• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

 

SIFAT FISIK DAN MIKROBIOLOGI SOSIS FRANKFURTER

DENGAN TAMBAHAN ROSELA DAN ANGKAK

SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI JACOBUS GLEN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Jacobus Glen. D14062172. 2012. Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Irma Isnafia Arief, S. Pt., M. Si. Pembimbing Anggota : Ir. Hj. Komariah, M. Si.

Produk olahan daging seperti sosis yang dikonsumsi sehari-hari pada umumnya menggunakan zat pengawet dan pewarna buatan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai jual dan daya tarik dari produk tersebut. Nitrit umumnya digunakan sebagai bahan pengawet makanan pada produk-produk olahan daging, seperti sosis, dengan fungsi untuk fiksasi mioglobin dan pengawet. Akan tetapi nitrit dapat membahayakan kesehatan manusia karena nitrit memiliki sifat karsinogenik. Bahaya dari nitrit itu sendiri sebenarnya dapat kita hindari apabila nitrit tersebut kita ganti dengan menggunakan bahan pengawet alami seperti rosela dan angkak.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat fisik dan mikrobiologis dari sosis pada masa penyimpanan selama dua puluh hari (hari 0, hari ke-10, dan hari ke-20) dengan tiga ulangan dan dua faktor, yakni jenis pengawet, yaitu nitrit sebagai kontrol dengan kombinasi angkak-rosela (0,75%:1%), dan lama penyimpanan. Peubah yang diamati yaitu sifat fisik yang terdiri atas pH, daya mengikat air, stabilitas emulsi, dan keempukan, sedangkan untuk analisa mikrobiologi, peubah yang diamati ialah total populasi mikroba (TPC), total Escherischia coli dan total Bakteri Asam Laktat (BAL). Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dan data yang didapat dianalisa dengan ANOVA. Penelitian dilaksanakan pada periode bulan Juli hingga Agustus 2010 di Laboratorium Ruminansia Besar Departemen IPTP dan SEAFAST Center IPB.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi bubuk angkak-rosela (0,75%:1%) dapat dijadikan sebagai substitusi nitrit dalam sosis frankfurter. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet tidak berpengaruh nyata terhadap sifat fisik dan mikrobiologis sosis frankfurter baik dengan penambahan nitrit maupun dengan penambahan kombinasi rosela-angkak selama masa penyimpanan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah penggunaan kombinasi angkak-rosela (0,75%:1%) tidak berbeda nyata dengan penggunaan nitrit (0,0125%) pada sosis. Lama simpan merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam perubahan sifat fisik maupun mikrobiologi pada sosis frankfurter selama masa penyimpanan.

(3)

 

ABSTRACT

PHYSICAL AND MICROBIOLOGICAL CHARACTERISTICS CHANGES OF FRANKFURTERS SAUSAGE WITH ADDITION OF ROSELA AND

ANKA DURING STORAGE

Glen, J., I. I. Arief and Komariah

Processed foods, in this case sausage, which can be met nowadays often use additives to preserve and color it in order to increase the value and acceptability of the foods. Nitrite is widely used for its mioglobin fixation, antibacterial, and preservatives, but nitrite could harm human’s health because of its carsinogenic characteristic. The harm can be prevented if we substitute nitrite with natural herbs such as rosella and anka. The objectives of this research were to determine physical and microbiological change during storing period. Storing period were 20 days and tested three times (day 0, day 10, and day 20) with three repetition and and the two factors were preservative type (nitrite as control and the combination of anka-rosella (0.75%:1%)) and storing duration. Observed variables are the physical characteristics (pH, water holding capacity and tenderness) and microbial characteristic such as total microbial population, total lactic acid bacteria population and quantitative population of Escherischia coli. This research used factorial randomized complete design and the data analyzed with ANOVA. The research conducted from July to August 2010 at the Processing Laboratory of Large Ruminants, Faculty of Animal Science and Seafast Center IPB. Result showed that combination of anka and rosela (0.75%:1%) could substitute nitrite function in sausage. ANOVA showed that kinds of preservatives had no difference to microbial population in sausage. In conclusion, the addition of anka and rosela (0.75%:1%) were no different to sausage with nitrite addition (0,0125%). Storage time was the most influencing factor of physical and microbiological change on sausage during storage.

(4)

SIFAT FISIK DAN MIKROBIOLOGI SOSIS FRANKFURTER

DENGAN TAMBAHAN ROSELA DAN ANGKAK

SELAMA PENYIMPANAN

JACOBUS GLEN

D14062172

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

 

Judul Skripsi : Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan

Nama : Jacobus Glen

NIM : D14062172

Menyetujui :

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.) NIP. 19750304 199902 2 001

(Ir. Hj. Komariah, M.Si.) NIP. 195905150 1989030 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1988 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andreas Iswan dan Ibu Maria F. L. Ellen.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Mardi Yuana Cibinong dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Mardi Waluya Cibinong. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Bogor pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006.

(7)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Surga dan Tuhan Yesus yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Peternakan, IPB.

Sudah kita ketahui secara umum bahwa pangan olahan yang biasa kita konsumsi sahari-hari tidak pernah lepas dari bahan-bahan kimia yang digunakan baik untuk mengawetkan makanan tersebut maupun untuk menambah daya tarik dari pangan itu sendiri. Hal inilah yang cukup mengkhawatirkan karena bahan kimia tersebut, khususnya nitrit yang biasa digunakan dalam produk-produk loan daging seperti sosis, memliki sifat karsinogenik yang membahayakan kesehatan konsumen apabila terakumulasi dalam tubuh sehingga perlu ditemukan jalan kerluarnya. Salah satu jalan yang dapat ditempuh ialah dengan menggantinya dengan tumbuhan herbal alami yang jelas tidak membahayakan kesehatan manusia seperti rosela dan angkak. Skripsi berjudul ”Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan” diharapkan mampu memberikan sejumlah informasi kepada para pembaca mengenai pengaruh penambahan angkak dan rosela terhadap kualitas sosis frankfurter sehingga dapat diaplikasikan secara nyata pada berbagai produk pangan asal hewan lainnya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Akan tetapi, semoga hasil penelitian mengenai penggunaan angkak dan rosela pada sosis Frankfurter dapat memberikan manfaat kepada setiap pembaca.

Bogor, Februari 2012

(8)

DAFTAR ISI

    Sifat Antimikroba Pigmen Angkak………. 12 

Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis……….. 13

Pembuatan Sosis……….. 13 

Umur Simpan ... 13

Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada ... 15

Sifat Fisik Sosis ... 18

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme ... 20

Faktor Intrinsik ... 20

Faktor Ekstrinsik ... 22

(9)

  ix

Materi ... 23

Rancangan ... 23

Prosedur ... 24

Nilai pH Produk Sosis ... 26

Kekenyalan ... 26

Daya Serap Air ... 26

Uji Kualitas Mikrobiologis Daging ... 26

Uji Organoleptik (Soekarto, 1990) ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

Sifat Fisik Sosis Frakfurter ... 29

Nilai pH Sosis Frakfurter ... 29

Nilai Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter ... 31

Nilai Kekenyalan Sosis Frankfurter ... 33

Uji Organoleptik Sosis Frankfurter ... 36

Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Sebelum Simpan .... 36

Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-10 ... 38

Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-20 ... 39

Kualitas Mikrobiologi Daging ... 40

Kualitas Mikrobiologi Sosis Frankfurter Selama Masa Penyimpanan 42 Jumlah Total Plate Count (TPC) pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan ... 44

Jumlah Escherischia coli pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan ... 48

Jumlah Total Bakteri Asam Laktat (BAL) pada Sosis Frankfurter ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

Kesimpulan ... 53

Saran ... 53

UCAPAN TERIMA KASIH ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi ... 5

2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g ... 10

3. Komposisi Kimiawi Angkak ... 11

4. Pengaruh beberapa Faktor terhadap Reaksi Deteriorasi pada Pangan .... 14

5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak ... 17

6. Nilai pH Sosis Frakfurter selama Periode Penyimpanan ... 29

7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan ... 31

8. Nilai Rataan Kekenyalan Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan ... 33

9. Nilai Rataan Mutu Uji Hedonik Sosis Frankfurters dengan Perlakuan Pemberian Nitrit dan Kombinasi Rosela dan Angkak pada Periode Penyimpanan yang Berbeda ... 36

10. Hasil Analisis Mikrobiologi pada Daging Segar ... 41

11. Perubahan Jumlah TPC pada Sosis selama Penyimpanan ... 44

12. Perubahan Jumlah E. Coli pada Sosis selama Penyimpanan ... 48

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kelopak Bunga Rosela ... 9

2. Beras Merah Cina atau Angkak ... 10

3. Escherischia Coli ... 20

4. Skema Proses Pembuatan Sosis ... 25

5. Gambar Analisis DMA Sosis Frankfurter pada Hari ke-20 ... 33

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Sosis Frankfurter ... 61

2. Hasil Analisis Ragam Nilai DSA Sosis Frankfurter ... 61

3. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Sosis Frankfurter ….………..……. 61

4. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Warna Sosis Frankfurter H0 …... 61

5. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Bau Sosis Frankfurter H10 …..….. 61

6. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Lendir Sosis Frankfurter H20 ... 62

7. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Kekenyalan Sosis Frankfurter H0.. 62

8. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Tekstur Sosis Frankfurter H10 ... 62

9. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0) 62 10. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10) 63

11. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H20) 63 12. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah Total Mikroba (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter ... 64

13. Jumlah Total E. coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0) 64 14. Jumlah Total E. coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10) 65 15. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah Total Escherischia coli (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter ... 65

16. Proses Pembuatan Sosis ………..…… 65

17. Pengukuran Sifat Fisik Sosis ... 66

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan tidak pernah lepas dari kehidupan, karena semua manusia dan mahluk hidup lainnya membutuhkan pangan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Saat ini dapat ditemui industri-industri pangan dengan mudah. Dalam industri pangan, khususnya pangan olahan, sering dijumpai penggunaan bahan-bahan pengawet dan bahan pewarna buatan untuk makanan yang bertujuan untuk meningkatkan daya jual. Bahan pengawet ini pada umumnya dibuat dari bahan-bahan kimia yang bersifat sintetis. Penggunaan bahan-bahan kimia sebagai bahan-bahan tambahan-bahan pada makanan berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan, baik yang disebabkan oleh mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara mencegah, menghambat, menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan.

Penggunaan bahan pengawet dan pewarna buatan pada makanan dapat membahayakan jika terakumulasi dalam tubuh. Bahan pengawet yang umum digunakan pada produk-produk sosis serta produk olahan daging lainnya ialah nitrit. Nitrit merupakan zat kimiawi buatan yang berguna untuk mengawetkan daging dan produk olahan lainnya dengan mencegah pertumbuhan mikroba serta untuk menghasilkan produk olahan daging yang memiliki warna yang lebih baik dan menarik. Namun, penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging/sosis menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan, karena nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida yang terdapat pada protein daging membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. Nitrosamin diduga merupakan salah satu senyawa yang dapat menyebabkan kanker.

Sebagai upaya untuk mencegah akibat buruk penggunaan bahan-bahan kimiawi tersebut, dapat dimanfaatkan tanaman-tanaman yang berpotensi untuk menggantikan bahan-bahan kimia tersebut. Tanaman bersifat alami, maka kemungkinan timbulnya penyakit yang dapat menganggu kesehatan lebih kecil. Tanaman-tanaman herbal dapat memberikan efek positif bagi kesehatan manusia. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai bahan pengawet dan pewarna alami ialah rosela dan angkak.

(14)

relatif tinggi, sehingga kelopak bunga rosela mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami untuk bahan pangan. Antosianin pada rosela mengandung zat antioksidan yang dapat memperbaiki metabolisme tubuh dengan menekan jumlah zat radikal bebas dalam tubuh. Beras merah cina atau angkak merupakan pengawet dan pewarna makanan alami dan menyehatkan yang juga dianggap sebagai obat berbagai macam penyakit. Selain keuntungan secara medis, kedua jenis tanaman herbal tersebut juga mudah ditemukan dan dibeli, sehingga ketersediaanya tidak akan menjadi kendala. Namun, kestabilan warna serta flavornya yang agak berbeda dari sosis pada umumnya mungkin dapat menjadi salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian lebih.

Perlu dilakukan lagi penelitian terhadap efek yang mungkin didapat pada produk akhir di samping semua keuntungan yang mungkin didapat dari penggunaan tanaman-tanaman herbal yang telah disebutkan. Dengan mengaplikasikan tanaman herbal tersebut pada produk sosis, diharapkan manfaat tanaman herbal tersebut dapat berfungsi dengan maksimal. Perlu diteliti pula hubungannya dengan kualitas fisik dan mikrobiologi dari produk sosis tersebut selama penyimpanan.

Tujuan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Keamanan Pangan

Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7 tahun 1996, keamanan pangan adalah suatu kondisi atau upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Ruang lingkup keamanan pangan adalah bahaya biologis (bahaya mikrobiologis), kimia dan fisik. Ketiga jenis bahaya ini menurut Winarno (1997) akan selalu ada dalam industri katering, karena beragamnya bahan baku yang berasal dari produk hasil peternakan dan pertanian yang berpotensi sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan disesuaikan dengan penerapan sistem jaminan mutu pangan untuk setiap mata rantai dalam setiap proses.

Daging

Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun atas jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005).

Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak, karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, serta lebih banyak lemak dan mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu skim (Soeparno, 2005).

Sosis

(16)

penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es, minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan (bahan inovasi).

Istilah sosis berasal dari kata dalam bahasa latin “salsus”, yang memiliki arti garam, sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan dengan garam. Sosis didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang dicacah serta dibungkus dalam casing menjadi bentuk silinder (Kramlich, 1973). Sosis merupakan salah satu jenis emulsi, namun emulsi sosis bukanlah emulsi sesungguhnya seperti mayonnaise atau emulsi minyak dalam air lainnya. Emulsi sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah campuran daging yang digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak pada sosis dibungkus oleh protein daging lean dengan struktur serupa dengan emulsi, walaupun bukan emulsi minyak dalam air yang sesungguhnya. Protein larut garam, terutama myosin, diekstrak dengan garam dan selama proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang membungkus partikel lemak (Pearson dan Tauber, 1985). Komposisi nutrisi sosis daging sapi menurut DSN (1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

(17)

  5 Tabel 1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi

Komposisi nutrisi Persentase (%)

Air Maks 67,0

Protein Min 13,0

Abu Maks 3,0

Lemak Maks 25,0

Karbohidrat Maks 8

Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1995)

Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Kramlich, 1973). Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yang telah dicacah menggunakan glinder. Menurut Rust (1977), dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan menentukan jenis sosis. Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973).

Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992).

(18)

minyak) daging, melarutkan protein larut air, membentuk larutan garam untuk melarutkan protein larut garam, sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno, 2005).

Lemak merupakan bahan utama dalam emulsi daging karena lemak berperan sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada keempukan dan jus daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus mengandung lemak tidak lebih dari 30 % (Kramlich, 1973). Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavour. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 2005). Dalam beberapa hal bumbu juga bersifat sebagai bakteriostatik dan antioksidan. Garam mempunyai sifat mendehidrasi dan mampu mengubah tekanan osmotik, dengan demikian garam bisa mengurangi pertumbuhan mikroba dan menjadikan daging olahan menjadi lebih awet (Pearson dan Tauber, 1985). Garam berfungsi untuk menambah citarasa, sebagai pengawet, dan juga melarutkan protein.

Bahan Baku Pembuatan Sosis

Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es atau air es, garam, dan lemak atau minyak, sedangkan bahan tambahan yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan. Formulasi menurut Soeparno (2005) adalah menghasilkan daging proses dengan penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat fisik yang stabil serta seragam. Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavour.

Bahan Pengisi

(19)

  7 mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan pengisi ialah tepung gandum dan tepung terigu (Soeparno, 2005). Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi air dua sampai tiga kali dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Ockerman, 1983). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung tapioka.

Es atau Air Es

Fungsi air es adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, menggantikan sebagian air yang hilang selama proses pembuatan, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bumbu pada saat curing (Soeparno, 2005). Menurut Kramlich (1973), pada proses pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%.

Nitrit

Nitrit dan nitrat sebagai garam natrium atau kalium dipergunakan dalam daging cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna merah muda terang, mempercepat proses curing (Soeparno, 2005). Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan warna daging, untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm (Ockerman, 1983). Jumlah maksimum nitrit yang bisa ditambahkan dalam curing daging adalah 62,8 g/100 Kg. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/Kg berat badan akan menimbulkan kematian (Aberle et al., 2001). Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging ternyata dapat menimbulkan efek yang membahayakakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida

(20)

sensori, akan tetapi nitrit mempengaruhi proses oksidatif dan pembentukan komponen volatil yang berasal dari mikroorganisme (Marco et al., 2006).

Garam

Garam merupakan komponen yang penting dalam pembuatan produk sosis. Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan citarasa, (2) pelarut protein yaitu miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet, karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan (4) untuk meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan alkali fosfat (Buckle et al., 1987). Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% karena penggunaan garam yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit, salah satunya adalah penyakit darah tinggi.

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Penambahan polifosfat dalam bentuk kering rata-rata sekitar 0,3% (Wilson et al., 1981). Fungsi penambahan alkali fosfat pada produk daging adalah (1) meningkatkan pH daging dan mengakibatkan meningkatnya daya mengikat air, (2) fosfat dan garam mempunyai fungsi sinergis sehingga mempengaruhi daya mengikat air, (3) dapat menurunkan penyusutan makanan karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan, (4) meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, (5) menstabilkan warna dan keseragaman, (6) menghambat ketengikan karena fosfat memiliki sifat sebagai antioksidan, dan (7) selain dapat meningkatkan mutu produk daging, harganya relatif murah (De Freitas et al., 1997; Ockerman, 1983).

Lemak

(21)

  9

Rosela

Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) adalah tanaman yang berkembang biak dengan biji, bermanfaat untuk kesehatan antara lain meningkatkan stamina tubuh, mengandung vitamin C dan mineral essensial yang cukup tinggi yang mampu menangkal radikal bebas penyebab kanker (Maria dan Ramli, 2008). Wianti et al., (2008) menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela untuk TBC yaitu campuran asam sitrat dan asam malat 13%, anthocianin (Hydroxyflavone) dan Hibiscin 2%, asam askorbat (vitamin C) 0,004%-0,005%, protein (6,7% BS dan 7,9% BK), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid gossypetine,hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside dan delphinidine. Dalam 100 g kelopak bunga rosela, mengandung unsur-unsur, seperti berikut ini: kalori 49 kal, H2O 84,5%, protein 1,9 gr, lemak 0,1

gr, 12,3 g karbohidrat, serat 1,2 gr, kalsium 0,0172 gr, phospor 0, 57 gr, logam 0,029 gr, karotene B-3 gr, asam askorbat gr 0,14, abu 6,90 gr, 0117 mg thiamine dan riboflavin 0,277 mg. Gambar kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Gambar 1.

  Gambar 1. Kelopak Bunga Rosela

(Amanda dan Prima, 2008)

(22)

Tabel 2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g

Komposisi Jumlah

Protein 1,14 g Lemak 2,61 g Serat 12,0 g Kalsium 1,26 mg Fosfor 273,2 mg Besi 8,98 mg Karoten 0,029 mg

Tiamin 0,117 mg

Riboflavon 0,277 mg Niasin 3,76 mg Sumber : Amanda dan Prima (2008)

Pigmen Angkak

Pigmen angkak merupakan pigmen yang dihasilkan oleh kapang, yang digunakan sebagai zat pewarna makanan dan minuman di negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, Taiwan, Filipina dan Indonesia (Sutrisno, 1987). Angkak dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Beras Merah Cina atau Angkak (Kasim et al., 2005)

(23)

  11 Tabel 3. Komposisi Kimiawi Angkak

Kandungan Jumlah (%)

Air 7-0 Pati 53-60 Nitrogen 2,4-2,6

Protein kasar 15-16

Lemak kasar 6-7

Abu 0,9-1 Sumber : Steinkraus (1983)

Angkak dapat dijadikan pewarna makanan yang baik, tetapi sebelumnya perlu diperhatikan pula kondisi fermentasinya untuk menghasilkan pigmen angkak

yang baik, serta sedikit atau tidak mengandung citrinin sama sekali (Pattanagul et al, 2007). Masalah utama dalam penggunaan zat pewarna alami

adalah stabilitas pigmen. Pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, cahaya, keasaman, udara dan perubahan aktivitas air (Wong dan Koehler, 1981). Menurut Sutrisno (1987), pigmen angkak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut dalam air dan kurang stabil terhadap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air.

Sutrisno (1987) telah melakukan penelitian terhadap sifat fisik pigmen angkak. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah pigmen angkak yang dipengaruhi oleh sinar matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu dan indikator. Pengaruh suhu akan menyebabkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah strukturnya, sehingga dapat terjadi pemucatan. Pigmen angkak paling stabil pada pH 9,2 bila dibandingkan dengan pH 7 dan pH 3. pemanasan pada suhu 100oC selama satu jam tidak mengakibatkan kerusakan yang nyata terhadap pigmen angkak.

Sifat Antimikroba Pigmen Angkak

(24)

hati, ginjal, dan pankreas. Selain itu, dari hasil pengujian imunogenisitasnya, pigmen angkak yang dihasilkan dari limbah cair tapioka tidak menyebabkan ketidakabnormalan sel limfosit, yang berarti tidak mengganggu sistem kekebalan.

Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya bahwa pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B. Cereus dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari pigmen angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan konsentrasi pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel bakteri B. Stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang dimodifikasi dengan 5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada konsentrasi 125 ppm nitrit.

Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis

Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kualitas dari sosis. Intensistas warna dapat dihasilkan diantaranya dari konsentrasi larutan curing (Shehata et al., 1998). Penggunaan nitrit dalam pengolahan makanan telah lama dilakukan yaitu sebagai senyawa ”curing” terutama untuk produk-produk olahan daging. Awalnya nitrit digunakan untuk memperoleh warna merah pada daging, sebagai bahan pengawet dan sebagai bahan pembentuk faktor-faktor sensori (warna, aroma dan citarasa). Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida dalam protein daging dan membentuk turunan nitrosamin. Perhatian terhadap nitrosamin meningkat pada awal tahun enampuluhan, mengikuti suatu bencana penyakit hati berat pada biri-biri di Norwegia, yang menunjukkan bahwa biri-biri menjadi sakit setelah mengkonsumsi tepung ikan yang diawetkan dengan nitrit (Muchtadi, 1987).

Menteri kesehatan telah mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan nitrat dan nitrit dalam daging yang diawetkan. Menurut standar USDA (2000), batas maksimum nitrit (dalam bentuk NaNO2) yang digunakan untuk sosis masak

(25)

  13 Pengujian angkak sebagai subtitusi nitrit pada sosis daging sapi telah dilakukan oleh Justiawan (1997). Hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari segi warna dan penampakan penelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan jumlah penambahan angkak 2,5 g/kg daging. Hasil penelitian Justiawan (1997) dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini untuk menentukan jumlah angkak yang ditambahkan dalam formulasi.

Pembuatan Sosis

Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yan telah dicacah menggunakan glinder. Dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan menentukan jenis sosis (Rust, 1977). Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973). Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977).

Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992).

Umur Simpan

(26)

dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju kerusakan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001). Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi kerusakan pada produk pangan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Beberapa Faktor dan Efek Deterioratif Pada Pangan Faktor Utama Efek Deterioratif

Oksigen Oksidasi lipida

Kerusakan vitamin Kerusakan protein Oksidasi pigmen

Uap air Kehilangan/kerusakan vitamin

Perubahan organoleptik

Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn serta enzim-enzim lipooksidase (Winarno, 1997).

(27)

  15 tidak dapat lagi digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa (Arpah, 2001).

Menurut Syarief et al. (1989), penentuan umur simpan bahan pangan dapat dilakukan dalam tiga metode yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan dan metode nilai paruh waktu (half value point). Metode konvensional menitikberatkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk yang dikemas dengan RH beragam. Metode akselerasi kondisi penyimpanan dilakukan dengan pengamatan kenaikan atau penyusutan berat produk yang dikemas dengan menggunakan berbagai jenis kemasan, sedangkan metode nilai paruh waktu juga memperhitungkan kadar air yang diserap pengemas dan kadar air kritis produk. Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarief dan Halid, 1993).

Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada Pertumbuhan Mikroorganisme

Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada temperatur penyimpanan -18 oC, sehingga temperatur pembekuan ini digunakan sebagai dasar penyimpanan beku. Penyimpanan beku pada temperatur di bawah -10 oC akan sangat menurunkan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Soeparno, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme pada makanan pada suhu di bawah kira-kira -12 oC belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan beku pada suhu sekitar -18 oC dan di bawahnya akan mencegah kerusakan mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar.

(28)

Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum untuk pertumbuhan, mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophylles yang tumbuh pada suhu optimum antara 15 oC sampai 40 oC, sedangkan thermophylles tumbuh optimum pada suhu 45 oC sampai 60 oC dan psychrophillic tumbuh optimum pada suhu -1 sampai 3 oC. pertumbuhan bakteri pada dan di dalam daging dapat di bagi menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase konstan dan fase kematian.

Berdasarkan definisi pembekuan atau penyimpanan beku daging, pembekuan dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan pada suhu dimana daging dalam kondisi yang cukup keras dan tahan pada penimbunan. Dalam pelaksanaannya ialah penggunaan suhu di bawah -15 oC. Dalam tubuh hewan yang masih hidup terdapat suatu mekanisme organisme biologi tertentu yang tidak berfungsi lagi setelah hewan mati, dan yang akan mengakibatkan enzim pencernaan akan menyerang jaringan tubuh (Desroisier, 1988).

Kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang masuk ke dalam daging hewan yang telah mati berasal dari daerah sekitarnya dan terjadi mulai dari saat pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih lanjut. Dalam daging, bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik dan untuk itu bakteri mengambil kebutuhan pangannya dari daging yang setempat. Tingkat kerusakan daging tergantung dari tingkat kebutuhan bahan pangan (nutrisi) bakteri. Kebanyakan bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari genus pseudomonas, mempunyai kebutuhan energi tingkat menengah. Temperatur pembekuan dan pendinginan sebenarnya tidak jauh berbeda, suhu pembekuan yaitu -15 oC. Ini dapat mengurangi bahaya dari bakteri pathogen dan memperlambat pertumbuhan dan pembusukan yang terjadi karena mikroorganisme. Kebanyakan bakteri patogen termasuk Pseudomonas sp, adalah bakteri yang paling menonjol pada permukaan daging, pada penyimpanan dingin dan beku pada penyimpanan daging. Jika pendinginan dilakukan dengan cepat di bawah suhu 10 oC sebelum pH di otot menjadi 6, maka serat pada otot akan berkontraksi dan daging akan mengeras pada saat pemasakan (USDA, 2000).

(29)

  17 ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 0 oC belum terdapat es, pada suhu -10 oC kira-kira 83% beku dan baru pada suhu -40 oC semua air yang ada membeku pada titik beku. Menurut Buckle et al. (1987), daging yang dibekukan mengalami kerusakan yang lambat selama penyimpanan beku, terutama yang disebabkan oleh oksida lemak, dapat mempengaruhi rasa terutama pada daging yang mengandung banyak lemak. Lama penyimpanan dingin (≤0 oC) dari produk segar dan sudah dimasak ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak

Produk Lama Waktu Penyimpanan

Unggas 1 atau 2 hari

Daging sapi, daging kambing 3 sampai 5 hari Hari, otak, jantung (organ bagian dalam) 1 atau 2 hari Daging yang telah diasinkan, dimasak

sebelum dimakan

5 sampai 7 hari

Sosis, kalkun yang belum dimasak 1 sampai 2 hari

Telur 3 sampai 5 hari

Sumber: USDA (2000)

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keawetan daging, diantaranya adalah pendinginan. Menurunkan suhu penyimpanan dapat berdampak: (1) berkurangnya pertumbuhan mikroorganisme dan (2) melambatnya aktifitas fisiologis pada jaringan tumbuhan dan aktivitas metabolisme dari jaringan hewan post-mortem. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan untuk mengontrol beberapa komponen seperti suhu, kelembaban (RH), kecepatan udara, komposisi udara, dll (Ramaswamy dan Marcotte, 2006).  Pendinginan akan dapat mempertahankan kesegaran serta dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan (Desroisier, 1988). 

(30)

untuk bahan pangan atau untuk pengawetan sementara sampai proses pengawetan lebih lanjut dilakukan (Frazier, 1967).

Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama masa penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara menyimpan karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong (Soeparno, 2005). Pada umumnya, makin besar ukuran karkas dan lemak eksternal, makin lama waktu yang dibutuhkan untuk pendinginan pada suhu kecepatan udara pendingin tertentu (Bouton et al., 1978). Suhu, kecepatan udara dan kelembaban merupakan parameter penting yang mempengaruhi kekeringan/ pengeringan produk. Semakin tinggi suhu udara semakin cepat proses pengeringan. Semakin cepat aliran angina akan memperlambat proses pengeringan. Menurut Ramaswamy dan Marcotte (2006) ukuran, bentuk dan luas permukaan produk sangat mempengaruhi kekeringan serta kecepatan kering produk.

Sifat Fisik Sosis

Daya Serap Air (DSA)

Muchtadi dan Sugiono (1992), menyatakan bahwa daya serap air (DSA) menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan bakso diperlukan DSA yang tinggi.

Menurut Ellinger (1972), keberadaan air dalam daging mempengaruhi susut berat, sifat kekerasan dan kekenyalan. Natrium Chlorida (NaCl) mempunyai peranan untuk meningkatkan mutu, menekan susut berat dan daya mengikat air terutama pada penggunaan daging segar. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan terjadi peningkatan daya mengkat air.

Derajat Keasaman (pH)

(31)

  19

Kekenyalan

Faktor yang mempengaruhi kekenyalan daging digolongkan menjadi faktor antemortem (genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, dan umur) dan faktor postmortem (metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan pH daging). Bertambahnya penggunaan tapioka menjadikan sosis lebih kenyal (Gadiyaram dan Kannan, 2004). Menurut Moedjiharto (2003) pembentukan kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula, garam, dan pati.

Sifat Organoleptik

Sifat mutu subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra. Palatabilitas panelis dapat ditujukan melalui uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma, kekenyalan, dan tekstur (Soekarto, 1990).

Bakteri Patogen

Bakteri yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri pada bahan pangan meliputi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Mikroba-mikroba tersebut dapat digolongkan dalam mikroba bakteri perusak. Mikroba yang dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen. Escherichia coli

E. coli tergolong dalam famili Enterobacteriaceae dan termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 mikrometer, E. coli terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil atau non motil. Aktivitas air (aw) minimum yang memungkinkan pertumbuhan E. coli adalah antara

0,95 sampai 0,96 (Fraizer dan Westhoff, 1998).

(32)

sulfat dan sedikit garam mineral (Salle, 1961). Gambar bakteri E. coli dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Escherichia Coli (http://www.lintasberita.com/go/226395)

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam daging yang dapat disebabkan oleh terdapatnya kontaminasi selama pengolahan. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang atau bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad (Banwart, 1983).

Menurut Jay (1996), bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik, beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5). Bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa asetat, asam laktat dan karbondioksida (Ouwehand, 1998). Selain itu juga dihasilkan hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2-pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme

Faktor Intrinsik

(33)

  21 membentuk energi dan menyusun komponen-komponen sel (Jay, 2000). Ray (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme disempurnakan melalui sintesis komponen-komponen sel dan energi. Kebutuhan akan nutrisi proses tersebut berasal dari lingkungan yang dekat dengan sel-sel mikroorganisme. Sel-sel tersebut apabila tumbuh, maka akan mensuplai nutrisi. Nutrisi-nutrisi ini terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin.

Nilai pH dan TAT (Total Asam Tertitrasi). Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Mikroorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH optimum yaitu pH untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992). Pengukuran TAT adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak terdisosiasi), sedangkan dalam pengukuran pH yang terukur adalah jumlah ion hidrogen dalam bentuk terdisosiasi. Pengontrolan terhadap nilai TAT dan pH merupakan suatu parameter yang penting, karena adanya perubahan nilai TAT dan pH pada bahan pangan akan mempengaruhi kualitas bahan pangan tersebut. Nilai pH dan TA dipengaruhi oleh produksi asam laktat dan asam organik lainnya sehingga hasil metabolisme starter terhadap karbohidrat daging. Varnam dan Sutherland (1995) menyatakan bahwa pembentukan asam laktat tergantung pada tingkat aktivitas mikroba yang digunakan.

Aktivitas Air (aw). Adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993). Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan suatu produk pangan. Ray (2004) menambahkan, bahwa aktivitas air merupakan pengukuran ketersediaan air untuk menjalankan fungsi-fungsi biologis. Aktivitas air berkaitan dengan keberadaan air dalam bahan pangan dalam bentuk bebas. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki aw minimal

yang berbeda.

(34)

Komponen antimikroba tersebut terdapat dalam bahan pangan melalui beberapa cara, yaitu: (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan dan (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi bahan pangan (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat dapat menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat petumbuhan bakteri patogen atau pembusuk (Ray, 2004). Proliferasi mikroorganisme dapat dipenaruhi oleh komponen penghambat. Bahan-bahan yang dapat menghambat aktivitas mikroorganisme disebut bacteriostat, sedangkan yang dapat membunuh mikroorganisme disebut bactericide (Marriott, 1989).

Faktor Ekstrinsik

Suhu. Marriott (1989) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki suhu optimum, minimum dan maksimum. Suhu di bawah minimum dan di atas maksimum, aktivitas enzim akan berhenti atau bahkan terdenaturasi pada suhu yang terlalu tinggi. Menurut Fardiaz (1992) suhu tempat suatu bahan pangan disimpan berpengaruh besar terhadap mikroorganisme yang dapat tumbuh serta kecepatan pertumbuhanannya.

(35)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ternak Ruminansia Besar dan Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Agustus 2010.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi segar bagian gandik, tepung tapioka, susu skim, minyak sayur, es batu, bawang putih, STPP, lada bubuk, pala bubuk, garam, rosela bubuk dan angkak bubuk. Untuk analisa mikrobiologi, bahan yang digunakan adalah plate count agar (PCA), Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) dan deMan Ragosa Sharp Agar (MRSA).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain food processor merk national, termometer, kompor, wadah plastik, timbangan digital merk mettler, pisau, label, spatula, sendok, chiller, tali kasur dan lemari pendingin. Alat untuk analisis fisik meliputi Warner Bratzler Meat Shear untuk mengukur keempukan, pH meter dan sentrifuse serta tabung eppendorf (untuk uji daya mengikat air). Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah tabung reaksi, pipet volumetrik, pipet 10 ml, kapas, aluminium foil, karet gelang, tabung scott, mikro pipet, tip, jarumose, cawan Petri, autoclave, bunsen, alat sentrifuge Hettich Zentrifugen 6000 rpm, kantong plastik tahan panas (HDPE), termometer dan inkubator.

Rancangan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor, faktor pertama yaitu perbedaan jenis pengawet dengan 2 taraf perlakuan yaitu sosis dengan kombinasi rosella : angkak = 1 %:0,75% dan kontrol (nitrit), dan faktor kedua adalah lama penyimpanan (0, 10 dan 20 hari) pada suhu dingin 4oC±1oC. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 kali ulangan.

Model Matematika yang digunakan pada penelitian ini adalah :

Yijk = μ + Si + Pj + SPij +εijk

Keterangan :

Yijk = variabel respon jenis bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan ke-j pada ulangan ke-k

(36)

Si = pengaruh jenis bahan tambahan pengawet ke-i terhadap kualitas sosis.

Pj = pengaruh lama penyimpanan ke-j terhadap kualitas sosis SPij = pengaruh interaksi antara kombinasi rosella dan angkak ke-i

dengan lama penyimpanan ke-j

εijk = pengaruhgalat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij.

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (Steel dan Torrie, 1997).

Prosedur

Pembuatan Rosela Bubuk dan Angkak Bubuk

Pertama-tama kelopak bunga rosela yang telah kering digerus hingga halus seperti bubuk halus. Bubuk angkak diperoleh dari beras merah Cina yang telah difermentasi oleh bakteri Monascus purpureus dalam bentuk serbuk. Perbandingan komposisi antara rosela dan angkak pada adonan sosis adalah sebesar 1% rosela bubuk dengan angkak bubuk 0,75%. Penentuan jumlah angkak bubuk pada penelitian ini berdasarkan acuan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Justiawan (1997), yang menyatakan bahwa dari hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari segi warna dan penampakan panelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan jumlah penambahan 2,5g/kg.

Proses Pembuatan Sosis Frankfurter dan Pengamatan selama Penyimpanan

Pembuatan sosis frankfurter dimulai dari penyiapan daging sapi segar dan dilakukan pemisahan dari lemak (trimming). Daging yang telah dibersihkan dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam grinder bersama bahan es, sehingga memudahkan dalam penghancuran daging dan menjaga suhu daging sapi sehingga stabilitas. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 4.

(37)

  25 Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Sosis (Syudhly, 2010)

Penggilingan 1 selama 30 detik

Penggilingan ke 2 selama 90 detik

Adonan ditambahkan dengan 1 % bubuk ekstrak Rosela dan 0,75 % bubuk angkak

Adonan yang terbentuk dimasukkan dalam selongsong (cassing)

Disimpan dalam lemari es bersuhu 4 oC selama 20 hari

Analisis dilakukan setiap sepuluh hari

Ditambahkan 15% es batu, lemak 30% dan 0,5% STPP

Perebusan sosis (60-650C selama 45 menit)

Ditambahkan 15% es batu,5% tepung tapioka, 10% susu skim, 0.5% bawang putih, 0.3% STPP, 2.5% garam, 0.5% ketumbar, 2% gula pasir, 0.5% merica, 0.5% jahe, 0.5%,

dan  pala2%  

(38)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati untuk mengetahui sifat fisik sosis yaitu pH, daya mengikat air, stabilitas emulsi, dan keempukan. Sifat mikrobiologi yaitu pengujian terhadap TPC, E. coli dan Salmonella.

Nilai pH Produk Sosis

Adonan sosis diukur dengan menggunakan pH-meter merek Corning dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Sampel ditimbang 5 gram, kemudian ditambah aquades 45 ml, setelah itu sampel diblender selama satu menit, sampel dipindahkan ke dalam gelas ukur, pH-meter dicelupkan ke dalam sampel kira-kira 2 – 4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala tersebut (AOAC, 1995).

Kekenyalan

Kekenyalan yang diuji adalah kekenyalan produk sosis. Pengukuran menggunakan alat Instron (Warner Bratzler Shear Force) tipe 5542. Sampel sosis ditempatkan pada alat pemotong. Sampel dipotong sampai putus dengan chart speed 250 mm/menit. Parameter yang diukur dinyatakan dalam bentuk grafik dan secara otomatis terhubungkan dengan komputer. Respon dari kekenyalan yang dihasilkan diterapkan dalam grafik skala, nilai kekenyalan dinyatakan oleh grafik maksimal dengan satuan kgf/cm2.

Daya Serap Air

Sampel ditimbang sebanyak 1 g dan dihancurkan, dimasukkan ke dalam tabung reaksi (tabung sentrifusi). Air sebanyak 10 ml ditambahkan, dikocok dengan vortex mixer, lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Volume supernatan diukur dengan gelas ukur 10 ml. Air yang terserap dihitung yaitu selisih air mula-mula (10 ml) dengan volume supernatan yang dinyatakan dalam g/g dengan asumsi berat jenis air adalah 1 (g/ml) (Fardiaz et al., 1992).

Uji Kualitas Mikrobiologis Daging

(39)

  27 dimasukkan ke dalam plastic steril lalu ditambahkan 45 ml larutan pengencer steril, kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen dengan konsentrasi 0,1 g/ml. Sampel ini kemudian diencerkan dengan larutan pengencer sesuai dengan kebutuhan dan siap untuk plating.

Analisis Total Plate Count (Bakteriological Analytical Manual, 2001).

Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen tersebut dengan menggunakan pipet steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml (NaCl) larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pipet pada pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6 sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam cawan Petri dengan metode tuang sebanyak 15 ml dan dihomogenkan sampai merata. Cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37 °C selama 24 jam. Koloni mikroba yang terbentuk dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC) dengan rumus sebagai berikut :

CFU/g = ∑ N cawan (n1 + (0,1 x n2)) x d

Keterangan :

N = Jumlah koloni yang berbeda dalam kisaran hitung (TPC : 25-250 koloni). n1= Jumlah cawan pertama yang koloninya dapat dihitung pada setiap

pengenceran.

n2= Jumlah cawan kedua yang koloninya dapat dihitung pada setiap

pengenceran.

d = Tingkat pengenceran berbeda.

Analisis Kuantitatif Escherichia coli (American Public Health Association, 1992)

(40)

dipindahkan ke dalam cawan Petri steril secara duplo. Media Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) ditambahkan ke dalam cawan Petri tersebut. Pemupukan ini dilakukan dengan metode tuang sebanyak 15 ml dan dihomogenkan membentuk angka 8. Cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37 oC selama 24 jam. Koloni E. coli berwarna hijau metalik jika diletakkan di bawah sinar matahari atau sinar lampu.

Analisis Kuantitatif Bakteri Asam Laktat (American Public Health Association,

1992)

Sebanyak 5 gram sampel sosis yang telah disiapkan diencerkan menggunakan 45 ml NaCl 0,85% steril, lalu dipipet secara aseptik sebanayak 1 ml lalu dimasukkan ke tabung yang berisi media pengencer NaCl 0,85% 9 ml yang selanjutnya disebut pengenceran 10-1, sebanyak 1 ml diambil dari tabung pengenceran 10-1 dimasukkan ke tabung ke 2 yang berisi NaCl 0,85% 9 ml yang selanjutnya disebut pengenceran 10-2, kemudian dilakukan prosedur yang sama sampai pengenceran 10-5. Media tumbuh yang digunakan adalah de Man Ragosa Sharp Agar (MRS-A) lalu pengenceran 10-3 sampai pengenceran 10-5 dipupukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam dan dihitung populasinya. Koloni yang berwarna putih atau kekuning-kuningan merupakan koloni bakteri asam laktat.

Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik Sosis Frankfurter

Nilai pH Sosis Frankfurter

Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA, tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007). Hasil pengukuran pH pada periode penyimpanan yang berbeda dan perubahannya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai pH Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan Periode penyimpanan Perlakuan

Rosela-Angkak Nitrit

H0 4,873±0,02a 5,833±0,06c

H10 5,073±0,16a 5,911±0,01c

H20 5,498±0,01b 6,403±0,15d

Keterangan : H0 = analisis sosis hari 0, H10 = analisis sosis hari 10, H20 = analisis sosis hari ke-20. Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap pH sosis (P<0,05).

(42)

Dewanti (2009), peningkatan nilai pH diakibatkan oleh adanya reaksi antara protein dengan asam dan menghasilkan amonia yang bersifat basa. Akumulasi asam laktat akan mendegradasi protein dalam sosis dan menghasilkan amonia. Bakteri asam laktat ini juga berasal dari daging segarnya sendiri sejak sebelum diolah menjadi sosis frankfurter. Nilai kisaran pH sosis frankfurter dan suhu yang digunakan dalam penelitian ini (±5 oC) mendukung pernyataan Jay (1996) yaitu bahwa bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik, beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5).

(43)

  31 7, yaitu 9,2 (Sutrisno, 1987). Nilai pH yang didapatkan pada sosis yang mengalami perlakuan ini lebih cenderung pada pH asam, karena kadar penambahan rosela yang lebih banyak (1%) dibandingkan dengan kadar penambahan angkak (0,75%). Liana (2010) menambahkan, kombinasi antara dua bahan tersebut merupakan salah satu penyebab berpengaruhnya pH dalam hasil penelitian sosis frankfurter ini, karena pH keduanya saling menutupi.

Nilai Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter

Nilai rataan DSA sosis dan perubahannya selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Muchtadi dan Sugiono (1992) menyatakan bahwa daya serap air (DSA) menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan bakso diperlukan DSA yang tinggi.

Tabel 7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan Periode Penyimpanan Perlakuan

Rosela-Angkak (%) Nitrit (%)

H0 6,667±1,91a 7,083±2,89c

H10 11,667±2,31b 10,333±1,61d

H20 -* 13,750±2,17e

Keterangan : Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap DSA sosis (P<0,05). -*) tidak dapat dianalisis.

(44)

dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Soeparno, 2005).

Hasil analisis DSA sosis hari ke-10 menunjukkan terjadinya kenaikan (P<0,05) pada kedua jenis sosis. Nilai DSA sosis dengan penambahan rosela-angkak mengalami kenaikan menjadi 11,667±2,31%, sedangkan nilai DSA sosis dengan nitrit menjadi 10,333±1,61%. Hal ini disebabkan oleh kandungan air yang terdapat di dalam kedua jenis sosis tersebut telah berkurang yang ditunjukkan dengan mengeringnya kedua jenis sampel sosis tersebut. Mengeringnya sampel sosis disebabkan oleh rendahnya RH pada kondisi refrigerasi sehingga air yang terdapat di dalam sosis menguap ke lingkungan sekitar. Penyebab lain ialah terjadinya retrogradasi pati. Retrogradasi pati terjadi pada pati yang terdispersi dalam air yang telah mengalami gelatinisasi. Proses retrogradasi menyebabkan air keluar dari jaringan polimer pasta pati (Manulang, 1990). Dapat dilihat pula sosis dengan nitrit pada hari penyimpanan ke-10 memiliki nilai DSA yang lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan sosis dengan penambahan rosela-angkak. Kenaikan nilai DSA sosis dengan nitrit pada hari penyimpanan ke-10 lebih rendah dibanding sosis dengan penambahan rosela-angkak (selisih 3,25 untuk sosis nitrit dan 5 untuk sosis dengan campuran rosela-angkak). Artinya sosis dengan rosela-angkak lebih kering atau kehilangan lebih banyak air selama penyimpanan.

Analisis DSA sosis frankfurter pada hari ke-20 menunjukkan bahwa sosis dengan penambahan rosela dan angkak tidak dapat diperoleh hasilnya karena sampel sudah kering sehingga terdapat bagian yang mengambang pada tabung eppendorf yang digunakan untuk menganalisis DSA sosis. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis DSA sosis dengan penambahan nitrit hari ke-20 mengalami kenaikan (P<0,05) dibandingkan sosis hari ke-0 dan ke-10. Peningkatan nilai DSA ini juga disertai dengan meningkatnya nilai pH sosis pada periode penyimpanan ke-20. Nilai pH sosis frankfurter serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 6.

(45)

  33 meningkatnya daya serap sosis. Keringnya sampel disebabkan oleh retrogradasi pati dan rendahnya kelembaban di dalam refrigerator. Peningkatan nilai pH sosis itu sendiri yakni menjadi 6,403±0,15 (Tabel 6).

a b

Gambar 5. Gambar Analisis DSA Sosis Frankfurters pada Hari ke-20 Keterangan:

a. Sampel yang berwarna terang ialah sosis dengan penambahan nitrit dan sampel yang berwarna kemerahan ialah sosis dengan penambahan rosela 1% dan angkak 0,75% b. Bagian sampel yang mengambang dapat terlihat berada diatas permukaan air di dalam

tabung eppendorf

Nilai Kekenyalan Sosis Frankfurter

Kekenyalan adalah sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk tidak pecah akibat gaya tekan. Sifat kenyal atau elastis merupakan sifat reologi pada produk pangan plastis yang bersifat deformasi (Indriyani, 2007). Nilai rataan kekenyalan sosis dan perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Rataan Kekenyalan Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan Periode penyimpanan Perlakuan

Rosela-Angkak (%) Nitrit (%)

H0 29,871±6,54a 38,606±4,54b

H10 -* 15,530±5,09c

H20 -* -*

Keterangan: Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap kekenyalan sosis (P<0,05). -*) tidak dapat dianalisis.

(46)

menunjukkan tekstur yang berhubungan dengan struktur otot daging dan jumlah air dalam sosis serta dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan pada proses pembuatan sosis. Pada sosis dengan penambahan rosela dan angkak, sosis lebih lembek dibandingkan sosis dengan penambahan nitrit.

Kekenyalan pada produk emulsi dapat dipengaruhi oleh air yang ditambahkan pada saat rehidrasi. Jika ditinjau dari jumlah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kedua jenis sosis ini, maka tidak akan ditemukan adanya perbedaan terutama pada jumlah STPP, es dan tepung tapioka yang merupakan bahan penentu dari tingkat kekenyalan sosis itu sendiri kecuali pada penambahan kombinasi rosella-angkak dan nitrit. Pada sosis dengan penambahan rosela dan rosella-angkak dilakukan pengenceran terhadap bubuk rosela dan angkak terlebih dahulu sebelum ditambahkan ke dalam adonan sosis. Penambahan air pada proses pengenceran bubuk rosela dan angkak ini yang dapat mengakibatkan sosis dengan penambahan rosela dan angkak ini menjadi lebih lembek daripada sosis dengan penambahan nitrit. Penambahan air yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang terlalu lembek (Indriyani, 2007).

Analisa nilai kekenyalan sosis dengan campuran rosela dan angkak untuk periode hari ke-10 tidak dapat dilakukan lagi. Mesin Instron tipe 5542 yang digunakan untuk mengukur kekenyalan sosis tidak dapat mengukur kekenyalan sosis lagi. Hal ini dikarenakan sosis dengan penambahan rosela dan angkak sudah terlalu keras untuk dianalisa tingkat kekenyalannya dengan alat Instron tipe 5542 tersebut sehingga diputuskan analisa terhadap kekenyalan sosis rosela-angkak pada penelitian ini tidak dilanjutkan lagi. Analisa kekenyalan sosis dengan penambahan nitrit masih dapat dilaksanakan. Hasil yang didapat dari analisa kekenyalannya ialah nilai kekenyalan sosis menurun menjadi 15,530 % (P<0,05) dibandingkan dengan analisa hari ke-0. Ini juga disebabkan oleh mengerasnya sampel sosis karena penyimpanan dingin di referigerator.

(47)

  35 diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan.

Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan-perubahan tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001). Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan disajikan pada Tabel 5.

(48)

berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel disimpan selama beberapa hari, air dapat keluar dari bahan. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel pati disebut dengan sineresis (Manulang, 1990).

Uji Organoleptik Sosis Frankfurter

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik terhadap sampel sosis yang terdiri dari sosis yang berumur nol, sepuluh, dan dua puluh hari penyimpanan. Uji mutu hedonik dalam penelitian ini menggunakan 30 orang panelis semi terlatih. Parameter yang dinilai adalah warna, bau, lendir, kekenyalan, dan tekstur. Hasil uji mutu hedonik sosis frankfurter dapat dilihat pada Tabel 9untuk nilai rataannya.

Tabel 9. Nilai Rataan Uji Mutu Hedonik Sosis Frankfurters dengan Perlakuan Pemberian Nitrit dan Kombinasi Rosella dan Angkak pada Periode Penyimpanan yang Berbeda Kekenyalan 3,3±0,9 3,5±0,9 3,1±1,1 3,3±0,9 3±1,1 2,7±0,9 Tekstur 3,7±0,8 3,3±0,9 3,7±0,9 3,2±0,9 3,7±0,9a 3,1±0,9b

Keterangan: Skor nilai mutu dimulai dari nilai 1 (sangat gelap/sangat tengik/sangat

berlendir/sangat tidak kenyal/sangat kasar), 2 (gelap/tengik/berlendir/tidak kenyal/kasar), 3 (agak gelap/agak tengik/agak berlendir/agak kenyal/agak halus), 4 (pucat/tidak tengik/tidak berlendir/kenyal/halus) sampai nilai 5 (sangat pucat/sangat tidak tengik/sangat tidak berlendir/sangat kenyal/sangat halus).

Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Sebelum Simpan

(49)

  37 Gambar 6 menunjukkan perbedaan warna yang dimiliki oleh masing-masing jenis sosis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahan pengawet tambahan yang digunakan dalam proses pembuatannya. Gambar 6.a memliki warna merah yang jauh lebih gelap dibandingkan sosis pada gambar 6.b yang berwarna merah terang. Sosis pada gambar 6.a ditambahkan bubuk rosela dan angkak, sedangkan sosis pada gambar 6.b menggunakan nitrit. Warna gelap sosis kombinasi rosela-angkak disebabkan oleh penggunaan bahan tambahan yang digunakan untuk sosis itu sendiri yaitu rosela yang alaminya berwarna merah dan angkak yang berwarna merah gelap cenderung ke ungu. Hal ini serupa dengan penelitian Bloukas et al. (1998) dimana sosis frankfurter dengan bahan pewarna alami memiliki warna adonan yang lebih gelap dibandingkan dengan warna adonan sosis frankfurter yang menggunakan nitrit.

       

 

  a b

Gambar 6. Sosis Frankfurter

Keterangan: 6.a=Sosis Frankfurter dengan penambahan kombinasi 1% rosela : 0,75% angkak; 6.b=Sosis Frankfurter dengan penambahan nitrit.

(50)

3,3 (agak kenyal) untuk sosis nitrit dan 3,5 (kenyal) untuk sosis kombinasi rosela-angkak yang berarti sosis nitrit agak kenyal dan sosis kombinasi rosela-rosela-angkak lebih kenyal dibandingkan dengan sosis nitrit. Parameter terakhir yang termasuk dalam uji mutu hedonik untuk sosis frankfurter ini ialah tekstur sosis. Angka rataan menunjukkan 3,7 (agak halus) untuk sosis nitrit dan 3,3 (halus) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Ini berarti sosis nitrit memiliki tekstur yang sedikit lebih kasar jika dibandingkan dengan sosis kombinasi rosela-angkak. Hal ini disebabkan oleh sosis nitrit memiliki kandungan air yang sedikit lebih rendah dibandingkan sosis kombinasi rosela-angkak. Pada prosesnya, sosis kombinasi rosela-angkak menggunakan sedikit air untuk mengencerkan bubuk rosela dan bubuk angkak sebelum dicampurkan dengan adonan sosis sehingga kandungan air menjadi sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan sosis nitrit. Pada sosis nitrit, bubuk nitrit dimasukkan langsung dan tidak diencerkan terlebih dahulu sehingga tidak terjadi penambahan air pada adonan. Hal ini pula yang menyebabkan sosis nitrit agak lebih keras dibanding sosis kombinasi rosela-angkak.

Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-10

Hasil uji mutu hedonik sosis frankfurter dengan penambahan nitrit dan kombinasi rosela-angkak pada hari penyimpanan ke-10 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan berarti pada semua parameter yang diujikan. Angka rataan hasil uji organoleptik untuk warna sosis menunjuk pada angka 4 (agak pucat) untuk sosis nitrit dan 2,9 (gelap) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Uji berikutnya yaitu bau kedua jenis sosis. Hasil uji nilai mutu hedonik menunjukkan angka rataan yang tidak jauh berbeda pula dengan hari penyimpanan sebelumnya yaitu 4 (tidak tengik) untuk sosis nitrit dan 3,8 (tidak tengik) untuk sosis kombinasi rosela-angkak.

Gambar

Tabel 4. Pengaruh Beberapa Faktor dan Efek Deterioratif Pada Pangan
Tabel 5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak
Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Sosis (Syudhly, 2010)
Tabel 7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pertama , faktor-faktor penyebab kurang diperhatikan pelestarian naskah kuno di perpustakaan Museum Radya Pustaka, yaitu (1) belum adanya anggaran khusus untuk kegiatan

Hal ini dibuktikan dengan penelitian dari Tri Joko Raharjo dan Tri Suminar yang berjudul Studi Peran Pendidikan Nonformal dalam Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun

Oleh karena defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat menyebabkan kurangnya pembentukan NADPH, maka defisiensi enzim tersebut juga berakibat tidak terbentuknya

Strategi tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegitan yang harus dilakukan guru ketika mengelola kelas yaitu (1) penentuan tata tertib, strategi yang digunakan

Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa penerapan model pembelajaran sentra balok di PAUD Islam Makarima Kartasura, Sukoharjo tahun ajaran 2013 / 2014 pada pijakan

Jenis cerpen: tema remaja (sertakan biodata, alamat, nomor hp, nomor.. rekening bank dan foto) Mombi (majalah anak) Alamat Email:.

Hasil pengujian tersebut jika di implementasikan pada system aplikasi pemberkasan skripsi berbasis web, dapat di lihat pada gambar 3.1 yang menampilkan hasil pencarian

Pelatihan dirancang sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik (SKKNI AF) sehingga setelah pelatihan, peserta memenuhi syarat untuk