• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reduction of Irrigation and Pruning leaves for Solar Radiation Use Efficiency of Maize in Dryland

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reduction of Irrigation and Pruning leaves for Solar Radiation Use Efficiency of Maize in Dryland"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PENGURANGAN IRIGASI DAN PEMANGKASAN DAUN

UNTUK EFISIENSI PEMANFAATAN RADIASI SURYA

TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING

TISEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Tisen

(4)

RINGKASAN

TISEN. Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering. di bimbing oleh Yonny Koesmaryono dan Impron.

Di Indonesia, kebanyakan budidaya tanaman jagung (Zea Mays L.) dilakukan di lahan kering dimana air merupakan faktor utama pembatas produksi. Sehingga, diperlukan adanya pengembangan teknik budidaya yang efisien dalam hal penggunaan air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun di bawah tongkol terhadap kemampuan tanaman dalam mengintersepsi radiasi matahari untuk pertumbuhan, efisiensi pemanfaatan radiasi dan air (EPR dan EPA) serta produktivitas tanaman jagung di lahan kering. Perlakuan irigasi untuk pemenuhan kebutuhan air tanaman dilakukan dalam 3 taraf, yakni pemenuhan kebutuhan 100% dari total kebutuhan air tanaman untuk satu musim pertumbuhan (DI 100%), pengurangan 20 dan 40% dari total kebutuhan air tanaman (DI 80% dan DI 60%). Sedangkan perlakuan pemangkasan dilakukan pada saat tanaman telah memasuki fase generatif dengan 3 taraf, yakni tanpa pemangkasan (P0) sebagai kontrol serta pemangkasan 3 dan 6 daun di bawah tongkol (P3 dan P6).

Efisiensi pemanfaatan radiasi surya perlakuan DI 80% (3.2 g MJ-1) tidak berbeda nyata dengan EPR perlakuan DI 100% (3.1 g M-1), keduanya lebih besar dari EPR perlakuan DI 60% (2.6 g MJ-1). EPR perlakuan P0 (3.1 g MJ-1) tidak berbeda nyata dengan EPR perlakuan P1 (3.0 g MJ-1), keduanya lebih tinggi dari EPR perlakuan P6 (2.7 g MJ-1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengurangan 40% dari total kebutuhan air tanaman atau pemangkasan 6 daun di bawah tongkol dapat menurunkan efisiensi pemanfaatan radiasi.

Produktivitas tanaman pada perlakuan DI 100% (7.0 ton ha-1) adalah yang tertinggi. Produktivitas tanaman pada perlakuan DI 80% (6.6 ton ha-1) tidak berbeda nyata dengan DI 100% dan DI 60% (6.2 ton ha-1). EPA perlakuan DI 60% (0.74 kg m-3) secara nyata lebih tinggi daripada EPA perlakuan DI 80% (0.59 kg m-3) maupun EPA perlakuan DI 100% (0.50 kg m-3). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengurangan irigasi hingga 40% beresiko menurunkan produktivitas tanaman karena kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi secara optimal. Meskipun demikian, berdasarkan kondisi lahan kering yang ketersediaan air sangat terbatas, pengurangan irigasi dapat diterapkan sebagai teknik budidaya yang efisien dalam hal penggunaan air agar produksi berkelanjutan dan konservasi sumber daya air dapat terwujud.

(5)

SUMMARY

TISEN. Reduction of Irrigation and Pruning leaves for Solar Radiation Use Efficiency of Maize in Dryland. guided by Yonny Koesmaryono and Impron .

In Indonesia, maize (Zea Mays L.) is cultivated mostly on the dry land, where water is the main limiting factor for production. Thus, it is necessary to develop the efficient cultivation techniques in terms of water use. The objective of this study was to evaluate the effect of the reduction of irrigation and pruning leaves below the cob on the ability of plants to intercept solar radiation for growth, and for radiation and water use efficiency (RUE and WUE) and maize productivity. Irrigation treatments for crop water requirement is conducted on 3 levels, namely 100% fulfilment of the total water requirement for one growing season (DI 100%), the reduction of 20 and 40% of the total crop water requirement (DI 80% and DI 60%). While pruning is conducted by the time plants have entered the generative phase with 3 level of treatments, i.e. without pruning (P0) as a control, and prunning of 3 and 6 leaves below cob (P3 and P6).

Radiation use efficiency (RUE) treatments DI 80% (3.2 g MJ-1) was not significantly different from treatment DI 100% (3.1 g M-1), is greater than the RUE treatments DI 60% (2.6 g MJ-1). RUE P0 treatment (3.1 g MJ-1) was not significantly different from treatment RUE P1 (3.0 g MJ-1), both higher than the P6 RUE treatment (2.7 g MJ-1). These results indicate that the reduction of 40% of the total crop water requirement or trimming 6 below cob leaf can decrease the RUE.

Plant productivity on DI 100% treatment (7.0 ton ha-1) was the highest. Plant productivity on DI 80% treatment (6.6 ton ha-1) was not significantly different from DI 60% and DI 100% (6.2 ton ha-1). WUE treatment DI 60% (0.74 kg m-3) significantly higher than WUE treatment DI 80% (0.59 kg m-3) and WUE treatment DI 100% (0.50 kg m-3). The results showed that the reduction of irrigation up to 40%, could reduce the crop productivity because of crop water requirements are not fulfilled optimally. Nonetheless, the reduction of irrigation can be applied as an efficient cultivation techniques in terms of water use so that the sustainable production and conservation of water resources can be achieved.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

TISEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

PENGURANGAN IRIGASI DAN PEMANGKASAN DAUN

UNTUK EFISIENSI PEMANFAATAN RADIASI SURYA

(8)
(9)
(10)

Judul : Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering Nama : Tisen

NRP : G251110041

Program Studi : Klimatologi Terapan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS Ketua

Dr Ir Impron, MAgrSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Klimatologi Terapan

Dr Ir Tania June, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2012 ini ialah produktivitas jagung di lahan kering, dengan judul Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terimah kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2, dan Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Impron, M. Agr Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Haruna, S.Pi, M.Si, Kepala BPTP NTT dan Kepala Kebun Percobaan (KP) Naibonat yang telah menfasilitasi tempat penelitian dan sarana pendukung lainnya. Dan terima kasih pada teman-teman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan (Yopi Ilhamsyah, Syahrizal Koem, Lisa Tanika, Rahmi Ariani, Heni Maryati, Subekti Sulistyawati dan Sisi Febriyani Muin), yang telah memberikan masukan dan dukungan. Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Taswin Kaluku dan Suniwati D Pakaya) atas doa dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis berbesar hati untuk selalu menerima saran dan masukan yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Atas segala saran dan masukan, penulis mengucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Iklim dan Pertanian 4

Pertanian di Lahan Kering Beriklim Kering 5

Masalah Pertanian di Lahan Kering 6

Kebutuhan Air Tanaman Jagung 7

Pengembangan Teknologi Hemat Air 8

Efisiensi Pemanfaatan Radiasi oleh Tanaman 10

3 METODE

Bahan dan Alat 11

Lokasi 12

Rancangan Penelitian 12

Pelaksanaan Penelitian 13

Pengukuran 14

Agronomi 16

Skenario Pemberian Irigasi 17

Pemangkasan Daun 19

Panen 19

Efisiensi Pemanfaatan Air dan Irigasi 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil 20

Pembahasan 32

SIMPULAN DAN SARAN 38

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 47

(13)

DAFTAR TABEL

1 Skenario pemberian irigasi 17

2 Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi 23 3 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung 25 4 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap luas daun 27 5 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap jumlah daun 29 6 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap tinggi tanaman 29 7 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap biomassa tanaman 29 8 Respon hasil tanaman jagung terhadap pengurangan irigasi dan

pemangkasan daun 30

9 Respon hasil tanaman terhadap pemangkasan daun 30

10 Produktivitas tanaman 31

11 Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi 32

12 Jumlah dan bobot daun hasil pemangkasan 37 13 Analisis ekonomis manfaat pemangkasan daun untuk pakan ternak sapi 37 14 Analisa pemanfaatan daun hasil pemangkasan untuk hijauan makanan

ternak (HMT) sapi 38

15 Analisa ekonomis pemangkasan daun tanaman jagung untuk hijauan

makanan ternak (HMT) 38

DAFTAR GAMBAR

1 Saluran irigasi sederhana 18

2 Curah hujan bulanan rata-rata di lokasi penelitian 20 3 Unsur-unsur cuaca di lokasi penelitian selama musim tanam 21 4 Evapotranspirasi potensial selama penelitian 22 5 Indeks Luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi 23

6 Intersepsi radiasi surya oleh tanaman 24

7 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung pada perlakuan

pengurangan irigasi dan pemangkasan daun 25

8 Laju asimilasi bersih dan laju tumbuh tanaman jagung pada

masing-masing pengurangan irigasi. 26

9 Peubah-peubah pertumbuhan tanaman jagung pada masing-masing

perlakuan irigasi. 28

10 Produktivitas tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan

pemangkasan daun 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik tanah di lokasi percobaan 47

2 Data cuaca 47

3 Hasil sidik ragam indeks luas daun 51

4 Analisis pertumbuhan tanaman 51

5 Sidik ragam komponen hasil tanaman 52

6 Dokumentasi kegiatan di lokasi penelitian 54

(14)
(15)
(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tantangan bagi masyarakat dunia adalah mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di tengah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, degradasi sumber daya alam dan perubahan iklim global. Perubahan iklim global akan mempengaruhi unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu, a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer; b) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim seperti El Nino maupun La Nina (Las 2007).

Untuk menghadapi perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pertanian, berbagai langkah antisipasi yang telah diupayakan berjalan bukan tanpa kendala. Dalam pelaksanaannya, sering muncul beberapa hal yang menjadi permasalahan sektor pertanian, misalnya pada langkah untuk meningkatkan produksi pertanian dengan cara memperluas areal pertanian. Konversi lahan pertanian yang subur untuk kepentingan nonpertanian terus berlangsung seperti perumahan, industri, bisnis dan infrastruktur. Menghadapi kenyataan bahwa semakin menurunnya ketersediaan lahan yang layak untuk areal pertanian, maka kita seyogyanya berpaling ke potensi yang masih cukup luas di Indonesia yakni lahan kering (Dahlan 2001).

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian rumput, perkebunan, dan lahan tidak diusahakan (Abawi et al. 2002). Karakteristik lahan kering kurang menguntungkan karena keragaman ekosistemnya cukup kompleks akibat adanya faktor lingkungan yang menjadi pembatas. Rendahnya produktivitas lahan kering, selain disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang rendah, juga disebabkan oleh rendahnya intensitas indeks pertanaman karena kebutuhan air tidak tersedia sepanjang tahun. Evapotranspirasi cukup tinggi pada musim kemarau sehingga tanaman mudah mengalami stress dan berdampak pada produktivitas yang tidak optimal (Abdurachman 2008).

Faktor pembatas pengembangan pertanian di lahan kering adalah ketersediaan air tanah yang disebabkan oleh pola iklim dan pemilihan jenis tanaman budidaya yang terbatas. Faktor pembatas tersebut harus disikapi dengan arif melalui inovasi teknologi yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang (Supriyanto 2010).

Upaya peningkatan hasil pertanian lahan kering beriklim kering perlu tindakan secara selektif dan memilih komoditas yang adaptif terhadap kondisi lahan kering. Di Indonesia, petani biasanya memanfaatkan lahan kering untuk budidaya jagung (Koesmaryono et al. 2005). Namun, jagung sensitif terhadap cekaman kekeringan (Pandey et al. 2000), sehingga lahan kering dianggap sebagai lahan yang tidak produktif untuk budidaya tanaman jagung.

(17)

2

tanaman dan hasil (Doorenbos dan Kassam 1979). Stone et al. (2001) menyatakan bahwa efisiensi pemanfaatan radiasi surya (EPR) tanaman jagung dipengaruhi oleh faktor ketersediaan air tanah. Traore et al. (2000) menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan ILD. Penurunan ILD berpengaruh pada efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman untuk menghasilkan asimilat, karena intersepsi radiasi sangat ditentukan oleh ILD (Bonhomme 2000).

Kekurangan sumber daya air memaksa petani lahan kering untuk mempertimbangkan pilihan pengurangan irigasi untuk mengurangi penggunaan air pertanian (Jose et al. 2006). Pengurangan irigasi dalam beberapa kasus mampu menghemat air dengan mengurangi konsumsi air dan sedikit kehilangan dalam hasil tanaman (Fereres dan Soriano 2006). Pemakaian air irigasi yang efisien adalah pemberian air yang cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan kapasitas lapang dan pegaturan pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang dibutuhkan pada setiap fase pertumbuhan.

Di daerah kering dan semi-kering, ketersediaan air yang sangat terbatas memerlukan perubahan besar dalam pengelolaan irigasi dan penjadwalan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan air yang dialokasikan untuk pertanian (FAO 2002). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterbatasan air di lahan kering tidak diikuti oleh kebiasaan petani dalam penggunaan air untuk budidaya tanaman. Pemberian irigasi tanaman sering tidak mempertimbangkan keterbatasan pasokan air yang tersedia.

Pengurangan irigasi atau yang lebih umum dikenal sebagai irigasi defisit diusulkan sejak lama sebagai suatu teknik yang mengairi zona akar yang mengarah pada langkah pengurangan evapotranspirasi untuk menminimalisir penggunaan air irigasi dengan mempertahankan laba bersih petani (Hoffman et al.

1990). Penurunan ketersediaan air untuk irigasi dan hasil positif yang diperoleh dalam beberapa tanaman pohon buah telah memperbaharui minat dalam mengembangkan informasi tentang irigasi defisit untuk berbagai tanaman (FAO 2002; Fereres dan Soriano 2006). Dorji et al. (2005) menyatakan bahwa irigasi defisit bisa menjadi strategi irigasi layak untuk produksi di mana manfaat dari penghematan air melebihi penurunan massa total segar buah.

(18)

3 Mattobii (2004), menyebutkan bahwa pemangkasan daun dapat meningkatkan berat pipilan apabila dilakukan pemangkasan daun pada umur 75 hari setelah tanam.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung terhadap : 1) Efisiensi pemanfaatan radiasi; 2) Produktivitas tanaman; dan 3) Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi tanaman jagung yang ditanam di lahan kering beriklim kering.

Rumusan Masalah

Sebagian wilayah Indonesia timur memiliki lahan kering yang dapat dimanfaatkan sebagai sentra produksi jagung. Budi daya tanaman jagung di lahan kering terkendala oleh ketersediaan air yang jumlahnya terbatas karena curah hujan yang rendah. Teknologi pemanenan air hujan dengan pembuatan embung yang kemudian disalurkan melalui saluran irigasi sederhana telah dilakukan. Namun, rancangan skema irigasi untuk mengairi lahan tidak membahas situasi di mana ketersediaan air merupakan kendala budidaya tanaman jagung di lahan kering, sehingga dirumuskan masalah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian yakni apakah langkah pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman yang akan ditempuh dapat meningkatkan produktivitas lahan kering beriklim kering dengan kondisi ketersediaan air yang terbatas serta radiasi surya dan tingkat penguapan (evapotranspirasi) yang cukup tinggi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa pertumbuhan tanaman untuk melihat pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman terhadap efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan produktivitas tanaman jagung (Zea Mays L.) yang ditanam di lahan kering beriklim kering.

Manfaat Penelitian

Penelitan ini diharapkan mencapai luaran berupa suatu rekomendasi aplikatif, yang bisa diterapkan oleh petani tentang pengurangan air irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung. peningkatkan produktivitas serta peningkatan efisiensi pemanfaatan air dalam pertanian irigasi dapat tercapai, untuk menjamin produksi berkelanjutan dan konservasi sumber daya air terbatas.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

4

irigasi ke lahan budidaya, serta mengurangi penguapan dengan cara mengeluarkan bagian-bagian tanaman yang tidak produktif perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengkaji langkah pengelolaan air irigasi yang lebih efisien dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung di lahan kering. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun terhadap efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan air serta produktivitas tanaman jagung yang dibudidayakan di lahan kering dengan mengabaikan pengaruh jarak tanam, aplikasi pupuk dan faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Iklim dan Pertanian

Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada cuaca dan iklim untuk menghasilkan makanan dan serat yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan manusia melalui pemanfaatan energi matahari melalui proses fotosintesis. Cahaya tampak yang digunakan untuk proses fotosintesis merupakan bagian spektrum energi radiasi. Tumbuhan menyerap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia. Bahan kimia yang pertama terbentuk adalah nukleotida tereduksi dengan ATP. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa antara yang berumur pendek, yang mengkarboksilasi CO2 menjadi seyawa organik yang stabil (Gardner etal. 2008).

Spesies tumbuhan berbeda-beda responnya terhadap tingkat cahaya. Seperti kebanyakan spesies C4, jagung mampu meningkatkan fotosintesis bahkan sampai pada tingkat cahaya yang sangat terik, Sedangkan kebanyakan spesies C3 telah mencapai tingkat kejenuhan sebelum cahaya penuh/terik (Gardner et al. 2008). Dinyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan menghambat biosintesis klorofil, khususnya pada biosintesis 5-aminolevulinat sebagai prekursor klorofil.

Hesketh dan Moss (1962) mengemukakan bahwa daun jagung dapat mengalami jenuh atau kenyang cahaya pada konsentrasi CO2 yang rendah kira-kira 40 ppm. Tingkat fotosintesis pada konsentrasi CO2 500 ppm dapat mencapai 1,4 kali lipat fotosintesisnya pada konsentrasi CO2 320 ppm bila intensitas cahaya 1,0 ly/menit. Jika faktor-faktor lain tidak merupakan faktor pembatas, maka intensitas cahaya merupakan faktor utama yang menentukan kecepatan tumbuh tanaman jagung (Duncan et al. 1973).

(20)

5 Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada proses respirasi, dimana hasil fotosintesis akan diubah menjadi CO2 dan H2O, sehingga semakin besar respirasi, laju pertumbuhan tanaman menjadi berkurang. Pengaruh suhu yang lain yaitu dalam pertumbuhan panjang akar tanaman, dimana kedalaman akar bertambah secara linier dengan heat unit sampai saat pembungaan. Peningkatan suhu akan mempengaruhi proses fisiologis yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan akhirnya yang paling mungkin menurunkan hasil panen. Kersebaum et al. (2009) menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi di musim panas kemungkinan besar akan berpengaruh negative terhadap fotosintesis dan dengan demikian mengurangi produksi biomassa. Suhu malam hari yang lebih tinggi menimbulkan peningkatan respirasi sehingga mengurangi produksi netto dalam bentuk hasil gabah (Rasul et al. 2012).

Tanaman mutlak membutuhkan air sebagai salah satu bahan dasar untuk menghasilkan biomassa melalui proses fotosintesis. Curah hujan merupakan faktor peubah penentu yang sangat penting dan merupakan sumber air utama bagi tanaman, Jika air tersedia maka kebutuhan air tanaman lebih ditentukan oleh faktor iklim, terutama radiasi surya, tekanan uap atmosfer dan angin. Kebutuhan air bagi tanaman pada umumnya makin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman sampai mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum untuk kemudian menurun kembali sampai panen. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif. Dalam hal ini distribusi curah hujan lebih penting daripada total curah hujan. Menurut penelitian diketahui bahwa penurunan hasil akibat kekeringan mencapai 15% (Muhadjir 1988).

Pertanian di Lahan Kering Beriklim Kering

Definisi dari konvensi internasional PBB mengenai lahan kering adalah lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari dua per tiga dari evapotranspirasi potensial (ETp), dimana produksi tanamannya dibatasi oleh ketersediaan air. Kategori lahan kering ini termasuk lahan budidaya, semak belukar, padang rumput, dan padang pasir. Istilah lahan kering seringkali digunakan untuk padanan upland, dryland atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir mengisyaratkan pengunaan lahan untuk pertanian tadah hujan (Notohadinegoro, 2000). Tinggi rendahnya produktivitas lahan kering berkorelasi dengan pola curah hujan karena sumber air irigasinya adalah berasal dari air hujan (Abawi et al. 2002).

(21)

6

Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, serta sedikit wilayah di Sumatera dan Kalimantan.

Lahan kering menempati areal yang terluas dan memiliki kedudukan yang strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan kering merupakan sarana penting dalam usaha pemerataan pembangunan. Lahan kering merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian seperti pangan, sandang, perkebunan, perumahan, obat-obatan, disamping sebagai penghasil devisa (Wikantika dan Agus 2006).

Masalah Pertanian di Lahan Kering

Kendala produksi di lahan kering adalah kondisi fisik lahan (kedalaman tanah relatif dangkal, sebagian horizon A atau B hilang tererosi, lereng curam, kekeringan), teknologi (penerapan teknik konservasi yang lemah), dan sosial ekonomi (ketiadaan modal untuk menerapkan teknologi anjuran dan tiadanya subsidi dan kredit bagi petani pelaksana teknologi konservasi). Agregat dari kendala fisik, teknologi, dan sosial ekonomi tersebut adalah produktivitas lahan rendah. Biaya untuk meningkatkan produktivitas lahan meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, dan yang dikhawatirkan adalah ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik (Fagi dan Las 2006).

Aqil (2008) mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman di lahan kering secara langsung dipengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan. Berbeda dengan padi sawah, yang lingkungan tumbuhnya selalu tergenang air, di lahan kering seringkali mendapat berbagai cekaman (stress) karena kekeringan, keracunan dan kekahatan berbagai unsur-unsur hara, selain gangguan berbagai penyakit dan gulma (curah hujan tahunan di lahan kering berkisar antara 1200 hingga 3000 mm).

Jumlah dan sebaran hujan merupakan komponen iklim yang amat penting yang mencirikan kesesuaian suatu lingkungan untuk pertumbuhan tanaman. Ketersediaan air untuk tanaman tergantung pula pada sifat fisik tanah, terutama daya memegang airnya. Oleh karena itu, pada lahan kering curah hujan dan kapasitas tanah memegang air merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan produksi tanaman. Masalah ini dapat diatasi antara lain dengan penggunaan varietas unggul berumur genjah, saat tanam yang tepat dan membuat konservasi air permukaan berupa embung/waduk kecil (Idjudin dan Marwanto 2008).

Kelangkaan air sangat menghambat proses produksi pertanian khususnya di lahan kering beriklim kering. Hujan merupakan sumber air utama tanaman di sebagian besar wilayah Indonesia. Di daerah kering beriklim kering, curah hujan tahunan yang lebih dari 1000 mm mampu mendukung pertanian dengan diterapkannya teknologi hemat air. Curah hujan sebesar 1000 mm tahun-1 bila dimanfaatkan secara efisien dapat menunjang proses produksi untuk dua musim tanam tanaman semusim dengan asumsi bahwa kebutuhan air secara umum untuk tanaman semusim lahan kering adalah 120 mm per bulan (Oldeman et al. 1980).

(22)

7 pertimbangan faktor-faktor potensi lahan, kendala fisik lingkungan, dan keadaan sosial ekonomi penduduk. Ekstensifikasi dan intensifikasi pertanaman, tanaman semusim di lahan kering perlu dilakukan. Dalam pemanfaatan lahan-lahan kering harus dikembangkan teknologi yang ramah lingkungan, dengan memperhatikan aspek konservasi tanah dan air untuk menjaga kelestarian sistem produksi.

Tanaman jagung (Zea mays L.) mempunyai kemampuan adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di Indonesia pada lingkungan fisik dan sosial-ekonomi yang sangat beragam. Tanaman spesies C4 ini merupakan komoditas yang adaptif pada lahan kering, hanya saja produktivitasnya rendah (Haruna 2011).

Konsumsi jagung semakin meningkat namun belum diikuti oleh peningkatan produksi. Laju pertumbuhan produksi lebih rendah dari laju konsumsi, rata-rata hanya 4% tahun-1 sehingga Indonesia masih harus impor lebih kurang 3.2 juta ton dari negara produsen (Haruna 2012:4-5). Di sisi lain terjadi peningkatan khususnya pada sektor bahan pakan ternak. Kebutuhan jagung sebagai bahan pangan cenderung mengalami penurunan. Secara umum produksi tanaman jagung sering mengalami penurunan seperti yang terjadi pada tahun 2011, dengan persentase penurunan sebesar 3.73% tahun-1 (BPS 2012). Masih rendahnya produksi menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi jagung belum optimal (Zubachtirodin et al. 2007).

Kondisi iklim mikro yang menjamin output dari panen jagung yang besar dan stabil ditandai dengan cadangan kelembaban tanah yang baik (140 hingga 180 mm kelembaban produktif dalam lapisan tanah kedalaman 1 m) selama sebagian besar dari musim tanam, disertai kondisi suhu yang optimum. Cadangan kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kadar air yang terdapat pada lapisan tanah dan jumlahnya dipengaruhi oleh evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi di dipengaruhi oleh berbagai faktor (Mather 1974), yaitu (a) iklim (radiasi neto, kecepatan angin, dan kelembaban tanah), (b) tipe tanah, (c). (d) tipe vegetasi dan kedalaman perakaran, dan (e) praktek pengolahan tanah.

Perkembangan dan pertumbuhan tanaman jagung juga ditentukan oleh proses fisiologi yang berlangsung didalamnya seperti proses transpirasi. Salisbury dan Ross (1992) menyatakan besarnya uap air yang ditranspirasikan dipengaruhi faktor dari dalam tumbuhan (jumlah, luas dan jumlah stomata daun) dan faktor luar (suhu, cahaya, kelembaban, dan angin). Ketidakberimbangan ketersedian air dengan tingginya transpirasi daun menyebabkan penyerapan air yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman jumlahnya lebih sedikit dibandingkan denngan jumlah air yang terbuang melalui transpirasi.

Kebutuhan Air Tanaman Jagung

(23)

8

Kecenderungan untuk menanam jagung di daerah rawan distribusi curah hujan yang tidak normal juga diduga menjadi alasan untuk difusi lambat peningkatan teknologi. Sidhu et al. (2006) melaporkan bahwa estimasi global penurunan 15% dalam produksi jagung setiap tahunnya disebabkan kekeringan.

Pengembangan Teknologi Hemat Air

Saeed et al. (1998) mempelajari respon genotipe terhadap kekeringan dalam tiga genotipe jagung. Kekeringan selama perkembangan reproduksi menyebabkan pengurangan maksimum (50%) dalam hasil gabah dari tiga kultivar diikuti oleh kekeringan selama perkembangan vegetatif. Kekeringan selama perkembangan reproduksi memiliki efek penekanan lebih besar pada faktor penentu fisiologis seperti tingkat pertumbuhan tanaman, laju asimilasi bersih rata-rata dan indeks panen dari tiga kultivar selama perkembangan vegetatif. Otegui et al. (1995) melaporkan bahwa defisit air mengurangi tinggi tanaman, indeks luas daun maksimum dan pembentukan biomassa.

Chiaranda et al. (1977) melaporkan penurunan hasil saat tanaman mengalami cekaman kekeringan sebelum tasselling, stadium susu, pembentukan biji dan anthesis, masing-masing sebesar 29, 29, 28 dan 22% bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa cekaman. Jurgens et al. (1978) melaporkan bahwa cekaman menurunkan hasil gabah sebesar 42%. Rudat (1978) menunjukkan penurunan terbesar dalam jumlah butir per tongkol, butir per baris dan bobot 1000 butir, stres terlambat dibandingkan dengan stress awal yang mengakibatkan pengurangan hasil gabah. Javonovic (1979) melaporkan hasil yang sama. Bari et al. (1980) melaporkan penurunan bobot per 1000 biji ketika tanaman itu mengalami stres selama tahap pengisian biji.

Air diperlukan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, antara lain untuk memenuhi transpirasi dalam proses asimilasi untuk pembentukan karbohidrat serta pengangkutan hasil-hasil fotosintesis ke seluruh jaringan tanaman. Penerapan teknologi hemat air dapat dikembangkan di lahan kering. Dampak konservasi air dapat bermanfaat antara lain terhadap tanaman tahunan, tambahan pendapatan, kontribusi lengas tanah dan dampak pengembangannya. Pengembangan teknologi hemat air ini dapat ditempuh dengan berbagai langkah diantaranya :

Managemen Irigasi yang Baik

(24)

9 Skenario pengaturan pemberian irigasi pada musim-musim tertentu seperti pada musim kemarau, penting dilakukan karena dapat mempengaruhi tingkat produksi tanaman. Ada tiga aspek penting dalam pemanfaatan air secara efisien melalui irigasi, yaitu: jumlah air yang diberikan, waktu pemberian dan cara atau metode pemberian. Pemakaian air irigasi yang efisien adalah pemberian air yang cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan kapasitas lapang dan pegaturan pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang dibutuhkan setiap fase pertumbuhan (Harjadi 1979).

Jumlah air yang diberikan dapat didasarkan pada beberapa skenario. Hasil penelitian menunjukkan pemberian air irigasi kurang dari 20 mm setiap 5 hari pada musim kering belum mampu mengimbangi kehilangan dan penggunaan air oleh tanaman, sehingga akan terjadi cekaman air oleh tanaman. Sebaliknya, apabila air irigasi diberikan lebih dari 20 mm hari-1 akan terjadi pemborosan dan penjenuhan tanah serta peningkatan aliran permukaan. Ketersediaan air dalam tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah -0,03 MPa dan layu permanen -1,5 MPa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap oleh tanaman adalah pada potensial air -0,03 sampai -0,5 MPa dan pada kondisi tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55 hingga 65% dari yang tersedia. Pada kondisi potensial air tanah sekitar -0,5 sampai -1,5 Mpa tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air

Selang waktu untuk pemberian irigasi berpotensi meningkatkan hasil produksi tanaman (Wang et al. 1981). Suhartono et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa interval pemberian air irigasi berpengaruh pada rata-rata pertambahan tinggi tanaman sebagai pencerminan pertumbuhan tanaman. Haryadi (1986) menyatakan bahwa pemberian interval air pada kondisi optimal memungkinkan hormon tertentu bekerja secara aktif dalam didnding sel untuk meregang.

Dunia menghadapi pemanasan global yang sangat serius, yang akan menghasilkan pemanasan umum dan secara signifikan meningkatkan evaporasi dan kebutuhan air irigasi untuk tanaman. Oleh karena itu, perlu untuk mengadopsi metode irigasi khusus dan efisien, seperti irigasi alur, dalam rangka mencapai produktivitas yang lebih tinggi dan penggunaan air secara optimal. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gercek et al. 2008) pada tahun 2003 dan 2006 untuk mengevaluasi kinerja irigasi Water Pillow (WP) sebagai alternatif untuk irigasi Furrow (FI) untuk pertumbuhan kedelai di kondisi iklim semi-kering menemukan bahwa efisiensi pemanfaatan air Irigasi (Irrigation Water Use Efficiency) dan efisiensi pemanfaatan air (Water Use Efficiency) dipengaruhi secara signifikan oleh metode irigasi.

Dalam perencanaan pengairan, agar air dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan, yang perlu mendapat perhatian adalah kebutuhan air atau evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu evapotranspirasi potensial (ETp) dan evapotranspirasi aktual (Aqil et al. 2008).

(25)

10

(evapotranspirasi) sejauh ini masih berdasarkan pada persamaan empiris yang telah banyak dikembangkan (Doorenbos and Pruitt 1984).

Pengelolaan air perlu disesuaikan dengan sumber daya fisik alam (tanah, iklim, sumber air) dan biologi dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk membawa air ke perakaran tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi (Nobe dan Sampath 1986). Sasaran dari pengelolaan air adalah tercapainya empat tujuan pokok, yaitu: efisiensi pemanfaatan air dan produksi tanaman yang tinggi; efisiensi biaya penggunaan air, pemerataan penggunaan air atas dasar sifat keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak menentu kejadian serta jumlahnya dan tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumber daya air yang hemat lingkungan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air untuk tanaman jagung yang banyak dibudidayakan di lahan kering dan tadah hujan, pengelolaan air penting untuk diperhatikan.

Pemangkasan

Dalam upaya meminimalisir kehilangan air pada tanaman dilakukan pemangkasan untuk mengurangi laju transpirasi. Daun yang mengalami penuaan akan berubah fungsi dari produsen asimilat menjadi pengguna asimilat. Pada tanaman yang bertranspirasi bebas, air dievaporasi dari dinding sel epidermis yang lembab di bagian dalam daun dan hilang ke atmosfer melalui stomata (Fitter dan Hay 1994). Pengurangan daun dengan mengambil pada bagian bawah tongkol akan mengurangi naungan serta meningkatkan intersepsi cahaya dan laju asimilasi sehingga hasil turut meningkat.

Perompesan untuk memacu pembungaan dilakukan dengan membuang bagian vegetatif yang tidak produktif terutama daun-daun di bawah tongkol, sehingga energi atau bahan makanan yang dihasilkan akan dimanfaatkan untuk proses pengisian biji pada jagung. Pemangkasan daun dilakukan untuk mengurangi persaingan antara organ-organ reproduktif dalam memanfaatkan asimilat yang ada (Wiliam dan Joseph 1997).

Daun yang diambil dapat dimanfatkan untuk pakan. Nilai gizi dari daun tersebut lebih tinggi daripada daun jagung yang telah dipanen buahnya (Fadhly 2009). Bobot daun bagian bawah tongkol dapat mencapai lebih dari 5 ton ha-1, dan beragam tergantung dari kultivar yang ditanam. Waktu pengambilan daun antara 20 hingga 30 hari setelah keluarnya bunga jantan memberikan hasil biji yang tinggi.

Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya oleh Tanaman

Proses fotosintesis tanaman mutlak membutuhkan energi yang berasal dari Matahari. Namun, tidak semua energi yang berasal dari matahari bisa diserap untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Penyerapan atau absorbpsi radiasi surya oleh tanaman, besarnya 80 hingga 90% dalam pita spektrum

Photosinteticaly Active Radiation (PAR), 10 sampai 20% dalam pita spektrum 0.7

sampai 0.8 μm serta sangat kecil pada pita spektrum 0.7 sampai 0.3 μm (Gates et

(26)

11 menentukan pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif, dan menentukan jumlah karbohidrat yang akan diakumulasikan selama fase generatif.

Efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman (EPR), menurut Monteith

(1970) adalah perbandingan antara energi ―output‖ (penumpukan senyawa

organik) terhadap energi yang terpakai atau diistilahkan ―input‖ (radiasi surya

yang diterima tanaman). EPR adalah komponen utama dari model pertumbuhan tanaman berbasis radiasi, yang mengintegrasikan proses perkembangan, morfologi, fisiologi, biokimia dan beberapa pada tingkat yang lebih tinggi dari fungsi tanaman (Turner et al. 2001). Untuk menghitung energi yang terpakai dalam penumpukan senyawa organik, Monteth (1970) memperkirakan setiap 5,4 mg bahan kering sama dengan 1 kilo joule energi surya yang terpakai. Efisiensi tanaman menyimpan energi surya selain dipengaruhi oleh faktor tanaman itu sendiri, seperti; posisi dan susunan daun, indeks luas daun, struktur/jenis pigmen daun, ketersedian air dan hara. EPR juga dipengaruhi oleh faktor klimatis, seperti lintang dan musim, keawanan dan kandungan aerosol atmosfer, komposisi spektral radiasi surya, konsentrasi CO2 dilingkungan tanaman dan kuantum cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotokimia (Monteith 1970).

Defisit air langsung menurunkan EPR akibat penurunan aktifitas fotosintesis (Demetriades, Shah et al. 1992), karena defisit air yang terjadi pada kondisi lapang. Penurunan EPR karena pengaruh defisit air dapat dikuantifikasi dengan membandingkan EPR observasi dengan EPR pada kondisi air yang cukup. Pengukuran EPR sangat membantu untuk memahami konsekuensi kekeringan bagi tanaman, dan variasinya menurut umur dan nitrogen daun spesifik (Muchow dan Davis 1988).

3 METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih jagung varietas Lamuru yang termasuk varietas tahan kekeringan dan memiliki produktivitas tinggi bila ditanam di lahan kering, pupuk Urea, SP-36 dan KCL untuk menambah kandungan hara di lahan. Disamping itu digunakan pula pupuk kandang, pestisida (Dithane M-45, Ridomil 35 – SD, Decis 2,5 EC).

Pengairan lahan dengan air yang berasal dari embung menggunakan mesin pompa, kemudian air dialirkan melalui pipa-pipa sebagai bentuk penyederhanaan saluran irigasi yang biasa digunakan petani di sekitar lokasi penelitian. Pipa-pipa yang terpasang sejajar dengan enam alur (furrow) pada masing-masing blok perlakuan yang telah terbentuk di lahan percobaan akan digunakan sebagai saluran irigasi sederhana dengan debit yang keluar di masing-masing mulut pipa sebesar 3 liter detik-1.

(27)

12

Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan (KP) milik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur dengan ketinggian tempat 20 m diatas permukaan laut (dpl) dengan posisi 105° 14' 12" BT dan 123° 50' 533" LS. Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga Okober 2012. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan salah satu daerah di Indonesia yang termasuk kategori lahan kering beriklim kering.

Rancangan Penelitian

Berdasarkan variabel perlakuan yang digunakan dalam pengaturan pemberian dosis irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung maka rancangan yang digunakan adalah rancangan faktorial acak kelompok terpisah (Split plot design). Petak utama (PU) : Pengurangan Air irigasi terdiri 3 taraf yaitu : dosis irigasi (DI) 100% yakni pemenuhan 100% total kebutuhan air tanaman, DI 80 dan 60% yang masing-masing merupakan bentuk pengurangan 20 dan 40% dari total kebutuhan air tanaman selama pertumbuhan. Sedangkan perlakuan pada anak petak (AP) terdiri 3 taraf yakni pemangkasan 6 daun di bawah tongkol (P6), pemangkasan 3 daun di bawah tongkol (P3) dan tanpa pemangkasan daun (P0). Percobaan akan dilakukan dengan 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan. Pelaksanaan percobaan total menggunakan 9 PU dengan perlakuan pengurangan irigasi, yang kemudian dibagi menjadi 27 AP pada saat tanaman memasuki fase pembungaan dengan perlakuan pemangkasan daun. Tiap PU terdiri dari 6 lajur tanam sepanjang 32 m, jarak antar masing-masing PU 1.2 m, lebar PU 6.0 m, sehingga dibutuhkan lahan untuk percobaan dengan luas total 2.304 m2.

Jarak tanam yang diterapkan adalah 0.8 x 0.2 m, sehingga populasi AP adalah 300 tanaman. Pengambilan contoh akan dilakukan tiap 7 hari. Perkiraan umur tanaman 120 hari. Per AP sampling diambil 2 atau 3 tanaman secara acak per minggu setelah perlakuan pemangkasan dilaksanakan, dan disediakan tanaman tambahan sebagai pengganti tanaman yang digunakan sebagai contoh (bila perlu).

Pemberian irigasi akan dilakukan dengan interval waktu 14 hari dan pemangkasan daun dilakukan dengan ditandai bunga jantan (tasseling) 80% sudah muncul atau 21 hari setelah bunga betina (silking) keluar.

Model linear yang dipakai dalam rancangan ini adalah sebagai berikut :

Yijk =μ +βi + Dj + Eij + Pk + (DP)jk + Eijk

i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3 dimana :

(28)

13 Perbedaan pengaruh masing-masing perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun di uji menggunakan uji Beda nyata terkecil (BNT).

Pelaksanaan Penelitian

Tahap Persiapan

Kegiatan pada tahap pesiapan ini dibedakan atas beberapa bagian antara lain:

Penentuan Lokasi

Pemilihan dan penentuan lokasi penelitian sudah dilakukan dari bulan April yang diawali koordinasi dengan instansi terkait (BPTP NTT). Penentuan Lokasi didasari beberapa hal penting antara lain dekat dengan sumber air, berada pada hamparan terbuka dan kondisi iklim yang sesuai dengan topik penelitian.

Pengolahan Lahan

Lahan penelitian diawali dengan mengolah tanah dengan menggunakan mesin pembajak berupa traktor dengan kedalam 15 sampai 20 cm. Pengolahan lahan dimulai sejak bulan Mei 2012, kondisi tanah saat itu sudah mulai kering, sehingga memudahkan traktor untuk mengolahnya. Pengolahan lahan dilakukan beberapa kali tahapan antara lain: (i) Membalikkan tanah; (ii) Menghancurkan tanah; (iii) Menggusur tanah untuk mendapatkan kemiringan lahan yang baik; (iv) Merotari atau mencincang ulang tanah yang sudah digusur.

Penanaman

Kegiatan penanam dilakukan sehari setelah penjenuhan/pengairan. Jarak tanam yang digunakan adalah 80 x 20 cm dengan populasi per lubang masing-masing 2 biji dan panjang alur yang ditanami 32 meter.

Pemupukan

Pupuk yang diberikan adalah N dosis 90 hingga 120 kg ha-1. P2O5 30 sampai 45 kg ha-1. Dan K2O 0 sampai 25 kg ha-1. Kebutuhan dan dosis pupuk tersebut dapat dikonversikan dengan pupuk Urea 30 kg ha-1. SP-36 100 kg ha-1, dan KCL 100 kg ha-1. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 tahap yaitu: SP-36, KCL dan Urea diberikan sebanyak 100 kg sebagai pupuk dasar. Pemupukan susulan pertama yaitu pemberian pupuk urea, dilakukan pada minggu ke 4 sambil melakukan pembumbunan. Pemupukan susulan kedua yaitu pupuk urea diberikan pada minggu ke enam. Pemupukan dilakukan dengan cara menabur pada lubang yang dibuat sedalam 10 cm dengan jarak 10 cm dari lubang tanaman lalu ditutup dengan tanah.

Pemeliharaan Tanaman

(29)

14

yang jelek dengan gunting atau pisau dan diitinggalkan 1 tanaman. Pada waktu yang sama dilakukan transplanting sebagai pengganti tanaman yang tidak tumbuh.

Pengukuran

Kegiatan pengukuran dibedakan atas beberapa bagian antara lain: Pengukuran Irigasi

Pengukuran data irigasi dilakukan pada tahap awal penjenuhan sebagai dasar atau pembanding dengan pengukuran berikutnya. Sistim pengukuran yang dilakukan yakni dengan mengukur debit air pada masing-masing mulut pipa atau langsung mengukurnya di pipa induk yang langsung berhubungan dengan pompa air.

Pengurukuran Unsur Cuaca

Pengukuran unsur cuaca dilakukan dengan menggunakan instrumentasi yang ada di stasiun klimatologi milik BPTP NTT, yang berada dalam lokasi kantor dengan ketinggian 20 mdpl (meter di atas permukaan laut). yang ada di sekitar lokasi penelitian. Kondisi iklim mikro yang terjadi masih menggambar secara global atau bersifat umum. Nilai keseragaman tersebut dapat terukur secara otomatis oleh stasiun klimatologi di sekitar lokasi.

Data cuaca yang terukur dari stasiun klimatologi milik BPTP NTT digunakan untuk mengetahui keadaan unsur cuaca di lapangan terbuka, meliputi curah hujan, intensitas radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin

Pengamatan pada unsur iklim mikro dalam pertanaman, setiap petak percobaan diamati parameter berikut:

Pengukuran intersepsi radiasi surya pada minggu ke 10 dan 11 setelah tanam dengan menggunakan Tube solarimeter yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman. Jumlah energi radiasi surya yang diintersepsi (Int) dihitung dengan (Handoko 1994):

Qint = (1- τ) Qs dengan,

τ :Proporsi radiasi surya yang ditransmisi oleh tajuk tanaman yang dihitung dengan rumus:

τ = e-k ILD Qint : Radiasi intersepsi (MJ m-2)

Qs : Radiasi surya diatas tajuk tanaman atau terukur di stasiun klimatologi (MJ m-2)

k : Koefisien pemadaman tajuk ILD : Indeks luas daun

(30)

15

dimana :

EPR : efisiensi pemanfaatan radiasi surya (g MJ-1) Biomassa : bahan kering (kg)

Qint : total radiasi yang diintersepsi oleh tanaman (MJ)

Beberapa data yang tidak tersedia diduga dengan menggunakan persamaan regresi polynomial.

Unit Panas (Heat Unit)

Unit panas adalah faktor lingkungan yang paling penting, yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Kontribusi tersebut termasuk perkembangan dari akar, batang dan daun. Tanaman tidak bisa berkembang dari satu tahap ke tahap lanjut berikutnya tanpa menerima unit panas yang diperlukan. Unit panas dapat dihitung dengan persamaan

dengan T adalah suhu udara selama fase pertumbuhan, T0 adalah suhu dasar, untuk jagung suhu dasarnya 10 OC.

Agronomi

Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur mulai dari leher akar hingga ujung daun tertinggi dengan menggunakan meteran. Pada tanaman sampel dipasang patok standar sebagai pedoman pengukuran.

Jumlah Daun

Jumlah daun merupakan daun yang telah terbuka sempurna. Perhitungan pertama dilakukan 4 MST dengan interval seminggu sekali sampai populasi tanaman jagung telah berbunga sebanyak 75% (8 MST).

Luas Daun

Luas daun dalam penelitian ini diukur dengan rumus A = P x

dimana :

A : Luas daun (cm2)

(31)

16

Pengukuran dilakukan pada daun tanaman jagung per minggu dari awal hingga akhir masa tanam (8 MST). Daun yang diukur luasnya adalah 3 daun paling tengah (daun ke 7, ke 8, dank ke 9) lalu dihitung rata-ratanya. Lebar helai daun rata-rata dapat diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dari replika daun yang dibuat di kertas milimeter blok dengan resolusi 1 x 1 mm.

Indeks luas daun (ILD)

Indeks luas daun (ILD), yaitu nisbah antara luas daun (A) dengan luas lahan yang dinaungi. ILD dapat menggambarkan kemampuan tanaman menyerap radiasi matahari untuk proses fotosintesis, dihitung dengan rumus :

Analisis Pertumbuhan Tanaman

Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT), Laju Pertumbuhan Relatif (LPR), Laju Asimilasi Bersih (LAB) dapat dihitung menggunakan rumus (Agung, 2004) Berikut.

Laju Asimilasi Bersih rata-rata (LAB) mingguan, yang dihitung menurut rumus

yaitu laju pertambahan bahan kering total tanaman per satuan luas daun per satuan waktu rata-rata periode mingguan yang menggambarkan laju fotosintesis bersih (kapasitas tanaman mengakumulasi bahan kering) per satuan luas daun per satuan waktu rata-rata periode mingguan,

Laju Tumbuh Tanaman rata-rata (Crop Growth Rate) mingguan, yang dihitung menurut rumus:

LTT menggambarkan laju pertambahan bahan kering total tanaman per satuan luas lahan per satuan waktu rata-rata periode mingguan yang menggambarkan peningkatan bobot kering total tanaman per satuan luas lahan per satuan waktu ratarata periode mingguan.

Keterangan :

W1 : bobot kering tanaman pada t1 W2 : bobot kering tanaman pada t2 A1 : luas daun tanaman pada t1 A2 : luas daun tanaman pada t2

(32)

17 Skenario Pemberian Air Irigasi

Pemberian air irigasi pada tanaman jagung diatur dalam beberapa tahap berdasarkan fase perkembangan tanaman (Tabel 1) yaitu : (i) vegetatif pertama (umur tanaman 1 sampai 3 MST) maka pemberian air irigasi berdasarkan evapotranspirasi tanaman (crop evapotranspiration, ETc) kumulatif tanaman perharinya yang didukung oleh nilai Net irigasi depth (NID); (ii) vegetatif kedua, tanaman berumur antara 4 sampai 7 MST, dengan mengikuti nilai Etc dan NID; (iii) pembungaan, tanaman berumur antara 8 sampai 10 MST. Dengan mengikuti nilai ETc dan NID; dan (iv) pembentukan biji, tanaman berumur antara 11 sampai 15 MST dengan mengikuti nilai ETc dan NID.

Perhitungan waktu irigasi melewati beberapa tahap antara lain: a) Menghitung waktu irigasi dalam jam dengan cara mengalikan masing-masing perlakuan dosis irigasi (100, 80 dan 60%) dengan volume irigasi satuan m3 (meter kubik) dan disingkat dalam istilah NID kemudian dibagi besarnya debit irigasi. Hasil perhitungan tersebut di konversi ke dalam satuan mm; b) Hasil perhitungan tersebut di atas kemudian dibagi dalam satuan jam, namun terlebih dahulu dikonversi ke dalam menit; c) Hasil dari tahap kedua (b) ditambahkan dengan waktu inisiasi awal yang dikonversi ke dalam detik, maka didapatlah hasil lama waktu pengairan dalam satuan jam; d) untuk mendapatkan hitungan dalam menit maka hasil dari tahap (c) dikonversi ke dalam menit.

Pengaturan pemberian dosis irigasi 100, 80 dan 60%

Penelitian lapangan yang dilakukan adalah menyederhanakan saluran irigasi induk yang semula berupa bahan dinding saluran induk dipakai papan kemudian digantikan dengan pipa paralon sebanyak satu lembar yang sekaligus sebagai saluran induk (Gambar 1). Pipa paralon yang 1 lembar dibuat lubang bercabang enam sesuai jumlah saluran furrow. Pipa paralon pada bagian tengah dibuat cabang yang langsung tersambung ke mesin pompa air, dengan perantara selang plastik, dengan demikian volume air yang keluar dari mesin sampai ke pipa paralon tidak mengalami kehilangan air karena tidak ada kebocoran, sehingga air yang terdistribusi ke 6 lubang cabang, dan cenderung stabil dan merata debit airnya.

Dalam menentukan dosis irigasi sebelum terdistribusi ke masing-masing furrow, terlebih dahulu dikuantifikasi sesuai dengan dosis yang telah ditentukan dan mengacu pada metode FAO (Doorenbos dan Pruit 1975).

Tabel 1 Skenario pemberian irigasi tanaman dengan interval pemberian 14 hari Fase pertumbuhan Kebutuhan irigasi neto Lama irigasi (menit)

(m3/luas lahan) (menit)

100% 80% 60% 100% 80% 60%

Periode vegetatif pertama 2.9 2.3 1.8 14 13 12 Periode vegetatif kedua 5.9 4.7 3.5 18 16 15

Periode pembungaan 8.8 7 5.3 22 19 17

Pembentukan biji 9.8 7.8 5.9 23 20 18

(33)

18

Gambar 1 Saluran irigasi sederhana, menggunakan papan (kiri) dan menggunakan pipa paralon (kanan)

Metode ini mempertimbangkan berbagai komponen fisik lapangan seperti karakteristik tanah (Lampiran 1) termasuk kepadatan tanah, kapasitas lapang ketersedian air tanah, permeabilitas dan komponen tanaman, seperti kedalaman perakaran pada setiap fase tanaman. Data fisik tanah diukur dari hasil analisis tanah sebelum dilakukan penananam.

Penentuan interval pemberian air irigasi

Penentuan interval irigasi didasari pada kondisi klimatologi, dimana komponen yang harus diukur adalah unsur curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan radiasi matahari. Unsur-unsur tersebut dianalisis untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi perharinya dan dikalikan nilai koefisien tanaman setiap fase perkembangan tanaman, sehingga dapat diduga besar kehilangan air pada tanaman dalam satu siklus baik fase vegetatif maupun pada fase generatif. Akumulasi besarnya nilai evapotranspirasi yang terjadi perharinya, tidak boleh melebihi dari nilai NID karena dapat menyebabkan tanaman mengalami titik layu permanen atau stress air. Besarnya nilai evapotrasnpirasi yang terjadi dapat dihitung dengan dibuat skenario, kira-kira seberapa besar evaportanspirasi yang terjadi selama 7, 10, 12 dan 14 hari. Interval irgasi 14 hari diterapkan dalam penelitian ini karena diduga masih mampu memenuhi kebutuhan air tanaman.

Pemangkasan daun

(34)

19 Umur berbunga

Umur berbunga ditentukan setelah 75% atau lebih dari populasi tanaman telah berbunga. Berbunganya tanaman ditandai dengan tanaman berubah fase vegetatif ke fase generatif disusul dengan mekarnya bunga jantan sebanyak 75%.

Panen

Pemanenan tanaman dilakukan dengan menggunakan kriteria masak fisiologis, dimana panen tanaman dilakukan jika daun luar sudah berwarna kuning kering yang ditandai biji dalam tanam jagung mengeras. Kemudian diukur secara bertahap sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

Produksi per tanaman

Produksi pipilan kering (kadar air 13 hingga 14%) pertanaman dihitung dengan membagikan produksi per plot dengan jumlah tanaman per plot tanpa mengikutsertakan tanaman dan hasil tanaman jagung pada barisan terluar.

Produksi per hektar

Produksi pipilan kering per hektar merupakan proyeksi dari produksi pipilan kering pertanaman yaitu dengan mengalikan produksi pertanaman dengan populasi tanaman jagung per hektar. Dalam penelitian ini, produktivitas tanaman hasil perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun dibandingkan juga degan produktivitas tanaman hasil budidaya petani yang menerapkan irigasi dengan cara menggelontorkan air untuk menggenangi lahan budidaya tanaman jagung di lahan kering.

Efisiensi Pemanfaatan Air dan Irigasi

Efisiensi pemanfaatan air (EPA) didefinisikan sebagai hasil produksi tanaman per unit penggunaan air tanaman. Sedangkan Efisiensi pemanfaatan air irigasi (EPAI) adalah hasil produksi tanaman per unit air irigasi yang dipasok selama musim pertumbuhan,yang dapat dihitung dengan persamaan berikut.

yang dinyatakan sebagai g m-3 air, evapotranspirasi merupakan jumlah total air yang diuapkan selama musim pertumbuhan dari awal tanam hingga tanaman dipanen yang dihitung dengan persamaan: ETc = ETp X kc dimana ETc adalah

(35)

20

(koefisien tanaman). Untuk EPAI, irigasi merupakan total air yang dipasok melalui irigasi selama pertumbuhan tanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Iklim Lokasi dan Perkembangan Tanaman

Lokasi penelitian secara administratif masuk dalam wilayah provinsi NTT, yang merupakan salah satu wilayah yang dikategorikan sebagai lahan kering beriklim kering. Dari data curah hujan periode 2001 hingga 2009 (Gambar 2), diketahui bahwa rata-rata curah hujan hanya mencapai 1348 mm tahun-1, dengan musim penghujan hanya berlangsung 3 hingga 5 bulan (November hingga Maret), dan selebihnya didominasi oleh musim kemarau yang dapat berlangsung selama 4 hingga 8 bulan (April hingga Oktober), dengan curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm bulan-1 pada bulan-bulan kering. Berdasarkan kriteria dalam klasifikasi iklim Oldeman yang mengacu pada kebutuhan air tanaman pangan, wilayah ini tergolong dalam kategori wilayah dengan iklim tipe D4.

Hasil pengukuran unsur cuaca (Lampiran 2) dapat diketahui radiasi surya bervariasi mulai 12.26 hingga 22.87 MJ m-2 hari-1 dengan kecenderungan meningkat. Suhu udara harian rata-rata sekitar 32.5 °C dengan kecenderungan meningkat, kelembapan udara rata-rata sekitar 65% yang cenderung menurun dan curah hujan yang terjadi hanya 1 mm selama penelitian berlangsung (Gambar 3).

Gambar 2 Curah hujan bulanan rata-rata di lokasi penelitian

(36)

21 Tanaman membutuhkan radiasi matahari untuk fotosintesis. Tingkat pertumbuhan tanaman sebanding dengan jumlah radiasi yang diterima, dengan asumsi bahwa parameter lingkungan lainnya tidak membatasi. Jumlah radiasi selama percobaan berlangsung sebesar 2300.92 MJ m-2 atau 19.17 MJ m-2 hari-1. Jumlah radiasi ini mencukupi keperluan rata-rata radiasi tanaman kelompok tanaman C4.

Tanaman jagung membutuhkan suhu rata-rata 24 O

C selama periode pertumbuhan untuk pertumbuhan optimal. Suhu minimum untuk pertumbuhan jagung sekitar 8 sampai 10 OC sedangkan suhu maksimum yang dapat ditoleransi

Gambar 3 Unsur-unsur cuaca di lokasi penelitian selama musim tanam

(37)

22

mencapai 40 O

C. Suhu udara yang cukup tinggi pada saat penelitian berlangsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Curah hujan dari awal tanam hingga tanaman dipanen (120 hari) sebesar 1 mm dan evapotranspirasi potensial sebesar 518.12 mm dengan rata-rata per harinya mencapai 4 mm hari-1 (Gambar 4), secara klimatologis terjadi defisit air yang sangat parah. Nisbah curah hujan (CH)/evapotranspirasi (ETp) pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung di lahan percobaan sangat kecil yaitu 0.00193 atau kurang dari 0.5 ETp yang berarti pada periode ini pemenuhan kebutuhan air tanaman kurang dari 50%. Kondisi nisbah CH/ETp ini berpengaruh pada fluktuasi air tanah yang berdampak pada penurunan tingkat pertumbuhan dan akan menurunkan hasil panen. Dengan alasan ini maka irigasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman jagung di lahan kering.

Ketika suhu melebihi suhu optimum untuk proses biologi, tanaman sering merespon negatif dengan penurunan pertumbuhan bersih. Hal ini diamati oleh Karim et al. 2000; Medany et al. 2007 pada jagung di mana peningkatan suhu dari optimum (25 sampai 30 oC) ke 35 oC mengakibatkan penurunan pertumbuhan bibit. Dalam kasus lain peningkatan suhu dilaporkan dapat mempercepat perkecambahan benih dan pertumbuhan (Pearson 1975; Milford dan Riley 1980).

Tidak tersedianya air dalam jumlah dan waktu yang tepat menjadi kendala pada budidaya tanaman jagung di lahan kering beriklim kering, sehingga dalam memenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman mutlak dibutuhkan irigasi. Irigasi adalah strategi adaptasi utama untuk memerangi kekeringan meteorologi, karena dapat meningkatkan hasil panen dan mengurangi resiko gagal panen (Hoff et al. 2009).

Unit Panas

Dari awal tanam hingga panen tanaman membutuhkan waktu 120 hari. Pada masa tersebut, tanaman jagung menggunakan panas untuk tumbuh dan berkembang sejumlah 1856 derajat hari tumbuh atau yang dikenal dengan

Growing Degree Day (GDD). Suhu udara mempengaruhi durasi pertumbuhan tanaman (Allison dan Daynard 1979), telah terbukti bahwa durasi pengisian gabah menurun dengan meningkatnya suhu dan periode pengisian biji yang pendek sering dikaitkan dengan hasil gabah yang lebih rendah (Badu-Apraku et al. 1983).

Gambar 4 Evapotranspirasi potensial selama penelitian

(38)

23 Indeks Luas Daun

Peubah ini menggambarkan distribusi cahaya yang tidak hanya ditentukan oleh sifat daun, tetapi juga oleh kerapatan daun. ILD tertinggi dihasilkan melalui pengurangan 20% irgasi (DI 80%) pada waktu tanaman memasuki umur 10 minggu yang diduga merupakan periode awal pengisian biji. Sedangkan tanaman yang diberi perlakuan pengurangan 40% kebutuhan air irigasi menghasilkan ILD yang rendah (Gambar 5).

ILD maksimum dicapai pada tanaman memasuki umur 70 HST. Perlakuan DI 80 dan 100% menghasilkan ILD masing-masing 4.7, lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan DI 60%. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pengurangan irigasi (100, 80 dan 60%) pada tanam memberikan pergaruh nyata pada ILD (Tabel 2). Pengurangan 20% kebutuhan air tanaman, menghasilkan ILD yang tidak berbeda nyata dengan ILD tanaman yang kebutuhan airnya terpenuhi secara keseluruhan, sedangkan pengurangan 40% dari total kebutuhan air tanaman menghasilkan ILD yang berbeda nyata dengan ILD tanaman pada perlakuan DI 80 dan 100%.

ILD dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah pada perlakuan DI 80, 100 kemudian 60%. Hasil sidik ragam terhadap nilai ILD rata-rata pada tanaman yang berumur 10 MST menunjukkan bahwa DI nyata berpengaruh pada ILD jagung. Dari hasil uji lanjut ditemukan bahwa DI 100 dan 80% memberikan pengaruh yang tidak tidak berbeda nyata, sedangkan DI 60% memberikan pengaruh yang berbeda dengan DI 100 dan 80% terhadap luas dan ILD.

Perlakuan DI 80 dan 100% menghasilkan ILD signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan DI 60%, dan memperpanjang periode fisiologis fungsional di mana ILD dipertahankan pada tingkat tinggi hingga tahap perkembangan tanaman, yang secara teoritis bermanfaat untuk asimilasi,

Gambar 5 Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi, ( ) DI 100%, ( ) DI 80%, ( ) DI 60%.

Tabel 2 Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi Pengurangan

Figure 1Gambar 5 Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing

(39)

24

transportasi dan produksi tanaman jagung ILD ditentukan oleh dua mekanisme yaitu perkembangan luas daun (penampilan daun dan ekspansi daun) dan penuaan daun, yang keduanya didorong dan dipengaruhi oleh ketersediaan air (Rasheed et al. 2003).

Intersepsi Radiasi Surya

Intersepsi radiasi surya dari awal tanam hingga pengisian biji meningkat sesuai dengan periode pertumbuhan tanaman jagung pada masing-masing perlakuan (Gambar 6). Dengan nilai koefisien pemadaman tajuk tanaman sebesar 0.65, tanaman dengan nilai ILD rendah (ILD DI 60%) mengintersepsi radiasi surya sebesar 894.38 MJ untuk pertumbuhan, lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang memiliki ILD tinggi (ILD DI 80 dan 100%) yang masing-masing mencapai 904.51 dan 900.21 MJ.

Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya

Tanaman yang diberi perlakuan DI 80% memiliki nilai EPR (3.2 g MJ-1) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan DI 100 dan 60% (3.1 dan 2.6 g MJ-1). Sedangkan untuk perlakuan pemangkasan daun, tanaman yang tidak dipangkas memiliki EPR yang lebih tinggi (3.1 g MJ-1) bila dibandingkan perlakuan pemangkasan 3 dan 6 daun di bawah tongkol yang masing-masing sebesar 3.0 dan 2.7 g MJ-1 (Gambar 7).

Nilai EPR tanaman jagung pada perlakuan DI 80 dan 100% menjadi lebih tinggi dari nilai EPR tanaman pada DI 60% disebabkan oleh nilai ILD yang lebih besar. Besarnya nilai ILD tersebut merepresentasikan daun yang lebih besar dan mengintersepsi radiasi dalam jumlah yang lebih banyak untuk proses fotosintesis. Sedangkan pada perlakuan pemangkasan daun, penurunan nilai EPR terjadi akibat berkurangnya organ tanaman akibat adanya pemangkasan yang berdampak pada penurunan biomassa tanaman.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antar perlakuan irigasi dan pemangkasan terhadap EPR. Pengaruh irigasi nyata mempengaruhi nilai EPR. Hasil uji statistik (Tabel 3) menunjukkan bahwa DI

(40)

25 80% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemenuhan 100% kebutuhan air tanaman. Sedangkan DI 60% tampak berbeda nyata dengan DI 80 maupun DI 100%. Nilai EPR tanaman jagung pada perlakuan DI 80 dan 100% menjadi lebih tinggi dari nilai EPR tanaman pada DI 60% disebabkan oleh nilai ILD yang lebih besar sehingga mampu mengintersepsi radiasi dalam jumlah yang lebih besar.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemangkasan berpengaruh nyata pada EPR, Pengaruh P6 berbeda nyata dengan P3 dan P0, serta P3 tidak berbeda nyata dengan P0. Nilai efisiensi pemanfaatan radiasi surya mengalami penurunan akibat adanya pemangkasan, hal ini disebabkan oleh berkurangnya organ daun yang berdampak pada penurunan biomassa tanaman.

Laju Asimilasi Bersih dan Laju Pertumbuhan Tanaman

Hasil penelitian menunjukkan ILD yang tinggi merepresentasikan daun yang mengintersepsi radiasi matahari lebih banyak dan mampu menghasilkan fotosintat yang tinggi, serta lebih efisien dalam menggunakan energi untuk menghasilkan asimilat. Tanaman yang diberi perlakuan DI 80% lebih banyak

Gambar 7 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun

Tabel 3 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung

Perlakuan Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya

(g MJ-1)

(41)

26

mengintersepsi cahaya matahari dan lebih efisien dalam menggunakan energi untuk menghasilkan LAB dan LTT yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya (Gambar 8).

Perubahan pola laju asimilasi bersih di semua perlakuan dosis irigasi mengalami peningkatan. Dari 3 hingga 5 MST laju asimilasi bersih tampak tidak berbeda nyata disebabkan oleh pertumbuhan tanaman masih seragam. Tren peningkatan dalam nilai LAB dimulai ketika umur tanaman memasuki 6 minggu. Peningkatan secara signifikan terus berlangsung hingga tanaman memasuki umur 10 minggu. LAB menjadi tinggi pada masa pengisian biji. Dari hasil sidik ragam komponen tanaman jagung pada umur 10 MST tidak berbeda nyata antara nilai LAB dan LTT untuk masing-masing perlakuan DI. LAB dan LTT tergantung pada kemampuan kanopi tanaman dalam mengintersepsi radiasi fotosintetik aktif (PAR) (Bisco & Gallagher 1978) yang merupakan fungsi dari ILD dan arsitektur kanopi tanaman, serta konversi IPAR ke akumulasi total bahan kering, yang dikenal sebagai efisiensi pemanfaatan radiasi (EPR) (Sinclair dan Muchow 1999).

Pertumbuhan Tanaman

Gambar

Gambar 1 Saluran irigasi sederhana, menggunakan papan (kiri) dan
Gambar 3 Unsur-unsur cuaca di lokasi penelitian selama musim tanam
Gambar 6 Intersepsi radiasi surya oleh tanaman, (
Gambar 7 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung pada
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 2.1 Variasi Definisi Kluster 7 Tabel 2.2 Kondisi yang Mempengaruhi Tinggi Rendahnya Potensi RIS 8 Tabel 2.3 Faktor-faktor Pembentuk Kluster Industri 10 Tabel 2.4

5 Akademi Teknik Wacana Manunggal Semarang Semarang 6 Akademi Teknologi Pekanbaru Pekanbaru 7 Akademi Teknologi Ronggolawe Cepu Cepu 8 Akademi Teknologi Sapta Taruna (ATST)

Faktor skliza je definiran kao omjer obodne komponente apsolutne brzine fluida koji napušta impeler u odnosu na obodnu brzinu lopatice na izlazu iz impelera. Jedna je od najvažnijih

Pengilang Pemborong Peruncit Pengguna merangkumi semua aktiviti yang terlibat dalam menjual barangan atau perkhidmatan kepada mereka yang membeli untuk dijual

Adanya strategi pemecahan masalah diperlukan untuk mempermudah mengatasi masalah yang muncul berkaitan dengan perancangan fesyen eksklusif lewat eksplorasi motif

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mitigasi risiko dan mengevaluasi mitigasi risiko pembiayaan modal usaha tanpa agunan pada akad mu r h di BPRS Sarana

Dalam kasus yang seperti ini seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan ini telah melanggar hukum islam

1) Data yang berkaitan dengan kemampuan awal siswa yaitu berupa nilai UTS (Ulangan Tengah Semester) mata pelajaran matematika. Nilai awal ini digunakan untuk melihat