• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan

tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang

belum banyak dimanfaatkan adalah sumberdaya perikanan tangkap. Kabupaten

Gorontalo Utara yang termasuk pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut

Sulawesi sampai Samudera Pasifik diperkirakan mempunyai potensi perikanan

tangkap sebesar 590.970 ton yang terdiri dari ikan pelagis besar 175.260 ton, ikan

pelagis kecil 384.750 ton, dan jenis ikan lainnya sebesar 30.960 ton. Diukur dari

tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, diperkirakan baru mencapai 46 % (Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara, 2010).

Potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Gorontalo Utara saat ini,

belum diketahui berapa besar potensi per jenis ikan, terutama untuk jenis ikan

yang dominan tertangkap di perairan tersebut. Pentingnya mengetahui potensi

sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan terhadap sumberdaya

ikan oleh nelayan, swasta dan pemerintah.

Pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Gorontalo Utara masih terus

dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pengembangan perikanan.

Namun, kebijakan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah belum sesuai

dengan yang diharapkan. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pengembangan

teknologi alat tangkap purse seine yang dikelola secara kelompok dan bantuan

perahu bermesin yang mengalami kegagalan.

Kebijakan pengembangan perikanan memang didesain untuk lebih

mendongkrak pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan untuk mengelola dan

mengoptimalkan sumberdaya ikan di wilayah tersebut. Kebijakan pengelolaan

sumberdaya kelautan dan perikanan oleh pemerintah diantaranya melalui

kebijakan minapolitan yang merupakan pengembangan perikanan.

Kebijakan minapolitan merupakan suatu kebijakan Pemerintah Pusat yang

bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam bidang perikanan. Kebijakan

minapolitan atau kota perikanan, merupakan kawasan terpilih yang dijadikan

(2)

kepentingan dituntut untuk dapat menciptakan iklim usaha yang lebih baik dalam

menunjang suatu program pengembangan perikanan.

Sasaran kebijakan pengembangan perikanan tersebut adalah untuk

meningkatkan produksi ikan dan menjamin mutu hasil tangkapan ikan serta

menciptakan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Upaya yang dilakukan

meliputi penataan kawasan yang berfungsi melayani dan mendorong

pengembangan kawasan perikanan, termasuk daerah sekitarnya atau disebut

program berbasis kawasan.

Kawasan minapolitan menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu

(1) perikanan merupakan sumber pendapatan utama masyarakat, (2) kegiatan

kawasan didominasi oleh kegiatan perikanan, (3) hubungan interdependensi atau

timbal balik antar pusat dan hinterland-hinterland, dan (4) kehidupan masyarakat

di kawasan minapolitan mirip dengan suasana kota, karena keadaan sarana yang

ada di kawasan minapolitan tidak jauh dengan yang di kota.

Kota perikanan atau minapolitan yang dijadikan sebagai konsep yang

dikembangkan adalah dengan mewujudkan kemandirian pembangunan di daerah

pesisir yang didasarkan pada potensi perikanan di wilayah tersebut. Daerah

pesisir atau daerah nelayan akan diubah menjadi kawasan industri, yaitu kawasan

industri berbasis perikanan. Penyediaan infrastruktur diperlukan untuk

menunjang keperluan aktivitas perikanan dan masyarakat di wilayah tersebut.

Dengan demikian, desa nelayan atau wilayah pesisir tidak lagi dipandang hanya

sebagai wilayah pendukung perkotaan.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk mengkaji kebijakan

perngembangan berbasis kawasan melalui kebijakan minapolitan, diantaranya

yang dilakukan oleh Maringi (2009) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh

terhadap pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Boyolali Provinsi

Jawa Tengah yaitu faktor teknologi, permintaan pasar, sumberdaya manusia dan

standardisasi mutu produk atau jaminan mutu hasil perikanan. Selanjutnya

dikatakan, bahwa dalam pengembangan perikanan perlu menetapkan standar mutu

hasil perikanan, meningkatkan pemahaman, kepedulian, dan tanggungjawab dari

(3)

minapolitan dan untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas di kawasan

minapolitan, serta hendaknya terdapat kegiatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Menurut Setiawan (2010) bahwa status keberlanjutan kawasan minapolitan

di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori kawasan

yang kurang berkelanjutan. Hanya ada satu dimensi yang sudah berkelanjutan

yaitu dimensi hukum dan kelembagaan. Status yang kurang berkelanjutan yaitu :

dimensi ekologi, infrastruktur, teknologi, sosial budaya, dan dimensi ekonomi

yang belum begitu optimal dalam menunjang keberlanjutan kawasan minapolitan.

Adanya kebijakan pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten

Mandeh Provinsi Sumatra Barat dengan menetapkan komoditas perikanan sebagai

komoditas unggulan perlu ditinjau kembali, dan bila dikembangkan menjadi

kawasan minapolitan, perlu dukungan kesesuaian lahan yang didukung oleh

RTRW. Untuk masa yang akan datang, kebijakan minapolitan perlu diarahkan

pada produk yang terbukti memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan

kompetitif (Tar, 2010).

Cara pandang pengelolaan perikanan tangkap seperti di atas merupakan

pengelolaan berbasis pemerintah pusat (government based management), dimana

dalam pengelolaan, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari

perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Menyikapi kegagalan kebijakan

pengelolaan perikanan, pemerintah perlu melakukan perbaikan-perbaikan untuk

mencapai keberhasilan suatu kebijakan perikanan.

Menurut Suseno (2004), bahwa kebijakan pengelolaan perikanan tangkap

dengan paradigma rasional selama ini dirasakan tidak efektif. Tidak efektifnya

sebuah kebijakan di daerah biasanya karena tidak didukung sepenuhnya oleh

pemerintah daerah setempat dan sarana dan prasarana yang masih minim dalam

menunjang kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, kurangnya koordinasi lintas

sektoral baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kurangnya sosialisasi

program baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, dan timpang-tindihnya

kebijakan antara satu kebijakanan dengan kebijakan lain yang tidak mendukung.

Kebijakan pengembangan perikanan tangkap melalui kebijakan

minapolitan di Kabupaten Gorontalo Utara dilaksanakan sejak tahun 2010 dan

(4)

Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Pemerintah Daerah. Dengan

berbagai kendala dalam pengembangan perikanan, mengharuskan pemerintah dan

stakeholder untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan

sesuai dengan tujuan yang diharapkan serta faktor-faktor yang mendukung

tercapainya suatu kebijakan pengembangan perikanan tangkap. Untuk itu,

perlunya suatu kajian pengembangan perikanan tangkap yang menjadi salah satu

acuan kebijakan pengembangan perikanan, khususnya perikanan tangkap di

Kabupaten Gorontalo Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara saat ini,

sedang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah dengan

menetapkan Kabupaten Gorontalo Utara sebagai salah satu pilot project kebijakan

minapolitan perikanan tangkap di Indonesia. Harapan pemerintah melalui

kebijakan minapolitan adalah dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan,

menjamin mutu hasil tangkapan dan menciptakan pertumbuhan ekonomi di daerah

tersebut.

Belum diketahuinya berapa besar potensi sumberdaya ikan dan unit

penangkapan ikan yang layak serta kegagalan kebijakan pengembangan perikanan

melalui kebijakan minapolitan menjadi kendala dalam pengembangan perikanan

tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

Menyikapi berbagai tantangan kebijakan pengembangan perikanan

tangkap, maka diperlukan komitmen yang kuat dan kerjasama antara pemerintah

dan pihak swasta serta nelayan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk

itu, diperlukan terobosan konsep yang dapat mendorong tercapainya kebijakan

pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka diperlukan penelitian

pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara, yang akan

menjawab sejumlah pertanyaan, sebagai berikut :

1) Bagaimana implementasi kebijakan program minapolitan di Kabupaten

Gorontalo Utara,

2) Berapa besar potensi sumberdaya ikan dan peluang pemanfatanya dalam

(5)

3) Unit penangkapan ikan apa yang dominan dan layak dikembangkan dalam

pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,,

4) Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pengembangan perikanan

tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,

5) Bagaimana rancangan model pengembangan perikanan tangkap di

Kabupaten Gorontalo Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mengevaluasi implementasi program minapolitan perikanan tangkap

Kabupaten Gorontalo Utara,

2) Menentukan potensi sumberdaya ikan dan peluang pemanfaatan untuk

pengembangan perikanan di perairan Kabupaten Gorontalo Utara,

3) Menentukan tingkat kelayakan unit penangkapan ikan yang dominan di

perairan Kabupaten Gorontalo Utara,

4) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan

perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara,

5) Menyusun rancangan model pengembangan perikanan tangkap di

Kabupaten Gorontalo Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1) Manfaat bagi pemerintah, dapat dijadikan rekomendasi bagi perbaikan

kebijakan perikanan tangkap khususnya yang berkaitan dengan kebijakan

minapolitan,

2)Manfaat bagi masyarakat, memberikan kontribusi pemikiran secara ilmiah

bagi masyarakat yang akan menginvestasikan modalnya dalam perikanan

tangkap,

3) Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi

dan pengkajian lebih lanjut tentang kebijakan perikanan khsusnya program

(6)

1.5 Kerangka Pemikiran

Berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap

saat ini, pemerintah berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, operasional serta

pembinaan dan pengawasan sumberdaya perikanan tangkap. Peran tersebut berupa

kebijakan pengembangan perikanan tangkap melalui kebijakan minapolitan yang

menjadikan Kabupaten Gorontalo Utara sebagai pilot project oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan.

Belum diketahuinya potensi sumberdaya ikan di perairan Kabupaten

Gorontalo Utara dan kegagalan kebijakan pengembangan perikanan tangkap

dibeberapa daerah menjadi pertimbangan dalam pengembangan perikanan

tangkap. Selain itu, diduga ada faktor-faktor yang berpengaruh, sehingga

pengembangan perikanan tangkap belum optimal.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan adanya penelitian

yang akan memberikan informasi tentang potensi sumberdaya ikan, kelayakan

unit penangkapan ikan dan faktor-faktor penyebab belum optimalnya

pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara. Setelah itu, di

desain rancangan model pengembangan perikanan tangkap yang akan menjadi

(7)

SUMBERDAYA IKAN

ASPEK EKONOMI UNIT PENANGKAPAN

IKAN

ASPEK PENGEMBANGAN

PERIKANAN TANGKAP

MSY SCHAEFER

NVP NET B/C

IRR

SEM

KELAYAKAN SUMBERDAYA IKAN

KELAYAKAN INVESTASI

KELAYAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP

PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP

OUTPUT PROSES INPUT

KEGAGALAN MINAPOLITAN

RENDAHNYA MUTU HASIL TANGKAPAN

RENDAHNYA PRODUKSI

Keterangan:

OUTPUT PROSES INPUT

(8)
(9)

2.1 Model Pengembangan Perikanan Tangkap

Model merupakan terjemahan bebas dari istilah modelling. Secara umum

model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek

atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun

tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu

model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari

realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model

adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Model juga

diartikan suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu

yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem

terhadap tindakan (intervensi) manusia. Model dapat berfungsi sebagai alat

manajemen dan alat ilmiah. Umumnya model digunakan sebagai alat untuk

mengambil keputusan tentang bagaimana pengolahan sumberdaya alam yang

terbaik. Penggunaan model dalam penelitian umum merupakan cara pemecahan

masalah yang bersifat umum (Eriyatno, 2003).

Model perikanan tangkap dapat diwujudkan melalui pengelolaan

sumberdaya yang terintegrasi. Artinya mengintegrasikan semua kepentingan dari

pelaku sistem perikanan. Pengelolaan dilakukan secara terpadu untuk seluruh

lingkup perairan, tidak dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten.

Model perikanan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan dukungan

sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap, khususnya kebijakan

pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, perizinan, penciptaan iklim berusaha

yang kondusif, kebijakan standar mutu produk, kebijakan ekspor dan kebijakan

terhadap lingkungan (Haluan et al, 2007).

Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia

untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus

meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik.

Apabila pengembangan perikanan di wilayah perairan ditekankan pada perluasan

kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit

(10)

pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan dibutuhkan untuk

penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan

ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi,

namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis

(Monintja, 2000).

Pengembangan perikanan tangkap selama ini berjalan lambat. Hal ini,

disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang dihadapi, menyangkut

faktor-faktor teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penyebab lambatnya

pengembangan usaha perikanan tangkap saat ini adalah posisi tawar yang lemah,

kurangnya modal usaha, tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang rendah dan

kurangnya pembinaan dari instansi terkait. Oleh karena itu dalam perencanaan dan

pengembangannya perlu dilakukan suatu pendekatan komprehensif yang dilandasi

oleh teknologi yang tepat guna dan tepat waktu sehingga hasilnya benar-benar

berdaya guna, terutama bagi nelayan di wilayah masyarakat pantai. Untuk itu,

teknologi yang akan dipakai haruslah yang dapat dipertanggungjawabkan, baik

dari segi teknis (mencakup aspek sumberdaya), ekonomi, sosiologi, kelembagaan

dan lingkungan (Yahya, 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan

perikanan harus diubah menjadi suatu usaha perikanan tangkap yang dikelola

dengan cara-cara maju, tetapi tetap melibatkan masyarakat. Oleh karena itu,

diperlukan suatu desain sistem untuk menghasilkan usaha yang efisien dengan

penerapan teknologi yang sesuai. Untuk perencanaan dan pengembangannya

diperlukan intervensi kekuatan dari luar antara lain untuk melakukan reformasi

modal, menciptakan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi.

Sektor perikanan juga akan dihadapkan pada berbagai hambatan seperti

ditolaknya produk ekspor hasil perikanan oleh beberapa negara tujuan ekspor

seperti Eropa dan Amerika, sebagai akibat mutu produk tidak terjamin dan

memenuhi persyaratan, karena diduga tercemar logam berat. Posisi penawaran

harga produk yang lemah karena harga ditentukan oleh negara tujuan ekspor yaitu

Jepang dan Amerika, Uni Eropa dan Korea. Untuk mengantisipasi gejala ini,

pengembangan perikanan harus melalui pengembangan agroindustri, karena

agroindustri khususnya industri perikanan membutuhkan ketersediaan bahan baku

(11)

primer (ikan). Untuk penyediaan bahan baku primer harus didukung oleh sarana

(alat tangkap dan kapal) maupun infrastruktur berupa pelabuhan perikanan yang

dilakukan secara bersamaan dan harmonis serta sesuai dengan persyaratan dunia

tentang produk hasil perikanan (Wahyuni, 2002).

Charles (2001) mengemukakan sistem perikanan terdiri dari tiga

komponen, yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system)

dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam

terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan

lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri dari 4

subsistem yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest

sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan

(fishing households and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya

(social economic/cultural environment). Sistem manajemen dikelompokkan

menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy

and planning), manajemen perikanan (fishery management), pembangunan

perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research).

Pengembangan wilayah di daerah pesisir, khususnya pengembangan

sumberdaya perikanan menuntut sumberdaya di daerah tersebut dapat

berkesinambungan. Salah satu cara adalah membuat wilayah tertentu menjadi

wilayah terlindung (marine protected areas) yang merupakan bentuk program

untuk melindungi keberagaman dan mengelola habitat laut yang sensitif dan juga

untuk melindungi spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan berlebih atau

spesies yang hampir punah (Cho, 2005).

Salah satu konsep ruang dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya

perikanan, yaitu melibatkan nelayan, meningkatkan kesadaran akan adanya

pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan menampung aspirasi yang

diaspirasikan oleh semua stakeholder dalam pengembangan sumberdaya

perikanan di wilayah pesisir (Storrier dan McGlashan, 2006).

Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu,

karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota

kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam

(12)

Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar akan pentingnya

keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan kegiatan-kegiatan

perikanan di wilayahnya (Kaplan dan Powell, 2000).

Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut

dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang

bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang

berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti

sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan

secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola

sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan

saat ini (Hauck dan Sowman, 2001).

Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan diharapkan tidak terjadi

tumpang tindih program dalam pengelolaan. Ada beberapa cara pengembangan

perikanan, diantaranya memperbaiki kerangka legislatif yang berpengaruh pada

sektor perikanan. Penguatan departemen perikanan berupa kolaborasi yang lebih

baik dengan departemen lain, memecahkan masalah pendanaan, meningkatkan

penelitian perikanan, serta pengembangan sumberdaya manusia dibidang

perikanan (Thorpe, 2009).

Menurut Putro (2002) bahwa perlunya strategi dalam mengatasi tantangan

dan menghadapi berbagai hambatan dalam pengembangan perikanan tangkap

antara lain menyusun strategi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah seperti :

1) Membangun prasarana berupa pelabuhan perikanan samudera yang tidak

lain adalah untuk memberi pelayanan dalam pengembangan industri

perikanan,

2) Menghilangkan birokrasi yang dapat menghambat kinerja industri,

3) Mengembangkan dan mendorong organisasi nelayan agar nelayan

tradisional mampu meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan

usahanya guna memanfaatkan sumberdaya perikanan guna mensuplai

kebutuhan bahan baku industri,

4) Menyediakan modal investasi dan modal kerja kepada industri perikanan

agar mampu meningkatkan kualitas produk dengan harga yang kompetitif

(13)

Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas

pada pengembangan perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah

permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak

adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan

sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan

usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil

tangkapan nelayan tidak pasti. Sedangkan dalam menyalurkan dana pinjamannya,

lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang

sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil.

Modal merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

pengembangan perikanan tangkap. Hanya saja pemodal atau lembaga keuangan

selalu mempertimbangkan risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap

antara lain: (1) production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan

yang diharapkan, seperti gangguan alam (cuaca, arus), stok ikan yang makin tipis;

(2) natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin

badai atau topan; (3) price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai

dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; (4)

technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi oleh pesatnya kemajuan

teknologi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian; (5) other risk, yaitu macam

risiko lainnya (Ritonga, 2004).

Perlunya pengelolaan perikanan yang dinamis dalam menghadapi era

globalisasi, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa

berkembang. Implikasi dari perkembangan perspektif tersebut adalah penyesuaian

atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan pengelolaan

perikanan. Saat ini, pengelolaan perikanan lebih diarahkan untuk

memaksimumkan manfaat sumber daya ikan, memastikan diterapkannya keadilan

terhadap para pengguna terutama nelayan atau masyarakat pesisir yang masih

terjerat dalam kemiskinan, melestarikan sumber daya ikan serta menjaga kondisi

lingkungan.

Usaha perikanan sangat beragam dan ada faktor yang mempengaruhi

(14)

teknologi, sosial budaya dan ekonomi. Perkembangan percepatan kegiatan atau

aktivitas di daerah pesisir lebih diarahkan pada pematangan kelembagaan

organisasi perikanan, penataan ruang dan sumberdaya. (Guillemot et al, 2009).

Pengembangan perikanan tangkap tidak berkembang kearah yang lebih

baik, karena (1) masih rendahnya muatan teknologi disektor kelautan dan

perikanan; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih kurangnya dukungan

ekonomi-politik (Adrianto dan Kusumastanto, 2004).

Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah

kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau

tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Berdasarkan

pengelolaannya, UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa

kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 3, meliputi

(1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas

wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata

ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah

yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan penegakan

keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa

kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana

dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi.

Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dikategorikan di dalam dua

kelompok besar, yakni perikanan komersil dengan investasi rendah hingga sedang

dan perikanan komersil dengan investasi tinggi atau dapat disebut dengan

perikanan industri (industrial fishery). Perbedaan dua kelompok tersebut terletak

pada armada perikanan tangkap yang digunakan. Perikanan komersil dengan

investasi rendah hingga sedang dicirikan oleh penggunaan armada kapal motor

2-30 Gross Tonnage (GT). Nilai investasi yang ditanamkan pada kegiatan ini

tergolong kecil hingga sedang dengan alat tangkap yang digunakan juga sangat

bervariasi. Daerah operasi penangkapan ikan umumnya terkonsentrasi di perairan

pantai pada jalur penangkapan 0,3 – 12 mil. Sedangkan perikanan industri

dicirikan menggunakan armada kapal penangkapan ikan berukuran lebih besar

dari 30 GT dengan alat tangkap yang relatif besar dan dilengkapi pula dengan alat

(15)

penangkapan ikan umumnya dilakukan dijalur penangkapan di atas 12 mil hingga

perairan ZEE Indonesia sejauh 200 mil (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005).

Perikanan tangkap merupakan aktivitas perekonomian yang meliputi

penangkapan atau pengumpulan hewan dan atau tanaman air yang hidup di

perairan laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan

suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau

berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan sama lainnya.

Komponen-komponen perikanan tangkap: (1) SDM nelayan; (2) sarana produksi; (3) usaha

penangkapan; (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran

dan (7) ekspor (Kesteven 1973 yang dimodifikasi oleh Monintja, 2001).

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengembangan perikanan disuatu wilayah

perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu

dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap

banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Modal yang dibutuhkan

untuk pengembangan tersebut perlu disiapkan oleh pemerintah melalui suatu

anggaran khusus. Pengembangan perikanan tersebut harus dapat mensinkronkan

kegiatan produksi dengan kesiapan sarana dan prasarana perikanan tangkap,

penguasaan pasar yang baik, dan kestabilan harga yang diawasi oleh pemerintah

dan punya jenis produk yang diunggulkan, kontinyu jumlahnya, punya grade

kualitas atau mutu tertentu, selalu ada pada saat dibutuhkan (tepat waktu), dan

produknya tersedia pada berbagai tempat yang resmi.

Pengembangan perikanan khususnya sub sektor perikanan tangkap tidak

hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian

sumberdaya ikan, tetapi juga untuk meningkatkan konstribusi sektor perikanan

terhadap perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis

ekonomi, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa

melalui ekspor, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (Manggabarani, 2005).

Selajutnya dikatakan bahwa pengelolaan perikanan menjadi semakin penting oleh

sebab perubahan-perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan lingkungan,

termasuk penggunaan cara-cara tradisional dalam penanganan sumberdaya

perikanan. Contoh pengaruh perubahan-perubahan tersebut adalah peningkatan

(16)

untuk konsumsi dan barang. Semakin efisien alat penangkapan (misalnya gill net)

berarti semakin banyak ikan yang dapat ditangkap per satuan waktu; juga dengan

adanya kemampuan sarana penyimpan seperti freezer, maka lebih banyak ikan

yang dapat disimpan. Semua itu menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan

meliputi berbagai aspek dan sifatnya dinamis sesuai perkembangan lingkungan.

Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang

khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu

berubah-berubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang

menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk

kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas

wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation

zone) atau pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah

perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi

yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak

terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk

dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan

yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau

pembangunan yang dilakukan oleh manusia (Dahuri, 2001)

Pentingnya melibatkan berbagai pihak, yaitu nelayan, pemerintah, dan

stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu,

pengelolaan perikanan diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan dapat

memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau masa

yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab.

Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya terarah pada pemanfaatan

sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada

umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya

ikan itu sendiri maupun lingkungannya. UUNo.31/2004 tentang perikanan juga

mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan, termasuk kegiatan perikanan

tangkap, harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,

pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efesiensi, dan kelestarian yang

berkelanjutan. Kendala yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil

(17)

mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha perikanan yaitu:

pemasaran, produksi, organisasi, keuangan dan permodalan. Selain itu, usaha

perikanan tangkap sangat berbeda dengan bidang-bidang lainnya. Usaha

perikanan tangkap di laut relatif lebih sulit untuk diprediksi keberhasilannya,

karena sangat peka terhadap faktor eksternal (musim dan iklim) serta faktor

internal (teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal).

Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya fluktuasi dalam

perolehan hasil tangkapannya (Baskoro, 2006).

2.2 Alat Tangkap 2.2.1 Purseseine

Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut

waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga

disebut jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor

yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi, dengan

cara menarik tali kolor tersebut (Sadhori, 1985).

Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara

aktif, yaitu dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu gerombolan

ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa purse seine terdiri dua jenis yaitu tipe

Amerika dan Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang

dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe

Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah berbentuk busur

lingkar. Bagian pembentuk kantong pada purse seine tipe Jepang terletak

ditengah jaring (Brandt, 2005).

Sadhori (1985), menyatakan bahwa purse seine dibedakan berdasarkan

empat kelompok besar yaitu :

(1) Berdasarkan bentuk jaring utama : persegi panjang atau segi empat,

trapesium atau potongan, dan lekuk,

(2) Berdasarkan jumlah kapal yang digunakan pada waktu operasi : tipe satu

kapal (one boat system) dan tipe dua kapal (two boat system),

(3) Berdasarkan waktu operasi yang dilakukan : purse seine siang dan purse

(18)

(4) Berdasarkan spesies ikan yang tertangkap : purse seine lemuru, layang,

kembung, cakalang.

Prinsip penangkapan dengan menggunakan purse seine adalah melingkari

gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan

sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung pada bagian kantong, atau

dengan memperkecil ruang lingkup gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat

melarikan diri. Oleh sebab itu, jika ikan belum terkumpul pada suatu catchable

area atau berada diluar kemampuan tangkap jaring, maka dapat diusahakan ikan

datang atau berkumpul dengan menggunakan lampu atau rumpon (Ayodhyoa,

1981).

2.2.2 Bagan perahu

Bagan (lifnet) merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara

menarik waring ke permukaan air pada posisi horisontal. Pada saat pengangkatan

waring ke permukaan terjadi proses penyaringan air, ikan yang berukuran lebih

besar dari ukuran mata waring akan tersaring pada waring (Fridman, 1986).

Kontruksi bagan perahu terdiri dari waring, perahu, rumah bagan

(anjang-anjang), lampu, serok, dan roller yang berfungsi untuk mengangkat dan

menurunkan waring (Subani dan Barus, 1989).

Menurut Von Brandt (2005), bagan diklasifikasikan ke dalam klasifikasi

jaring angkat (lifnet) karena proses pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam

perairan, kemudian diangkat secara vertikal, berdasarkan teknik yang digunakan

untuk memikat perhatian ikan agar berkumpul pada area, maka bagan

diklasifikasikan dalam light fishing yang menangkap ikan dengan menggunakan

atraktor cahaya untuk mengumpulkan ikan.

Bagan perahu menggunakan lampu atau cahaya sebagai alat bantu

penangkapan, oleh karena itu operasi tidak dimungkinkan dilakukan pada siang

hari atau saat sinar bulan terang, karena cahaya menyebar merata dipermukaan air.

Penangkapan ikan dengan bagan hanya akan efektif dilakukan pada malam hari.

Waktu operasi penangkapan biasanya dimulai saat matahari mulai terbenam

hingga menjelang fajar. Pada umumya ikan akan aktif dan menunjukkan sifat

(19)

2.2.3 Handline

Hand line atau pancing ulur adalah salah satu alat tangkap yang paling

dikenal oleh masyarakat umum, terlebih dikalangan nelayan. Prinsip penggunaan

pancing adalah dengan meletakan umpan pada mata pancing, lalu pancing diberi

tali, setelah umpan dimakan ikan, maka mata pancing akan termakan oleh ikan

dan dengan tali manusia menarik ikan (Ayodhyoa, 1975).

Pada prinsipnya pancing terdiri dari dua komponen utama yaitu : tali (line)

dan pancing (hook). Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat

(satuan) pancing terdiri satu atau lebih mata pancing. Sedangkan ukuran mata

pancing bervariasi disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap

(Subani dan Barus, 1989).

Pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan mata

pancing dengan atau tanpa umpan yang dikaitkan pada tali pancing dan secara

langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari alat ini adalah bisa

dioperasikan di tempat yang alat tangkap lain sukar dioperasikan, misalnya

tempat-tempat yang dalam, berarus cepat atau dasar perairan yang berkarang.

Alat ini dapat dioperasikan oleh satu atau dua orang.

Keberhasilan usaha penangkapan ikan pada alat tangkap pancing

tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah pemilihan umpan yang cocok

untuk ikan target. Umpan berfungsi menarik perhatian ikan, sehingga ikan akan

memakan umpan yang terkait pada pancing. Mekanisme ikan yang tertangkap

dengan pancing disebabkan karena ikan terangsang atau tertarik pada umpan,

kemudian berusaha membawa pancing yang terdapat umpan dan akhirnya pancing

terkait pada mulutnya (Subani dan Barus, 1989).

2.2.4 Payang

Menurut International Standard Statistical Classfication of Fishing Gear

(ISSCFG) vide FAO (1990) payang digolongkan kedalam boat seine. Disainnya

terdiri atas dua sayap, badan dan kantong mirip trawl. Jaring ini dioperasikan dari

kapal dan ditarik dengan dua tali selembar.

Menurut klasifikasi Von Brandt (2005) payang termasuk kelompok seine

net yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan

(20)

pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta

dilengkapi pelampung dan pemberat.

Jaring payang terdiri atas bagian sayap (wing), badan (body) dan kantong

(code end). Semua bagian jaring ini dibuat dengan cara disambungkan mulai

bagian kantong sampai bagian sayap dimana ukuran mata jaring (mesh size) dari

bagian kantong hingga kaki semakin membesar. Umumnya terbuat dari bahan

sintesis karena bahan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan

penggunaan bahan alami, tidak perlu perlakuan seperti penjemuran serta sangat

kuat dan tidak banyak menyerap air. Nilon merupakan salah satu contoh bahan

sintesis yang sangat baik untuk payang atau seine net.

Ikan yang tekurung dalam jaring payang diharapkan dapat masuk kedalam

kantong. Fungsi ukuran mata jaring pada kantong hanya merupakan dinding

penghadang, semakin kecil ukuran mata jaring berarti semakin sedikit ikan yang

meloloskan diri. Pembukaan kantong juga dipengaruhi oleh gaya tarik tersebut,

oleh sebab itu perlu adanya batasan ukuran mata jaring dengan pehitungan besar

ikan (girth). Kecepatan melingkar dan menarik jaring pada setiap operasi serta

pembukaan mulut jaring menentukan operasi penangkapan (Ayodhyoa, 1981).

2.2.5 Bubu

Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh

nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan

menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah,

desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan

kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik

dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh

alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah, 1999).

Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu

dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan

bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu

(Sainsbury, 1996).

Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu

badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasanya terbuat dari bahan

(21)

bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri

(Subani dan Barus, 1989).

Unit penangkapan bubu terdiri atas perahu atau kapal, bubu dan nelayan.

Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk

memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu

dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989).

2.2.6 Gillnet

Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat tangkap ini disebut jaring

insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup

insangnya (Sadhori, 1985). Martasuganda (2002), mengemukakan bahwa yang

dimaksud dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi

panjang, dimana mata jaring dari bagian jaring utama ukurannya sama dan jumlah

mata jaring ke arah horisontal lebih banyak dari pada jumlah mata jaring arah

vertikal. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pemberat dan bagian

bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga adanya dua gaya yang

berlawanan.

Gillnet merupakan dinding jaring dengan bahan yang lembut dan

mempunyai daya visibilitas yang rendah. Gillnet sebagai dinding yang lebar

ditempatkan di atas dasar laut untuk menangkap ikan demersal, atau seluruh

tempat mulai dari pertengahan kolom air sampai lapisan permukaan untuk

menangkap ikan pelagis (Sainsburry, 1996). Menurut Ayodhyoa (1981)

mengklasifikasikan gillnet berdasarkan cara pengoperasiannya atau kedudukan

jaring di daerah penangkapan. yaitu :

(1) Surface gillnet, yaitu gillnet yang direntangkan di lapisan permukaan dengan

area daerah penangkapan yang sempit,

(2) Bottom gillnet, yaitu gillnet yang dipasang dekat atau di dasar laut dengan

menambahkan jangkar sehingga jenis ikan tujuan penangkapannya adalah

ikan demersal,

(3) Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut di suatu perairan terbawa

arus dengan atau tanpa kapal. Posisi jaring ini ditentukan oleh jangkar.

Sehingga pengaruh kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat

(22)

(4) Encircling gillnet, yaitu gillnet yang dipasang melingkar terhadap

gerombolan ikan dengan maksud menghadang ikan.

Secara umum cara pemasangan gillnet adalah dipasang melintang

terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan

ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat (gilled) di sekitar insang pada mata

jaring atau terpuntal (entangled) pada tubuh jaring. Oleh karena itu wama jaring

sebaiknya disesuaikan dengan warna perairan tempat gillnet dioperasikan

(Sadhori, 1985).

Menurut Martasuganda (2002), jaring insang hanyut (drift gillnet) adalah

jaring yang cara pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan, baik itu

dihanyutkan di bagian permukaan (surface drift gillnet), kolom perairan

(midwater/submerged drift gillnet) atau dasar perairan (bottom drift gillnet).

Besar kecilnya ukuran mata jaring mempunyai hubungan erat dengan ikan

yang tertangkap. Gillnet akan bersifat selektif terhadap ukuran ikan tertangkap.

Untuk menghasilkan tangkapan yang besar pada suatu daerah penangkapan,

hendaknya ukuran mata jaring disesuaikan dengan besar badan ikan yang terjerat.

Pada umumnya ikan tertangkap secara terjerat pada bagian tutup insangnya

(opperculum), maka luas mata jaring disesuaikan dengan luas penampang tubuh

ikan antara batas tutup insang sampai sekitar bagian depan dari sirip dada

(pectoral) (Ayodhyoa, 1981).

Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh gillnet adalah layang (Decapterus

spp), tembang (Sardinella fimbriata), kuwe (Caranx spp, selar (Selaroides spp),

kembung (Rastrelliger spp), daun bambu (Chorinemus spp), belanak (Mugil spp),

kuro (Polynemus spp), tongkol (Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp) dan

cakalang (Katsuwonus pelamis) (Sadhori. 1985).

2.2.7 Sero

Sero adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan di perairan pantai,

bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan yang melakukan gerakan

ke pantai atau ikan yang habitatnya di pantai. Sifat ikan sasaran, umumnya adalah

berenang menyusuri pantai karena pola ruayanya dan pada waktu tertentu akan

(23)

Unit penangkapan sero, umunya terbuat dari kombinasi antara jaring dan

bambu yang disusun menyerupai pagar. Pada prinsipnya jaring terdiri atas empat

bagian penting (Barus, et al, 1991) yaitu:

(1)Penaju (leader net)

Penaju merupakan bagian penting dari sero, berfungsi menghambat

pergerakan ikan dan mengarahkan ke bagian jaring tempat ikan yang

tertangkap terkumpul. Penaju terdiri atas tiang-tiang yang dipancangkan,

jarak antar tiang sekitar 1,50 meter. Panjang penaju bervariasi pada

ukuran sero.

(2)Serambi (trap net)

Serabi adalah bagian yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan

untuk sementara waktu sebelum memasuki kantong. Pada bagian ini ikan

dikondisikan agarpeluang untuk masuk ke dalam kantong menjadi lebih

besar. Serambi berbentuk kerucut lebih efektif karena peluang memasuki

kantong bagi ikan menjadi lebih besar.

(3)Kantong (cribe)

Kantong berguna untuk mengumpulkan ikan yang telah masuk ke dalam

alat tangkap. Ukuran kantong harus cukup besar, agar mampu menjamin

hasil tangkapan tetap hidup dan mengurangi keluarnya ikan yang sudah

berada di dalam. Pada bagian inilah dilakukan pengambilan hasil

tangkapan.

(4)Pintu (entrance)

Pintu adalah tempat masuknya ikan setelah diarahkan oleh penaju. Pada

bagian ini biasanya terdapat sepasang sayap (wings) yang berfungsi untuk

mempercepat jalannya ikan masuk ke dalam serambi.

Menurut Subandi dan Barus (1989) bahwa disamping penaju, serambi,

kantong dan pintu, masih ada kelengkapan lain sebagai alat bantu penangkapan.

Alat tersebut adalah sisir atau penggiring dan serok (scoop net) sebagai alat untuk

mengambil ikan.

Lokasi yang cocok untuk pengoperasian alat tangkap sero menurut

Ayodhyoa (1981), harus memiliki kriteria sebagai berikut:

(24)

(2)Merupakan alur dari ruaya kelompok ikan ke arah pantai,

(3)Topografi dasar perairan mempunyai kemiringan (slope) yang tidak tajam,

(4)Lokasi pemasangan mudah terjangkau, dekat dengan sarana dan prasarana.

2.3 Jenis Ikan

2.3.1 Ikan layang (Decapterus spp)

Di Indonesia terdapat ikan layang jenis Decapterus russelli dan

Decapterus macrosoma. Ikan ini hidup perairan lepas pantai dan membentuk

gerombolan besar. Panjang tubuhnya mencapai panjang 30 cm, bentuk badan

agak memanjang dan agak gepeng. Dalam statistik perikanan, kedua jenis ikan

layang ini dimasukan dalam satu kategori (Decapterus spp) (Widodo, 1988).

Ikan layang selain hidup bergelombol, ikan ini termasuk ikan perenang

cepat yang hidup diperairan berkadar garam relatif tinggi (32 - 34 0/00) dan

menyenangi perairan jernih. Ikan layang mempunyai salinitas optimum berkisar

antara 32 - 32,5 0/00, ikan ini banyak terdapat di perairan yang berjarak 37-56 km

dari pantai.

Pada perairan yang mempunyai suhu minimum, yaitu sebesar 170C

biasanya ikan layang akan memijah. Ikan layang umumnya memiliki dua kali

masa pemijahan pertahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret sampai

April (musim barat) dan Agustus sampai September (musim timur).

Menurut Asakin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena

dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zoo plankton) yang terdapat

disuatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda

39%, crutacea 31% dan organisme lainnya 30%.

2.3.2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan pelagis besar yang

memiliki tubuh membulat, memanjang dan mempunyai garis lateral. Ciri-ciri

ikan cakalang adalah terdapatnya 4 – 6 garis berwarna hitam dan memanjang di

samping badan. Umumnya ikan cakalang memiliki panjang antara 30-80 cm

dengan berat 0,5 – 11,5 kg. Maksimum ukuran fork length ikan cakalang dapat

mencapai 108 cm dan berat 32, 34,5 kg, sedangkan ukuran umum yang

(25)

Gunarso (1988), mengatakan bahwa sebagian dari perairan Indonesia

merupakan lintasan ikan cakalang yang bergerak menuju ke kepelauan Philipina

dan Jepang. Di perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Laut Flores,

Laut Arafura, Laut Halmahera, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Aru dan

sebelah utara Irian Jaya.

2.3.3 Ikan tembang (Sardinella fimbriata)

Ikan tembang (Sardinella fimbriata) adalah ikan yang hidup dipermukaan

perairan lepas pantai dan suka bergerombol pada daerah yang luas sehingga sering

tertangkap dengan ikan lemuru. Ikan tembang tersebar di perairan Indonesia

hingga ke utara sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ujung Australia dan barat

sampai ke Laut Merah.

Ikan tembang juga terkosentrasi pada kedalaman kurang dari 100 meter.

Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dan pada malam

hari ikan tembang cenderung berenang ke permukaan dan berada di permukaan

sampai matahari terbit. Waktu malam terang, nampaknya gerombolan ikan

tembang akan berpencar atau tetap berada di bawah permukaan.

Panjang tubuh berkisar antara 15 – 25 cm, warna biru kehijauan pada

bagian atas, putih perak pada bagian bawah. Sirip-sirip pucat kehijauan, tembus

cahaya. Dasar sirip dubur perak dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta

berjari-jari lemah 16 – 19, pemakan plankton (Fischer dan Whitehead, 1974).

2.3.4 Ikan teri (Stolephorus sp)

Di Indonesia ikan teri (Stolephorus spp) merupakan jenis ikan pelagis

kecil. Ikan teri mempunyai sembilan jenis yaitu : Stolephorus heterolobus,

Stolephorus devisi, Stolephorus baganensis, Stolephorus tri, Stolephorus

dubiousus, Stolephorus indicus, Stolephorus commersonii, Stolephorus insularis

dan Stolephorus buccaneezi.

Ciri-ciri teri adalah bentuk tubuh agak bulat memanjang (fusiform) hampir

silindris, perut bulat dengan tiga atau empat sisik duri seperti jarum (sisik

abdominal) yang terdapat diantara sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral),

sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal).

Teri termasuk ikan pelagis yang menghuni pesisir dan estuari, tetapi

(26)

ikan teri yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter. Ukuran 40 mm,

ikan teri memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton, sedangkan pada ukuran

lebih dari 40 mm ikan teri banyak memafaatkan zooplakton. Perairan barat

Sumatera, Selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi, timur Sumatera merupakan

daerah kosentrasi ikan teri (Direktorat Jenderal Perikanan, 1997).

2.3.5 Ikan tongkol (Auxis thazard)

Ikan tongkol (Auxis thazard) termasuk jenis tuna kecil. Ciri-ciri

morfologinya adalah badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu. Badan

tongkol tanpa bersisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan

mengecil kebagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak

dibagian perut. Ciri-ciri lain, dibagian perut terdapat ban-ban serong berwarna

hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan

perut. Ukuran ikan ini dapat mencapai panjang 50 cm, tetapi umumnya berukuran

panjang 25-40 cm.

Tongkol termasuk ikan jenis buas, predator, hidup dengan pantai, lepas pantai

dan bergorombol besar. Tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran

temperatur yang disenangi antara 18 – 29 0C.

Dalam penyebarannya tongkol cenderung membentuk kumpulan

multispecies menurut ukurannya. Penyebaran tongkol sangat luas meliputi

perairan tropis dan sub tropis, termasuk Samudra Pasifik, Samudra Hindia dan

Samudra Atlantik (FAO, 1986).

2.3.6 Ikan tuna (Thunnus sp.)

Ikan tuna (Thunnus sp) merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang

memiliki tubuh seperti cerutu. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil,

sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari menyokong menutup seluruh

hypural, tubuhnya tertutup oleh sisik, berwarna biru dan agak gelap pada bagian

atas tubuhnya. Sirip punggung terdiri atas dua, sirip depan biasanya pendek dan

terpisah dari sirip belakang.

Tuna species besar terdiri dari 7 species, species besar pada umumnya

mempunyai ukuran panjang tubuh antara 40 – 180 cm. Tuna besar diantaranya

adalah; madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares), tuna mata besar

(27)

(Thunnus maccoyii), tuna ekor panjang (Thunnus tonggol), tuna sirip biru selatan

(Thunnus thynnus), tuna sirip hitam (Thunnus atlanticus) (Blackburn, 1965).

Beberapa petunjuk untuk menentukan daerah penyebaran ikan tuna antara

lain:

(1) Tempat-tempat pertemuan arus dari daerah perairan sempit (dangkal)

dengan laut dalam atau daerah karang dan tebing yang merupakan fishing

ground pada laut dalam. Berdasarkan keadaan hidrografi dapat diketahui,

bahwa putaran arus pada dasar laut merupakan barier pada fishing ground

laut dalam;

(2) Tempat-tempat yang terdapat arus yang mengalir dengan cepat atau di

tempat yang terdapat rintangan (karang, tebing dan pulau);

(3) Tempat terjadinya konvergensi dan divergensi antara arus yang

berdekatan;

(4) Daerah arus eddy dari arus balik equator (equatorial counter current).

Menurut Gunarso (1988), beberapa daerah yang merupakan daerah

penangkapan ikan tuna antara lain adalah: Laut Banda, Laut Maluku, dan perairan

selatan Jawa terus menuju ke timur. Begitu pula perairan selatan dan barat

Sumatera serta perairan yang lainnya. Diperairan Indonesia juga terdapat semua

jenis tuna besar kecuali tuna sirip biru utara dan sirip biru hitam, ini disebabkan

karena tuna sirip utara adalah penghuni perairan Samudera Pasifik Atlantik.

Tuna merupakan jenis ikan yang dalam kelompok ruaya akan muncul

sedikit diatas lapisan termoklin pada siang hari dan akan beruaya kelapisan

permukaan pada sore hari. Sedangkan pada malam hari akan menyebar diantara

lapisan permukaan dan termoklin.

2.3.7 Selar (Selaroides sp)

Selar (Selaroides sp) umumnya hidup di semua perairan Indonesia yang

meliputi selar bentong (Selaroides erumenopthalmus), selar kuling (Selaroides

leptolepsis) Hidup bergerombol di sekitar pantai dangkal dan makan makan

ikan-ikan kecil dan udang kecil (Nontji, 1993).

Selar kuning memiliki bentuk badan lonjong, pipih dengan sirip punggung

(dorsal) berjari-jari keras satu dengan jari-jari lunak 15 buah. Sirip duburnya

(28)

dengan 20 jari-jari lunak. Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah

berjumlah 26 buah. Garis rusuk membusur, memiliki 25 – 34 sisik. Selar

bentong memiliki bentuk hampir sama, tapi dapat dibedakan dari ukuran lebih

besar (Wiyono, 2001).

2.3.8 Kembung (Rastrelliger spp)

Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, tubuh

dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari

bagian yang lain. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Tulang insang dan

banyak sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip

punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah dan

sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai

enam tambahan (finlet) terdapat dibelakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung

(dorsal). Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam, sirip dada (pectoral) dengan

dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari

lemah (Saanin, 1984).

Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di

perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32

ppt, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di

perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji, 1993). Ikan

kembung lelaki untuk pertama kali matang gonad berukuran rata-rata 20 cm

(Nurhakim, 1993). Ikan kembung perempuan untuk pertama kali matang gonad

berukuran 16 cm (Suhendrata dan Rusmadji, 1991).

Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger spp) yaitu perairan barat,

timur dan selatan Kalimantan serta Malaka. Sedangkan daerah penyebarannya

mulai dari barat dan timur Sumatera, utara dan selatan Jawa, Nusa Tenggara, utara

dan selatan Sulawesi, Maluku dan Papua (Direktorat Jendral Perikanan, 1997).

2.3.9 Lemuru (Sardinella longiceps)

Ikan lemuru berwarna biru kehijauan pada bagian punggung dan putih

keperakan pada bagian lambung, serta mempunyai sirip-sirip transparan. Panjang

tubuh dapat mencapai 23 cm tetapi pada umumnya hanya 10-15 cm (Chan, 1965).

Ikan lemuru mempunyai rumus sirip punggung, D. 16 – 18; sirip dubur, A.

(29)

rusuk, LI. 45; sisik melintang, Ltr. 12 – 13. Bentuk tubuh memanjang, cembung

dan membundar pada bagian perut. Sub operkulum membentuk segi empat

dengan bagian bawah melengkung. Sirip punggung lebih dekat ke ekor daripada

ke moncong, permulaan sirip dengan perut berada di belakang pertengahan sirip

punggung.

Gigi pada langit-langit mulut sambungan tulang rahang bawah dan lidah.

Tapis insang berjumlah 120 lembar, lebarnya kurang dari 1/2 operkulum.

Sisik-sisiknya lembut dan bertumpuk tidak teratur, jumlah sisik di depan sirip punggung

13 – 15. Scute atau sisik duri terdapat pada lambung, 18 di depan sirip perut dan

14 lainnya di belakang sirip perut (Weber and de Beaufort, 1965). Ikan lemuru

sering bergerombol dengan ikan lain seperti ikan layang (Decapterus sp) dan

kembung (Rastrelliger sp).

Ikan yang bergerombol mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk

menyelamatkan diri dari predator, karena terlindung dalam gerombolan. Menurut

Whitehead (1985) ikan lemuru tersebar di Lautan Hindia bagian timur yaitu

Phuket, Thailand, dan pantai-pantai di Indonesia.

2.3.10 Ikan kuwe (Caranx sp)

Ikan kuwe ini memiliki nama internasional giant trevally. Adapun

klasifikasi ikan ini adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Phylum:

Chordata, Class: Actinopterygii, Order: Perciformes, Suborder: Percoidei,

Superfamily: Percoidea, Family: Carangidae, Genus: Caranx, Species: Caranx

ignobilis. Ikan ini hidup di karang dan biasanya menjadi sasaran penangkapan

untuk tujuan rekreasi dan komersial. Ikan ini ditangkap dengan menggunakan alat

tangkap pancing, rawai, dan tombak.

Ikan Kuwe adalah anggota terbesar dari genus Caranx dan anggota

terbesar kelima dari famili Carangidae. Ikan kuwe dapat dikenali dari profile

kepala yang curam, sisik menebal secara lurus, linea lateralis lebih banyak berada

di daerah posterior. Warna ikan bervariasi dari berwarna keperak-perakan hingga

kehitaman. Terkadang berwarna emas kehitaman dan memiliki garis hitam yang

tidak teratur pada bagian belakang, namun tidak pernah memiliki bintik hitam di

(30)

perenang cepat dengan tubuh yang padat, dasar ekor yang meramping dan bentuk

ekor yang tajam.

Daerah habitat ikan kuwe memiliki rentang lingkungan yang luas, dari

daerah estuaria, perairan dangkal dan laguna ketika masih juvenil dan ke daerah

karang lebih dalam, atol lautan lepas dan perairan luas ketika dewasa. Ketika

masih Juvenil, ikan kuwe hidup di daerah di perairan dengan salinitas rendah

seperti danau di daerah pantai dan muara sungai. Spesies ini biasa terlihat

bergerak disepanjang dinding karang yang menurun di perairan tropis.

Ikan kuwe berubah habitatnya setiap waktunya dalam sehari. Aktivitas

ikan tertinggi adalah ketika fajar atau sore dan biasanya merubah lokasi ketika

mendekati matahari terbit dan tenggelam. Ikan ini juga melakukan migrasi untuk

melakukan pemijahan dan daerah yang sesuai. (www.fishbase.org dan

www.wikipedia.com).

2.3.11 Ikan kerapu (Ephynephelus sp.)

Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae

dan dikenal dengan istilah grouper (Tucker, 1999). Ikan kerapu terdiri dari 15

genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus ikan kerapu tersebut adalah

Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Dermatolepis,

Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca, Paranthias, Plectropomus,

Saloptia, Triso dan Variola. Ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan mencakup

setidaknya setengah dari 449 spesiesfamili Serranidae.

Kebanyakan ditemukan pada perairan berkarang (Sluka et al, 2001) namun

beberapa spesies dapat ditemukan di daerah estuaria atau karang berbatu. Secara

umum, ikan kerapu sangat menyenangi wilayah dengan dasar perairan yang

berbatu, walaupun pada masa juvenil ikan ini ditemukan pada area padang lamun

dan ada juga yang dewasa ditemukan beberapa spesies lebih menyukai areal

berpasir.

Menurut Tucker (1999), juvenil dan ikan kerapu dewasa hidup di perairan

pesisir dan estuaria, tapi sebagian lebih menyukai perairan yang jernih di areal

terumbu karang. Telurnya tunggal, non adhesive dan mengapung pada salinitas

normal. Larva dari beberapa spesies menghabiskan beberapa minggu pertamanya

(31)

perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung. Pada saat ukurannya

bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun

kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya.

2.4 MaximumSustainableYield (MSY)

Terjadinya penangkapan sumberdaya ikan di suatu perairan secara

berlebihan disebabkan oleh: (1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga

meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya, termasuk perikanan tangkap; (2)

sumberdaya ikan bersifat akses terbuka, sehingga setiap orang berhak untuk

melakukan penangkapan secara bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan`

(DKP 2003a). Laju eksploitasi sumberdaya ikan yang tinggi dan melebihi daya

dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumberdaya,

mempercepat proses kerusakan sumberdaya ikan dan menurunnya pertumbuhan

ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model

pembangunan dimasa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip

pembangunan perikanan berkelanjutan.

Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep hasil

maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan

MSY. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis, agar ikan dapat

dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang melalui

keseimbangan biologi dari sumberdayatersebut (Schaefer, 1957).

Dalam mengelola sumberdaya perikanan, maka perlu menentukan jumlah

tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) yang

akan didistribusikan menjadi porsi nasional (Domestic Harvesting Capacity).

Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai hasil tangkapan maksimum

lestari (MSY). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari seluruh potensi

sumberdaya ikan adalah sekitar 80% dari potensi lestari (DKP, 2002).

Menurut teori bioekonomi untuk perikanan komersial menyatakan bahwa

tingkat optimal secara sosial dari effort dan panen ditentukan oleh dinamika

biologi dari stok dan ekonomi dari industri (seperti biaya input dan harga output).

Hal ini karena masyarakat telah tertarik dalam konservasi stok dan keuntungan

dari industri. Tanpa pembatasan masuk atau effort, pemanenan akan berlanjut

(32)

mampu menutupi total biaya dan dikenal sebagai open access equilibrium (OAE).

Pada kondisi seperti ini secara sosial tidak efisien karena effort terlalu tinggi

(Gordon, 1954).

Pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada faktor biologis

semata dengan pendekatan yang disebut Maximum SustainableYield (MSY) yaitu

tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies

ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi

(surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang),

maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan tetapi,

pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh

berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi.

Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak

mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya

alam (Fauzi, 2000).

Kesediaan sumberdaya ikan sangat penting bagi pembangunan yang

berbasis sumberdaya (resource-based development). Tanpa sumberdaya ikan,

pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya

ikan adalah jantungnya pembangunan perikanan. Jika ada upaya untuk mengelola

sumberdaya ikan, secara implisit hal tersebut berarti menyusun langkah-langkah

untuk membangun perikanan. Sebab itu, tujuan mengelola sumberdaya sering juga

disamakan dengan tujuan pembangunan perikanan (Nikijuluw, 2002).

Efisiensi dalam usaha penangkapan ikan sulit untuk diukur. Hal ini,

terkait dengan adanya ketidakpastian dalam usaha penangkapan ikan. Dimana

penghasilan yang diperoleh juga terkait dengan musim -musim ikan (Kusnadi,

2002) dan nelayan tidak bisa mengendalikan usaha penangkapannya. Disamping

itu rusaknya ekosistem sumberdaya laut yang disebabkan berbagai eksternalitas

negatif dan penangkapan ikan secara berlebihan telah menekan kehidupan para

nelayan.

Produksi (h) pada perikanan tangkap dapat diasumsikan sebagai fungsi

dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis dapat ditulis; h = f (x,E).

Adapun upaya (effort) merupakan sarana yang digunakan untuk mengeksploitasi

Gambar

Gambar 2 Struktur SEM (Structural Equation Modelling).
Gambar 3 Alur hubungan antar variabel pengembangan perikanan tangkap
Gambar 4 Presentase jumlah nelayan.
Gambar 11 Bagian-bagian alat tangkap sero Sumber: Sudirman dan Malllawa,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan di pantai selatan Gorontalo, bertujuan untuk menentukan altematif kebijakan, pola dan strategi pengembangan perikanan tangkap dalam

Permasalahan dalam penelitian ini bagaimana profil dari nelayan tangkap di Kabupaten Demak, kendala yang dihadapi dalam pengembangan sektor perikanan tangkap, serta bagaimana

Kabupaten Banyuasin memiliki potensi perikanan pelagis yang cukup besar yaitu 29,6 ton/tahun. Usaha perikanan tangkap ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin

Panah atau Jubi dalam istilah pada banyak daerah di Sulawesi Utara merupakan teknik penangkapan ikan yang masih bertahan sampai saat ini perikanan tangkap yang masih

Dilihat dari hasil analisis besarnya Rentabilitas pada usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing ulur di Desa Kema III menunjukan bahwa usaha tersebut adalah

Pendapatan perikanan tangkap adalah pendapatan dari hasil penangkapan ikan atau hasil melaut dan merupakan pencaharian pokok nelayan. Berdasarkan pengamatan yang dilaksanakan di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan masih kurang di bawah MSY (Maximum Sustainable Yield). Beberapa program yang harus dikembangkan adalah

iii PENENTUAN KLASTER AGRIBISNIS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PENDEKATAN SUBSISTEM DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Nama Mahasiswa : Novita Putri Setiawati NIM : 08161057 Dosen