• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FREKUENSI PENDINGINAN YANG

BERBEDA TERHADAP DAYA TETAS TELUR

ITIK PERSILANGAN CIHATEUP ALABIO

FITRIA DARAJAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Cihateup Alabio adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)

ABSTRAK

FITRIA DARAJAH. Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio. Dibimbing oleh RUKMIASIH dan RUDI AFNAN

Pemanfaatan ternak itik sebagai penghasil daging yang semakin meningkat membutuhkan adanya peningkatan populasi ternak itik untuk memenuhi permintaan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan frekuensi pendinginan yang paling tepat untuk meningkatkan daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio. Perlakuan pendinginan dilakukan dengan frekuensi 1 kali, 2 kali dan 3 kali. Pendinginan 1 kali dilakukan pada waktu siang hari (pukul 12.00-13.00 WIB). Pendinginan 2 kali dilakukan pada waktu pagi hari (pukul 06.00-07.00 WIB) dan sore hari (pukul 17.00-18.00 WIB), pendinginan 3 kali dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari dan sore hari. Alat dan bahan yang digunakan adalah termometer digital, telur sejumlah 491 butir yang berasal dari Balitnak Ciawi, KMnO4, Na2CO3, formalin 40% dan klorin. Daya tetas dari data penelitian yang diperoleh menunjukkan frekuensi pendinginan 1 kali, 2 kali dan 3 kali tidak berpengaruh nyata terhadap daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio. Frekuensi pendinginan telur 2 kali paling baik dilakukan karena rata-rata persentase daya tetas diperoleh paling tinggi sebesar 37.94%.

Kata kunci: daya tetas, frekuensi pendinginan, persilangan ciheteup alabio, telur itik

ABSTRAK

FITRIA DARAJAH. Effect Different Cooling Frequencies on Duck Egg Hatchability of Cihateup Alabio Cross Breeds. Supervised by RUKMIASIH and RUDI AFNAN

Increasing of duck rearing as a meat producer requires an increase in duck population to fulfill the demand. The objective of this research was to analyze the proper chilling frequency to increase duck egg hatchability from cihateup alabio cross breeds. Chilling frequencies used in this study were once, twice, and three times. One time chilling was done in the afternoon (12.00-13.00). Two times chilling was done in the morning (06.00-07.00) and in the evening (17.00-18.00). Three times chilling was done in the morning (06.00-07.00), in the afternoon (12.00-13.00), and in the evening (17.00-18.00). Materials used in the research were digital thermometer, 491 eggs from Balitnak Ciawi, KMnO4, Na2CO3, 40% formalin, and chlorin. The result showed a high fertility on duck egg from Cihateup Alabio cross breeds (>75% on average) with 4 : 16 (male : female) sex ratio. All of the chilling frequencies had no significant effect on egg hatchability from Cihateup Alabio cross breeds.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

PENGARUH FREKUENSI PENDINGINAN YANG

BERBEDA TERHADAP DAYA TETAS TELUR

ITIK PERSILANGAN CIHATEUP ALABIO

FITRIA DARAJAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio.

Nama : Fitria Darajah

NIM : D14090009

Disetujui oleh

Dr Ir Rukmiasih, MS Pembimbing I

Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio yang dilakukan sejak bulan Juni 2012 sampai bulan Agustus 2012. Shalawat dan salam Penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang menjadi panutan umat manusia.

Terimakasih Penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rukmiasih, MS dan Bapak Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr sebagai pembimbing, Bapak Dr Ir Ibnu Katsir Amrullah, MS dan Bapak Ahmad Yani, S TP MSi sebagai dosen penguji dalam ujian sidang saya, Ibu Prof Em Peni S Hardjosworo, MSc yang telah banyak memberikan masukan dalam pembuatan skripsi, Bapak Eka Koswara, SPt yang telah banyak memberikan pembelajaran terkait teknis lapang, para staf Balai Penelitian Ternak Ciawi yaitu Bapak Hamdan dan Bapak Slamet yang telah banyak membantu khususnya saat collecting telur, Diniati, Darifta, M. Khalid, Cira Marlinah, Aditya Ananda Putra dan Syaifudin yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak dan adik-adik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Alat 2

Bahan 3

Prosedur 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Telur 5

Fertilitas 6

Daya Tetas 7

Kematian embrio 9

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

(10)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik telur itik persilangan cihateup alabio 5

2 Produksi telur itik persilangan cihateup alabio 6

3 Pengaruh frekuensi pendinginan terhadap daya tetas 7

4 Suhu dan kelembaban dalam mesin tetas 8

5 Suhu kerabang telur selama penetasan 9

6 Karakteristik telur yang tidak menetas 11

DAFTAR GAMBAR

1 Mesin tetas manual 2

2 Sumber panas dan termostat mesin tetas manual 3

3 Kematian embrio pada selang umur telur yang berbeda 10 4 Karakteristik anak itik yang tidak menetas pada selang umur yang

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Itik termasuk ke dalam spesies unggas yang sudah lama dikenal masyarakat dan telah banyak menjadi usaha peternakan. Ternak itik dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber protein hewani baik dari konsumsi daging ataupun telur. Namun, beberapa waktu terakhir konsumsi daging itik semakin meningkat, sehingga perlu dilakukan peningkatan populasi Day Old Duck (DOD). Saat ini tingkat produksi telur itik lokal masih sangat rendah dan bervariasi jika dibandingkan dengan produksi telur ayam yang memiliki daya tetas mencapai 80%, sehingga perlu dilakukan perbaikan genetik bibit itik lokal untuk meningkatkan produksi telur. Secara alami telur itik ditetaskan di tempat yang kelembabannya lebih tinggi dibanding telur ayam disebabkan itik merupakan unggas air. Pori-pori kerabang telur itik lebih besar dibandingkan pori-pori telur ayam sehingga akan mempengaruhi evaporasi telur saat ditetaskan. Proses penetasan secara alami terjadi karena adanya transfer panas dari induk yang mengerami dan antara satu telur dan lainnya, hal tersebut diterapkan pada mesin tetas. Penetasan telur ayam dan telur itik dalam mesin tetas memiliki perbedaan. Telur ayam membutuhkan suhu yang konstan setiap hari sesuai dengan suhu ideal penetasan telur ayam, sedangkan pengelolaan penetasan pada telur itik lebih baik dilakukan pendinginan secara periodik untuk perkembangan embrio (Kortlang 1985). Selain itu, lama pengeraman telur itik mencapai 28 hari sedangkan pada ayam hanya mencapai 21 hari sehingga kemungkinan terjadi faktor gagal tetas lebih besar.

Itik alabio termasuk dalam jenis itik lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging dan itik cihateup berpotensi sebagai penghasil telur. Kedua galur tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga diharapkan hasil persilangannya memiliki sifat unggul tetuanya untuk menjadi bibit itik pedaging.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi pendinginan yang tepat pada penetasan telur itik galur cihateup-alabio (CA). Tujuan lain adalah menduga faktor- faktor yang menyebabkan kematian embrio.

Ruang Lingkup Penelitian

(12)

2

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai Agustus 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penetasan Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Alat

Mesin Tetas

Mesin tetas yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis mesin tetas manual berjumlah tiga unit dengan kapasitas tiga tray. Masing-masing tray berkapasitas 60-70 butir telur. Mesin tetas ini terbuat dari bahan kayu yang cukup tebal untuk menahan panas dari luar. Mesin tetas ini menggunakan sumber panas yang berasal dari lampu pijar yang terletak pada langit-langit mesin tetas. Pengaturan suhu menggunakan termostat yang terletak di pinggir mesin dan ventilasi mesin terletak pada langit-langit mesin.

Gambar 1 Mesin tetas manual

(13)

3

(a) Lampu pijar sebagai sumber panas (b) Termostat dalam mesin tetas

Gambar 2 Sumber panas dan termostat mesin tetas manual Peralatan lain

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat spray untuk menyemprot, termometer elektrik yang dapat mengukur suhu dan kelembaban, 5 nampan air untuk masing- masing mesin tetas. Selain itu juga digunakan jangka sorong, timbangan digital dan gelas ukur serta wadah dan tempat untuk fumigasi telur. Alat spray yang telah berisi air disinfektan untuk penyemprotan dimasukkan ke dalam mesin tetas agar suhunya tetap hangat.

Bahan

Telur Tetas

Telur yang digunakan pada penelitian ini adalah 491 butir telur itik persilangan cihateup alabio (CA) yang berasal dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi dengan umur 1 sampai 5 hari. Telur tersebut diperoleh dari persilangan itik jantan cihateup berumur 1 tahun yang berasal dari peternak asal Tasikmalaya Jawa Barat dengan itik betina alabio berumur 1.5 tahun yang berasal dari Kalimantan Selatan. Pemeliharaan dilakukan pada kandang dengan lantai litter berukuran 1.5 x 4.5 m berjumlah 4 unit. Setiap kandang diisi 19 ekor itik yang terdiri atas 4 ekor itik cihateup jantan dan 15 ekor itik alabio betina. Telur tetas diperoleh dengan cara perkawinan alami. Pakan yang diberikan berbentuk crumble dengan kandungan protein 16%-17%, kalsium 3.5%-4% dan energi metabolis 2 600 – 2 700 kkal/kg. Bahan lain yang digunakan yaitu KMnO3, formalin, Na2CO3, klorin dan disinfektan rodalon.

Prosedur

Persiapan Telur

(14)

4

menit untuk 150 butir. Telur kemudian ditiriskan dan diangin-anginkan sampai kering. Tahap berikutnya telur difumigasi menggunakan 20 g KMnO4 dan 40 ml formalin 40% untuk setiap 2.83 m3 ruangan. Telur dibagi ke dalam 3 trays sesuai dengan frekuensi perlakuan masing-masing dan diletakkan dalam 1 mesin tetas. Pemutaran telur dilakukan 3 kali dalam sehari. Air yang digunakan untuk pendinginan telur terdiri atas air aquades hangat dengan suhu yang sama dengan mesin tetas periode setter (37.4 oC) dengan komposisi 0.2 ml disinfektan rodalon untuk 1 L air.

Persiapan Mesin Tetas

Mesin tetas beserta dengan trays dan semua peralatan yang digunakan dibersihkan menggunakan air yang telah dicampur dengan disinfektan rodalon. Selanjutnya difumigasi menggunakan 40 g KMnO4 dan 80 ml formalin 40% untuk 2.83 m3 ruang mesin tetas.

Fumigasi dilakukan bersama dengan tray yang digunakan dan semua peralatan yang masuk ke dalam mesin tetas seperti nampan air dan alat spray serta alat ukur suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban disesuaikan untuk penetasan yaitu 37.4 ºC dan kelembaban 60%.

Pendinginan Telur

Perlakuan pendinginan telur dengan frekuensi 1 kali, 2 kali dan 3 kali ditempatkan pada 1 mesin tetas. Pendinginan telur dilakukan setiap hari sesuai taraf perlakuan masing-masing dimulai dari hari ke-3 setelah telur dimasukkan ke dalam mesin tetas. Perlakuan pendinginan dengan 1 kali pendinginan dilakukan di siang hari pada kisaran waktu 12.00-13.00. Perlakuan 2 kali pendinginan dilakukan pada waktu pagi (06.00-07.00) dan sore hari (17.00-18.00). Perlakuan dengan 3 kali pendinginan dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari pada kisaran waktu yang sama.

Telur dikeluarkan dari dalam mesin tetas untuk dilakukan pendinginan sesuai dengan perlakuan. Pintu mesin tetas segera ditutup kembali setelah telur dikeluarkan. Sebelum didinginkan suhu kerabang telur diukur menggunakan termometer digital kemudian telur diputar. Pendinginan dilakukan selama 15 menit dengan cara telur disemprot menggunakan air hangat yang telah dicampurkan air disinfektan. Jarak penyemprotan tidak terlalu jauh atau dekat dengan telur.

Pengukuran dan Penimbangan Telur

Pengukuran lebar dan panjang telur dilakukan sebelum telur dimasukkan ke dalam mesin tetas, sedangkan pengukuran diameter kantung udara dilakukan pada awal dan hari ke-25. Pengukuran menggunakan alat jangka sorong dengan ketelitian 0.1 mm.

(15)

5 Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan uji asumsi terlebih dahulu yaitu uji keaditifan, uji kenormalan, uji kehomogenan dan uji kebebasan galat. Apabila asumsi terpenuhi dilakukan analisis ragam (ANOVA), jika berbeda nyata dilakukan uji Duncan.

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan model :

Keterangan

Yi = Nilai pengamatan frekuensi pendinginan telur itik pada taraf pendinginan ke-i (1, 2, 3

kali pendinginan) dan periode penetasan ke-j (periode 1, periode 2, periode 3) µ = Rataan umum daya tetas telur itik

ai = Pengaruh taraf pendinginan ke- i (1, 2, 3 kali pendinginan) Pi = Pangaruh periode penetasan ke-j (periode 1, periode 2, periode 3)

ij = Pengaruh galat percobaan pada frekuensi pendinginan ke-i periode penetasan ke-j.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Telur

Karakteristik telur tetas antara lain meliputi bobot telur dan indeks telur. Data hasil penelitian bobot telur dan indeks telur itik persilangan cihateup alabio disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik telur itik persilangan cihateup alabio

Periode penetasan Bobot telur (g) Indeks telur (%)

1 69.91± 3.96 79.72± 2.65

2 68.87± 4.40 79.45± 3.03

3 68.54± 4.61 78.74± 3.20

Bobot telur

Setiap spesies unggas memiliki bobot telur yang khas. Menurut Gunawan (2001) bobot telur dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, makanan, komposisi telur, periode bertelur, umur unggas dan bobot badan induk. Data pada Tabel 1 menunjukkan bobot telur itik persilangan cihateup alabio termasuk dalam kriteria sebagai telur yang baik untuk ditetaskan (65-75 gram) dengan bentuk yang normal (Setioko 1998). Berdasarkan analisis statistik, bobot telur itik persilangan CA antar periode penetasan tidak berbeda atau seragam. Telur tetas yang seragam akan meminimalkan perbedaan laju metabolisme dan evaporasi telur selama berada dalam mesin tetas

(16)

6

Semakin bertambahnya umur itik maka bobot telur yang dihasilkan semakin besar (Suprijatna et al. 2008).

Indeks telur

Indeks telur merupakan perbandingan antara lebar dan panjang telur yang dinyatakan dalam persen. Menurut Nurcahyo dan Widyastuti (1998), bentuk telur dipengaruhi oleh umur induk. Induk yang berumur muda menghasilkan telur yang berbentuk lonjong dan induk yang berumur tua menghasilkan telur yang berbentuk bulat. Selain itu, bentuk telur juga dipengaruhi oleh lebar diameter isthmus. Semakin lebar diameter isthmus maka telur yang dihasilkan akan semakin bulat.

Data pada Tabel 1 menunjukkan kisaran indeks telur cihateup alabio adalah 78.74%-79.72%. Nilai tersebut berada dalam kisaran indeks telur itik mojosari pada penelitian Rusandih (2001) yaitu 71.55%-86.55%. Daya tetas pada penelitian tersebut mencapai 26.70%, lebih rendah dibandingkan daya tetas pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan semakin seragam indeks telur maka semakin meningkatkan daya tetas.

Fertilitas

Fertilitas diperoleh dari jumlah telur yang fertil dibagi dengan jumlah telur yang dieramkan dikali 100%. Fertilitas dan produksi telur itik CA pada kelompok umur yang berbeda disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Produksi telur itik persilangan cihateup alabio Umur

Produksi telur dalam penelitian ini merupakan persentase telur yang diperoleh dalam 1 minggu. Produksi telur itik penelitian tertinggi diperoleh pada saat mulai dikoleksi sebagai telur tetas yaitu pada kelompok penetasan pertama sebanyak 190 butir. Produksi telur terus menurun setiap periode koleksi telur tetas yang dilakukan setiap minggu. Penyebab semakin rendahnya produksi telur diduga karena umur itik yang semakin tua dan sudah melewati puncak produksi. Menurut Setioko et al. (2005), puncak produksi itik alabio yang diseleksi yaitu pada bulan ke-8 mencapai hingga 80.69%.

(17)

7 batas minimum standar kebutuhan itik petelur sehingga kurang mencukupi kebutuhan ternak itik.

Data pada Tabel 2 memperlihatkan fertilitas yang diperoleh cukup tinggi (di atas 75%). Hal ini menunjukkan perbandingan jantan : betina induk (4:15) cukup untuk pemeliharaan itik secara intensif. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan, umur induk, panjang waktu penyimpanan antara saat bertelur sampai telur tersebut ditetaskan dan kemampuan pengelolaan telur yang dihasilkan (Ensminger 1992). Butcher dan Miles (2011) menambahkan upaya untuk meningkatkan nilai fertilitas dan daya tetas telur dapat dilakukan melalui kegiatan sanitasi mesin tetas, fumigasi maupun penyemprotan cairan disinfektan untuk membunuh kuman-kuman/mikroorganisme yang terdapat pada peralatan penetasan maupun yang menempel pada kulit telur. Fertilitas telur yang baik mencapai lebih dari 70%. Namun, fertilitas telur tersebut kurang maksimal jika dibandingkan dengan penelitian Matitaputy (2012) yang rata-rata mencapai 95%. Hal ini disebabkan oleh daya adaptasi antar ternak yang berbeda galur dan manajemen pakan.

Nilai fertilitas tertinggi yaitu pada pada periode penetasan ke-2. Fertilitas periode penetasan ke-1 lebih rendah karena daya adaptasi antar ternak yang masih belum cukup sehingga terdapat telur infertil lebih banyak. Periode penetasan ke-3 fertilitasnya lebih rendah daripada periode penetasan ke-2 karena teknis pemberian pakan dengan kuantitas yang lebih rendah pada periode penetasan tersebut. Nutrisi pakan baik dari segi kualitas dan kuantitas mempengaruhi fertilitas telur yang dihasilkan ternak itik sesuai dengan pernyataan Brun (2012) yang menyatakan nutrisi yang diperoleh ternak baik dari segi kualitas dan kuantitas akan sangat mempengaruhi fertilitas telur karena mempengaruhi ejakulasi dengan kualitas buruk, ovulasi tidak normal dan regresi testis.

Telur-telur fertil dan infertil dapat dipisahkan dengan cara peneropongan di awal hari ke-3 (48 jam setelah inkubasi). Pemikiran yang sama diungkapkan oleh North dan Bell (1990), untuk mengetahui telur fertil atau infertil dapat dilakukan melalui peneropongan pada hari ke-3 sampai 7 penetasan dengan memperhatikan keberadaan pembuluh darah dalam telur.

Daya Tetas

Daya tetas adalah persentase telur yang menetas dari total telur yang fertil. Menurut Nuryati et al. (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah kondisi induk, kondisi telur tetas, kondisi mesin tetas dan pengelolaan penetasan. Tabel 3 menunjukkan daya tetas telur itik CA yang mendapat perlakuan frekuensi pendinginan.

(18)

8 digunakan pada penyimpanan 5-7 hari. Setioko (1998) menyatakan pendinginan dengan cara penyemprotan telur pada penetasan telur itik sangat penting. Penyemprotan air dilakukan untuk mengganti air yang hilang pada saat dilakukan pendinginan telur. Kelembaban berfungsi untuk mengurangi kehilangan cairan dari dalam telur selama proses penetasan, membantu pelunakan kulit telur pada saat akan menetas sehingga anak unggas mudah memecahkan kulit telur.

Data menunjukkan bahwa pendinginan 2 kali sehari menghasilkan daya tetas yang paling tinggi dengan rataan sebesar 37.94%. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi pendinginan sebanyak 2 kali pada periode pengeraman lebih baik jika dibandingkan dengan pendinginan 1 kali dan 3 kali. Hal ini disebabkan pendinginan 2 kali yang dilakukan pada waktu pagi hari digunakan untuk mengatasi peningkatan suhu telur akibat metabolisme pada saat malam hari dan mencegah peningkatan suhu pada siang hari. Pendinginan sore hari digunakan untuk mengatasi peningkatan suhu telur akibat metabolisme pada saat siang hari dan mencegah peningkatan suhu pada malam hari. Namun, daya tetasnya masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Matitaputty (2012) yang menunjukkan daya tetas sebesar 61%.

Penyebab masih rendahnya daya tetas yang dihasilkan diduga karena suhu dan kelembaban tidak memenuhi syarat ideal. Suhu di setter pada penelitian ini 35.52-37.78 oC dan hatcher 35.53-37.96 oC dengan kelembaban setter 53%-60% dan hatcher 53%-61% (Tabel 4). Sementara menurut Kortlang (1985), suhu ideal yang disarankan untuk periode setter pada itik adalah 37.3 oC dan selama periode hatcher 36.9 oC. Bila suhu terlalu rendah itik yang dihasilkan akan berukuran besar dan bulunya lembut serta penetasan menjadi lambat (Kortlang 1985). Berikut data suhu dan kelembaban dalam mesin tetas selama periode setter dan hatcher dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Suhu dan kelembaban dalam mesin tetas Periode

penetasan

Suhu ( oC) Kelembaban (%)

Setter Hatcher Setter Hatcher

1 35.52±0.16 35.53±0.15 59±2.53 59±2.68

2 36.18±0.13 36.28± 0.17 60±2.01 61±2.08

3 37.80±0.29 37.96±0.30 53±1.3 53±1.53

(19)

9 yang memiliki suhu lebih rendah. Suhu mesin tetas menjadi lebih rendah dan memiliki waktu yang cukup lama untuk mencapai suhu dan kelembaban optimal karena menggunakan lampu pijar sebagai sumber panas. Suhu pada periode penetasan ke-3 memiliki nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan suhu optimal yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan termostat pada mesin tetas yang digunakan untuk periode ini tidak memiliki sensitivitas yang baik terhadap tinggi rendahnya suhu. Menurut Kortlang (1985) secara umum suhu terlalu tinggi memiliki efek buruk pada daya tetas daripada suhu yang terlalu rendah.

Faktor lain yang mempengaruhi daya tetas adalah suhu embrio. Pengukuran suhu embrio secara langsung akan merusak perkembangan embrio. Menurut Lourens (2007) pengukuran embrio paling baik dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui kerabang telur. Berikut data temperatur kerabang telur ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Suhu kerabang telur selama penetasan Periode penetasan Perlakuan pendinginan (

Tabel 5 menunjukkan suhu kerabang telur bervariasi pada perlakuan pendinginan pada periode 1. Suhu kerabang telur yang bervariasi diakibatkan panas tidak tersebar rata pada mesin tetas. Mesin tetas yang digunakan tidak memiliki sistem penyebaran udara sehingga hanya mengandalkan ventilasi untuk sirkulasi. Selain itu, perbedaan frekuensi pendinginan yang terletak pada 1 mesin tetas mengakibatkan telur tidak memiliki suhu yang sama yang berdampak pada perbedaan laju metabolisme. Suhu kerabang telur yang bervariasi akan menurunkan daya tetas dan mengakibatkan itik yang menetas memiliki kemampuan yang lemah untuk bertahan pada suhu yang lebih rendah dari suhu pada periode hatcher (Lourens 2005). Data suhu kerabang telur pada periode 2 menunjukkan suhu embrio tidak mencapai suhu yang diharapkan yaitu 37.4 oC sehingga mengakibatkan telur terlambat menetas dan menurunkan daya tetas (Kortlang 1985). Suhu kerabang telur pada periode penetasan ke-3 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu optimal. Menurut Kortlang (1985) kelebihan suhu sebanyak 0.5 oC selama 3 hari akan menurunkan daya tetas hingga 50%.

Kematian embrio

(20)

10

panjang, lebar dan penguapan air dari kerabang) dan kecepatan metabolisme mempengaruhi perkembangan embrio dan kemampuan daya tetas.

Kematian embrio dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kematian awal yang terjadi pada minggu pertama (3-7 hari), kematian pertengahan yang terjadi pada selang umur 8-24 hari dan kematian akhir yang terjadi saat telur di dalam hatcher (>25 hari). Penyebab utama kematian embrio disebabkan suhu dan kelembaban yang tidak mencapai suhu dan kelembaban optimal untuk perkembangan embrio.

Gambar 3 Kematian embrio pada selang umur telur yang berbeda

(21)

11

(a) umur 3-7 hari (b) Umur 8-24 hari

(c) Umur > 25 hari (d) Umur > 25 hari

Gambar 4 Karakteristik anak itik yang tidak menetas pada selang umur yang berbeda

Karakteristik dari telur yang tidak menetas dapat dilihat pada Tabel 6 dengan parameter yang diamati yaitu bobot telur dan indeks telur. Menurut Setioko (1998), berat telur itik yang baik untuk ditetaskan berkisar antara 65-75 gram dengan bentuk yang normal. Telur yang bentuknya pendek dan bulat tanpa dipengaruhi oleh bobot telur akan menunjukkan angka indeks telur yang tinggi. Romanoff (1963) mengemukakan bahwa bentuk telur yang ideal adalah telur yang mempunyai ukuran dengan lebar 4.2 cm dan panjang 5.7 cm atau indeks telur sebesar 73.68%

Tabel 6 Karakteristik telur yang tidak menetas

Parameter Perlakuan pendinginan

1 kali 2 kali 3 kali

Bobot telur (g) 69.44 68.83 69.22

Indeks telur (L/P) 79.13 79.61 79.40

Diameter telur hari ke-25 (cm)

(22)

12

Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa bobot telur, indeks telur dan diameter dari telur yang tidak menetas tidak jauh berbeda antara taraf perlakuan. Telur yang digunakan pada penelitian ini sudah seragam, terlihat dari bobot telur dan indeks telur yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa parameter bobot telur, dan indeks telur tidak mempengaruhi kematian embrio. Selain itu, diameter telur itik pada hari ke-25 tidak menunjukkan perbedaan sehingga kematian embrio tidak disebabkan laju penguapan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Frekuensi pendinginan telur 2 kali yaitu pada waktu pagi dan sore hari paling baik dilakukan karena rata-rata persentase daya tetas diperoleh paling tinggi sebesar 37.94%. Karakteristik embrio yang tidak menetas antara lain karena bentuk paruh yang tidak sempurna, cacat pada kaki, bentuk kepala tidak sempurna dan kuning telur belum masuk seluruhnya ke dalam tubuh. Penyebab kematian embrio diduga adalah suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dengan suhu dan kelembaban yang optimal untuk perkembangan embrio dan adanya akumulasi disinfektan pada telur.

Saran

Sanitasi kandang tempat pemeliharaan induk harus selalu terjaga untuk mendukung telur tetas yang baik. Manajemen pemeliharaan dengan jarak tempat pakan dan minum yang tidak berjauhan disesuaikan dengan tingkah laku ternak seperti tingkah laku makan dan minum. Penggunaan alat mesin tetas yang lebih stabil dalam pengaturan suhu.

DAFTAR PUSTAKA

Butcher G, Richard M. 2011. Minimizing microbial contamination in feed mills producing poultry feed [Internet]. [diunduh 2012 Des]. Tersedia pada: http//http://edis.ifas.ufl.edu.

Brun J, Mialon M, Sellier N, Brillard JP, Rouvier R. 2012. Inheritance of duration of fertility in female common ducks (Anas platyrhynchos) inseminated in pure breeding or in inter-generic crossbreeding with Muscovy drakes (Cairina moschata). Animal Science. 6(11):1731-1737.doi:10.1017/S1751731112001206.

Cherry P, Morris TR. 2008. Domestic duck production: science and practice. United Kingdom (US) : Biddles Ltd.

(23)

13 Gunawan H. 2001. Pengaruh bobot telur terhadap daya tetas serta hubungan antara bobot telur dan bobot tetas itik mojosari [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Harun MAS, Veeneklaas RJ, Visser GHM, Kampen V. 2001. Artificial incubation of Muscovy Duck eggs: why some eggs hatch and others do not. Poultry Sci. 80: 219-224.

Kortlang CFHF. 1985. The incubation of duck eggs. In: duck production science and world practice. London (GB) : University of New England. p 168-177. Lourens A, Van den Brand H, Heetkamp MJW, Meijerhof R, Kemp B. 2007.

Effects of eggshell temperature and oxygen concentration on embryo growth and metabolism during incubation. Poultry Sci. 86: 2194-2199. Lourens A, Van den Brand H, Meijerhof R, Kemp B. 2005. Effect of eggshell

temperature during incubation on embryo development, hatchability and post-hatch development. Poultry Sci. 84:914-920

Matitaputty PR. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan antara itik cihateup dengan itik alabio [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Ngobe M. 2003. Perkembangan bobot dan penampilan embrio itik Alabio dan hasil persilangannya dengan entok jantan sebagai pedoman untuk menduga umur embrio [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

North M, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth Edition. Westport, Connecticut (US):The AVI Publishing Co. Inc.

Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 1998. Usaha Pembesaran Ayam Kampung Pedaging. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Nuryati T, Sutarto T, Khamim M, Hardjosworo PS. 2000. Sukses menetaskan telur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Prasetyo LH, Susanti T. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV. 5(4):209–213. Setioko AR. 2005. Fertilitas dan kematian embrio pada perkawinan silang entog jantan dan itik betina. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan IPB. Bogor (ID), 16-17 November 2005. Ciawi. hal: 271-280.

Setioko AR. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa. 2(7):40-46.

Sinurat AP. 2000. Penyusunan ransum ayam buras dan itik. Pelatihan Proyek Pengembangan Agribisnis Peternakan. Jakarta, 20 Juni 2000. Dinas Peternakan DKI Jakarta.

Suprijatna E, Umiyati A, Ruhyat K. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Volume ke-2. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

(24)

14

Lampiran 1 Sidik ragam persentase daya tetas itik CA berdasarkan perlakuan Sumber

keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

Fhitung Pr>F Perlakuan 2 498.3327111 124.5831778 29.97 0.0031

Galat 11 16.6286444 4.1571611

Total 13 514.9613556

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ruteng, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 1 Mei tahun 1991 dari pasangan Achmad Hanifah dan Puji Astuti dan memiliki tiga saudara laki-laki yaitu Juhdi Syahirul Alim, Zaki Fathullah, dan Ajid Qistan. Penulis diterima di Fakultas Peternakan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) 2009. Selama studi di Fakultas, Penulis aktif di Organisasi Intrakampus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D).

Gambar

Gambar 1  Mesin tetas manual
Gambar 3  Kematian embrio pada selang umur telur yang berbeda
Gambar 4  Karakteristik anak itik yang tidak menetas pada selang umur yang

Referensi

Dokumen terkait

Email: b up ati@

sehingga mata rantai keilmuan yang seolah- olah putus dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan bangsa Yunani menjadi bersemi kembali. Namun demikian, bangsa romawi seakan

Pihak luar ( terminator/external entity ) dapat berupa sistem lain perankat keras, orang atau organisasi, dalam Sistem Autoresponse ini yang bertindak sebagai

Pada gastritis terjadi respons inflamasi baik akut maupun kronik. Terjadi aktivasi sitokin-sitokin yang menyebabkan terjadinya inflamasi mukosa.. IL-6 dan IL-8 mukosa

Hal ini disebabkan karena pemberian pupuk kompos akan memberikan pengaruh sifat fisik dan biologi tanah yang menjadi lebih gembur, sehingga tata ruang dalam

Dari penelitian tersebut dalam disimpulkandari pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZ (Badan Amil Zakat) di Kabupaten Tulang Bawang dalam mendayagunakan dana zakat

Peningkatan kadar SGPT dan SGOT yang terjadi masih dalam batas normal bukan merupakan indikasi kerusakan fungsi hati, sehingga dapat dinyatakan bahwa konsumsi