock, 2002). Menurut Gunarsa (2002), ketika orang menjadi dewasa,

orang tersebut akan memilih pasangan yang merupakan kerinduan

universal untuk mencintai dan dicintai, merasa dibutuhkan dan akhirnya

sampai ke pernikahan.

(48)

Hazan & Shaver (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pada

dewasa awal, masing-masing orang mulai menjalin relasi dengan lawan

jenisnya dan masing-masing pasangan telah menginternalisasi hubungan

dengan orangtua, hubungan yang mungkin hangat dan penuh perasaan atau

dingin dan longgar. Pengalaman tersebut terus dibawa dan mempengaruhi

hubungan seseorang dengan orang lain. Sebagai contoh, seorang dewasa

yang secara aman dekat dengan orangtuanya sebagai seorang anak akan

mencari hubungan emosional yang lekat secara aman daripada seorang

dewasa yang lekat secara tidak aman.

Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa tugas-tugas perkembangan

masa dewasa awal dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat dan

mencangkup mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seorang teman hidup,

belajar hidup bersama dengan suami atau istri membentuk suatu keluarga,

membesarkan anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima

tanggungjawab sebagai warga negara dan bergabung dalam suatu

kelompok sosial yang cocok.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa salah satu tugas perkembangan pada dewasa awal adalah mulai

mencintai dan memiliki hubungan dekat dengan lawan jenisnya sebagai

kerinduan universal untuk mencintai, dicintai, dibutuhkan, serta memilih

seseorang teman hidup dan belajar hidup bersama dengan suami/istri

(49)

31

biasanya menginternalisasi hubungan dengan orangtua dan hal ini akan

mempengaruhi hubungannya dengan orang lain termasuk pasangannya.

E.Dinamika Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Keintiman terhadap Pasangan pada Dewasa Awal dengan Orangtua Bercerai

Keintiman menurut Erikson (dalam Kroger, 2001) mengacu pada

perasaan saling percaya, terbuka, dan saling berbagi dalam suatu hubungan

Keintiman merupakan proses dimana seseorang mengkomunikasikan

perasaan-perasaan dan informasi yang penting mengenai dirinya kepada orang lain

melalui sebuah proses keterbukaan. Salah satu tugas perkembangan dewasa

awal menurut Hurlock (1980) adalah membangun keintiman dengan lawan

jenis. Keintiman tersebut dibangun agar dapat mempersiapkan diri untuk

memilih pasangan hidup dan membangun rumah tangga. Namun beberapa

penelitian menyatakan bahwa individu dengan orangtua bercerai memiliki

masalah terhadap keintiman dengan lawan jenis. Terlepas dari berapa pun usia

anak saat orangtua bercerai, dampak perceraian orangtua akan semakin tampak

ketika individu pada masa dewasa awal mulai membangun hubungan romantis

terhadap lawan jenisnya (Franklin, dkk dalam Sager, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Bruce, Flora, dan Stacey (2004)

menunujukkan bahwa individu yang berasal dari keluarga yang utuh memiliki

tingkat keintiman yang lebih tinggi dengan pasangannya daripada individu

yang berasal dari keluaraga bercerai. Hal tersebut dapat terjadi karena individu

dengan orangtua bercerai memiliki tingkat ketakutan untuk membina hubungan

(50)

intim yang lebih tinggi dibandingkan individu dari keluarga utuh atau orangtua

tidak bercerai. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ada

perbedaan keintiman pada individu dengan orangtua bercerai dan tidak

bercerai. Dimana individu dengan orangtua bercerai tidak dapat

mengembangkan keintiman layaknya individu dewasa awal pada umumnya.

Dampak perceraian orangtua terhadap dewasa awal pada akhirnya

menimbulkan kecemasan, ketakutan, perasaan ragu-ragu untuk menikah atau

tidak menikah, selektif dalam memilih pasangan, serta keengganan untuk

memiliki hubungan dengan lawan jenis. Hal ini terjadi karena individu dengan

orangtua bercerai tidak memiliki gambaran mengenai hubungan dengan lawan

jenis, mengingat kondisi orangtua yang tidak hidup bersama. Dampak tersebut

akhirnya menghambat dewasa awal untuk menyelesaikan tugas

perkembangannya, yakni keintiman. Keintiman individu dengan orangtua

bercerai terhadap pasangannya memiliki tingkat yang rendah dibandingkan

individu dewasa awal lainnya, oleh karena itu dibutuhkan suatu tindakan untuk

mengatasi hal tersebut, salah satunya adalah membangun komunikasi

interpersonal yang efektif terhadap pasangan.

Dalam membangun hubungan yang intim terhadap pasangan diperlukan

adanya komunikasi interpersonal agar hubungan dapat terbina dengan baik.

Komunikasi interpersonal merupakan bentuk komunikasi yang biasanya

dilakukan antara dua individu secara tatap muka yang bertujuan untuk

mempengaruhi sikap dan tingkah laku lawan komunikasi dengan umpan balik

(51)

33

pesan yang bersifat dua arah, dan perhatian masing-masing pihak tidak

semata-mata tertuju pada pesan, melainkan juga pada perilaku lawan komunikasi.

Komunikasi interpersonal penting dilakukan terhadap pasangan agar

masing-masing pasangan dapat mengungkapkan pendapat dan pandangannya

secara jelas sehingga pasangan dapat saling memahami. Tanpa adanya

komunikasi interpersonal yang baik dan efektif antara pasangan dapat memicu

terjadinya kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan munculnya sejumlah

permasalahan bagi kedua belah pihak. Komunikasi dibutuhkan untuk

menumbuhkan dan memelihara cinta, selain itu juga dibutuhkan untuk

mengurangi prasangka, menyelesaikan masalah, mengungkapkan keinginan

dan harapan sehingga dapat menimbulkan rasa pengertian dan kepuasan pada

masing-masing individu (Astuti, 2003).

DeVito (1997) menambahkan bahwa komunikasi interpersonal yang baik

dan efektif ditandai dengan adanya keterbukaan, empati, dukungan, sikap

positif, dan kesamaan antara kedua belah pihak. Komunikasi interpersonal

dirasa penting dilakukan terhadap pasangan karena masing-masing pasangan

dapat mengungkapkan pendapat dan pandangannya secara jelas sehingga

pasangan dapat saling memahami. Jika komunikasi interpersonal tidak berjalan

dengan baik maka sebuah hubungan yang sudah terjalin akan menjadi

renggang bahkan dapat menyebabkan hubungan tersebut berakhir. Individu

yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi akan merasa sulit dan merasa

cemas ketika harus melakukan komunikasi interpersonal, sehingga tidak

mampu mencerminkan rasa kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Melalui

(52)

komunikasi interpersonal individu yang sedang membangun hubungan

berpacaran akan semakin mengenal dan akrab dengan pasangannya, oleh sebab

itu tingkat keintiman yang dimiliki akan semakin meningkat. Komunikasi

interpersonal ini mengambil peranan penting bagi individu untuk

menyampaikan perasaan-perasaan yang dimilikinya, keinginan untuk berbagi

harapan maupun gagasan, keterlibatan dalam aktivitas yang berarti bagi

bersama, dan menghabiskan waktu bersama pasangan. Dengan demikian

keintiman akan meningkat dengan sendirinya. Keintiman yang meningkat

kemudian akan meminimalisir perasaan kecemasan, ragu-ragu, dan ketakutan

individu dengan orangtua bercerai untuk menjalin hubungan yang serius

dengan lawan jenisnya. Pada akhirnya komunikasi interpersonal yang efektif

mampu memberikan pengaruh terhadap keintiman individu yang memiliki

orangtua bercerai agar dapat membangun hubungan yang lebih baik

(53)

35

F. Skema Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Keintiman terhadap Pasangan pada Dewasa Awal dengan Orangtua Bercerai

Perceraian

terjalin tidak baik dan efektif

(54)

G.Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara

komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan pada masa

dewasa awal dengan orangtua bercerai. Semakin efektif atau tinggi tingkat

komunikasi interpersonal, maka semakin tinggi pula tingkat keintiman pada

pasangan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat komunikasi interpersonal,

(55)

37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode kuantitatif bersifat

korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk menyelidiki sejauh

mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih

variabel lain berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2000).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian perlu dilakukan untuk membantu

penetapan rancangan penelitian. Pada penelitian ini terdapat satu variabel

tergantung dan satu variabel bebas, yaitu :

1. Variabel bebas : Komunikasi Interpersonal

2. Variabel tergantung : Keintiman terhadap Pasangan

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

1. Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi verbal dan nonverbal

antara dua orang atau sekelompok kecil orang secara langsung (tatap

(56)

Komunikasi interpersonal diungkap dengan menggunakan skala

komunikasi interpersonal dengan aspek keterbukaan, empati, perilaku

suportif, sikap positif, dan kesetaraan. Semakin besar skor yang didapat

maka komunikasi interpersonal yang terjalin efektif atau tinggi, begitu

pula sebaliknya.

2. Keintiman terhadap Pasangan

Keintiman adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk

menjalin hubungan yang dekat atau akrab dengan orang lain dengan

menunjukkan perasaan saling percaya, saling berbagi (keterbukaan diri),

adanya hubungan timbal balik dan terbentuknya komitmen dalam suatu

hubungan. Keintiman tersebut diungkap dengan menggunakan skala

keintiman dengan aspek emosi, psikologis, intelektual, fisik non seksual,

spiritual, sosial dan reaksional, serta temporal. Semakin besar skor yang

didapat maka tingkat keintiman semakin tinggi, dan begitu pula

sebaliknya.

D. Subjek Penelitian

Peneliti memilih subjek penelitian berdasarkan teknik purpose sampling

yaitu pengambilan sampel didasarkan strata, random, atau daerah, melainkan

didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2002). Peneliti memilih

subjek penelitian berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya

yaitu berdasarkan kesesuaian konteks teoritis terhadap hubungan komunikasi

(57)

39

orangtua bercerai.. Dalam penelitian ini subjek penelitian yang dipilih

memiliki kriteria sebagai berikut :

a. Dewasa awal baik pria maupun wanita dengan rentang usia 18 tahun

sampai dengan 40 tahun. Namun peneliti mencari subjek dengan usia

minimal 20 tahun dengan pertimbangan bahwa pada usia tersebut baik

pria ataupun wanita sedang menjalin hubungan serius dengan

pasangannya bahkan memiliki keinginan untuk melanjutkannya ke

jenjang pernikahan.

b. Belum menikah namun memiliki pasangan dan sedang menjalin

hubungan berpacaran lebih dari satu tahun, karena hubungan di bawah

satu tahun atau hanya beberapa bulan tidak dapat memastikan tingkat

keintiman.

c. Berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai, karena berdasarkan

penelitian dewasa awal dengan orangtua bercerai memiliki permasalahan

dalam keintiman dan tingkat keintiman tersebut lebih rendah

dibandingkan dengan dewasa awal dari keluarga tidak bercerai/utuh.

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang dilakukan adalah

menggunakan skala. Skala dalam ilmu psikologi biasanya digunakan sebagai

alat ukur. Data yang diungkap dalam suatu skala psikologi berupa konstruk

atau konsep psikologis yang menggambarkan suatu aspek kepribadian

individu (Azwar, 2000). Skala yang digunakan dalam penelitian ini disusun

(58)

untuk mengungkapkan hubungan komunikasi interpersonal dengan keintiman

terhadap pasangan pada dewasa awal dengan orangtua bercerai. Peneliti

memilih penggunaan skala sebagai metode penelitian sebagai pertimbangan

atas pelaksanaannya yang mudah, praktis, efektif, dan efisien.

Skala yang telah disusun kemudian dilakukan uji coba terlebih dahulu

sebelum digunakan pada penelitian yang sebenarnya. Data dari hasil uji coba

akan dianalisa secara statistik untuk menentukan validitas dan reliabilitas alat

ukur. Item-item skala yang telah memenuhi kualifikasi validitas dan

reliabilitas inilah yang akan digunakan dalam penelitian, dengan asumsi

bahwa alat ukur tersebut dapat secara tepat mengungkapkan apa yang ingin

diungkap serta ajeg dalam penelitian.

Penelitian ini menggunakan dua jenis skala yaitu skala keintiman

terhadap pasangan dan skala komunikasi interpersonal. Kedua skala ini

disusun dengan dua jenis item. Item yang searah dengan pernyataan atau

favorable dan item yang tidak searah dengan pernyataan atau unfavorable.

1. Skala Komunikasi Interpersonal

Skala komunikasi interpersonal memiliki lima aspek, yaitu :

a. Keterbukaan

Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi

interpersonal. Tiga aspek tersebut antara lain :

1) Komunikator interpersonal harus terbuka kepada orang yang

Gambar

Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Kawasan Lindung, yang terdiri dari : a) Kawasan hutan lindung; b) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c) Kawasan perlindungan

Biaya yang dikeluarkan dari pelaksana kegiatan ini dibebankan pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT

2. Menggunakan alat sesuai fungsinya 3. Melakukan pengukuran dengan benar 4. Menyusun data hasil pengukuran 5.. Gerak tumbuhan yang memerlukan rangsang berupa perubahan kadar air

Dari hasil yang didapatkan pada pengujian validasi diketahui bahwa purwarupa sistem rumah cerdas yang dibangun dengan menggunakan Kura framework dapat memenuhi semua

[r]

Semua desa di Kecamatan Pegajahan sudah memiliki bangunan Kantor Kepala Desa dengan dinding berwarna hijau kuning yang merupakan ciri khas dari Kabupaten Serdang

This material is sole property of SINERGI CONSULTING including its intellectual property rights, copyrights, and it should not be disclosed to any other party, photocopied or

Macam-macam kegiatan main dalam melatih perkembangan keterampilan motorik halus di antaranya: meronce, melipat, menggunting, mengikat, membentuk, menulis awal,