• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kadar Asam Urat Pada Pasien Laki-Laki Yang Berusia ≥ 40 Tahun Dengan Indikasi Rawat Inap Yang Telah Didiagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol Di Rsup H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Kadar Asam Urat Pada Pasien Laki-Laki Yang Berusia ≥ 40 Tahun Dengan Indikasi Rawat Inap Yang Telah Didiagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol Di Rsup H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2014"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

A. Riwayat Pribadi

Nama : TINESHRAJ A/L SELVARAJAH NIM : 120100541

Tempat/ Tgl lahir : Malaysia, 16 Desember 1992 Agama : Hindu

Alamat : Ampang, Selangor, Malaysia

B. Riwayat Pendidikan 1997 Tadika Ixora

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

Frequencies

Statistics

UMUR KADARHBA1C KADARASAMURAT

N Valid

67 67 67

Missing 0 0 0

Mean 56.21 9.093 8.328

Std. Deviation 9.073 2.3906 2.8734

Frequency Table

UMUR_KATEGORI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

40-49 tahun 16 23.9 23.9 23.9

50-59 tahun 26 38.8 38.8 62.7

60-69 tahun 18 26.9 26.9 89.6

> 70 tahun 7 10.4 10.4 100.0

(11)

KADARHBA1C_KATEGORI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

TERKONTROL 12 17.9 17.9 17.9

TIDAK TERKONTROL

55 82.1 82.1 100.0

Total 67 100.0 100.0

KADARASAMURAT_KATEGORI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

NORMAL 35 52.2 52.2 52.2

HIPERURISEMIA 32 47.8 47.8 100.0

(12)

T-Test

Group Statistics

KADARHBA1C_KATEGORI N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KADARASAMURAT TERKONTROL

12 8.192 2.3854 .6886

(13)

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Diffe Lower

KADARASAM URAT

Equal variances

assumed

.089 .766 -.181 65 .857 -.1665 .9223 -2.0084

Equal variances not assumed

-.209 19.35 8

(14)

RINCIAN BIAYA

NO BIAYA JUMLAH/COST

1 Printing, dan fotocopy termasuk jilid & jilid senyawa

Rp 120,000.00

2 Pembayaran survey awal di RSUP Adam Malik, Medan

Rp 30,000.00

3 Transport untuk pergi jumpa dosen dan ke RSUP Adam Malik

Rp 90,000.00

4 Pembayaran untuk ethical clearance bagi melaksanakan hasil penelitian

Rp 50,000.00

5 Pembayaran melakukan survey data di RSUP Adam Malik, Medan

(15)

American Diabetes Association, 2011. Diagnosis And Classification Of Diabetes

Mellitus. Diabetes Care, 34. p:62-69.

American Diabetes Association, 2001. Diabetes 2001 Vital statistics.

Alexandra, VA: ADA. Available from: www.clinical.diabetesjournals.org. [Accessed from : 6 May 2015].

Al Homsi, M.F., Lukic, M.L., 2007. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus, Department of Pathology and Medical Microbiology (Immunology Unit)Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United Arab Emirates.

Causevic, A., Semiz, S., Macic, D. A., et al., 2010. Revalence of Uric Acid in Progression of Type 2 Diabetes Mellitus. Bosn J Basic Med Sci. 10(1): p:54-59.

Cervantes JAR, Zavala MGR, Ortiz MG, Abundis EM, Sandoval CV, Chavez AT, et al. Relationship between serum concentration of uric acid and insulin secretion among adults with type 2 diabetes mellitus. Int J Endocrinol 2011. Article ID 107904. doi: 10.1155/2011/107904.

Choi HK, De Vera MA, Krisnan E. Gout and the risk of type 2 diabetes among men with a high cardiovascular risk profile. Rheumatology 2008;47. p:567-70.

Dahlan, S.M. 2009. Hipotesis Koelatif. Dalam: Dewi, I.J., Editor. Statistik untuk Kedoktean dan Kesehatan, Edisi ke-4. Jakarta. Salemba Medika. 155-174.

DeFronzo RA, Bonadonna RC, Ferrannini E., 2002. Pathogenesis of NIDDM. In: Alberti KGMM, Zimmet P, DeFronzo RA, eds. International Textbook of Diabetes Mellitus. 2nd Edition. Chichester: John Wiley. p: 635–712.

Depkes RI., 2008. Diabetes Mellitus Ancaman Umat Manusia di Dunia. Available from:

(16)

Departemen Kesehatan RI, 2008.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta.

Available from: http

Kesehatan %2 0Indonesia%202008.pdf. [Accessed from :2 Mei 2015].

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2006. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006, Semarang. Available from

il/prov%20jateng%202006. Pdf. [Accessed from: 2 Mei 2015].

Fatmawati, Ari. 2010. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Pasien Raw at Jalan

(Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak. Tesis Universitas

Negeri Semarang.Available from: from : 16 September 2015].

Feig, D.I., Mazzali, M., Kang, D.H., Nakagawa, T., Price, K., Kannelis J.,Johnson, R.J. 2006.

Serum Uric Acid: A Risk Faktor and a Target for Treatment?. J Am Soc Nephrol, 17.p: 69-73.

Gill A, Kukreja S, Malhotra N, Chhabra N. Correlation of the scrum insulin and the serum uric acid levels with the glycated haemoglobin levels in the

patients of type 2 diabetes mellitus. J Clin Diagnos Res 2013;7. p:1295-7.

Guyton, A., 2002. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, edisi ke 3, Jakarta, Penerbit EGC. p:699, 705-706.

Hidayati Siti Nurul, Irawan Rudi, Hidayat Boerhan, 2004. Obesitas pada Anak. Surabaya:

Universitas Airlangga. Available from:

2 May 2015].

Hidayat, I., 2012. Kadar Asam Urat pada DM Tipe 2 yang Mengalami Stroke Iskemik. Universitas Sumatera Utara. Available from: www.eprints.ums.ac. id/23954/13/NaskahPublikasi

International Diabetes Federation, 2008. Diabetes Prevalence. Available from: . [Accessed from : 3 May 2015].

(17)

John R, Fogelfeld, L. Inpatient management of diabetes and hyperglycemia. Dis Mon

2004,50. p: 438-479.

Johnson, R. J., Kang, D. H., Feig, D., et al., 2003. Is There A Pathogenetic Role for Uric Acid in Hypertension and Cardiovascular and Renal Disease? Hypertension. 41.p:1183-90.

Katzung, B.G., and Trevor, A.J., 2002. Drug Interactions in Pharmacology, Sixth Edition, 531, Lange Medical Book/McGraw-Hill, New York.

Kee JLF, 2008, 'Nilai Rujukan Asam Urat Serum' dalam Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik (Laboratory and Diagnostic Test with Nursing

Implications), eds. 6, EGC. p:447 - 8.

Kim, S. Y., Guevara, J. P., Kim, K. M., et al., 2009. Hyperuricemia and Risk of Stroke: A Systematic Review and Meta-Analysis. American College of Rheumatology. 61(7). p:885-892.

Lehto, S., Niskanen, L., Ronnemaa, T., Laakso, M., 2006. Serum Uric Acid is A Strong Predictor of Stroke in Patients with Non-Insulin-Dependent Diabetes MellitusStroke. 29: p:635-9.

Lipska KJ, Bailey CJ, Inzucchi SE. Use of metformin in the setting of mild-to-moderate renal insufficiency. Diabetes Care 2011.34. p:1431-1437.

PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

Indonesia. Jakarta.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI, Jakarta 2006. p:1-47.

(18)

pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of Physiology and Pathophysiology. 4 (4). p:46-55.

Riskesdas. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007: Laporan Propinsi Jawa Tengah. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Available from:

Sautin, Y. Y., Richard, J. J., 2008. Uric Acid: The Oxidant-Antioxidant Paradox. Nucleosides Nucleotides Nucleic Acids. 27(6).p: 608-19.

Smeltzer, S.C., dkk, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sukarmin, S.R.,2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Prankreas. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sudoyo, A.W., Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;. p: 1874-1878.

Susworo, 2005. Hipertensi sebagai Faktor Resiko Stroke di RSUD Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Tesis. Universitas Diponegoro. Available from: www. journal.ui.ac.id>health>article>viewFile. [Accessed from: 4 May 2015].

Vitahealth, 2005, Asam Urat, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Available from:

https://books.google.com.id>books/vitahealth/2005/id. [Accessed : 28 May 2015].

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002.Obat-obat Penting , Edisi kelima, 48,Penerbit PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. p :702-703.

(19)

Cardiovascular Disease. Q J Med, 93.p:707-713.

World Health Organization, 2006.Definition and diagnosis of diabetes Mellitus and intermediate hiperglycaemia, Report of WHO/IDFConsultation 2006. Available

from:

World Health Organization. Diabetes Mellitus: Report of a WHO Study Group. Geneva:

WHO, 2014. Technical Report Series 727. Available from:

Yusuf, I., 2008. Hipertensi Sekunder. Medicinus. 21(3). p:71-79.

Zahtamal, Chandra, F., Suyanto, dan Restuastuti, T. 2007. Faktor-Faktor Risiko Pasien Diabetes Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 23, No. 3.p:142-147.

(20)

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variable Independent Variable Dependent

Skema 3.1: Kadar Asam Urat Dengan Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 3.1.1. Variabel yang diteliti

a) Variabel Independen:

• Diabetes Melitus Tipe 2 terkontrol • Diabetes Melitus Tipe 2 tidak terkontrol

b) Variabel Dependen: • Kadar Asam Urat

3.2. Definisi Operasional dan Variabel

Sesuai permasalahan dan tujuan maka sebagai pedoman awal pengumpulan informasi digunakan definisi operasional dan variabel yang dikembangkan seperti uraian di bawah ini:

1.Kadar Asam Urat

1. Diabetes Melitus Tipe 2 terkontrol

2. Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak terkontrol

(21)

Definisi Operasional : Asam urat adalah metabolisme hasil pecahan purin dalam darah dari penderita didiagnosa Diabetes Mellitus Tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol

Cara pengukuran : Pengukuran dilakukan dari hasil observasi rekam medis

Alat ukur : Rekam medis Skala ukur : Ordinal 2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Definisi Operasional : Penderita Diabetes Melitus pada penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol yang sudah didiagnosa di Divisi Endokrin Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik,Medan. Cara pengukuran : Pengukuran dilakukan dari hasil observasi

pengukuran HbA1c rekam medis Alat ukur : Rekam medis

Skala ukur : Nominal

3. Jenis Kelamin

Definisi Operasional : Adalah tanda fisik yang teridentifikasi pada pasien dan dibawa sejak dilahirkan. Dicatat hanya jenis kelamin pria.

(22)

Alat ukur : Rekam medis Skala ukur : Nominal 4. Umur

Definisi Operasional :Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir. Perhatian diberikan kepada umur lebih dari 40 tahun yang termasuk dalam penelitian.

Cara pengukuran : Pengukuran dilakukan dari hasil observasi Alat ukur : Rekam medis

Skala ukur : Ordinal

3.3. Hipotesa Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan kadar asam urat pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol.

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan desain retrospective study.

(23)

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Divisi Endokrin Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik, Medan.

4.2.2 Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah dari bulan Agustus 2015 hingga November 2015.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien laki-laki berumur ≥ 40 tahun yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dalam rekam medis rawat inap di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik, Medan.

4.3.2 Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dengan seluruh pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSUP H. Adam Malik, Medan periode Januari 2014 sehingga Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

a) Kriteria inklusi

• Data-data rekam medis seperti jenis kelamin,umur ,kadar asam urat dan kadar HbA1C pada pasien yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2014.

• Pasien DM tipe 2 yang memiliki riwayat rawat inap

• Rentang waktu rawat inap adalah periode Januari-Desember 2014 • Pasien laki-laki dengan DM tipe 2 indikasi rawat inap umur ≥40 tahun • Data kadar asam urat dalam rekam medis

(24)

• Data-data pemeriksaan laboratorium selain daripada persentase atau nilai kadar asam urat dan kadar HbA1C pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2.

• Pasien yang tidak memiliki data lengkap dalam rekam medis di RSUP H. Adam Malik, Medan.

4.4Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari Institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Data diperoleh adalah data sekunder dari rekam medis pasien yang tercatat di RSUP H. Adam Malik, Medan. Awal pengumpulan data dilakukan di Intalasi Rekam Medis untuk mencatat nomor registrasi, usia, jenis kelamin, dan keterangan seluruh pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Setelah rekam medis didapatkan, dilakukan pencatatan variabel yang dibutuhkan yaitu jenis kelamin, umur dan kadar asam urat.

4.5.Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul dicatat dan dilakukan editing dan coding, kemudian dimasukkan ke dalam program computer SPSS Windows untuk dianalisis lebih lanjut. Jenis analisis statistik yang digunakan adalah statistik analitik dengan distribusi frekuensi.

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

(25)

tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014, dimana penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan September hingga November 2015. Selama periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014 didapatkan 138 pasien laki-laki yang berusia lebih dari 40 tahun dengan diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 yang dirawat inap. Sebanyak 67 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan 71 pasien tidak dapat dimasukkan ke dalam kriteria inklusi penelitian karena termasuk dalam kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi yang dimaksud adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap, yaitu tidak dilampirkannya hasil laboratorium pasien dan tidak diperiksanya kadar HbA1c dan kadar Asam Urat.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan adalah sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan. RSUP Haji Adam Malik mulai berfungsi dengan pelayanan rawat jalan sejak tanggal 17 Juni 1991. Mulai tanggal 2 Mei 1992, rumah sakit ini turut menyediakan pelayanan rawat inap.

RSUP Haji Adam Malik, Medan berdiri sebagai rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, RSUP Haji Adam Malik, Medan juga sebagai Pusat Rujukan Wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Naggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Pada tahun 1993, Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan dipindahkan ke rumah sakit ini secara resmi.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

(26)

didiagnosis dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 dan hanya 67 orang penderita yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

5.1.2.1. Distribusi Penderita berdasarkan Kelompok Umur Tabel 5.1. Distribusi Penderita berdasarkan Umur

Dari tabel 5.1. dapat memperlihatkan bahwa frekuensi tertinggi penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 terdapat pada kelompok umur 50-59 tahun sebanyak 26 orang penderita (38,8%) dan diikuti oleh kelompok umur 60-69 tahun sebanyak 18 orang penderita (26,9%).Diikuti selanjutnya dengan kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 16 orang penderita (23,9%) dan yang frekuensi terendah terdapat pada kelompok umur ≥70 tahun sebanyak 7 orang penderita (10,4%).

5.1.2.2. Distribusi Frekuensi Penderita berdasarkan Kadar HbA1C Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita berdasarkan Kadar HbA1C Kadar HbA1C Frekuensi(n) Persentase (%) Umur (tahun) Frekuensi(n) Persentase (%) 40-49 tahun 16 23,9 50-59 tahun 26 38,8 60-69 tahun 18 26,9 ≥70 tahun 7 10,4

(27)

Terkontrol ( ≤7% ) 12 17,9 Tidak Terkontrol ( >7% ) 55 82,1 TOTAL 67 100

Dari tabel 5.2. dapat dilihat bahwa dari frekuensi terbanyak terdapat pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak terkontrol yaitu sebanyak 55 orang penderita (82,1%) dibandingkan dengan frekuensi terendah adalah terdapat pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 terkontrol sebanyak 12 orang penderita ( 17,9%).

5.1.2.3. Distribusi Frekuensi Penderita berdasarkan Kadar Asam Urat. Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita berdasarkan Kadar Asam Urat.

Kadar Asam Urat Frekuensi(n) Persentase (%)

Normal 35 52,2 Hiperurisemia 32 47,8 TOTAL 67 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa dari 67 orang penderita Diabetes Mellitus Tipe 2, didapati bahwa sebanyak 35 orang penderita ( 52,2 %) mempunyai kadar asam urat kadar asam urat normal (< 7 mg/dL) dibandingkan dengan jumlah frekuensi penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan kadar asam urat tinggi (> 7 mg/dL) atau hiperurisemia sebanyak 32 orang penderita (47,8%). 5.1.3. Distribusi Kadar Asam Urat pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak

(28)

Tabel 5.4. Distribusi Kadar Asam Urat pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Kadar Asam Urat Terkontrol Tidak Terkontrol Jumlah (N) Persentase (%)

Normal 8 27 35 52,2 Hiperurisemia 4 28 32 47,8

TOTAL 12 55 67 100 Berdasarkan Tabel 5.4. di atas, dapat dilihat jumlah pada penderita kadar asam urat yang normal dengan DM tipe 2 terkontrol sebanyak 8 orang dan DM tipe 2 tidak terkontrol pula adalah sebanyak 27 orang. Pada penderita hiperurisemia yaitu dengan kadar asam urat yang tinggi dengan DM tipe 2 terkontrol sebanyak 4 orang dan DM tipe 2 tidak terkontrol pula sebanyak 28 orang.

5.1.4. Perbedaan Kadar Asam Urat pada DM tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol

Hasil analisa data dengan menggunakan independent t-test menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kadar asam urat pada pasien yang menderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol.

Tabel 5.5. Perbedaan Kadar Asam Urat pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang Terkontrol dan Tidak Terkontrol

(29)

Kadar Asam Urat -0.1665 -0.181 0.857

Berdasarkan Tabel 5.5., didapati nilai p (2-tailed) untuk kadar Asam Urat penderita adalah 0.857, lebih besar dari p < 0.05

5.2. PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2014, diperoleh data mengenai perbedaan kadar asam urat pada pasien laki-laki berumur ≥ 40 tahun dengan indikasi rawat inap yang didiagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Data-data tersebut akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini dan dijabarkan sebagai berikut.

5.2.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Umur

Kelompok umur tertinggi yang menderita dari Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah 50-59 tahun dengan angka sebanyak 26 orang (38,8%) dan diikuti dengan kelompok umur 60-69 tahun dengan jumlah 18 orang (26,9%).Distribusi penderita berdasarkan umur 40=49 tahun adalah sebanyak 16 orang (23,9%) dan terendah adalah kelompok umur ≥70 tahun sebanyak 7 orang (10,4%). Menurut Fatmawati (2010) ,bahwa faktor resiko diabetes muncul setelah seseorang memasuki usia rawan yaitu setelah 40 tahun.Hal ini terjadi karena orang pada usia ini kurang aktif, berat badan akan bertambah dan massa otot akan berkurang serta akibat proses menua yang mengakibatkan penyusutan sel-sel beta yang progresif.

Pada penelitian Zahtamal (2007) terhadap 152 respondan yang menunjukan bahwa kejadian DM Tipe 2 pada pasien yang dirawat di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau bermakna secara statistik, dimana orang yang berumur ≥40 tahun memiliki risiko 6 kali lebih besar terkena penyakit DM Tipe 2.

(30)

Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof.Dr.R.D Kandou Manado,bulan November-Desember 2012 ditemui kasus terbanyak pada penderita yang memiliki umur ≥45 tahun dengan persentase paling besar (56,3%).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Awad (2011) yang menunjukkan peningkatan jumlah pasien DM Tipe 2 pada pasien kelompok umur 51-60 tahun yaitu (33,3%) dan proporsi terendah terdapat pada kelompok umur ≤40 tahun yaitu (5,7%) dari jumlah sampel 123 pasien.

5.2.2. Distribusi Frekuensi Penderita berdasarkan Kadar HbA1C

Berdasarkan distribusi data dapat dilihat bahwa frekuensi atau proporsi terbanyak terdapat pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan kadar HbA1C lebih tinggi (>7,0%)yaitu DM Tipe 2 tidak terkontrol sebanyak 55 orang penderita (82,1%) dibandingkan dengan frekuensi terendah adalah penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan kadar HbA1C rendah (<7,0%) yaitu DM Tipe 2 terkontrol sebanyak 12 orang penderita ( 17,9%). Kadar HbA1c merupakan kontrol glukosa jangka panjang, menggambarkan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, karena paruh waktu eritrosit 120 hari ( Kee JL, 2008 ).

Menurut Soewondo P, (2004), peningkatan kadar HbA1c >8% mengindikasikan DM yang tidak terkendali atau tidak terkontrol dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau kardiopati, Penurunan 1% dari HbA1c akan menurunkan komplikasi sebesar 35%.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sukatemin (2013) menggunakan pendekatan desain case control study, di RSUD Ulin Banjarmasin bulan April-Agustus 2012, untuk nilai HbA1c secara umum dari 64 responden mayoritas memiliki nilai HbA1c abnormal (> 6,5%) yaitu sebanyak 35 orang (54,7%), sedangkan normal sebanyak 29 orang (45,3%).Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (nilai HbA1c, hiperglikemia, dislipidemia dan status vaskuler) terhadap kejadian ulkus kaki diabetes.

(31)

Dari distribusi data kadar asam urat didapati sebanyak 35 orang (52,2%) penderita DM Tipe 2 mempunyai kadar asam urat yang normal serta penderita DM Tipe 2 dengan kadar asam urat yang tinggi atau hiperurisemia adalah sebanyak 32 orang (47,8%). Asam urat merupakan salah satu antioksidan yang alami jika konsentrasi yang bersirkulasi dalam darah adalah normal. Fungsi dari antioksidan utama dalam tubuh ini adalah melindungi sel tubuh dari kerusakan oksidatif. Peningkatan kadar asam urat secara kronik ternyata berhubungan dengan risiko stroke atau dapat bersifat prooksidatif pada kondisi tertentu, khususnya bila antioksidan lain berada dalam level yang rendah (Waring, 2000; Sautin dan Richard, 2008).

Peningkatan asam urat serum atau hiperurisemia merupakan hal yang umum ditemukan pada penderita DM tipe 2 (Lehto et al, 2006). Asam urat diduga berpotensi menyebabkan disfungsi endotel, metabolisme oksidatif, adhesi platelet, dan agregasi (Kim et al, 2009), serta dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya bermuara pada cardiovascular events. Penelitian Dahlan, (2011) bersifat observasional analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional dilakukan pada 96 orang menunjukkan bahwa kelompok pasien DM tipe 2 baik perempuan maupun laki-laki ternyata lebih banyak yang mengalami hiperurisemia dibanding normourisemia.

Penelitian Susworo, (2005) pada 138 orang penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 memperlihatkan kelompok penderita DM tipe 2 dengan stroke hemoragik juga lebih banyak yang mengalami hipertensi, yaitu sebanyak 33 orang (34.37 %), dibandingkan penderita dengan non-hipertensi yang hanya 15 orang (15.62 %).Hal ini karena menurut Feig et al. (2008), kadar asam urat yang terus tinggi pada penderita DM Tipe 2 merupakan prediktor perkembangan hipertensi, sedangkan hipertensi adalah faktor risiko untuk semua tipe stroke, terutama merupakan faktor risiko terkuat untuk stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik (Hidayati, 2011).

(32)

Dari data yang didapatkan, pada DM tipe 2 yang tidak terkontrol lebih banyak kejadian kondisi hiperurisemia daripada yang terkontrol, yaitu kejadian kadar asam urat atau hiperurisemia pada DM tipe 2 tidak terkontrol sebanyak 28 orang dan terkontrol sebanyak 4 orang dari jumlah sampel 67 orang. Dan penderita dengan kondisi kadar asam urat normal pada DM tipe 2 tidak terkontrol sebanyak 27 orang sedangkan pada DM tipe 2 terkontrol sebanyak 8 orang. Asam urat merupakan hasil metabolisme yang mengalir melalui peredaran darah, jika kadar asam urat terlalu tinggi (hiperurisemia) atau terlalu sedikit (hipourisemia) yang dibuang melalui air kencing, akan terbentuk kristal-kristal kecil dan akan mengendap pada salah satu persendian hingga menimbulkan rasa nyeri, bengkak disekitar persendian dan terjadinya kelainan bentuk persendian (Haryana Aris, 2009).

Menurut Kowalak, Jennifer P, (2011), keadaan hiperurisemia bisa ditemukan ataupun terdampak selama perjalanan penyakit-penyakit lain antaranya diabetes mellitus. Penelitian yang dilakukan oleh Schumacher (2006), melaporkan kejadian hiperurisemia pada 2-50% penderita diabetes mellitus dan yang berlanjut menjadi artritis gout 0,1 - 9% penderita. Hal ini karena asam urat yang meningkat pada DM adalah salah satu bentuk upaya tubuh untuk mengatasi oksidatif stres dan defiseinsi antioksidan yang terjadi akibat resistensi insulin dan hiperglikemi berkepanjangan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita DM Tipe 2 yang tidak terkontrol memiliki risiko 2-4 kali lebih besar mengalami keadaan kondisi hiperurisemia bersertakan dengan meningkatkan risiko kejadian komplikasi-kompliaksi (Johnson,et al, 2003). Menurut Lehto, et al,(1997),asam urat dipikirkan berkaitan dengan resistensi insulin

5.2.4. Analisa Perbedaan Kadar Asam Urat Pada Penderita DM Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol.

(33)

tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol yang berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kadar asam urat serum pada pasien DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Adanya perbedaan ini diketahui melalui uji t independen dengan membandingkan rerata kadar asam urat serum antara kedua kelompok. Kadar asam urat serum diperoleh dengan melihat hasil pemeriksaan asam urat serum pada data rekam medis pasien. Data sampel kelompok pasien DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol diperoleh melalui hasil pemeriksaan HbA1C serum pada data rekam medis pasien rawat inap tahun 2014.

Pada penelitian ini perbedaan kadar asam urat pada penderita DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol yang diuji dengan uji t independen, didapatkan nilai p= 0.857 yang artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata kadar asam urat pada pasien DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Hal ini bisa dikarenakan subjek penelitian penderita DM tipe 2 terkontrol dan tidak tidak terkontrol yang tidak sama, yaitu pada terkontrol sebanyak 12 orang dan tidak terkontrol sebanyak 55 orang.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Ismed Hidayat pada tahun 2012, dimana dijumpai perbedaan yang bermakna antara kadar asam urat pada pada pasien DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol yaitu dengan nilai p<0.05. Hal ini bisa dikarenakan data yang digunakan berbeda. Penelitian tersebut menggunakan data primer, sedangkan penelitian ini menggunakan data sekunder. Jumlah sampel yang diteliti juga berbeda. Penelitian tersebut mengambil sampel sejumlah 70 orang dengan masing-masing 35 orang tiap kelompok.

(34)

bersifat prooksidatif dan dapat menghasilkan radikal bebas dalam reaksinya dengan oksidan lain. Perubahan asam urat menjadi bersifat prooksidatif juga dapat dikarenakan kadar asam urat yang lebih dari normal (Johnson et al., 2003).Menurut Choi et al, (2008) melaporkan bahwa kadar asam urat serum meningkat dengan cukup meningkatkan kadar hemoglobin terglikasi (HbAlc) <7% dan kemudian menurun dengan meningkatnya tingkat lanjut HbAlc> 7%.

Penelitian oleh Cervantes et al.(2011), menunjukkan bahwa konsentrasi serum asam urat memiliki hubungan positif dengan fase total sekresi insulin, dengan demikian asam urat dapat memainkan peran penting dalam fungsi sel beta pada pasien dengan diabetes tipe 2. Sebuah studi pada pasien diabetes menemukan hubungan negatif dan terbalik antara asam urat serum dan HbAlc terkontrol dan tidak terkontrol. Oleh karena itu, dalam penelitian bahwa asam urat ditemukan menjadi biomarker potensial dari metabolisme glukosa. Penelitian lain di Sarajevo menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara asam urat dan kedua tingkat HbAlc dan BMI di type2 dan tipe 1 DM. Berdasarkan penelitian oleh GUI et al, (2013) , di mana HbA1c , insulin serum dan serum parameter asam urat ditemukan meningkat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan dengan tingkat mereka di kontrol . Pada pasien diabetes yang baru didiagnosa kadar asam urat serum meningkat secara linear dengan peningkatan kadar HbAlc.

(35)

penderita mengalami DM tipe 2 terkontrol atau tidak terkontrol. Oleh karena itu, penelitian ini tidak dapat mempresentasikan seluruh populasi penderita DM tipe 2 di Kota Medan ataupun Indonesia. Pada penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian hanyalah laki-laki yang berusia lebih dari 40 tahun, sehingga tidak dapat diterapkan dan mewakili seluruh populasi laki-laki secara umum.Juga penelitian ini adalah tidak adanya penilaian langsung dari faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi hasil dari kadar asam urat.

BAB 6

(36)

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian mengenai perbedaan kadar asam urat pada pasien laki-laki berusia ≥ 40 tahun indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun selama periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014 didapatkan 67 orang penderita, dapat diambil kesimpulan seperti berikut:

1)Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang terkontrol lebih sedikit mengalami kejadian kondisi hiperurisemia atau kelebihan asam urat tinggi dengan kadar asam urat >7% yaitu sebanyak 4 orang dibandingkan dengan kondisi penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 terkontrol dengan kadar asam urat normal <7 % sebanyak 8 orang.

2)Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol lebih banyak mengalami kejadian kondisi hiperurisemia atau kelebihan asam urat tinggi dengan kadar asam urat > 7% yaitu sebanyak 28 orang dibandingkan dengan kejadian kondisi penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak terkontrol dengan kadar asam urat normal <7% sebanyak 27 orang. 3)Tidak terdapatnya perbedaan kadar asam urat pada pasien laki-laki

berusia lebih dari 40 indikasi rawat inap dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol. Perbedaan tidak signifikan dengan p=0.857 (p>0.05).

6.2. Saran

(37)

terkontrol dan tidak terkontrol. Penelitian selanjutnya direkomendasikan supaya dapat memperluas populasi, dan juga tidak hanya pada satu jenis kelamin dan satu rumah sakit di satu kota saja. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lamanya seseorang tersebut menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dan juga menambahkan tahun penelitian.

2) Data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik, Medan diharapkan dapat lebih lengkap dan rapi sehingga informasi yang ingin digali dapat dibaca dengan lebih mudah, lebih sistematik dan sempurna.

3) Kalangan medis dan sejawat yang lain harus mengetahui dampak Diabetes Mellitus Tipe 2 terhadap kesehatan dan melakukan langkah pencegahan dan bimbingan yang sewajarnya.

4) Masyarakat harus peka terhadap masalah dibawa oleh Diabetes Mellitus Tipe 2 terutama pada usia lebih dari 40 tahun dan Diabetes Mellitus Tipe 2 yang tidak terkontrol yaitu terjadinya komplikasi terutama arthirits dan penyakit gout.

(38)

BAB 2

(39)

2.1. Diabetes Melitus Tipe 2

2.1.1.Definisi

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan gangguan insulin yang berbeda dengan diabetes tipe 1. Kasus diabetes tipe 2 terdapat lebih dari 90% kasus di seluruh dunia dibandingkan diabetes tipe 1. Diabetes tipe 2 disebut juga maturity onset biasanya menyerang orang berusia sekitar 40 tahun dimana hormon insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan semestinya, dikenal juga dengan istilah Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Hal ini dikarenakan berbagai

kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin, resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah (WHO, 2006).

2.1.2. Etiologi

DM Tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defesiensi relative insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel B pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. DM Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita DM (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.3. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM Tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:

(40)

Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik.

b) Usia

Umumnya penderita DM Tipe 2 mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM Tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin. c) Gaya hidup stress

Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM Tipe 2.

d) Pola makan yang salah

Pada penderita DM Tipe 2 terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM Tipe 2 adalah mereka yang tergolong gemuk.

2.1.4. Patogenesis

Dalam kondisi fisiologis normal, konsentrasi glukosa plasma dipertahankan dalam kisaran yang sempit, meskipun fluktuasi pasokan dan permintaan, melalui ketat diatur dan dinamis interaksi antara sensitivitas jaringan terhadap insulin (terutama di hati) dan sekresi insulin (DeFronzo, 1988).

(41)

serum, berfungsi untuk meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer dan glukoneogenesis menekan hati. Ada kenaikan bolak dan jatuh di tingkat insulin dan glukagon yang terjadi untuk mempertahankan homeostasis glukosa (DeFronzo, 1988).

Toleransi glukosa, kemampuan untuk mempertahankan euglycemia, tergantung pada tiga peristiwa yang harus terjadi dengan cara yang ketat terkoordinasi, yaitu (DeFronzo, 1988):

a) Stimulasi sekresi insulin

b) Penindasan yang dimediasi insulin endogen(terutama hati) produksi glukosa

c) Insulin-mediated stimulasi serapan glukosa oleh jaringan perifer.

Diabetes Melitus Tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi insulin dan defek sekresi insulin. Ada penurunan serapan postprandial glukosa oleh otot dengan insulin endogen dikeluarkan. Pada pasien dengan hiperglikemia puasa, tingkat insulin telah ditemukan dua kali lipat ke empat kali lipat lebih tinggi daripada di nondiabetiks. Pada jaringan otot, ada cacat dalam fungsi reseptor, jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi dan fosforilasi glukosa, sintesis glikogen, dan oksidasi glukosa yang berkontribusi pada resistensi insulin. Tingkat basal dari glukoneogenesis hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin tinggi. Kedua defek sama berkontribusi untuk kelebihan kadar glukosa serum postprandial (DeFronzo, 1988).

2.1.5. Patofisiologi

(42)

pada Gambar 3. Atas dasar toleransi glukosa oral menguji unsur-unsur penting dari NIDDM dapat dibagi menjadi empat kelompok yang berbeda (Brunner & Sudddart (2002):

a) Mereka dengan toleransi glukosa normal.

b) Diabetes Kimia (disebut toleransi glukosa terganggu).

c) Diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal (glukosa plasma puasa kurang dari 140 mg / dl).

d) Diabetes mellitus berkaitan dengan hiperglikemia puasa yang jelas (glukosa plasma puasa lebih dari 140 mg / dl).

Gambar 2.2: Patofisilogi Diabetes Mellitus Tipe 2 Sumber: Al Homsi MF, Lukic ML (2007).

(43)

Resistensi insulin adalah penyebab utama NIDDM, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa kekurangan insulin adalah penyebab utama karena tingkat moderat resistensi insulin tidak cukup untuk menyebabkan NIDDM (Raju ,2010). Kebanyakan pasien dengan bentuk umum dari NIDDM memiliki keduanya cacat. Bukti terbaru telah menunjukkan peran anggota dari reseptor hormon yang super keluarga inti protein dalam etiologi diabetes tipe 2 (Raju, 2010)

2.1.6. Manifestasi Klinis

Seseorang yang menderita DM Tipe 2 biasanya mengalami peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula. Gejala atau manifestasi klinisnya dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik (Smeltzer & Bare, 2002).

1)Gejala Akut

(44)

a) Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli), yaitu:

• Banyak makan (poliphagia) • Banyak minum (polidipsia) • Banyak kencing (poliuria)

b) Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala: • Banyak minum

• Banyak kencing

• Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)

2)Gejala Kronik

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah sebagai berikut:

• Kesemutan

• Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum • Rasa tebal di kulit

• Kram • Capai

• Mudah mengantuk

• Mata kabur, biasanya sering ganti kaca mata • Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita

• Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun,bahkan impotensi

• Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg

2.1.7. Diagnosis

(45)

tentang diagnosa dan penggolongan diabetes mellitus 1997. Kriteria yang dimaksud sebagai berikut:

a) WHO: Kadar glukosa atau gula dengan atau yang melampaui 11.1 mmol/1 dalam plasma darah vena yang diambil sampelnya secara acak. (atau 10.1 mmol/1 jika seluruh darah vena diambil sampelnya), atau kadar gula puasa dengan atau yang melampaui 7.8 mmol/1 dalam plasma darah vena. (Atau 6.7 mmol/1 jika seluruh darah vena diambil sampelnya).

b) ADA: Kadar glukosa dengan atau yang melampaui 11.1 mmol/1 dalam plasma darah vena yang diambil sampelnya secara acak, ditambah dengan gejala-gejala diabetes, atau kadar gula puasa dengan atau yang melampaui 7.0 mmol/1 dalam plasma sampel darah vena. (Puasa dinyatakan sebagai tanpa makan atau minum yang mengandung kalori-kalori selama 6-10 jam sebelumnya, biasanya semalam) (Mc Wright, 2008). Menurut kriteria International Diabetes Federation (IDF), American Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), apabila gula darah pada saat puasa diatas 126mg/dl dan 2 jam sesudah makan diatas 200mg/dl, diagnosis diabetes bisa dipastikan.

(46)

Sumber: World Health Organisation

Jika kadar glukosa darah tidak normal tetapi belum termasuk kriteria diagnosis untuk diabetes, keadaan ini disebut Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau IGT. Seseorang dengan TGT mempunyai risiko terkena diabetes tipe 2 jauh lebih besar daripada orang biasa. Dapat ditegakkan melalui tiga cara dengan melihat dari tabel dibawah ini:

Tabel 2.2: Tabel Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus.

Sumber: Perkeni, 2006.

Cara pemeriksaan TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) sesuai dengan Perkeni (2006):

(47)

b) Berpuasa paling sedikit 8 jam ( mulai malam hari) sebelum pemeriksaan minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c) Diperiksa kadar glukosa puasa

d) Diberikan glukosa, 75 gram pada orang dewasa atau 1,75 gram/kg BB anak-anak, dilarutkan dalan 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

e) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glucosa selesai.

f) Diperiksa kadar glukosa 2 jam sesudah beban glucosa. g) Selama proses pemeriksaan tidak merokok (Perkeni, 2006).

2.2.7.1. Pemeriksaan Urine

Pemeriksaan urine yang dilakukan untuk menganalisis keton tubuh, glukosa dan protein dalam urin. Reaksi kolorimetri yang terjadi antara keton dan nitroprusside (Sodium ni-troferricyanide) adalah metode yang digunakan untuk pengukuran semiquantitatif cepat keton. Clinistix dan Diastix strip kertas atau dipstik yang berubah warna saat dicelupkan ke dalam urine. Tes strip dikupas untuk grafik yang menunjukkan jumlah glukosa dalam urin berdasarkan perubahan warna (Widjayanti, 2008).

Tingkat glukosa dalam urin tertinggal tingkat glukosa dalam darah. Pengujian urin dengan tes tongkat atau kertas strip, sebagai pengujian darah. Namun, dapat memberikan cepat dan senang membaca. Keton dalam urin dapat dideteksi menggunakan sejenis tes dipstik (Acetest atau Ketostix). Sampel urin dengan berat jenis 1,010-1,020 menghasilkan hasil yang paling akurat. Tes dipstik lain dapat menentukan adanya protein atau albumin dalam urin.

Protein dalam urin dapat menunjukkan masalah dengan fungsi ginjal dan dapat digunakan untuk melacak perkembangan gagal ginjal. Sebuah tes yang lebih sensitif untuk protein urin menggunakan radioaktif tagged bahan kimia untuk mendeteksi mikroalbuminuria, sejumlah kecil protein dalam urin, yang mungkin tidak muncul pada tes dipstick (Widjayanti, 2008).

(48)

Berbagai metode tes darah secara rutin digunakan dalam diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 (Widjayanti, 2008):

• Tes Glukosa Puasa

Postprandial Plasma Glucose Test • Oral Glukosa Toleransi Test (OGTT) • Uji Plasma Insulin

1. Tes glukosa puasa

Uji Puasa glukosa berbanding lurus dengan tingkat keparahan diabetes mellitus. Selama tes ini, darah diambil dari vena di lengan pasien setelah pasien belum makan selama sedikitnya delapan jam, biasanya di pagi hari sebelum sarapan. Sel-sel darah merah dipisahkan dari sampel dan jumlah glukosa diukur dalam plasma yang tersisa. Tingkat plasma dari 200 mg / dL atau lebih kuat mengindikasikan diabetes asalkan obat-obatan seperti glukokortikoid tidak dikelola. Tes glukosa puasa biasanya kembali diulangi-hari.Kadar glukosa plasma pada penderita diabetes terkontrol berkisar selama khas 24- jam dari serendah 250mg / L sampai setinggi 3250mg / L. Variasi ini lebih luas dibandingkan pasien bukan diabetes.

2. Postprandial Plasma Glucose Test

(49)

efektif tergantung pada pencernaan disakarida dan polisakarida serta penyerapan berikutnya mereka dari saluran usus.

3. Oral Glukosa Toleransi Test (OGTT)

Tes toleransi glukosa oral mengevaluasi izin dari peredaran setelah pemuatan glukosa dalam kondisi tidak dikendalika.Tes telah dibakukan oleh Komite Statistik dari American Diabetes Association. Pasien seharusnya berpuasa untuk 8-14 jam. Baseline data sampel darah diambil. Pasien diberi larutan glukosa, yang diminum dalam waktu 5 menit. Darah diambil pada interval untuk pengukuran glukosa (gula darah), dan kadang-kadang insu-lin tingkat. Interval dan jumlah sampel bervariasi sesuai dengan tujuan tes. Untuk screening diabetes sederhana, sampel yang paling penting adalah sampel 2 jam post prandial.Pada non-diabetes, tingkat glukosa dalam darah naik segera setelah minum dan kemudian menurun secara bertahap sebagai insulin digunakan oleh tubuh untuk memetabolisme atau menyerap gula.Pada diabetes, glukosa dalam darah naik dan tetap tinggi setelah minum cairan manis.

Tingkat glukosa plasma dari 2000 mg / L atau lebih tinggi pada dua jam setelah minum sirup dan pada satu titik lain selama periode pengujian dua jam menegaskan diagnosis diabetes.Selama pengujian, pasien harus rawat jalan, karena dalam aktivitas menurun toleransi glukosa. Tes ini juga dapat dipengaruhi oleh penyakit, kelainan hormon seperti Mu-roxine, hormon pertumbuhan, kortisol, dan katekolamin, obat-obatan dan obat-obatan seperti kontrasepsi oral, salisilat, asam nikotinat, diuretik dan agen hipoglikemik dan waktu pengujian. Beban glukosa harus terdiri dari glukosa saja.

4. Uji Plasma Insulin

(50)

dari penderita diabetes mellitus tipe 2. Pemuatan glukosa memunculkan ada pelepasan kembali insulin yang signifikan tanggapan untuk diabetes mellitus tipe 1 dan tertunda, berlebihan ulang tanggapan diabetes mellitus tipe 2.

Penderita diabetes dapat memantau kadar glukosa darah mereka sendiri dengan kit pemantauan glukosa darah di rumah. Sebuah jarum kecil atau lancet digunakan untuk menusuk jari dan setetes darah dikumpulkan dan dianalisis oleh perangkat monitoring. Penggunaan yang benar dari alat tersebut meminimalkan variasi glukosa darah yang dialami oleh penderita diabetes dan, sebagai hasilnya, peristiwa hipoglikemik dan bahkan komplikasi jangka panjang dari diabetes mellitus.Beberapa pasien dapat menguji kadar glukosa darah mereka beberapa kali selama sehari dan menggunakan informasi ini untuk menyesuaikan diet atau dosis insulin.

Dalam sebuah pernyataan konsensus tentang pemantauan glukosa darah, banyak populasi insulin-diperlakukan telah direkomendasikan untuk program pemantauan diri. Ini termasuk wanita hamil, pasien dengan diabetes yang tidak stabil, pasien yang menerima terapi insulin intensif dan pasien dengan ambang ginjal normal untuk glukosa.Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain at au hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.

2.2.8. Penatalaksanaan

(51)

1) Obat antidiabetik oral a) Golongan Sulfonilurea

Tolbutamid termasuk golongan sulfonilurea yang dapat merangsang keluarnya insulin dari pancreas.Tolbutamid mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0% (C12H18N2O3S), terhitung dari zat yang telah dikeringkan. Pemerian dari tolbutamid adalah serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa agak pahit.Tolbutamid merupakan obat turunan dari karbutamida, dengan menggantikan gugus-P amino dengan gugus metil efek-efek sulfa dilenyapkan (Tjay dan Rahardja, 2002).

Daya hipoglikemik tolbutamid relatif lemah, maka jarang menyebabkan hipoglikemia. Obat ini banyak digunakan pada penderita diabetes tipe-2 (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada pasien lanjut usia secara lebih amannya digunakan tolbutamid karena mempunyai durasi kerja paling cepat (Neal, 2005). Plasma t½ - nya sekitar 4-5 jam, tetapi ternyata bahwa penakaran single-dose pagi hari cukup efektif untuk mengendalikan kadar gula selama 24 jam. Zat ini dioksidasi menjadi metabolit inaktif yang diekskresikan 80% lewat kemih. (Tjay dan Rahardja, 2002).

b) Golongan Inhibitor α-Glukosidase

Acarbose merupakan penghambat kompetitif alfa glucosidase usus dan memodulasi pencernaan pasca prandial dan absorpsi zat tepung dan disakarida.Akibat klinis pada hambatan enzim adalah untuk meminimalkan pencernaan pada usus bagian atas dan menunda absorpsi zat tepung dan disakarida yang masuk pada usus kecil bagian distal, sehingga menurunkan glikemik setelah makan dan menciptakan suatu efek hemat insulin. Data farmakokinetik acarbose adalah onset efek pertama kali muncul 0,5 jam, waktu paruh (t1/2) 1-2 jam, durasi 4 jam (Tjay dan Rahardja, 2002).

c) Golongan Biguanid

(52)

antara lain metformin (glucophage). Golongan Meglitinid ,Obat ini dapat dikombinasikan dengan metformin digunakan dalampengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 sebagai tambahan terhadap diet dan olahraga untuk penderita yang hiperglikemiknya tidak dapat dikontrol secara memuaskan dengan cara-cara tersebut. Contoh obat dari golongan ini antara lain repaglinid (novonorm), nateglinid (starlix) (Tjay dan Rahardja, 2002).

d) Golongan Thiazolidindion

Golongan ini dapat digunakan bersama sulfonilurea, insulin atau metformin untuk memperbaiki kontrol glikemia. Contohnya antara lain pioglitazon (actos), rosiglitazon (avandia) (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Insulin

Insulin kadang digunakan oleh pasien DM Tipe 2 dan ibu hamil yang disertai Diabetes Mellitus, namun untuk waktu yang singkat. Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut (Katzung, 2002):

• Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren, ketoasidosis, dan koma.

• Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietary control. • Penurunan badan yang drastis

• Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosis maksimal. • Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjal berat.

Ada 4 tipe utama insulin yang tersedia:

Ultra-short-acting, yang mempunyai mula kerja sangat cepat dan masa kerja

yang pendek.

• Insulin reguler, jenis insulin ini bekerja dalam waktu yang pendek dengan mula kerja cepat.

• Insulin lente, bekerja dalam waktu menengah.

• Insulin yang bekerja dalam jangka waktu panjang dengan mula kerja lambat 2.2.10. Upaya Pencegahan

(53)

meningkat (prevalensinya menunjukkan peningkatan per tahun) dan besarnya biaya pengobatan serta perawatan penderita DM, terutama akibat-akibat yang ditimbulkannya (Sinaga, 2011).

Jika telah terjadi komplikasi, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang terjadi umumnya akan menetap, maka upaya pencegahan sangat bermanfaat baik dari segi ekonomi maupun terhadap kesehatan masyarakat. Perawatan kesehatan preventif untuk penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 bisa dengan pencegahan primordial, pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier(Sinaga, 2011). 1) Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar tidak memiliki faktor risiko untuk terjadinya DM. Pencegahan primordial ditujukan kepada masyarakat yang sehat untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari risiko DM.

Misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, memakan makanan yang bergizi dan seimbang, diet, membatasi diri dengan makanan tertentu ataupun kegiatan jasmani yang memadai(Sinaga, 2011).

2) Pencegahan Primer

(54)

dan mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. Selain itu yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan jasmani yang cukup dan sesuai dengan umur dan kemampuan.

3) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi penyakit.Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal. Pengobatan sejak awal harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi mengenai diabetes mellitus dan pengelolaannya akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat.

4) Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi. Untuk mencegah terjadinya kecacatan harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi DM agar komplikasi DM tersebut dapat dikelola dengan baik. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan primer tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier. (Sinaga, 2011).

2.2.9. Komplikasi

(55)

2.2.9.1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi yang akut akibat DM terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejalanya terjadi dengan cepat dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya timbul akibat glukosa darah yang terlalu rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia) (Sudoyo, 2006).

a) Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan komplikasi potensial.Keadaan ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes yang menjalani terapi insulin dan terkadang pada mereka yang menjalani terapi sulfonilurea.

Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Serangan hipoglikemia sangat berbahaya dan apabila sering terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60 mg/dl. Kadar glukosa yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat menjadi rusak. Hipoglikemia ini lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu sedangkan pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi (Sudoyo, 2006).

b) Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang lebih tua. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%.29 Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur (Sudoyo, 2006).

(56)

Komplikasi kronik adalah komplikasi akibat diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dan berlangsung sejak lama. Keadaan ini kemudian memunculkan kerusakan pembuluh darah yang selanjutnya berdampak terhadap organ-organ tubuh lain, seperti jantung, stroke, ginjal, mata, dan lainnya (Kim, S. Y., Kim, K. M., et al., 2009).

a) Kerusakan Saraf (Neuropathy)

Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Baik penderita DM Tipe 1 maupun Tipe 2 bisa terkena neuropati.Neuropati diabetik terjadi pada 60-70% penderita DM. Neuropati Diabetik adalah kerusakan saraf yang terjadi karena kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka waktu yang lama yang melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler. Akibatnya saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim, atau terlambat mengirim. Gejala-gejala neuropati yang sering muncul adalah kesemutan, rasa panas, kram, rasa tebal, dan nyeri. Bila kerusakan itu banyak terjadi pada urat saraf maka disebut polineuropati diabetik. Ini akan menyebabkan otot-otot kaki penderita akan mengecil/ atrofi. Semua kelainan saraf akibat DM dapat diatasi bila cepat ditangani. Karena penderita sering lengah biasanya kelainan urat saraf sudah parah sehingga memperlambat kesembuhan.

b) Kerusakan Ginjal (Nephropathy)

Komplikasi pada ginjal bukan akibat kebanyakan obat melainkan karena kontrol kadar gula darah yang buruk. Kerusakan ginjal timbul karena kadar glukosa darah yang tinggi umumnya di atas 200 mg/dl dan tekanan darah tinggi. Bila terjadi kerusakan ginjal yaitu pembuluh kapiler ginjal rusak/ bocor maka protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar dan terdapat di dalam urine. Dibandingkan dengan ginjal orang normal, diabetes memiliki kecenderungan tujuh belas kali lebih mudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan oleh faktor infeksi yang sering timbul pada penderita diabetes dan faktor penyempitan pembuluh darah kapiler di dalam ginjal.

c) Kerusakan Mata

(57)

mengalami cacat penglihatan.Komplikasi klinis yang terjadi adalah timbulnya kerusakan retina mata (retinopati), yang dapat menyebabkan kebutaan.

Gangguan mata ini sering kali berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, lama diabetes, dan hipertensi.Retinopati terjadi akibat penebalan membran basal kapiler yang menyebabkan pembuluh darah mudah bocor (perdarahan) dan pembuluh darah tertutup (iskemia retina dan pembuluh darah baru). Gangguan mata ringan biasanya tanpa keluhan. Kerusakan yang lebih berat akan menimbulkan keluhan, antara lain tampak bayangan jaring atau sarang laba-laba pada penglihatan mata, bayangan abu-abu, mata kabur, sulit membaca, mata terasa nyeri, sampai pada kebutaan.Selain menyebabkan retinopati, DM juga menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) yang disebut katarak dan dapat menyebabkan glukoma (meningkatnya tekanan bola mata).

d) Stroke

Diabetes sering disertai dengan hipertensi, kolesterol terutama LDL yang tinggi, obesitas, merokok, kurang olahraga, hidup santai, dan sebagainya. Hal ini akan memicu terbentuknya radikal bebas yang mendorong atau mempercepat proses aterosklerosis. Proses ini bisa menimbulkan pemyumbatan darah otak yang menyebabkan stroke. Diabetes juga mempermudah komplikasi perdarahan pada pembuluh darah otak. Stroke akibat perdarahan umumnya lebih berbahaya daripada stroke akibat penyumbatan.

2.2.10. Prognosis

(58)

Pembentukan Asam urat dimulai dengan metabolisma dari DNA dan RNA menjadi Adenosine dan Guanosin, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah. Proses ini berlangsung secara terus menerus di dalam tubuh. Sebagian besar sel tubuh selalu diproduksi dan digantikan, terutama dalam darah (Baron, D.N., 1994).

Gambar 2.3: Pembentukan Asam Urat. Sumber: Guyton, 2012.

2.3.3. Kadar Asam Urat Normal

Kadar Biasa. Kadar asam urat normal menurut tes Enzimatik maksimum 7 mg/dl. Sedangkan pada Teknik Biasa, nilai normalnya maksimum 8 mg/dl. Kadar asam urat diatas normal disebut hiperurisemia.

Nilai normal Darah ¾

Dewasa : laki-laki: 4,0 – 8,5 mg/dl atau 0,24 - 0,52 mmol/L

wanita: 2,7 – 7,3 mg/dl atau 0,16 – 0,43 mmol/L ¾ .

(59)

Anak-anak : 2,5 – 5,5 mg/dl atau 0,12 – 0,32 mmol/L ¾

Bayi : 2,62 mg/L Urine 250–750 mg/24 jam atau 1,48– 4,43 mmol/hari (SI units)

Nilai kritis dalam darah : >12 mg/dl.5

2.3.4. Hubungan Kadar Asam Urat Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Asam urat merangsang produksi sitokin dari leukosit dan kemokin dari otot polos pembuluh darah, merangsang perlekatan granulosit pada endotelium, adesi platelet dan pelepasan radikal bebas peroksida dan superoksida serta memicu stres oksidatif. Dari sini diduga terdapat peranan potensial AU atau xantin oksidase bagi terjadinya disfungsi endotel dan dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya bermuara pada terjadinya resistensi insulin dan cardiovascular events. Efek ensimatik xantin oksidase adalah produksi reactive oxygen species

(ROS) dan AU. Hal ini akan menimbulkan stres oksidatif dan memicu terjadinya RI baik secara langsung maupun akibat peningkatan aktivitas Protein Kinase C (PKC). Studi pada manusia juga mendapatkan AU sebagai prediktor poten adanya hiperinsulinemia dan obesitas, hal ini diduga akibat kemampuan AU dalam menghambat fungsi endotel melalui gangguan dalam produksi NO.

Hubungan yang positif antar AU dengan RI sebagian disebabkan karena hiperinsulinemia meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus ginjal, sebagai akibatnya kemampuan ginjal mengekresikan sodium dan AU menurun dan hasil akhirnya konsentrasi AU serum meningkat (Tsunoda dkk,).

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

(60)

1.1. Latar Belakang

Diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak

menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif

menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang mengatur gula

darah . Hiperglikemia , atau mengangkat gula darah , merupakan efek umum dari

diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan

serius pada banyak sistem tubuh , khususnya saraf dan pembuluh darah. Pada

tahun 2012 diabetes adalah penyebab langsung dari 1,5 juta kematian dan lebih

dari 80 % kematian diabetes terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan

menengah. Menurut data WHO, pada tahun 2014, 9 % dari orang dewasa 18 tahun

dan lebih tua menderita diabetes (Geneva, 2014).

Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes mellitus cenderung meningkat

dari tahun ke tahun. Secara global diperkirakan bahwa 382,000,000 juta orang

menderita diabetes untuk prevalensi 8,3 %.Amerika Utara dan Karibia adalah

wilayah dengan prevalensi tinggi , 36.755 orang dengan diabetes (11 %) diikuti

oleh Timur Tengah dan Afrika Utara dengan 34.571 orang dengan diabetes (9,2

%). Daerah Pasifik Barat, 138.195 orang penderita diabetes , adalah wilayah

dengan jumlah yang lebih tinggi,namun prevalensinya adalah 8,6 % , mendekati

dengan prevalensi Dunia . Menurut data WHO, terdapat 10 negara teratas dengan

prevalensi diabetes yang lebih tinggi yaitu Tokelau (37,5 %) , Negara Federasi

Mikronesia (35 %) , Kepulauan Marshall (34,9 %) , Kiribati (28,8 %) , Kepulauan

Cook (25,7 %) , Vanuatu (24 %) , Arab Saudi (23,9 %) , Nauru (23,3 %) , Kuwait

(23,1 %) dan Qatar (22,9 %). International Diabetes Foundation (IDF)

memperkirakan prevalensi diabetes mellitus dunia adalah 1,9% dan menjadikan

DM sebagai salah satu penyebab- penyebab kematian urutan ke-7 dunia (DepKes,

2010). Di Indonesia sendiri, penderita diabetes mencapai 5,7 % (sekitar 12 juta

orang) dari seluruh penduduk Indonesia, sedangkan jumlah penderita pre-diabetes

(61)

maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti jumlah penderita diabetes di Indonesia

dapat mencapai lebih dari 21 juta orang (Depkes RI., 2008).

Ada tiga jenis utama diabetes iaitu,diabetes tipe 1 (sebelumnya dikenal

sebagai insulin-dependent,remaja atau anak usia - onset ) ditandai dengan

kekurangan produksi insulin dan membutuhkan pemberian insulin setiap hari.

Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui dan tidak dapat dicegah dengan

pengetahuan saat ini. Gejala termasuk ekskresi berlebihan urin ( poliuria ) , rasa

haus ( polidipsia ) , kelaparan konstan , penurunan berat badan , perubahan visi

dan kelelahan. Gejala-gejala ini dapat terjadi secara tiba-tiba. Diabetes Tipe 2

(sebelumnya disebut sebagai non - insulin dependent atau orang dewasa - onset)

hasil dari penggunaan yang tidak efektif tubuh insulin. Diabetes Tipe 2 terdiri dari

90 % dari penderita diabetes di seluruh dunia , dan sebagian besar merupakan

hasil dari kelebihan berat badan dan aktivitas fisik. Gejala mungkin mirip dengan

diabetes tipe 1, tetapi sering kurang ditandai. Akibatnya, penyakit ini dapat

didiagnosis beberapa tahun setelah onset , setelah komplikasi muncul .Sampai saat

ini , diabetes tipe ini terlihat hanya pada orang dewasa tetapi kini juga terjadi pada

anak-anak. Gestational diabetes adalah hiperglikemia dengan nilai-nilai glukosa

darah di atas normal tetapi di bawah mereka diagnostik diabetes , terjadi selama

kehamilan. Wanita dengan diabetes gestasional berada pada peningkatan risiko

komplikasi selama kehamilan dan saat melahirkan. Mereka juga pada peningkatan

risiko diabetes tipe 2 di masa depan .Gestational diabetes didiagnosis melalui

pemeriksaan prenatal, bukan gejala yang dilaporkan

(Dinkes Prov Jateng, 2008).

Toleransi glukosa terganggu (TGT) dan gangguan glikemia puasa (IFG), Toleransi glukosa terganggu (TGT) dan gangguan glikemia puasa (IFG) adalah

kondisi menengah dalam transisi antara normalitas dan diabetes. Orang dengan

IGT atau IFG memiliki risiko tinggi berkembang menjadi diabetes tipe 2,

meskipun hal ini tidak bisa dihindari. Secara umum, hampir 80 % prevalensi

(62)

masyarakat termasuk diantaranya perubahan pola makan yang kurang sehat dan kurangnya melakukan aktivitas fisik, angka tersebut akan terus bertambah jika informasi yang didapat kurang memadai (Hidayati, 2011).

Asam urat serum adalah merupakan salah satu faktor resiko dalam kerterjadian komplikasi pada pasien Diabetes Mellitus khususnya pada pasien DM Tipe 2 (Causevic et al., 2010). Peningkatan asam urat atau hiperurisemia merupakan hal yang umum ditemukan pada penderita DM tipe 2 (Lehto,2006). Asam urat diduga berpotensi menyebabkan disfungsi endotel,metabolism oksidatif,adhesi platelet dan agregasi ,serta dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya bermuara pada cardiovascular events (Kim,2009). Diketahui pula bahwa asam urat dapat merangsang oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) in vitro yang merupakan langkah kunci dalam progresivitas

aterosklerosis,yang merupakan salah satu penyebab terjadinya stroke yang juga antara komplikasi DM tipe 2. Kadar asam urat yang terus tinggi merupakan prediktor perkembangan komplikasi Diabetes Mellitus dan yang paling memainkan peran bagi DM tipe 2. Diabetes Mellitus tipe 2 terbahagi kepada yang terkontrol dan tidak dikontrol. Komplikasi yang terjadi pada penderita DM terutama pada DM tipe 2 berhubung kuat dengan peningkatan kadar asam urat dan perbedaannya khususnya dilihat pada DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol (Susworo, 2005).

Masih sedikit penelitian dilakukan tentang perbedaan kadar asam urat pada penderita DM tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol.Hal ini kerana kebanyakan penelitian dilakukan langsung tentang perhubungan asam urat dengan DM tipe 2. Melihat tendensi kenaikan prevalensi DM secara global dan komplikasinya yang ditimbulkan akibat DM maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang perbedaan kadar asam urat pada penderita DM tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP H. Adam Malik,Medan tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

(63)

“Apakah ada Perbedaan Kadar Asam Urat Pada Pasien Laki-laki Yang Berusia ≥ 40 Tahun Dengan Indikasi Rawat Inap Yang Telah Didiagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol Di RSUP H. Adam Malik, Medan” 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan kadar asam urat pada pasien laki-laki yang berusia ≥ 40 Tahun dengan indikasi rawat inap yang telah didiagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 yang terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP H. Adam Malik, Medan.

1.3.2.Tujuan Khusus

1) Mengetahui kadar asam urat pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang terkontrol di RSUP H. Adam Malik.

2) Mengetahui kadar asam urat pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol di RSUP H. Adam Malik.

3) Mengetahui perbedaan kadar asam urat pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol di RSUP H. Adam Malik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk:

1) Penelitian Kedokteran: Hasil penelitian diharapkan menjadi kontribusi sebagai sumber informasi dalam penerapan pengalaman ilmiah untuk peneliti di masa akan datang.

2) Petugas Kesehatan Masyarakat: Dapat merencanakan suatu strategi pelayanan kesehatan untuk mengurangi jumlah penderita Diabetes Mellitus.

3) Masyarakat: Sebagai bahan informasi tentang peningkatan kadar asam urat dan dampaknya dalam Diabetes Mellitus.

Gambar

Tabel  5.1.  Distribusi Penderita berdasarkan Umur
Tabel 5.3.  Distribusi Frekuensi Penderita berdasarkan Kadar Asam Urat.
Gambar 2.2: Patofisilogi Diabetes Mellitus Tipe 2
Tabel 2.2: Tabel  Kriteria  Diagnostik  Diabetes Mellitus.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melihat kesuksesan tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis mengenai hal apa yang dapat mendukung kelancaran proses produksi, konsep dan tipe manufaktur, serta aplikasi

[r]

Melihat kesuksesan tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis mengenai hal apa yang dapat mendukung kelancaran proses produksi, konsep dan tipe manufaktur, serta aplikasi

Kerja Praktek dilakukan dengan mengamati proses pengemasan lulur dengan tujuan untuk menentukan waktu baku dari tiap operasi, mengurangi waktu menganggur, meningkatkan kelancaran

Program aplikasi ini diharapkan menambah minat baca seseorang yang dapat dinikmati dalam bentuk yang berbeda karena yang biasanya kita hanya dapat membaca buku cerita melalui

VERIFIKASI NOMINASI PESERTA UJIAN MADRASAH ( UM ) MI KEMENTERIAN AGAMA KOTA SURABAYA TAHUN 2015/2016A. Rekapitulasi Jumlah Siswa Tahun

Konsep pembuatan dan gambaran animasi iklan ini sama namun yang dipikirkan disini adalah nilai informasi yang disampaikan agar dapat memikat dan mudah untuk diingat. Jadi

 Memperkenalkan bahan ajar kepada siswa tentang cara menulis huruf Hijaiah bersambung.. Kegiatan Inti