• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pyraclostrobin terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa biji jagung (Zea mays L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pyraclostrobin terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa biji jagung (Zea mays L.)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

PYRACLOSTROBIN

TERHADAP

PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KANDUNGAN AMILOSA

BIJI JAGUNG (

Zea mays

L.)

RESTIANA

A24070145

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

The aim of this research is to study the effect of pyraclostrobin application

on Growth, production and amylase content of maize. The research was done in

KP. Cikabayan, University Farm, Bogor Agriculture Institute, on June to October

2011. The varieties used were N35 (V1), P21 (V2), Bisi 222 (V3) and Lamuru

(V4). Dose of pyraclostrobin used were 0 ml/ha (P0) and 400 ml/ha (P1). The

design of this research used Randomized Complete Design Group with three

replication. Data analysis using F-test and it was then followed by Duncan

Multiple Range Test at error level of 5 %. Statistically, the application of

pyraclostrobin didn’t show significant effect on the growth and yield of maize.

In several, application of pyraclostrobin (P1) showed yield higher than without

pyraclostrobin (P0). The Varietas showed a significant effect on the growth, yield

and amylose content of maize. The research showed for increased production,

(3)

RINGKASAN

RESTIANA. Pengaruh pyraclostrobin terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa biji jagung (Zea mays L.). (Dibimbing oleh SUWARTO).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pyraclostrobin terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa biji jagung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2011 di di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan, Bagian Analisis Pangan IPB.

Rancangan yang digunakan berupa Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan faktor tunggal yaitu pyraclostrobin untuk masing-masing varietas. Terdapat empat percobaan terhadap empat varietas jagung yang berbeda yaitu N35 (V1), P21 (V2), Bisi 222 (V3) dan Varietas Lamuru (V4). Perlakuan pyraclostrobin terdiri dari 2 taraf yaitu: 0 ml ha-1 (P0) dan 400 ml ha-1 (P1). Terdapat 8 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Untuk mengetahui interaksi antara varietas dan pyraclostrobin dilakukan analisis gabungan. Peubah yang diamati adalah persentase tumbuh, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun per tanaman, umur tasseling, umur silking, Indeks Luas Daun (ILD), bobot brangkasan, diameter tongkol, panjang

tongkol, panjang tongkol berisi, bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol tanpa kelobot, jumlah baris, bobot kering per tongkol, bobot pipilan kering dan kadar amilosa.

Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan vegetatif jagung dan varietas berbeda nyata terhadap kadar amilosa, indeks panen, bobot brangkasan, ILD, panjang tongkol, jumlah baris. Perlakuan pyraclostrobin secara statistik tidak menunjukan berbeda nyata, namun hasil

rata-rata menunjukkan tanaman jagung pada pyraclostrobin 400 ml ha-1 menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan pyraclostrobin 0 ml ha-1. Secara umum, varietas N35 memberikan respon yang lebih baik terhadap perlakuan pyraclostrobin, untuk peningkatan produksi. Aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1

(4)

BIJI JAGUNG (Zea mays L.)

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

RESTIANA

A24070145

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul

:

PENGARUH PYRACLOSTROBIN TERHADAP

PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KANDUNGAN

AMILOSA BIJI JAGUNG (

Zea mays

L. )

Nama

:

RESTIANA

NIM

:

A24070145

Menyetujui, Pembimbing

Dr.Ir. Suwarto, M.Si.

NIP. 19630212 198903 1 004

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr.Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr

NIP. 19611101 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Tempilang, Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 24 Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Japin dan Ibu Jauni. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2001 di SDN 130 Tempilang. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Tempilang dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Sinar Jaya Tempilang dan lulus pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan Mayor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama pendidikan, penulis menerima Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kabupaten Bangka Barat.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitiaan. Penulis aktif dalam Oganisasi Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Bangka (ISBA) dan pernah menjabat menjadi bendahara pada periode 2009-2010. Selain itu, penulis juga aktif di kepanitian kegiatan Fakultas Pertanian maupun kegiatan Departemen Agronomi dan Hortikultura. Penulis pernah melakukan magang pengelolaan budidaya ayam potong Clouse House system di University Farm, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Penulis juga mengikuti Program IPB Go Field di PTPN VIII, kebun Cisalak Baru, Rangkas Bitung pada tahun 2009

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pyraclostrobin terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Kandungan Amilosa pada Biji Jagung (Zea

mays L.)”. Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis dapat mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam penyusunan skripsi ini berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Suwarto, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi selama penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Heni Punamawati, MSc.Agr dan Dr. Dwi Guntoro, SP. M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi. 3. Kedua Orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa

dan kasih sayang. Semoga menjadi persembahan yang membanggakan. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Barat yang telah memberikan

kesempatan dan Beasiswa selama masa pendidikan.

5. Dr. Ir. Tatiek Kartika, MS. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

6. Kak Angga, Mita, Doyo, Ima, teman-teman AGH 44, Pondok Ratna community dan rekan-rekan ISBA serta semua pihak yang telah membantu

dalam penyelesaian penelitian maupun penulisan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, Februari 2012

(8)
(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tingkat serangan bulai pada pertanaman jagung ... 19

2. Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai peubah ... 20

3. Pengaruh varietas terhadap tinggi tanaman jagung ... 22

4. Pengaruh varietas terhadap jumlah daun jagung ... 23

5. Pengaruh varietas terhadap diameter batang ... 24

6. Pengaruh varietas terhadap waktu tasseling dan silking ... 26

7. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap indeks luas daun ... 27

8. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap jumlah baris pada tongkol ... 28

9. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap diameter tongkol ... 29

10. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap ukuran tongkol ... 30

11. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produksi per tanaman ... 31

12. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produksi per petak ... 33

13. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot brangkasan ... 35

14. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap indeks panen ... 35

15. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produktivitas jagung . 37

16. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap kandungan amilosa pada biji jagung ... 39

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

7. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap tinggi tanaman jagung ... 56

8. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap jumlah daun jagung ... 58

9. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap diameter batang jagung ... 60

10.Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap waktu tasseling, waktu silking dan indeks luas daun ... 62

11. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot brangkasan ... 63

12. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot tongkol berkelobot ... 63

13. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot tongkol tanpa kelobot ... 63

14. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap panjang tongkol ... 64

15. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap panjang tongkol berisi ... 64

16. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap jumlah baris pada tongkol jagung ... 64

17. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap diameter tongkol jagung. ... 65

18. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot tongkol kering ... 65

19. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot kering pipil ... 65

(12)

21. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap

bobot tongkol tanpa kelobot per petak. ... 66 22. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap

bobot tongkol kering per petak ... 66 23. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap

bobot kering pipil per petak ... 67 24. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap

indeks panen ... 67 25. Sidik ragam pengaruh varietas terhadap produktivitas per petak ... 67 26. Sidik ragam pengaruh varietas terhadap produktivitas per hektar ... 68 27. Sidik ragam pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap

(13)

PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang bisa tumbuh hampir di seluruh daerah di Indonesia. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Jagung banyak dikembangkan di Indonesia untuk digunakan sebagai bahan makanan, pakan ternak dan bahan baku industri.

Di dalam jagung terkandung beberapa nutrisi penting, dengan komposisi utama pati sebesar 71.5%, protein sebesar 10.3% dan lemak sebesar 4.8%. Kandungan pati yang tinggi merupakan basis penggunaan biji jagung. Pati biji jagung terdiri atas amilosa (27%) dan amilopektin (73%). Pati tersebut terdapat dalam beberapa tempat seperti endosperm (84.4%), lembaga (8.2%) dan tudung biji (5.3%). Kandungan amilosa pada biji jagung digunakan sebagai acuan untuk pengolahan lanjut dari jagung itu seperti tepung dan plastik.

Kebutuhan jagung di Indonesia saat ini cukup tinggi, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering per tahun. Konsumsi jagung terbesar adalah untuk pangan dan industri pakan ternak. Hal ini disebabkan sebanyak 51 % bahan baku ternak adalah jagung sehingga potensi pemasaran jagung terus mengalami peningkatan. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin berkembangnya industri peternakan, yang secara tidak langsung akan meningkatkan permintaan jagung sebagai campuran bahan pakan ternak. Selain itu, dewasa ini juga berkembang produk pangan dari jagung dalam bentuk tepung yang dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan produk pangan.

(14)

Salah satu upaya peningkatan produksi jagung adalah dengan menggunakan varietas unggul, baik varietas hibrida maupun bersari bebas. Varietas hibrida mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi daripada varietas bersari bebas, karena hibrida memiliki gen-gen dominan yang mampu untuk memberi hasil tinggi. Penggunaan varietas hibrida selain meningkatkan hasil, jagung hibrida juga memberikan beberapa keuntungan lain yaitu lebih toleran terhadap hama penyakit, lebih tanggap terhadap pemupukan, pertanaman dan tongkol lebih seragam, di samping itu jumlah biji lebih banyak dan lebih berat (Jugenheimer,1985).

Dalam budidaya jagung, banyak penyakit yang menyerang pertanaman jagung yang disebabkan oleh fungi/jamur. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah dengan melakukan pencegahan adanya penyakit. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida sistemik. Salah satu jenis fungisida tersebut adalah pyraclostrobin. Pyraclostrobin termasuk generasi baru dari fungisida yang banyak digunakan untuk melindungi tanaman yang bernilai tinggi. Selain sebagai fungisida, pyraclostrobin dapat digunakan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman karena pyraclostrobin juga mengandung unsur nitrogen (N) dan klor (Cl) yang diperlukan tanaman.

Pyraclostrobin merupakan fungisida sistemik yang berbentuk emulsi yang

dapat larut dalam air, yang juga berfungsi sebagai pemicu pertumbuhan dan hasil tanaman. Penggunaan pyraclostrobin diduga dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, lingkar tongkol, panjang tongkol, bobot tongkol tanpa kelobot, bobot biji pipilan/tongkol, bobot 1000 butir dan hasil per hektar.

Tujuan

(15)

Hipotesis

1. Varietas memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa biji jagung.

2. Pemberian pyraclostrobin dapat meningkatkan pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa biji jagung.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jagung

Jagung (Zea mays. L) merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Tanaman jagung merupakan tanaman tingkat tinggi dengan klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub division : Angiospermae Class : Monocotyledoneae Ordo : Poales

Familia : Poaceae Genus : Zea

Spesies : Zea mays L. (Iriany et al., 2007)

(17)

permukaan tanah. Fungsi dari akar penyangga adalah menjaga tanaman agar tetap tegak dan mengatasi rebah batang. Akar ini juga membantu penyerapan hara dan air (Subekti et al., 2007).

Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu kulit (epidermis), jaringan pembuluh (bundles vaskuler), dan pusat batang (pith). Bundles vaskuler tertata dalam lingkaran konsentris dengan kepadatan bundles

yang tinggi, dan lingkaran-lingkaran menuju perikarp dekat epidermis. Kepadatan bundles berkurang begitu mendekati pusat batang. Konsentrasi bundles vaskuler yang tinggi di bawah epidermis menyebabkan batang tahan rebah (Subekti et al., 2007). Tanaman jagung memerlukan beberapa minggu untuk berkembang dari benih hingga dewasa, rata-rata tingginya mencapai 2-3.5 m (Riahi et al., 2003).

Sesudah koleoptil muncul di atas permukaan tanah, daun jagung mulai terbuka. Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun yang erat melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun umumya berkisar antara 10-18 helai, rata-rata munculnya daun yang terbuka sempurna adalah 3-4 hari setiap daun (Subekti et al., 2007) . Daun tanaman jagung mampu berkembang hingga 20-21 helai daun, walaupun jagung memproduksi 20 helai daun namun hanya 14-15 saja yang menyelesaikan stadia vegetatifnya (Farnham et al., 2003).

(18)

pada ujung tongkol dan bunga betina pada tassel (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Bunga jantan berbentuk malai, terdiri atas kumpulan bunga tunggal dan terletak pada bagian ujung batang. Masing-masing bunga jantan memiliki tiga stamen dan satu pistil rudimenter. Bunga betina keluar dari buku-buku batang berupa tongkol. Tangkai putik pada bagian betina berbentuk seperti rambut yang bercabang-cabang kecil. Bagian atas putik keluar dari tongkol untuk menangkap serbuk sari. Bunga betina mempunyai pistil tunggal dan stamen rudimenter (Habibah, 2005).

Bunga jantan mampu menghasilkan 25 juta polen atau rata-rata lebih dari 25 000 polen untuk menyerbuki satu rambut sehingga menghasilkan satu biji. keluar dari ujung kelobot. Panjang rambut jagung bergantung pada panjang tongkol dan kelobot (Subekti et al., 2007).

(19)

Syarat Tumbuh dan Faktor Pembatas Tanaman Jagung

Jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakter diantaranya lingkungan tempat tumbuh dan umur panen. Jenis jagung berdasarkan lingkungan tempat tumbuh meliputi jagung yang tumbuh di dataran rendah tropik (< 1 000 m dpl), dataran rendah subtropik dan mid-altitude (1 000 – 1 600 m dpl), dan dataran tinggi tropik (>1 600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur panen dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung berumur genjah dan umur dalam. Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari sedangkan jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari (Iriany et al., 2007).

Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 260C sampai 300C dan pH tanah 5.7 – 6.8 (Subandi dalam Iriany et al., 2007). Agar dapat tumbuh dengan baik, tanaman jagung memerlukan temperatur ratarata antara 14 -30 0C, dengan curah hujan sekitar 600 mm – 1 200 mm per tahun yang didistribusikan rata selama musim tanam (Kartasapoetra, 1988). Intensitas cahaya matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang baik. Tanaman jagung membutuhkan cahaya matahari secara langsung bukan di tempat-tempat terlindung karena dapat mengurangi hasil (Sudjana et al., 1991). Hari panas dan suhu malam yang tinggi meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan, dan walaupun suhu panas adalah ideal untuk pertumbuhan vegetatif dan tongkol, suhu sedang adalah optimum untuk akumulasi karbohidrat (Rubatzky dan yamaguchi, 1998).

Faktor air merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan jagung. Kebutuhan air yang terbanyak pada tanaman jagung adalah stadia pembungaan dan stadia pengisian biji. Jumlah radiasi surya yang diterima oleh tanaman selama fase berbunga juga merupakan faktor yang penting untuk penentuan jumlah biji (Subandi, Syam dan Widjono, 1988).

(20)

disebabkan cendawan Peronosclerospora maydis, penyakit hawar daun yang disebabkan oleh Ezserohilum turcicum, dan penyakit karat yang disebabkan oleh Puccinia sorghi (Palungkun dan Indriani, 1992).

Pyraclostrobin

Pyraclostrobin adalah salah satu fungisida dari golongan strobilurin.

Pyraclostrobin memiliki sifat preventif dan kuratif terhadap sejumlah penyakit.

Fungisida golongan strobilurin bertindak dengan terus menghambat respirasi mitokondria dengan memblokir transfer elektron dalam rantai respirasi (Bartholomaeus, 2003). Menurut cara kerjanya, kelompok Strobilurin termasuk fungisida sistemik lokal yang diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditransformasikan ke bagian tanaman lainnya. Mode of action fungisida-fungisida dari kelompok strobilurin yaitu mengintervensi respirasi sel. Fungisida-fungisida tersebut bekerja pada mitokondria sel jamur target dengan cara menghambat transfer elektron antara sitokrom b dan sitokrom c1 sehingga mengganggu

pembentukan ATP (Djojosumarto, 2008)

Gambar 1. Struktur kimia pyraclostrobin

Pyraclostrobin memiliki rumus senyawa C19H18ClN3O4 (Declercq, 2004).

(21)

penyusun dari banyak senyawa esensial bagi tumbuhan. misalnya asam-asam amino. Zat ini memacu pertumbuhan (meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan) meningkatkan luas daun, dan meningkatkan kandungan protein. Peranan utama nitrogen bagi tanaman ialah untuk merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, khususnya batang, cabang, batang dan daun. Konsentrasi N di daun berhubungan erat dengan laju fotosintesis dan produksi biomassa. Jika N diaplikasikan cukup ke tanaman, maka kebutuhan unsur makro lain seperti K dan P meningkat. Adapun fungsi penting dari unsur klor adalah menstimulasi pemecahan molekul air pada fase terang fotosintesis. Selain itu, klor juga dilaporkan esensial untuk proses pembelahan sel (Lakitan, 1993).

Pati

Karbohidrat utama yang disimpan pada sebagian besar tanaman adalah pati dan selulosa. Di daun, pati terhimpun di kloroplas, dan di organ penyimpanan, karbohidrat terhimpun dalam bentuk amiloplas yang terbentuk sebagai hasil translokasi sukrosa atau karbohidrat lainnya. Jumlah pati pada bagian jaringan tergantung pada faktor genetik dan lingkungan serta lamanya penyinaran. Pati terbentuk pada siang hari ketika fotosintesis melebihi laju gabungan antara respirasi dan translokasi (Dwidjoseputro, 1980). Pembentukan pati terjadi terutama melalui suatu proses yang melibatkan sumbangan berulang unit glukosa dari gula nukleotida yaitu adenosine diposfoglukosa (ADGP). Pembentukan ADGP berlangsung dengan menggunakan ATP dan glukosa-1-fosfat di kloroplas ( Ropiah, 2009).

Menurut Salisbury and Ross (1995) amilum terbentuk dari hasil fotosintesis. Pada proses fotosintesis dibutuhkan cahaya matahari dan klorofil, apabila tidak ada cahaya matahari yang diserap maka fotosintesis tidak akan terjadi dan amilum pun tidak akan terbentuk.

(22)
(23)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan, Bagian Analisis Pangan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Oktober 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu benih jagung varietas hibrida N35, P21, Bisi 222 dan varietas bersari bebas Lamuru, pupuk anorganik berupa pupuk urea, SP-36 dan KCl, karbofuran, pupuk organik dalam bentuk granul dan kapur dolomite serta pyraclostrobin. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat budidaya pertanian, ajir, meteran, tali rafia, timbangan, jangka sorong, knapsack sprayer, gelas ukur, oven dan karung.

Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini berupa rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan perlakuan pyraclostrobin untuk masing-masing varietas. Perlakuan pyraclostrobin terdiri dari 2 taraf yaitu: 0 ml ha-1 (P0) dan 400 ml ha-1 (P1). Terdapat empat varietas jagung yang berbeda yaitu N-35 (V1), P21 (V2), Bisi 222 (V3) dan Lamuru (V4). Terdapat 8 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini. Ukuran setiap petak percobaan adalah 5 m x 5 m = 25 m2. Jarak antar petak satuan percobaan adalah 50 cm. Luas lahan total yang diperlukan 770 m2.

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Gomez and Gomez, 1984) :

(24)

Keterangan : dilakukan uji lanjutan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Untuk mengetahui interaksi antara varietas dan pyraclostrobin dilakukan analisis gabungan. Model linear rancangan acak kelompok dengan pola gabungan adalah sebagai berikut (Gomez and Gomez, 1984):

Yijk = µ + Vk + βi/k + Pj + (VP)kj + εijk

keterangan:

Yijk = nilai pengamatan ulangan ke-i, varietas ke-j, dan pyraclostrobin ke-k

µ = nilai populasi tengah

Vk = pengaruh varietas ke-k (k=1,2,3,4)

βi/k = pengaruh ulangan ke-i (i=1,2,3) dalam ulangan ke-i

Pj = pengaruh varietas ke-j (j=1,2,3,4)

(VP)kj = pengaruh interaksi pyraclostrobin ke-k dengan varietas ke-j

εijk = pengaruh gakat percobaan dari ulangan ke-i, varietas ke-j dan

pyraclostrobin ke-k.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Lahan

(25)

Penanaman

Jarak tanam yang digunakan yaitu 75 cm x 25 cm. Penanaman benih jagung dilakukan dengan cara ditugal dengan kedalaman lubang tanam sekitar 3 - 4 cm. Benih jagung ditanam sebanyak 1 biji per lubang dan diberi karbofuran sebanyak 5 butir/lubang tanam. Karbofuran 3G diberikan untuk mencegah serangan lalat bibit.

Pemupukan

Pemupukan dengan pupuk anorganik diberikan dengan dosis 135 kg N/ha dalam bentuk pupuk Urea, 108 kg P2O5/ha dalam bentuk pupuk SP-18, dan 60 kg

K2O/ha dalam bentuk pupuk KCl. Sebanyak 1/2 dosis urea dan seluruh dosis SP

18 dan KCl diberikan pada saat tanam, sisa 1/2 dosis Urea diberikan pada tanaman umur 4 MST. Pupuk diberikan dengan cara alur di samping kiri atau kanan barisan tanaman dengan jarak 5 - 10 cm.

Pupuk organik granul diberikan dengan dosis 4.8 ton/ha pada umur 3 MST. Hal ini dilakukan karena tanaman menunjukkan gejala kekurangan hara. Pupuk organik diberikan dengan cara alur di samping kiri dan kanan tanaman jagung dengan jarak 5 cm dari tanaman jagung.

Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi kegiatan penyulaman, penyiraman, pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), dan pembumbunan. Melalui pemeliharaan tanaman ini diharapkan tanaman dapat tumbuh secara baik dan optimal.

Penyulaman dilakukan terhadap benih-benih jagung yang tidak tumbuh. Penyulaman ini dilakukan pada 1 MST sehingga diharapkan populasi tanaman dalam petak dapat terpenuhi secara optimal.

(26)

Pengendalian OPT dilakukan pengendalian hama, penyakit, dan gulma. Pengendalian hama dilakukan dengan pemberian insektisida Karbofuran sebanyak 5 butir/tanaman pada saat penanaman benih dan 4 MST serta dilakukan penyemprotan insektisida fipronil 50 g/l pada 4 MST. Pengendalian gulma dilakukan secara manual terutama pada saat pertumbuhan awal tanaman dan pengendalian gulma terakhir dilakukan pada 4 MST dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembumbunan.

Pembumbunan dilakukan dengan cara menaikkan atau menimbun tanah pada tanaman jagung sehingga terbentuk guludan. Pembumbunan ini bertujuan untuk menutup akar jagung yang terbuka sehingga tanaman jagung mampu berdiri secara tegak dan kokoh.

Aplikasi Pyraclostrobin

Pada perlakuan dengan pyraclostrobin, aplikasi dilakukan pada saat umur tanaman 30-31 HST. Pyraclostrobin diaplikasikan dengan konsentrasi 1 ml/liter, volume semprot 400 liter/ha, yang berarti per petak yang berukuran 25 m2 adalah 1 liter larutan. Setelah dikalibrasi diperoleh kecepatan semprotnya adalah 1100 ml/menit sehingga penyemprotan per petak adalah 54 detik.

Pengendalian Penyerbukan

(27)

Pemanenan

Panen hasil dilakukan pada saat terbentuk black layer atau pada saat 75 % tanaman telah berwarna kuning ditandai kelobot dan rambut jagung yang mengering serta biji apabila ditekan dengan kuku tidak berbekas.

Pengeringan dan Pemipilan

Pengeringan dilakukan terhadap tongkol jagung dengan menghamparkan jagung di green house selama 1 minggu. Tongkol yang telah mengalami proses pengeringan selanjutnya dipipil dengan manual.

Pengamatan

Peubah yang diukur dan diamati antara lain terbagi menjadi dua yaitu peubah vegetatif dan peubah generatif. Pengamatan peubah vegetatif dilakukan pada 5 tanaman contoh yang dipilih secara acak dari setiap petak ulangan.

Peubah vegetatif yang diukur dan diamati antara lain: 1. Persentase tumbuh (%) pada 1 MST.

2. Tinggi tanaman (cm), dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah hingga daun tertinggi dimulai pada 2 MST hingga 8 MST. 3. Lingkar batang (cm), dilakukan dengan mengukur lingkar batang pada

ketinggian 10 cm dari permukaan tanah dimulai pada umur 3 MST hingga 8 MST.

4. Jumlah daun tanaman, dihitung mulai 2 MST hingga 8 MST.

5. Indeks Luas Daun pada saat 8 MST, dengan mengukur panjang dan lebar daun pada daun tempat tongkol utama berada. Kemudian dilakukan perhitungan dengan persamaan (Sutoro, 1985) sebagai berikut:

Y = 0,7641 x PL x ∑ daun pada 8 MST Y = Pendugaan luas daun per tanaman PL= Panjang kali lebar daun

Setelah diperoleh luas daun per tanaman, indeks luas daun dihitung dengan rumus : ILD = Luas daun per tanaman / jarak tanam

(28)

Peubah generatif tanaman yang diukur dan diamati adalah

1. Umur tasseling (HST), dihitung pada saat 50 % tanaman dalam petakan membentuk tassel.

2. Umur silking (HST), dihitung pada saat 50 % tanaman dalam petakan membentuk silk (rambut jagung).

3. Bobot brangkasan (g), diukur ketika panen, dengan memotong tanaman jagung yang ada di atas permukaan tanah, kemudian ditimbang.

4. Bobot jagung berkelobot (g), diukur pada saat panen. Jagung yang telah dipanen dengan kelobotnya ditimbang.

5. Bobot jagung tanpa kelobot (g). Jagung yang kelobotnya sudah dibuka ditimbang.

6. Lingkar tongkol (cm). Lingkar tongkol diukur pada bagian tengah tongkol jagung yang tanpa kelobot.

7. Panjang tongkol (cm). Panjang tongkol diukur dari pangkal munculnya biji sampai dengan ujung tongkol.

8. Panjang tongkol berisi (cm). Panjang tongkol berisi diukur dari pangkal munculnya biji sampai dengan batas ujung tongkol yang berbiji.

9. Jumlah baris pada tongkol. Jumlah baris dalam tongkol dihitung dengan melihat baris yang mendekati penuh satu baris atau setengahnya.

10.Bobot kering per tongkol (g). Tongkol jagung yang telah kering, ditimbang. 11.Bobot biji pipilan kering (KA 14%) per tanaman (g) dan petakan (kg). Jagung

yang telah dijemur segera dipipil, kemudian hasil pipilannya ditimbang, selanjutnya hasil timbangan dilakukan pengujian kadar air yang berguna untuk konversi hasil dengan kadar air 14 %.

(29)

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis ragamnya dengan menggunakan uji F. Jika analisis ragam menunjukkan nilai berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut DMRT 5 %.

Untuk mengetahui korelasi antara peubah-peubah penting yang diamati maka dilakukan analisis kolerasi Pearson yang dihitung dengan rumus sebagai berikut (Singh and Chaudhary, 1977):

) ( * ) (

) , (

y V x V

y x Cov rxy

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi peubah x dan y

Cov(x,y) = peragam antara sifat x dan y V(x) = ragam sifat x

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum

Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 2011 dan panen pada pertengahan Oktober 2011. Menurut informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Darmaga, curah hujan rata-rata selama penelitian berlangsung sebesar 196 mm/bulan dengan kelembaban udara sebesar 76 % dan temperatur rata-rata 26,0 oC (Lampiran 1). Pertumbuhan kecambah akan muncul lebih cepat pada keadaan lembab dengan suhu di atas 21 0C. Suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan biji berkisar antara 16-25 0C. Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung berkisar antara 20-26 oC dengan curah hujan 500 – 1 500 mm per tahun (Suprapto dan Marzuki, 2002).

Pengamatan daya tumbuh dilakukan pada 1 MST. Secara umum pertumbuhan jagung di lapangan cukup baik. Daya tumbuh untuk varietas N35 sebesar 86,27%, untuk varietas P21 sebesar 90,83%, varietas Bisi 222 sebesar 90,42% dan daya tumbuh varietas Lamuru sebesar 90,85%. Agar populasinya maksimal maka dilakukan penyulaman pada umur 1 MST.

Pemanenan jagung dilakukan dengan mengacu pada umur panen dan jagung sudah terlihat memenuhi kriteria panen, yaitu saat sudah terbentuk black layer atau 75 % tanaman telah berwarna kuning ditandai kelobot dan rambut

jagung yang mengering serta biji apabila ditekan dengan kuku tidak berbekas. Varietas lamuru dipanen pada umur 99 HST. Varietas Bisi 222 dan varietas N-35 dipanen pada umur 109 HST, sedangkan varietas P21 dipanen pada umur 108 HST.

(31)

(a) (b) (c)

Gambar 2. Serangan Hama dan Penyakit pada Pertanaman Jagung: (a) Serangan Belalang (Oxya spp.) ; (b) Serangan Penggerek Batang (Ostrina furnacalis); (c) Serangan Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis)

Penyakit yang dominan menyerang pertanaman jagung adalah bulai yang disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydis. Pengontrolan penyakit bulai dilakukan setiap hari. Penyakit bulai menyerang pertanaman jagung pada umur 2 MST hingga 7 MST. Pengendalian penyakit bulai dilakukan dengan mencabut tanaman yang terserang. Adapun persentase tanaman yang terserang bulai pada pertanaman disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Tingkat serangan bulai pada pertanaman jagung

Varietas Perlakuan pyraclostrobin

0 ml ha-1 400 ml ha-1 …..……....………….%...

N35 4.55 2.82

P21 3.11 1.97

Bisi 222 1.67 1.11

Lamuru 2.54 1.69

Rataan 2.97 1.90

(32)

Hasil Analisis Ragam Berbagai Peubah

Hasil rekapitulasi sidik ragam pada berbagai peubah yang diamati dapat diketahui bahwa varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap semua peubah vegetatif, kecuali pada peubah tinggi tanaman pada 2 dan 3 MST serta lingkar batang pada 7 dan 8 MST varietas memberikan pengaruh nyata. Varietas berpengaruh sangat nyata terhadap indeks luas daun, bobot brangkasan dan indeks panen. Sedangkan pada peubah generatif dan komponen panen, varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap umur tasseling dan silking, berpengaruh nyata terhadap panjang tongkol dan jumlah baris serta kandungan amilosa biji jagung.

Tabel 2. Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai peubah

(33)

7 MST * tn tn

8 MST * tn tn

Tabel 2. Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai peubah (Lanjutan)

Peubah Pengamatan V P V*P

Bobot tongkol berkelobot/petak tn tn tn Bobot tongkol tanpa kelobot/petak tn tn tn

Bobot tongkol kering/petak tn tn tn

Berdasarkan Tabel 2 juga dapat diketahui bahwa aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1 tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati baik peubah vegetatif, peubah generatif maupun kandungan amilosa biji jagung serta tidak ada interaksi antara varietas dan pyraclostrobin terhadap semua peubah yang diamati.

Pertumbuhan Vegetatif

(34)

diferensiasi. Pada penelitian ini, pertumbuhan vegetatif yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang.

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada umur 2 MST hingga 8 MST. Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman. Namun, perlakuan pyraclostrobin tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan tinggi tanaman. Demikian juga, interaksi antara varietas dan pyraclostrobin juga tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan tinggi tanaman (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh varietas terhadap tinggi tanaman jagung

Varietas Umur Tanaman (MST)

nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 3, varietas Lamuru berbeda nyata dengan ketiga varietas lainnya. Selama pengamatan khususnya mulai 5 MST, varietas Lamuru lebih tinggi dari pada varietas N35, P21 dan Bisi 222. Pada 8 MST, tinggi tanaman varietas Lamuru adalah 164.00 cm, Bisi 222 adalah 146.53 cm, varietas N35 adalah 125.25 cm dan varietas P21 adalah 115.45 cm.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman tergantung pada varietas. Lakitan (1996) menyatakan bahwa laju pemanjangan batang berbeda antara spesies dan dipengaruhi oleh lingkungan di mana tanaman tersebut tumbuh. Faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pemanjangan batang adalah suhu dan intensitas cahaya. Suhu optimum untuk pemanjangan batang bervariasi tergantung jenis tanaman. Laju pemanjangan batang berbanding terbalik dengan intensitas cahaya. Pemanjangan batang lebih terpacu jika tanaman ditumbuhkan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah.

(35)

kekerasan lingkungan namun juga efektif dalam penyerapan cahaya dan cepat dalam pengambilan CO2 untuk fotosintesis (Gardner et al., 1991). Daun memiliki

peranan yang sangat penting dalam proses fotosintesis. Jumlah daun hanya dipengaruhi secara sangat nyata oleh varietas. Aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1 tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Jumlah daun tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh varietas terhadap jumlah daun jagung

Varietas Umur Tanaman (MST)

nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui selama penelitian rata-rata jumlah daun varietas Lamuru lebih banyak dibandingkan dengan ketiga varietas lainnya, namun pada 6 sampai 8 MST jumlah daun varietas Lamuru tidak berbeda nyata dengan Bisi 222. Pada akhir pengamatan (8 MST), rata-rata jumlah daun varietas Lamuru sebanyak 12 helai dan varietas Bisi 222 sebanyak 11.93 helai daun. Demikian juga varietas Pioneer 21 yaitu sebanyak 10.23 tidak berbeda nyata dengan varietas N35 yaitu sebanyak 9.73 helai daun.

(36)

berfotosintesis, karena perombakan klorofil dan hilangnya fungsi kloroplas (Lakitan, 1993).

Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun antara lain intensitas cahaya, suhu udara, ketersediaan air dan unsur hara. Berat dan volume daun maksimum lebih tinggi pada intensitas cahaya yang tinggi, tetapi luas daun maksimum telah tercapai pada intensitas cahaya yang relatif rendah. Dengan kata lain, intensitas yang tinggi menyebabkan bahan kering yang terakumulasi lebih banyak dan daun menjadi lebih tebal, tetapi luas daun tidak dipengaruhinya (Lakitan, 1996).

Diameter batang hanya dipengaruhi secara sangat nyata oleh varietas. Pyraclostrobin tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Diameter

batang tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh varietas terhadap diameter batang pada 3-8 MST

Varietas Umur Tanaman (MST) Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 5, secara umum rata-rata diameter batang varietas Lamuru lebih besar dari varietas lainnya (N35, P21, dan Bisi 222). Nilai diameter batang yang terbesar pada varietas Lamuru, sedangkan yang nilai diameter batang yang terkecil adalah varietas N35. Diameter batang pada 8 MST untuk varietas Lamuru pada perlakuan 1.79 cm sedangkan diameter batang varietas N35 adalah 1.47 cm.

(37)

ukuran tanaman (perpanjangan akar, perpanjangan batang) dan jaringan yang berfungsi dalam perbesaran tanaman (seperti penambahan diameter batang)

Adanya perbedaan pertumbuhan vegetatif antara keempat varietas disebabkan oleh sifat genetik dan karakter dari masing-masing varietas yang ditanam. Perbedaan tersebut juga disebabkan oleh kemampuan adaptasi dari masing-masing varietas terhadap lingkungannya. Adanya bentuk-bentuk yang berbeda dari suatu jenis tanaman terjadi akibat tanggapan tanaman tersebut terhadap lingkungan tempat tumbuhnya (Djafar et al. dalam Ermanita et al., 2004).

Waktu Tasseling dan silking

Varietas berpengaruh nyata terhadap waktu tasseling dan silking, sedangkan perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 serta tidak terdapat interaksi antara varietas dengan pyraclostrobin. Berdasarkan Tabel 6, waktu tasseling varietas N35, P21 dan Bisi 222 berbeda nyata dengan varietas Lamuru. Varietas Lamuru merupakan varietas yang waktu berbunga jantan (tasseling) paling cepat yaitu pada umur 51.8 HST, sedangkan varietas yang berbunga jantan paling lama adalah varietas P21 yaitu 62.0 HST. Varietas juga berpengaruh nyata terhadap waktu keluar bunga betina (silking). Varietas P21 berbeda nyata dengan varietas lainnya. Varietas N35 tidak berbeda nyata dengan varietas Bisi 222 namun keduanya berbeda nyata dengan varietas Lamuru. Varietas Lamuru merupakan varietas yang umur silkingnya paling cepat yaitu pada umur 55.7 HST sedangkan varietas P21 umur

(38)

Tabel 6. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap waktu tasseling dan silking 50 %

Peubah Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%

Indeks Luas Daun

(39)

Tabel 7. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap indeks luas daun (ILD)

Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa indeks luas daun varietas Bisi 222 dan Lamuru yang juga tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan varietas P21 dan N35. Rata-rata indeks luas daun yang paling tinggi adalah varietas Lamuru, yaitu sebesar 4.18 dan yang paling rendah adalah P21 dengan indeks luas daunnya 2.77. Perlakuan pyraclostrobin terlihat tidak berbeda antara perlakuan 400 ml ha-1 dan 0 ml ha-1. Namun aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1 cenderung meningkatkan nilai indeks luas daun dibandingkan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1. Nilai Rataan indeks luas daun pada aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1 sebesar 3.50, sedangkan pada 0 ml ha-1 sebesar 3.26.

(40)

(a) (b) (c) (d)

Gambar 3. Keragaan bentuk dan posisi daun pertanaman jagung: (a) Varietas N35 ; (b) Varietas P21 ; (c) Varietas 222 ; dan (d) Varietas Lamuru

Komponen Hasil

Varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah baris pada tongkol. Tabel 8 berikut ini merupakan rata-rata jumlah baris pada tongkol empat varietas jagung.

Tabel 8. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap jumlah baris pada tongkol jagung

Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

………Baris……….

N35 13.13 15.07 14.60a

P21 14.27 14.00 14.13ab

Bisi 222 14.80 14.93 14.87a

Lamuru 13.33 13.73 13.53b

Rataan 14.13 14.43

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

(41)

memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah baris pada tongkol jagung. Namun, perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 (14.43 baris) menghasilkan jumlah baris yang lebih tinggi daripada perlakuan 0 ml ha-1 (14.13 baris).

Varietas dan perlakuan pyraclostrobin berpengaruh tidak nyata terhadap diameter tongkol. Diameter tongkol yang terbesar dihasilkan oleh varietas Bisi 222 yaitu sebesar 4.43 cm sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh varietas N35 yaitu 4.12 cm. Perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 menghasilkan diameter tongkol yang sama dengan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 yaitu 4.32 cm. Namun varietas Lamuru memberikan respon yang baik terhadap perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 untuk diameter tongkol. Tabel 9 berikut ini merupakan rata-rata diameter tongkol empat varietas jagung.

Tabel 9. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap diameter tongkol

Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

...………cm………...

N35 4.10 4.14 4.12

P21 4.36 4.26 4.31

Bisi 222 4.48 4.38 4.43

Lamuru 4.34 4.50 4.42

Rataan 4.32 4.32

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

(42)

Tabel 10. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produksi

Peubah Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Panjang tongkol berkaitan erat dengan rendemen hasil suatu varietas. Jika panjang tongkol rata-rata suatu varietas lebih panjang dibandingkan varietas yang lain maka varietas tersebut berpeluang memiliki hasil yang lebih tinggi disbanding varietas lainnya (Robi’in, 2009). Tabel 10 menunjukkan bahwa panjang tongkol varietas N35 merupakan panjang tongkol yang paling besar (19.46 cm) sedangkan panjang tongkol yang paling kecil adalah varietas Lamuru (16.29 cm). Demikian juga untuk peubah panjang tongkol yang berisi, varietas mempunyai panjang tongkol berisi yang paling besar adalah varietas N35 (16.18 cm) sedangkan varietas yang panjang tongkol berisinya paling kecil adalah adalah varietas Lamuru (14.18 cm). Varietas yang memiliki respon yang baik terhadap perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 untuk panjang tongkol adalah varietas N35. Namun untuk peubah panjang tongkol berisi, varietas Lamuru memberikan respon yang baik terhadap perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1.

(43)

tanaman. Tabel 11 berikut merupakan rata-rata bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol tanpa kelobot, bobot tongkol kering dan bobot kering pipil per tanaman.

Tabel 11. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produksi per tanaman

Peubah Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

(44)

maupun bobot kering pipil per tanaman yang terendah adalah varietas Lamuru. Secara umum, varietas Lamuru memberikan respon yang baik terhadap perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 untuk bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol tanpa kelobot, bobot tongkol kering maupun bobot kering pipil per tanaman. Hal ini dapat dilihat dari nilai rataan dari masing-masing perlakuan pyraclostrobin.

Varietas berpengaruh tidak nyata terhadap bobot tongkol per petak, baik itu bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol tanpa kelobot, bobot tongkol kering maupun bobot kering pipil. Varietas Lamuru menghasilkan bobot tongkol berkelobot yang paling tinggi yaitu 13.27 kg per petak. Sedangkan varietas Bisi 222 menghasilkan bobot tongkol berkelobot yang paling rendah yaitu 12.77 kg per petak. Perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 cenderung meningkatkan bobot tongkol berkelobot (13.32 kg per petak) dibandingkan dengan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 yang menghasilkan bobot tongkol berkelobot sebesar 12.60 kg per petak (Tabel 12).

Berdasarkan Tabel 12, varietas Lamuru menghasilkan bobot tongkol tanpa kelobot yang paling tinggi yaitu 11.43 kg per petak. Sedangkan varietas menghasilkan bobot tongkol tanpa kelobot yang paling rendah yaitu P21 dengan 12.77 kg per petak. Perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 menghasilkan bobot tongkol tanpa kelobot (11.45 kg per petak) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 yang menghasilkan bobot tongkol tanpa kelobot sebesar 11.01 kg per petak

(45)

perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 menghasilkan 6.12 kg per petak jagung pipilan kering.

Tabel 12. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produksi per petak

Peubah Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1 nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Varietas yang memberikan respon yang paling baik terhadap perlakuan pyraclostrobin untuk peubah bobot tongkol berkelobot, bobot tongkol tanpa

(46)

kelobot, bobot tongkol kering dan bobot kering pipil pada perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 lebih besar daripada pyraclostrobin 0 ml ha-1.

Tongkol merupakan perkembangan dari bunga betina. Pertumbuhan tongkol dapat berhenti selama pembungaan kalau jumlah penyinaran yang tersekap per tanaman kecil (Tollenaar dalam Fischer dan Palmer, 1992). Jumlah asimilat yang mencapai tongkol sedang dipengaruhi oleh persaingan internal antara pengguna-pengguna yang lain ( daun, batang, akar, dan malai bunga jantan) dan karena itu setiap setiap perubahan kekuatan satu pengguna akan mempengaruhi penyediaan asimilat ke lain-lainnya. Pada permulaan periode kritis untuk perkembangan tongkol, pertumbuhan batang dan malai bunga jantan bertanggung jawab untuk bagian terbesar kenaikan berat kering daun dan akar yang lebih kecil. Lebih dekat ke pembungaan dan untuk suatu waktu tertentu setelah pembungaan bahan kering tertimbun dalam bagian reproduktif dan bagian vegetatif tongkol (Fischer dan Palmer, 1992).

Bobot Brangkasan dan Indeks Panen

Varietas berpengaruh nyata terhadap bobot brangkasan per tanaman. Berdasarkan Tabel 13, bobot brangkasan varietas lamuru berbeda nyata lebih tinggi dari tiga varietas lainnya yaitu N35, Bisi 222 dan P21. Sedangkan perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 tidak meningkatkan bobot brangkasan secara nyata, namun bobot brangkasan perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 cenderung lebih tinggi daripada perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1.

(47)

akan semakin besar bobot brangkasan yang dihasilkan. Bobot brangkasan menandakan efisiensi hasil fotosintesis yang disimpan di dalam jaringan tanaman.

Tabel 13. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap bobot brangkasan

Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan : Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Indeks panen merupakan pembagian hasil panen ekonomis jagung yaitu hasil pipilan kering per petak terhadap bobot brangkasan, bobot janggel dan bobot biji pipilan kering per petak. Varietas berpengaruh nyata terhadap indeks panen jagung. Namun, pyraclostrobin tidak berpengaruh nyata terhadap indeks panen serta tidak ada interaksi antara varietas dengan pyraclostrobin. Rata-rata indeks panen jagung dapat dilihat pada (Tabel 14).

Tabel 14. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap indeks panen

Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1 berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

(48)

sedangkan rata-rata indeks panen terendah adalah varietas Lamuru yaitu 0.301. Hal tersebut berarti bahwa varietas P21 menghasilkan biomassa ekonomis yang berupa biji pipilan kering yang lebih banyak daripada biomassa keseluruhannya (bobot brangkasan, bobot janggel dan bobot biji pipilan kering). Sedangkan untuk varietas Lamuru menghasilkan biomassa ekonomis yang berupa biji pipilan kering yang lebih sedikit daripada biomassa keseluruhannya (bobot brangkasan, bobot janggel dan bobot biji pipilan kering). Apabila dilihat indeks panen berdasarkan perlakuan pyraclostrobin, nilai indeks panen untuk varietas P21, Bisi 222 dan N35, indeks panen pada perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 lebih tinggi dibandingkan dengan pyraclostrobin 0 ml ha-1. Demikian juga nilai rataan dari masing-masing perlakuan pyraclostrobin, perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 menghasilkan indeks panen yang lebih tinggi (0.448) dibandingkan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 (0.433).

Indeks panen menunjukkan perbandingan distribusi hasil amilasi antara biomassa ekonomi dengan biomassa keseluruhan (Donald dan Hamblin dalam Gardner et al., 1991). Dari nilai indeks panen yang diperoleh menunjukkan varietas mempengaruhi indeks panen. Genotype dapat mempengaruhi kemampuan berkecambah dan menentukan potensial untuk membentuk srisip, jumlah bunga, jumlah bunga yang berkembang membentuk biji, jumlah hasil amilasi yang diproduksi, dan pembagian hasil amilasi (Gardner et al., 1991).

Produktivitas per Petak dan Produktivitas per Hektar

Varietas tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas per petak dan produktivitas per hektar pipilan kering biji jagung. Demikian juga dengan pyraclostrobin, tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas per petak dan per

hektar pipilan kering biji jagung. Adapun ukuran petakan jagung yang dipanen adalah 3 m x 4.5 m. Rata-rata produktivitas per petak dan produktivitas per hektar jagung dapat dapat dilihat pada Tabel 15.

(49)

yang produksinya paling rendah adalah N35 dengan produksi 5.77 kg per petak. Demikian juga untuk peubah produktivitas, yang paling tinggi produktivitasnya adalah varietas Bisi 222 dengan produktivitas 5.07 ton ha-1 dan yang paling rendah adalah varietas N35 yaitu sebesar 4.28 ton ha-1. Hal ini sedikit berbeda dengan yang seharusnya, di mana varietas N35 merupakan jenis jagung varietas hibrida menghasilkan produksi dan produktivitas yang lebih tinggi daripada varietas Lamuru yang jenis jagung bersari bebas. Iriany et al. (2001) menyatakan varietas hibrida memberikan hasil yang lebih tinggi daripada varietas bersari bebas karena hibrida menggabungkan gen-gen dominan karakter yang diinginkan dari galur penyusunnya, dan hibrida mampu memanfaatkan gen aditif dan non aditif. Penyebab rendahnya produktivitas dari varietas N35 dari penelitian ini diduga karena banyaknya tanaman jagung varietas N35 yang terserang penyakit bulai, yaitu 4.55 % pada perlakuan 0 ml ha-1 dan 2.82 % pada perlakuan 400 ml ha-1. Sementara itu varietas Lamuru hanya terserang bulai 2.54 pada 0 ml ha-1 dan 1.69 % pada 400 ml ha-1.

Tabel 15. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap produktivitas jagung

Peubah Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

(50)

Tabel 15 juga menunjukkan bahwa pada perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 (P1) menghasilkan produksi pipilan kering jagung per petak dan bobot pipilan jagung per hektar yang lebih tinggi daripada perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 (P0). Produksi pipilan jagung kering per petak pada perlakuan 400 ml ha-1 adalah 6.43 kg per petak sedangkan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 menghasilkan pipilan jagung kering sebesar 6.13 kg per petak. Untuk produktivitas, perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 menghasilkan pipilan jagung kering sebesar 4.76 ton ha-1 sedangkan perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 menghasilkan pipilan jagung kering sebesar 4.54 ton ha-1. Kecenderungan perlakuan pyraclostrobin meningkatkan produktivitas jagung diduga karena fungsi dari pyraclostrobin yang dapat mengurangi jumlah tanaman yang terserang penyakit dan fungsi unsur nitrogen yang terkandung dalam pyraclostrobin. Nitrogen diperlukan untuk merangsang pertumbuhan tanaman, meningkatkan khlorofil daun, memperbesar ukuran daun dan biji, mengatur penggunaan unsur P, K, dan unsur lain dalam tanah.

(51)

Kandungan Amilosa

Varietas berpengaruh nyata terhadap kandungan amilosa biji jagung, namun pyraclostrobin tidak berpengaruh nyata dan tidak ada interaksi antara varietas dengan pyraclostrobin.

Tabel 16. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap kandungan amilosa pada biji jagung

Varietas Perlakuan Pyraclostrobin Rataan 0 ml ha-1 400 ml ha-1

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 16 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan amilosa varietas Bisi 222 tidak berbeda nyata dengan P21 dan Lamuru, namun berbeda nyata dengan N35. Rata-rata kandungan amilosa jagung varietas Bisi 222 sebesar 25.72 % dan yang paling rendah kandungan amilosanya adalah varietas N35 dengan kandungan amilosa sebesar 23.43 %. Kandungan amilosa perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 tidak berbeda dengan pyraclostrobin 0 ml ha-1. Hal ini diduga karena konsentrasi pyraclostrobin yang diaplikasikan yaitu 400 ml ha-1 masih kurang atau belum mampu meningkatkan kandungan amilosa biji jagung. Konsentrasi tersebut dapat dinaikkan hingga 600 ml ha-1 dengan dosis 1.5 ml L-1. Rata-rata kandungan amilosa pada perlakuan pyraclostrobin 400 ml ha-1 sebesar 24.66 % sedangkan pada perlakuan pyraclostrobin 0 ml ha-1 sebesar 24.65

(52)

mencapai kurang dari 1 persen. Tanaman yang sifat genetiknya berbeda akan berbeda pula adaptasinya terhadap lingkungan. Hal ini akan berakibat pula terhadap perbedaan laju dan produk metabolisme yang dihasilkan. Oleh karena itu faktor yang diduga memberikan kontribusi terhadap perbedaan komposisi kimia pati jagung tersebut adalah sifat genetik. Menurut Suarni dan Widowati (2007), komposisi amilosa di dalam biji jagung terkendalikan secara genetik. Secara umum, baik jagung yang mempunyai tipe endosperma gigi kuda (dent) maupun mutiara (flint) mengandung amilosa 25-30 %.

Koefisien Korelasi antara Beberapa Peubah

Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 17 diperoleh bahwa tinggi tanaman berkorelasi positif sangat nyata dengan diameter batang dan Indeks luas daun serta berkolerasi positif nyata dengan bobot brangkasan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tanaman maka semakin besar diameter batang dan indeks luas daunnya serta semakin berat pula bobot brangkasannya. Diameter batang berkolerasi sangat nyata terhadap bobot brangkasan, semakin besar diameter batang maka akan semakin berat bobot brangkasannya. Namun tinggi tanaman. diameter batang, ILD dan bobot brangkasan berkolerasi tidak nyata dengan bobot pipilan kering per petak dan kandungan amilosanya. Demikian juga dengan bobot pipilan berkolerasi tidak nyata dengan kandungan amilosa jagung.

Tabel 17. Koefisien korelasi beberapa peubah tanaman

(53)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perbedaan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan vegetatif jagung dan berpengaruh nyata terhadap kandungan amilosa, indeks panen, bobot brangkasan, indeks luas daun, panjang tongkol, jumlah baris, waktu tasseling dan waktu silking. Aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1 pada 30 HST belum nyata meningkatkan pertumbuhan, produksi dan kandungan amilosa jagung dibandingkan pyraclostrobin 0 ml ha-1. Varietas N35 memberikan respon yang lebih baik terhadap aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1, untuk peningkatan produksi. Aplikasi pyraclostrobin 400 ml ha-1 cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada varietas Bisi 222 dan Lamuru.

Saran

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan. A.M., C. Rapar, dan Zubachtirodin. 2010. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 118 hal.

Aribawa, I. B., I.K. Kariada, dan M. Nazam. 2006. Uji adaptasi beberapa varietas jagung di lahan sawah. Peneliti Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali dan NTB. ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2007/TPH/ujiadaptasi.doc. [24 Maret 2012].

Bartholomaeus, A. 2003. Pyraclostrobin. Pyraclostrobin 275-319 JMPR 2003.

Berger, J. 1962. Maize Production and the Manuring of Maize. Conzett & Hubber. Zurich. 315p.

Badan Pusat Statistika. 2012. Produksi dan produktivitas jagung. http://www.bps.go.id. [25 Maret 2012].

Declercq, B. 2004. Pyraclostrobin. http://www.fao.org/ag/AGP/AGPP/ Pesticid/ JMPR/Download/2004_eva/Pyraclostrobinaf.pdf. [10 Juli 2011].

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida & Aplikasinya. Agromedia. Jakarta. 340 hal.

_____________. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Edisi Revisi. Kanisius. 211 hal.

Eik, K. and J.J. Hanway. 1966. Leaf area in relation to yield of corn grain. Agron. J. 58:16-19.

Ermanita, Y. Bey, dan Firdaus L.N. 2004. Pertumbuhan vegetatif dua varietas jagung pada tanah gambut yang diberi limbah pulp dan paper. Jurnal Biogenesis 1:1-8.

Fageria, N.K., V.C. Baligar, and R.B. Clark. 2006. Physiology of Crop Production. The Haworth Press, Inc. New York. 345 p.

Farida, R. 2011. Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dan Dosis Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Farnman, D.E., G.O. Benson, and R.B. Pearce. 2003. Corn perspective and culture. p.1-33. In P.J. White. dan L.A. Johnson.Corn: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists. Inc. USA.

(55)

Fischer, K.S. dan A.F.E. Palmer. 1992. Jagung tropik, hal 281-328. Dalam P.R. Goldsworthy dan N.M. Fischer (Eds.). Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik( diterjemahkan dari: The Physiology of Tropical Field Crops, penerjemah: Tohari). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (diterjemahkan dari: Physiplogy of Crop Plants, penerjemah: H. Susilo). Universitas Indonesia (UI) Press. Jakarta. 428 hal.

Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian (diterjemahkan dari: Statistical Prosedur for Agricultural Research. penerjemah: E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.

Habibah, E.Z. 2005. Uji Daya Hasil Lima Genotipe Jagung Manis pada Dua Lokasi di Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hal.

Harjadi, M.M.S.S. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 195 hal.

Iriany, R.N., A. Takdir, N.A. Subekti, M. Dahlan. 2001. Potensi Hasil Hibrida Jagung Umur Genjah CIMMYT. Prosiding Kongres IV dan symposium Nasional PERIPI. Yogyakarta.

Iriany, R.N., M. Yasin. dan A. Takdir. 2007. Asal, sejarah, evolusi, dan taksonomi tanaman jagung. hal 1-15. Dalam Jagung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Jugenheimer, R.W.1985. Corn Improvement, Seed production, and Uses. John Wiley, New York.

Kartasapoetra, A.G. 1988. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan di Daerah Tropik. Bina Aksara. Jakarta.

Komariah. 2007. Pengaruh Pemupukan Nitrogen, Fosfor dan Kalium terhadap Produksi dan Kualitas Jagung Semi (Zea mays L.) Skripsi. Program Studi Hortikultura. Institut Pertanian Bogor.

Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 205 hal.

Lambers, H., F.S. Chapin, and T.L. Pons. 1998. Plant Physiological Ecology. Springer-Verlag New York, Inc. USA. 540 p.

(56)

Palungkun, R. dan Y.H. Indriani. 1995. Hama Penyakit Sayur dan Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta. 207 hal.

Pesireron, M. and R. E. Senewe. 2011. Keragaan 10 varietas/galur jagung komposit dan hibrida pada agroekosistem lahan kering di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 7: 53-59.

Poehlman, J. M. and D. Borthakur. 1969. Breeding Asian Field Crops with Special Reference to Crop of India. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi. 385 p.

Putranto, A.S. 2008. Evaluasi Daya Gabung Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.) dengan Metode Silang Varietas. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 94 hal.

Riahi, E. and H.S. Ramaswamy. 2003. Structure and composition of cereal grains and legumes. p. 1-16. In A. Chakroverty. A.S. Mujumdar. G.S.V. Raghavan. H.S. Ramaswamy (Eds.). Handbook of Postharvest Technology Cereals. Fruits. Vegetables. Tea. and Spices. Marcel Dekker Inc. New York.

Robi’in. 2009. Teknik pengujian daya hasil jagung bersari bebas (komposit) di lokasi prima tani kabupaten probolinggo, jawa timur. Bul. Teknik Pertanian 14:45-49.

Ropiah, S. 2009. Perkembangan Morfologi dan Fisiologi Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Selama Pertumbuhan dan Pematangan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hal.

Rubatzky, V.C. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 1: Prinsip, Produksi, dan gizi. edisi kedua. (Terjemahan dari World Vegetables: Principles. Production. and Nutritive Value. Second Edition; penerjemah: C. Herison). ITB press. Bandung. 313 hal.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. (Terjemahan dari Plant physiology; penerjemah: D.R. Lukman). ITB Press. Bandung.

Singh, R.K. and B.D. Chaudhary. 1977. Biometrical Methods In Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi. 304 p.

Singh, N., K.S. Sandhu, dan M. Kaur. 2005. Physicochemical properties including granular morphology, amylose content, swelling and solubility, thermal and pasting properties of starches from normal, waxy, high amylose and sugary corn. Prog in Food Biopolym Res 1:43-55.

(57)

Subandi, M. Syam, dan A. Widjono. 1988. Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Subekti, N.A. Syafruddin, R. Efendi, dan S. Sunarti. 2007. Morfologi dan Fase Pertumbuhan Jagung, hal 16-28 Dalam Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Jakarta.

Sudjana, A., A. Arifin dan M. Sudjadi. 1991. Jagung. Buletin Teknik (3):1-27.

Suprapto dan J.A.R. Marzuki. 2002. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta. 48 hal.

Sutoro. 1985. Metode Pendugaan Luas Daun pada Tanaman Jagung. (Zea mays L.). Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 126 hal.

Syuryawati, C. Rapar. dan Zubachtirodin. 2007. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 115 hal.

Uddin, W. 2001. Pyraclostrobin: A promising new fungicide for turfgrass professionals. http://www.golfdom.com. [20 Desember 2011].

(58)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data iklim Darmaga, Bulan Juni-Oktober 2011

Data Bulan

Jenis data iklim Suhu rata-rata

(oC)

Curah hujan (mm)

Lama penyinaran (%)

Kelembaban (%)

Juni 26.1 274.6 88 77

Juli 25.8 202.0 87 80

Agustus 25.7 142.0 91 75

September 26.0 105.9 56 73

(59)

Lampiran 2. Deskripsi jagung hibrida varietas N 35 (Adnan et al.. 2010)

Tanggal dilepas : 6 Maret 2006

Asal : Persilangan antara galur murni FSX 6379 dengan galur murni MIL 0277 (FSX 6379 x MIL0277)

Umur : Berumur agak dalam

50 % keluar polen : 53 – 62 HST 50 % keluar rambut : 56 – 63 HST Masak Fisiologis : ± 97 HST (dataran rendah)

: ± 114 HST (dataran tinggi)

Bentuk tongkol : Panjang dan silindris

(60)

(H. Turcicum) dan busuk tongkol (D. Maydis). Keterangan : - Beradaptasi dengan baik dari dataran rendah

hingga ketinggian 1050 m dpl

- Kerapatan tanam dianjurkan ditanam dengan jarak tanam

Gambar

Gambar 2. Serangan Hama dan Penyakit pada Pertanaman Jagung: (a) Serangan Belalang
Tabel 2. Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai peubah
Tabel 2. Rekapitulasi hasil sidik ragam berbagai peubah (Lanjutan)
Tabel 6. Pengaruh varietas dan pyraclostrobin terhadap waktu tasseling dan silking 50 %
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan dosis 25 gram mikoriza Glomus fasciculatum berpengaruh nyata dalam meningkatkan efisiensi serapan Pb pada tanaman dahlia serta

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA APLIKASI ALGEBRATOR TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN HASIL BELAJAR SISWA MATERI PERSAMAAN GARIS. LURUS SISWA MTs DARUL HIKMAH TAWANGSARI TULUNGAGUNG

Sujud Tilawah adalah sujud bacaan, maksudnya dalah sujud yang yang dilakukan baik di dalam sholat ataupun di luar sholat sewaktu membaca atau mendengar bacaan

Analisis terhadap gelombang surja dalam belitan trafo bertujuan untuk mendapatkan model transien dari belitan trafo dan mengetahui respon belitan terhadap perambatan

Data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa strategi, antara lain: (1) melalui wawancara terstruktur mengenai berbagai informasi yang berkaitan dengan pengetahuan dan

Dibawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi dua cabang, cabang bagian anterior menjadi arteri dorsalis pedis yang dapat dipalpasi di bagian dorsum pedis,

5elain perbesaran uterus yang lebih menon!ol, pada MH# ditemukan pula dua hal lain yang berbeda dengan kehamilan normal, yaitu kadar hCG dan kista lutein. #adar hCG pada

Kebutuhan Fisiologis, karena dari data dan konsumen paling banyak yang memberikan alasan kemudahan dalam beribadah, seperti perlengkapan alat shalat, arah kiblat