• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infiltrasi Pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Infiltrasi Pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

INFILTRASI PADA BERBAGAI KELAS UMUR

TEGAKAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis)

HOTMIAN HARIANJA

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

INFILTRASI PADA BERBAGAI KELAS UMUR

TEGAKAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis)

SKRIPSI

OLEH :

HOTMIAN HARIANJA 041202032 / BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

INFILTRASI PADA BERBAGAI KELAS UMUR

TEGAKAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis)

SKRIPSI

OLEH :

HOTMIAN HARIANJA 041202032 / BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Infiltrasi pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis).

Nama : Hotmian Harianja

NIM : 041202032

Program Studi : Budidaya Hutan

Departemen : Kehutanan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Bejo Slamet S.Hut, M.Si Dr. Deni Elfiati SP, MP

Mengetahui :

Ketua Departemen Kehutanan

(5)

ABSTRAK

HOTMIAN HARIANJA, Laju Infiltrasi pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guneensis) dibawah bimbingan BEJO SLAMET dan

DENI ELFIATI.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya infiltrasi tanah pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan di kebun Patumbak, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kelas umur tegakan kelapa sawit yang digunakan adalah 10 tahun, 25 tahun, dan 35 tahun dan setiap kelas umur diberi perlakuan sebanyak 5 kali, yaitu 1m, 2m, 3m, 4m, dan 5m dari batang kelapa sawit. Analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Analisis statistik menunjukkan bahwa jarak ukur tidak berpengaruh terhadap laju infiltrasi, meskipun semakin dekat dengan pangkal batang infiltrasinya cenderung semakin besar. Rata-rata infiltrasi maksimum untuk masing-masing kelas umur tegakan kelapa sawit untuk kelas umur 10 tahun, 25 tahun, dan 35 tahun berturut-turut adalah 19,2 cm/jam, 79 cm/jam dan 111,9 cm/jam dan waktu konstan yang dibutuhkan adalah menit ke 30, menit ke 55 dan menit ke 60.

(6)

ABSTRACT

HOTMIAN HARIANJA, The Infiltration in some oil palm stand age class, in under supervised by BEJO SLAMET and DENI ELFIATI.

The objective of this research is to learn the number of land infiltration in some oil palm stand age class. This research was done in Patumbak farm, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II, Patumbak Estate, Deli Serdang Region, Sumatera Utara Province. The oil palm stand age class that used are ten years old, twenty five years old and thirty five years old are and every class age are given the treatment with 5 times replicant is 1m, 2m, 3m, 4m, and 5m from the oil palm stem. The statistic analysis that used for this research is The Randomized Block Design. The stastistic analysis show that the measure distances don’t affect to the infiltration rate, althought the nearer it is to the first stem the bigger its infiltration. The maximum infiltration average for that class in a row are 19,2 cm/hr, 79,2 cm/hr and 111,9 cm/hr with infiltration capacities is 5,28 cm/hr, 11,76 cm/hr and 16,8 cm/hr and the constant time that is needed in the thirty minute, fifty five minute and sixty minute.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik.

Adapun yang judul penelitian ini adalah Infiltrasi pada Berbagai Kelas

Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya infiltrasi tanah pada berbagai kelas umur

tegakan kelapa sawit (Elaeis guineensis).

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

Bejo Slamet S.Hut, M.Si dan Dr. Deni Elfiati, SP, MP sebagai dosen pembimbing

yang telah memberikan arahan dan bimbingan mulai dari penulisan sampai

penyelesaian hasil penelitian ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima

kasih kepada kedua orangtua penulis yang telah memberikan dukungan dan

materi dan kepada teman-teman juga penulis mengucapkan terima kasih banyak

atas kerja sama yang telah diberikan selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan hasil

penelitian ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan tulisan ini kedepan. Akhir kata penulis mengucapkan

terima kasih banyak semoga tulisan ini berguna bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Maret 2009

(8)

DAFTAR ISI

Syarat Tumbuh Kelapa Sawit (Elaeis quineensis) ... 5

Iklim ... 5

Faktor-Faktor yang Menentukan Infiltrasi ... 9

Vegetasi... 9

Tekstur Tanah ... 10

Bahan Organik ... 12

Kadar Air... 12

Pengukuran Infiltrasi... 13

Kurva Infiltrasi ... 15

Hasil-Hasil Penelitian Infiltrasi... 16

Pada Tegakan Kelapa Sawit... 16

(9)

Rancangan Percobaan ... 21

Prosedur Penelitian ... 21

Penentuan Lokasi Pengamatan ... 21

Pemasangan Alat dan Pengkuran Laju Infiltrasi pada Masing-Masing Kelas Umur ... 22

Pengambilan Contoh Tanah ... 23

Pengolahan Data... 23

Pengamatan Sifat-Sifat Tanah ... 24

Persiapan Tanah... 24

Kadar Air ... 24

Tekstur Tanah... 24

Bahan Organik... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Tekstur Tanah ... 30

Kadar Air... 31

Bahan Organik ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 35

Saran... 35

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kurva infiltrasi dan curah hujan untuk menghitung air larian ... 15

2. Kebun Patumbak PTPN II... 19

3. Pengukuran Infiltrasi... 22

4. Lubang pengambilan tanah ... 23

5. Grafik Laju Infiltrasi Rata – Rata Ketiga Kelas Umur Tegakan Kelapa Sawit ... 28

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Beberapa laju infiltrasi pada berbagai vegetasi... 10

2. Rataan laju infiltrasi pada 3 kelas umur kelapa sawit ... 27

3. Hasil Uji Jarak Duncan Terhadap Kelas Umur... 30

3. Persentase Pasir, debu dan liat pada masing – masing kelas umur kelapa sawit... 30

4. Persentase kadar air pada masing – masing kelas umur tegakan kelapa sawit... 32

5. Persentase C-organik dan persentase bahan organik pada masing-masing kelas umur tegakan kelapa sawit... 33

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi pada Tegakan Kelapa Sawit Umur 10 Tahun. ... 37

2. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit Kelas Umur 10 Tahun pada berbagai jarak pengukuran dari pangkal batang... 38

3. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi pada Tegakan Kelapa Sawit Umur 25 Tahun. ... 39

4. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit Kelas Umur 25 Tahun pada berbagai jarak pengukuran dari pangkal batang... 40

5. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi pada Tegakan Kelapa Sawit Umur 35 Tahun. ... 41

6. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit Kelas Umur 35 Tahun pada berbagai jarak pengukuran dari pangkal batang... 42

7. Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit. ... 43

8. Tabel Anova Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit... 43

9. Hasil Uji Jarak Duncan UJD Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit... 43

10. Perhitungan Statistik Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit dengan Menggunakan Minitab 14 ... 45

11. Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Infiltrasi Maksimum

Tegakan Kelapa Sawit. ... 46

12. Tabel Anova Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Infiltrasi MaksimumTegakan Kelapa Sawit. ... 46

13. Hasil Uji Jarak Duncan UJD Infiltrasi MaksimumTegakan Kelapa Sawit. 47

14. Perhitungan Statistik Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit dengan Menggunakan Minitab 14 ... 48

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konversi hutan alam tidak selalu berdampak buruk, tidak sedikit kisah

sukses konversi hutan menjadi tata guna lahan yang lebih produktif dan lestari.

Konversi hutan alam menjadi lahan sawah, perkebunan teh, karet dan berbagai

bentuk konversi lainnya, termasuk perkebunan kelapa sawit di Jawa, Sumatera

dan Kalimantan telah membuktikan bahwa konversi hutan alam tidak selalu

menunjukkan wajah yang kurang ramah lingkungan. Namun tidak dapat

dipungkiri, bahwa banyak kasus kerusakan lingkungan yang begitu dahsyat

sebagai dampak konversi hutan alam. Kegagalan konversi 1 juta ha hutan alam

gambut menjadi lahan sawah di Propinsi Kalimantan Tengah menjadi pelajaran

penting bagaimana konversi hutan alam tidak dapat dilakukan secara gegabah

(Purwanto, 2006).

Pembangunan perkebunan khususnya kelapa sawit idealnya direncanakan

pelaksanaan di kawasan baru, yang relatif masih belum diusahakan oleh manusia

secara teratur. Dengan kata lain, kawasan tersebut masih merupakan kawasan

yang belum berkembang dan jauh dari pusat keramaian. Dengan demikian,

harapan selanjutnya adalah usaha perkebunan tersebut akan dapat

mengembangkan ekonomi wilayah dengan cara menimbulkan usaha-usaha baru

yang terkait dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat perkebunan.

Pengembangan ekonomi wilayah juga diharapkan dapat tercapai karena

perkebunan kelapa sawit banyak dikembangkan di wilayah marginal yang selama

(14)

Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk mencukupi

kebutuhan pertumbuhan dan produksi. Tanaman ini umumnya dikembangkan

pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi yaitu lebih dari 2.000 mm/tahun

atau paling sedikit 150 mm/bulan berkisar 1.700 - 3.000 mm/tahun yaitu sebesar

5 -6 mm/hari tergantung pada umur tanaman dan cuaca, serta tanpa periode kering

yang nyata dimana bulan keringnya kurang dari satu bulan per tahun. Beberapa

penelitian kelembaban tanah berpengaruh sangat nyata terhadap produksi kelapa

sawit. Oleh sebab itu pengelolaan air diperkebunan kelapa sawit di wilayah

dengan periode kering yang mencolok sangat penting untuk mendapatkan

perhatian (Murtilaksono et al., 2007).

Pembangunan penampung air dalam bentuk kolam dan penampung air

alami bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air di pembibitan kelapa sawit dan

memperbaiki ketersediaan air di lapangan. Upaya untuk meningkatkan cadangan

air tanah adalah dengan pembuatan rorak yang bertujuan untuk meningkatkan

infiltrasi air ke dalam tanah. Pembangunan ini juga dapat mengurangi erosi

permukaan dan mengurangi kehilangan pupuk akibat erosi permukaan

(Darmosarkoro et al., 2001).

Pengendalian aliran permukaan dan erosi juga dapat dilakukan dengan

peresapan air hujan yang jatuh ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi

proporsi air yang mengalir di permukaan tanah. Peresapan air ke dalam tanah

tersebut disamping dapat mengurangi aliran permukaan dan erosi, juga dapat

meningkatkan cadangan air tanah dan air bawah tanah. Air yang tersimpan

sebagai air tanah dan air bawah tanah tertahan lebih lama pada areal tersebut,

(15)

saat tidak terjadi hujan atau pada musim kemarau yang pada gilirannya mampu

meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit (Murtilaksono et al., 2007).

Infiltrasi adalah gerakan air melalui permukaan tanah dan masuk ke dalam

tanah. Kelas umur kelapa sawit yang berbeda-beda memiliki penurunan air tanah

yang berbeda-beda pula. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang kajian

infiltrasi pada beberapa kelas umur kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya infiltrasi

tanah pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit (Elaeis guineensis).

Hipotesis Penelitian

Umur tegakan kelapa sawit (Elaeis guineensis) berpengaruh terhadap besarnya laju infiltrasi tanah.

Manfaat Penelitian

Sebagai sumber informasi mengenai besarnya laju infiltrasi tanah pada

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Sistematika Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, kelapa sawit diperkirakan berasal dari

Nigeria, Afrika Barat. Namun ada pula yang menyatakan bahwa tanaman tersebut

berasal dari Amerika, yakni dari Brazilia. Tanaman kelapa sawit berasal dari

daratan tersier, yang merupakan daratan penghubung yang terletak diantara Afrika

dan Amerika. Kedua daratan ini kemudian terpisah oleh lautan menjadi benua

Afrika dan Amerika sehingga tempat asal komoditas kelapa sawit ini tidak lagi

dipermasalahkan orang (Risza, 1994).

Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil. Batangnya tumbuh lurus, dan

umumnya tidak bercabang, dan tidak mempunyai kambium. Tanaman ini berumah

satu atau monoecious. Bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon. Kelapa sawit diperbanyak secara generatif dengan biji yang dikecambahkan. Cara

lain yang digunakan adalah secara vegetatif dengan mengambil vegetatif tanaman

(batang, daun/akar yang masih muda) yang ditumbuhkan dalam media buatan.

Taksonomi kelapa sawit yang diterima sekarang ini adalah:

Ordo : Palmales

Famili : Palmaceae

Sub famili : Palminae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis

(17)

Syarat Tumbuh Kelapa Sawit (Elaeis quineensis)

Menurut Risza (1994) pengaruh faktor lingkungan antara lain iklim, tanah

dan topografi merupakan sumber daya alam yang sulit untuk dilawan, namun

setidaknya dapat dieliminasi dengan melakukan beberapa pendekatan agar

faktor-faktor yang menghambat dapat dicegah atau ditekan sedemikian rupa sehingga

berubah menjadi faktor pendukung.

1. Iklim

Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat

tumbuh di daerah antara 12o Lintang Utara 12o Lintang Selatan. Curah hujan

optimal yang dikehendaki antara 2.000-2.500 mm per tahun dengan pembagian

yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum antara

5 – 7 jam per hari, dan suhu yang optimum berkisar 24o - 38o C.

2. Tanah dan Topografi

Kelapa sawit dapat tumbuh diberbagai jenis tanah antara lain : Tanah

Podsolik Coklat, Podsolik Kuning, Podsolik Coklat Kekuningan, Podsolik Merah

Kuning, Hidromorfik Kelabu, Alluvial, Regosol, Gley Humik, dan Organosol.

Sifat fisik dan sifat kimia setiap jenis tanah berbeda-beda, sehingga tingkat

produksi setiap jenis tanah juga berbeda. Bagi tanaman kelapa sawit sifat fisik

tanah lebih penting dari pada sifat kesuburan kimiawinya, karena kekurangan

suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan.

Untuk tanaman kelapa sawit ketinggian di atas permukaan laut yang

optimum berkisar 0–500 meter. Kemiringan tanah yang dianggap masih baik bagi

tanaman kelapa sawit adalah antara 0–15o, sedangkan di atas kemiringan 15o

(18)

Daur Hidrologi

Daur hidrologi adalah suatu pola perdauran yang umum yang terdiri dari

susunan gerakan-gerakan air yang rumit dan juga transformasinya. Secara

sederhana dapat dikatakan sebagai air yang mengalir dari atmosfer ke daratan, ke

laut sampai pada atmosfer kembali (Lee, 1990).

Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran

permukaan (surface runoff). Aliran permukaan sebagian akan meresap ke dalam tanah menjadi aliran bawah permukaan melalui proses infiltrasi (infiltration) dan perkolasi (perkolation), selebihnya akan terkumpul di dalam jaringan alur sungai sebagai aliran sungai (river flow). Apabila kondisi tanah memungkinkan sebagian air infiltrasi akan mengalir kembali ke dalam sungai (river), atau genangan lainnya seperti waduk, danau sebagai interflow. Sebagian dari air dalam tanah dapat muncul kembali ke permukaan tanah sebagai air eksfiltrasi (subsurfaceflow) dan dapat terkumpul kembali dalam alur sungai atau langsung menuju ke laut

(Soewarno, 2000).

Menurut Asdak (1995) sebelum mencapai permukaan tanah air hujan

tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian air hujan itu akan tersimpan

di permukaan tajuk/daun, sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah

melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (stemflow). Sebagian kecil air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk) selama

(19)

Infiltrasi

Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah

sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air

ke arah vertikal). Setelah keadaan jenuh pada lapisan tanah bagian atas

terlampaui, sebagian dari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai

akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal dengan proses perkolasi. Laju maksimal

gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas

infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam

menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya, apabila intensitas hujan lebih kecil dari

pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan

(Asdak, 1995).

Menurut Soemarto (1995) infiltrasi adalah perpindahan air dari atas ke

dalam permukaan tanah. Air yang muncul kembali dari dalam tanah ke

permukaan tanah disebut rembesan. Daya infiltrasi adalah laju infiltrasi

maksimum yang dimungkinkan, yang ditentukan oleh kondisi permukaan

termasuk lapisan tanah. Besarnya daya infiltrasi dinyatakan dalam cm/jam atau

mm/hari.

Proses Infiltrasi

Dari segi hidrologi infiltrasi adalah penting, karena hal tersebut menandai

peralihan dari permukaan bumi yang bergerak cepat ke dalam air dalam tanah

yang bergerak lambat dan air tanah. Kapasitas infiltrasi suatu tanah dipengaruhi

oleh sifat-sifat fisiknya dan derajat kemampuannya, kandungan air dan

(20)

berinfiltrasi, dan iklim mikro tanah; kondisi-kondisi optimum biasanya berlaku

pada tanah bertahun yang utuh. Kapasitas infiltrasi adalah suatu sifat yang

dinamis yang dapat berubah secara nyata selama kejadian hujan badai tertentu,

sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan musiman dalam air tanah, suhu, dan

penutupan vegetasi, maupun sebagai akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan

(Lee, 1990).

Menurut Asdak (1995) proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling

tidak tergantung satu sama lain, yaitu :

1. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah

2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah

3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas).

Kapasitas Infiltrasi

Kapasitas infiltrasi adalah kemampuan tanah dalam merembeskan

(menginfiltrasikan) air yang terdapat di permukaan atau aliran air permukaan ke

bagian dalam tanah tersebut, yang dengan sendirinya dengan adanya perembesan

itu aliran air permukaan akan sangat berpengaruh. Jelasnya, makin besar aliran

kapasitas infiltrasi maka aliran air di permukaan tanah makin berkurang (sedikit).

Sebaliknya, makin kecil kapasitas infiltrasi yang disebabkan banyaknya pori tanah

yang tersumbat, maka aliran air permukaan bertambah atau meningkat

(Kartasapoetra, 1989).

Lee (1990) mengatakan bahwa kapasitas infiltrasi merupakan suatu sifat

yang dinamis, kapasitas tersebut adalah terbesar bila curah hujan mulai, dan

menurun secara progresif bila koloid-koloid tanah mengembang dan mengurangi

(21)

dan menghambat gerakan air, tanah mendekati jenuh, dan gradien hidrolik

berkurang.

Curah hujan dan kandungan air mempengaruhi kapasitas infiltrasi dengan

berbagai cara. Pukulan tetesan hujan cenderung merusak struktur permukaan

tanah, dan bahan-bahan yang halus dari permukaan dapat tercuci ke dalam

rongga-rongga tanah, menyumbat pori-pori, selama periode-periode curah hujan

yang tinggi, ruang pori tanah terisi oleh air, dan infiltrasi tidak dapat melebihi laju

aliran bawah permukaan pada lapisan yang paling kurang permeabel. Pada

tingkat-tingkat kandungan air tanah yang sangat tinggi infiltrasi juga dapat

dihambat karena sulit bagi udara tanah untuk keluar untuk menciptakan ruangan

bagi air tambahan, bila tanah-tanah sangat kering tanah-tanah tersebut dapat

menjadi hidrofob (menolak air) yang akan mengurangi kapasitas infiltrasi

(Lee, 1990).

Faktor-Faktor yang Menentukan Infiltrasi

A. Vegetasi

Vegetasi yang menutupi tanah atau pohon-pohon di hutan yang

melindungi tanah permukaannya mempunyai peranan besar untuk menghambat

dan mencegah berlangsungnya erosi. Vegetasi atau pohon-pohon tersebut selain

akan melindungi tanah permukaan dari pukulan langsung butir-butir air hujan

dapat pula memperbaiki struktur tanah melalui penyebaran akar-akar

(Kartasapoetra, 1989).

Sistem perakaran yang terjadi karena tumbuh-tumbuhan yang ada

(22)

saat terjadi laju infiltrasi besar. Ketersediaan lapisan sampah hutan dapat

memperbesar laju infiltrasi sampai 4 kali laju infiltrasi tanpa adanya lapisan

sampah, seperti yang terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Laju infiltrasi pada berbagai tutupan vegetasi.

Vegetasi Laju infiltrasi (mm/menit)

Tanah gundul

Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang

dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (sand) (berdiameter 2,00 – 0,20 mm atau 2000 – 200 µm), debu (silt) (berdiameter 0,20 -0,02 mm atau 200 – 2 µm) dan liat (clay) diameternya < 2 µm (Hanafiah, 2004).

Tekstur tanah sebenarnya merupakan perbandingan relatif dari berbagai

golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan

antara fraksi-fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah turut menentukan tata air

dalam tanah dan besar kecilnya aliran permukaan yang ditentukan oleh kecepatan

infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk merembeskan air. Walaupun curah hujan

demikian lebat, aliran air permukaannya akan berlaju kecil kalau kapasitas

infiltrasi besar. Artinya air di permukaan banyak melakukan rembesan ke dalam

tanah, seperti pada tanah-tanah berpasir, lempung berpasir yang mempunyai

(23)

kasar. Pada tanah bertekstur halus, keadaannya adalah sebaliknya, walaupun curah

hujan tidak seberapa lebat, aliran air permukaan akan melaju cepat dikarenakan

infiltrasi air ke lapisan-lapisan tanah berlangsung sangat lambat (Kartasapoetra,

1989).

Hardjowigeno (1987) mengatakan bahwa tanah dengan tekstur kasar

seperti pasir adalah tahan terhadap erosi karena butir-butir yang besar (kasar)

tersebut memerlukan lebih banyak tenaga untuk mengangkut. Demikian pula

tanah-tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya

kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalannya sukar

dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir

yang sangat halus. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan debu dalam tanah,

maka tanah menjadi peka terhadap erosi.

Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi yang berbeda, dari yang

sangat tinggi sampai sangat rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung

mempunyai laju infiltrasi tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung

mempunyai laju infiltrasi rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan

kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda pula. Makin

padat tanah makin kecil laju infiltrasinya. Kelembaban tanah yang selalu berubah

setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air di

dalam tanah, laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Dengan demikian, dapat

dimengerti bahwa jika ada satu jenis tanah terjadi infiltrasi, infiltrasinya makin

(24)

C. Bahan Organik

Tanah tersusun oleh bahan padatan, air dan udara. Bahan padatan ini meliputi

bahan mineral berukuran pasir, debu dan liat, serta bahan organik. Bahan organik

tanah biasanya menyususn sekitar 5% bobot total tanah, meskipun hanya sedikit

tetapi memegang peranan penting dalam menentukan kesuburan tanah, baik

secara fisik, kimiawi maupun secara biologis tanah. Sebagai komponen tanah

yang berfungsi sebagai media tumbuh, maka bahan organik juga berpengaruh

secara langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman dan mikroba

tanah (Hanafiah, 2004).

Kartasapoetra (1989) mengatakan bahwa bahan organik yang terbentuk di

atas permukaan tanah yang bersifat poreus akan menyerap air dan selanjutnya air

akan mengalir. Air yang terserap bahan organik selanjutnya dengan kecepatan

yang relatif lambat akan meresap terus ke lapisan bagian dalam tanah sampai pada

akhirnya akan terbentuk konsentrasi air di dalam tanah. Dari sini air akan

dialirkan pula secara lambat menuju ke kaki/gunung atau tempat yang lebih

rendah dari dataran hutan, dalam bentuk mata air. Dengan demikian, manusia atau

mahluk hidup lainnya tidak akan kekurangan air.

D. Kadar Air

Air yang tersedia dalam tanah dapat diserap tanaman bagi kelangsungan

pertumbuhan dan perkembangannya. Pada satu jenis tanah dengan jenis tanah

lainnya tersedianya air adalah berbeda-beda, tanah yang berlempung misalnya

ketersediaan air lebih banyak dibandingkan dengan tanah pasir. Gerakan air di

(25)

kaitannya dengan jumlah air yang ada dan sifat tanah (aliran jenuh, aliran tidak

jenuh dan aliran uap) (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1988).

Lee (1990) mengatakan bahwa sebenarnya semua air adalah presipitasi

yang telah berinfiltrasi ke dalam tanah, air tanah tersebut dapat disimpan baik

dalam ruang-ruang antar butir pada batuan yang padat, pada ruang-ruang yang

lebih besar diantara pasir dan kerikil yang tidak terkonsolidasi, maupun pada

ruang-ruang yang besar pada pecahan batuan dan saluran-saluran pelarutan.

Curah hujan dan kandungan air tanah mempengaruhi infiltrasi dengan

berbagai cara. Pukulan tetesan cenderung merusak struktur permukaan tanah, dan

bahan-bahan yang lebih halus dari permukaan dapat tercuci ke dalam rongga

tanah, menyumbat pori-pori selama periode curah hujan yang tinggi

tingkat-tingkat air tanah adalah lebih tinggi, ruang pori tanah terisi oleh air, dan infiltrasi

tidak dapat melebihi laju aliran bawah permukaan pada lapisan yang kurang

permeabel. Pada tingkat-tingkat kandungan air tanah yang sangat tinggi infiltrasi

juga dapat dihambat karena sulit bagi udara untuk keluar untuk menciptakan

ruang bagi air tambahan, bila tanah-tanah sangat kering, tanah-tanah tersebut

dapat menjadi hidrofob (menolak air) yang akan mengurangi kapasitas infiltrasi

(Lee, 1990).

Pengukuran Infiltrasi

Menurut Asdak (1995) dalam pengukuran infiltrasi, dapat dilakukan

dengan tiga cara, yaitu :

1. Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larikan pada

(26)

2. Menggunakan alat infiltrometer

3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran hujan

Harto (1993), mengelompokkan cara pengukuran laju infiltrasi tersebut

kedalam dua kelompok yaitu: dengan pengukuran di lapangan dan dengan analisis

hidrograf. Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran laju infiltrasi tersebut

adalah :

1. Single ring infiltrometer

2. Double ring infiltrometer

3. Rainfall simulator

Single ring infiltrometer merupakan silinder baja atau bahan lain yang memiliki diameter 25-30 cm. Tinggi alat kurang lebih 50 cm. Double ring infiltrometer pada dasarnya sama dengan single ring infiltrometer namun diameternya lebih besar dari diameter single ring infiltrometer. Rainfall simulator pada dasarnya terdiri dari seperangkat alat pembuat hujan buatan, yang terdiri dari pompa air dan deretan pipa-pipa dengan nozzle yang dapat menyemprotkan air (Harto, 1993).

Alat infiltrometer yang biasa digunakan adalah infilrometer ganda (double ring infiltrometer), yaitu satu infiltrometer silinder ditempatkan di dalam infiltrometer silinder yang lebih besar diameternya. Pengukuran infiltrasi hanya

dilakukan terhadap silinder yang kecil. Silinder yang lebih besar berfungsi

sebagai penyangga yang bersifat menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya

(27)

Kurva Infiltrasi

Laju infiltrasi adalah kecepatan air masuk ke dalam tanah selama hujan

berlangsung. Laju infiltrasi atau kapasitas infiltrasi ditentukan dari petak

percobaan. Bila curah hujan (alamiah atau buatan) pada petak percobaan tersebut

lebih besar daripada kapasitas infiltrasi, maka kurva kapasitas infiltrasi akan

bervariasi sejalan dengan waktu seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva infiltrasi dan curah hujan untuk menghitung air larian

(Sumber : Asdak, 1995).

Laju infiltrasi diukur dalam satuan panjang per waktu. Satuan yang sama

berlaku untuk laju curah hujan. Satu sentimeter curah hujan dalam waktu satu jam

pada satuan luas tertentu, menandakan bahwa satu jam setelah permulaan hujan,

air yang dapat ditampung dalam ember misalnya, akan mempunyai kedalaman

1 cm tersebar merata pada dasar ember tersebut. Dapat dilihat bahwa untuk ember

kecil atau besar, kedalaman air tetap sama, 1 cm. Dengan demikian, kedalaman air

(28)

Hasil-Hasil Penelitian Infiltrasi

1. Pada Tegakan Kelapa Sawit

Pengukuran infiltrasi tanah yang ditanami kelapa sawit berumur 6 tahun

kelihatan pada daerah dekat pangkal batang paling cepat, ini menunjukkan adanya

kegiatan akar tanaman. Pada jarak lebih besar dari 1,5 m infiltrasi semakin

menurun yang menunjukkan bahwa aktivitas perakaran masih belum maksimal.

Semakin bertambah umur tanaman kelapa sawit, sistem perakarannya akan

memenuhi seluruh horizon tanah, dengan demikian permeabilitas lapisan tanah

bawah semakin baik dan kemampuan tanah menahan air semakin banyak. Pada

lapisan 0-1 m perkembangan perakaran mencapai puncaknya pada umur tanaman

10 tahun kemudian akar yang tumbuh dan yang mati sudah sama sehingga tidak

ada lagi pertambahan akar. Dihubungkan dengan produktivitas tanaman tercapai

pada saat tanaman mulai berumur 9 tahun, dapat disimpulkan bahwa untuk

mencapai produk tertinggi umur 0-8 tahun adalah umur kritis yang harus

diperhatikan dalam pengelolaan kelapa sawit (Harahap, 2007).

2. Lahan terbuka

Lahan terbuka akibat penebangan hutan secara serentak atau tebang habis

mengakibatkan penurunan kadar bahan organik, penurunan laju infiltrasi dan

penurunan jumlah ruang pori makro. Kerusakan menjadi semakin parah setelah

beberapa tahun karena minimnya perlindungan terhadap permukaan tanah.

Kandungan bahan organik terus menurun karena proses pelapukan semakin cepat,

hilang terangkut bersama erosi dan tidak adanya vegetasi yang memberikan

(29)

terjadi peningkatan limpasan permukaan dan erosi dibanding keadaan

sebelumnya. Dalam skala lebih luas (kawasan) akumulasi limpasan permukaan

yang besar dari petak-petak kecil membentuk luapan aliran permukaan yang

sangat besar berupa banjir (Widianto at al.,2003).

3. Budidaya Lorong

Pengolahan lahan dengan sistem budidaya lorong dapat meningkatkan laju

infiltrasi. Karena sistem budidaya lorong akan memberikan hasil pangkasan yang

berfungsi sebagai mulsa. Dengan adanya mulsa akan dapat menghambat aliran

permukaan dan infiltrasi akan diperbesar. Lal and Green Land (1979) dalam (Juanda, et al 2003) mengatakan bahwa kandungan lumpur dalam aliran air permukaan yang diberi mulsa menjadi lebih sedikit, adanya aktivitas akar tanaman

pagar maupun tanaman pangan akan dapat menggemburkan tanah sehingga akan

berpengaruh terhadap pori mikro dan makro tanah, pada akhirnya infiltrasi air

(30)

KONDISI UMUM PENELITIAN

Letak Geografis

Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’

Lintang Utara dan antara 98°33’ - 99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari

wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah

2.497,72 Km2 dari total luas Propinsi Sumatera Utara, dengan batas-batas sebagai

berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera

- Sebelah Selatan berbatasan dergan Kabupaten Karo

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat

(Kabupaten Deli Serdang, 2009).

Topografi

Daerah Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak pada wilayah

pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kontur dan

iklim yang bervariasi. Kawasan hulu yang konturnya mulai bergelombang sampai

terjal, berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara

kawasan pantai berhawa tropis pegunungan (Kabupaten Deli Serdang, 2009).

Kondisi Iklim

Perbedaan geografis, topografis dan ketinggian dari permukaan laut maka

iklim daerah ini bervariasi yaitu iklim sub tropis dan iklim peralihan antara sub

(31)

Serdang beriklim peralihan antara sub tropis dan tropis, sedangkan ketinggian

lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut beriklim sub tropis. Curah hujan

rata-rata pertahun 1.936,3 mm, pada umumnya curah hujan terbanyak pada bulan

September, Oktober, Nopember dan Desember. Angin yang bertiup melalui

daerah ini juga berbeda yakni angin laut dan angin pegunungan dengan kecepatan

0,68 meter/detik, sedangkan temperatur rata-rata 26,7° dan kelembaban 84 %

(Kabupaten Deli Serdang, 2009).

Desa Patumbak merupakan salah satu Kecamatan yang terdapat di

Kabupaten Deli Serdang dengan jenis tanah podzolik. Kebun Patumbak PTPN II

(Gambar 2) memiliki luas total 6.210,90 ha dan luas yang ditanami kelapa sawit

seluas 5.146,42 ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah barat : berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa

- Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua

- Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Patumbak

- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan STM Hilir

(32)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di kebun Patumbak Perseroan Terbatas Perkebunan

Nusantara II (PTPN II), Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara dan di Laboratorium Central Fakultas Pertanian. Penelitian

dilakukan pada bulan November sampai dengan Desember 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu tanah pada berbagai kelas

umur tegakan kelapa sawit (E. guineensis) dan air yang digunakan untuk mengukur laju infiltrasi dan sejumlah bahan kimia yang digunakan untuk analisis

tanah.

Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari : Double ring infiltrometer, Meteran, Palu/pemukul, Penggaris, Stop watch, Tally sheet, Cangkul, Kantong plastik, Ayakan, Timbangan, Oven, Cawan, Shaker,

(33)

Rancangan Percobaan

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Kelompok (RAK) (Sugiarto, 1994) dengan faktor perlakuan

jarak ukur dari batang kelapa sawit yaitu, jarak ukur 1 m, 2 m, 3m, 4m dan 5 m.

Sedangkan kelompoknya ialah kelas umur tegakan kelapa sawit yaitu : kelas umur

10 tahun, kelas umur 25 tahun, dan kelas umur 35 tahun.

Model matematika yang diasumsikan untuk rancangan ini adalah :

Yij = µ + i + j + ij

Keterangan :

Yij : Pengaruh kelas umur terhadap infiltrasi

µ : Rata-rata setiap parameter yang diukur

i : Pengaruh perlakuan jarak ukur ke-i

j : Pengaruh kelompok kelas umur ke-i

ij : Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Apabila hasil sidik ragam menunjukkan bahwa F Tabel lebih besar dari

F Hitung maka uji lanjutan dilakukan dengan menggunakan Uji Jarak Duncan.

Prosedur Penelitian

1. Penentuan Lokasi Pengamatan

Lokasi penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan kelas umur dan

(34)

2. Pemasangan Alat dan Pengkuran Laju Infiltrasi pada Masing-Masing Kelas Umur

Laju infiltrasi diukur dengan menggunakan double ring infiltrometer yang di tempatkan pada tanah yang telah dibersihkan. Ring dipukul dengan

menggunakan pemukul namun ketika memukul perlu diperhatikan permukaan

ring sehingga ring tidak miring. Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan

mengisi kedua ring dengan air kurang lebih 20 cm. Laju infiltrasi yang dihitung

adalah pada ring bagian dalam. Waktu yang diperlukan oleh muka air untuk turun

dicatat dengan stop watch. Tinggi muka air dihitung mulai dari menit pertama sampai pada menit penurunan air konstan. Air dituangkan kembali secepatnya

apabila tingkat air telah mencapai 10 cm, dan dicatat tinggi air sebelum dan

sesudah diisi pada setiap kejadian. Hal tersebut dilakukan untuk setiap kelas umur

tegakan kelapa sawit. Pengukuran infiltrasi pada alat double ring infiltrometer

seperti yang disajikan pada Gambar 3.

(35)

3. Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah diambil setelah pengukuran infiltrasi selesai dilakukan dari

dalam ring infiltrometer. Tanah diambil dengan kedalaman 0 – 20 cm dari setiap kelas umur yang diukur. Lubang pengambilan tanah dapat dilihat seperti

Gambar 4.

Gambar 4. Lubang pengambilan tanah.

Pengolahan Data

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, laju infiltrasi dapat dihitung

berdasarkan rumus :

∆H

f = x 60 (cm/jam) t

Keterangan :

f : Laju infiltrasi (cm/jam)

∆H : Tinggi penurunan air dalam selang waktu tertentu (cm)

t : Selang waktu yang dibutuhkan oleh air pada ∆H untuk masuk ke tanah

(36)

Pengamatan Sifat-Sifat Tanah

A. Persiapan Tanah

Contoh tanah yang telah diambil dibersihkan dari daun-daunan, sisa-sisa

tanaman, dan kotoran lainnya. Tanah dikering udarakan dengan cara

menghamparkan tanah pada tempat yang terbuka yang tidak terkena sinar

matahari langsung. Selanjutnya tanah diayak dengan menggunakan ayakan 2 mm.

B. Kadar air

Pengkuran kadar air tanah dilakukan sebelum pengukuran infiltrasi

dilakukan. Tanah dimasukkan kedalam cawan sebanyak 10 gr. Tanah yang berada

dalam cawan dioven pada suhu 105 o C selama 24 jam. Tanah tersebut ditimbang

beratnya. Dihitung kadar airnya dengan menggunakan rumus :

BB – BK

KA = x 100 % BK

Keterangan : KA = Kadar air (%)

BB = Berat tanah sebelum dioven (gr)

BK = Berat tanah setelah dioven (gr)

(Anwar, 1990).

C. Tekstur tanah

Tanah diayak dengan menggunakan ayakan 10 mesh dan dimasukkan ke

dalam erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan larutan natrium pirofosfat, dikocok dan

dibiarkan 24 jam. Digoncang dengan menggunakan shaker selama 15 menit.

(37)

aquadest sampai batas garis. Dikocok 20 kali sebelum dilakukan pambacaan

dengan hidrometer, bila perlu dapat ditambahkan amil alkohol untuk

menghilangkan buih yang dapat mengganggu pembacaan. Ini dilakukan untuk

pembacaan pertama untuk liat dan debu. Dimasukkan hidrometer untuk

pembacaan yang kedua untuk liat. Dilakukan perhitungan :

Pembacaan hidrometer I

Ditimbang 0,5 gr tanah dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml.

Ditambahkan 5 ml K2CrO7 1N ( dengan menggunakan pipet tetes) lalu digoncang

dengan tangan. Ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat dan digoncang 3-4 menit,

selanjutnya didiamkan selama 30 menit. Ditambahkan 100 ml air suling dan 5 ml

H3PO4 85% dan NaF 4% 2,5 ml. Kemudian ditambahkan 5 tetes diphenilamine,

diguncang, maka akan timbul larutan berwarna biru tua kehijauan kotor. Dititrasi

dengan Fe(NH4)2 0,5 N dari buret hingga warna menjadi hijau terang. Dilakukan

prosedur 2-5 tetapi sampel tanpa tanah, untuk mendapatkan volume titrasi

Fe(NH4)2(SO4) 20,5 N untuk mendapatkan blanko. Dihitung C-organik dengan

(38)

% C-organik = 5 ( 1- t/s )0,78

Keterangan : t = titrasi

s = blanko

Dihitung bahan organik dengan menggunakan rumus :

% BO = C-organik x 1,724

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran laju infiltrasi ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa

kecepatan masuknya air secara vertikal ke dalam tubuh tanah. Proses infiltrasi

pada umumnya mula-mula cepat kemudian melambat dan disusul dengan kondisi

konstan. Hasil pengukuran laju infiltrasi pada tegakan kelapa sawit dengan kelas

umur 10 tahun, 25 tahun dan 35 tahun disajikan pada Lampiran 1 sampai

Lampiran 6, sedangkan rataan laju infiltrasi pada tegakan kelapa sawit untuk

masing-masing kelas umur dapat dilihat pada Tabel 2.

(40)

Laju infiltrasi pada tegakan kelapa sawit kelas umur 10 tahun adalah

sebesar 19,2 cm/jam dengan kapasitas infiltrasi 5,28 cm/jam. Pada kelas umur 25

tahun memiliki laju infiltrasi sebesar 79,2 cm/jam dengan kapasitas infiltrasi

sebesar 11,76 cm/jam. Untuk kelas umur 35 tahun memiliki laju infiltrasi sebesar

111,6 cm/jam dengan kapasitas infiltrasi sebesar 16,8 cm/jam.

Hasil rata-rata pengukuran infiltrasi pada tegakan kelapa sawit dengan

kelas umur 10 tahun, 25 tahun dan 35 tahun dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik rata-rata laju infiltrasi ketiga kelas umur tegakan kelapa sawit.

Gambar 5 menunjukkan kurva perbandingan laju infiltrasi pada tegakan

kelapa sawit umur 10 tahun, 25 tahun dan 35 tahun. Laju infiltrasi kelas umur 35

tahun lebih tinggi dari kelas umur 25 tahun dan laju infiltrasi pada umur 25 tahun

lebih tinggi dari umur 10 tahun. Begitu juga dengan kapasitas infiltrasinya, kelas

umur 35 tahun memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih tinggi dari kelas umur 25

tahun dan kelas umur 25 tahun lebih tinggi kapasitas infiltrasinya dari kelas umur

10 tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa semakin tua kelas umur kelapa

sawit, semakin tinggi laju infiltrasinya. Karena semakin tua kelas umur kelapa

(41)

membuat rekahan-rekahan pada tanah sehingga menimbulkan celah-celah yang

merupakan jalannya air masuk ke dalam tanah. Harahap (2007) mengatakan

bahwa semakin bertambah umur tanaman kelapa sawit, sistem perakarannya akan

memenuhi seluruh horizon tanah, dengan demikian permeabilitas lapisan tanah

bawah semakin baik dan kemampuan tanah menahan air semakin banyak.

Secara umum dapat dilihat bahwa semakin dekat jarak pengukuran

infiltrasi dari batang kelapa sawit infiltrasinya semakin besar dan semakin jauh

pengukuran infiltrasi dari batang kelapa sawit infiltrasinya semakin kecil seperti

pada Gambar 6. Harahap (2007) mengatakan bahwa pengukuran infiltrasi tanah

yang ditanami kelapa sawit kelihatan pada daerah dekat pangkal batang paling

cepat, ini menunjukkan adanya kegiatan akar tanaman.

0

Gambar 6. Grafik rata-rata infiltrasi terhadap jarak ukur dari batang kelapa sawit

Kartasapoetra (1989) mengatakan bahwa vegetasi dapat menahan aliran

permukaan, kemudian dirembeskan ke bagian dalam dari top soil. Kecepatan

infiltrasi akan sangat ditunjang oleh banyaknya pori-pori tanah dimana akar-akar

vegetasi sangat menunjang dalam pembentukan pori-pori tanah tersebut. Penetrasi

atau permeabilitas air dari lapisan top soil masih dapat berlangsung pada lapisan

liat lunak, sedang pada lapisan liat keras kemungkinan penembusan air kerap kali

sukar dilakukan kecuali kalau akar-akar vegetasi ada yang sampai menembus ke

(42)

Hasil pengukuran infiltrasi menunjukkan bahwa kelas umur 10 tahun, 25

tahun dan 35 tahun berpengaruh terhadap besarnya laju infiltrasi. Hasil sidik

ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kelompok kelas umur tersebut

berpengaruh nyata terhadap laju infiltrasi. Hasil Uji Jarak Duncan (Lampiran 9)

juga menunjukkan bahwa kelompok kelas umur tersebut berpengaruh nyata

terhadap laju infiltrasi, seperti yang disajikan dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Jarak Duncan Terhadap Kelas Umur

Kelompok Rata – Rata Notasi

10 tahun 5, 26 a

25 tahun 11,76 b

35 tahun 16,8 c

Tekstur Tanah

Tekstur tanah atau perbandingan pasir, debu dan liat pada masing-masing

kelas umur dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa

tekstur tanah dari tegakan kelapa sawit tersebut untuk kelas umur 10 tahun, 25

tahun dan 35 tahun adalah lempung berpasir.

Tabel 4. Persentase Pasir, debu dan liat pada masing-masing kelas umur kelapa sawit

Perbedaan perbandingan fraksi debu, pasir dan liat tersebut menyebabkan

(43)

Kartasapeotra dan Sutedjo (1988) mengatakan perbedaan komposisi fraksi-fraksi tanah menyebabkan daya infiltrasi yang berbeda.

Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan laju infiltrasi

tanah. Tekstur tanah dari tegakan kelapa sawit untuk ketiga kelas umur adalah

lempung berpasir. Pasir memiliki pori-pori yang besar menyebabkan air mudah

merembes ke dalam tanah yang berarti infiltrasi besar. Kartasapoetra (1989)

mengatakan infiltrasi besar apabila air di permukaan banyak melakukan rembesan

ke dalam tanah, seperti pada tanah-tanah berpasir, lempung berpasir yang

mempunyai kedalaman lapisan kedap yang dalam atau dengan kata lain pada

tanah bertekstur kasar.

Hanafiah (2004) mengatakan bahwa tanah yang didominasi pasir akan

banyak mempunyai pori-pori makro (besar) (disebut lebih poreus), tanah yang

didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) (agak poreus),

sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro (kecil)

atau tidak poreus. Dengan demikian, jika tanah yang lebih poreus akan makin

mudah akar untuk berpenetrasi, serta makin mudah air dan udara untuk

bersirkulasi, tetapi makin mudah pula air untuk hilang dari tanah. Sedangkan

tanah yang tidak poreus akan makin sulit akar untuk berpenetrasi, serta makin

sulit air dan udara untuk bersirkulasi, tetapi air yang ada tidak mudah hilang dari

tanah.

Kadar Air

Kadar air dari ketiga kelas umur tersebut berbeda-beda. Kelas umur 10

(44)

dan kelas umur 35 tahun memiliki kadar air sebesar 8,36 %. Hasil pengukuran

kadar air disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase kadar air pada masing-masing kelas umur tegakan kelapa sawit.

No Kelas Umur Kadar Air (%)

1 10 tahun 7,7

2 25 tahun 12,28

3 35 tahun 8,36

Besar kecilnya laju infiltrasi tanah juga dipengaruhi oleh kadar air.

Apabila kadar air dalam tanah tinggi maka air yang masuk ke tanah akan sedikit

dan menyebabkan laju infiltrasi tanah juga kecil. Harto (1993) mengatakan

kelembaban tanah yang selalu berubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju

infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah laju infiltrasi dalam tanah tersebut

semakin kecil. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa jika dalam satu jenis

tanah terjadi infiltrasi, infiltrasinya semakin lama semakin kecil.

Tabel 5 menunjukkan bahwa kelas umur 25 tahun merupakan kelas umur

yang memiliki persentase kadar air yang lebih tinggi. Kelas umur 25 tahun

bukanlah kelas umur yang memiliki infiltrasi paling kecil. Karena infiltrasi bukan

hanya dipengaruhi oleh kadar air tetapi dipengaruhi oleh kelas umur, bahan

organik dan tekstur tanah. Kelas umur 25 tahun merupakan kelas umur tertinggi

kedua setelah kelas umur 35 tahun dan memiliki persen bahan organik tertinggi

yang masuk kategori tinggi.

Kondisi permukaan, seperti kadar air tanah sangat menentukan jumlah air

hujan yang diinfiltrasikan dan jumlah run off. Jadi, laju infiltrasi yang tinggi tidak hanya meningkatkan jumlah air yang tersimpan dalam tanah untuk pertumbuhan

(45)

Bahan Organik

Bahan organik di dalam tanah selain untuk hara tanaman juga dapat

menyerap air lebih besar. Hasil analisa tanah diperoleh bahan organik untuk kelas

umur 10 tahun, 25 tahun dan 35 tahun seperti yang disajikan pada Tabel 6. Bahan

organik yang terdapat pada lokasi penelitian memiliki kecenderungan semakin tua

umur tegakan kelapa sawit persentase bahan organiknya semakin tinggi.

Tabel 6. Persentase C-organik dan persentase bahan organik pada masing-masing kelas umur tegakan kelapa sawit

No Kelas Umur C – Organik (%) Bahan Organik (%)

1 10 tahun 1,55 2,67

2 25 tahun 1,97 3,08

3 35 tahun 2,07 3,56

Apabila daya infiltrasi tanah besar, berarti air mudah meresap ke dalam

tanah, sehingga aliran permukaan kecil. Akibatnya erosi yang terjadi juga kecil.

Kandungan bahan organik tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi.

Tanah-tanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya menyebabkan

struktur tanah menjadi mantap sehingga tahan terhadap erosi.

Berdasarkan persentase kandungan bahan organik dalam tanah, maka

klasifikasi bahan organik dibagi kedalam 5 kategori, seperti yang disajikan dalam

Tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi Kandungan Bahan Organik

No Kandungan Bahan Organik Keterangan

(46)

Berdasarka Tabel 7 menunjukkan bahwa bahan organik kelas umur 10

tahun termasuk sedang, kelas 25 tahun dan kelas 35 tahun termasuk berkadar

bahan organik tinggi. Perbedaan teresbut terjadi karena persediaan serasah yang

terdapat pada lokasi penelitian. Kelas umur 35 tahun merupakan kelas umur yang

paling tua sehingga memiliki serasah yang lebih banyak dibandingkan dengan

kelas umur 10 tahun dan 25 tahun. Kartasapoetra dan Sutedjo (1988) mengatakan bahwa sumber bahan organik tanah ialah jaringan tanaman, baik yang berupa

serasah atau sisa-sisa tananaman.

Bahan organik tanah atau humus sangat berperan dalam pengaturan tata

air. Bahan organik berperan untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam

meningkatkan laju infiltrasi dan mengurangi laju aliran permukaan. Oleh karena

itu keberadaan bahan organik dalam tanah perlu diketahui dan dipertahankan.

Menurut Kartasapoetra (1989) ketika hujan turun air yang jatuh dapat

mengakibatkan lepasnya partikel-partikel halus tanah. Humus akan sangat

berfungsi menahan pukulan air. Air yang jatuh akan terserap oleh humus dan

selanjutnya dengan kecepatan yang relatif lambat akan meresap terus ke lapisan

tanah sampai pada akhirnya akan membentuk konsentrasi air di dalam tanah. Laju

aliran permukaan akan semakin kecil karena air yang masuk ke dalam tanah

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Infiltrasi rata-rata maksimum tegakan kelapa sawit untuk kelas umur 10 tahun,

25 tahun dan 35 tahun adalah 19.2 cm/jam, 79.2 cm/jam dan 111.6 cm/jam

dengan kapasitas infiltrasi berturut-turut yaitu 5, 28 cm/jam, 11,76 cm/jam

dan 16,8 cm/jam dan waktu konstan yang dibutuhkan secara berturut-turut,

yaitu pada menit ke 30, menit ke 55 dan menit ke 60.

2. Umur tegakan kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap laju infiltrasi dengan

kecenderungan semakin tinggi kelas umur, infiltrasinya semakin besar.

Saran

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar N. 1990. Metode Analisis Tanaman, Tanah dan Mineral. Pusat Penelitian Perkebunan. Medan.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Darmosarkano W, Harahap IY, dan Syamsuddin E. 2001. Pengaruh Kekeringan pada Tanaman Kelapa Sawit dan Upaya Penanggulangannya. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 9 No. 3 Oktober 2001. Medan.

Hanafiah KA. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Harahap EM. 2007. Peranan Kelapa Sawit pada Konservasi Tanah dan

Air. www.usu.ac.id/files/pidato/ppgb/2007_erwin_masrul_harahap_pdf. [23 Maret 2008].

Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Harto S. 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Juanda DJS, Assa’ad dan Warsana. 2001. Kajian Laju Infiltrasi dan Beberapa Sifat Fisik Tanah pada Tiga Jenis Tanamanan Pagar dalam Sistem Budidaya Lorong. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 4 (1) (2003) pp25-31.http:/soil.faperta.ugm.ac.id/jilt/4.1%202003%202531%20juanda %fisik.pdf. [11 April 2008].

Kabupaten Deli Serdang. 2008. www.deliserdang.go.id. [18 Januari 2009].

Kartasapoetra AG. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Merehabilitasinya. Bina Aksara Jakarta.

Kartasapoetra AG dan Sutedjo MM. 1988. Pengantar Ilmu Tanah Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.

Lee R. 1990. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa sawit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(49)

Purwanto E. 2006. Mencermati konversi Hutan Alam menjadi Kebun Kelapa Sawit. www.lambusango.com. [11 April 2008].

Risza S. 1994. Kelapa Sawit Upaya Peningkatanan Produktivitas. Kanisius. Yogyakarta.

Soemarto CD. 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta.

Soewarno. 2000. Hidrologi Operasional. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sugiarto ES. 1994. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Andi Offset. Yogyakarta.

Suriadi A dan Nazam M. 2005. Penilaian Kualitas Tanah Berdasarkan Kandungan Bahan Organik (Kasus Di Kabupaten Bima). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. www.ntb.litbang.deptan.go.id/2005/sp/penilaian.doc. [ 16 Maret 2009].

Wahyono T. 2004. Peranan Perkebunan Kelapa sawit dalam Pengembangan Regional dari Segi Eknomi Makro (Studi Kasus Sumatera Utara). Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 12 No. 1 Februari 2004. Medan. Widianto D, Suprayoga, Noveras H, Widodo RH, Purnomosidhi P dan Noordwijk

(50)

Lampiran 2. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit Kelas Umur 10 Tahun pada Berbagai Jarak Pengukuran dari Pangkal Batang.

(51)

Lampiran 4. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Tegakan Karet Kelas Umur 25 Tahun pada Berbagai Jarak Pengukuran dari Pangkal Batang.

(52)

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi Tegakan Karet Kelas Umur 35 Tahun pada Berbagai Jarak Pengukuran dari Pangkal Batang.

(53)

Lampiran 7. Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Kapasitas Infiltrasi

Lampiran 8. Tabel Anova Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit.

SK Db JK KT F.Hit F.tab 5% Perlakuan 4 41,664 10,416 1,650 3,84 Kelompok 2 333,504 166,725 26,414 ** 4,46

Galat 8 50,496 6,321

Total 14 425,664

(54)

Lampiran 9. Hasil Uji Jarak Duncan UJD Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit.

Karena kelompok ada 3 maka UJD pada taraf 5% ada dua, yaitu : 1. UJD 5% = rp x

= 3,26 x

3 321 , 6

= 4,73

2. UJD 5% = rp x

= 3,39 x

3 321 , 6

= 4, 492

Kelompok Rata – Rata Notasi

10 tahun 5, 26 a

25 tahun 11,76 b

(55)

Lampiran 10. Perhitungan Statistik Kapasitas Infiltrasi Tegakan Kelapa Sawit dengan Menggunakan Minitab 14

Source DF SS MS F P Kelompok 2 333.50 166.75 21.71 0.000 Error 12 92.16 7.68

Total 14 425.66

S = 2.771 R-Sq = 78.35% R-Sq(adj) = 74.74%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+---- 1 5 5.280 1.610 (---*----)

2 5 11.760 2.736 (---*----)

3 5 16.800 3.600 (---*----) ---+---+---+---+---- 5.0 10.0 15.0 20.0

(56)

Lampiran 11. Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Infiltrasi

Lampiran 12. Tabel Anova Perhitungan RAK (Rancangan Acak Kelompok) Infiltrasi MaksimumTegakan Kelapa Sawit.

(57)

Lampiran 13. Hasil Uji Jarak Duncan UJD Infiltrasi MaksimumTegakan Kelapa Sawit.

Karena kelompok ada 3 maka UJD pada taraf 5% ada dua, yaitu : 1. UJD 5% = rp x

= 3,26 x

3 6 ,

279

= 17,43

2. UJD 5% = rp x

= 3,39 x

3 6 , 279

= 17,77

Kelompok Rata – Rata Notasi

10 tahun 19,2 a

25 tahun 81,6 b

(58)

Lampiran 14. Perhitungan Statistik Infiltrasi MaksimumTegakan Kelapa Sawit dengan Menggunakan Minitab 14.

Source DF SS MS F P Kelompok 2 22219 11110 25.16 0.000 Error 12 5299 442

Total 14 27518

S = 21.01 R-Sq = 80.74% R-Sq(adj) = 77.53%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev +---+---+---+--- 1 5 19.20 2.68 (----*---)

2 5 81.60 22.69 (---*---)

3 5 111.60 28.33 (---*---) +---+---+---+--- 0 35 70 105

(59)

Lampiran 15. Skema Pengukuran Double Ring Infiltrometer pada Tegakan Kelapa Sawit.

2

3

5

1

4

Keterangan :

= tanaman kelapa sawit

= double ring infiltrometer

1 = jarak ukur 1 m

2 = jarak ukur 2 m

3 = jarak ukur 3 m

4 = jarak ukur 4 m

(60)

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi pada Tegakan Kelapa Sawit Umur 10 Tahun.

(61)

Lampiran 3. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi pada Tegakan Kelapa Sawit Umur 25 Tahun.

(62)

Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Infiltrasi pada Tegakan Kelapa Sawit Umur 35 Tahun.

Gambar

Tabel 1.  Laju infiltrasi pada berbagai tutupan vegetasi.
Gambar 2. Kebun Patumbak PTPN II
Gambar 3. Pengukuran Infiltrasi.
Gambar 4.  Gambar 4. Lubang pengambilan tanah.
+6

Referensi

Dokumen terkait

[r]

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011, Trento,

Approved and ratified the Annual Report for the fiscal year ended on 31 December 2016 including within it the Report on the Company’s Activity, Supervision Report of the Board

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011,

In the third step the predicted models from the Coarse Classification including the ratings and the new found edges from Image Based Verification are used together to do a

KNP mencerminkan bagian atas laba rugi dan aset neto dari Entitas Anak yang tidak dapat diatribusikan secara langsung maupun tidak langsung pada entitas induk, yang

Sesuai dengan Berita Acara Evaluasi Penawaran Nomor : 105/PANNllll2O12 tanggal 24 Agustus 241?-, Beritia Acara Hasil Evaluasi Pelelangan Nomor :122 /PANll)fJZAlz tanggal

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kepadatan kultur Daphnia carinata King dan fotoperiode yang berbeda terhadap produksi efipium.. Hasil