• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia Oleh Amerika Serikat Dan Eropa Selama Tahun 2002-2010"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISYS OF REASON OF INDONESIAN FOOD PRODUCT EXPORT

REFUSAL BY THE UNITED STATES AND EUROPE DURING THE YEARS

2002-2010

M. Angga Saputra and Purwiyatno Hariyadi

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone : +62 85695531418, E-mail : saput.angga@yahoo.co.id

ABSTRACT

Many detention and refusal case of food-product in foreign countries was occurring on each year. Indonesia as one of the country which exporting food-product to the overseas, often having detention and refusal case of food-product in United States and Europe. During the years of 2002-2010, Indonesia had experienced a case of rejection of food products in United States about 2608 cases and in Europe about 35 cases. Fishery products are a product with the highest number of rejection; it is about 1300 cases in United States and about 12 cases in Europe. The development in the case of rejection for food products that occurs every year during the years 2002-2010 showed a fluctuating growth. Based on the pareto chart, it is determined that the main problem of food products rejection cases that occurred in the US and Europe on fishery products is filthy and mercury. There are 2 factors that caused these problems based on the Ishikawa diagram. Those factors are the environments and humans

.

(2)

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Perubahan global secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan perdagangan internasional. Perubahan ini menuntut semua negara untuk berupaya optimal dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing. Salah satu syarat dalam menghasilkan produk ekspor yang berdaya saing adalah terjaminnya mutu dan keamanan produk khususnya produk pangan. Menurut Suryana (2006), era globalisasi perdagangan menuntut diterapkannya jaminan mutu seperti, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pangan dan persyaratan produksi yang berwawasan lingkungan (Ecolabelling), serta sistem pengelolaan keamanan pangan dalam ISO 22000 : 2005. Produk pangan ekspor yang tidak memenuhi jaminan mutu dan keamanan dapat ditahan dan ditolak masuk ke negara pengimpor.

Kasus penahanan dan penolakan produk pangan di luar negeri telah banyak terjadi setiap tahunnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri sering mengalami berbagai kasus penolakan dan penahanan ekspor pangan yang sebagian besar disebabkan oleh masalah mutu dan keamanan yang dianggap tidak memenuhi persyaratan internasional. Menurut data dari FDA (Food and Drug Administration), mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001) penolakan produk Indonesia untuk masuk ke Amerika Serikat. Sebanyak lebih dari 80 % kasus dari produk tersebut adalah produk pangan. Keamanan pangan digunakan oleh FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia (Hariyadi 2007). Masalah label juga menjadi alasan penolakan makanan kaleng asal Indonesia sepanjang 2000 sampai 2002. Pangan itu ditolak dengan alasan kotor (filthy) sebanyak 48,2 %, alasan tidak melampirkan informasi scheduled process (no process) 36,5 %, karena belum terdaftar sebagai produsen makanan kaleng (needs fce) 14,1 %, belum diberi label nutrisi 4,7 %, karena tulisan label berbahasa Indonesia dan sisanya tidak diketahui (Suryana 2006). Berdasarkan data dari FDA, pada tahun 2009 terjadi sekitar 239 kasus penolakan terhadap produk pangan ekspor Indonesia, sedangkan data dari Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed) menyebutkan bahwa terjadi 11 kasus penolakan produk ikan Indonesia pada tahun 2010. Alasan penolakan tersebut bermacam-macam mulai dari filthy (kotor), mengandung bahan kimia berbahaya serta mengandung nikroorganisme seperti Salmonella sp yang banyak mencemari produk ikan.

Semua hal tersebutlah yang menjadi dasar untuk melakukan analisa terhadap kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002 sampai 2010.

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui data jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002-2010.

2. Mengetahui jenis produk pangan dan alasan penolakannya di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 2002-2010.

(3)

2

4. Membandingkan kasus penolakan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun2002-2010.

5. Menganalisis penyebab terjadinya kasus penolakan produk pangan ekspor Indonesia selama tahun 2002-2010.

6. Memberikan saran agar kasus penolakan produk pangan dapat berkurang atau tidak terjadi kembali.

C.

MANFAAT PENELITIAN

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

KEAMANAN PANGAN

Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedang Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP No. 28 Tahun 2004). Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman (PP No. 28 Tahun 2004).

Keamanan pangan sudah menjadi masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam perdagangan internasional. Memasuki era perdagangan bebas, masalah mutu dan keamanan pangan memegang peranan yang sangat strategis. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Menurut Suryana (2006), era globalisasi perdagangan menuntut diterapkannya jaminan mutu seperti, Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pangan dan persyaratan produksi yang berwawasan lingkungan (Ecolabelling), serta sistem pengelolaan keamanan pangan dalam ISO 22000: 2005. Produk pangan ekspor yang tidak memenuhi jaminan mutu dan keamanan dapat ditahan dan ditolak masuk ke negara pengimpor.

Banyak produk pangan ekspor yang ditolak oleh negara-negara pengimpor karena tidak terjamin keamanannya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengekspor produk pangan ke luar negeri telah banyak mendapat kasus penolakan oleh FDA dan RASFF. Menurut data dari FDA, mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001) penolakan produk Indonesia untuk masuk ke AS. Sebanyak lebih dari 80 % kasus dari produk tersebut adalah produk pangan. Keamanan pangan digunakan oleh FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia (Hariyadi 2007). Pada tahun 2009 terjadi sekitar 239 kasus penolakan terhadap produk pangan ekspor Indonesia. Jadi, kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS, dilihat dari aspek mutu masih sangat memprihatinkan. Sebagian besar penolakan karena alasan keamanan pangan tersebut, yaitu sekitar 33-80 % (rata-rata 62 %),

ditolak karena alasan “filthy”. Secara umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut

mengandung “sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut”. Penyebab

(5)

4

Tidak hanya di AS saja terjadi kasus penolakan produk pangan Indonesia. Di Eropa oleh RASFF, produk pangan Indonesia juga banyak ditolak masuk karena alasan yang sama yaitu keamanan pangan. Berdasarkan data dari RASFF menyebutkan bahwa terjadi 11 kasus penolakan produk perikanan Indonesia pada tahun 2010. Produk perikanan ini mengandung Salmonella sp. yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia jika mengkonsumsinya.

B.

US-FDA (UNITED STATES - FOOD AND DRUG ADMINISTRATION)

FDA adalah lembaga di bawah Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat yang terdiri atas kantor dan pusat layanan. FDA bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin keamanan, khasiat dan keamanan obat-obatan manusia dan hewan, produk biologi, peralatan medis, suplai makanan untuk negara, kosmetik dan produk radiasi, dan mengatur pembuatan, pemasaran dan distribusi produk tembakau. FDA juga bertanggung jawab untuk memajukan kesehatan masyarakat dengan membantu mempercepat inovasi untuk membuat obat-obatan dan makanan lebih efektif, aman dan terjangkau, dan membantu masyarakat mendapatkan informasi yang akurat berbasis ilmiah untuk obat-obatan dan makanan, dan untuk mengurangi penggunaan tembakau untuk meningkatkan kesehatan.

Dalam menjamin kesehatan masyarakat, FDA memiliki undang-undang yang disahkan

oleh Presiden George W. Bush yang disebut “Public Health Security and Terorism Prepardnes

and Response Act of 2002” (Undang-Undang Mengenai Perlindungan Kesehatan Masyarakat dan Penangkalan Terorisme). Undang-undang ini selanjutnya disebut “Bioterorism Act” (Undang -Undang Bio-terorisme). -Undang-undang Bio-terorisme terdiri atas judul lima judul:

1. National Preparedness for Bioterrorism and Other Public Health Emergencies 2. Enhancing Controls on Dangerous Biological Agents and Toxins

3. Protecting Safety and Security of Food and Drug Supply 4. Drinking Water Security and Safety

5. Additional Provisions

Pada undang-undang tersebut yang erat kaitannya dengan aktivitas ekspor dari negara luar AS adalah ketentuan yang tertuang pada judul III (Protecting Safety and Security of Food and Drug Supply). Peraturan ini berlaku untuk pengusaha atau importir bahan makanan di AS. Sebagian besar pasokan bahan pangan berasal dari luar AS sehingga importir AS akan meminta eksportir terkait mengirim data atau informasi untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh Pemerintah AS. Judul III memuat empat pasal yang menjelaskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Keharusan mendaftar fasilitas yang digunakan (Pasal 305). Ketentuan ini mengharuskan pemilik atau pengelola atau agen yang mengelola suatu fasilitas pangan baik di dalam negeri (AS) maupun diluar negeri untuk mendaftar (alamat, pemilik, dan lain-lain) kepada US-FDA. Pengertian fasilitas adalah pabrik, gudang, pabrik pengemas yang membuat, memproses, mengemas, dan menyimpan bahan pangan. Pendaftaran ini dapat dilakukan oleh importir yang berasal di AS dengan meminta eksportir Indonesia mengisi formulir yang telah disediakan.

(6)

5

adalah yang membuat, memproses, mengemas, membawa, mendistribusikan, menerima, menyimpan, dan mengimpor bahan pangan.

3. Pemberitahuan awal bagi bahan pangan impor yang dikapalkan (Pasal 307). Ketentuan ini mengatur importir agar menyampaikan pemberitahuan awal kepada US-FDA mengenai bahan pangan yang akan dikapalkan. Pemberitahuan ini harus mencakup deskripsi lengkap produk, nama pembuat (pabrik), nama kapal, nama petani bila diketahui, negara asal, negara di mana produk dikapalkan, dan pelabuhan tujuan.

4.

Penahanan administratif (Pasal 303). Ketentuan ini memberi wewenang kepada Menteri Pertanian AS melalui US-FDA untuk memerintahkan penahanan bahan pangan bila seorang pejabat atau petugas yang berwenang menemukan bukti yang meyakinkan atau informasi yang menunjukan bahan yang dapat memberikan dampak negartif atau buruk atau kematian bagi manusia atau hewan.

Selain UU Bio-terorisme, FDA juga memiliki peraturan dalam hal impor produk pangan yaitu Food, Drug, and Cosmetic Act. (UU FD&C). Dalam peraturan tersebut FDA dapat melakukan penahanan terhadap produk pangan yang masuk tanpa ada pemerikasaan fisik terlebih dahulu jika produk pangan tersebut berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Penahanan ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga negara atau lokal yang telah melakukan analisis terhadap produk pangan yang masuk dan FDA telah menetapkan bahwa pengambilan sampel dan pengujian yang dilakukan adalah akurat, diterima dan mewakili dari

produk tersebut. Pada Pasal 801 (a) UU FD&C menyatakan, “jika dalam pemeriksaan sampel

tersebut atau dinyatakan pada Pasal (1) produk tersebut telah diproduksi, diproses, atau dikemas dalam kondisi tidak bersih atau fasilitas atau pengendalian dalam pembuatan, pengepakan, penyimpanan, atau instalasi tidak memenuhi pesyaratan Pasal 520 (f), atau Pasal (2) produk tersebut dilarang atau dibatasi dalam penjualan di negara dimana produk diproduksi atau dari mana produk diekspor, atau Pasal (3) produk tersebut tercemar, misbranded, atau melanggar

Pasal 505, maka produk tersebut akan ditolak masuk.”

FDA akan melakukan penahanan terhadap beberapa produk seperti berikut: 1. Produk tersebut dapat menyebabkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan.

2. Produk (segar, beku, atau olahan) yang memiliki tingkat residu pestisida, alfatoksin, dan kontaminan kimia diatas batas.

3. Produk makanan kaleng asam rendah atau makanan yang diasamkan (kegagalan dalam proses pada suatu produk atau tidak terregristrasi).

4. Produk dengan informasi tentang bahan produk atau formulasi yang tidak jelas. 5. Produk yang tidak memberitahukan perubahan perangkat dan tidak sesuai dengan

Pasal 510 (k) atau tentang permohonan persetujuan untuk pemasaran.

6. Produk yang memiliki pelanggaran pada pelabelan atau tidak sesuai dengan NLEA (Nutritional Labeling and Education Act).

C.

UNI EROPA-RASFF (

RAPID ALERT SYSTEM FOR FOOD AND FEED

)

(7)

6

juga dipengaruhi oleh masalah. Setiap kali produk sudah ada di pasar dan tidak boleh dikonsumsi, pemerintah negara-negara anggota akan dalam posisi untuk mengambil langkah-langkah mendesak, termasuk memberikan informasi langsung kepada masyarakat.

Jaringan RASFF melibatkan negara anggota Uni Eropa, negara-negara European Economic Area (EEA) seperti Norwegia, Liechtenstein dan Islandia, Sekretariat Economic Free Trade Association (EFTA) mengkoordinasikan masukan dari negara-negara EEA, European Food Safety Authority (EFSA) dan Komisi sebagai pengelola sistem.

Sistem pertukaran cepat merupakan hasil konkret dan nyata tentang integrasi Eropa. Petukaran cepat informasi tentang resiko pangan dan pakan terkait, memastikan tindakan yang koheren dan simultan oleh semua negara anggota. Negara-negara anggota menggunakan template (lembaran) untuk menyediakan semua informasi yang relevan dan berguna seperti identifikasi produk, bahaya yang ditemukan, kebijakan yang diambil dan informasi penelusuran produk. Jika produk berbahaya terdapat di pasar, maka negara-negara anggota akan melapor kepada Komisi Eropa melalui RASFF tentang apa yang telah ditemukan dan langkah-langkah yang telah dilakukan.

Anggota RASFF masing-masing memiliki penghubung yang ditunjuk untuk bertanggung jawab mengirimkan pemberitahuan RASFF kepada Komisi dimana sebelumnya telah dilakukan suatu tindakan yaitu inspektur pangan atau pakan telah memerikasa produk di pasar atau di perbatasan. Mereka mungkin telah mengambil sampel dan telah menerima hasil dari laboratorium. Jika ditemukan bahwa tidak ada keluhan pada produk maka perlu dilaporkan di dalam sistem nasional. Kewenangan memutuskan masalah berada di bawah lingkup RASFF dan melaporkan ke penghubung nasional RASFF. Penghubung nasional memverifikasi dan melengkapi pemberitahuan RASFF yang diperlukan dan meneruskannya kepada Komisi Eropa dengan menggunakan template. Template merupakan formulir pemberitahuan RASFF untuk memberikan rincian dari temuan dan tindakan yang diambil serta menambahkan dokumen yang relevan seperti tagihan, daftar perusahaan, laporan analitis, dll.

Beberapa tipe pemberitahuan yang diinformasikan melalui RASFF adalah sebagai berikut: 1. Alert notifications

Sebuah „pemberitahuan peringatan‟ atau „peringatan‟ akan dikirim melalui RASFF ke

negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan. Peringatan yang dilakukan oleh anggota jaringan yang mendeteksi masalah dan telah melakukan tindakan yang relevan seperti penarikan. Pemberitahuan ini bertujuan untuk memberikan informasi ke semua anggota jaringan untuk memverifikasi apakah produk yang bersangkutan telah beredar di pasar, sehingga anggota jaringan dapat mengambil tindakan yang diperlukan. Produk yang bersangkutan telah ditarik atau sedang dalam proses penarikan dari pasar. Negara-negara anggota memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan tindakan, seperti menyediakan informasi secara detail melalui media jika perlu.

2. Information notifications

Sebuah „pemberitahuan informasi‟ menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar

negara yang memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat, karena pangan atau pakan belum mencapai pasar atau tidak ada di pasar (pada negara-negara anggota selain negara yang memberitahukan).

(8)

7

Suatu „pemberitahuan batas penolakan‟ menyangkut suatu pangan dan pakan yang

ditolak masuk masyarakat karena alasan resiko terhadap kesehatan manusia dan hewan.

4. News notifications

Suatu „pemberitahuan berita‟ menyangkut setiap jenis informasi yang berhubungan

(9)

III

.

METODE PENELITIAN

A.

PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder mengenai jenis produk pangan dan penyebab penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat dan Eropa. Data penolakan produk pangan Indonesia oleh Amerika Serikat diperoleh dengan cara mengakses data ke website (www.accessdata.fda.gov/scripts/importrefusals) melalui internet yang dipublikasikan oleh US-FDA (United State-Food and Drug Administration), sedangkan data penolakan produk pangan indonesia oleh Eropa diperoleh dengan cara mengakses ke website (www.webgate.ec.europa.eu/rasff-window/portal) melalui internet yang di publikasikan oleh Europa-RASFF (Europa-Rapid Alert System for Food and Feed). Data yang diambil adalah data dari tahun 2002 sampai 2010. Untuk data yang diperoleh melalui website FDA hanya berupa data produk pangan yang mengalami penolakan selain produk pangan, produk obat-obatan dan produk jamu herbal yang juga mengalami penolakan tidak diambil datanya. Selain itu dengan melihat RASFF Annual Report 2002-2009 untuk membandingkan dengan negara lain.

B.

PENGELOMPOKAN DATA

Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan berdasarkan jenis produk pangan, tahun ekspor, dan alasan penolakan. Kelompok berdasarkan jenis produk pangan terbagi menjadi beberapa kelompok lagi yaitu kelompok produk hasil perikanan, kelompok produk hasil pertanian dan perkebunan, dan kelompok produk hasil peternakan. Kelompok berdasarkan jenis produk pangan dibuat untuk mengetahui jenis produk pangan yang terbanyak mengalami penolakan. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan sesuai dengan tahun ekspor produk tersebut yaitu pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2010. Kelompok berdasarkan tahun dibuat untuk mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan informasi yang ada pada data di website FDA dan RASFF.

C.

ANALISIS DATA

(10)

9

sebab-akibat sering juga disebut sebagai Diagram Tulang Ikan (Fish Bone Diagram). Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin (memiliki peluang) menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Secara umum terdapat lima faktor yang berpengaruh yaitu :

1. Lingkungan 2. Manusia 3. Metode 4. Bahan

5. Mesin peralatan

(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI

AMERIKA SERIKAT OLEH US-FDA

Selama tahun 2002-2010, Indonesia mengalami kasus penolakan di Amerika Serikat sebanyak 2608 kasus penolakan produk pangan selain produk obat-obatan dan jamu herbal. Setiap tahunnya terjadi lebih dari 200 kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat oleh US-FDA dengan rata-rata tiap tahun terjadi 289 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan produk pangan tiap tahunnya selama tahun 2002-2010 tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan jumlah kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Perkembangan kasus penolakan produk pangan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukan perkembangan yang fluktuatif atau naik-turun. Berdasarkan Gambar 1. menunjukan bahwa jumlah kasus terbanyak terjadi pada tahun 2007 dengan 367 kasus dan terkecil pada tahun 2002 dengan jumlah 204 kasus. Pada tahun 2006-2010 menunjukan peningkatan jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2002-2005 meskipun pada tahun 2004 jumlah kasus penolakan yang terjadi cukup tinggi.

Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat melibatkan banyak jenis produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Jumlah penolakan yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :

0 50

100

150 200 250 300 350 400

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ju

m

lah

K

as

u

s

(12)

11

Gambar 2. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami kasus penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Berdasarkan Gambar 2 tersebut, jenis produk pangan yang paling banyak mengalami penolakanan adalah jenis produk seafood seperti ikan, udang dan kepiting. Jumlah kasus penolakan dari ketiga jenis produk pangan ini mencapai 80% dari total kasus yang terjadi atau sebanyak 2088 kasus selama tahun 2002-2010. Ikan merupakan jenis produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan yaitu sebesar 1300 kasus atau hampir 50% dari total kasus yang terjadi. Selain produk seafood juga terdapat produk minuman, bumbu-bumbuan, rempah-rempah, cumi-cumi dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan kumpulan jenis produk yang mengalami penolakan dibawah 50 kasus. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk pangan untuk produk lainnya tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Jumlah kasus dan jenis produk pangan untuk produk lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

ikan 50% udang 22% kepiting 8% produk minuman 3% bumbu-bumbuan 3% rempah-rempah 2% cumi-cumi

1% produk lainnya11%

n = 2608 kasus

0 10 20 30 pr oduk pe rm en pr oduk kue sa os s am ba l da n ke ca p ke rupuk gul a ag ar -a ga r da n je lli pr oduk ins ta nt ka ri (gul ai) bum bu pe ce l ata u ga do -ga do mie bum bu se m ur pr oduk bis kui t sa ra ng bur ung pr odu k s up ka ca ng pr oduk c okl at pr oduk de ss er t as in an bua h bua h da n s ay ur an pr oduk s ela i te pung ge la ti n pr oduk ta m ar in d (pa ste … pr oduk s na ck pr oduk c am pur an

Ju

m

lah

K

as

u

s

(13)

12

Berdasarkan Gambar 3 menunjukan bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan lainnya tidak menunjukan perbedaan jumlah kasus yang terlalu besar atau signifikan antara satu produk dengan produk lainnya hanya produk permen dan kue yang menunjukan jumlah kasus sedikit lebih tinggi. Selain itu terdapat produk campuran yang merupakan gabungan beberapa produk dengan jumlah kasus satu kasus saja.

Produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 tidak setiap tahunnya mengalami penolakan. Produk pangan dengan jumlah kasus penolakan tertinggi seperti produk seafood mengalami penolakan setiap tahunnya, sedangkan produk pangan lainnya tidak setiap tahunnya mengalami penolakan bahkan ada beberapa produk yang hanya mengalami penolakan pada tahun-tahun tertentu saja. Produk seafood yang mengalami penolakan setiap tahunnya menunjukan kasus penolakan yang fluktuatif. Produk ikan pada tahun 2002-2004 mengalami penurunan persentase jumlah kasus dan meningkat pada tahun 2005-2010. Produk udang menunjukan penurunan persentase jumlah kasus pada tahun 2005-2010 meskipun masih mengalami perkembangan yang fluktuatif. Produk kepiting pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun lainnya. Perkembangan kasus penolakan untuk produk seafood selama tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan persentase kasus penolakan yang terjadi pada produk pangan seafood (ikan, udang, kepiting) di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Selain produk seafood, produk pangan lainnya juga mengalami perkembangan kasus penolakan yang cukup beragam. Produk minuman pada tahun 2002-2008 secara umum menunjukan perkembangan persentase jumlah kasus penolakan yang meningkat. Produk bumbu mengalami penolakan pada tahun 2004-2007 serta tahun 2009 dan pada tahun 2006 dan 2007 menunjukan persentase jumlah kasus penolakan yang sangat signifikan. Produk cumi-cumi mengalami peningkatan persentase jumlah kasus sejak tahun 2002 dan tertinggi pada tahun 2009 tetapi pada tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Produk saos, sambal, dan kecap pada tahun 2007 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi dengan perkembangan yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Produk mie hanya mengalami penolakan pada tahun 2004-2006 dan pada tahun 2004 menunjukan persentase jumlah kasus yang sangat tinggi. Produk coklat hanya terjadi pada tahun 2002 dan tahun 2009-2010 dimana tahun 2010 menunjukan persentase jumlah

0.00

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

P

e

r

se

n

ta

se

(%

)

Tahun

(14)

13

kasus penolakan yang tertinggi. Gambar yang menunjukan perkembangan kasus penolakan produk lainnya yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran.

Berdasarkan data kasus penolakan produk pangan Indonesia, terlihat jelas bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang paling banyak mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010. Indonesia merupakan negara kepulauan yang menghasilkan produk ikan atau olahannya yang sangat besar. Jenis ikan yang diekspor ke Amerika Serikat bermacam-macam seperti tuna, snapper, grouper, mahi-mahi, swordfish, kingfish, opakapaka, tilapia, dan produk ikan lainnya. Setiap tahunnya terjadi kasus penolakan produk ikan mencapai lebih dari 50 kasus bahkan lima tahun terakhir mencapai lebih dari 100 kasus penolakan. Jumlah kasus penolakan dan jenis produk ikan yang diekspor dan mengalami penolakan Amerika Serikatdapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (US-FDA 2011).

Jumlah kasus terbanyak terjadi pada produk ikan tuna yaitu dengan 811 kasus atau mencapai 62% dan ikan kakap dengan 17% dari jumlah produk ikan yang mengalami penolakan. Produk ikan seperti ikan mahi-mahi, todak, kerapu, tenggiri, dan kakap putih hanya mengalami penolakan dengan jumlah kasus dibawah 5%. Produk ikan lainnya merupakan produk ikan yang terdiri dari beberapa jenis ikan dan produk olahannya dengan jumlah kasus yang sedikit. Jumlah dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan tersaji pada Gambar 6.

ikan tuna 62% ikan kakap

17% produk ikan

lainnya 7%

mahi-mahi

4%

ikan todak

3% kerapu

3%

tenggiri

2% kakap putih 2%

(15)

14

Gambar 6. Jumlah kasus dan jenis produk ikan lainnya yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa jumlah kasus penolakan yang terjadi pada produk ikan tersebut kurang dari 20 kasus atau dibawah 1% dari total kasus penolakan produk ikan yang terjadi selama tahun 2002-2010. Ikan olahan merupakan produk ikan yang telah mengalami pengolahan dan tidak diketahui jenis ikannya. Ikan lainnya merupakan produk ikan dengan jumlah kasus penolakan sebanyak 1 kasus.

Produk ikan tuna yang mengalami penolakan di Amerika Serikat sebagian besar dapat digolongkan menjadi beberapa jenis produk yaitu produk tuna beku, produk tuna segar, produk tuna kalengan, produk tuna mentah, dan produk tuna lainnya. Produk tuna beku merupakan produk ikan tuna dengan kasus penolakan terbesar yaitu sebesar 88% atau 713 kasus. Produk ikan tuna lainnya yang mengalami penolakan yaitu produk tuna mentah, produk tuna segar, produk tuna kalengan dan produk ikan tuna lainnya. Jumlah persentase produk ikan tuna yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 7.

0

2 4 6 8 10 12 14 16

Ju

m

lah

K

as

u

s

(16)

15

Gambar 7. Jumlah kasus dan jenis produk ikan tuna yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Penolakan yang terjadi pada produk pangan asal Indonesia tidak terlepas dari alasan penolakan atas produk tersebut. Alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut beragam macamnya dan sesuai dengan sistem yang ada pada masing-masing negara. Jenis alasan dan jumlah penolakannya pada produk pangan ekspor asal Indonesia di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 8. berikut ini:

Gambar 8. Jenis alasan dan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan yang ditolak oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (US-FDA 2011).

Alasan penolakan yang terjadi pada produk pangan ekspor asal Indonesia terbanyak adalah karena alasan filthy, Salmonella, no process, needs fce, vetdrugres, dan histamine. Keenam alasan ini mencapai lebih dari 70% dari total jumlah kasus yang terjadi atau sebanyak 2673 kasus dari 3382 kasus. Jumlah kasus ini melebihi dari jumlah produk yang mengalami penolakan yaitu 2608 kasus. Hal ini karena pada beberapa produk mengalami penolakan dengan alasan yang dapat

produk tuna beku 88% tuna mentah

8%

tuna segar 2%

tuna kalengan

1% produk tuna lainnya 1%

n = 811 kasus

filhty 39%

salmonella 23%

no process 6% needs fce

4% vetdrugres

3% histamine

3%

unsafe col 3%

nutrit lbl 2% chloramp

2% poisonous2% list ingre

2%

lacks n/c 1%

other 10%

(17)

16

mencapai lebih dari dua alasan. Alasan filthy merupakan alasan yang paling banyak terjadi yaitu sebesar 1326 kasus. Alasan ini terjadi jika dalam produk pangan tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut (Hariyadi dan Andarwulan 2007). Alasan Salmonella terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung Salmonella, zat beracun dan merusak yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Salmonella merupakan salah satu bakteri patogen yang berperan penting sebagai indikator keamanan dan berpengaruh sangat besar pada kesehatan manusia. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan pangan di negara sedang berkembang dan negara berkembang (Del-Portillo 2000 dalam Fredy 2010). Salmonella di dalam pangan perlu mendapat perhatian karena umumnya terdapat dalam jumlah kecil tetapi jumlah tersebut cukup untuk menimbulkan gejala penyakit (Jenie dan Fardiaz 1989). Kasus dengan alasan Salmonella terjadi sebanyak 788 kasus. No process merupakan alasan penolakan jika produsen dari produk pangan tersebut tidak mengajukan informasi tentang proses yang dijadwalkan (scheduled process) seperti yang dipersyaratkan oleh 21 CFR 108,25 (c) (2) atau 108,35 (c) (2) (FDA 2011). Kasus penolakan dengan alasan no process terjadi sebanyak 210 kasus. Needs fce terjadi jika produsen produk pangan tersebut tidak terdaftar sebagai produsen makanan kaleng berasam rendah atau makanan kaleng yang diasamkan sesuai dengan 21 CFR 108,25 (c) (1) atau 108,35 (c) (1) (FDA 2011). Kasus dengan alasan needs fce terjadi sebanyak 144 kasus. Vetdrugres merupakan alasan yang terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung obat untuk hewan (konversi dari produk sejenisnya) yang tidak aman seperti dalam pasal 512 tentang kandungan pangan (FDA 2011). Vetdrugres terjadi sebanyak 105 kasus. Alasan histamine terjadi jika pada produk pangan tersebut mengandung histamine, zat beracun dan merusak dengan jumlah yang dapat membahayakan kesehatan (FDA 2011). Keberadaan histamine dalam jumlah yang besar pada ikan yang mengalami pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan – ikan golongan Scombroidae (Taylor 1983 dalam Naibaho 2010). Histamine terjadi sebanyak 100 kasus. Selain keenam alasan tersebut terdapat juga alasan lain yang jumlah kasusnya dibawah 100 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan untuk alasan lainnya yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 9.

(18)

17

Alasan lainnya yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan berdasarkan Gambar 9 menunjukan bahwa alasan yang terjadi memiliki kasus dibawah 30 kasus dan antara alasan satu dengan yang lain memiliki jumlah kasus penolakan yang tidak berbeda jauh atau tidak terlalu signifikan dengan alasan lainnya yang juga mengalami penolakan. Alasan lainnya (other) merupakan gabungan dari beberapa alasan yang mengalami penolakan dengan jumlah kasus penolakan yang terjadi sebanyak satu kasus.

Alasan penolakan yang terjadi selama tahun 2002-2010 menunjukkan perkembangan yang fluktuatif dan cukup berbeda satu dengan yang lainnya. Alasan filthy dan salmonella menunjukan perkembangan yang fluktuatif dengan persentase jumlah kasus penolakan yang tinggi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010. No process dan needs fce merupakan alasan pada produk yang mengalami proses sterillisasi menunjukan perkembangan kasus yang juga fluktuatif dan persentase jumlah penolakan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan tahun berikutnya menunjukan penurunan jumlah kasus. No process dan needs fce dikelompokan menjadi satu yaitu process thermal. Perkembangan kasus untuk alasan filthy, salmonella dan process thermal dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Perkembangan kasus penolakan yang terjadi untuk alasan filthy, salmonella, process thermal di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011). Alasan lain yang juga menunjukan perkembangan kasus yang berbeda adalah vetdrugres yang menunjukan persentase kasus penolakan tertinggi pada tahun 2004 dan tahun berikutnya menunjukan penurunan jumlah kasus. Alasan chloramp menunjukan peningkatan persentase jumlah kasus mulai dari tahun 2008-2010. Poischlor hanya terjadi pada tahun 2004-2006 dengan persentase jumlah kasus yang cukup tinggi. Alasan transfat terjadi pada tahun 2007-2009 dengan tahun 2008 menunjukan kasus yang tertinggi. Alasan lain yang cukup berbeda adalah juice% dan listeria yang hanya terjadi pada satu tahun yaitu tahun 2008 untuk juice% dan tahun 2010 untuk listeria. Perkembangan kasus penolakan untuk alasan yang terjadi terlampir pada lampiran.

Alasan yang terjadi pada produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama tahun 2002-2010, menunjukan bahwa terdapat 4 alasan dengan jumlah kasus yang cukup besar atau berbeda signifikan dengan alasan lainnya yaitu alasan filthy, salmonella, no process dan needs fce. Alasan filthy terjadi hampir disemua produk pangan yang mengalami penolakan sedangkan untuk alasan salmonella, needs fce dan no process hanya terjadi pada

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

90.00

100.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

P

e

r

se

n

ta

se

(%

)

Tahun

filhty

salmonella

(19)

18

beberapa produk tertentu saja. Jenis produk yang memiliki alasan penolakan karena filthy tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Alasan filthy terjadi sebanyak 1326 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan filthy terbanyak terjadi pada produk ikan dengan 63% dari 1326 kasus yang terjadi atau sebanyak 838 kasus. Selain produk ikan produk pangan lain yang juga mengalami penolakan karena alasan filthy adalah udang, kepiting, cumi-cumi, gula, produk kerupuk dan produk lainnya. Produk lainnya merupakan produk pangan yang ditolak dengan alasan filthy kurang dari 10 kasus. Berdasarkan Gambar 11 alasan filthy lebih banyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang, kepiting, dan cumi-cumi.

Seperti halnya alasan filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk pangan seafood seperti produk ikan dan udang. Alasan salmonella pada produk pangan terjadi sebanyak 788 kasus selama tahun 2002-2010. Produk udang dan ikan merupakan produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella terbanyak yaitu sebesar 46% dari 788 kasus yang terjadi. Selain produk udang dan ikan produk pangan lain yang menerima alasan salmonella adalah rempah-rempah, cumi-cumi, dan produk lainnya, yang merupakan produk yang memiliki alasan salmonella kurang dari 10 kasus. Seperti halnya filthy, alasan salmonella juga banyak terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi. Jenis produk yang ditolak karena lasan salmonella tersaji pada Gambar 12.

ikan 63% udang

25% kepiting

4%

cumi-cumi

2% gula

1% kerupuk

1% produk lainnya4%

(20)

19

Gambar 12. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan salmonella di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

Needs fce dan no process merupakan alasan yang terjadi pada produk yang mengalami proses tertentu seperti proses sterillisasi. Berbeda dengan alasan filthy dan salmonella, alasan needs fce dan no process hanya terjadi pada beberapa produk saja. Alasan needs fce dan no process terjadi sebanyak 354 kasus selama tahun 2002-2010. Produk pangan yang menerima penolakan dengan alasan needs fce dan no process terbanyak adalah bumbu-bumbuan sebesar 31% atau sebanyak 111 kasus. Produk lainnya yang memiliki alasan needs fce dan no process adalah produk minuman, saus, sambal dan kecap, produk makanan instant, kari (gulai), bumbu semur, produk sup dan produk lainnya, yang merupakan produk pangan dengan alasan needs fce dan no process dibawah 10 kasus. Jenis produk pangan yang memiliki alasan needs fce dan no process tersaji pada Gambar 13.

Gambar 13. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan karena alasan needs fce dan no process di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

udang 46% ikan

46% rempah-rempah

4%

cumi-cumi 1%

produk lainnya 3%

n = 788 kasus

bumbu-bumbuan 31%

minuman 24%

saus sambal dan kecap

10% produk instant

6% kari (gulai)

6% bumbu semur

5%

produk sup 4%

produk lainnya 14%

(21)

20

Produk ikan yang merupakan produk pangan terbanyak mengalami penolakan oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 memiliki alasan penolakan yang yang cukup banyak antara lain filthy, Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan alasan lain atau other. Alasan penolakan karena filthy merupakan kasus yang banyak terjadi yaitu sebesar 57% total produk ikan yang mengalami penolakan yaitu 1300 kasus. Beberapa produk ikan ada yang memiliki alasan penolakan lebih dari satu alasan. Selain alasan filthy, produk ikan tuna juga mengalami penolakan karena alasan mengandung Salmonella, histamine, poisonous, lacks n/c, list ingre dan karena alasan lain atau other yaitu alasan dengan jumlah kasus dibawah 20 kasus. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 14. dibawah ini:

Gambar 14. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan di USA oleh US-FDA selama tahun 2002-2010 (FDA 2011).

B.

KASUS PENOLAKAN PRODUK PANGAN EKSPOR INDONESIA DI

EROPA OLEH EUROPA-RASFF

Berbeda dengan kasus yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa terdapat sistem tersendiri untuk mengatasi produk pangan yang beresiko membahayakan kesehatan masyarakat di Eropa oleh Europa-RASFF. Europa-RASFF memiliki notification atau pemberitahuan bagi produk pangan yang diidentifikasi dapat membahayakan kesehatan. Notification ini terdiri dari 4 jenis yaitu alert, information, border rejection, dan news notification.

Kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah di Eropa atau yang menerima notification oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 sebanyak 327 kasus. Kasus produk pangan bermasalah ini setiap tahunnya terjadi dengan jumlah yang berbeda-beda dengan rata-rata setiap tahun terjadi 36 kasus. Selama tahun 2002-2010 perkembangan kasus yang terjadi tidak stabil atau fluktuatif. Pada tahun 2004 terjadi kenaikan jumlah kasus yang cukup tinggi tetapi jumlah kasus menurun sampai dengan tahun 2008 dan kembali naik sampai tahun 2010. Tahun 2004 merupakan tahun dengan jumlah kasus tertinggi yaitu dengan 70 kasus dan tahun 2008 merupakan tahun dengan jumlah kasus terendah yaitu dengan 15 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi untuk produk pangan bermasalah atau menerima notification oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 15.

filthy 57% salmonella

25% histamine

6%

poisonous 2%

lacks n/c 1%

list ingre 1%

other 8%

(22)

21

Gambar 15. Perkembangan kasus yang terjadi pada produk pangan bermasalah di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Produk pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa oleh Europa-RASFF menerima 3 notification yaitu alert, information dan border rejection notification. Alertnotification merupakan sebuah „pemberitahuan peringatan‟ atau „peringatan‟ akan dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki resiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan

sebuah „pemberitahuan informasi‟ menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang

memberitahukan dimana resiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Jumlah dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

0 10 20 30 40 50 60 70 80

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ju

m

lah

K

as

u

s

Tahun

alert notification 25%

border rejection 11% information

notification 64%

(23)

22

Sebanyak 326 kasus yang terjadi 64% merupakan information notification, 25% alert notification, dan 11% border rejection notification. Hal ini berarti sebanyak 89% produk pangan diketahui memiliki masalah atau dapat membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Eropa dan 11% produk pangan telah ditolak masuk ke pasar karena teridentifikasi membahayakan kesehatan.

Jumlah notification yang diterima oleh produk pangan Indonesia selama tahun 2002-2010 setiap tahunnya berbeda. Jumlah notification yang diterima produk pangan Indonesia setiap tahunnya tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Jumlah persentase notification yang terjadi setiap tahunnya pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Berdasarkan Gambar 17 alert dan information notification terjadi setiap tahunnya dengan persentase jumlah kasus tiap tahunnya tidak sama. Information notification merupakan notification yang banyak terjadi selama tahun 2002-2010 pada produk pangan Indonesia. Sama halnya dengan information notification, alert notification juga terjadi setiap tahunnya selama tahun 2002-2010 meskipun dengan jumlah kasus yang terjadi lebih sedikit. Kedua notification ini menunjukan perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya dengan kenaikan dan penurunan kasus yang tidak sama.

Berbeda dengan alert dan information notification, border rejection notification hanya terjadi pada tahun 2008-2010 dengan persentase jumlah kasu yang terjadi cukup tinggi. Hal ini berarti kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 hanya terjadi pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada tahun 2008 border rejection notification terjadi sebanyak 11 kasus, tahun 2009 terjadi sebanyak 8 kasus dan tahun 2010 terjadi sebanyak 16 kasus. Perkembangan kasus yang terjadi juga menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya. Kasus penolakan produk pangan terbanyak terjadi pada tahun 2010 dengan 16 kasus penolakan.

Jenis produk pangan bermasalah atau menerima notification di Eropa ini terbagi dalam beberapa jenis produk pangan dengan jumlah kasus tertinggi. Jumlah kasus yang terjadi untuk setiap jenis produk pangan oleh Europa-RASFF dapat dilihat pada Gambar 18. dibawah ini:

0.00 10.00

20.00

30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

P

e

r

se

n

tas

e

(%

)

Tahun

alert

(24)

23

Gambar 18. Jumlah kasus dan jenis produk pangan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Produk yang mengalami kasus terbanyak adalah ikan yaitu sebanyak 184 kasus, diikuti udang sebanyak 77 kasus, rempah-rempah sebanyak 27 kasus, produk daging sebanyak 10 kasus dan produk lainnya sebanyak 29 kasus. Produk lainnya merupakan produk pangan yang memiliki kasus atau menerima notification dibawah 10 kasus. Berdasarkan Gambar 18, terlihat produk ikan memiliki jumlah kasus yang sangat signifikan perbedaannya dengan produk lainnya. produk ikan yang bermasalah atau menerima notification mencapai lebih dari dua kali lipat produk lainnya. Jumlah dan jenis produk lainnya yang teridentifikasi berbahaya tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19. Jumlah kasus dan jenis produk pangan lainnya yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Gambar 19 menunjukan jumlah kasus yang terjadi pada produk pangan lainnya yang bermasalah atau menerima notification selama tahun 2002-2010. Jumlah kasus pada produk

ikan 56% udang

24%

rempah-rempah

8%

daging 3%

produk lainnya

9%

n = 327 kasus

0 2 4 6

Ju

m

lah

K

as

u

s

(25)

24

pangan tersebut kurang dari 10 kasus dan setiap produk pangan memiliki jumlah kasus yang tidak terlalu berbeda jauh.

Produk ikan dan udang merupakan produk dengan jumlah kasus tertinggi atau mencapai 80% dari total jumlah kasus yang terjadi dengan ikan sebanyak 56% dan 24% untuk udang. Produk ikan terbagi menjadi 5 produk yaitu ikan beku, ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya. Jumlah kasus dan jenis produk ikan dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang teridentifikasi berbahaya di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Produk ikan beku merupakan produk dengan jumlah kasus yang terbanyak yaitu 43% dari 184 kasus atau dua kali lipat dari jumlah kasus yang terjadi pada produk ikan yang lain seperti produk ikan utuh, ikan segar, chilled fish, dan produk ikan lainnya dengan jumlah kasus di bawah 40 kasus.

Produk pangan Indonesia menerima notification yang berbeda jenis notification dan jumlahnya untuk setiap jenis produk pangan. Jumlah kasus pada tiap jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 21.

ikan beku 43%

ikan utuh 22% ikan segar

17% produk ikan

lainnya 11%

chilled fish 7%

(26)

25

Gambar 21. Jumlah kasus dan jenis notification yang terjadi pada produk pangan Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Information notification terlihat mendominasi pada setiap jenis produk pangan. Pengecualian terjadi pada produk pangan herb and spices dimana alert notification lebih banyak terjadi. Banyaknya information notification yang terjadi pada produk pangan mengindikasikan bahwa produk pangan asal Indonesia yang telah beredar dipasar telah teridentifikasi masalahnya. Border rejection notification juga terjadi hampir disemua jenis produk pangan tetapi dengan jumlah kasus yang lebih sedikit.

Perkembangan kasus produk pangan Indonesia yang bermasalah atau menerima notification di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang fluktuatif selama tahun 2002-2010. Beberapa produk menerima notification atau menunjukan jumlah kasus yang tinggi hanya pada tahun-tahun tertentu dan tahun berikutnya atau sebelumnya tidak menunjukan jumlah kasus yang tinggi atau tidak menerima notification sama sekali. Produk ikan menunjukan perkembangan kasus produk bermasalah atau menerima notification yang naik-turun selama tahun 2002-2010. Produk ikan menerima notification setiap tahunnya dengan angka jumlah kasus yang cukup tinggi dibandingkan produk pangan lainnya. Pada tahun 2004-2006 jumlah kasus pada produk ikan menunjukan angka yang tetinggi dan tahun berikutnya mengalami penurunan jumlah kasus yang cukup signifikan. Selain produk ikan, produk udang juga menerima notification yang cukup tinggi setiap tahunnya meskipun menunjukan penurunan jumlah kasus setiap tahunnya seperti pada tahun 2009 dimana tidak menerima notification sama sekali. Produk rempah-rempah menunjukan kasus yang secara umum meningkat setiap tahunnya dan tahun 2010 menunjukan jumlah kasus yang tertinggi. Produk daging menunjukan perkembangan kasus yang relaitf sama setiap tahunnya kecuali pada tahun 2009 dimana jumlah angka kasus tertinggi untuk produk daging. Berbeda dengan produk ikan, udang, rempah-rempah, dan daging, produk kacang hanya menerima notification pada tiga tahun yang berbeda yaitu tahun 2005,2008, dan 2010 dengan jumlah kasus yang hanya berbeda satu kasus. Produk lainnya menunjukan kasus yang juga berbeda setiap tahunnya dan hanya terjadi pada tahun-tahun tertentu saja. Hal ini karena jumlah produk pangan lainnya menunjukan angka kasus yang rendah dibandingkan produk ikan, udang, rempah-rempah, daging dan kacang. Perkembangan kasus untuk produk lainnya yang bermasalah atau menerima notification terlampir pada lampiran.

0 20 40 60 80 100 120

produk udang produk ikan rempah-rempah produk lainnya

Ju

m

lah

K

as

u

s

Jenis Produk

alert

(27)

26

Produk pangan yang teridentifikasi berbahaya dan menerima notification oleh Europa-RASFF disebabkan oleh alasan yang diterima oleh produk pangan tersebut. Alasan terjadinya notification pada produk pangan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Jumlah kasus dan jenis alasan yang terjadi berdasarkan notification yang diterima produk pangan ekspor Indonesia di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Alasan terjadinya notification pada produk pangan tersebut yang terbesar adalah karena produk pangan tersebut mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium; mengandung mikroorganisme seperti aflatoxin, Salmonella spp., vibrio spp.; mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh serta perlakuan pada proses produksi yang tidak sesuai.

Perkembangan kasus produk pangan bermasalah yang terjadi karena alasan yang diterima menunjukan perkembangan yang fluktuatif setiap tahunnya selama 2002-2010. Alasan mercury terjadi setiap tahunnya dengan jumlah kasus yang cukup tinggi, hal ini karena alasan mercury banyak terjadi pada produk seafood yang juga memiliki kasus dengan jumlah yang tinggi setiap tahunnya. Histamine menunjukan jumlah kasus yang tinggi pada tahun 2004 dam menurun pada tahun-tahun berikutnya dan pada tahun 2010 tidak terjadi kasus produk pangan bermasalah yang mengandung histamine. Sama halnya dengan histamine, carbon monoxide treatment juga menunjukan penurunan jumlah kasus pada tahun-tahun berikutnya setelah tahun 2005 menunjukan kasus yang tertinggi. Aflatoxin menunjukan perkembangan yang menaik pada tahun-tahun berikutnya setelah pada tahun-tahun 2003-2004 tidak terjadi kasus produk bermasalah karena alasan ini. Cadmium menunjukan perkembangan yang menurun jumlah kasus yang terjadi setelah pada tahun 2004 menunjukan jumlah kasus tertinggi. Prohibited substance chloramphenicol dan nitrofuran (metabolite) furazolidone, nitrofurazone secara umum menunjukan perkembangan kasus yang menurun pada tahun-tahun berikutnya setelah pada tahun 2002 menunjukan kasus yang tertinggi. Perkembangan alasan yang terjadi pada produk pangan yang bermasalah di Eropa selama tahun 2002-2010 terlampir pada lampiran.

Alasan yang terjadi pada tiga jenis produk pangan dengan jumlah terbanyak yaitu produk produk ikan, udang, dan rempah-rempah memiliki alasan yang cukup berbeda. Produk ikan meiliki alasan mengandung mercury sebanyak 34%, mengandung histamine sebanyak 19%, mengandung cadmium sebanyak 10%, alasan proses yaitu carbon monoxide treatment sebanyak 20%, dan alasan lain atau other sebanyak 17% dari jumlah kasus yaitu 184 kasus. Terlihat pada

0 20 40

60

80

Ju

m

lah

(28)

27

produk ikan alasan yang terjadi lebih banyak dikarenakan pada produk tersebut mengandung logam berat dan zat berbahaya. Produk udang dengan jumlah 77 kasus memiliki alasan yaitu prohibited substance chloramphenicol sebanyak 29%, prohibited substance nitrofuran (metabolite) furazolidone sebanyak 26%, mengandung Vibrio spp. sebanyak 18% dan alasan lain atau other sebanyak 27%. Berbeda dengan produk ikan, produk udang ini lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta alasan karena mengandung Vibrio spp.. Produk rempah-rempah memiliki alasan yaitu mengandung aflatoxin sebanyak 78%, mengandung Salmonella spp. sebanyak 8%, organoleptic characteristic sebanyak 7% dan alasan lain atau other sebanyak 7% dari 27 kasus yang terjadi. Produk rempah-rempah ini lebih banyak didominasi oleh alasan mengandung aflatoxin. Aflatoxin merupakan jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus paraciticus. Bagi manusia, konsumsi terus menerus meskipun dalam dosis kecil dapat menyebabkan kanker hati (Paramawati, Arief dan Triwahyudi 2006).

Kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa merupakan kasus produk pangan yang menerima border rejection notification oleh Europa-RASFF. Jumlah produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF atau produk pangan yang mengalami border rejection selama tahun 2002-2010 terjadi sebanyak 35 kasus. Sebanyak 9 jenis produk pangan tercatat mengalami border rejection yaitu produk ikan, produk udang, rempah-rempah, buah-buahan dan sayuran, produk daging, produk permen, produk kacang-kacangan, produk cumi-cumi dan produk campuran lainnya. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Jumlah dan jenis produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa produk ikan merupakan produk pangan yang terbanyak mengalami kasus penolakan dengan 34% atau sebanyak 12 kasus kemudian diikuti rempah-rempah sebesar 20%, produk kacang-kacangan, produk daging, cumi-cumi, udang, dan buah-buahan dan sayuran, produk permen, serta produk campuran lainnya dengan jumlah kasus dibawah 10%. Produk pangan yang mengalami penolakan memiliki alasan yang berbeda-beda. Jumlah dan jenis alasan yang terjadi pada produk pangan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 24.

produk ikan 34%

rempah-rempah

20% kacang-kacangan

11% udang

8% daging

9% cumi-cumi

9%

buah-buahan dan sayuran

3% produk permen 3%

produk campuran lainnya

3%

(29)

28

Gambar 24. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk pangan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Gambar 24 menunjukan bahwa alasan yang banyak terjadi pada produk pangan yang ditolak di Eropa adalah karena produk pangan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan seperti mengandung aflatoxin dan mengandung logam berat seperti mercury dan cadmium. Aflatoxin lebih banyak terjadi pada produk rempah-rempah sedangkan alasan mercury dan cadmium terjadi pada produk seafood seperti ikan, udang dan cumi-cumi.

Berdasarkan kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Eropa oleh Europa-RASFF, produk ikan merupakan produk dengan jumlah kasus penolakan yang terbesar yaitu dengan jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Jenis produk ikan yang mengalami penolakan hanya terdiri dari 6 jenis ikan yaitu tuna, snapper, bichique, marlin, oilfish, dan barramundi. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan oleh Europa-RASFF tersaji pada Gambar 23. dibawah ini:

Gambar 25. Jumlah kasus dan jenis produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

0 5 10 15

Ju

m

lah

K

as

u

s

Jenis Alasan

tuna fish

59%

bichique fish

9%

baramundi fish 8% snapper fish

8%

oilfish fish 8%

marlin fish 8%

(30)

29

[image:30.595.151.527.195.384.2]

Berdasarkan Gambar 25 produk ikan tuna merupakan produk ikan yang mengalami kasus penolakan terbanyak yaitu sebesar 59% dari 12 kasus yang terjadi. Produk ikan lain seperti bichique, snapper, barramundi, oilfish, dan marlin hanya mengalami satu kasus saja. Penolakan produk ikan tersebut tidak terlepas dari alasan penolakan yang diterima oleh produk-produk tersebut. Alasan yang terjadi pada produk ikan yang mengalami penolakan dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Jumlah kasus dan jenis alasan pada produk ikan yang mengalami penolakan di Eropa oleh Europa-RASFF selama tahun 2002-2010 (Europa 2011).

Secara umum produk ikan mengalami penolakan dikarenakan mengandung sesuatu yang berbahaya sperti logam berat dan histamine. Produk ikan yang mengalami penolakan memiliki 4 alasan penolakan yang terjadi yaitu bad hygienic state, cadmium, histamine, dan mercury. Alasan yang paling banyak terjadi adalah alasan karena mengandung mercury yaitu sebesar 50% dari jumlah kasus sebanyak 12 kasus. Bad hygienic state terjadi sebanyak 3 kasus atau sebesar 25%, mengandung histamine sebesar 17% dan tercenar cadmium sebesar 8%.

C.

ANALISIS PENYEBAB TERJADINYA KASUS PENOLAKAN PRODUK

PANGAN DI AMERIKA SERIKAT DAN EROPA SELAMA TAHUN

2002-2010

Sepanjang tahun 2002-2010 kasus penolakan produk pangan ekspor asal Indonesia cukup tinggi. Penolakan yang terjadi di Amerika Serikat oleh US-FDA sebanyak 2608 kasus dan di Eropa oleh Europa-RASFF sebanyak 35 kasus. Setiap tahunnya selama 2002-2010 jumlah kasus yang terjadi berbeda dengan rata-rata kasus per tahun di Amerika Serikat sebanyak 289 kasus dan di Eropa terjadi 4 kasus per tahunnya. Perbedaan jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi disebabkan oleh sistem yang diberlakukan di negara tujuan yaitu Amerika Serikat dan Eropa. Di Amerika Serikat pengawasan produk pangan dilakukan oleh FDA yang berada di bawah naungan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh FDA seperti yang tercantum dalam Federal Food, Drugs, and Cosmetic Act yang didalamnya berisi peraturan berikut yang penting dalam ekspor produk pangan mengenani bahan

bad hygienic state 25%

cadmium

8%

histamine 17% mercury

50%

(31)

30

yang rusak, label yang tidak sesuai dengan bahan yang terkandung, batas bahan makanan tambahan, batas maksimal residu kimia, sistem ekspor-ekspor, dan cara pendaftaran unit pengolahan. Selain itu adanya penahanan otomatis, yitu penahanan tanpa pengujian sampel secara fisik (detention without physical examination) membuat banyak produk pangan langsung menerima penolakan tanpa ada pengujian terhadap produk pangan tersebut terlebih dahulu. Peraturan lain yaitu The Bioterorism ACT (TBA) juga berpengaruh terhadap perdagangan produk pangan karena Amerika Serikat menentapkan peraturan baru tentang registrasi pengolahan pangan, pemberitahuan sebelum ekspor, dan pembuatan rekaman proses pengolahan (Cahya 2010). Ketatnya peraturan yang diberlakukan oleh FDA membuat banyaknya produk pangan Indonesia yang mengalami penolakan di Amerika Serikat. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang hanya satu negara, Uni Eropa merupakan gabungan dari beberapa negara di Eropa dan setiap negara memiliki lembaga tersendiri yang mengawasi produk pangan. Setiap negara juga memiliki standar mutu masing-masing untuk produk pangan sehingga kasus penolakan yang terjadi di Eropa lebih sedikit dibandingkan di Amerika Serikat. Produk pangan yang akan masuk ke salah satu negara di Eropa mungkin akan ditolak masuk tetapi belum tentu akan ditolak juga dinegara yang lain di Eropa. Hal ini yang membuat lebih banyak kasus produk pangan Indonesia bermasalah setelah masuk ke pasar di Eropa dibandingkan dengan yang mengalami penolakan langsung diperbatasan. Selain itu di Eropa, produk pangan yang bermasalah atau mengalami penolakan melalui RASFF akan diberitahukan kepada negara asal produk pangan tersebut sehingga negara asal dapat segera menangani masalah tersebut. Perbedaan sistem inilah yang membuat kasus penolakan produk pangan Indonesia di Eropa lebih sedikit terjadi.

Setiap tahun terjadi kenaikan atau penurunan jumlah kasus atau terjadi fluktuatif setiap tahunnya. Untuk kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat, menunjukan bahwa pada tahun 2002-2004 mengalami kenaikan jumlah kasus tetapi menurun pada tahun 2005. Tahun 2005-2007 jumlah kasus meningkat kembali dan menurun jumlahnya pada tahun 2008-2009, lalu kembali naik pada tahun 2010. Jumlah kenaikan atau penurunan jumlah kasus setiap tahunnya cukup berbeda. Pada tahun 2004 mengalami peningkatan jumlah kasus dan pada tahun 2005 mengalami penurunan jumlah kasus yang hampir sama. Setelah tahun 2005 terjadi kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2007 dan menurun kembali pada tahun 2008 tetapi jumlah kasus yang terjadi masih di atas jumlah kasus pada tahun 2005 hingga naik kembali pada tahun 2010.

Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di Eropa juga mengalami perkembangan kasus yang fluktuatif setiap tahunnya. Penolakan produk pangan Indonesia atau produk pangan yang mengalami border rejection di Eropa oleh Europa-RASFF menunjukan perkembangan yang berbeda. Penolakan produk pangan Indonesia di Eropa selama tahun 2002-2010 tidak terjadi setiap tahunnya tetapi hanya terjadi pada tahun 2008-2010. Kasus penolakan baru terjadi pada tahun 2008 dengan 11 kasus yang menurun pada tahun 2009 menjadi 8 kasus. Pada tahun 2010 mengalami kenaikan jumlah kasus yang cukup besar yaitu sebesar 100% dari tahun 2009 menjadi 16 kasus.

Jumlah kasus penolakan produk pangan yang terjadi di Amerika Serikat dan di Eropa sangat berbeda jauh. Selama tahun 2002-2010, di Amerika Serikat terjadi 2608 kasus penolakan produk pangan, sedangkan di Eropa terjadi sebanyak 35 kasus penolakan produk pangan.

(32)

31

tidak terjadi kasus penolakan selama tahun 2002-2007 dan baru terjadi pada tahun 2008. Hal ini mungkin dikarenakan produk pangan Indonesia baru teridentifikasi berbahaya setelah masuk ke pasar di Eropa atau setelah beredar di pasar Eropa produk pangan tersebut teridentifikasi berbahaya oleh salah satu negara anggota Europa-RASFF dan melaporkan melalui RASFF sehingga menerima notification oleh Europa-RASFF.

Produk pangan yang mengalami penolakan di Amerika Serikat selama 2002-2010 menunjukan perkembangan yang berbeda antar produk pangan. Produk pangan yang mengalami penolakan ini digolongkan menjadi beberapa jenis produk pangan. Produk ikan menunjukan perkembangan kasus yang sangat fluktuatif setiap tahunnya. Secara umum kasus penolakan terhadap produk ikan ini meningkat selama tahun 2002-2010 meskipun masih terjadi penurunan pada tahun-tahun tertentu. Alasan penolakan terhadap produk ikan setiap tahunnya selama 2002-2010 hampir 50% adalah karena alasan filthy. Ini berarti penanganan dan pengolahan terhadap produk ikan masih kurang baik. Produk udang menunjukan perkembangan yang kecenderungan menurun setiap tahunnya meskipun pada tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah kasus penolakan. Udang merupakan salah satu komoditas ekspor yang yang menjanjikan setelah ikan. Penolakan terhadap produk ikan banyak terjadi karena alasan filthy dan salmonella. Kedua alasan ini mendominasi setiap tahunnya dengan persentase yang cukup tinggi meskipun kasus penolakan menurun jumlahnya dari tahun 2004 sampai tahun 2009. Penolakan yang terjadi pada produk udang ini lebih banyak dikarenakan mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan seperti Salmonella. Produk kepiting juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang naik turun dan kecenderungan meningkat meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Penolakan pada produk kepiting lebih banyak dikarenakan produk kepiting tersebut mengandung zat yang berbahaya seperti chloramp dan vetdrugres. Produk seafood lain yang juga menunjukan perkembangan kasus penolakan yang naik turun adalah produk cumi-cumi. Secara umum selama tahun 2002-2010 produk cumi mengalami kenaikan jumlah kasus sampai tahun 2009 dan tidak terjadi penolakan pada tahun 2010. Alasan pada produk cumi sama seperti pada produk ikan yaitu karena alasan filthy sehingga megalami penolakan. Terlihat bahwa penolakan terhadap produk seafood (ikan, udang, kepiting dan cumi-cumi) lebih banyak disebabkan oleh alasan filthy dan mengandung sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan. Alasan filthy yang terjadi menunjukan bahwa penanganan dan pengolahan terhadap produk seafood masih kurang dan perlu diperbaiki serta diawasi dengan baik. Alasan mengandung sesuatu yang berbahaya secara umum menurun selama tahun 2002-2010. Menurut KKP (2008) Departemen Kelautan dan Perikanan telah dan terus melakukan beberapa upaya untuk penanganan Food Safety produk perikanan, antara lain: pengembangan sistem rantai dingin (cold chain system) di 5 lokasi sentra pengolahan, 6 lokasi sentra produksi dan 3 lokasi Pasar Ikan Higienis; sosialisasi larangan penggunaan bahan kimia berbahaya, penambahan dan penyempurnaan jabatan fungsional pengawas mutu hasil perikanan, sosialisasi ketentuan internasional standar produk dan sistem jaminan mutu serta keamanan hasil perikanan, penguatan kompentensi laboratorium penguji, dan pelatihan program manajemen mutu terpadu/HACCP. Hal ini berarti pengawasan terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya serta pengujian terhadap produk seafood telah diberlakukan.

(33)

32

dan menurun secara drastis pada tahun 2009 dan tahun 2010 tidak terjadi kasus penolakan terhadap produk ini. Alasan yang banyak terjadi pada produk minuman adalah juice%, yaitu persentase kandungan jus buah atau sayuran dalam produk minuman tidak sesuai dengan yang tertera pada label kemasan, dan needs process and no process. Produk saos sambal dan kecap menunjukan kasus tertinggi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008-2010 dengan alasan terbanyak yang diterima adalah no process dan need fce. Produk bumbu-bumbuan menunjukan kasus tertinggi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2008-2010 dengan tahun 2010 tidak terjadi penolakan. Alasan pada produk bumbu-bumbuan ini juga didominasi oleh no process dan needs fce. Produk instant, sup, semur dan kari juga menunjukan perkembangan kasus tertinggi pada tahun 2007 dengan alasan yang sama yaitu no process dan needs fce, sedangkan pada tahun berikutnya tidak terjadi kasus penolakan kembali pada produk tersebut. Penurunan jumlah kasus penolakan pada produk-produk ini menunjukan bahwa produsen penghasil produk tersebut telah melakukan perbaikan terhadap produk yang diproduksinya seperti memberikan jumlah persentase kandungan j

Gambar

Gambar 26. bad hygienic state
Gambar 27.  Diagram pareto untuk masalah utama kasus penolakan produk ikan tuna  di
Gambar 28.  Diagram pareto untuk masalah utama kasus penolakan produk ikan yang terjadi di
Gambar 29. Diagram sebab akibat untuk kasus penolakan produk pangan asal Indonesia oleh US-FDA dan Europa-RASFF selama tahun 2002-2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda, Koefisien Determinasi diperoleh hasil perhitungan secara simultan besarnya pengaruh kedua variabel bebas (kepribadian dan

Dari Gambar 8 terlihat bahwa nilai tertinggi didapatkan pada stasiun E, dimana pada stasiun ini terdapat banyak penambang emas yang beroperasi, selain itu adanya

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pakan suplemen baik PS1 maupun PS2 yang mengandung daun

BORANG PENGESAHAN STATUS TESIS JUDUL: M ENGKAJI TEKNIK KUBISM E PABLO PICASSO DAN. PENGAPLIKASIANNY A Dr DA LAM ANIMAS

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor

Untuk menjawab permasalahan tersebut lebih dahulu harus diketahui jumlah nilai N, untuk mencari nilai N dapat dijabarkan sebagai berikut:.. Jadi dapat disimpulkan bahwa

H G X D E D K Z D W L Q G D N D Q P R U D O VHVHRUDQJ VXGDK OHELK UDVLRQDO ZDODXSXQ PDVLK NHNDQDNNDQDNDQ 0RWLYDVL GDODP WLQGDNDQ PRUDO DGDODK XQWXN PHQFDSDL

Dengan demikian, dikarenakan banyak item orientasi bakat yang ragu-ragu atau kriteria penilaiannya rendah, dan 4 item sesuai atau kriteria penilaian cukup maka orientasi