• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARENT EFFECTIVENESS TRAINING UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK TUNADAKSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PARENT EFFECTIVENESS TRAINING UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK TUNADAKSA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PARENT EFFECTIVENESS TRAINING

UNTUK MENINGKATKAN

PENERIMAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK TUNADAKSA

Usulan Penelitian untuk Tesis Sarjana S-2

Program Studi Magister Psikologi

Diajukan oleh : Ayunda Ramadhani

NIM 08820009

PROGRAM PASCASARJANA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN………...i

LEMBAR PENGESAHAN………...………..ii

SURAT PERNYATAAN………..iii

KATA PENGANTAR...iv

INTISARI...vi

ABSTRACT...vii

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR GRAFIK...x

DAFTAR GAMBAR...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...15

C. Keaslian Penelitian...16

D. Tujuan Penelitian...17

E. Manfaat Penelitian...18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...19

(8)

1. Pengertian Penerimaan Orangtua...19

2. Peran Orangtua dalam Penerimaan Anak Tunadaksa...22

B. Tunadaksa...24

1. Pengertian Tunadaksa...24

2. Klasifikasi Tunadaksa...25

C. Parent Effectiveness Training (PET)...26

1. Pengertian Parent Effectiveness Training (PET)...26

2. PET bagi Orangtua yang Memiliki Anak Tunadaksa………...30

D. Kerangka Berfikir……….33

E. Hipotesis Penelitian………...34

BAB III METODE PENELITIAN……….35

A. Rancangan Penelitian...35

B. Variabel Penelitian...37

C. Definisi Operasional...37

1. Parent Effectiveness Training...38

2. Penerimaan Orangtua...38

D. Sampel Penelitian...39

E. Teknik Pengumpulan Data...39

F. Reliabilitas dan Validitas...40

G. Prosedur Penelitian...42

H. Metode Analisis Data...46

(9)

A. Hasil Assessmen Pre-Test……….47

a. Wawancara……….47

b. Observasi………54

B. Hasil Parent Effectiveness Training ……….54

C. Follow-Up……….63

D. Hasil Assessmen Post-Test………...65

a. Wawancara……….65

b. Observasi………66

E.Pembahasan………70

BAB V PENUTUP………...80

A. Kesimpulan………...80

B. Saran………..81

DAFTAR PUSTAKA………...83

(10)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 1 Grafik Evaluasi berbasis KnowledgeSebelum & Sesudah PET………...62

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Materi Parent Effectiveness Training...86

Lampiran 2 Modul Pelatihan Parent Effectiveness Training………..101

Lampiran 3 Guide Interview Penerimaan Orangtua terhadap anak Tunadaksa………....114

Lampiran 4 Guide Interview Evaluasi berbasis knowledge sebelum dan sesudah Parent Effectiveness Training………...117

Lampiran 5 Transkrip Wawancara Ibu R………119

Lampiran 6 Transkrip Wawancara Bapak R………...125

Lampiran 7 Transkrip Wawancara Bapak S...129

Lampiran 8 Transkrip Wawancara Ibu S...132

Lampiran 9 Guide Observasi Penerimaan Orangtua terhadap Anak Tunadaksa……136

Lampiran 10 Tabel Hasil Observasi Sebelum & Sesudah PET………137

Lampiran 11 Tabel Rancangan PET………..138

Lampiran 12 Tugas Rumah Subjek………...140

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2004). Psikologi kepribadian. Malang : UMM Press

Arikunto. (1998). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Renika Citra

Azwar. (2004). Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Carolina. (2006). Anak luar biasa tuna daksa perlu perhatian lebih. Gemari : Edisi 68/Tahun VII/September 2006

Dariyo. (2007). Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama. Bandung: PT Revika Aditama

Darling. (1982). Children who are different meeting the challenges of births defects in society.

London : C.V. Mosby Company

Gavita & Joyce. (2008). A review of the effectiveness pf group cognitively enhanced behavioral based parent programs designed for reducing disruptive behavior in children. Journal of Cognitive and Behavioral Psychotherapies, vol. 8, No. 2 185- 199

Ginanjar. (2008).Menjadi Orang Tua Istimewa. Jakarta: Dian Rakyat

(14)

Hallahan & Kauffman. (1994). Exceptional Children: Introduction to Special Children. United States of America: Prentice-Hall International, Inc.

Hughes, Blom, Rohner, & Britner. (2005). Bridging parental acceptance- rejection theory and attachment theory in the preschool strange situation. ProQuest Psychology Journal pg. 378

Hurlock. (1978). Perkembangan anak, jilid 1. Jakarta: Erlangga

Ingersoll, Broke & Dvortcsak. (2006). Including parent training in the early childhood special education curriculum for children with autism spectrum diseorders. Journal of Positive Behavior Interventions.Volume 8, Number 2, Spring 2006, page 179-187; ProQuest Psychology Journals

Iswari. (2007). Kecakapan hidup bagi anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Johnson & Medinnus. (1967). Child psychology behavior and development edisi keenam. USA : John Wiley & Sons, inc

Kazdin. (1992). Research design in clinical psychology. USA : A division ofSimon & Schuster, Inc.

Kerlinger. (2000). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Khaleque & Rohner .(2002). Perceived parental acceptance- rejection and psychological

adjustment: A meta- analysis of cross cultural and intracultural studies. Journal of Marriage and the Family

Latipun. (2002). Psikologi eksperimen. Malang : UMM Press

Mangunsong. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 UI.

Mansell, Robert & Mckelvey. (2008). Parenting and preschool child development : examination of three low-income U.S. cultural groups. Published online 3 May 2008: Springer Science+ Business Media

Maulana. (2007). Anak autis, mendidik anak autis dan gangguan mental lain menuju anak cerdas dan sehat. Yogyakarta: KATAHATI

(15)

Poerwanti. (1998). Dimensi- dimensi riset ilmiah. Malang : UMM Press

Pramadi. (1996). Hubungan antara kemampuan penyesuaian diri terhadap tuntutan tugas dan hasil kerja. Jurnal Psikologi Anima. Vol. XI. No. 43. April- Juni.

Respati. (2009). Koleksi games seru. Yogyakarta : Galangpress.

Rohner. (2002). Worldwide mental health correlates of parental acceptance- rejection : Review of cross cultural and intacultural evidence. Cross- Cultural Research,36(1), 16-47

Rohner. (2007). Introduction to parental acceptance- rejection theory, methods, evidence, and implications. University of Connecticut

Smith. (2011). Proceeding of the national academy of sciences. New York : Columbia University

Somantri.( 2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Stipek. (2002). Motivation to Learn Integrating Theory an Practice. Massachausetts: A. Person Education Company.

Sumanto. (1994). Metodologi penelitian sosial dan pendidikan. Yogyakarta : Andi offset

Suryabrata. (2003). Metodologi penelitian. Yogyakarta : UGM

Walgito. (1993). Peran orang tua dalam pembentukan kepercayaan diri : suatu pendekatan psikologi humanistik. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

(16)
(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Setiap orang tua tentunya mendambakan memiliki buah hati yang

sehat dan sempurna baik fisik maupun mental, namun pada kenyataannya

keinginan dan harapan tersebut tidaklah selalu sejalan dengan apa yang

diharapkan orang tua. Apabila anak yang didambakan ternyata pertumbuhan

dan perkembangannya serba kekurangan maka akan menimbulkan

kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang

harus dihadapi orangtua. Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian besar orang

tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus, orang tua yang memiliki

anak berkebutuhan khusus akan berduka karena harapan- harapan subjek

tidak terpenuhi.

Menurut Iswari (2007) istilah anak berkebutuhan khusus ditujukan

pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian

rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial atau

gabungan dari ciri-ciri dan menyebabkan subjek mengalami hambatan untuk

mencapai perkembangan yang optimal sehingga subjek memerlukan layanan

yang khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal. Macam-macam

anak berkebutuhan khusus menurut Hallahan & Kauffman (1994) yaitu anak

berkesulitan belajar (learning disabilities), anak berkelainan penglihatan (tuna

(18)

(tuna wicara), anak berkelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa), anak

berkelainan emosi dan perilaku (tuna laras), anak berkelainan multiple (tuna

ganda), anak autis, anak hiperaktif, dan anak berbakat serta anak retardasi

mental (tuna grahita).

Salah satu gangguan yang termasuk dalam klasifikasi anak dengan

kebutuhan khusus adalah anak tunadaksa, adapun pengertian anak tuna daksa

menurut hasil seminar Nasional, Puskurandik, Balitbang, Depdikbud (dalam

Mangunsong, 1998) adalah anak yang menderita cacat akibat polio myelitis,

akibat kecelakaan, akibat keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot – otot,

akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan

pusat syaraf.

Dari wawancara yang telah dilakukan terhadap 2 orang ibu yang

sama- sama memiliki anak tunadaksa, diketahui bahwa saat pertama kali

subjek mengetahui bahwa anak subjek tidak berkembang seperti kebanyakkan

anak- anak normal lainnya reaksi awal subjek adalah shock, putus asa, marah, sedih. Subjek juga malu, karena memiliki anak yang cacat secara fisik.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Miller dalam Darling- Darling

(1982) bahwa tahap reaksi awal orang tua yang memiliki anak cacat adalah

penolakan yang berupa orang tua akan shock, bingung, dan tidak sanggup

untuk menerima realita. Kekurangan fisik/ kecacatan yang ada pada anak

tunadaksa membuat orang tua pasrah atau malah sebaliknya, orang tua

menganggap anak tunadaksa sebagai suatu aib dalam keluarga, meskipun

berbeda dengan anak normal lain, anak tunadaksa juga sangat membutuhkan

(19)

sekitarnya, butuh untuk dicintai, dihargai, diberikan kesempatan untuk

mengembangkan diri terlebih lagi apabila diterima oleh orangtua dan

orang-orang disekitarnya, tetapi pada kenyataannya, orang-orangtua yang mempunyai anak

tunadaksa seringkali menolak dan bahkan kecewa. Keadaan anak tunadaksa

yang mempunyai kekurangan dalam hal pertumbuhan dan perkembangannya

menimbulkan kekecewaan yang mendalam dan merupakan kenyataan yang

harus dihadapi orangtua. Harapan dan keinginan orangtua yang mendambakan

buah hatinya dapat tumbuh dan berkembang secara normal dan sehat, serta

dapat menjadi penerus bagi keturunan keluarga tidak selalu sejalan dengan apa

yang diharapkan. Seperti yang dinyatakan oleh Hurlock (1992) bahwa bila

anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orangtua, maka orangtua

akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.

Seperti yang dikatakan oleh Ibu R, yang memiliki anak tunadaksa

berusia 7 tahun, awal pertama kali ia mengetahui bahwa anak yang

dilahirkannya tidak sempurna/ cacat fisik, ia tidak mau memegang anaknya

tersebut, jangankan memegang, melihat pun ia tidak mau. Ia mengatakan

bahwa ia sudah mengetahui bahwa anaknya cacat sejak masih di dalam

kandungan. Ibu R mengatakan ia merasa bersalah karena tidak dapat menjaga

kandungannya dengan baik. Ia sempat ingin menggugurkan kandungannya,

namun usia kandungannya saat itu sudah hampir mencapai 8 bulan sehingga

terlalu berisiko jika dilakukan. Sejak mengetahui anak yang dikandungnya

cacat, ibu R justru semakin merasa sedih, ia semakin risau memikirkan apa

yang akan terjadi dengan anaknya kelak setelah lahir. Ia membayangkan

anaknya akan diejek oleh teman- temannya dan juga keluarganya. Setelah

(20)

ditikam dan nafasnya terasa sesak. Ia mengatakan bahwa ia menyadari bahwa

anaknya memang memiliki kekurangan fisik dan ia bisa menerima keadaan

anaknya, ibu R mengatakan bahwa ia dapat menerima kondisi fisik anaknya,

namun dari hasil observasi yang dilakukan diketahui bahwa sikap ibu R

terhadap anaknya masih menunjukkan adanya penolakan, ketika si anak

pulang dari sekolah dan memanggil ibunya, ibu R tidak segera menjawab

panggilan anaknya. Ia sibuk di dapur menyiapkan makanan, ibu R terkesan

tidak peduli terhadap anaknya. Saat anaknya menceritakan bahwa ia diejek

salah satu temannya di sekolah, ibu R hanya diam saja sambil mengganti baju

sekolah anaknya. Ibu R mengatakan bahwa selama ini ia merasa bahwa apa

yang terjadi pada anaknya adalah kesalahannya, karena itulah ia bertekad

menebus kesalahannya dengan cara memanjakan anaknya. Ia selalu

meng‟iya‟kan apapun yang ingin dilakukan anaknya, meskipun hal tersebut

bertentangan dengan keinginannya, ia selalu membantu anaknya dalam hal

apapun, namun lama kelamaan, ibu R merasa anaknya menjadi sangat

tergantung padanya. Setiap kali keinginan anaknya tidak dituruti maka

anaknya akan menangis sejadi- jadinya, dan berteriak- teriak hal itu sering

memicu kemarahan dan kekesalan ibu R, tidak jarang ibu R akan

mengeluarkan kata- kata kasar terhadap anaknya apabila kemarahannya sudah

memuncak. Ibu R mengatakan bahwa suaminya sampai saat ini masih sulit

menerima keadaan anak subjek, suaminya tidak mau menemani anak subjek

bermain dan memilih untuk langsung masuk ke kamar sepulang bekerja. Hal

itu terkadang membuat ibu R sedih dan marah pada suaminya, namun disisi

lain ia juga tidak bisa menyalahkan suaminya, karena ia sendiri pun terkadang

(21)

antara ibu R dengan suaminya. Ibu R memasukkan anaknya ke sekolah umum,

ia ingin anaknya mendapat perlakuan yang sama dengan anak- anak normal

yang lainnya, ia ingin agar anaknya dapat bersosialisasi dengan teman- teman

sebayanya, namun justru permasalahan lain timbul, sejak dimasukkan ke

sekolah umum anaknya sering mendapat perlakuan yang kurang

menyenangkan dari teman- teman sebayanya. Anak sering diejek karena

kekurangan fisiknya, namun setiap kali anaknya menceritakan hal tersebut,

justru kata- kata kasar yang sering dilontarkan oleh ibu R. Hal ini tentu saja

membuat anak menjadi sedih dan merasa ditolak oleh orang tuanya, seringkali

timbul rasa sedih dan kecewa pada anak. Ibu R mengatakan bahwa ia tidak

tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu anaknya mengatasi

permasalahan yang dihadapinya di sekolah. Sikap yang ditunjukkan oleh ibu R

tentu tidak menunjukkan adanya penerimaan terhadap kondisi anaknya. Sesuai

dengan pendapat Hurlock (1978) yang menyatakan bahwa penerimaan orang

tua ditandai dengan perhatian yang besar dan kasih sayang pada anak.

Selain ibu R, tentu masih banyak keluarga yang belum dapat menerima

kehadiran anak tunadaksa. Sikap orang tua yang menolak kehadiran anak

tunadaksa, meliputi : orang tua kurang memiliki kasih sayang terhadap

anaknya atau anak kurang diperhatikan oleh orang tuanya, orang tua tidak

mempunyai waktu untuk selalu bersama anaknya, tidak memberikan

dukungan dan orang tua selalu mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak enak

didengar seperti: memarahi anaknya dan mencaci. Pernyataan tersebut juga

diperkuat oleh pendapat Soemantri (2006), sikap orangtua yang menolak

kehadiran anak cacat ditunjukkan dengan adanya sikap dingin terhadap anak,

(22)

hanya berbicara seperlunya dengan anak, tidak mau mengajak anak

bermain-main; orangtua menolak anak dengan rasionalisasi, contohnya jika disaat anak

ingin mengajak orangtuanya bermain bersama, orangtua selalu mempunyai

alasan untuk tidak bermain bersama si anak; orangtua malu mengajak anak

pergi ke tempat umum,seperti malu mengajak anak pergi berbelanja ke

supermarket atau pergi ke mall, biasanya anak akan diasuh oleh pembantu dan

berjalan di belakang orangtuanya, anak tidak diajak berbicara ataupun

berinteraksi dengan orangtua.

Reaksi lain orangtua yang menolak adalah dengan mencoba

menyembunyikan kondisi anak dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan

oleh ibu S, yang memiliki anak tuna daksa berumur 5 tahun. Pertama kali

mengetahui anaknya cacat, ibu S sangat sedih dan shock, ia dan suaminya merasa sangat malu memiliki anak yang cacat. Ia malu pada keluarga besarnya

yang merupakan keluarga dengan golongan mampu. Ia mengatakan bahwa

pada awalnya keluarga besarnya tidak mengetahui bahwa anak yang ia

lahirkan adalah anak yang cacat. Ia dapat menyembunyikan hal itu dari

keluarganya karena kebetulan semua keluarga besarnya berdomisili di luar

Jawa, namun lama kelamaan ia tidak sanggup menyembunyikan keadaan

anaknya, ketika keluarganya akhirnya mengetahui keadaan anaknya, ibu S

mengatakan ia sangat malu dan merasa terhina karena memiliki anak seperti

ini. Ibu S mengatakan bahwa sebagian besar anggota keluarga lainnya kerap

mencemooh dirinya, meskipun ada sedikit anggota keluarga yang

men-support dirinya, hal ini kerap membuat ibu S merasa frustrasi. Ibu S mengatakan bahwa terkadang ketika ia melihat kondisi anaknya, ia merasa

(23)

benci, sehingga terjadi pertentangan batin dalam dirinya, terlebih lagi ketika

anaknya mulai bersikap manja dan rewel, maka ibu S akan cepat menjadi

marah dan mulai mencaci anaknya, meski pada akhirnya ia mengatakan bahwa

ia menyesal melakukan hal tersebut terhadap anaknya. Sikap yang ditunjukkan

oleh ibu S tentu saja menunjukkan kurangnya penerimaan terhadap kondisi

anaknya, dalam hal ini orangtua menyembunyikan kondisianaknya tidak

hanya pada orang lain tetapi juga menyembunyikan pada keluarganya. Pada

umumnya orangtua yang menyembunyikan kondisi anaknya memahami

bahwa ada sesuatu yang salah pada kondisi anaknya bahwa anaknya tidak bisa

melakukanaktifitas sehari-hari seperti yang dilakukan oleh anak-anak

seusianya, karena anak tunadaksa memiliki keterbatasan pada fungsi

tubuhnya.

Selain mengalami hambatan pada fisiknya, anak tunadaksa juga

mengalami hambatan bila ditinjau dari aspek psikologis, dalam aspek

psikologis anak tuna daksa memang cenderung merasa apatis, malu, rendah

diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap

lingkungannya. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal

sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam

pergaulan sehari-harinya (Carolina, 2006). Hal inilah yang kurang dipahami

oleh para orang tua yang memiliki anak tunadaksa, sehingga sering memicu

adanya perselisihan yang menyebabkan komunikasi menjadi tidak efektif

antara orang tua dengan anak- anak subjek. Komunikasi yang tidak efektif ini

akhirnya membuat anak menjadi semakin merasakan adanya penolakan dari

orang tuanya, banyak orang tua yang menyatakan bahwa bahasa penolakan

(24)

menjadi lebih baik, namun anggapan ini salah karena justru anak akan

bertindak lebih buruk (Gordon, 2009).

Gambaran diatas merupakan contoh kurangnya penerimaan orangtua

terhadap anak, jika hal ini dibiarkan maka perkembangan psikologis anak

tentunya tidak akan dapat berkembang secara optimal. Pada anak yang normal,

tentunya tidak akan mengalami kendala yang berarti dalam menguasai tugas

perkembangan subjek, namun tidak demikian halnya pada anak- anak tuna

daksa, adanya kekurangan fisik/ kecacatan yang mereka alami tentunya

membuat mereka tidak dapat memenuhi tugas perkembangan mereka secara

optimal. Adanya penolakan dari orang tua tentu dapat membuat perkembangan

anak tunadaksa semakin terhambat baik secara fisik maupun psikologis.

Penerimaan orang tua yang secara tulus ditunjukkan kepada anak tunadaksa

sangatlah berarti, dengan adanya penerimaan dari orangtua maka anak

tunadaksa akan merasa dicintai. Menerima anak tunadakasa sebagaimana

adanya sesungguhnya merupakan tindakan yang penuh cinta kasih, dengan

merasa diterima maka anak akan merasa dicintai. Rasa dicintai dapat

mendorong perkembangan jiwa dan raga dan merupakan kekuatan terapeutis

paling efektif untuk memperbaiki kerusakan psikologis maupun fisik (Gordon,

2009).

Hal yang paling penting dan harus diingat oleh orang tua adalah selalu

mengingat bahwa setiap anak mempunyai ciri khas, orang tua jangan terlalu

menjatuhkan vonis penilaian yang merugikan pertumbuhan dan perkembangan

anak, oleh sebab itu tidak menerima kekurangan terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak akan menyebabkan anak menjadi rendah diri. Pernyataan

(25)

orang tua membuat anak rendah diri dan pada akhirnya mengembangkan

tingkah laku seperti rasa permusuhan, agresi, pemberontakan, egois, dan juga

menarik diri dari lingkungan. Lavelle dan Keogh dalam Mangunsong (1998 )

menerangkan reaksi orang tua terhadap kecacatan anak dapat mempengaruhi

sikap dan pendekatan subjek terhadap anaknya, serta keaktifan orang tua

dalam berpartisipasi dalam program pendidikan anak selanjutnya. Sikap

menerima atau menolak orang tua terhadap anaknya dapat mempengaruhi

anak dalam mencapai perkembangan yang optimal.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Hughes,

Blom, Rohner dan Britner ( 2005) adanya penolakan orang tua terhadap anak

akan membuat anak menjadi agresif , sulit dalam mengatasi keagresifannya,

membuat anak menjadi tergantung terhadap orang lain, tidak dapat merespon

secara emosional, memiliki emosi yang tidak stabil, mengembangkan harga

diri dan adekuasi diri yang negatif dan memiliki pandangan yang negatif

terhadap dunianya. Khaleque dan Rohner (2002) dalam penelitiannya

memprediksi bahwa penolakan orang tua terhadap anak memiliki efek yang

negatif terhadap penyesuaian psikologis dan perilaku pada anak. Rohner dkk

(2007) dalam penelitiannya, menemukan bahwa penolakan orang tua bisa

mengakibatkan terjadinya problem perilaku pada anak termasuk conduct disorders, problem eksternal dan juga kenakalan pada anak. Dalam studi yang dilakukan di beberapa negara seperti Australia, China, Mesir, Jerman,

Hungaria, Swedia dan Turkey penolakan orang tua dapat mengakibatkan

depresi pada anak (Rohner & Britner, 2002).Lebih lanjut, Menurut Rohner

(26)

pada anak, yaitu : (1) agresi atau pemberontakan; (2) ketergantungan atau

kemandirian yang defensif; (3) harga diri yang rendah; (4) self-adekuasi

rendah; (5) tidak bisa merespon secara emosional; (6) emosi tidak stabil; dan

(7) memandang dunia sebagai tempat yang negatif. Menurut teori ini, anak-

anak yang merasa ditolak akan memandang dunia sebagai tempat yang negatif

dimana subjek percaya bahwa orang- orang di sekitar subjek adalah orang

yang jahat, kejam dan berbahaya. Hasil penelitian lebih lanjut yang dilakukan

oleh Rohner (2005) menemukan bahwa penolakan orang tua terhadap anak

membawa konsekuensi yang serius bagi perkembangan psikologis dan fungsi

kepribadian pada anak, ditambahkan oleh Johnson dan Medinnus (1967) yang

menyatakan bahwa sikap orang tua yang menolak kehadiran anak cacat akan

mempengaruhi tingkah laku anak menjadi nakal dan mempunyai

permasalahan di sekolah”.

Sebaliknya berapa penelitian menemukan bahwa penerimaan orang tua

terhadap anak dapat mengurangi terjadinya problem- problem eksternal seperti

overactivity, agresi terhadap teman sebaya, lemahnya kontrol terhadap impuls dan juga tantrums, khususnya pada anak usia pra sekolah (Mansell dkk: 2009). Menurut Johnson dan Medinnus (1967) apabila orang tua menghargai anak

sebagai individu seutuhnya, mencintai anak tanpa syarat serta memenuhi

kebutuhan anak untuk mengekspresikan perasaan maka akan terbentuk sikap

positif terhadap dirinya. Anak akan mampu menerima keadaan dirinya,

mampu berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mampu menghargai sesama dan

menerima tanggung jawab sosial, sehingga akan memunculkan kemampuan

dalam penyesuaian diri di sekolahnya, anak dapat berinteraksi dengan teman

(27)

belajar dengan hasil yang sangat memuaskan. Penerimaan orang tua ditandai

dengan perhatian yang besar dan kasih sayang pada anak (Hurlock, 1978),

orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan

anak dan memperhitungkan minat anak, dengan demikian anak yang

mendapatkan apa yang dibutuhkannya, yaitu kasih sayang, perhatian,

pengalaman, kemandirian dan kebutuhan yang dimiliki akan memunculkan

kemampuan penyesuaian diri. Adanya penerimaan dari orangtua akan

membuat anak merasa aman dan membangun kepercayaan dasar (basic trust)

yang kuat terhadap orangtua mereka, penerimaan orangtua terhadap anak

merupakan salah satu faktor tercapainya fungsi adaptif yang baik pada anak

(Rohner, 2005). Menurut Dariyo (2007) keberhasilan seseorang dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya akan menyebabkan

perkembangan kepribadian yang sehat, anak akan memiliki konsep diri, harga

diri, percaya diri dan efikasi diri yang baik. Menurut Coopersmith (dalam

Walgito, 1993) penerimaan orangtua adalah perhatian, cinta atau kasih sayang,

tanggap terhadap kebutuhan dan keinginananak serta sikap pengertian dari

orangtua yang ditunjukkan dengan sikap yang penuh bahagia dalam mengasuh

anak. Penerimaan orangtua ditandai dengan adanya kebersamaan orangtua

dengan anak, menciptakan hubungan yang hangat dengan anak, memberikan

hal-hal yang terbaik untuk anaknya, dan adanya sikap peduli terhadap tumbuh

kembang anak. Menurut Robinson (dalam Mumawir, 1997) penerimaan

orangtua yang dimaksud adalah menghargai atas apa yang dimiliki dan

menyadari atas apa yang tidak dimiliki. Orangtua yang menerima anak

sebagaimana adanya adalah orangtua yang menghargai apa yang dimiliki anak

(28)

menyenangkan dengan anak dan berupaya mengembangkan potensi yang

masih dimiliki oleh anak untuk mempersiapkan tugasnya di masa depan.

Orang tua yang memiliki anak tuna daksa tentunya menghadapi tantangan

„”ekstra” bila dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak yang

normal. Orang tua yang memiliki anak tuna daksa diharapkan agar dapat

menerima keadaan anak mereka apapun kondisinya, namun tentu saja untuk

dapat menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan

tidaklah mudah.

Maka dari itu, perlu adanya pelatihan bagi orangtua agar subjek dapat

menerima kondisi anak mereka tanpa syarat dan apa adanya sehingga akhirnya

dapat mengoptimalkan perkembangan psikologis anak.

Beberapa pelatihan telah terbukti efektif untuk membantu para orang tua

subjek dalam menghadapi anak- anak subjek yang memiliki kebutuhan

khusus. Penelitian yang dilakukan oleh Ingersoll & Dvortcsak (2006)

menunjukkan bahwa pelatihan bagi orang tua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus seperti autisme terbukti dapat meningkatkan kualitas

kehidupan dalam keluarga, dengan cara mengurangi stres pada orang tua dan

meningkatkan kebahagiaan dan waktu luang bagi keluarga. Orang tua yang

mengikuti pelatihan juga melaporkan bahwa mereka menjadi lebih optimis

akan kemampuan mereka dalam membantu perkembangan anak-anak yang

memiliki kebutuhan khusus.

Menurut Rogers dalam Alwisol (2004) penerimaan positif tanpa syarat

(29)

program Parent Effectiveness Training ini, karena Gordon melihat dalam kenyataannya masih banyak para orangtua yang belum dapat menerima

sepenuhnya keadaan anak-anaknya. Banyak orangtua yang masih

menggunakan menggunakan kekuasaannya ketika menghadapi konflik dengan

anak-anak mereka, yang menyebabkan hubungan orangtua dengan anak

mengalami ketegangan dan diliputi oleh perasaan yang tidak nyaman, yang

menyebabkan hubungan keluarga menjadi tidak harmonis.

Parent Effectiveness Training (PET) adalah pelatihan yang dapat membantu orang tua agar efektif dalam mendidik anak- anak subjek. Pelatihan

ini memberikan ketrampilan bagi orang tua tentang bagaimana menghadapi

permasalahan yang sering terjadi antara orang tua dengan anak melalui

penerimaan dan komunikasi yang efektif. Pelatihan ini dapat diterapkan bagi

orang tua yang memiliki anak normal maupun anak yang cacat (Gordon,

2009).

Pelatihan ini mengajarkan betapa pentingnya penerimaan orangtua

terhadap anak-anak subjek sehingga perkembangan psikologis anak- anak

subjek dapat berkembang secara optimal. Penerimaan terhadap anak

merupakan hal terpenting dalam interaksi antara orang tua dengan anak.

Terlebih lagi pada anak tunadaksa, dimana penerimaan orang tua merupakan

faktor terpenting dalam perkembangan psikologis anak.

Pelatihan ini memberikan ketrampilan bagi orangtua untuk dapat

mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan efektif, agar orangtua dapat

menghindari terjadinya permasalahan anak yang lebih besar di kemudian hari.

(30)

mengembangkan hubungan yang hangat dan akrab yang didasarkan atas saling

mengasihi dan saling menghargai.

Adanya dukungan dan kasih sayang dari keluarga khususnya kedua orang

tua akan dapat membantu anak tunadaksa untuk dapat mencapai

perkembangan secara optimal, adanya penerimaan dari orang tua tentunya

akan membuat anak merasa dicintai, dihargai dan diperhatikan sehingga dapat

mencapai perkembangan yang optimal meskipun dengan kekurangan fisik

yang subjek miliki. Adanya penerimaan dari orang tua tentunya juga akan

membuat anak dapat menerima kondisi subjek apa adanya, dengan adanya

penerimaan yang positif maka orang tua akan mampu memperbaiki

„kerusakan‟ anak baik secara fisik maupun psikologis (Gordon, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah judul penelitian

Parent Effectiveness Training untuk meningkatkan penerimaan orangtua

terhadap anak tunadaksa”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka rumusan

permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah program Parent Effectiveness Training dapat meningkatkan penerimaan orangtua terhadap anak tunadaksa.

C. KEASLIAN PENELITIAN

(31)

dan Joyce (2008) melakukan penelitian dengan judul A Review of the Efectiveness of Group Cognitively Enhanced Behavioral Based Parent Program Designed for Reducing Disruptive Behavior in Children yang bertujuan untuk meneliti apakah program pelatihan Group Cognitively Enhanced Behavioral untuk orang tua efektif untuk mengurangi tingkat perilaku merusak pada anak dan stres pada orang tua. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa program ini efektif untuk mengurangi tingkat

perilaku merusak pada anak dan stres pada orang tua.

Selain itu, Wood dan Davidson (2003) dalam studi yang berjudul

Helping Families Cope: A Fresh look at Parent Effectiveness Training

menunjukkan hasil bahwa program pelatihan ini efektif untuk mengurangi

perilaku negatif pada anak.

Peneliti juga menemukan penelitian yang dilakukan oleh Wood (2003)

dalam disertasinya yang berjudul How We Talk to Our Children : An Evaluation of Parent Effectiveness Training for the Development of Emotional Competence. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi program PET dalam mengembangkan kompetensi emosional. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa program PET ini dapat

mengembangkan kompetensi emosional pada anak.

Dari beberapa penelitian diatas, diketahui bahwa porgram PET ini

digunakan untuk melatih komunikasi interpersonal orang tua terhadap

anak, melatih orang tua untuk mendengarkan aktif dan melatih orang tua

untuk dapat memecahkan permasalahan dan meresolusi konflik yang

(32)

telah digunakan di banyak negara. Di Australia, program ini diadakan

secara rutin setiap tahun dengan jumlah orang tua mencapai 900 orang.

Hasil penelitian- penelitian di atas menyebutkan bahwa PET dapat

diberikan pada orang tua yang memiliki anak „normal‟ dengan problem

perilaku negatif. Program ini juga efektif untuk menurunkan tingkat stres

pada orang tua dalam menghadapi permasalahan anak-anak subjek,

namun sejauh yang diketahui oleh peneliti, belum ada penelitian yang

menyatakan bahwa PET ini efektif untuk meningkatkan penerimaan orang

tua yang memiliki anak tunadaksa khususnya di Indonesia. Oleh karena

itu kualitas dan keaslian penelitian ini secara ilmiah dapat dipertanggung

jawabkan.

D. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti

empiris bahwa program Parent Effectiveness Training dapat meningkatkan penerimaan orangtua terhadap anak tunadaksa.

E. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Dapat memberikan masukan informasi yang dapat diterapkan oleh

orangtua khususnya tentang bagaimana pola pengasuhan orangtua

terhadap anak

(33)

Dapat memberikan sumbangan pikiran, saran, serta tindakan yang

berarti terhadap pihak- pihak yang berkepentingan. Khususnya

bagi orang tua sehingga perkembangan anak- anak tunadaksa

dapat berkembang secara optimal dan juga sebagai masukan bagi

Referensi

Dokumen terkait

Pramuka Penggalang merupakan potensi masa depan bangsa. Untuk itu, perlu dibina dan dilatih agar memiliki kreativitas tinggi dan daya saing yang sehat sehingga sanggup membina

Seperti yang telah diuraikan pada Bab I tentang tujuan yang ada dalam penelitian yaitu untuk mendeskripsikan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII pada materi

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah: 1) Untuk mengidentifikasi dan menganalisis perbedaan tingkat kepuasan siswa terhadap mata pelajaran akuntansi menggunakan

Mungkin memang benar apabila matahari memancar, langit biru , tetapi kita tentu tidak mau kesimpulan ini bahwa kebiruan langit merupakan syarat tunggal yang menjamin kebenaran

Pada hasil akhir didapatkan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna adalah tekanan intraoku- lar (data kontinu dengan PR = 1,01; 95% CI = 1,01- 1,02), jenis glaukoma,

godine na mjestu beglerbega u Jegru (mađ. godine, Halil-beg, odnosno Halil-paša Memibegović, okončao svoj životni put. Nakon smrti Halil-pašino tijelo dopremljeno je u Banju Luku

Kebijakan tata kelola dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan Manajemen

Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit.Curah hujan merupakan unsur iklim yang penting diperhatikan, dimana kelapa sawit merupakan