• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan cara Pemberian Pangan Terhadap Napsu Makan Pada Subyek Obes Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan cara Pemberian Pangan Terhadap Napsu Makan Pada Subyek Obes Normal"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

H

HHAAASSSIIILLLPPPEEENNNEEELLLIIITTTIIIAAANNN

PENGARUH INDEKS GLIKEMIK, KOMPOSISI, DAN CARA

PEMBERIAN PANGAN TERHADAP NAFSU MAKAN

PADA SUBYEK OBES DAN NORMAL

Albiner Siagian1, Rimbawan2, Hidayat Syarief2, dan Darwin Dalimunthe3

1 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan

2 Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB Bogor

3 Departemen Gizi FK USU Medan

ABSTRACT

This research was aimed to analyze the effects of glycemic index, composition, and frequency of serving of food on appetite score after lunch. The study design was randomized controlled trial with high glycemic index food as control. The location of the research was in Medan, North Sumatera Province. Total subjects were 64 which consisted of 32 normal and 32 obese subjects, based on their body mass index. The number of male and female subjects were selected equally. Subject aged between 18 to 35 years. Test meals consisted of four types, i.e. high glycemic index food (GI:94), low glycemic index food (GI:52), medium glycemic index (high carbohydrate-low fat, GI:66), and medium glycemic index (low carbohydrate-high fat, GI:64) served at the morning. Reference food was white bread (GI:100). The study showed that meals with low glycemic index served at the morning were able to decrease the appetite score of the lunch meals. Except the high glycemic index meal, there was significant difference of appetite score after second meal between test meal and control groups. Also, there were siginificant differences of appetite score after second meal between normal and obese subjects in response to the same first meals. The method of serving (inter-meal) was also able to suppress the appetite score (or to elongate the satiation) of meals after lunch both for normal and obese subjects.

Keywords: Glycemic index, Appetite score, Breakfast meal, Lunch meal

PENDAHULUAN

Sejak dikenalkan pada tahun 1981 oleh dr. David Jankins, konsep indeks glikemik (IG) pangan telah meramaikan pendekatan ilmiah untuk pengaturan diet bagi penderita diabetes, penderita obesitas, dan olahragawan. Telah banyak bukti ilmiah yang mendukung peran IG tersebut. Namun, tidak sedikit juga hasil penelitian yang mendebatnya. Sampai saat ini, pendekatan indeks glikemik pada pengaturan diet masih kontroversial.

Salah satu peran pendekatan IG pada penanganan obesitas adalah penurunan asupan pangan atau berkurangnya nafsu makan berkaitan dengan konsumsi pangan IG rendah.

Liljeberg et al. (1999) menunjukkan bahwa pangan IG-rendah dapat memperbaiki respons glukosa darah dan satiety score. Sementara itu, Ludwig (2000) telah merangkum 16 hasil penelitian yang menguji efek IG pangan terhadap nafsu makan pada manusia. Hasil dari 15 penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan rasa kenyang, penundaan rasa lapar, atau penurunan asupan pangan lebih besar terjadi setelah mengonsumsi pangan IG rendah dibandingkan dengan setelah mengonsumsi pangan IG tinggi. Ini membuktikan bahwa pangan IG rendah dapat menekan rasa lapar dan menurunkan kuantitas asupan pangan.

(2)

korelasi antara respons glukosa darah dan nafsu makan atau asupan pangan, meskipun signifikan, tetapi tidak kuat. Oleh karena itu, mereka menduga bahwa respons glikemik hanya menggambarkan karakterisktik penyerapan karbohidrat dan bukan mekanisme spesifik yang melaluinya merangsang signal rasa kenyang.

Anderson et al. (2002) juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang berkebalikan antara respons glukosa darah dan asupan pangan dan subjective satiety pada masa 60 menit postprandial. Pangan IG-tinggi menekan subjective satiety dan asupan pangan pada jangka pendek, tetapi tidak oleh pangan IG-rendah. Hal senada juga ditemukan oleh Franz et al. (2002). Mereka menunjukkan bahwa pangan berkarbohidrat yang memiliki IG yang tinggi menekan asupan pangan, bukan pangan IG rendah.

Pada jangka pendek, respons glikemik yang tinggi, bukan yang rendah, berkaitan dengan penurunan tingkat kekenyangan dan asupan pangan (Holt et al., 1995; Woodend, Anderson, 2001). Anderson dan Woodend (2003) menunjukkan bahwa makin tinggi respons glukosa dan insulin, makin tinggi tingkat kekenyangan setelah mengonsumsi pangan berkarbohidrat, paling tidak selama 2 jam berikutnya. Hal ini bertolak belakang dengan temuan lain yang menunjukkan bahwa overkonsumsi akan mengikuti konsumsi IG tinggi dan sebaliknya untuk pangan IG rendah (Robert 2000).

Hipotesis glukostatik pada pengaturan asupan pangan menyatakan bahwa peningkatan kadar glukosa darah memicu rasa kenyang dan mendorong penghentian makan. Namun, hal ini bertentangan dengan tesis yang menyatakan bahwa pangan IG tinggi mendorong asupan energi yang belebihan dan bahwa pangan IG rendah menekan nafsu makan, sehingga mencegah obesitas. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan yang tajam pada kadar glukosa darah diikuti oleh penurunan glukosa darah postprandial yang mendorong untuk mengonsumsi pangan kembali (Ludwig, 2000).

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh IG, komposisi, dan frekuensi pemberian pangan pagi hari terhadap nafsu makan pasca-makan siang. Sedangkan tujuan khususnya adalah

mengetahui perbedaan skor nafsu makan pasca-makan siang antara pangan uji dan pangan patokan; dan mengetahui perbedaan skor nafsu makan pasca-makan siang menurut IG, komposisi zat gizi, dan frekuensi pemberian makan.

Manfaat Penelitian

ƒMenghasilkan informasi tambahan (bukti ilmiah) berkaitan dengan modifikasi pangan pada pagi hari dan efeknya pada pengendalian asupan pangan pada siang hari.

ƒMenghasilkan data dasar penting untuk penatalaksanaan diet bagi penderita obesitas.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Medan Sumatera Utara. Sedangkan, analisis komposisi zat gizi pangan dilakukan di Laboratorium Kimia Makanan, Departemen Gizi Masyarakat IPB. Penjaringan subyek penelitian dan pengambilan data berlangsung pada bulan Mei s.d. Oktober 2005.

Penyiapan Pangan

Pangan Acuan

Pangan acuan yang digunakan adalah roti tawar (IG: 100) yang mengandung 50 gram karbohidrat. Alasannya adalah karena roti tawar lebih mencerminkan mekanisme fisiologis dan metabolik daripada glukosa murni (Miller et al., 1997).

Pangan Uji

Berdasarkan IG-nya, pangan uji dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pangan yang memiliki IG rendah (IG < 55) dan IG tinggi (IG > 70). Sedangkan menurut komposisinya, pangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu rendah karbohidrat-tinggi lemak (persentase sumbangan kalori 60% dari karbohidrat, 25% dari lemak, dan 15% dari protein) dan rendah lemak-tinggi karbohidrat (dengan persentase sumbangan kalori 25% dari karbohidrat, 60% dari lemak, dan 15% dari protein). Kedua jenis komposisi pangan ini juga mewakili pangan dengan IG sedang (IG:55-70). Kuantitas energi pangan uji, masing-masing, adalah 750 kkal.

(3)

Analisis Zat Gizi

Pangan uji yang akan diukur IG-nya terlebih dahulu dianalisis profil gizi makronya, yaitu karbohidrat (karbohidrat total, available carbohydrate, pati amilosa dan amilopektin serat total, dan serat kasar), protein total dan lemak total.

Komposisi Pangan Uji

Pangan uji terdiri atas empat jenis, yaitu pangan uji IG rendah, pangan uji IG sedang komposisi 1 (tinggi karbohidrat-rendah lemak), pangan uji IG sedang komposisi 2 (rendah karbohidrat-tinggi lemak), dan pangan uji IG tinggi. Sementara itu, cara pemberian makan juga dibedakan, yaitu satu kali pemberian dan dua kali pemberian. Kuantitas kalori pangan uji adalah 750 kkal. Kuantitas pangan untuk dua kali pemberian masing-masing adalah 375 kkal.

Agar memenuhi kriteria nilai IG, selanjutnya IG pangan uji diperkirakan dengan metode pengukuran IG pangan campuran (Miller et al., 1997). Indeks glikemik masing-masing pangan penyusun pangan uji diperoleh dari International Table of Glycemic Index and Glycemic Load (Foster-Powel et al., 2002).

Pangan uji IG tinggi disusun oleh kentang rebus, gula, daging sapi rebus, wortel rebus, dan jus semangka, dan secukupnya. Sedangkan pangan uji IG rendah terdiri atas nasi ramos kukus, gula putih, daging sapi rebus, buncis rebus, dan jus apel, dan garam secukupnya.

Kentang rebus (IG: 96), gula (IG: 74), dan wortel rebus (IG: 90) sebagai komponen utama pangan uji IG tinggi menyumbang IG campuran berturut-turut sebesar 58,6 (65%), 12,9 (14%), dan 10,3 (11%). Sementara itu, pada pangan uji IG rendah, buncis rebus (IG: 30) dan jus apel (IG: 40) berperan menurunkan IG pangan campuran.

Pangan uji IG sedang (tinggi karbohidrat-rendah lemak) didasarkan pada porsi sumbangan kalori dari karbohidrat, protein, dan lemak pangan. Proporsi sumbangan kalori tersebut adalah 60% dari karbohidrat, 25% dari lemak, dan 15% dari protein. Pangan uji IG sedang ini terdiri atas nasi ketan hitam kukus, dada ayam goreng, putih telur bebek rebus, susu tepung, buncis rebus, jus apel, gula, dan garam secukupnya.

Komposisi kalori pangan uji IG sedang (rendah karbohidrat-tinggi lemak) adalah 60% kalori dari lemak, 25% kalori dari karbohidrat, dan 15% kalori dari protein. Pangan uji ini tersusun dari nasi ketan hitam kukus, dada ayam goreng, lemak kambing, satu porsi susu tepung, buncis rebus, jus apel, dan garam secukupnya.

Pengukuran Indeks Glikemik

Prosedur penentuan IG pangan dilakukan dengan prosedur baku (Miller et al., 1997). Pengukuran IG dilakukan di sebuah rumah di Medan. Selama pengukuran IG, subyek berada dalam keadaan duduk santai (aktivitas ringan). Kurva polinomial respons glikemik masing-masing pangan uji ditentukan dengan pendekatan trial and error dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel version 12. Model polinomial terpilih adalah yang memiliki nilai R2 yang paling tinggi.

Subyek Penelitian

Subyek penelitian berumur 18-30 tahun yang terdiri atas dua kelompok, yaitu normal dan kelompok obes. Untuk satu jenis pangan uji (perlakuan) dibutuhkan delapan orang subyek normal dan delapan orang subyek obes (masing-masing empat orang pria dan wanita). Setiap kelompok subyek mengalami perlakuan untuk pemberian pangan sela (dua kali pemberian), setelah tiga hari periode wash out. Jumlah total subyek adalah 64 orang.

Tabel 1. Komposisi zat gizi pangan uji Setara 750 kkal

Karbohidrat1 Protein Lemak Serat2 Pangan Uji

g kkal g kkal g kkal g

IG-rendah 103,5 414,0 38,0 152,0 20,5 184 4,3 IG-sedang (komposisi-1) 112,4 450.0 38,2 152,0 16,2 146,0 4.3 IG-sedang (komposisi-2) 56,4 226,0 43,5 175,0 38,9 350,0 4.2 IG-tinggi 103,2 412,0 37,4 150,0 20,8 188,0 4,6 1

(4)

Kriteria inklusi subyek adalah: tidak memiliki riwayat penyakit DM, tidak sedang mangalami gangguan pencernaan, tidak menggunakan obat terlarang, dan tidak mengonsumsi alkohol. Indeks massa tubuh (IMT) subyek adalah antara 20–25 kg/m2 (normal) dan IMT ≥ 25 (obes). Selanjutnya, subyek tidak memiliki riwayat atau sedang mengalami hipertensi dan tidak sedang mengalami tekanan psikologis. Tingkat aktivitas fisik adalah sedang serta mereka berasal dari suku Batak. Subyek dialokasikan secara merata ke dalam setiap kelompok. Penempatan subyek ke dalam kelompok dilakukan secara acak berstrata.

Desain Penelitian

Pengujian efek IG, komposisi zat gizi, dan frekuensi pemberian sarapan pada nafsu makan pasca-makan siang dilakukan dengan metode eksperimen dengan studi acak kelompok terkendali (Kelinbaum et al., 1982; Murti, 2003). Pemberian pangan uji dan penempatan subyek pada kelompoknya dilakukan secara acak. Pemberian pangan uji (sarapan) dilakukan pada pukul 8.00 WIB, setelah subyek menjalani puasa, kecuali air.

Pemberian Pangan Uji (Satu Kali Pemberian Makan)

Pada pagi hari (pukul 8.00 WIB), sebelum pemberian pangan uji (sarapan), sampel darah diambil untuk mengukur kadar glukosa puasa. Selanjutnya, sampel darah kembali diambil berturut-turut pada pukul; 8.15, 8.30, 9.00, 10.00, 11.00, dan 12.00 WIB. Hal ini berlaku untuk semua kelompok perlakuan. Pada pukul 12.00 WIB, makan siang diberikan kepada semua kelompok perlakuan. Skor nafsu makan diukur pada pukul 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan 16.00 WIB.

Pemberian Pangan Sela (Dua Kali Pemberian Makan)

Tiga hari setelah periode wash-out pangan sela diberikan kepada subyek pada setiap kelompok. Pangan sela diberikan dua jam setelah pemberian sarapan. Pangan diberikan dua kali, yaitu setengah (setara dengan 375 kkal) dari kuantitas pangan pada satu kali pemberian pada pagi hari (pukul 8.00 WIB) dan setengah lagi pada pukul 10.00 WIB. Masing-masing kelompok menerima pangan patokan (IG tinggi) pada

siang hari. Selama pengujian, subyek hanya diperbolehkan duduk-duduk atau berjalan-jalan ringan dan tidak boleh mengonsumsi pangan lain, kecuali minum air. Pengukuran skor nafsu makan dilakukan pada waktu seperti pada perlakuan dengan satu kali pemberian.

Nafsu Makan

Skor nafsu makan pasca-makan siang diukur berturut-turut pada pukul 12.00 (sebelum pemberian), 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan 16.00 WIB. Skor nafsu makan diukur dengan cara meminta subyek mengekspresikan perasaan lapar/kenyangnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan motivation to eat questionnaire. Caranya adalah meminta subyek membubuhkan tanda pada suatu garis rentang skala nafsu makan (sangat tidak kenyang---sangat kenyang) (Anderson et al., 2002). Interpretasi rasa lapar dinyatakan dengan skor nafsu makan. Pertanyaan pada kuesioner tersebut terdiri atas tiga macam, yaitu:

a. Keinginan makan: Seberapa kuat keinginan Anda untuk makan saat ini? Sangat lemah --- sangat kuat b. Lapar: Seberapa laparkah perasaan

Anda saat ini?

Sama sekali tidak lapar ---sangat lapar c. Konsumsi prospektif: Seberapa banyak

pangan dapat Anda habiskan?

Tidak ada sama sekali --- banyak sekali

Rentang nilai pada kuesioner adalah dari 0 (sangat lemah, sama sekali tidak lapar, atau tidak ada sama sekali) sampai dengan 100% (sangat kuat, sangat lapar, atau banyak sekali).

Motivation to eat quessionaire (MEQ) terlebih dulu diuji validitas dan realibilitas-nya. Sebelum pengukuran skor nafsu makan. Subyek terlebih dulu menjalani pelatihan cara mengisi MEQ.

Analisis Data

Hasil penelitian disajikan sebagai x±SD. Analisis pengaruh pemberian sarapan pada skor nafsu makan pasca-makan siang dilakukan dengan membandingkan skor nafsu makan pasca-makan siang antara pangan uji dan

Skor nafsu makan =

(5)

pangan acuan. Perbedaan skor nafsu makan antara kelompok pangan uji dan pangan acuan dianalisis dengan uji rangking-berpasangan Wilcoxon pada setiap titik pengamatan. Perbedaan efek antar perlakuan diuji dengan One-way ANOVA dengan post hoc test Bonferroni menggunakan SPSS for Windows version 12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Subyek Penelitian

Umur subyek berkisar antara 19 dan 32 tahun. Secara rata-rata umur subyek pria lebih tinggi daripada umur subyek perempuan. Tidak ada perbedaan rata-rata umur subyek menurut jenis kelamin pada setiap kelompok perlakuan.

Indeks massa tubuh (IMT) berkisar antara 19-24 kg/m2 untuk kelompok normal dan 26-33 kg/m2 untuk kelompok obes. Semetara itu, rata-rata kadar glukosa darah puasa adalah 81.9 dan 80.1 mg/dl, masing-masing untuk pria dan wanita normal serta 82.5 dan 81.2 mg/dl masing-masing, untuk pria dan wanita obes. Tidak ada perbedaan

rata-rata kadar glukosa puasa menurut jenis kelamin dan kelompok perlakuan.

Indeks Glikemik Pangan Uji

Hasil perhitungan IG (IG sebenarnya) menghasilkan IG sebagai berikut: pangan uji IG rendah (IG:52), IG sedang (komposisi-1) (IG:66), IG sedang (komposisi-2) (IG:64), dan IG tinggi (IG:94) (Tabel 2). Angka ini hampir sama dengan IG yang diperkirakan dengan metode beban glikemik (IG campuran), yaitu 54, 63, 61, dan 91, berturut-turut untuk pangan uji IG rendah, IG sedang (komposisi-1), IG sedang (komposisi-2), dan IG tinggi.

Nafsu Makan Pasca-makan Siang

Pada tahun 1953, Meyer telah mengajukan teori glukostatik yang menjelaskan mekanisme yang melaluinya karbohidrat mengatur asupan pangan. Keinginan untuk mengonsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nafsu makan/rasa kenyang. Teori glukostastik menyatakan bahwa kadar glukosa dalam darah yang rendah memicu/merangsang keinginan untuk mengonsumsi pangan (nafsu makan).

Tabel 2. Indeks glikemik perkiraan dan IG sebenarnya pangan uji

Komposisi Pangan % Karbohidrat IGi1 Sumbangan terhadap IG2 IGs Kentang rebus 61,0 96 61,0%x96 = 58,6

Gula 17,4 74 17,4%x74 = 12,9

Daging sapi rebus ta ta ta

Wortel rebus 11,4 90 11,4x90 = 10.3 Jus semangka 10,0 85 10,0%x88 = 8,8 IG tinggi

IG campuran = 91 94 Nasi Ramos kukus 66,6 60 66,6%x60 = 39,9

Gula 5.8 74 2,3%x74 = 4,2 Daging sapi rebus ta ta ta

Buncis rebus 9,4 30 9,4%x30 = 2,82 Jus Apel 18,1 40 18,1%x40 = 7,24 IG rendah

IG campuran = 54 52 Ketan hitam kukus 65,6 65 65,6%x65=42,6

Ayam goreng ta ta ta

Telur bebek rebus ta ta ta

Susu, 1 porsi 16.6 70 16,6%x70=11.6

Buncis 4,2 35 4,2%x35=1,5 Jus apel 8,4 40 8,4%x40=3,3

Gula 5,3 74 5,3%x74=3,9

IG-sedang (komposisi-1)

IG campuran = 63 66 Ketan hitam kukus 41,6 65 41,6%x65 =27,0

Ayam goreng ta ta ta

Daging kambing ta ta ta

Susu (1 porsi) 33,1 70 33,1%x70=24.2 Buncis rebus 8,4 35 8,4%X35=3.2 Jus apel 16,8 40 16,8%x40=6,9 IG-sedang

(komposisi-2)

IG campuran = 61 64

1

International table of glycemic index and glycemic load (Foster-Powel et al., 2002) 2

(6)

Sementara itu, kadar glukosa darah yang tinggi menimbulkan rasa kenyang dan pada gilirannya menghentikan asupan pangan. Teori ini mendukung fakta bahwa peningkatan rasa kenyang segera setelah mengonsumsi pangan yang memiliki IG yang tinggi sehubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah yang drastis akan diikuti oleh peningkatan nafsu makan, karena kadar glukosa darah akan turun secara drastis pula.

Pengaturan nafsu makan jangka pendek (short-term appetite) adalah multifaktor, meliputi rangsangan pengecapan di mulut (Ralls et al., 1981), distensi lambung dan interaksi antara zat gizi dengan usus halus (Cook et al., 1997 dan Lavin et al., 1996). Sementara itu, Andrews et al. (1999) telah menunjukkan bahwa persepsi nafsu makan dipengaruhi oleh perubahan kadar glukosa darah. Selanjutnya pengaruh ini dimodifikasi oleh hadirnya zat gizi (lipid) di usus halus. Hal ini mengindikasikan sinergi antara kadar glukosa darah dengan reseptor zat gizi pada saluran pencernaan dalam fungsi sensori oral.

Dalam penelitian ini, skor nafsu makan diukur secara subyektif (subjective appetite score). Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah subyek mengonsumsi pangan uji atau pangan acuan. Nafsu makan yang diukur adalah sensasi yang dirasakan subyek sehubungan dengan konsumsi pangan uji. Sensasi nafsu makan atau perasaan lapar yang dirasakan subyek berkaitan dengan kadar glukosa dalam darahnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada menit ke-0 atau pukul 12.00 WIB (sebelum makan siang), rata-rata skor nafsu makan subyek normal adalah sebagai berikut. Rata-rata skor nafsu makan untuk semua pangan uji adalah 76,7 dan 57,1 masing-masung untuk perlakuan dengan frekuensi satu kali dan dan kali pemberian makan. Untuk pangan acuan, rata-rata skor nafsu makan adalah 77,4 dan 76,4 masing-masing untuk frekuensi satu kali dan dua kali pemberian makan (Tabel 3). Hasil uji beda rata-rata pada menit ke-0 menunjukkan ada perbedaan bermakna (p<0.05) rata-rata skor nafsu makan antar pangan pada kedua kelompok perlakuan (satu kali dan dua kali pemberian makan).

Tabel 3. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek normal)

Skor Nafsu Makan Pasca Makan Siang pada Menit ke- (mg/dl)* Jenis

Pangan

Kelompok

0 15 30 60 120 180 240

Pangan Uji 82.4±4.1a 32.2±5.8a 34.6±7.5a 45.3±4.6a 62.2±6.2a 71.1±6.7a 80.5±4.4a IG tinggi

(1 kali) Pangan Acuan 81.2±3.5a 32.0

±6.1a 34.4

±6.9a 45.1

±4.6a 62.1

±6.6a 71.3

±6.8a 81.2

±3.5a

Pangan Uji 70.1±6.1a 31.2±2.9a 36.6±4.2a 47.7±5.7a 62.7±4.7a 64.8±3.5a 76.5±3.0a IG tinggi

(2 kali) Pangan Acuan 76.5±3.0b

34.5±3.3b 38.0±4.0b 47.2±4.1a 62.7±5.7a 65.4±3.9a 75.4±3.8a Pangan Uji 71.3±4.4a 26.0±2.5a 32.2±4.7a 40.3±3.2a 49.3±3.1a 61.2±4.0a 71.5±5.5a IG rendah

(1 kali) Pangan Acuan 72.2±4.1a

29.4±4.0b 36.8±4.2b 44.7±5.1b 52.5±5.1b 62.0±3.3a 72.2±5.2a Pangan Uji 35.7±3.3a 5.6±3.9a 10.6±4.2a 36.0±4.3a 38.2±3.5a 53.8±4.5a 69.1±5.3a IG rendah

(2 kali) Pangan Acuan 72.2±4.7b

5.7±3.8b 10.7±4.8b 44.7±4.7b 52.5±5.1b 62.0±3.2b 72.2±5.2b Pangan Uji 74.9±2.6a 26.4±5.4a 29.7±6.0a 37.6±2.9a 53.3±2.4a 71.6±5.5a 80.1±1.7a IG-sedang

(komp-1) (1

kali) Pangan Acuan 77.5±1.7

b 32.0

±6.1b 35.7

±5.5b 45.1

±4.6a 62.1

±6.6a 71.6

±6.3a 79.3

±1.5a

Pangan Uji 63.4±4.8a 25.3±3.8a 33.3±3.4a 41.1±3.2a 60.7±6.9a 66.7±3.6a 79.4±1.4a IG-sedang

(komp-1)

(2 kali) Pangan Acuan 78.7±1.9

b

33.1±5.5b 39.0±3.7b 45.8±4.2b 62.4±6.1b 68.6±5.6a 79.4±1.8a

Pangan Uji 78.4±2.7a 27.3±2.9a 32.1±3.7a 43.8±3.8a 61.5±4.8a 69.0±6.7a 79.4±1.4a IG-sedang

(komp-2) (1 kali)

Pangan Acuan 78.7±1.9a 33.1

±5.5b 39.0

±3.7a 45.8

±4.2a 62.4

±6.1a 68.6

±5.6a 79.4

±1.8a

Pangan Uji 59.2±2.9a 18.9

±1.7a 32.3

±2.3a 41.1

±3.5a 60.1

±5.0a 69.3

±6.6a 79.9

±2.1a

IG-sedang (komp-2) (2 kali)

Pangan Acuan 78.4±1.9b 33.6±5.5b 38.7±3.7b 46.3±4.2b 63.5±6.1b 69.0±6.1a 79.6±2.1a

*x±SD; Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan kelompok yang sama menunjukkan perbedaan

(7)

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari cara pemberian pangan yang berbeda pada pagi hari. Kelompok yang diberi pangan hanya sekali (pukul 8.00 WIB) merasa lebih lapar (nafsu makan lebih tinggi) daripada kelompok yang diberi makan sebanyak dua kali (pukul 8.00 dan 12.00 WIB), walaupun kuantitas kalori total pangan yang diberikan sama (750 kkal). Fakta ini juga memperkuat bukti bahwa cara konsumsi pangan dengan menyicil dapat menurunkan asupan total pangan berkenan dengan menurunnnya nafsu makan.

Sementara itu, untuk waktu yang sama, rata-rata skor nafsu makan subyek obes adalah 78,8 dan 60,8 masing-masing untuk perlakuan dengan 1 kali dan 2 kali pemberian. Untuk pangan acuan, rata-rata skor nafsu makan adalah 79.5 dan 78.3 masing-masing untuk frekuensi satu kali dan dua kali pemberian makan (Tabel 4). Uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan skor nafsu makan antara kedua cara pemberian pangan pada sarapan (p<0.05). Temuan ini menyatakan bahwa efek mengonsumsi pangan dengan cara menyicil akan memiliki efek kecenderungan nafsu makan yang sama antara orang yang memiliki bobot badan yang normal dengan orang yang gemuk.

Hal yang menarik adalah bahwa kelompok obes lebih cepat lapar daripada kelompok normal. Hasil uji beda rata-rata skor nafsu makan pada pukul 12.00 (empat jam dan dua jam setelah pemberian sarapan, masing-masing untuk frekuensi satu kali dan dua kali pemberian makan), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor nafsu makan antara subyek normal dan obes (p < 0.05). Salah satu penjelasan ilmiah untuk temuan ini adalah kenyataan bahwa orang yang lebih gemuk memiliki kebutuhan energi yang lebih tinggi daripada orang yang lebih kurus (Ravussin et al., 1986). Orang yang lebih gemuk juga memiliki energi metabolisme basal yang lebih tinggi daripada orang yang lebih kurus. Kebutuhan energi yang lebih banyak ini akan diperoleh dari glukosa darah (cara yang paling efisien dan mudah). Akibatnya adalah kadar glukosa darah turun yang akan memberi signal kepada pusat lapar di hipotalamus.

Berkaitan dengan konsentrasi leptin yang bersirkulasi di dalam aliran darah, subyek obes kemungkinan memiliki konsentrasi leptin per satuan bobot badan

relatif lebih rendah daripada konsentrasi leptin pada subyek normal. Hal ini berkaitan dengan asupan energi yang relatif lebih rendah per satuan bobot badan pada subyek obes dibandingkan dengan subyek normal. Kolaczynski et al., (1996) dan Mars et al., (2005) menemukan bahwa konsentrasi leptin puasa menurun pada pembatasan asupan energi jangka pendek. Karena konsentrasi glukosa rendah akibat dari pembatasan asupan energi, konsentrasi insulin juga menurun selama masa pembatasan asupan energi. Dubuc et al., (1998) mengemukakan bahwa penurunan konsentrasi insulin memerantarai penurunan akut konsentrasi leptin. Konsentrasi leptin dalam darah yang rendah berkaitan negatif dengan nafsu makan. Itu berarti bahwa makin rendah konsentrasi leptin yang bersirkulasi pada aliran daran makin tinggi nasfsu makan.

Pengendalian asupan pangan, yang berarti juga rasa lapar, diatur oleh serangkaian proses yang rumit. Sekelompok sel saraf (nuklei) di dalam batang otak bagian bawah mengintegrasikan dan menangkap dan meneruskan informasi antara organ autonomi/endokrin periferal dan struktur forebrain. Nuclei pada bagian tengah otak dan talamus menginterpretasikan informasi ini dalam kaitannya dengan kadar glukosa darah, hormon, dan sifat sensori pangan. Akhirnya, nuclei pada forebrain, seperti amygdala dan frontal cortex dilibatkan dalam aspek mendorong dan menekan asupan pangan (Jéquier dan Tappy, 1999).

(8)

IG TINGGI (1X PEMBERIAN)

IG TINGGI (2X PEMBERIAN)

20

IG RENDAH (1X PEMBERIAN)

20

IG RENDAH (2X PEMBERIAN)

0

TINGGI KARBOHIDRAT-RENDAHI (1X PEMBERIAN)

20

Menit ke-0, 15, 30, 60, 120, 180, dan 240 berturut-turut berarti pukul 12.00, 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan 16.00 WIB

Gambar 1. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek normal)

Temuan lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor nafsu makan pasca-makan siang setelah pemberian pangan uji IG tinggi dibandingkan dengan pangan acuan (Tabel 3 dan Tabel 4). Ini dikarenakan IG pangan uji dengan pangan acuan hanya terpaut enam satuan. Hal ini tidak akan memberi pengaruh yang berarti pada rasa lapar (Miller et al., 1997). Perbedaan skor nafsu makan terjadi pada perlakuan pangan IG tinggi dengan frekuensi pemberian makan sebanyak dua kali. Baik pada subyek normal dan obes, terdapat perbedaan skor nafsu makan pada menit ke-0, 15, dan 30. Hal ini berbeda dengan perlakuan dengan pangan IG rendah di mana

terjadi perbedaan skor nafsu makan pada menit ke-15, 30, 60, dan 120.

(9)

bahwa terjadi perpanjangan masa kenyang setelah mengonsumsi pangan IG rendah. Sementara itu, Stubbs et al. (2001) mengemukakan bahwa secara taat azas, pangan yang memiliki IG yang rendah menurunkan asupan energi total pada intervensi jangka pendek. Hal ini diduga disebabkan oleh menurunnya nafsu makan pasca-pemberian pangan yang memiliki IG yang rendah.

Hal senada juga ditemukan oleh Warren et al. (2003) yang menemukan bahwa terjadi penurunan asuapan pangan pada siang hari sebagai akibat dari diperlamanya masa kenyang. Hal ini menguatkan fakta bahwa pangan IG rendah lebih mengenyangkan dan tahan lebih lama daripada pangan IG tinggi. Pangan yang memiliki IG yang rendah juga menunda pengosongan lambung atau lebih mengenyangkan daripada pangan IG tinggi (Miller et al., 1997).

Anderson dan Woodend (2003) menemukan bahwa peningkatan kadar glukosa darah yang cepat setelah mengonsumsi pangan yang memiliki IG yang tinggi akan diikuti oleh pemendekan rentang waktu ke waktu makan berikutnya. Temuan ini mengindikasikan dipersingkatnya masa kenyang. Hal itu berarti bahwa nafsu makan mulai timbul.

Hal yang sebaliknya terjadi pada subyek yang diberi pangan yang memiliki IG

yang rendah. Rentang waktu dari waktu makan sebelumnya dengan makan berikutnya diperpanjang sesudah pemberian pangan yang memiliki IG yang rendah. Fakta ini mendukung pandangan bahwa mempertahankan kadar glukosa darah postprandial adalah mekanisme yang melaluinya rasa kenyang dipertahankan atau dikendalikan (Anderson et al., 2002).

Dari penelitian ini juga terungkap bahwa penderita obes lebih mudah lapar daripada orang normal. Dari Tabel 4 terlihat bahwa rata-rata skor nafsu makan berkisar antara 64-70. Pada rentang titik pengamatan yang sama, rata-rata skor nafsu makan untuk subyek normal berkisar antara 49 dan 64 (Tabel 3).

Dari hasil penelitian ini juga diperoleh fakta bahwa bahwa, apapun jenis pangannya, subyek normal dan obes sama-sama merasa lapar setelah dua jam pemberian pangan. Kecenderungan peningkatan rasa lapar lebih tinggi pada subyek obes daripada subyek normal (Gambar 1 dan 2). Anderson et al. (2002) memperlihatkan bahwa terjadi penekanan nafsu makan sampai dengan 60 menit pasca-mengonsumsi pangan, baik pangan yang memiliki IG yang rendah maupun tinggi. Hal ini dikarenakan dorongan untuk memecah karbohidrat yang lebih kuat untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih tinggi (Ravussin et al., 1986).

Tabel 4. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek obes)

Skor Nafsu Makan Pasca-makan Siang (mg/dl)* Menit ke- Jenis

Pangan

Kelompok

0 15 30 60 120 180 240

Pangan Uji 84.4±7.8a 36.3±10.3a 39.6±9.6a 53.2±9.0a 67.6±6.0a 77.4±5.7a 85.1±6.8a IG tinggi

(1 kali) Pangan Acuan 84.3±6.4a

36.3±10.3a 38.9±9.5a 52.8±8.6a 67.7±5.8a 77.6±5.6a 85.5±6.5a Pangan Uji 76.8±4.8a 33.4±4.2a 38.0±4.1a 53.5±8.6a 64.5±7.6a 67.9±6.0a 76.2±4.4a IG tinggi

(2 kali) Pangan Acuan 76.2±5.1a

39.1±8.2b 41.6±6.9b 53.8±8.3a 67.6±6.0a 67.7±5.4a 75.5±4.0a Pangan Uji 75.1±5.2a 26.4±4.3a 34.5±5.0a 41.6±6.1a 60.0±8.2a 66.5±5.3a 77.4±6.2a IG rendah

(1 kali) Pangan Acuan 75.5±5.0a

28.1±3.9b 35.3±4.9b 45.5±6.0b 61.5±4.9a 66.9±3.2a 77.7±5.8a Pangan Uji 38.9±3.9a 4.6±3.7a 9.1±4.9a 45.5±4.7a 55.9±5.0a 66.7±4.8a 76.5±5.3a IG rendah

(2 kali) Pangan Acuan 76.5±5.3b

6.1±3.4b 10.6±6.1b 53.9±5.9b 64.3±4.9a 75.4±3.2a 77.8±5.8a Pangan Uji 76.7±4.5a 25.6±6.4a 30.2±6.4a 40.6±5.5a 66.8±4.6a 74.3±6.4a 81.2±1.8a IG-sedang

(komp-1) (1

kali) Pangan Acuan 78.2±5.3

b

36.3±10.2b 38.9±9.5b 52.8±8.6a 67.7±5.8a 76.5±4.5a 81.0±2.5a

Pangan Uji 65.4±5.8a 21.5±3.4a 30.5±5.9a 42.7±2.7a 67.3±6.1a 73.0±6.2a 80.5±1.7a IG-sedang

(komp-1)

(2 kali) Pangan Acuan 80.2±3.5

b

33.9±8.6b 43.2±9.4b 53.0±9.2b 68.1±5.7a 75.3±1.7a 80.2±2.1a

Pangan Uji 79.0±2.3a 26.2±.4.0a 32.3±4.8a 47.1±7.4a 65.0±7.6a 75.4±2.5a 80.5±1.7a IG-sedang

(komp-2) (1 kali)

Pangan Acuan 80.2±3.4a 33.9

±8.6b 43.2

±9.4b 52.9

±9.1b 68.1

±5.6a 75.3

±1.7a 80.2

±2.1a

Pangan Uji 62.1±5.4a 15.9±6.0a 29.8±3.7a 43.7±5.8a 69.9±4.2a 75.6±2.1a 80.2±3.5a IG-sedang

(komp-2)

(2 kali) Pangan Acuan 80.2±3.5

b

33.9±8.6b 43.2±9.3b 53.0±9.1b 68.1±5.6a 74.8±1.8a 80.4±1.6a

*x±SD; Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama dan kelompok yang sama menunjukkan perbedaan

(10)

IG TINGGI (1X PEMBERIAN)

IG TINGGI (2X PEMBERIAN)

20

IG RENDAH (1X PEMBERIAN)

20

IG RENDAH (2X PEMBERIAN)

0

Menit ke-0, 15, 30, 60, 120, 180, dan 240 berturut-turut berarti pukul 12.00, 12.15, 12.30, 13.00, 14.00, 15.00, dan 16.00 WIB

Gambar 2. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek obes)

Dari Tabel 2 terlihat bahwa, kecuali untuk pangan uji IG tinggi, terjadi perbedaan skor nafsu makan antara pangan uji dan pangan acuan. Pada rentang waktu 15-120 menit pasca-makan siang, rata-rata skor nafsu makan antara pangan uji dan pangan acuan menunjukkan angka yang berbeda. Pada subyek normal, nafsu makan pasca-makan siang setelah didahului pangan uji dengan IG dan komposisi yang berbeda pada pagi hari menjadi hampir sama tiga jam setelah makan siang. Rata-rata skor nafsu makan pada menit ke-180 dan 240 masing-masing berkisar antara 61-72 dan 71-81.

Fenomena yang berbeda terjadi pada subyek obes. Dua jam pasca-makan siang,

rata-rata skor nafsu makan antara kelompok pangan uji dan pangan acuan sudah menunjukkan angka dan kecenderungan yang hampir sama (Gambar 2). Apapun jenis pangan uji dan cara pemberiannya, tidak ada lagi perbedaan rata-rata skor nafsu makan dua jam setelah makan siang.

(11)

pangan uji yang memiliki IG yang rendah. Ball dan koleganya berspekulasi bahwa pemanjangan masa kenyang berkaitan dengan pangan yang memiliki IG yang rendah dapat menjadi metode yang efektif untuk menurunkan asupan kalori dan pengendalian bobot badan pada jangka panjang.

Penelitian pada subyek praremaja (9-12 tahun) menunjukkan bahwa terjadi penurunan asupan pangan pada waktu makan siang setelah didahului oleh pangan yang memiliki IG yang rendah. Namun tidak demikian halnya untuk pangan yang memiliki IG tinggi (Warren et al., 2003). Warren dan koleganya juga menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh pangan uji pagi hari terhadap asupan pangan siang hari menurut jenis kelamin dan kondisi fisiologis, seperti obesitas.

Sama halnya dengan pangan uji IG-rendah, baik pangan tinggi rendah lemak maupun rendah karbohidrat-tinggi lemak menghasilkan skor nafsu makan yang berbeda dengan yang dihasilkan oleh pangan acuan. Baik pada subyek normal maupun subyek obes, sejak menit ke-30 pasca-makan siang, terjadi perbedaan skor nafsu makan antara pangan uji dan pangan acuan.

Hal ini adalah temuan menarik. Perbedaan komposisi karbohidrat dan lemak pangan tidak menghasilkan efek yang berbeda pada skor nafsu makan pasca-makan siang. Akan tetapi, mengonsumsi pangan dengan komposisi tinggi karbohidrat-rendah lemak atau rendah karbohidrat-tinggi lemak pada pagi hari dapat menurunkan skor nafsu makan pasca makan siang. Hal ini dibuktikan dari adanya perbedaan skor nafsu makan setelah subyek mengonsumsi pangan uji tersebut.

Mengapa hal ini terjadi? Tampaknya, perbedaan IG antara pangan uji tinggi karbohidrat-rendah lemak (66) dan rendah karbohidrat-tinggi lemak (64) dengan pangan acuan (IG:100) menjadi penjelas untuk temuan ini. Hal ini berarti bahwa adanya perbedaan antara skor nafsu makan pasca-makan siang lebih diakibatkan oleh perbedaan IG pangan uji pada sarapan daripada oleh komposisinya.

Hal ini berbeda dengan temuan Stubbs et al. (2001) yang mengemukakan bahwa kelebihan konsumsi pangan dipengaruhi oleh densitas energi, keterterimaan pangan, dan jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Asupan pangan yang berlebih yang juga berarti

meningkatnya nafsu makan terjadi ketika seseorang (termasuk yang berbobot badan normal) mengonsumsi pangan tinggi karbohidrat. Peningkatan nafsu makan ini juga dipicu oleh rasa yang lebih dapat diterima terhadap pangan yang kandungan karbohidratnya lebih tinggi, karena pangan ini cenderung lebih manis. Akan tetapi, perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan dalam hal waktu pengamatan. Penelitian ini mengamati efek konsumsi pangan yang komposisinya berbeda pada pagi hari terhadap skor nafsu makan pasca-mengonsumsi pangan siang hari, sedangkan Stubbs dan kawan-kawan menjelaskan efek yang sama (skor nafsu makan) pada waktu yang berbeda, yaitu segera setelah mengonsumsi pangan tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian adalah:

ƒ Mengonsumsi pangan yang memiliki IG yang rendah pada pagi hari dapat menurunkan nafsu makan pada siang hari. Itu berarti bahwa pangan IG rendah dapat menunda rasa lapar, sebaliknya untuk pangan IG tinggi. Konsumsi pangan tinggi karbohidrat- rendah lemak dan rendah karbohidrat-tinggi lemak pada pagi hari juga dapat menurunkan nafsu makan pada siang hari (komposisi berbeda tetapi IG sama). Hal ini mengindikasikan bahwa IG pangan memainkan peran penting pada tingkat nafsu makan.

ƒ Penderita obesitas cenderung lebih cepat lapar daripada orang normal. Penderita obes akan merasa lapar dua jam pasca-mengonsumsi pangan, apapun jenis pangan dan berapa pun nilai IG pangannya. Pemberian pangan secara bertahap pada pagi hari dapat memperbaiki respons gklikemik dan menurunkan nafsu makan pada siang hari. Sementara itu, wanita memiliki skor nafsu makan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pria.

Saran

(12)

hari. Perlu penelitian lebih lanjut tentang efek jangka panjang mengonsumsi pangan IG rendah dan tinggi pada skor nafsu makan (objective appetite score). Hal lain yang juga perlu diteliti adalah frekuensi optimum konsumsi pangan pada pagi hari yang dapat menekan nafsu makan pada siang hari.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson GH, Catherine NLA, Woodend DM, Wolever T. 2002. Inverse association between the effect of carbohydrates on blood glucose and subsequent short-term food intake in young men. Am J Clin Nutr 76:1023-1030.

Anderson GH, Woodend DE. 2003 Effect of sucrose and safflower oil preloads on short term appetite and food intake. Appetite 37: 185-195.

Anderson GH, Woodend DE. 2003. Consumption of sugars and the regulation of short-term satiety and food intake. Am J Clin Nutr Supl 843S-849S.

Andrews JM, Rayner CK, Doran GS, Hebbard GS, Horowitz M. 1999. Physiological changes in blood glucose affect appetite and pyloric motility during intraduodenal lipid infuson. Am J Physiology 275: G797-G804.

Ball SD et al. 2003. Prolongation of satiety after low versus moderately high glycemic index meals in obese adolescent. Pediatrics 111: 4888-494. Cook CG et al. 1997. Effects of small

intestinal nutrient infusion on appetite and pyloric motility are modified by age. Am J Physiology 273: R755-R761. Dubuc GR, Phinney SD, Stern JS, Havel PJ.

1998. Changes of serum leptin and endocrine and metabolic parameters after 7 days of energy restriction in men and women. Metabolism 47: 429-434.

Foster-Powel K, Holt SHA, Miler JCB. 2002. International table of glycemic index and glycemic load. Am J Clin Nutr 76:5-56. Franz MJ et al. 2002. Evidence-based

nutrition principles and recommendation for the treatment and prevention of diabetes and related complications. Diabetes Care 25: 148-197.

Holt SHA, Miller JCB, Petocz P, Farmakalidis E. 1995. A satiety index of commond foods. Eur J Clin Nutr 49: 675-690.

Jéquier E, Tappy L. 1999. Regulation of body weight in human. Physiol Rev 79: 451-480.

Kelinbaum DG, Kupper LL, Morgenstern H. 1982. Epidemiologic Research: Priciples and Quantitative Methods. Van Nostrand Reinhold, NY Kelley, DE. 2003.

Kolaczynski JW et al. 1996. Responses of leptin to short-term fasting and refeeding in humans: a link with ketogenesis but not ketones themselves. Diabetes 45: 1511-1515. Lavin JH et al. 1996. Appetite regulation by

carbohydrate role of blood glucose and gastrointestinal hormones, Am J Physiol 271: E209-E214.

Liljeberg HGM, Åerberg AKE, Björk IME. 1999. Effect of the glycemic index and content of indigestible carbohydrates of cereal-based breakfast meals on glucose tolerance at lunch in healthy subjects. Am J Clin Nutr 69; 4:647-655 Ludwig DS. 2000. Dietary glycemic index

and obesity. J Nutr Supl 130: 280S-283S.

Mars M, de Graaf C, de Groot LCPGM, Kok FJ. 2005. Decreases in fasting leptin and insulin concentration after acute energy restriction and subsequent compensation in food intake. Am J Clin Nutr 81: 570-577.

Miller JCB, Powel KF, Colagiuri S. 1997. The GI Factor: The GI Solution. Hodder and Stoughton, Hodder Headline Australia Pty Limited.

Murti, B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Edisi Kedua. Gajah Mada University Press, Yogjakarta. Ravussin E, Lillioja S, Anderson T. 1986.

Determinants of 24-hour energy expenditure in man: methods and results using respiratory chamber. J Clin Invest 78: 1568-1578.

Roberts SB. 2000. High-glycemic index food, hunger, and obesity: Is there any connections? Nutr Rev 58: 163-169. Stubbs, RJ, Mazlan N, Whybrow S. 2001.

Gambar

Tabel 2. Indeks glikemik perkiraan dan IG sebenarnya pangan uji
Tabel 3. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek normal)
Gambar 1. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek normal)
Tabel 4. Skor nafsu makan pasca-makan siang (subyek obes)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Permeabilitas dan koefisien difusi membran B terhadap model obat albumin lebih kecil dibandingkan dengan membran A dan mem- bran C sehingga membran B memiliki karak- teristik

Individu yang kecerdasan emosional tinggi akan lebih optimis dalam menghadapi berbagai macam masalah, seharusnya seseorang tidak hanya memiliki IQ yang tinggi saja

Sifat perifiton yang cenderung lebih suka menempel pada substrat hidup yaitu lamun, tetap dipengaruhi oleh arus karena kembali pada sifat dasarnya sebagai fitoplankton dan

Model pembelajaran aktif tipe Index Card Match dapat meningkatkan kualitas pembelajaran tematik pada siswa kelas II SDN 2 Banyutowo Kendal dengan indikator:

accuracy, measurement uncertainty of reference, stability and homogeneity... 2) Maximum temperature difference at a stable temperature over 30 minutes... 3) Maximum

Jika dosis obat yang diberikan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diharapkan, kadar obat dalam darah pasien berada di bawah kisaran terapi,

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pola slogan yang terdapat dalam slogan kota dan kabupaten di Jawa Tengah dan mendiskripsikan jenis referen

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada lansia di keluarga yaitu di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan bahwa lansia yang memiliki kualitas