• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem pendukung keputusan keruangan untuk analisis kerentanan akibat kenaikan muka air laut dan amblesan tanah di Kota Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem pendukung keputusan keruangan untuk analisis kerentanan akibat kenaikan muka air laut dan amblesan tanah di Kota Semarang"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN KERUANGAN

UNTUK ANALISIS KERENTANAN AKIBAT

KENAIKAN MUKA AIR LAUT DAN AMBLESAN

TANAH DI KOTA SEMARANG

IFAN RIDLO SUHELMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem Pendukung Keputusan Keruangan untuk Analisis Kerentanan Pesisir Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Amblesan Tanah di Semarang adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

IFAN RIDLO SUHELMI. Spatial Decision Support System to Coastal Vulnerability Analysis due to Sea Level Rise and Land Subsidence at Semarang City. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN, FREDINAN YULIANDA and I NJOMAN S NUITJA

The relatively flat topography of Semarang has caused this city is vulnerable to sea level rise phenomenon. Various environmental problems faced by the city associated with coastal and ocean dynamics are tidal inundation, land subsidence, and flooding in rainy seasons. This study was conducted to (1) develop a spatial dynamic model of inundated areas due to sea level rise (2) map the coastal vulnerability due to sea level rise and land subsidence (3) prepare adaptive strategy to solve those environmental problems. Flash technology was used to model spatial dynamic distribution of inundated areas due to sea level rise. IPCC scenario at pessimistic and optimistic scenarios were combined with rate of land subsidence rates to predict an inundated scenario at the year of 2030. Adaptation strategy was developed by considering coastal vulnerability and adaptive capacity of the areas. Study results showed that the inundated areas at the year of 2010 were 1,231 hectares. Pessimistic sea level rise and land subsidence scenario showed that the size of inundated coastal areas of Semarang was 1,718.2 hectares, while pessimistic scenario showed an increasing inundated areas to 5,171.3 hectares. Fish-pond was the most extensive land use in coastal areas, as well as the most vulnerable areas to inundation. The inundated fish-pond areas in 2010 were predicted 272.8 hectares which would increase to 913.6 hectares in 2030. Potential losses derived from inundated areas would increase from IDR 3.7 T in 2010 to IDR 28.7 T in 2030. Adaptive capacity of villages in Semarang in 2010 was relatively high with low vulnerability level to inundations, whereas vulnerability level in 2030 tended to increase along with the extensification of inundated areas.

(6)
(7)

RINGKASAN

IFAN RIDLO SUHELMI. Sistem Pendukung Keputusan Keruangan untuk Analisis Kerentanan Pesisir Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Amblesan Tanah di Semarang. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, FREDINAN YULIANDA dan I NJOMAN S NUITJA.

Kondisi topografi Semarang cenderung landai dengan kemiringan 0–2% bahkan di beberapa tempat berada di bawahnya. Permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Semarang antara lain masalah banjir pasang, amblesan tanah dan banjir setiap musim hujan. Pada penelitian ini dikaji genangan yang disebabkan oleh banjir pasang dan banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menyusun model spasial dinamis kerentanan genangan yang diakibatkan oleh banjir pasang (2) Mengkaji tingkat kerentanan dan dampak akibat genangan yang terjadi (3) Menyusun strategi adaptasi dan pengelolaan pemanfaatan ruang pesisir dengan memperhatikan genangan yang terjadi sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan pesisir dan kapasitas adaptif wilayah.

Pemodelan genangan menggunakan 4 (empat) skenario yaitu (a) Model genangan akibat kenaikan muka air laut skenario IPCC minimum, (b) Model genangan akibat kenaikan muka air laut skenario IPCC maksimum, (c) Model genangan akibat kenaikan muka air laut skenario IPCC minimum dan tren amblesan tanah, dan (d) Model genangan akibat kenaikan muka air laut skenario IPCC maksimum dan tren amblesan tanah. Selain aspek tren kenaikan muka laut dan amblesan tanah, diperhatikan pula pasang maksimal dari laut di pesisir Kota Semarang.

Hasil model spasial kerentanan genangan akibat kenaikan muka air laut akan ditampilkan menggunakan bantuan perangkat lunak berbasis raster yaitu

Macromedia Flash. Tampilan menggunakan flash akan memberikan gambaran

dinamis ketika terjadi suatu perubahan pada parameter yang mempengaruhi genangan.

Penyusunan model genangan banjir menggunakan beberapa software antara lain Software GIS seperti Arc View Versi 3.3, Software pengolah citra ER Mapper versi 7, Software pengolah data hidrologi dalam GIS menggunakan HEC GeoRAS yang merupakan ekstensi dari Arc View, dan Software The Hidrological

Engineering Centre River Analysis System (HEC RAS) untuk pemodelan

hidrologinya. Model genangan diperoleh dari penggabungan kedua model yaitu model genangan banjir pasang dan model genangan banjir dengan metode overlay dari hasil dua model tersebut.

(8)

Hasil pemodelan genangan pada skenario kenaikan muka air laut, pada tahun 2010 menunjukkan luas genangan sebesar 1.231,0 Ha dan meningkat menjadi 1.458,5 ha (minimum) dan 1.611,9 Ha (maksimum) pada tahun 2030. Sedangkan pada skenario dengan memperhatikan faktor amblesan tanah, diperoleh luas genangan meningkat tajam menjadi 4.343,4 Ha (minimum) dan 5.171,3 Ha (maksimum).

Potensi kerugian akibat kenaikan muka air laut mencapai Rp. 28,0 T pada skenario minimum dan meningkat menjadi Rp. 28,7 T pada skenario maksimum. Peningkatan yang signifikan terlihat pada skenario adanya penurunan muka tanah. Pada skenario minimum tercatat 18.157 unit bangunan akan tergenang dengan kerugian Rp. 4,97 T dan pada skenario maksimum sebanyak 26.516 unit bangunan tergenang dengan kerugian Rp. 6,13 T. Nilai potensi kerugian terbesar kedua adalah pada penggunaan lahan tambak, tercatat potensi kerugian meningkat dari Rp. 0,66 T pada skenario minimum menjadi Rp. 2,28 T pada skenario maksimum.

Hasil analisis kerentanan menunjukkan jumlah kelurahan pada kategori kerentanan rendah 85 kelurahan dan 14 kelurahan dengan kerentanan sedang pada tahun 2010. Kondisi tersebut berubah menjadi 34 kelurahan kerentanan rendah, dan 44 kelurahan kerentanan sedang pada tahun 2030. Pada tahun 2010 tidak ada kelurahan yang masuk kategori ini namun pada tahun 2030 diprediksikan akan terdapat 21 kelurahan yang masuk kelas kerentanan tinggi.

Hasil perhitungan indek kapasitas adaptif dapat dikelompokkan kapasitas kelurahan menjadi 3 yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kelurahan yang ada di pesisir Kota Semarang pada tahun 2010 memiliki nilai kapasitas rendah dan sedang. Pada tahun 2030 terjadi peningkatan kapasitas 69 kelurahan (69,7 %) pada kapasitas sedang, dan 3 kelurahan pada kapasitas adaptif tinggi.

Berdasarkan hasil kajian Indek Kapasitas dan Indek Kerentanan untuk tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar kelurahan berada pada kuadran 3 (83 kelurahan), pada kuadran 1 (14 kelurahan) dan pada kuadran 4 (2 kelurahan). Pada tahun 2030, sebagian besar kelurahan memiliki kapasitas adaptif yang besar terhadap bencana genangan namun dengan tingkat kerentanan yang meningkat. Hal ini menjadikan 9 kelurahan pada kuadran 5, 15 kelurahan pada kuadran 4.

Adaptasi yang bersifat akomodatif dilakukan oleh masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana banjir pasang antara lain (1) Membuat tanggul kecil di dalam rumah, (b) Meninggikan jalan 1-1,5 m untuk menjaga aksesibilitas, (c) Membuat rumah panggung dan (d) Membuat sumur artesis untuk keperluan air bersih. Strategi protektif dan akomodatif dilakukan oleh pemerintah pembuatan tanggul, polder. Pendekatan tersebut merupakan strategi yang bersifat kuratif, perlu diupayakan strategi yang bersifat preventif untuk mencegah laju penurunan muka air tanah seperti kontrol pengambilan air tanah, pengelolaan tata ruang yang mempertimbangkan faktor kebencanaan dan keterpaduan pendekatan antara penyeleseian secara keteknikan dipadukan dengan pendekatan ekologi.

(9)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan ataumenyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(10)
(11)

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN KERUANGAN

UNTUK ANALISIS KERENTANAN AKIBAT

KENAIKAN MUKA AIR LAUT DAN AMBLESAN

TANAH DI KOTA SEMARANG

IFAN RIDLO SUHELMI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Sc.

2. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Budi Sulistiyo

(13)

Pengesahan

Judul Disertasi : Sistem Pendukung Keputusan Keruangan untuk Analisis Kerentanan Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Amblesan Tanah di Kota Semarang

Nama Mahasiswa : Ifan Ridlo Suhelmi

NRP : C261060171

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Prof. Dr. Ir. I Njoman S Nuitja, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(14)
(15)

PRAKATA

Puja dan puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai kenikmatan sehingga tugas akhir penelitian yang berjudul “Sistem Pendukung Keputusan Keruangan untuk Analisis Kerentanan Pesisir Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Amblesan Tanah di Semarang” ini dapat diseleseikan dengan penuh perjuangan. Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini:

1. Dr. Achmad Fahrudin, M.Si selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. I Njoman S Nuitja, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing

2. Dr. Budi Sulistiyo selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP.

3. Prof. Dr. Dietriech G Bengen, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Dr. Ario Damar yang telah memberikan saran dan masukan dalam ujian pra kualifikasi lisan dan ujian tertutup, serta Dr. Budi Sulistiyo dan Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. yang telah memberi masukan dalam ujian terbuka.

4. Kedua orang tua H. Teguh Ridwan, BA, dan Hj. Sulimah serta H. Rochyadi Rochmat dan Hj. Nur Saadah

5. Kakanda tercinta Farid Su’aidi, STP (Almarhum), Mba Ratna Erminingsih, Adik-adikku yang sangat kucintai Rifai Hafidz Rohman, S.Hut dan drg. Rina Nurhayati, Erlis Luk-Luk Fuadah, SE dan Fuad Hasyim, SH, Farah Nurul Hidayah, S.Si. A.pt dan Puspito Aji S.Pd., M. Zuhad Hidayatullah, S.Kom dan M Firdaus Dian F.

6. Astra, Buddin dan Kiki dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro yang telah membantu pelaksanaan kerja lapangan, serta M. Zuhad Hidayatullah, S.Kom yang telah membantu dalam penyusunan model spasial dinamik menggunakan teknologi flash. Triyono dan Mas Helmi yang telah membatu perolehan data spasial.

7. Teman-teman di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP KKP yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Para staf pada Program Studi SPL, Pak Zainal, Mas Didin dan Semua

pihak yang telah berjasa dalam penyeleseian tugas akhir yang berat ini.

Penyusun sangat menyadari masih banyaknya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini, sehingga saran, kritik dan masukannya sangat diharapkan dari semua pihak untuk memperbaiki tulisan ini.

Bogor, Januari 2012

Ifan Ridlo Suhelmi

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonosobo Jawa Tengah pada tanggal 21 September 1975 dari Ayah H. Teguh Ridwan, BA dan Ibunda Hj. Sulimah, S.Pd. Penulis merupakan putra ke-2 dari 5 bersaudara. Selepas lulus dari Madrasah Aliyah Al-Mukmin Sukoharjo penulis melanjutkan studi di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1993 mengambil jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada Tahun 1998. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Lingkungan Jurusan Antar Bidang Fakultas Pasca Sarjana UGM dan selesei pada tahun 2002.

Selepas menyelesaikan sekolah pascasarjana, sejak akhir tahun 2002 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2006 Penulis mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi program doktoral pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada saat ini penulis merupakan Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman 

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 2

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Batasan Masalah ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

1.7 Kebaruan (Novelty) ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pemanasan Global ... 9

2.2 Banjir ... 11

2.3 Banjir Pasang ... 14

2.4 Amblesan Tanah ... 16

2.5 Kerentanan Pesisir ... 18

2.5.1 Konsep Kerentanan ... 18

2.5.2 Kerentanan Pesisir Akibat Kenaikan Muka Air Laut ... 23

2.6 Karakteristik Geofisik ... 27

2.6.1 Profil Kota Semarang ... 27

2.6.2 Geologi ... 30

2.6.3 Geomorfologi ... 33

2.6.4 Tanah ... 34

2.6.5 Iklim dan Curah Hujan ... 35

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1 Lokasi dan Waktu ... 37

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 37

3.3 Perolehan Data Primer ... 38

3.4 Metode dan Rancangan Penelitian ... 39

3.4.1 Penyusunan Model Kerentanan Genangan Banjir pasang ... 39

3.4.2 Model Spasial Dinamis Genangan Banjir Pasang ... 43

3.4.3 Penyusunan Model Kerentanan Genangan Banjir ... 43

3.4.4 Perhitungan Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Genangan ... 44

3.4.5 Validasi dan Verifikasi Model ... 44

3.4.6 Analisis Kerentanan Pesisir Terhadap Genangan ... 45

(20)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1 Kerentanan Pesisir Terhadap Genangan ... 49

4.1.1 Pengolahan Data Pasang Surut ... 49

4.1.2 Pengolahan Data Amblesan Tanah ... 49

4.1.3 Pemodelan Genangan Banjir Pasang ... 54

4.1.4 Model Spasial Dinamis Distribusi Genangan ... 58

4.1.5 Dampak Genangan Pada Berbagai Skenario Penggenangan ... 60

4.1.6 Pemodelan Banjir Sungai Menggunakan HEC GeoRAS ... 81

4.2 Verifikasi dan Validasi Model ... 92

4.3 Analisis Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Genangan ... 94

4.4 Analisa Indek Kerentanan Terhadap Genangan ... 96

4.5 Analisis Kapasitas Adaptif Terhadap Bencana Genangan ... 107

4.6 Strategi Adaptasi Terhadap Genangan ... 114

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

5.1 Kesimpulan ... 123

5.2 Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penelitian terkait dengan pemetaan genangan akibat bajir pasang ... 8 

2. Kemungkinan debit puncak (m3/detik) ... 13 

3. Penerapan metoda pengendalian banjir sesuai kronologi kejadian banjir ... 15 

4. Rekapitulasi nilai penurunan permukaan tanah di Semarang ... 17 

5. Pendekatan terhadap kerentanan sesuai dengan klasifikasi berbagai disiplin ilmu ... 19 

6. Faktor bio-geofisik yang paling signifikan dari kenaikan permukaan laut termasuk iklim berinteraksi relevan dan non-iklim. ... 26 

7. Jenis data yang diperlukan ... 38 

8. Nilai F dan tipe pasang surut ... 42 

9. Laju amblesan tanah di Kota Semarang ... 50 

10. Berbagai skenario genangan akibat kenaikan muka air laut (genangan permanen) ... 61 

11. Berbagai skenario genangan pada saat pasang maksimal (genangan sesaat) . 61  12. Luas genangan permanen dan temporer pada berbagai skenario ... 71 

13. Estimasi wilayah tergenang akibat Kenaikan muka air laut dan amblesan tanah pada tahun 2030 ... 76 

14. Beberapa tema yang diperlukan dalam pemodelan banjir sungai ... 84 

15. Koefisien kekasaran Manning yang digunakan dalam model ... 86 

16. Kondisi hidrologis Sungai Garang/BanjirKanal Barat ... 90 

17. Lokasi banjir pasang berdasarkan hasil uji lapangan dibandingkan dengan distribusi genangan banjir pasang hasil pemodelan ... 93 

18. Indikator yang digunakan untuk mendefinisikan kerentanan dan bobotnya ... 96 

19. Skor jaringan jalan ... 97 

20. Skor lahan terbangun ... 97 

21. Skor sumber air minum (PDAM) ... 98 

22. Jumlah penduduk perempuan dan l aki-laki Kota Semarang pada tahun 2008 dan prediksi jumlah penduduk Tahun 2030... 99 

23. Skor jumlah rumah tangga miskin ... 100 

24. Skor daerah sempadan pantai ... 100 

25. Skor daerah sempadan sungai ... 101 

26. Skor kawasan terbuka hijau ... 102 

(22)

27. Kelas kerentanan akibat genangan banjir pasang ... 102 

28. Jumlah dan persentase kelurahan tergenang tiap kecamatan tahun 2030 ... 107 

29. Indikator yang digunakan untuk mendefinisikan kapasitas adaptif dan bobotnya ... 108 

30. Skor jaringan telepon ... 108 

31. Skor pekerja berdasarkan latar belakang pendidikan ... 109 

32. Nilai indikator berdasarkan jenis sumber pendapatan utama di suatu kelurahan ... 109 

33. Skor fasilitas kesehatan ... 110 

34. Skor infrastruktur jalan ... 110 

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 4 

2. Skenario perkiraan kenaikan muka laut dalam kurun waktu 110 tahun ... 9 

3. Konsep pengendalian banjir ... 14 

4. Interaksi konsepsi kerentanan, ancaman bencana dan ketidakmampuan ... 20 

5. Matriks antara tingkat kerentanan dan bahaya ... 21 

6. Konsepsi pengurangan risiko bencana ... 21 

7. Framework konseptual untuk dampak perubahan iklim, kerentanan, resiko bencana dan pilihan adaptasi ... 22 

8. Evolusi praktek adaptasi yang direncanakan pada wilayah pesisir ... 24 

9. Batas administrasi Kota Semarang... 29 

10. Lokasi Penelitian ... 37 

11. Penentuan kelurahan berdasarkan indikasi kerentanan dan kapasitas ... 47 

12. Model spasial dinamik dan strategi pengelolaan ruang pesisir. ... 48 

13. Laju amblesan tanah di wilayah pesisir Kota Semarang ... 51 

14. Laju amblesan tanah di wilayah Semarang ... 52 

15. Amblesan tanah yang terjadi di pesisir Kota Semarang... 54 

16. Hasil griding titik ketinggian ... 56 

17. DEM hasil griding dan gambaran 3-dimensi lokasi penelitian ... 57 

18. Penampang antar muka (Interface) model spasial dinamik kerentanan pesisir terhadap genangan akibat kenaikan muka air laut ... 58 

19. Perbandingan luasan genangan banjir pasang akibat kenaikan muka air laut pada skenario minimum dan maksimum di Kota Semarang sampai tahun 2030 ... 62 

20. Luas genangan akibat kenaikan muka air laut tiap kecamatan pada berbagai skenario genangan ... 63 

21. Luas genangan pada tiap penggunaan lahan pada berbagai skenario kenaikan muka air laut (a) persentase tiap penggunaan lahan pada berbagai skenario (b) ... 64 

22. Distribusi genangan pada 2010 pada kondisi mean sea level ... 65 

23. Distribusi genangan pada 2010 saat pasang tertinggi ... 66 

24. Distribusi genangan pada tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut

maksimum ... 67 

(24)

25. Distribusi genangan pada tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut

minimum... 68 

26. Distribusi genangan padatahun 2030 skenario kenaikan muka air laut

maksimum pada kondisi pasang tertinggi ... 69 

27. Distribusi genangan pada tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut

minimum pada kondisi pasang tertinggi... 70 

28. Perbandingan luasan genangan banjir pasang akibat kenaikan muka air laut pada skenario minimum dan maksimum dengan mempertimbangkan faktor amblesan tanah di Kota Semarang sampai pada tahun 2030 ... 72 

29. Luas genangan akibat kenaikan muka air laut dan amblesan tanah tiap

kecamatan pada berbagai skenario genangan ... 73 

30. Luasan genangan pada berbagai jenis penggunaan lahan akibat pengaruh kenaikan muka air laut dan amblesan tanah ... 74 

31. Akumulasi luasan genangan banjir pasang di Semarang akibat kenaikan muka air laut pada skenario minimum dan maksimum sampai tahun 2030 ... 75 

32. Genangan banjir pasang yang terjadi di Pasar Johar (kiri) dan Pelabuhan Tanjung Emas (kanan). ... 75 

33. Distribusi genangan tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut maksimum dengan faktor amblesan tanah ... 77 

34. Distribusi genangan tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut minimum dengan faktor amblesan tanah ... 78 

35. Distribusi genangan tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut maksimum dengan faktor amblesan tanah dalam kondisi pasang ... 79 

36. Distribusi genangan tahun 2030 skenario kenaikan muka air laut minimum dengan faktor amblesan tanah dalam kondisi pasang ... 80 

37. Proses pemodelan banjir menggunakan HEC GeoRAS dan HEC RAS ... 81 

38. Diagram alir penggambaran distribusi banjir menggunakan HEC Geo-RAS . 83 

39. Stream Centerline (merah), River Bank (Biru), Flowpath Centerline (Hijau) dan Cross-sectional Cut Lines (Ungu) ... 85 

40. Menu untuk memberikan atribut pada peta tematik yang dibuat ... 87 

41. Perhitungan nilai Koefisien Manning pada setiap perubahan penggunaan lahan sepanjang garis potong melintang ... 88 

42. Metode penentuan arah kiri dan kanan overbank ... 88 

43. Perhitungan reach lenght kiri, tengah dan kanan ... 89 

44. Perpotongan antara cross section dan TIN yang menghasilkan geometri sungai yang bereferensi ketinggian ... 90 

45. Penampang melintang (Cross section) dan nilai Koefisien Manning ... 91 

(25)

47. Distribusi genangan hasil analisa HEC GeoRas ... 92 

48. Hasil pemodelan (biru tua) dibandingkan peta banjir Bappeda (hijau muda) 94 

49. Nilai potensi kerugian ekonomi akibat genangan pada skenario minimum dan maksimum pada tahun 2030. ... 95 

50. Indek Kerentanan per kelurahan pada tahun 2010 dan tahun 2030 ... 103 

51. Jumlah kelurahan berdasarkan kelas kerentanan pada tahun 2010 dan tahun 2030 ... 104 

52. Peta kerentanan pesisir terhadap genangan per kelurahan tahun 2010 ... 105 

53. Peta kerentanan pesisir terhadap genangan per kelurahan tahun 2030 ... 106 

54. Jumlah kelurahan berdasarkan kelas indek kapasitas ... 111 

55. Kapasitas adaptif terhadap genangan pada tahun 2010... 112 

56. Kapasitas adaptif terhadap genangan pada tahun 2030... 113 

57. Indek kapasitas dan indek kerentanan kelurahan pada tahun 2010 ... 115 

58. Indek kapasitas dan indek kerentanan kelurahan pada tahun 2030 ... 117 

59. Upaya adaptasi dengan meninggikan jalan dan membuat tanggul di sekitar rumah (a), meninggikan rumah dengan cara menguruk dengan material (b) ... 118 

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Luas genangan per kelurahan ... 137 

2 Perhitungan indek kerentanan dan kapasitas kelurahan ... 139 

3 Script pemodelan spasial dinamik menggunakan Macromedia Flash 8 ... 147 

(28)
(29)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semarang merupakan salah satu kota yang terletak di wilayah pesisir. Ibu

kota Provinsi Jawa Tengah ini terus mengalami perkembangan dan telah tumbuh

menjadi pusat kegiatan ekonomi utama dan kota industri di Jawa Tengah.

Arbriyakto dan Kardyanto (2006) mengungkapkan berbagai permasalahan

lingkungan yang dihadapi Kota Semarang yang berkaitan dengan fenomena

kelautan dan dinamika lingkungan antara lain masalah rob (limpasan air pasang

laut), amblesan tanah antara 15-25 cm per tahun dan banjir setiap musim hujan

ketika terjadi hujan deras 1 sampai dengan 3 jam. Adanya fenomena alam tersebut

membawa konsekuensi bagi pemerintah kota dan kelompok masyarakat yang

terkena dampaknya secara langsung untuk menanggung kerugian fisik bangunan

rumah, kerugian sosial penduduk, serta biaya pembangunan dan pemeliharaan

sarana dan prasarana yang harus dikeluarkan oleh pengelola kota dan juga

masyarakat setempat. Kondisi topografi Semarang cenderung landai dengan

kemiringan 0 sampai 2% dengan sebagian besar wilayahnya hampir sama

tingginya dengan permukaan laut bahkan di beberapa tempat berada di bawahnya

(Bappeda 2002). Topografi yang demikian landai menyebabkan tingkatan

kerentanan terhadap perubahan iklim tersebut menjadi semakin besar.

Pemanasan global ditengarai akan menaikkan muka air laut, akibat kenaikan

air laut adalah fenomena erosi dan genangan di wilayah pesisir dan hilangnya

lahan baasah yang kaya akan keanekaragaman hayati (de Lourdes dan Olivio

1997; Saizar 1997; Titus 1990). Kajian mengenai pengaruh detail dan dampak

pemanasan global pada wilayah pesisir dengan kepadatan penduduk yang tinggi

perlu dilakukan. Kongres internasional mengenai perubahan iklim

menggarisbawahi seriusnya dampak yang ditimbulkan perubahan lingkungan pada

permukiman penduduk di wilayah pesisir (GCAPC 2000).

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan berbagai dampak

antara lain: (a) peningkatan frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut

(30)

ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurang

luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil (Diposaptono 2002).

Amblesan tanah merupakan fenomena alami karena adanya konsolidasi

tanah akibat pematangan lapisan tanah yang masih muda di Semarang bawah.

Pada musim hujan, banjir yang bersinergi dengan fenomena rob akan menjadikan

wilayah yang tergenang menjadi semakin luas.

Penelitian ini mengkaji dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kenaikan

muka air laut dan pengaruh faktor amblesan tanah terhadap distribusi dan luasan

genangan yang terjadi di pesisir Kota Semarang. Pemodelan spasial dinamis

digunakan untuk menggambarkan distribusi genangan yang terjadi pada berbagai

skenario genangan. Aspek kapasitas adaptif dan kerentanan terhadap genangan

menjadi masukan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kota Semarang.

1.2 Kerangka Pemikiran

Pada wilayah pesisir berlangsung proses geomorfologi yang komplek

sehingga wilayah ini merupakan suatu sistem yang dinamis. Marfai dan King

(2008) mengemukakan bahwa proses geomorfologi tersebut menjadi bencana

manakala proses tersebut mengenai populasi manusia. Sebagai contoh genangan

rob, amblesan tanah, badai, tsunami. Marfai dan King (2008) mengemukakan

bahwa bencana pasang surut di wilayah pesisir terdiri dari 3 bagian:

1. Arus pasut, yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sepanjang pantai.

Kecepatan dan arah arus sangat penting untuk menentukan pergerakan

sedimen, erosi, deposisi dan persebaran polutan.

2. Percampuran antara air laut dan air tawar ketika aliran pasut masuk ke sungai

atau badan air lainnya

3. Genangan pasut termasuk hal ini adalah ketinggian air, tingkat persebaran dan

durasi genangan

Berbagai proses yang terjadi di pesisir tersebut, tidak dapat dipisahkan

dengan proses yang ada di wilayah hinterlandnya (Zheng et al. 2007). Genangan

akan semakin tinggi intensitasnya apabila terjadi pada musim hujan dimana

(31)

Upaya untuk memetakan dampak yang ditimbulkan oleh banjir dan

genangan memerlukan informasi spasial yang detail, serta kesiapsiagaan dan

strategi pencegahan oleh semua stakeholder (Buchele et al. 2006).

Penanggulangan banjir dan genangan di Kota Semarang telah dilakukan sejak

jaman kolonial Belanda. Pada masa itu telah dibangun Saluran Banjir Kanal Kali

Baru pada tahun 1872, Saluran Banjir Kanal Barat pada tahun 1892 dan Saluran

Banjir Kanal Timur pada tahun 1900. Gagasan penanggulangan yang lain adalah

pembangunan dam lepas pantai yang membentang dari ujung barat sampai ujung

timur Teluk Semarang dengan panjang 18 km dan lebar 40 meter. Adapun upaya

yang dilakukan untuk menanggulangi banjir dan rob beberapa upaya telah

dilakukan pemerintah antara lain pembuatan tanggul sepanjang sungai,

pengerukan sedimen sungai, rekontruksi rumah, peninggian lantai, pembuatan

tanggul kecil di depan rumah untuk menghalangi masuknya air ke dalam rumah

(Marfai 2003).

Pemda juga telah membuat pilot projek sistem polder sebagai upaya mitigasi

bencana rob yang diharapkan mampu melindungi daerah seluas 70 ha dari banjir

rob. Namun dilihat dari kenyataan yang ada, genangan rob dari tahun ke tahun

semakin meningkat intensitas dan luas cakupannya. Bahkan sejak tahun 2004

telah mulai menggenangi sekitar Pasar Djohar yang berjarak 3 (tiga) kilometer

dari pantai utara Semarang (Ika 2004). Hingga pada tahun 2009 tercatat telah 8

(delapan) kecamatan yang terkena rob (Sudibyo 2009).

Pengaruh banjir pasang ini sangat signifikan terhadap pola pemanfaatan

lahan, berbagai upaya telah dilakukan baik secara keteknikan maupun adaptasi

terhadap fenomena ini (Kobayashi 2004; Marfai dan King 2008; Pramono 2002;

Huang et al. 2004). Diperlukan upaya manajemen terhadap bencana akibat

fenomena alam ini, tidak hanya dari aspek fisik tetapi kajian kerentanan sosial

ekonomi juga perlu mendapatkan perhatian (Brundl 2009; Fekete 2009).

Pendekatan yang digunakan juga bisa bersifat top down maupun pendekatan

berbasis masyarakat (Zagonari 2007). Peninggian jalan yang selalu tergenang

akibat terkena rob akan berdampak pada kondisi ketinggian tanah yang ada di

sepanjang jalan. Hal ini akan menyebabkan dilakukan usaha untuk meninggikan

(32)

maka lokasi tersebut akan semakin rawan terkena limpasan permukaan apabila

terjadi hujan. Secara ringkas uraian kerangka pemikiran penelitian ini disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Kota Semarang yang terletak di pesisir menghadapi persoalan lingkungan

yang beragam. Berbagai persoalan lingkungan yang menjadi ciri kota pesisir

antara lain ancaman banjir. Banjir dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori

antara lain banjir rob, banjir lokal dan banjir sungai.

Banjir sungai ini berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan yang

mengakibatkan bertambahnya debit sungai akibat tingginya limpasan permukaan

(Suroso dan Susanto 2006; Khasanah et al. 2004). Banjir lokal berkaitan dengan

sistem drainase kota. Tingginya intensitas hujan yang diiringi dengan

berkurangnya kapasitas drainase kota karena adanya gangguan, misalnya oleh

buangan sampah, akan menjadikan wilayah ini semakin rawan terhadap genangan

(33)

Banjir air pasang merupakan kejadian yang disebabkan oleh pasang surut

dan kenaikan muka air laut secara global. Fenomena ini menghadirkan kejadian

banjir yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut. Banjir pasang di Semarang

semakin parah dengan adanya amblesan tanah yang mempunyai andil dalam

perluasan genangan banjir pasang (de Laurdes dan Olivio 1997; Marfai dan King

2006). Penurunan permukaan tanah merupakan fenomena alami karena adanya

konsolidasi tanah akibat pematangan lapisan tanah yang masih muda di Semarang

bawah. Pada musim hujan, banjir, baik lokal maupun kiriman, yang bersinergi

dengan fenomena rob akan menjadikan wilayah yang tergenang menjadi semakin

luas.

Berdasarkan hal tersebut, maka kajian mengenai berbagai faktor yang

mengakibatkan kerentanan genangan menjadi menarik untuk dilakukan. Faktor

tersebut meliputi amblesan tanah dan kenaikan paras muka air laut yang akan

mengakibatkan semakin besarnya kerentanan terhadap rob.

Beberapa model yang telah dikembangkan antara lain oleh Marfai (2003)

namun belum memperhatikan faktor amblesan tanah yang terjadi. Model spasial

dinamik juga telah dikembangkan oleh Wheeler et al. (2007). Faktor genangan

menyebabkan kerugian fisik, ekonomis dan ekologis yang tidak sedikit jumlahnya

dan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Dengan

adanya faktor genangan dikaji pula tingkat kerentanan wilayah pesisir terhadap

kenaikan muka air laut. Pemodelan distribusi genangan disajikan dalam suatu

model spasial dinamik yang mampu menggambarkan secara dinamis lokasi yang

rentan terhadap genangan rob.

1.4 Batasan Masalah

Permasalahan yang ada di lokasi penelitian yang terkait dengan fenomena

genangan di wilayah pesisir adalah:

1. Banjir pasang yang melanda wilayah Semarang hingga saat ini telah mencapai

sejauh 3 km dari bibir pantai.

2. Terjadinya amblesan tanah dengan laju antara hingga 13,5 cm per tahun yang

(34)

3. Banjir lokal yang berkaitan dengan kapasitas drainase yang ada di lingkungan

perkotaan.

Pada penelitian ini faktor yang akan dikaji lebih mendalam adalah genangan

yang disebabkan oleh banjir pasang dan banjir. Banjir pasang sangat dipengaruhi

oleh fenomena pasang surut dan kenaikan muka air laut. Intensitas banjir pasang

akan semakin besar apabila fenomena amblesan tanah yang terjadi diperhitungkan

dalam analisa. Fenomena kelautan lain yang memberikan kontribusi genangan

seperti badai, tinggi gelombang, variasi musim tidak dimasukkan ke dalam model.

Faktor lain yang memberikan kontribusi genangan disebabkan oleh curah hujan

yang berpotensi menimbulkan banjir.

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Menyusun model spasial dinamis kerentanan genangan di wilayah pesisir

Kota Semarang yang disebabkan oleh banjir pasang akibat kenaikan muka air

laut.

2. Mengkaji tingkat kerentanan dan dampak genangan yang terjadi akibat

kenaikan muka air laut, amblesan tanah dan banjir.

3. Mengkaji strategi adaptasi dan pengelolaan pemanfaatan ruang pesisir Kota

Semarang dengan memperhatikan genangan yang terjadi sebagai faktor yang

berpengaruh terhadap kerentanan pesisir dan kapasitas adaptif wilayah.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan

berbagai faktor dan interaksi yang menyebabkan fenomena kerentanan

genangan banjir pasang dan banjir di wilayah pesisir.

2. Tersedianya model spasial dinamis kerentanan genangan di pesisir kota

sebagai upaya mitigasi bencana pesisir, khususnya genangan banjir pasang

yang diakibatkan oleh interaksi faktor kenaikan muka air laut dan amblesan

(35)

3. Metodologi yang dikembangkan diharapkan mampu memberikan sumbangan

dalam metode pemodelan spasial dinamis genangan banjir pasang di wilayah

pesisir yang memperhatikan dimensi ruang dan waktu.

1.7 Kebaruan (Novelty)

Kajian mengenai pemetaan dan modeling genangan akibat banjir pasang

dengan mempertimbangkan faktor kenaikan muka air laut yang diprediksikan oleh

IPCC telah banyak dilakukan. Selain pemodelan untuk menggambarkan distribusi

genangan, aspek kerentanan baik dari aspek fisik, sosial ekonomi, lingkungan dan

kependudukan juga telah menjadi obyek kajian sebagai upaya mitigasi terhadap

isu perubahan iklim. Untuk melihat berbagai metode, tipe dan skala data yang

digunakan serta kesamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian

terdahulu yang telah dilakukan dapat digambarkan pada Tabel 1.

Berdasarkan kesamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian

terdahulu, dapat disusun kebaruan dalam penelitian ini:

 Pemrograman model spasial dinamis menggunakan flash yang

menggambarkan distribusi genangan secara terkini dan interaktif pada

berbagai skenario kenaikan muka air laut.

 Modifikasi indek kerentanan pesisir akibat genangan banjir pasang di wilayah pesisir yang disebabkan oleh berbagai skenario kenaikan muka air laut yang

(36)

Tabel 1. Penelitian terkait dengan pemetaan genangan akibat bajir pasang

No Nama Tahun Metode Hasil Penelitian

1 Wirasatriya, Anindya

2005 - Pembuatan kontour amblesan tanah format vektor

Distribusi laju amblesa tanah dan keterkaitannya dengan pengambilan air tanah, penggunaan lahan dan deskripsi sebaran rob

2 Suciati, Putri 2007 - Pemetaan genangan berdasar skenario IPCC 0,25 m, 0,57 m dan 1 m - Format vektor (TIN)

Pemetaan daerah rentan genangan akibat berbagai skenario kenaikan muka air laut (minimum, rata-rata dan maksimum) dan laju amblesan tanah di Jakarta

3 Marfai, Aris 2003 - Pemetaan banjir menggunakan HEC RAS

- Genangan rob berdasar DEM skala 1:5.000

Sebaran genangan banjir yang diakibatkan oleh banjir dan sebaran rob berdasarkan aspek topografi.

4 Marfai, Aris 2004 - Pemetaan banjir rob menggunakan Dem berformat raster

Peta potensi genangan banjir pasang menggunakan GIS berbasis data raster di bagian barat Kota Semarang

5 Wheeler et al.

2009 - Flash untuk memetakan genangan

Peta genangan akibat badai dan berbagai skenario kenaikan muka air laut berdasarkan prediksi IPCC 6 Miladan, Nur 2009 - Pemetaan kerentanan

fisik, sosial ekonomi, kependudukan,

lingkungan dan ekonomi wilayah

Kelas kerentanan dengan menggunakan kriteria penyusunan peta resiko BNPB.

7 Ward et al. 2011 - GIS untuk memetakan genangan

- Pendekatan nilai ekonomi penggunaan lahan dalam perhitungan potensi kerugian

Peta genangan akibat kenaikan muka air laut dan hasil perhitungan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh genangan.

8 ACCCRN 2011 - Pembobotan dan skoring komponen parameter kerentanan dan kapasitas adaptif

Peta kerentanan pesisir akibat perubahan iklim, Peta kapasitas adaptif wilayah pesisir dan strategi terhadap perubahan iklim.

9 Suhelmi, IR 2011 - GIS untuk memetakan genangan banjir pasang format vektor

- Pemetaan genangan banjir pasang format raster dengan skala 1:5.000 - Flash memodelkan spasial

dinamik genangan pada berbagai skenario kenaikan muka air laut

- Pemetaan kerentanan dan kapasitas adaptif dengan metode pembobotan dan skoring

(37)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanasan Global

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena

peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah

kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas

seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC

sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.

Penyebab kenaikan muka laut antara lain disebabkan oleh perubahan iklim

dan amblesan tanah (Nicholls dan Klein 1999 in Wibowo 2006). Intergovermental

Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa kenaikan muka air

secara global dari 1990 sampai 2100 akan mencapai 18-59 cm. Sementara

kenaikan suhu dunia dalam jangka waktu tersebut sekitar 0,6oC sampai 4oC (IPCC 2007). Apabila kenaikan suhu berlangsung dengan cepat dan kontinyu maka akan

semakin banyak gletser dan tudung es yang mencair atau meleleh. Model

kenaikan muka laut tahun 1990 sampai 2100 ditunjukan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Skenario perkiraan kenaikan muka laut dalam kurun waktu 110 tahun (sumber: GRID-Arendal, 2009)

IPPC (2007) telah menyebutkan adanya 3 (tiga) skenario kenaikan muka air

(38)

dampak yang sesungguhnya masih menjadi debat dalam dunia riset,. Beberapa

studi juga telah dilakukan untuk Indonesia menggunakan skenario moderat yakni

kenaikan kurang lebih 60 cm hingga akhir abad 21 sebagai pijakan (KMLH 2007;

Widiaratih 2007; Diposaptono 2002)

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi

lingkungan biogeofisik seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,

perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya

flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit. Dampak bagi aktivitas

sosial-ekonomi masyarakat meliputi: (a) gangguan terhadap fungsi kawasan

pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti

jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, (c) gangguan terhadap permukiman

penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, dan (e) peningkatan

resiko kanker dan wabah penyakit. Penelitian ini difokuskan pada antisipasi

terhadap dua dampak pemanasan global yaitu kenaikan muka air laut dan banjir

(Wilcoxen 1986; Titus 1990; Kimpraswil 2002). Selain dampak fisik, biaya yang

harus dikeluarkan juga menjadi pertimbangan tersendiri (Titus et al. 1991)

memberikan gambaran perhitungan ekonomi dampak pemanasan gobal.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai

berikut: (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut

dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman

terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas

daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil (Diposaptono 2002). Meningkatnya

frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak

dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian

ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari

wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9

kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut

terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan

banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir

akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta

peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang

(39)

Kimpraswil (2002) mengungkapkan bahwa meluasnya intrusi air laut selain

diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya

amblesan tanah akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh,

diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan

mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara. Gangguan terhadap kondisi

sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah: (a) gangguan

terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan

Sumatera; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir

yang berada pada wilayah pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan

bagian selatan, Sulawesi bagian barat daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; (c)

hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove

seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta, gambaran ini bahkan

menjadi lebih buram apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi

pangan yang hanya berkisar 4% saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan

(d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS

Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan

swasembada pangan di Indonesia.

Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya

pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung

dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai

sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai

202.500 ha (Diposaptono 2002).

2.2 Banjir

Banjir didefinisikan sebagai aliran air yang sangat tinggi pada danau,

tambak, waduk dan badan air lainnya, dimana genangan air berada di luar dari

tubuh air itu sendiri. Di berbagai negara, banjir ini merupakan fenomena yang

sangat merusak dan menimbulkan dampak sosial, fisik dan ekonomis penduduk

(Smithdan Ward 1998).

Penyebab umum banjir/genangan adalah aliran yang melebihi daya tampung

(40)

naik tidak normal (Chow et al. 1988). Smith dan Ward (1998) mengemukakan

berbagai hal yang menyebabkan terjadinya fenomena:

1. Kejadian Klimatologis, curah hujan yang tinggi dan dalam waktu lama akan

menyebabkan banjir di sungai, sedangkan wilayah estuari dan banjir di

wilayah pesisir biasanya disebabkan kombinasi antara gelombang pasang dan

naiknya permukaan air laut yang biasanya disebabkan oleh badai.

2. Perubahan penggunaan lahan dan peningkatan populasi, perubahan lahan dari

lahan belum terbangun menjadi lahan terbangun sangat berpotensi

meningkatkan kerawanan terjadinya banjir. Berbagai lokasi yang biasanya

menjadi tempat banjir seperti estuari, dataran banjir (floodplains) dan laguna

biasanya merupakan lokasi yang disukai oleh pengembang untuk lokasi

industri dan perumahan. Urbanisasi, kerapatan bangunan, kapadatan penduduk

sangat berpengaruh terhadap kapasitas drainasi dan kapasitas infiltasi dalam

tanah.

3. Amblesan tanah (Land subsidence), amblesan tanah merupakan proses dimana

terjadi masa tanah lebih rendah dari ketinggian sebelumnya. Hal ini dapat

terjadi oleh berbagai sebab seperti pengambilan air tanah yang berlebihan atau

akibat penggenangan yang ekstensif yang terjadi di wilayah dataran banjir

aluvial dan pantai.

Menurut Suciati (2007) beberapa kawasan yang berpotensi banjir yang

diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir antara lain:

1. Daerah Pesisir/Pantai, Daerah pesisir pantai menjadi rawan banjir disebabkan

daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi muka tanahnya lebih

rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (Mean Sea

Level/MSL), tempat bermuaranya sungai-sungai, apalagi bila ditambah dengan

dimungkinkan terjadinya badai angin topan di daerah tersebut.

2. Daerah Dataran Banjir (Floodplain Area), Daerah dataran banjir adalah daerah

dataran rendah di kiri dan kanan alur sungai, yang elevasi muka tanahnya

sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat

lambat, yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir, baik oleh

(41)

3. Daerah Sempadan Sungai, Daerah Sempadan Sungai merupakan daerah rawan

bencana banjir yang disebabkan pola pemanfaatan ruang budidaya untuk

hunian dan kegiatan tertentu.

4. Daerah Cekungan, Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi (hulu sungai) dapat

menjadi daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak

terkendali dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai.

Kota Semarang dilalui oleh beberapa sungai utama, diantaranya adalah

Sungai Blorong, Sungai Beringin, Sungai Silandak, Banjir Kanal Barat / Sungai

Garang, Banjir Kanal Timur dan Sungai Babon. Berdasarkan laporan JICA (1993

in Marfai 2003) Kemungkinan debit puncak untuk masing-masing sungai

sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kemungkinan debit puncak (m3/detik)

Periode Ulang (Tahun)

Kemungkinan Debit Puncak (m3/detik)

Garang/BKB Babon BKT Silandak Bringin Blorong

5 520 407 199 68 195 431

10 630 494 240 84 237 549

20 740 552 267 94 264 628

25 770 578 280 99 277 664

50 880 630 306 110 315 73

100 980 710 342 120 342 845

Sumber: JICA 1993 dalam Marfai (2003)

Pada dasarnya pengendalian banjir merupakan sesuatu yang komplek.

Dimensi rekayasanya (engineering) melibatkan banyak disiplin ilmu teknik antara

lain hidrologi, hidraulika, teknik sungai (morfologi dan sedimentasi sungai),

sistem drainase kota, bangunan air. Disamping itu suksesnya program

pengendalian banjir juga tergantung dari aspek lain yang menyangkut sosial,

ekonomi, lingkungan, kelembagaan, hukum, dan lainnya. Terdapat empat strategi

dasar untuk pengelolaan daerah banjir yang meliputi hal–hal berikut:

 Modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (penentuan zona atau pengaturan

(42)

 Modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bangunan pengontrol

(waduk) dan normalisasi sungai;

 Modifikasi dampak banjir dengan menggunakan teknik mitigasi seperti

asuransi, dan penghindaran banjir (flood proofing);

 Pengaturan dan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya

dengan cara penghijauan.

Upaya untuk strategi dasar tersebut dapat digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Konsep pengendalian banjir

Sumber: JICA (1997)

Adapun penerapan metoda tersebut sesuai dengan kronologi kejadian banjir

ialah dapat dilihat pada Tabel 3.

2.3 Banjir Pasang

Banjir pasang atau dikenal juga dengan istilah rob didefinisikan sebagai

banjir yang melanda wilayah dengan elevasi rendah di wilayah pesisir, termasuk

estuari dan delta, yang tergenang oleh air payau atau air laut (Marfai 2004). Hal

ini berbeda dengan banjir oleh akibat meluapnya sungai sungai, banjir dalam

pengertian ini adalah merupakan perluasan dari sisi kanan dan sisi kiri dari

sungai-sungai yang bermuara ke laut atau dekat dengan daerah pantai dan sering

tergenang pada waktu terjadinya pasang naik. Banjir menyebabkan terjadinya

genangan, yang dapat didefinisikan sebagai daerah rendah dimana air yang masuk

ke tempat tersebut tidak dapat mengalir ke tempat lain. Genangan tidak hanya

(43)

disebabkan oleh adanya gejala alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu seperti

adanya tsunami (Kumar et al. 2008). Pemetaan genangan ini akan berbeda dengan

genangan banjir pasang.

Tabel 3. Penerapan metoda pengendalian banjir sesuai kronologi kejadian banjir

KRONOLOGI TUJUAN PENANGANAN

STRUKTURAL

PENANGANAN NON STRUKTURAL

Memperlambat aliran masuk ke

sungai

Sumber: Suripin (2004)

Banjir dan banjir pasang merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi

oleh masyarakat di pesisir kota Semarang. Banjir sungai dan banjir pasang dapat

dipengaruhi oleh berbagai modifikasi bentuk lahan oleh aktivitas manusia.

Modifikasi terhadap bentuk lahan dataran pesisir seperti reklamasi sangat

berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya bencana pesisir (Petrucci dan

Polemio 2007).

Pada dasarnya banjir pasang merupakan gejala alam yang biasanya terjadi

pada saat kondisi pasang tertinggi. Pada saat itu gaya gravitasi bulan terhadap

bumi sangat kuat sehingga gerak air laut ke arah pantai lebih kuat, sehingga air

(44)

laut akan naik ke daratan dengan ketinggian yang lebih rendah dari pasang

tertinggi. Selain disebabkan oleh gejala periodik, tren kenaikan muka air laut

merupakan penyebab terjadinya genangan (Titus et al. 1991)

Jenis banjir akibat pasang atau banjir pasang umumnya terjadi pada dataran

aluvial pantai yang letaknya cukup rendah atau berupa cekungan dan terdapat

banyak muara sungai dengan anak-anak sungai sehingga sehingga jika terjadi

pasang dari laut maka air. Arbriyakto dan Kardyanto (2006) menyebutkan bahwa

berkaitan dengan genangan pasang air laut menunjukkan bahwa kenaikan muka

air laut di Semarang Utara sering terjadi justru pada musim kemarau atau musim

panas, yaitu antara bulan Juli sampai dengan Nopember setiap tahun. Dalam

setiap bulannya dialami 7 sampai dengan 10 hari terjadi genangan pasang air laut.

Lamanya genangan paling singkat 1 jam terjadi pada lokasi yang berbatasan

langsung dengan laut. Lamanya genangan waktunya akan semakin panjang pada

kawasan yang jarak lokasinya ke laut semakin jauh. Dalam setiap kali genangan

air laut pasang dapat terjadi 2 sampai 3 kali.

2.4 Amblesan Tanah

Salah satu penyebab amblesan tanah adalah konsolidasi atau pemampatan

tanah dan perubahan air tanah (Marsudi, 2001), sedangkan Hirose et al. (2001)

mengemukakan bahwa penyebab utama amblesan adalah akibat campur tangan

manusia seperti pengambilan airtanah yang berlebihan dari lapisan akuifer yang

tertekan (confined aquifers). Akibat pengambilan yang berlebihan (over

pumpage), maka air tanah yang tersimpan dalam pori-pori lapisan penutup akuifer

(confined layer) akan terperas keluar dan mengakibatkan penyusutan lapisan

penutup tersebut (Hendrayana 2002). Penurunan permukaan air tanah sebagai

akibat dari penggunaan air tanah yang berlebihan, dan recharge air tanah pada

kawasan konservasi yang buruk. Tabel 4 yang menunjukkan amblesan tanah pada

berbagai titik di Kota Semarang.

Hendrayana (2002) mengungkapkan bahwa amblesan tanah tidak dapat

dilihat seketika, tetapi teramati dalam kurun waktu yang lama dan berakibat pada

daerah yang luas. Meskipun penyebab penurunan tersebut masih memerlukan

(45)

kota dunia seperti Bangkok, Venesia, Tokyo maupun Meksiko bahwa penurunan

tersebut adalah bukti amblesan tanah yang disebabkan oleh pengambilan air tanah

yang berlebihan.

Tabel 4. Rekapitulasi nilai penurunan permukaan tanah di Semarang

No Lokasi Nama

12 Jembatan Banjir

Kanal barat DTK 019 -0.9 40

Pintu Masuk P.T

HM Sampoerna TP 7 -14.0

26 Jembatn Banjir

Kanal Barat

BM

JEMBT -7.2 55 Kecamatan Tugu BM 27 -0.3

27 Dpn msjd Nurul

rahayu BM GL 3 -10.3 56 Kecamatan Tugu BM 28 -0.1

28 Prmptn Pengapon SSUDPM

P 66 -8.0 57 Kecamatan Tugu BM 29 0.0

(46)

Pada Semarang bagian utara penyusupan air asin semakin meningkat sejak

beberapa tahun terakhir, terutama pada daerah pemukiman pusat perkotaan, dan di

beberpa wilayah industri di bagian utara, miksalnya daerah sekitar muara Kali

Garang, Tanah Mas, Pengapon, Simpang Lima. Data penyusupan air asin tersebut

berdasarkan hasil pemantauan dari beberapa sumur gali penduduk yang tersebar,

maupun dari kualitas sumur bor di beberapa tempat. Akibat dari amblesan tanah

tersebut turut menyebabkan besar dan luasan genangan oleh air laut (Hussein dan

Rabenhorst 2001).

2.5 Kerentanan Pesisir 2.5.1 Konsep Kerentanan

Kerentanan adalah konsep yang sangat luas yang dapat diringkas sebagai

kualitas atau kondisi menjadi terluka atau kemudahan terkena luka atau cedera

fisik seperti yang terdapat dalam Kamus Oxford (2006) “the quality or state of

being wounded or susceptible of receiving wounds or physical injury”.

Konsep kerentanan telah didefinisikan dalam beberapa cara, dan telah banyak

diterapkan pada lokasi, kota, orang dan lingkungan fisik, sehingga teknik untuk

mengukurnya juga bervariasi sesuai dengan disiplin untuk menilai kerentanan.

Dalam BNPB (2007) mendefinisikan kerentanan sebagai suatu keadaan yang

ditimbulkan oleh kegiatan manusia (hasil dari proses proses fisik, sosial,

ekonomi, dan lingkungan) yang mengakibatkan peningkatan kerawanan

masyarakat terhadap bahaya.

Istilah Kerentanan merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam

disiplin ilmu yang terkait dengan bencana alam, bahaya atau penelitian mengenai

fenomena perubahan. Dalam mengkaji kerentanan pesisir telah dihasilkan

berbagai indeks, metodologi atau panduan untuk menilai suatu kerentanan dari

topik mereka kepentingan. Indek ini sangat tergantung kepentingan dan tujuan

kajian. Lacambra et al. (2007) mengemukakan berbagai kerentanan dan beberapa

penulis yang pernah melakukan penilaian kerentanan terhadap berbagai faktor

seperti terlihat pada Tabel 5.

Penilaian kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim melibatkan beberapa

(47)

berbeda di berbagai wilayah ilmiah yang digunakan dan terkait erat dengan

konsep lain, seperti bahaya, risiko dan ketahanan.

Tabel 5. Pendekatan terhadap kerentanan sesuai dengan klasifikasi berbagai disiplin ilmu

Indek Kerentanan Pengarang

Kerentanan Socioeconomic Adrianto and Matsuda, 2002; Blaikie et al., 1994; Cardona, 2003; FAO, 2001; Frasser, 2003; Lavell, 1992; Wei et al. 2003; Wilches-Chaux, 1989.

Kerentanan Fisik Alcantara-Ayala, 2002; Blaikie et al. 1994; Bush et al., 1999; Cutter, 2001; Fraser et al., 2003; IPCC, 2001; Perez, no date; Salomon and Forbes, 1999; Scheigdegger, 1994; Uitto, 1998; UNCHS, 2001; USGS, 2001. Kerentanan Terkait Lingkungan Blaikie et al. 1994; Brooks et al. 2005; Callow, 1998;

Hossain, 2001; IPCC, 2001; Kaly et al., 2002a; Kaly et al., 2002b; Livingston et al., 2005; Papathoma and Dominey-Howes, 2003; UNCHS, 2001; UNEP, 2002 & 2005; Wilches-Chaux, 1989

Kerentanan Infrastruktur Blaikie et al. 1994; Cannon, 1991; Davidson, 1997; FAO, 2001; IDNDR & ISDR, 1999; MMPND & UNDP, 1999; Papathoma et al., 2003; Papathoma & Uitto, 1998; Wilches-Chaux, 1989

Pespektif kejadian tertentu Alcantara-Ayala, 2002; Cardona, 2003; Davidson, 1997; IDNDR and ISDR, 1999; Invemar, 2003; Klein and Nicholls, 1999; Lavell & Cardona, 2000; Lozano, 2003; Nyong, 2005; Scheigdegger, 1994; Uitto, 1998; UNCHS, 2001.

Bencana Alam Brooks et al., 2005; Briguglio, 2003; Cardona, 2003. Kejadian Bencana Alam tertentu FAO, 2001; IPCC-CZMS, 1992; Papathoma &

Dominey-Howes, 2003.

Indek Global and Regional Chang, 2004; FAO, 2001; UNEP, 2005. Aplikasi pada berbagai skala

cakupan

Cardona, 2003; Chang, 2004; IDNDR & ISDR, 1999; Invemar, 2003; IPCC-CZMS, 1992; Lavell, 1992; UNEP, 2005.

Aplikasi pada skala cakupan negara IPCC-CZMS, 1992; UNEP, 2005; IDNDR and ISDR, 1999; Invemar, 2003

Analisa kerentanan Multidisciplin Blaikie et al., 1994; Briguglio, 2003; Brooks et al., 2005; Hossain, 2001; IPCC-CZMS, 1992; Mancilla, 1996; Me-Bara and Valdez, 2005; UNEP, 2002 & 2005.

Sumber : Lacambra et al. (2007)

Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi

mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan

(BNPB 2007). Bahaya dapat dari asal teknologi atau berhubungan dengan

(48)

khusus dipengaruhi oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut,

menyebabkan ancaman dan kerusakan penduduk, lingkungan dan atau aset

material (Schmidt-Thome dan Kallio 2006).

Konsep risiko menggabungkan probabilitas terjadinya suatu peristiwa

dengan kemungkinan dampak atau konsekuensi yang terkait dengan acara yang

sama (ETC-ACC 2010). Risiko itu adalah sangat berhubungan dengan kuantitatif,

bila memungkinkan, misalnya melalui analisis dataset historis atau estimasi

kualitatif probabilitas peristiwa yang mungkin. Dalam disiplin penanggulangan

bencana (disaster management), risiko bencana adalah interaksi antara tingkat

kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada. Ancaman bahaya,

khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami

pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal

maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi,

sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat

(BNPB 2007). Ketiga variabel tersebut digambarkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Interaksi konsepsi kerentanan, ancaman bencana dan ketidakmampuan

Bahaya menunjukkan kemungkinan terjadinya kejadian baik alam maupun

buatan di suatu tempat. Kerentanan menunjukkan kerawanan yang dihadapi suatu

masyarakat dalam menghadapi ancaman tersebut. Ketidakmampuan merupakan

kelangkaan upaya atau kegiatan yang dapat mengurangi korban jiwa atau

kerusakan. Dengan demikian maka semakin tinggi bahaya, kerentanan dan

(49)

Berdasarkan potensi ancaman bencana dan tingkat kerentanan yang ada,

maka dapat diperkirakan risiko ‘bencana’ yang akan terjadi di wilayah

Indonesia tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah Indonesia yang tinggi

tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah wilayah

tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang

sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya

risiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat . Banyak

penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang

rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah,

atau peluang lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut. Matrik pengambilan

keputusan dengan mempertimbangkan berbagai faktor dapat digambarkan pada

Gambar 5.

K

ER

EN

TA

N

A

N Tinggi

Sedang

Rendah

Rendah Sedang Tinggi

BAHAYA

Risiko Rendah Risiko Sedang Risiko Tinggi

Gambar 5. Matriks antara tingkat kerentanan dan bahaya

Dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana, maka upaya yang dapat

dilakukan adalah melalui pengurangan tingkat kerentanan, karena hal tersebut relatif

lebih mudah dibandingkan dengan mengurangi atau memperkecil bahaya. Konsep

tersebut dapat digambarkan pada Gambar 6.

(50)

Ketahanan dapat digambarkan sebagai jumlah gangguan bahwa sebuah

sistem dapat menyerap sementara masih tersisa di negara yang sama atau

mempertahankan fungsinya. Dalam kata lain, sejauh mana sistem mampu

reorganisasi dan pembaruan atau sejauh mana sistem dapat membangun dan

meningkatkan kapasitas adaptif (ETC-ACC 2010). Mengingat hubungan erat

antara ketahanan dengan kapasitas adaptif alam, beberapa penulis

menggunakannya sebagai sinonim (Nicholls et al. 2008), hal ini digambarkan

pada kerangka konseptual seperti pada Gambar 7.

Gambar 7. Framework konseptual untuk dampak perubahan iklim, kerentanan, resiko bencana dan pilihan adaptasi

(Sumber: EEA 2010; ETC-ACC, 2010).

Nicholls et al. (2008) mengemukkan berbagai adaptasi yang dapat

dilakukan pada wilayah pesisir seperti terlihat pada Gambar 8. Untuk dapat hidup

secara aman dan nyaman selaras dengan perubahan yang terjadi dimuka bumi,

maka diperlukan pemahaman terhadap lingkungan alam dan kecepatan perubahan

yang terjadi di bumi serta mampu menyesuaikan diri dari karakteristik perubahan

alam tersebut. Berkaitan dengan reaksi manusia terhadap bencana alam yang

mungkin terjadi lingkungan tempat tinggalnya antara lain (Noor 2008):

1. Menghindar(avoidance), reaksi manusia terhadap potensi bencana alam yang

(51)

membangun dan menempatkan bangunan di tempat-tempat yang berpotensi

terkena bencana alam seperti daerah banjir, daerah rawan longsor atau daerah

rawan gempa.

2. Stabilisasi (stabilization), beberapa bencana alam dapat diseimbangkan

dengan menerapkan rekayasa keteknikan, seperti di daerah-daerah yang

berlereng dan berpotensi longsor, yaitu dengan cara membuat kemiringan

lereng menjadi landai dan stabil sehingga kemungkinan longsor menjadi kecil.

3. Penetapan Persyaratan Keselamatan Struktur Bangunan (provision for safety

in structures), dalam banyak kasus bangunan yang akan didirikan di

tempat-tempat yang berpotensi terjadi bencana alam seperti gempa bumi, maka

struktur bangunan harus dirancang dengan memperhitungkan keselamatan

jiwa manusia, yaitu dengan bangunan yang tahan gempa.

4. Pembatasan penggunaan lahan dan penempatan jumlah jiwa (limitation of

land-use and occupancy), jenis peruntukan lahan, seperti lahan pertanian atau

lahan pemukiman dapat dilakukan dengan cara membuat peraturan peraturan

yang berkaitan dengan potensi bencana yang mungkin timbul. Penempatan

jumlah jiwa per hektar dapat disesuaikan untuk mengurangi tingkat bencana.

5. Membangun Sistem Peringatan Dini (establishment of early warning system).

Beberapa bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindakan

darurat dilakukan. Banjir, Angin Puyuh, Gelombang Laut, serta Erupsi

Gunung api adalah beberapa jenis bencana alam yang dapat diprediksikan.

Sistem Peringatan Dini telah terbukti efektif dalam mencegah dan

meminimalkan bencana yang akan terjadi di suatu daerah, seperti banjir dan

gelombang laut di daerah-daerah pantai.

2.5.2 Kerentanan Pesisir Akibat Kenaikan Muka Air Laut

Daerah pesisir yang dinamis dan kompleks merupakan suatu sistem yang

multifungsi. Berbagai kegiatan sosial-ekonomi yang berhubungan dengan

manusia seperti urbanisasi, pariwisata dan kegiatan rekreasi, produksi industri,

produksi energi dan pengiriman, kegiatan pelabuhan, pelayaran, pertanian, terjadi

di daerah ini. MEA (2005) menyebutkan bahwa sistem pesisir ditandai dengan

(52)

merupakan hal yang fundamental untuk mempertahankan proses pantai dan

memberikan jasa ekosistem yang penting juga untuk kesejahteraan manusia.

Kegiatan manusia sering bertentangan dengan kebutuhan untuk melestarikan

sistem alam pesisir dan proses ekologi mereka.

Gambar 8. Evolusi praktek adaptasi yang direncanakan pada wilayah pesisir Sumber: Nicholls et al. (2008).

Penilaian kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim adalah karena itu

merupakan isu kunci di tingkat Eropa (EEA 2010). Berbagai model telah

dikembangkan untuk menilai tingkat kerentanan suatu wilayah pesisir terhadap

perubahan iklim (Gornitz et al. 1991; Ozyurt dan Ergin, 2009; Gutierrez et al.

2009; Szlafsztein 2005) Kenaikan permukaan laut saat ini salah satu tekanan

perubahan iklim yang paling penting di pantai Eropa. Hal ini diperkirakan akan

terus meningkat dan mempercepat selama abad ini akibat peningkatan suhu

(53)

Garis pantai terus berubah karena beberapa faktor seperti tinggi gelombang

dan arah, kecepatan angin, kedalaman air, suplai sedimen, penghapusan dan

transportasi di sepanjang pantai, kekuatan gelombang, laju perubahan permukaan

laut relatif, serta curah hujan dan frekuensi dan intensitas kejadian meteorologi

dan iklim ekstrim, termasuk badai. Selain itu ekosistem pesisir juga sangat sensitif

terhadap kenaikan suhu permukaan laut, pengasaman laut, intrusi air asin, tabel air

naik dan untuk pola limpasan diubah (ETC-ACC 2010).

Penilaian kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim terutama berpusat

pada kajian kenaikan permukaan laut relatif dan absolut dan kurang terfokus pada

dimensi perubahan iklim lainnya bahkan kurang pada perubahan lingkungan dan

sosial-ekonomi non-iklim (Nicholls et al., 2008). Sistem pesisir menderita tekanan

besar dari efek langsung dan tidak langsung yang dihasilkan oleh tekanan manusia

disebabkan beberapa faktor seperti populasi, pertumbuhan ekonomi dan

perubahan pemanfaatan lahan. Dengan demikian, secara umum, penilaian

kerentanan pesisir harus mengadopsi pendekatan terpadu dengan

mempertimbangkan perkembangan iklim dan non-iklim akibat perubahan

lingkungan, sosial-ekonomi dan saling interaksi antara faktor-faktor ini. Analisis

dipisahkan berdasarkan setiap tipologi penyebab perubahan iklim yaitu faktor

lingkungan dan sosial-ekonomi lainnya. Pendekatan yang digunakan benar-benar

atau sebagian terpadu atau penyebab khusus berfokus pada perubahan iklim.

Ekosistem pesisir alami seperti pantai, pulau-pulau penghalang, lahan basah,

muara dan delta dapat secara total atau sebagian mengatasi dan menyesuaikan diri

dengan kenaikan permukaan laut relatif dengan tumbuh vertikal, bermigrasi

pedalaman atau memperluas secara lateral. Namun, kapasitas adaptif alami

tergantung pada tingkat kenaikan permukaan laut, jika ini akan lebih cepat

daripada tingkat proses alami maka ekosistem alam tidak akan mampu melawan

efek negatif yang disebabkan oleh kenaikan permukaan laut. Kerentanan akibat

kenaikan permukaan air laut dapat diperparah oleh kepadatan penduduk yang

tinggi di sepanjang pantai, kehadiran infrastruktur, kerentanan wilayah pesisir

terhadap badai dan stres lingkungan seperti curah hujan ekstrim, kekeringan atau

spesies invasif dan efek lain umumnya disebabkan oleh perubahan iklim

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1. Penelitian terkait dengan pemetaan genangan akibat bajir pasang
Tabel 3. Penerapan metoda pengendalian banjir sesuai kronologi kejadian banjir
Tabel 4.  Rekapitulasi nilai penurunan permukaan tanah di Semarang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ikan nila di Indonesia merupakan salah satu ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis penting. Berbagai upaya terus dilakukan dalam meningkatkan produksi ikan

Ini berarti perusahaan harus lebih memperhatikan insentif yang diberikan kepada karyawan.Perusahaan harus memberikan dorongan pada karyawan agar mau bekerja dengan

Pada penelitian memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui kelayakan Modul Ajar Kompetensi Menata Sanggul Dendeng Modifikasi di SMK Jurusan Tata Kecantikan Rambut yang meliputi

298 Jawa Barat Bekasi RB 24 Jam Permata Bunda Cimuning (Permata Bunda Group) Perum Bekasi Timur Regency Blok B 5 No. Legenda Raya, No. Adam Thalib Jl. Festival Boulevard Blok Ja

menimbulkan kegoncangan karena hal tersebut telah menyimpang dari ketentuan yang ada. Pengabaian tugas seorang kepada orang lain merupakan penyebab utama terjadinya

Jika setiap titik sampel dikalikan 3 dan dikurangi 2, apa yang dapat anda katakan tentang nilai mean dan deviasi standar dari data sampel yang

ini peneliti mengambil data berdasarkan pencatatan langsung dari hasil pengolahan citra dengan deteksi tepi sobel dan canny secara visual maupun perhitungan MSE dan

Tingkat bagi hasil dan komunikasi pemasaran terpadu secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan nasabah untuk menabung pada Bank Muamalat