SKRIPSI
PERANAN RELIGI TERHADAP MODERNISASI JEPANG
PERIODE RESTORASI MEIJI
OLEH : MARIANA
020722012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG
MEDAN
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 6
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6
1.4 Tinjauan Pustakan ... 7
1.5 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
1.6 Metode Penulisan ... 9
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG 2.1 Pengertian Religi ... 11
2.1.1 Konsep-konsep Dasar Religi Jepang ... 13
2.1.2 Agama-agama di Jepang pada Masa Feodal 14 2.1.2.1 Shintoisme ... 15
2.1.2.2 Budhisme ... 17
BAB III PENGARUH RELIGI DALAM MEMODERNISASIKAN JEPANG PERIODE RESTORASI MEIJI
3.1 Pendidikan ... 21
3.2 Politik ... 26
3.3 Sosial Budaya ... 29
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ... 32
4.2 Saran ... 33
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada ALLAH SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan sekripsi ini , sebagai tugas akhir
penyelesaian studi di Program Ekstension Sastra Jepang Fakultas Sastra
Universitas Sumatra Utara
Sekripsi ini membahas tentang kebudayaan Jepang yang diberi judul
”Peranan Religi Terhadap Modernisasi Jepang Periode Restorasi Meiji”.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana
di Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Drs. Syaifuddin M.A PhD, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Utara
2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang M.S Ph.D , Selaku ketua jurusan
Program Ekstension Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatra
Utara.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana , M. Hum , Selaku Dosen Pembimbing
yang telah banyak memberi arahan dan masukan pada penulis , sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
4. Seluruh staf pengajar pada Program Ekstension Sastra jepang Fakultas
5 Ayahanda dan ibunda tercinta yang membesarkan dengan penuh kasih
sayang & tiada bosan-bosannya mendoakan dan memberikan semangat
kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Terima kasih juga tak lupa
penulis persembahkan kepada kakanda tercinta yang selalu memberikan
dukungan menyelesaikan penulisan sekripsi ini,
6 Teman-temanku yang baik dan penuh perhatian , yang selalu saling
berbagi ilmu dan bertukar pikiran , juga mau meluangkan waktu
disaat-saat penulis membutuhkan bantuan . Kalian adalah sahabat-sahabat
terbaikku...
Penulis berharap semoga isi yang terdapat dalam penulisan sekripsi ini,
BAB I PEDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kita sering melihat bahkan menggunakan barang-barang
elektronik dari yang kecil ataupun yang besar, dari yang murah sampai yang
mahal dengan merek-merek yang tidak asing lagi bagi kita seperti Sony, Toyota,
Fuji, Suzuki, dll. Barang-barang dengan merek tersebut sudah biasa menghiasi
rumah kita mulai dari dapur, kamar mandi, ruang tamu, bahkan kamar tidur. Dari
merek-merek diatas kita dapat mengetahui bahwa barang-barang tersebut berasal
dari Jepang.
Jepang adalah satu-satunya negara Asia yang memproduksi
barang-barang elektronik yang kualitasnya setara dengan Eropa. Sehingga konsumen
yang ingin membeli barang-barnag buatan Jepang tidak merasa khawatir
terhadap mutunya karena memang terjamin. Perusahaan-perusahaan di Jepang
terus saja memperbaiki penampilan barang-barang produksinya hingga mencapai
hasil yang sempurna dengan tujuan untuk memuaskan para konsumen. Dampak
dari meningkatnya permintaan pasar tentu mempengaruhi laju pertumbuhan
ekonomi sehingga Jepang terus-menerus menduduki peringkat tertinggi di dunia.
Padahal jika kita membuka lembaran sejarahnya, Jepang adalah negara
yang terisolasi secara geografis dan mengisolasikan diri selama kurang lebih 250
tahun (1638-1853) pada zaman Edo yang biasa disebut dengan zaman Shogun
”Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan ke-shogunan Tokugawa waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo)” (Situmorang, 1995 : 41)
Selama shogun Tokugawa berkuasa, negara Jepang menutup diri dari
semua orang asing dan pengaruh-pengaruh asing. Bahkan orang Jepang yang
berada di luar negeri pun tidak diijinkan pulang ke negerinya sendiri karena pemerintah takut kalau-kalau mereka memasukkan virus agama Kristen (Reischauer, 1982:86). Hanya orang Belanda yang masih
diperbolehkan berdagang di Jepang melalui pulau Deshima yang terletak di
depan Nagasaki.
Sementara Jepang tenggelam dalam tidurnya yang panjang dalam
keterasingan, evolusi bentuk negara modern dan persatuan nasional sedang
berlangsung di barat. Lebih dari itu, perkembangan kapitalisme mengakibatkan
revolusi industri yang menyebabkan bangsa barat melihat ke luar negeri untuk
mencari pasaran bagi hasil industrinya dan untuk sumber-sumbaer bahan baku
baru.
Pada tahun 1853, Komodor Matthew C. Perry dari Amarika Serikat
berhasil membujuk Jepang untuk membuat perjanjian persahabatan dan diikuti
oleh Rusia, Inggris dan Belanda. Empat tahun kemudian diubah menjadi
perjanjian perdagangan dan diikuti oleh Prancis. Kejadian-kejadian tersebut
berdampak meningkatkan tekanan arus sosial dan politik yang menggerogoti
sistem feodal keshogunan Tokugawa runtuh pada tahun 1867 dan kedaulatan
dikembalikan sepenuhnya kepada kaisar dalam Restorasi Meiji pada tahun 1868.
”Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berlangsung antara 1868-1912. kaisar Meiji juga dipanggil kaisar Matsuhito. Sebagai pusat pemerintahan maka kota Edo diganti nama dengan Tokyo, dan pada tahun 1869 ibukota dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo” (Suradjaja, 1984:21)
Masa Meiji merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam
sejarah bangsa-bangsa. Di bawah pimpinan kaisar Meiji dengan pemerintahan
yang membawa pencerahan dan imajinatif, membantu membimbing bangsa
Jepang untuk bergerak maju sehingga dalam hanya beberapa dasawarsa
mencapai apa yang di Barat memerlukan berabad-abad lainnya, yakni
pembentukan suatu bangsa yang modern yang memiliki pendidikan modern,
lembaga-lembaga politik modern dengan mencontoh negara-negara barat tanpa
harus takut bahwa hasil westernisasi akan menggoyahkan kepribadian mereka.
Suradjaja (1984:10) menyatakan :
”Kemajuan Jepang yang dicapai sebagai akibat dari modernisasi
selama lebih dari 100 tahun sejak Restorasi Meiji, sudah merupakan prestasi luar biasa , dimana Amerika dan negara-negara Eropa lainnya mencapai dalam jangka waktu yang lebih lama”.
Walaupun demikian, karena menjelang akhir zaman Tokugawa,
sekelompok samurai intelektualsangat tertarik dengan teori-teori politik Barat
yang kemudian menganjurkan perombakan terhadap pemerintahan Bakufu (
sangat didominasi oleh faham Barat. Seluruh negrinya terjun dengan semangat
dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern.
Kebudayaan Barat pun terus merambah masuk ke negri sakura ini membawa
pembaharuan dan pengaruh besar-besaran dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakatnya. Bebebrapa diantaranya tercermin dalam bidang
pendidiksn,ekonomi.sosial budaya dan lain-lain.
Pendidikan yang dianggap sebagai salah satu jalan yang menjadi
dasar kemajuan dan kemakmuran bangsa, berkembang pesat di seluruh Jepang
sejak lahirnys Restorasi Meiji. Terlebih lagi setelah sistem feodal runtuh maka
kekuasaan penuh kembali kepada Kaisar. Pendidikan yang diumumkan dalam
tahun 1890 , dipandang sebagai naskah suci yang meletakkan moralitas
pemujaan kepada Kaisar , selalu dengan sikap keras dan sungguh –sungguh.
Kedaulatan dinyatakan sebagai bahagian yang mutlak dari kebajikan – kebajikan
, menjadi simbol kewenangan Kekaisaran yang tak pernah berbuat kesalahan .
Kaiasar dipandang sebagai dewa kebajikan dalam wujud manusia dan kesetiaan
kepadanya, sama dengan kesetiaan keagamaan . Beberapa golongan percaya
bahwa seluruh bangsa Jepang mendapat rahmat dari dewa-dewa.Dalam
kepercayaan yang ekstrim lagi, pemujaan kepada Kaisar itu mengantarkan
kepada kepercayaan umum bahwa bapak bangsa Jepang , dengan kewenangan
dewa – dewa menjadi penguasa semesta alam.
Dalam tingkat yang berbeda –beda , cara pandang atau wawasan ini ,
melainkan pada semua aliran Shinto, dan dalam beberapa hal pada seluruh pada
seluruh bangsa, termasuk badan –badan keagamaan lainnya.
Masyarakat Jepang sadar betul akan arti pendidikan. Karena itu,
sejak awal pengenalan pendidikan Barat, relatif tidak ada masalah dalam
menggugah masyarakat Jepang untuk sekolah. Sejak Rertorasi Meiji,
diskriminasi dalam masyarakat Jepang secara formal dihapuskan yang imbasnya
sampai pada bidang pendidikan yakni seiap orang diberi kesempatan yang sama
untuk belajar. Dengan pendidikan moral dan etika yang tetap menjadi prioritas
utama, masyarakat Jepang juga diajarkan pendidikan militer danilmu
pengetahuan lainnya, seperti ilmu fisika , ilmu kedoktersn , ilmu adminitrasi,
dan lain –lain.
Sebagai kelanjutan dari usaha dalam rangka menuju masyarakat
modern pemerintah Jepang pada tahun 1872 mulai melembagakan sebuah
sistem pendidikan dasar umum. Sistem ini secara ekslusif menggarisbawahi
kemampuan ” membaca, menulis, dan berhitung ( dengan sempoa )” , yang
dimaksudkan untuk memberikan pendidikan populer yang cocok bagi
masyarakat modern . Pengaruh Barat yang dalam pembahasan inidisebut –sebut
sebagai faham dalam modernisasi masyarakat Jepang, terlihat daei filsafat dan
teknologi yang diajarkan di sekolah – sekolah hampir seluruhnya dari Eropa.
Lagu-lagu yang diajarkan di sekolah – sekolah dasar biasanya berasal dari
Inggris dan Jerman ( Naoto Sasaski , 1985 : 3). Kemudian pendidikan tinggai
diakselerasikan dengan memanfaatkan tenaga-tenaga asing dari Barat yang
Tindakan ini dilakukan seiring dengan menambah jumlah orang Jepang yang
pergi ke negara – negara Barat untuk belajar. Dalam pengertian bahwa
sekalipun tidak pergi belajar ke Barat , tetapi dapat mempelajari kebudayaan
Barat melalui buku – buku berbahasa Inggris , Perancis , Jerman , dan lain – lain
. yang diterjemahkan oleh pemuda – pemuda Jepang ( pada umumnya kaum
Samurai ) yang dikirim ke Eropa Barat dan AS untuk mempelajari keadaan di
sana dan mengeruk ilmu sebanyak mungkin karena Jepang pada waktu iu
merasa berkepentingan untuk disamakan dengan bangsa – bangsa Barat untuk
kelangsungan hidupnya ( Sayidiman S; 1982: 207).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut tentang sejauh mana religi berperan tdalam modernisasi
Jepang periode Restorasi Meiji.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi
sumber permasalahan dari penelitian ini adalah:
a. Apakah religi yang ada di Jepang mempunyai peran dalam
memodernisasikan negara Jepang ?
b. Dalam hal apa saja religi berperan dalam modernisai Jepang ?
C. Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai dengan judul skripsi yang akan penulis buat, maka penulis
a. Peranan religi terhadap modernisasi di Jepang pada Restorasi Meiji.
b. Sejauh mana religi berperan dalam modernisasi Jepang.
D. Tinjauan Pustaka
Restorasi Meiji berawal pada tahun 1868 ketika pemerintahan shogun
jatuh dan kemudian lahir pemerintahan baru di bawah kekuasaan Kaisar Meiji.
Runtuhnya keshogunan Tokugawa disebabkan oleh timbulnya sikap anti
asing di kalangan rakyat Jepang. Sikap anti asing diungkapkan dengan slogan
”larang masuk orang asing” yang dikaitkan dengan konsep kesetiaan kepada kaisar, ”hormat kaisar” (Reischauer,1982:98). Hal ini mendorong
timbulnya kesadaran nasionalistik mutlak yang diarahkan bagi penyatuan rakyat
di bawah kaisar sebagai penguasa . Inilah yang menyebabkan jatuhnya
keshogunan, meskipun di sisi lain ada fakta kesadaran politik yang meningkat di
kalangan masyarakat bawah.
Di tengah situasi Jepang yang semakin sulit, kaisar Meiji tergerak untuk
mengadakan sebuah revolusi, inilah yang disebut dengan Restorasi Meiji. Dan
era inilah yang kemudian mengawali periode modernisasi dan westernisasi di
Jepang yakni periode dimana pemerintah dan masyarakat Jepang mulai bekerja
keras mengejar berbagai ketinggalan akibat isolasi pada masa sebelumnya
dengan membuka diri terhadap pengaruh Barat.
Yang dimaksud dengan Restorasi Meiji menurut beberapa teori adalah
antara lain ada yang mengangap bahwa ”Restorasi Meiji” adalah penetapan
karena pada masa ini kekuasaan tuan tanah sangat kuat dan industri modern
belum cukup berkembang.”Teori lain mengangap bahwa ” Restorasi Meiji
adalah gerakan pemulihan pemerintahan kerajaan macam purba di bawah tenno
(Kaisar) oleh kas samurai bawahan dengan menghancurkan pemerintahan
Bakufu di bawah shogun Tokugawa.
Mulai saat itu, bangsa Jepang secara sungguh-sungguh bergerak untuk
meniru segala aspek kehidupan barat. Pemuda-pemudanya dikirimkan ke
Inggris, Perancis, dan Jerman untuk belajar dalam berbagai bidang didatangkan
pula guru-guru dari luar negeri untuk mengajar orang Jepang di rumah.
Inilah langkah pertama modernisasi Jepang. Di dalam modernisasi ini,
Jepang tanpa ragu-ragu melakukan westernisasi. Sebab mereka berpendapat
bahwa hanya melalui westernisasi kelangsungan hidupnya dapat terjamin. Di
pihak lain, para pemmpin Jepang tidak takut kehilangan kejepangannya, justru
identitas Jepang itulah yang termasuk salah satu yang harus dijamin
kelangsungan hidupnya. Kepribadian Jepang sendiri telah kuat tertanam sebagai
akibat masa isolasi sepanjang 250 tahun (suryohadiprojo, 1982:26).
Dengan mengusung semboyan ”fukoku kyohei” yang artinya negara
sejahtera, tentara kuat, Kaisar Meiji mengambil langkah-langkah drastis dalam
masyarakat Jepang, seperti yang dikemukakan Suryohadiprojo (1982:26-31):
1. Penghapusan sistem feodal
2. Pendidikan wajib dan bebas untuk seluruh rakyat
3. Memperkenalkan kerangka sistem kebijakan ekonomi
5. Perubahan sistem perpajakan
Keberhasilan bangsa Jepang yang relatif cepat tidak disebabkan oleh
faktor-faktor ekstern tetapi lebih pada mantapnya kepribadian Jepang, maka dalam
berusaha mengejar ketinggalannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dari
Eropa, Jepang tidak pernah merasa khawatir akan kehilangan kepribadiannya.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian bertujuan:
a. Untuk mengetahui bagaimana peranan religi dan memodernisasikan
negara Jepang
b. Untuk mengetahui sejauh mana religi berperan penting dalam
restorasi Meiji.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan ( Library
Research), yaitu dengan mengumpulkan data dan membaca referensi yang
berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis, serta merangkainya
menjadi sebuah informasi yang mendukung tulisan ini. Disamping itu digunakan
pemaparan dan penjelasan yang dikembangkan sendiri oleh penulis dengan tetap
mengacu kepada sumber informasi dan fakta-fakta yang berkaitan dengan
Selain itu, penulisan ini juga berpedoman pada metode penelitian yang
bentuknya adalah mempelajari masalah – masalah dalam masyarakat serta tata
cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi – situasi tertentu , termasuk
tentang hubungan kegiatan , sikap – sikap, pandangan, serta proses yang sedang
berlangsung dan berpengaruh dari satu fenomena ( M. Nazir ; 1988 : 84 ), yang
dalam hal ini objeknya adalah masyarakat Jepang . Kemudian, metode ini
dideskripsikan dengan mengemukakan sisi historis dari fenomena tersebut yang
tujuannya adalah untuk memahami kenyataan – kenyataan sejara dan lebih lanjut
lagi dapat berguna untuk memahami situasi sekarang serta meramalkan
perkembangannya di masa yang akan datang.
Penulisan ini juga dipaparkan melalui metode deskriptif, yaitu
menuturkan dan menafsirkan data yang ada , misalnya tentang satu situasi yang
dialami , satu hubungan , kegiatan, pandangan , sikap yang menampak, atau
tentang satu proses yang sedang berlangsung , pengaruh yang sedang bekerja ,
kelainan yang sedang muncul , kecenderungan yang menampak , pertentangan
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG
2.1 Pengertian Religi
Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada
yang melakukan secara sungguh-sungguh, namun tidak orang yang hanya
menganggap kegiatan tersebut sebagai ritual sehari-hari dan tidak merasakan
bahwa itu sebagai kewajiban yang harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh
khidmat dan kesungguhan hati.
Masing-masing negara, daerah, bahkan setiap individu pasti memeluk
dan meyakini agama atau kepercayaan yang mungkin berbeda satu sama lainnya.
Namun, perbedaan yang terlihat hanyalah dari segi pelaksanaan ibadah atau tata
cara berdo’a. Karena setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
menuju kepada kebaikan, perdamaian, kebersamaan dan meraih kasih sayang
dari Yang Maha Kuasa, tuhan yang menciptakan seluruh makhluk dan alam
semesta ini.
Keyakinan tersebut merupakan kekuatan setiap individu untuk terus
bertahan dan menjalankan kehidupan ini dengan baik. Bagi orang-orang yang
ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, akan melaksanakan
kewajibannya dengan baik sehingga akan mendapatkan ketenangan hidup lahir
dan bathin.
Setiap agama mengatur tata cara hubungan manusia dan mengatur
Dengan keberadaan agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat akan
menciptakan kerukunan diantara sesama manusia. Agama juga dapat
menciptakan ketenangan bathin bagi setiap individu. Ada beberapa fungsi agama
dalam kehidupan manusia (Waridah Siti, dkk, 2001 : 176) yaitu:
1. Agama sebagai pedoman prinsip benar dan salah, juga memberikan
tuntunan agar manusia mengenal hal-hal yang dibenarkan dan yang tidak
dibenarkan.
2. Agama sebagai pedoman pengungkapan perasaan kebersamaan
(kolektif), yaitu merupakan pedoman bagi setiap tindakan manusia dalam
mengenal arti kebersamaan.
3. Agama sebagai pedoman perasaan keyakinan (confidence), yaitu agar
manusia dalam berusaha selalu disertai keyakinan yang bersumber dari
agama yaitu kepercayaan terhadap Tuhan.
4. Agama sebagai pedoman keberadaan (existence), bahwa keberadaan
manusia di dunia menyangkut segala hal yang ada hubungannya dengan
diri manusia semata-mata atas kehendak-Nya. Dalam agama manusia
adalah umat yang memiliki segala keterbatasan.
5. Agama sebagai pedoman estetika (keindahan), maksudnya adalah
pengungkapan estetika (keindahan) yang merupakan bagian kebudayaan
sangatlah disukai oleh manusia, rasa keindahan merupakan bagian jiwa
manusia yang tidak dapat dipisahkan, agama berfungsi membatasi
keindahan dengan moral, keindahan tidak boleh bertentangan dengan
6. Agama sebagai pedoman rekreasi dan hiburan, bahwa manusia
membutuhkan rekreasi dan hiburan yang bermacam-macam, tetapi tidak
berarti tanpa mengenal batas, agama membatasi manusia dalam mencari
kepuasan melalui rekreasi dan hiburan.
Dari fungsi-fungsi agama tersebut, dapat kita ketahui bahwa kita tidak akan
merasakan ketenangan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari
apabila masig-masing individu tidak meyakini keberadaan Penciptanya, karena
hanya agama yang mengatur bagaimana seharusnya manusia hidup dan
bertindak.
2.1.1. Konsep-konsep Dasar Religi Jepang
Masing-masing negara, bahkan setiap individumemiliki konsep yang
berbeda dalam memahami arti religi (agama) dalam kehidupannya, namun
perbedaan itu tetap berpangkal pada satu keyakinan terhadap adanya Tuhan.
Mengenai konsep religi bagi masyarakat Jepang, ada dua konsep dasar
ketuhanan. Konsep pertama menyatakan tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi
yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta, konsep kedua adalah
tuhan sebagagi dasar dari segala yang ada atau merupakan inti terdalam dari
realitas ( Bellah, Robert. N,1992: 81).
Maka, dapat diketahui bahwa konsep dasar tentang religi Jepang juga
mengajarkan hal yang sama pada seluruh penganutnya. Keberadaan sang
dapat kita rasakan, ketika kita merasakan kegelisahan atau kesedihan, dengan
keyakinan terhadap Tuhan akan dapat memberi ketenangan.
Begitu juga pada saat hadirnya kebahagian akan timbul rasa syukur atas
karunia tersebut. Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa Jepang
merupakan salah satu negara religius, dan dalam satu tahun penuh terdapat
kegiatan ritual keagamaan yang tetap berlangsung di negara paling timur ini.
2.1.2. Agama-Agama di Jepang pada masa feodal
Di Jepang, kebebasan agama dijamin bagi semua orang berdasarkan
Undang-Undang dasar, pasal 20 yang menyatakan bahwa :
”Tidak satu pun organisasi agama dapat menerima hak istimewa dari negara, dan
tidak satu pun dapat mempunyai wewenang politik apa pun. Tidak seorang pun
dapat dipaksa mengambil bagian dalam kegiatan, perayaan, upacara atau praktek
agama. Negara dan instaninya harus membatasi diri tidak melakukan pendidikan
agama atau kegiatan agama apa pun” (Japan Echo Inc. 1989:113)
Jepang mengenal beberapa agama dalam kehidupan masyarakatnya,
diantaranya adalah Shinto, Budha, dan kong Fu Tse. Dari beberapa agama
tersebut shinto merupakan agama asli masyarakat Jepang, keberadaanya tetap
terpelihara sampai saat ini. Di samping agama yang ada tersebut, Jepang juga
memiliki banyak aliran-aliran kepercayaan yag juga berkembang pesat dalam
Walaupun beraneka ragam agama yang dianut oleh penduduk yang
bermukin di negeri sakura ini, tetapi tetap ada Undang-Undang yang telah
ditetapkan telah dapat memberikan ketenangan bagi seluruh masyarakat. Ada
beberapa agama yang dianut oleh penduduk yang berada di Jepang saat ini, yaitu
sebagai berikut :
2.1.2.1. Shinto
Agama asli Jepang adalah Shinto, yang berakar pada kepercayaaan
animis orang Jepang kuno. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat
dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa rumah tangga dan
dewa-dewa pelindung setempat. Shinto adalah salah satu agama (kepercayaan
masyarakat) yang banyak dianut orang Jepang.
Kegiatan peribadatannya mengutamakan pemujaaan terhadap arwah
nenek moyang dan alam lingkungannya, sehingga para penganut agama Shinto
mempercayai banyak dewa. Mitos mengenai asal keturunan dewa keluarga
kaisar pernah menjadi salah satu prinsip dasar Shinto, yang menyatakan bahwa
orang Jepang adalah keturunan dewa matahari (Amaterau Ookami).
Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, dan khususnya selama Perang
Dunia II, Shinto diangkat oleh penguasa menjadi agama negara.Namun,
berdasarkan Undang-Undang dasar setelah perang, Shinto tidak lagi diberi
dukungan resmi ataupun hak khusus, walaupun masih memegang peran pada
Jepang dewasa ini mengikuti upacara Shinto pada acara pernikahan (Japan Echo
Inc. 1989:114).
Kegiatan ibadah berlangsung di kuil shinto yang disebut Jinja, yaitu
tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa,
ataupun dapat juga digunakan sebagai tempat upacara lain, seperti acara
pernikahan.
Jinja sering dikunjungi baik oleh orang yang beragama Shinto maupun
orang tidak beragama Shinto, misalnya pada saat hatsumode (Hatsumairi) ketika
tahun baru, omiyamairi beberapa minggu setelah seseorang melahirkan , atau
pada saat Shichigosan bagi anak perempuan yang berusia 3 atau 7 tahun dan
anak laki-laki yang berusia 3 atau 5 tahun.
Agama Shnto juga memiliki sebutan khusus untuk para pendeta mereka,
yaitu kanmushi. Ia bertugas melaksanakan upacara-upacara ritual agama Shinto
di Jinja, termasuk dalam pengelolaan keuangan tempat tersebut. Kegiatan
sehari-hari yang dilakukan oleh seorang kanmushi antara lain mempersembahkan
sesaen dan lelkaukan pemujaan terhadap para dewa, melakukan pembersihan diri
(baik orang maupun barang) bagi pengunjung yang menginginkan kesehatan,
keselamatan, kebahagiaan atau kesejahteraan dan ia juga bertugas melaksankan
upacara pernikahan.
Dalam pengelolaan keuangan kuil, kanmushi turut mengawasi
pendapatan dan pengeluaran keuangan, seperti dalam perhitungan hasil
penjualan Omikuji, atau Engimono serta dalam perhitungan Saisen (uang
memiliki tempat pemujaan yang khusus disediakan di rumah-rumah mereka,
benda ini disebut dengan kamidana (altar shinto).
Kamidana adalah benda/tempat yang dianggap suci bagi penganut agama
shinto dan dipasang dalam rumah untuk mengadakan pemujaan terhadap arwah
leluhur juga para dewa. Namun, tidak semua orang Jepang yang melengkapi
rumahnya dengan kamidana ini.
Di dalam kamidana antara lain tersimpan Omamori, Kanai anzen, dan
sebagainya yang dipercaya sebagai benda yang memiliki kekuatan untuk
menjaga kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Di
depan Kamidana biasanya orang Jepang menyalakan lilin dan melengkapinya
dengan berbagai makanan, minuman (mis: sake), dan sebagainya.
2.1.2.2. Budha
Agama Budha adalah agama terbesar penganutnya di Jepang, yang pada
akhir tahun 1985 mempunyai 92 juta pemeluk, masuk ke Jepang dari india
melalui Cina dan Korea kira-kira pada tahun 538 Masehi (Japan Echo Inc.
1989:113).
Setelah memperoleh dukungan kaisar, agama Budha disebarluaskan oleh
para penguasa ke semua pelosok. Pada awal abad ke-9, agama ini secara khusus
melayani kaum bangsawan istana.
Pada periode Kamakura (1192-1338), suatu periode keresahan besar
politik dan kekacauan sosial, muncullah banyak sekte baru Budhis yang
petani. Agama Budha bukan hanya berkembang sebagai agama, tetapi juga
banyak turut memperkaya kesenian dan ilmu pengetahuan.
Selama periode Edo (1603 - 1868) ketika pemerintahan keshogunan yang
bertangan besi membawakan damai dan kemakmuran yang tinggi dalam
masyarakat,ternyata vitalitas spritual ajaran Budha malah banyak menyurut.
Agama Budha di Jepang termasuk agama Budha Mahayana (wahana
besar) di Asia Timur, dan pada umumnya mengajarkan keselamatan di taman
firdaus untuk semua orang, bukan kesempurnaan perseorangan, dan mempunyai
bentuk yang jauh berbeda dengan bentuk agama Budha yang ditemukan di
bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Agama Budha di Jepang memiliki banyak
aliran atau sekte-sekte yang keberadaannya masih dapat ditemukan sampai saat
ini.
Semua sekte agama Budha di Jepang dewasa ini, tergolong atau dapat
diselusuri jejak asalnya pada cabang-cabang utama agama Budha yang masuk ke
Jepang diantaranya adalah: jodo, jososhin, nichiren, shingon, tendai, dan zen
(Sudjianto,2002:7 ).
Kemudian, untuk pelaksanaan ritual penyembahan, biasanya pemeluk
Budha memasang butsudan ( Altar Budha ), yaitu benda atau tempat yang
dianggap suci dan dipasang di dalam rumah untuk melakukan pemujaan. Namun
tidak semua orang Jepang melengkapi rumahnya dengan butsudan.
Di dalam butsudan biasanya tersimpan patung Budha kecil, plakat papan
nama-nama nenek moyang yang sudah meninggal, lonceng kecil, juga tempat
Jepang menyajikan sesajen dan melakukan pemujaan atau peribadatan sambil
membakar kemenyan.
Kalau agama Shinto memiliki tempat peribadatan khusus, maka begitu
juga halnya dengan agama Budha. Tera adalah kuil Budha, bangunan tempat
peribadatan dimana para pendeta Budha tinggal untuk melakukan pertapaan atau
melaksanakan upacara-upacara agama Budha.
Kuil yang dijadikan tempat patung Budha ini sering dikunjungi baik oleh
orang yang beragama Budha maupun orang yang bukan beragama Budha.
Biasanya sangat ramai dikunjungi misalnya oleh orang-orang yang melakukan
hakamairi ( akan berziarah ), ke makam nenek moyangnya pada waktu festival
Bon atau yang lebih dikenal dengan istilah Obon, atau oleh orang yang
mengunjunginya pada saat Omisoka ( malam tahun baru ) ataupun pada saat
hatsumairi ( awal tahun baru ).
Pendeta Budha dikenal dengan sebutan Oboosan atau disebut juga
Soo.Ia bertugas melaksanakan atau memimpin upacara-upacara ritual agama
Budha. Para Oboosan tinggal di tera untuk melakukan pertapaan dan mengatur
pemeliharaan makam yang ada di sekitarnya.
Mereka berpenampilan berbeda dengan kebanyakan orang, tidak
memelihara rambut di kepalanya dan memakai pakaian khas seorang pendeta
Budha, diantara mereka ada yang berkeluarga dan ada juga yang tidak
2.1.2.3. Kong Fu Tse
Masyarakat Jepang lebih cenderung memandang kepercayaan Kong Fu
Tse sebagai kode pedoman akhlak, dan bukan sebagai agama. Masuk ke Jepang
pada permulaan abad ke-6.
Kong Fu Tse mempunyai dampak yang besar pada pemikiran dan
perilaku Jepang, tetapi pengaruhnya telah berkurang sejak Perang Dunia II (
BAB III
PERANAN RELIGI DALAM MEMODERNISASIKAN JEPANG
PERIODE RESTORASI MEIJI
3.1 Pendidikan
Salah satu jalan yang dianggap menjadi dasar kemajuan dan
kemakmuran bangsa adalah pendidikan. Hal ini pulalah yang terjadi di
Jepang. Pendidikan berkembang pesat sejak lahirnya Restorasi Meiji.
Masyarakat Jepang sadar betul akan arti pendidikan. Oleh karena itu, sejak
awal pengenalan pendidikan Barat, relatif tidak ada masalah dalam
menggugah masyarakat Jepang untuk sekolah. Sejak proses modernisasi
mulai berjalan, diskriminasi dalam masyarakat secara formal dapat
dihapuskan yang imbasnya sampai pada bidang pendidikan yakni setiap
orang diberi kesempatan yang sama untuk belajar.
Pada dasarnya, penekanan pendidikan di Jepang telah dimulai pada
masa feodalisme Tokugawa. Dengan mereguk semangat dari ide-ide Cina
yang menekankan pentingnya membaca dan mempelajari buku, maka pada
babakan Tokugawa akhir, Jepang sesungguhnya telah menghasilkan
”melek huruf” dan lembaga pendidikan yang melampaui Cina dan Korea.
Pada masa itu, pembelajaran banyak dilakukan melalui pemberian
daerah-daerah feodal mempunyai sekolah-sekolah resmi untuk pemuda
samurai mereka. Terdapat lebih dari seribu akademi swasta yang
menerima rakyat jelata maupun samurai dan ada puluhan ribu lembaga desa
yang dikenal sebagai terakoya yang memberikan mata pelajaran dasar membaca,
menulis, dan berhitung, serta pendidikan budi pekerti. Hingga pada saat itu
(pertengahan abad ke-19) disebutkan bahwa presentase penduduk yang melek
huruf adalah kira-kira 45 persen kaum pria dan 15 persen kaum wanita-
angka-angka yang tidak jauh di bawah angka-angka –angka-angka negara Barat yang termaju ketika
itu (manusia Jepang, 1982). Tetapi pendidikan yang teratur dan modern baru
dimulai dalam Restorasi Meiji.
Para pemimpin Restorasi Meiji menyadari bahwa Jepang tidak akan
mungkin mengejar ilmu pengetahuan dan Teknologi Barat kalau pendidikan
melalui sekolah tidak diorganisasikan dan diselenggarakan dengan luas dan
teratur. Oleh sebab itu, pada tahun 1871 – tahun keempat sejak berdirinya
pemerintahan baru – dibentuklah kementrian pendidikan. Lalu, pada tahun
berikutnya (1872) dibuat suatu rencana ambisius untuk suatu sistem sekolah
yang sangat terpusat dan seragam berdasarkan model Perancis dan bertujuan
mencapai tingkat melek huruf bagi umum. Sejak itu, ditetapkan kewajiban
belajar bagi seluruh rakyat selama 4 tahun. Bukan tugas yang mudah untuk
menjadikan rencana itu suatu kenyataan, mengingat Jepang pada saat itu tidak
mempunyai cukup guru, gedung sekolah, atau dana. Tetapi karena adanya tekad
untuk melaksanakannya, maka lambat laun pelaksanaan ketetapan itu berjalan
sistem yang berlaku di Jerman atau Perancis, yakni sistem 6-5-3-3 tahun.
Artinya, 6 tahun pendidikan dasar yang bersifat campuran (koedukasional) yang
pada tahun itu juga diwajibkan dan seluruhnya cuma-cuma. Baik anak laki-laki
maupun anak perempuan memperoleh pengajaran secara bersama, tidak ada
diskriminasi dalam pelajaran yang diberikan. Di atas sekolah dasar ada satu
sistem yang bersifat elit : sekolah menengah pertama 5 tahun, terpisah untuk
anak laki-laki dan anak perempuan. Pendidikan menengah atas (sekolah
menengah atas) 3 tahun yang terbatas untuk anak laki-laki saja yang dapat
dipersamakan dengan Gymnasium Jerman atau Lycee Perancis. Lalu, pendidikan
unicersitas 3 tahun. Di samping itu, ada macam-macam kursus keahlian.
Pendidikan menengah yang 5 tahun itu tidak perlu ditempuh sepenuhnya, apabila
seseorang hendak melanjutkan pendidikannya lebih tinggi. Misalnya saja
seseorang yang akan sekolah ke universitas dapat menyelesaikan pendidikan
menengah atas (higher education) 3 tahun dan universitas 3 tahun. Dan orang
yang hendak masuk pendidikan teknis atau guru cukup menyelesaikan 3 tahun
pendidikan menengah.
Seluruh sistem dijalankan dengan tegas dan seragam. Disinilah
terciptanya masa melek huruf prajurit, buruh dan wanita rumah tangga, keahlian
teknik tingkatan menengah yang memadai – aspek pendidikan yang tidak cukup
dihargai oleh banyak negara modern – dan sejumlah kecil pemuda yang sangat
berbakat muncul dari universitas-universitas untuk menduduki posisi-posisi
pimpinan dalam pemerintahan dan masyarakat. Bagian terbesar dari pendidikan,
sekolah-sekolah misionaris Kristen dan beberapa lembaga agama Budha atau swasta
lainnya, terutama pada tingkatan sekolah menengah dan sekolah teknik atas, dan
sekolah-sekolah Kristen penting fungsinya dalam pendidikan wanita, tetapi
sekolah - sekolah yang lain ini hanyalah tambahan pada sistem tersebut.
Pada tingkatan teratas terdapat Universitas Tokyo. Ini muncul sebagai
gabungan dari 3 sekolah shogun yang diwarisi dari masa Tokugawa – sebuah
akademi Kong Fu Tse (kemudian dihapuskan), fakultas kedokteran dan fakultas
pengetahuan asing – yang setelah mengalami beberapa reorganisasi diberi nama
Universitas Tokyo dalam tahun1877, dan akhirnya Universitas Kekaisaran
Tokyo dalam tahun 1886.
Pemerintah membentuk Universitas Kekaisaran satu demi satu. Misalnya,
Universitas Kyoto dalam tahun 1897, Tohoku (di Sendai) dalam tahun 1907,
Hokkaido (di Sapporo) dalam tahun 1918, dan seterusnya. Seiring dengan itu,
berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan swasta. Yang paling tua dan
paling terkenal diantaranya adalah Keio dan Waseda. Keio tumbuh dari sebuah
akademi yang didirikan sebelum Restorasi Meiji oleh Fukuzawa Yukichi – tokoh
besar yang sangat mempopulerkan pengetahuan Barat – dan Waseda didirikan
dalam tahun 1882 1882 oleh Okuma- yang didepak dari oligarki yang berkuasa
pada tahun sebelumnya. Juga terdapat Universitas swasta besar lainnya, seperti
Meiji, Nihon, dan Chuo yang tumbuh dewasa sekitar peralihan abad ini,
pertama-tama untuk mengajarkan ilmu hukum modern. Kelima lembaga swasta
Pada waktu itu universitas negeri (kekaisaran/pemerintah) belum dapat
memenuhi keperluan untuk menampung para lulusan Sekolah Lanjutan Atas,
maka peranan universitas swasta dalam membentuk manusia Jepang yang
diperlukan dalam modernisasi berbagai aspek kehidupan, amatlah besar. Maka
yang perlu menjadi perhatian dari mobilitas perkembangan
universitas-universitas swasta seperti Keio, Waseda, Meiji dan lain-lain adalah bagaimana
mereka dapat mencapai mutu yang sesuai dengan universitas negeri dan
bagaimana memelihara mutu itu. Ternyata, selain mengadopsi sistem
pendidikan, mula-mula mereka juga banyak menggunakan tenaga pengajar dari
Eropa dan AS, yaitu sebelum membentuk tenaga pengajar Jepang sendiri.
Karena pendiri universitas swasta, seperti Fukuzawa Yukichi, yang mendirikan
universitas Keio, tidak mau tergantung pada kesediaan tenaga pengajar dari
universitas pemerintah semata-mata. Jadi, universitas swasta harus membentuk
tenaga pengajar sendiri, maupun dari para lulusan universitas pemerintah yang
bersedia melepaskan hubungannya dengan pemerintah.
Kegiatan pendidikan di Jepang pasca Restorasi Meiji inipun terus
bergerak maju. Stabil dan dinamis. Artinya, pendidikan selalu dinamis mencari
yang baru, memperbaiki diri, memajukan diri agar tidak ketinggalan zaman,
bahkan berusaha menyongsong zaman yang akan datang. Dengan demikian,
pendidikan di Jepang menjalankan salah satu fungsinya dengan baik yang
disamping menghasilkan lulusan, juga memberi pengaruh positif terhadap
pembangunan mayarakat. Akibatnya, secara berangsur-angsur menaikkan
dengan harapan mereka di awal Restorasi Meiji, yakni menjadi bangsa yang
sejajar dengan bangsa-bangsa Eropad dan Amerika.
3.2 Politik
Keadaan politik dalam negeri Jepang menggambarkan pula
gejala-gejala yang terdapat dalam masyarakat Jepang pada umumnya. Dalam
masa shogun Tokugawa dan sebelumnya, kekuasaan politik ada di tangan
shogun, yaitu penguasa militer tertinggi di Jepang. Ia memperoleh
kekuasaan itu dari Tenno Heika yang menjadi simbol kesatuan Jepang dan
pendeta tertinggi dalam agama Shinto. Pada waktu Tokugawa, pusat
kekuasaan politik terpisah dari tempat kediaman Tenno Heika. Tokugawa
menempatkan istanya di Edo (yang sekarang bernama Tokyo), sedangkan
istana Tenno Heika di Kyoto yang tetap dianggap ibu kota Jepang pada
waktu itu.
Shogun menjalankan kekuasaan politiknya di seluruh negara melalui
para samurai ang menjadi daimyo di tiap-tiap bagian Jepang. Sebab itu
kaum samurai tidak saja merupakan kasta militer, tetapi juga kelas
penguasa politik atau administrasi. Oleh karena kekuasaan shogunat
Tokugawa Jepang mengisolasikan diri dari dunia luar dan dapat
memelihara perdamaian dalam negeri selama lebih dari 250 tahun
berturut-turut, maka samurai lebih banyak bersifat penguasa administrasi
temurun dalam keluarga Tokugawa. Akibatnya, tidak semua shogun
memiliki kemampuan memerintah yang sama. Karena itu ada
kecenderungan, bahwa apabila shogun tidak berkepribadian yang kuat,
maka yang berkuasa sebenarnya adalah lingkungan shogun.
Ketika Jepang dipaksa membuka diri oleh dunia Barat, kekuasaan
shogunat Tokugawa sedang berada dalam keadaan lemah. Kesempatan ini
dipergunakan oleh clan Satsuma dari Kagoshima (Kyushu) dan clan
Choshu dari Yamaguchi untuk meruntuhkan kekuasaan Tokugawa atas
Jepang. Kedua clan ini berhasil meyakinkan Tenno Heika waktu itu untuk
mengambil kembali kekuasaan politik dan meniadakan shogun.
Tenno Heika Matsuhito dan kemudian dinamakan Meiji Tenno (1852
– 1912). Ketika masih muda, pada umur 15 tahun telah menggantikan
ayahnya, Komei Tenno yang meninggal. Meiji Tenno setuju dengan
pikiran pemimpin-pemimpin Satsuma dan Choshu. Dengan kemampuan
militer mereka, Tokugawa dapat dikalahkan dan Meiji Tenno pindah dari
Kyoto ke Edo, yang kemudian dinamakan Tokyo (”ibu kota di Timur”).
Dan sejak 1868 dimulailah pembangunan Jepang yang dikenal dengan
nama Restorasi Meiji.
Kita sudah mengetahui dari bab sebelumnya bahwa sejak Restorasi
Meiji, Jepang berusaha memperoleh ilmu pengetahuan Eropa untuk
Jepang meniru banyak hal yang ditemukan dalam kehidupan
negara-negara Eropa, bahkan cara berpakaian dan musik Eropa pun ditirunya dan
digunakan dalam kehidupan Jepang. Sebenarnya segala peniruan itu tidak
hanya dilihat dari sudut manfaat praktis, tetapi mengandung juga unsur
psikologis. Sebab dengan menunjukkan kepada dunia luar bahwa Jepang
dapat melakukan hal-hal yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, maka
Jepang berharap akan memperoleh pengakuan dari segala pihak bahwa ia
sekurang-kurangnya sama dengan Eropa. Sebab kalau dapat diakui sama
oleh bangsa Eropa, ia tidak dapat diperlakukan seperti
bangsa-bangsa Asia lainnya, atau bahkan mendapat perlakuan yang sama dengan
bangsa-bangsa Eropa. Sehingga bangsa-bangsa lain yang memandang
tinggi kepada bangsa-bangsa Eropa juga memandang tinggi kepada
Jepang. Oleh sebab itu, juga dalam dunia politik, Jepang berusaha meniru
Eropa. Pemerintahan di bawah Meiji Tenno mulai disusun seperti di Eropa
Barat.
Pembantu-pembantu Meiji Tenno disusun dalam suatu pemerintahan
yang dibagi dalam fungsi-fungsi yang lazim dikenal di Eropa waktu itu.
Kemudian diadakan juga fungsi Perdana Menteri dan Menteri-menteri
yang mengepalai departemen atau kementerian sejak tahun 1885.
demikian pula dirasakan perlu untuk membentuk partai-partai politik
terdiri dari orang-orang Satsuma dan Chusha yang sebelumnya aktif
membantu Tenno mengalahkan Tokugawa. Sebagai oposisi terhadap
dominasi Satsuma dan Choshu, adalah Hagaki Taisuke (1837 – 1919)
dari Tosa di Shikoku yang membentuk partai Aikoku Koto. Tetapi partai
ini tidak banyak berhasil dan kemudian mati.
3.3. Sosial Budaya
Sebelum melanjutkan pembicaraan, perlu kiranya penulis menjelaskan
alasan mengapa pada sub bab ini masalah sosial dibahas berdampingan dengan
budaya. Karena hakekat dari sistem sosial yang berlaku, sebagian besar berperan
dalam pembentukan budaya. Dan dalam hal ini, budaya didefenisikan sebagai
segala hasil pikiran, perasaan, kemauan dan karya manusia, secara individual
atau kelompok untuk meningkatkan hidup dan kehidupan manusia, atau secara
singkat dapat dikatakan bahwa budaya adalah cara hdup yang telah
dikembangkan oleh masyarakat. Dengan demikian, budaya bisa dalam bentuk
benda-benda konkret dan bisa juga bersifat absrak. Benda-benda konkret,
misalnya : lukisan, bangunan, rumah, mobil, barang-barang seni,
tindakan-tindakan seni, dan sebagainya. Sedangkan contoh yang abstrak adalah cara
berpikir ilmiah, kemampuan menciptakan sesuatu, imajinasi, cita-cita, kemauan
yang kuat untuk mencapai sesuatu, keimanan, dan sebagainya.
Mengingat begitu luasnya keadaan sosial dan budaya yang mengalami
perubahan-perubahan pasca Restorasi Meiji di Jepang, maka penulis
Misalnya, dalam bidang sosial adalah soal penghapusan kelas sosial dalam
masyarakat dengan segala konsekwensinya.
Sebelum Restorasi Meiji, ada penggolongan kelas masyarakat yang
dibagi dalam golongan samurai (bangsawan), petani, tukand, dan pedagang.
Atau dalam bahasa Jepangnya dikenal dengan istilah shi- no- ko- sho. Bahkan
ada golongan yang lebih rendah lagi yang dapat disamakan dengan kaum Sudra
di India, yang kalau di Jepang disebut dengan Eta. Yang termasuk golongan Eta
ini adalah orang-orang beserta keluarganya yang pekerjaannya dianggap sangat
hina di mata masyarakat Jepang, antara lain adalah orang-orang yang
pekerjaannya berkaitan dengan kulit hewan, karena orang Jepang yang beragama
Budha menganggap pekerjaan membunuh hewan dan yang berhubungan dengan
itu sebagai pekerjaan yang rendah karena berhubungan dengan pembersihan
kotoran dan pemakaman. Pada saat itu, seseorang tidak mungkin berganti status,
atau pindah dari satu golongan ke golongan lain. Kecuali samurai sebagai
golongan tertinggi. Ini pernah terjadi ketika ada seorang samurai menjadi
petani.
Pasca Restorasi Meiji, rangking antara golongan itu secara formal
dihapuskan dan semua orang dapat berpindah status dengan kecakapan dan
pilihannya. Bahkan orang-orang dari keluarga yang termasuk kaum Eta secara
formal tidak dibatasi geraknya. Dan samurai sebagai golongan, dihapuskan.
Walaupun pengaruhnya masih ada, namun berangsur-angsur hilang seiring
Modernisasi sistem keluarga juga terjadi di masa Meiji ini. Keluarga
mulai diorganisasikan seperti keluarga-keluarga yang ada di Barat, yakni
keluarga nuklir yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hal ini terjadi karena
pengaruh banyaknya perusahaan-perusahaan yang didirikan di kota yang
mengakibatkan banyak orang muda pindah ke kota untuk mengadu nasib. Hal
inilah yang memunculkan sistem keluarga nuklir itu. Karena kalau keluarga
tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Di dalam keluarga
dilaksanakan suatu jenis usaha tertentu, tradisi tertentu, dan simbol-simbol
keluarga (Hamzon Situmorang, 2000 : 42). Sementara keadaan di perkotaan
sudah tidak memungkinkan untuk itu. Maka ciri-ciri khas keluarga tradisional
yang pernah ada pun lambat laun menipis. Karena mereka tidak lagi harus
menjalankan usaha tertentu keluarga, tidak ada tradisi dan simbol-simbol
keluarga tersebut. Hanya saja, bila keluarga perkotaan itu orang tuanya di desa
meninggal dunia atau anaknya meninggal dunia, maka mereka masih membuat
altar Shinto dan Budha sebagai tempat pemujaan leluhur dan juga membuat
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan yang meliputi keterangan mengenai masayarakat
Jepang pada Zaman sebelum dan setelah Restorasi Meiji , penulis akhirnya
mengambil beberapa kesimpulan bahwa:
1. Feodalisme di Jepang lahir karena adanya kekuasaan kaum samurai (
bushi) yang konsekwensinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan
sejarah Jepang selanjutnya.
2. Kebijakan Isolasi negara ( sakoku ) oleh rezim Tokugawa yang
dimaksudkan sebagai langkah untuk melestarikan keterpaduan struktur
sosial dan politik, sebenarnya juga memberikan dampak positif bagi
stabilitas di Jepang, karena justru dimasa inilah bangsa Jepang
membangun serta memantapkan homogenitas dan identitas diri yang
kuat. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya – Restorasi Meiji-
mereka tetap bertahan. Proses modernisasi pasca Restorasi Meiji tidak
menggangu kepribadian Jepang secara negatif.
3. Seiring kepentingan negara-negara Barat untuk mengkonsolidasikan
kekuasaannya di Asia, turut mendesak Jepang untuk mengkonsolidasikan
kekuasaannya di Asia, turut mendesak Jepang untuk mengakhiri
isolasinya. Hal ini diawali dengan datangnya Komodor Perry dari
perjanjian teritorial dengan Jepang. Itulah akhir dari pemerintahan
shogun Tokugawa dan awal jalannya pemerintahan Meiji.
4. Restorasi Meiji merupakan awal dari proses modernisasi dan prosesnya
dijalankan dengan 5 langkah radikal dan fundamental, yaitu:
1. penghapusan kelas sosial dalam mayarakat
2. pelembagaan sistem pendidikan
3. bersikap untuk lebih berorientasi pada kekuatan sendiri
4. penerapan sistem wajib militer
5. perubahan sistem perpajakan
4.2. SARAN
Melalui analisa yang telah dilakukan tentang modernisasai di Jepang,
maka ada beberapa sisi positif yang dapat diambil. Oleh karena itu melalui
tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Berhasilnya penghapusan kelas sosial masyarakat dalam mengubah
bebrapa aspek kehidupan secara fundamental di era Meiji tersebut
memberikan pelajaran bahwa sebnarnya tiada yang salah dengan
perbedaan jika dipandang dari sudut yang benar. Karena itu, tidak
seharusnya perbedaan menjadi jurang yang membuat kita
terpisah.Bagaimanapun solidaritas dan kerjasama antar sesama wajib
dikembangkan karena akan memberikan hasil yang maksimal dalam
2. Dampak positif isolasi negara yang pernah ada di Jepang, dapat kita
terapkan dalam diri kita khususnya dan bagi bangsa ini umumnya tanpa
harus mengikuti kebijakan isolasi juga. Karena, secara logika pun tidak
beralasan dan tidak memungkinkan lagi bagi kita untuk mencontoh cara
isolasi tersebut.
3. Kesadaran akan arti pentingnya pendidikan dan pelembagaan sistem
pendidikan di negeri ini masih perlu dibenahi, yang salah satu caranya
adalah dengan belajar dari keberhasilan Jepang pasca Restorasi Meiji.
4. Mulailah bersikap untuk lebih berorientasi pada kekuatan sendiri, tidak
tergantung pada bantuan luar. Walaupun meninggalkan sifat
ketergantungan secara mutlak adalah mustahil, teapi jangan lantas
mendominasikannya. Karena self relliance (sifat berdikari) yang sampai
sekarang ini masih dimiliki bangsa Jepang, dapat memberikan sugesti
DAFTAR PUSTAKA
Bellah,Robert N. 1982. Religi Tokugawa ( Terj.Waradah Hafidz ) . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Benedict,Ruth.1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni ( Terj. Pamudji ) . Jakarta : Sinar Harapan
Emeretus.1987. Sejarah Kebudayaan Jepang Sebuah Perspektif.Jakarta : Kementrian Luar Negeri Jepang
Ishii,Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang.Jakarta:PT Gramedia
Kunio, yoshihara. 1983. Perkembangan Ekonomi Jepang Sebuah
Pengantar.Jakarta:PT Gramedia
Lubis, Mukhtar .1981.Kekuatan Yang Membisu. Jakarta : Sinar Harapan
Nasution, S dan Thomas., M.1986 .Buku Penuntun Membuat Tesis Skripsi
Disrtasi Makalah.Jakarta:Bumi Aksara
Sakamoto, Taro.1982. Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:Gajah Mada University Press
Situmorang ,Hamzon .1995.Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada
Keshoghunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603 – 1868 ) di Jepang.
Medan : USU Press
Suryohadiprojo, Sayidiman.1981. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam
Perjuangan Hidup.Jakarta: UI Press