Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
Putri Ajeng Fatimah 107034001546
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYRIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Juni 2011
i
“ Waris Kalâlah Dalam Pandangan Wahbah Az-Zuhaily ” ( Tafsir QS. Al -nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ).
Kalâlah dalam warisan Islam pada dasarnya membahas tentang hak kedua
saudara dan saudari untuk mewarisi uang, properti,dll, sebagai akibat dari
meninggalnya seseorang. Ada pendapat yang berbeda tentang makna kalâlah itu
sendiri. Sebagian ulama ataupun mufassir mendefinisikan sebagai seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah atau seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan orang tua. Selain itu, beberapa pihak dari ulama atau mufassir pula berpendapat bahwa dipandang hanya dari seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak saja.
Berdasarkan analisis dari kedua ayat dalam surat Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan
ayat 176 ) disini, dapat disimpulkan bahwa terbukti perbedaan makna kalâlah di
antara para ulama ataupun mufassir – mufassir dengan Wahbah Az-Zuhaili, yakni
mendefinisikan sebagai seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan orang tua, seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah ataupun seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak saja. Adapun mengenai
pembagian – pembagiannya terhadap orang yang menerima waris, pendapat
Wahbah Az-zuhaily memiliki persamaan dengan mufassir lainnya. Hanya saja terdapat penambahan dalam setiap pembagiannya. Dengan demikian yang disebut
sebagai kalâlah adalah saudara baik laki – laki maupun perempuan sebagai posisi
seseorang yang menjadi pewaris. Ini berarti ketidakmungkinan dari saudara seseorang untuk menerima beberapa warisan jika seseorang meninggal dunia meninggalkan anak (anak laki atau putri) dan ayah.
ii
Yang Maha Esa, Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, serta para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka
memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan, penulis tidak luput dari hambatan dan kesulitan. Namun,
berkat bantuan, motivasi dan dukungan dari semua pihak yang terkait dengan
penulis, alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah .
3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si , selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.
4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Selaku sekretaris Jurusan Tafsir
Hadis.
5. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA selaku Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan, bimbingan
iii penulis kuliah di UIN Jakarta.
7. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FUF,
Pusat Studi Alqur’an dan Perpustakaan Iman Jama'.
8. Ayahanda tercinta ( H. Lasiyo ) dan Ibunda tersayang ( Hj. Tri
Kusmiyati ) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, untaian do’a,
dukungan moril maupun materil, semangat dan rasa cintanya yang tak
terhingga dan begitu mendalam, yang selalu dicurahkan sepanjang masa.
Kakakku tersayang ( Almh. Ayu Wulandari ) yang selalu memberikan
arahan dan supportnya sampai engkau menutup mata untuk selamanya.
Semoga Allah memberikan tempat yang terindah di surga untukmu.
Kemudian adikku (Intan Tri Aisyah dan Nurlatifah Tusa’diyah) dan
keponakanku yang imut ( Aluthfi Galih Setyadika ) yang selalu ceria
menemaniku dengan segenap keceriaan canda dan tawa. Serta seluruh
keluarga besarku yang memberikan motivasi kepada penulis dalam
pembuatan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan TH B “07 UIN Jakarta, Special buat
( Nuril, May, Zahro & Reva, dan Bundaqu Ana Fauziyah & Rafa ). Buat semua Makasih ya untuk kebersamaanya dan supportnya selama ini. Banyak sekali kenangan – kenangan indah yang telah kita lewati
iv
11.Furkon Hidayat ( seseorang yang selalu sabar sekali dalam menghadapi
kepusingan saya selama pembuatan skripsi ini dan selalu meluangkan
waktunya setiap saat, serta selalu membuat tersenyum dalam kondisi
apapun ). makasih untuk smua’a..Ayaah ..
12.Kholis dan Ruri ( yang telah banyak membantu penulis dan meluangkan
waktu serta membekali penulis dengan ilmu pengetahuan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Bagaimanapun penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih
banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, penulis akan sangat berterima
kasih atas saran dan kritik yang membangun dari pembaca, besar harapan penulis
agar karya tulis ini dapat bermanfaat.
Akhirnya, penulis hanya dapat berdo’a kepada Allah SWT semoga segala
bantuan dan jasa dari berbagai pihak nantinya akan dilimpahkan pahala yang
berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat.
Jakarta, Juni 2011
v
KATA PENGANTAR……….... ii
DAFTAR ISI……….…... v
PEDOMAN TRANSLITERASI………..... vii
BAB I PENDAHULUAN……….…........ 1
A. Latar Belakang Masalah……….….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….…….. 9
C. Tujuan Penelitian .………...…… 10
D. Kajian Pustaka …..……… 10
E. Metodologi Penelitian………..………. 12
F. Sistematika Penulisan………...………. 13
BAB II TAFSIR AL-MUNIR DAN PENULISNYA ... 15
A. Biografi Wahbah az-Zuhaily …………...……..………… 15
1. Kehidupan dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaily……... 15
2. Karir Akademis Wahbah az-Zuhaily……… 17
3. Karya – karya Wahbah az-Zuhaily………... 18
B. Tafsir Al –Munir………..…..………... 19
1. Motivasi... 19
2. Sumber Penafsiran... 19
3. Referensi Utama... 20
4. Metode ... 21
5. Corak... 21
vi
1. Pengertian Warisan……… 24
2. Pengertian kalâlah……… 25
B. Penafsiran Ayat kalâlah... 28
1. Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 12……….. 28
2. Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 176……… 39
C. Analisa... 43
BAB IV PENUTUP……….. 52 A. Kesimpulan……… 52
B. Saran……….. 53
vii Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B Be
T Te
Ts te dan es
J Je
H h dengan garis bawah
Kh ka dan ha
D da
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh ge dan ha
1
viii
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
H Ha
„ Apostrof
Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ___
___ a fathah
______ i kasrah
___
___ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي__َ__ ai a dan i
__َ __
ix
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اَــ â a dengan topi di atas
يــ î i dengan topi di atas
وـــ û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t)(lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
x
no Kata Arab Alih aksara
1 tarîqah
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata “ Qur‟an ” menurut bahasa berarti “bacaan”. Adapun definisi
Al-Qur‟an ialah : “ Kalam Allah swt yang merupakan merupakan mukjizat yang
diturunkan ( diwahyukan ) kepada Nabi Muhammad saw.1 Sewaktu Al-Qur‟an
diturunkan pada kira – kira tiga belas setengah abad yang lalu, di dunia sudah
terdapat banyak agama dan banyak kitab yang dianggap suci oleh pengikut –
pengikutnya, dan itulah salah satu sebab mengapa al-Quran harus diturunkan.2
Al-Quran diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka ( umat
manusia ), yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak diturunkan
hanya untuk suatu umat atau untuk suatu abad, tetapi untuk seluruh umat manusia
dan untuk sepanjang masa. Karena itu luas ajaran – ajarannya adalah sama dengan
luasnya umat manusia.3
Al-Qur‟an diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang
gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Pada
saat problem itu al-Qur‟an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar –
dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan utnuk langkah – langkah
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989) Hal : 16
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Semarang : CV . Alwaah, 1989) Hal : 38
3
manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman. Manusia yang kini tersiksa
hati nuraninya dan akhlaknya yang sudah rusak, tidak mempunyai pelindung lagi
dari kejatuhannya dalam jurang kehinaan selain al-Quran.4
Sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat Tâhâ ayat 123 – 124 :
Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".5
Al-Quran karim sebagai mukjizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad
saw, amat dicintai oleh kaum muslimin, karena fasahah serta balaghahnya
( keindahan susunan dan gaya bahasanya ) yang tidak dapat dibandingi dari
bacaan lainnya dan sebagai sumber kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.6
Al-Quran yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi saw. memiliki
sejumlah mukjizat yang tidak akan pernah di kalahkan. Mukjizat yang dikandung
al-Quran ini hadir dalam berbagai aspek baik dari segi pemaparannya,
pemberitaannya, bahasa dan lainnya. Banyak sekali literature yang sudah
4
Asep Murdana, Lafazh yang bermakna kebaikan dalam perspektif al-qur’an, ( Jakarta : Hal 1-2 )
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah ( Bandung : Diponegoro, 2005)
6
menyusun tentang kemukjizatan ini, salah satu contoh yang paling dekat adalah
mufassir Indonesia, M.Quraish Shihab yang menurunkan tema ini dalam bukunya
Mukjizat al-Qur’an.
Sesunguhnya keagungan al-Qur‟an tidak terbatas, Setiap manusia yang
hidup di atas muka bumi ini wajib mempelajari dan mendalaminya. Al-qur‟an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, pembawa
hidayah dan kebenaran kepada umatnya.7
1. Alif laam raa8. inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah ( Yunus : 1.)
Sesuai dengan sejarahnya yang murni dan kandungannya yang lengkap,
sempurna dan objektif serta langgeng , adalah wajar apabila al-Qur‟an berfungsi
sebagai pedoman hidup, petunjuk jalan, pegangan yang kukuh, penerangan yang
jelas antara yang benar dan salah bagi umat manusia sepanjang masa . dengan
fungsi inilah al-qur‟an diturunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad saw
untuk disampaikan kepda umat manusia di muka bumi ini .
7
Syazwani , hak perempuan dalam pembagian harta warisan menurut al-qur’an ,( Jakarta : Hal . 1 )
8
Maka sangatlah pantas apabila Rasulullah saw, sebagai manusia pertama
yang menjadi transmitter pewahyuan al-Qur‟an yang mempunyai tanggung jawab
yang besar terhadap keutuhan dan keontetikan al-Qur‟an. Setiap kali wahyu turun
beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabatnya serta memerintahkan
mereka untuk langsung mencatatnya. 9
Di dalam Al-Quran banyak sekali pembahasan mengenai permasalahan
yang terjadi di dunia ini, salah satu masalah pokok yang dibicarakan oleh
al-qur‟an adalah kewarisan. Kewarisan , pada dasarnya, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian aspek ajaran Islam
yang pokok .
Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum
perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.10 Oleh karena itu, dalam
mengaktualisasikan hukum kewarisan yang terdapat dalam al-qur‟an, maka
eksistensinya harus dijabarkan dalam bentuk praktik faktualnya.11
Di awal perkembangan dan pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad adalah
idola yang ideal untuk menyelesaikan hukum kewarisan, karena beliau menduduki
posisi yang paling istimewa. Beliau berfungsi menafsirkan dan menjelaskan
hukum berdasarkan wahyu yang turun pada beliau. Kemudian beliau berwenang
9
Ahcmad syukron, Takhrij Hadis Hak Waris Di Luar Nikah, ( Jakarta : hal . 1 ) 10
Hazairin, hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-qur’an dan Al-hadits, Tinta Mas, Jakarta, hal 11.
11
pula membuat hukum kewarisan di luar dari wahyu. Lahirlah hadis sebagai
pernyataan, pengalaman, taqrir, dan hal – ihwal Nabi Muhammad saw12 setelah
beliau wafat.
Sebagai pelanjut risalah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad,
maka di tangan para sahabat beliau terletak tanggung jawab lebih lanjut
menafsirkan ajaran hukum yang terdapat dalam Al-qur‟an. Itulah sebabnya,
sehingga aspek hukum pada umumnya, termasuk hukum kewarisan, menjadi
penting bagi para sahabat Di Makkah dan Madinah. Dengan demikian,
permasalahan hukum keluarga semakin kompleks sehingga aktivitas pengalihan
harta setelah pewaris wafat memerlukan pemikiran hukum dari para sahabat .
Abu Bakar sebagai khalifah pertama sekaligus ulama pernah
memutuskan bahwa semua harta peninggalan di warisi oleh nenek dari ibu
meskipun ia bersama nenek dari ayah.13 Demikian pula Umar bin Khattab,
khalifah kedua, pada awalnya hanya memberikan saham kepada ahli waris: suami,
ibu, dan dua saudara laki – laki seibu tanpa memberikan saham kepada saudara
laki – laki sekandung. Dalam kasus lain, Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat,
yang mula – mula mengurangi nilai saham para ahli waris secara proposional
karena saham – saham yang telah ditetapkan dalam al-qur‟an ternyata melebihi
12
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal 3
13
kesatuan. Dalam hal ini, Ali memberikan saham kepada istri kurang dari nilai
saham yang seharusnya. Dengan demikian , ahli waris : dua anak perempuan,
ayah , ibu, secara otomatis berkurang nilainya secara proporsional14 pula.15
Demikian penafsiran ayat kewarisan dalam Al-qur‟an telah dilakukan
oleh para sahabat Nabi Muhammad sejauh yang mereka dapat lakukan. Karena
itu, sahabat lain pun yang tidak termasuk khalifah16 mempunyai otoritas
melakukan pemikiran hukum kewarisan yang dapat menjadi landasan praktis
kewarisan untuk masa berikutnya.
Oleh karena itu , al-Qur‟an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang di
ambil dari hadis Rasulullah saw dan ijma para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa hukum dalam syariat Islam sedikit sekali ayat al-qur‟an yang
merinci suatu hukum, kecuali hukum waris. Hal demikian disebabkan kewarisan
merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah swt.
Disamping bahwa harta tonggak penegak kehidupan baik individu maupun
kelompok masyarakat .
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat
teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap
14
Kasus tersebut disebut mimbariyah karena Ali bin Abi Thalib memutuskan di atas mimbar ketika sementara khotbah pada saat seseorang bertanya tentang persoalan kewarisan. Dalam implementasi pembagian harta warisan, kasus tersebut aul, yakni ahli waris berkurang nilai sahamnya karena adanya factor pembilang dalam aljabar lebih besar dari penyebut.lihat Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an.
15
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Raja Grafindo , 19995, Jakarta Utara . Hal 2
16
Sahabat Nabi Muhammad yang termasuk ahli dalam hak kewarisan antara lain;
manusia, baik laki – laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah
meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa
memebedakan antara laki – laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-qur‟an
menjelaskan secara rinci dan detail hukum – hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterimanya di
jelaskan sesuai kedudukan nasab terhadapa pewaris, apakah ia sebagai anak, ayah
, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
seibu .
Ayat alquran yang dijelaskan di atas adalah mengenai hukum waris Islam
yang telah termaktub dalm kitab al-qur‟an, sebagian ulama mengatakan bahwa di
dalam ayat tersebut terdapat tiga persoalan : 1. Menerangkan alasan pewarisan,
yakni kekerabatan; 2. Hubungan kekerabatan secara umum; dan 3. Menyebutkan
bagian warisan yang ditetapkan secara global.
Di dalam permasalahan kewarisan ini penulis menemukan permasalahan
kewarisan yang unik. Dan warisan tersebut di namakan waris kalâlah. Letak
keunikan disini dikarenakan seorang yang meninggal yang tidak meninggalkan
anak dan orang tua . Jika di lihat permasalahn yang ada terhadap permasalahan
keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan
ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli
waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya. Maka dengan adanya
permasalahan waris kalâlah yang memang jarang terdengar ini, penulis tertarik
untuk mengetahui apa makna waris kalâlah di sini, dan pembagian warisannya
tersebut diperuntukkan untuk siapa kelak .
Dalam pembahasan mengenai waris kalâlah ini, penulis menggunakan
pendapat seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia, pemikiran fikihnya
menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama kitabnya
yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, dan beliau adalah Syeikh
Prof.Dr.Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya tafsir Al - Munir.
Dari segi ketokohan Wahbah Az-Zuhaili sebagai seorang ahli fiqih,
kemudian menjadi mufassir yang hidup di era global sekarang ini, selain itu beliau
banyak berinteraksi dengan tokoh – tokoh dunia. Dan dari segi kitab atau objek
kajian bahwa tafsir al-Munir dikonsumsi oleh masyarakat umum. Dikaitkan
dengan masyarakat Indonesia, tafsir al-Munir banyak dijadikan referensi, dapat
dikatakan seluruh perpustakaan STAIN/IAIN/UIN dilengkapi oleh tafsir al-Munir.
Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh
al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah
menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu'ran secara
Untuk menjawab apa perbedaannya waris kalâlah dengan waris – waris
lainnya, serta permasalahan yang ada pada kalâlah tersebut, maka penulis tertarik
untuk membahas kalâlah ini dengan judul skripsi “ WARIS KALÂLAH
DALAM PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILY ” ( Tafsir QS. Al-nisâ’ (4) ayat 12 dan ayat 176 ).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dari pembahasan latar belakang masalah di atas dapatlah dibataskan lagi
pembahasan mengenai kewarisan, kepada beberapa point penting, yaitu :
Didalam al-Quran terdapat identifikasi permasalahan mengenai kewarisan.
Di awali dengan apa definisi waris, bagian – bagian untuk beberapa ahli waris,
syarat – syarat siapa saja yang berhak mendapatkan hak waris, apa itu waris
kalâlah, syarat – syarat bagi waris kalâlah, siapa saja yang mendapatkan waris
pada kalâlah ini, dan tentunya banyak pula mufasir yang menafsirkan mengenai
kalâlah ini. Oleh karena itu dengan keterbatasan waktu dalam penulisan skripsi
ini, serta untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah
kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu
membatasi permasalahan skripsi ini, yakni lebih menitikberatkan pada penafsiran
Wahbah az-Zuhaily terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan waris kalâlah
dalam tafsîr-nya, yaitu Tafsir Al - Munir . Adapun ayat-ayat yang akan dibahas,
penulis membatasinya dalam dua ayat dengan surat yang sama, yaitu :
2. Surat al-Nisâ‟ (4) ayat 176
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan tersebut, Dengan demikian penulis merumuskan
permasalahan utama dalam skripsi ini, yakni :
Bagaimana Penafsiran Wahbah az-Zuhaily terhadap waris kalâlah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Ingin mengetahui lebih dalam permasalahan dalam waris kalâlah,
apakah beda dengan waris – waris yang lainnya .
2. Ingin mengetahui penafsiran Wahbah az-Zuhaily mengenai kalâlah
dalam tafsirnya Al – Munir.
Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan penambahan informasi mengenai waris kalâlah yang memamg
jarang terdengar dengan harapan dapat menjadi bahan kajian keislaman,
khususnya di bidang Tafsir – Hadis, Sekaligus penulis dapat memberikan
sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam. Serta Memenuhi tugas
akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) pada
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan
penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan
kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya
yang membahas permasalahan ini, yaitu :
1. Skripsi oleh Imadudin dengan judul “Implikasi Pendefinisian Makna
Kalâlah Menurut Ulama Klasik dan Orientalis Terhadap
Pembagian Harta Waris”. Fakultas Syari’ah dan Hukum. UIN
Syarif Hidayatullah, tahun 2003, no. 846. ASS s.
Skripsi tersebut membahas tentang perbandingan makna kalâlah
berdasarkan ulama klasik dengan kaum orientalis, yang kemudian
dikaitkan dengan situasi yang ada pada saat itu. Skripsi tersebut-pun
tidak menitikberatkan pada ke salah satu tokoh penafsiran baik dari
ulama klasik maupun dari tokoh orientalis.
2. Skripsi oleh Mardiono dengan judul ”Pembagian Harta Waris (Studi
Komparatif Penafsiran surat Al-nisa’ Ayat 11-12 dengan Adat
Minangkbau . Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah,
tahun 2010.
Skripsi tersebut membahas tentang Pembagian Harta Waris ( Waris
secara umum ) didalam surat al-Nisa‟ ayat 11-12 yang kemudian
dikaitkan dengan menggunakan adat Minangkabau. Skripsi
3. Skripsi oleh Achmad Syukron dengan judul ” Takhrij Hadis Hak Waris Anak di Luar Nikah ( Studi Kritik Sanad dan Matan ).
Fakultas Ushuluddin. UIN Syarif Hidayatullah , tahun 2006.
Skripsi tersebut membahas Hak Waris Anak di Luat Nikah yang
kemudian menakhrij hadis dengan metode kritik saad dan matan
hadis.
Jadi, dari hasil penulusuran penulis terhadap karya-karya yang ada. Penulis
bisa katakan bahwa skripsi yang sedang dikaji ini adalah benar-benar asli dan
berbeda dengan skripsi di atas. Karena skripsi ini membahas seputar penafsiran
terhadap dua ayat dalam surat al-Nisâ‟ yang berkaitan dengan kalâlah. Dalam hal
ini penulis mengambil dari salah satu tokoh ulama fikih kontemporer peringkat
dunia, untuk melihat penafsirannya tehadap dua ayat tersebut, yaitu berdasarkan
penafsiran Wahbah az-Zuhaily dalam tafsîr-nya Al - Munir, terhadap ayat-ayat
yang sudah penulis sebutkan di atas.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Library
Research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengadakan studi
kepustakaan terhadap buku-buku/kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel dan
sebagainya yang ada hubungan dengan masalah yang akan dibahas.
Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber
Wahbah az-Zuhaily. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa
buku-buku, tulisan-tulisan dan artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang
berkaitan dengan pembahasan ini.
Teknik pembahasan dalam skripsi ini, adalah deskriftif-analisis, yaitu
suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu sebagai
gambaran awal dan setelah itu baru di analisis. Metode deskriftif dimaksudkan
untuk menggambarkan objek apa adanya, sedangkan metode analisis dianggap
perlu guna menganalisis objek yang telah digambarkan sebelumnya sehingga
diharapkan tersingkapnya penafsiran Wahbah az-Zuhaily atas ayat-ayat kalâlah.
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku
“Pedoman Akademik –Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi)- yang disusun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for
Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
2007-2008
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa
sub-sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta
mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab Pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya.
Bab Kedua merupakan sekilas tentang kitab tafsîr Al – Munir dan
Penulisnya, yang berisikan sistematika penulisan yang terdiri dari motivasi,
sumber penafsiran, referensi utama, metode penulisan, corak penafsiran dan
sistematika. Serta biografi penulis yang berisikan Kehidupan dan Pendidikan
Wahbah az-Zuhaily, Karir Ilmiah Wahbah az-Zuhaily, Karya – karya Wahbah
az-Zuhaily.
Bab Ketiga membahas tentang Pengertian Kalâlah , [ Pengertian Warisan,
( Lughatan dan istilah ) Pengertian kalâlah ( Lughatan dan istilah ), ] Penafsiran
Ayat kalâlah :Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 12 ( Munasabah, Asbabun Nuzul,
Penafsiran ) , Penafsiran Surat al-Nisa (4) ayat 176 ( Munasabah, Asbabun Nuzul,
Penafsiran ), dan terakhir Analisa .
Bab Keempat merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada
BAB II
TAFSIR AL-MUNIR FI AL AQIDAH WA ASY-SYARI’AH WA
AL-MANHAJ DAN PENULISNYA
A. Biografi Wahbah Zuhaili
1. Kehidupan dan Pendidikan Wahbah Zuhaili
Prof. Dr. Wahbah az- Zuhaili lahir di Dair „Atiyah, yang terletak di
pelosok Kota Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/ 1932 M. Nama lengkapnya
Wahbah bin Mushtafa az-Zuhaili . ia putra Syekh Mushtafa az-Zuhaili, seorang
petani sederhana nan alim, hafal alquran, rajin beribadah dan gemar berpuasa .
Di bawah bimbingan ayahnya, Wahbah mengenyam dasar – dasar agama
Islam. Setelah itu, ia bersekolah di madrasah ibtidaiyyah di kampungnya, hingga
jenjang pendidikan formal berikutnya. Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1953 M
di Fakultas Syariah Universitas Damaskus. Tahun 1956 M, ia meraih gelar doktor
dalam bidang syariah dari Universitas al-Azhar Kairo.1
Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada
tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun
hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal
awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di al-Azhar dan Fakultas
Syari‟ah di Universitas „Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu
Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1
1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas
al-Azhar pada tahun 1957
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas „Ain Syam pada tahun 1957.
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama
dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi
as-Siyasah as-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan
pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya
pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di
bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari‟ah
Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian
Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia
mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh,
Tafsir dan Dirasah Islamiyyah. Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim
al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar
darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w.
1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan wakaf
dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari
Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad
Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah,
(w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun
(1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M),
Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di
samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam
seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul
Ma dza Khasira al-„alam bi Inkhitat al-Muslimin.
2. Karir ilmiah Wahbah Zuhaili
Wahbah kemudian mengabdikan diri sebagai dosen di almamaternya ,
Fakultas Syariah Universitas Damaskus, pada tahun 1963 M. Karier akademiknya
terus menanjak . Tak berapa lama ia diangkat sebagai pembantu dekan pada
fakultas yang sama. Jabatan dekan sekaligus ketua Jurusan Fiqih al-Islami juga di
genggamnya dalam waktu relatife singkat dari masa pengangkatannya sebagai
pembantu dekan . Selanjutnya, ia di lantik sebagai guru besar dalam disiplin
hukum islam pada salah satu universitas di Suriah.2
Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah univesritas di
negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas
Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya ; pada Universitas Khurtum,
2
Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan.
Dia juga pernah mengajar pada Universitas Emirat Arab.
Ketangguhan pengetahuan Wahbah berbanding lurus dengan
produktivitasnya dalam ranah tulis-menullis . Selain menyusun makalah/artikel
untuk jurnal ilmiah, ia telah merampungkan tak kurang dari 30 buku.
3. Karya – Karya Wahbah Zuhaili
Sebagian Karya Wahbah Az-Zuhayli dari Buku-bukunya yang jumlahnya
melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi
lebih 500 makalah, sebagai berikut ;
1. Usul al-fiqh al islami ( 2 jilid),
2. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu ( 8 jilid ), 3. At-tafsir al-munir (16 jilid),
4. Asar al-harb fi al-fiqh al-islami,
5. Takkhrij wa tahqiq ahadis “tuhfah al-fuqaha” ( 4 jilid),
6. Nazariyyat ad-damman wa ahkam mas‟ulliyyyat madaniyyat wa al-jina‟iyyat fi al-fiqih islami,
7. Al-wasaya wa al-waqf,
8. At-tanwir fi at-tafsir ala hamisy al-qur‟an al-azim, 9. Al-qur‟an syariah al-mujtama‟.3
10.Tafsir al-munir 11. Tafsir al-wajiz4
3
Dari sekian karya wahbah, Tafsir al-Munir bisa dibilang sebagai karya
puncak. Dalam tafsir ini, ia mengupas seluruh ayat Al-Qur‟an, dari Surah al
-Fatihah hingga Surah an-Nas. Namun penjelasannya didasarkan atas topik - topik
tertentu.
B. Tafsir Al- Munir
1. Motivasi
Tafsir ini ditulis berdasar pada keprihatinan Wahbah atas pandangan yang
menyudutkan tafsir klasik karena dianggap tidak mampu menawarkan solusi atas
problematika kontemporer. Di tempat terpisah, di mata Wahbah, para mufasir
kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat alqur‟an
dengan dalih pembaruan. Karena itulah, Wahbah berpendapat bahwa tafsir klasik
harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten
sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.
Lalu lahirlah at-Tafsir al-Munir yang memadukan orisinalitas tafsir klasik dan
keindahan tafsir kontemporer. Dengan begitu apik, Wahbah mengawinkan
keduanya.5
2. Sumber Penafsiran
Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa
Manahijuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan
gabungan antara tafsîr bi al-Ma‟tsûrdengan tafsîr bi ar-ra‟yi, serta menggunakan
4
Ahmad Al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu ,Menurut Al-Qur‟an Kajian Tafsir Al -Munir , Hal 14
5
gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang
mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi
ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.
3. Referensi Utama
Dalam memahami alquran dengan benar menurut wahbah dapat dilakukan
, salah satunya dengan membuka khazanah klasik seperti kitab – kitab tafsir,
seperti tafsir ar-razi, tafsir tabari, tafsir qurtubi dan kitab – kitab tafsir lainnya.
Menurutnya diantara kitab tafsir yang cukup penting dibaca non arab yaitu
kitab tafsir al- kasy-syaf . Dengan memahami seluruh tafsir tersebut kita akan
mendapat gambaran yang sangat jelas . Satu ayat bisa mengandung beberapa
makna yang dalam , karena banyak menggunkan lafaz tasybih. setelah membuka
kitab tafsir klasik yang baru, lalu wahbah menyaring kitab manakah yang paling
shahih dengan menyertakan dalil – dalil al-qur‟an.
Wahbah dalam tafsir al-Munir menambahkan dalil baik dari Al-qur‟an,
hadits dan ijma (kesepakatan/konsensus para ulama pada suatu masa atau suatu
hukum). Dalam setiap pembahasan, beliau mengemukakan pendapat – pendapat
mujtahid (orang – orang yang melakukan ijtihad, berfikir keras untuk menentukan
hokum mengolah al-qur‟an dan sunnah) dengan mutlak atau Fuqaha ( para ahli di
bidang Fiqih) yang mu‟tamad ( bisa dpertanggung jawabkan.6
6
4. Metode
Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab
„Ulum al-Qur‟an Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah
az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan
dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara
garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa,
dengan menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan
menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Sehingga dengan demikian maka metode penafsiran yang dipakai adalah
metode tahlili dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur‟an dari surat
al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat
yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah
ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan
bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu
memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
5. Corak Penafsiran
Ada tujuh corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd
al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu‟i di
antaranya adalah: tafsir bi ma‟tsur, tafsir bi ra‟yi, altafsir shufi,
al-tafsir fiqh, al-al-tafsir falsafi, al-tafsir al-„ilm, dan tafsir adabi „ijtima‟i, maka corak
tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat simpulkan
Wahbah az-Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti,
penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan
dalam di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi
al-„ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa
dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer. Di mata
Wahbah, para mufasir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi
terhadap ayat alqur‟an dengan dalih pembaruan. Karena itulah, Wahbah
berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer
dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada
penyimpangan interpretasi.
Dalam tafsir al-munir Wahbah menginkan kejelasan hukum yang diambil
dari ayat – ayat al-qur‟an , ia tidak meringkas penjelasan tentang hukum fiqih
secara makna sempit ( ringkas ). menurutnya dalam setiap bab buku ia selalu
mengikuti metode para fuqaha.
6. Sistematika
Sebelum menafsirkan Surah al-Fatihah, Wahbah terlebih dahulu
menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu Al-Qur‟an. Dalam proses
penafsiran selanjutnya, ia selalu menguraikan keutamaan dan kandungan surah
serta sejumlah tema yang terkait dengan surah tersebut. Tema tersebut lantas
Pertama, aspek bahasa (al-lughah). Ia mengudar istilah-istilah yang
termaktub dalam ayat sembari mengupas segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, aspek tafsir dan bayan. Wahbah memaparkan ayat dengan bahasa
yang ringan sehingga diperoleh kejelasan makna. Jika tidak ada permasalahan
yang pelik, ia menyingkat pembahasannya. Akan tetapi, jika ayat yang di tafsir
memuat permasalahan tertentu, Wahbah menyuguhkan penjelasan yang relatife
panjang, seperti ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan problem naskh.
Ketiga , aspek fiqih kehidupan dan hukum ( fiqh al-hayah wa al-ahkam).
Dalam aspek ini, Wahbah merinci sejumlah kesimpulan ayat terkait dengan
realitas kehidupan manusia.
Dalam pengantar Tafsir al-Munir, Wahbah menerangkan bahwa
penafsirannya berlandaskan pada ayat Al-Qur‟an dan hadis – hadis sahih. Ia
mengurai asbabun nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita – cerita
Isra‟illiyat, riwayat yang lemah, dan polemik yang berlarut – larut. Tafsir ini di
publikasikan oleh Penerbit maktabah al-Babi al-Halabi ( Kairo ) pada tahun
1957 M7 .
7
BAB III
PENGERTIAN KALALAH DAN PENAFSIRAN AYAT KALÂLAH
A. Pengertian
1. PengertianWarisan
, adalah jama‟ dari . Maka dimaksud dengan , demikian pula
, , , dan , yang di ma‟nakan dengan , ialah : “harta
peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.”
Orang yang meninggalkan harta yang dipusakai oleh waris disebut
muwarits. sedang yang berhak menerima pusaka di namakan “ ”.1
Seorang penulis dan ahli hukum Indonesia “ Wirjono Prodjodikoro ” telah
mencoba memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun
dalam bentuk batasan ( definisi ). Sebagai pedoman dalam upaya memahami
pengertian hukum waris secara utuh. Beliau mengemukakan bahwa warisan
adalah : soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak – hak dan kewajiban –
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang yang masih hidup.2
2. Pengertian Kalâlah
Kalâlah berarti berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf-huruf
kaf (ك) dan lam (ل). Menurut Ibnu Faris, makna dasar kata ini berkisar pada tiga
1
Prof.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, FIQHUL MAWARIS, Hukum – hukum warisan
dalam syari‟at Islam, Bulan Bintang : Jakarta , Hal : 17
2
hal, yaitu : “tumpul (lawan tajam)”, “melingkari sesuatu dengan sesuatu”, dan
“salah satu organ tubuh (dada)‟. Yang pertama, seperti ungkapan kalla as-saifu
( = pedang itu menjadi tumpul), dan kalil ( = pedang tumpul). Yang
kedua, seperti iklil ( ) yang berarti ikat kepala atau mahkota. Dinamai demikian
karena melingkari kepala. Selain tiga makna ini, Sayyid Thanthawi, memberikan
makna lain lagi, yaitu “hilangnya kekuatan karena lelah”. Makna ini
disimpulkannya dari syair Al-A‟sya yang mengatakan : alaitu la urtsi laha min
kallin ( ) yang maksudnya : “saya jadi tidak meratapinya lagi
karena lelah.”3
Demikianlah, makna dasar dari kata kalalah. Adapun secara
terminologis, seperti diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari4 dalam tafsirnya,
Al-Kasyyaf 5, kata kalâlah mencakup tiga hal, yaitu : pertama, orang yang mati, tanpa
meninggalkan anak dan bapak; kedua, ahli waris selain anak dan bapak; dan
ketiga, kerabat yang tidak berasal dari jalur anak dan bapak. Kerabat demikian,
dinamakan kalalah karena pertaliannya dengan pewaris lemah tau tumpul ( tidak
3
Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia alqur’an : kajian kosakata. Jakarta: Lentera Hati, cet.I, 2007hal.422
4
Nama lengkap Az-Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Ia lahir pada hari Rabu tanggal 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M di Zamakhsyar. Ia seorang ulama dan imam besar dalam bidang bahasa dan retorika.
5
Kitab tafsir al-Kasyaf ini, menurut sejarahnya, disusun oleh al-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H, di Makkah al-Mukarramah, metode penafsiran al-Kasyaf adalah bahwa al-Zamakhsyari menggunakan metode dialog. Artinya, ketika al-Zamakhsyari hendak menjelaskan makna sebuah kata atau kalimat atau kandungan suatu ayat. Ia selalu menggunakan kata “ناتلق” yang berarti
tajam). Atau Karena mereka mengelilingi pewaris dari tepian, bukn dari tengah.
Seperti ikat kepala yang melingkari tepian kepala sedang tengah-tengahnya
kosong.
Dalam Al-Qur‟an,kata kalâlah tersebut dua kali. Yang semuanya dalam
surah An-Nisa [4] . yang pertama ayat 12 dan yang kedua ayat 176, ayat terakhir
dari surah itu.
Ayat pertama membicarakan ketentuan kewarisan orang yang
meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris utama, tetapi memiliki saudara
atau saudari seibu. Bahkan Sa‟ad bin abu Waqqash telah membaca firman Allah
tersebut dengan bacaan “Wa lahu akhun au ukhtun min ummin” ( tetapi
mempuyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara wanita seibu saja).6
Secara garis besar, ayat ini menetapkan dua ketentuan terkait bagian saudara dan
saudari almarhum tersebut, yaitu: pertama, satu orang saudara atau saudari
mendapatkan seperenam jika sendirian; dan kedua , mendapatkan bagian bersama
sebesar sepertiga jika jumlah mereka banyak, tanpa mempertimbangkan jenis
kelamin; laki-laki dari perempuan.7
Ayat kedua yang menyebutkan kata kalâlah biasa disebut dengan ayat
“musim panas”. Ayat itu memang turun pada saat musim panas. Seperti kita
singgung di atas, kandungannya mengenai ketentuan pembagian warisan orang
yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris utama: hanya
6
Syaikh Asy-Syanqithi ; penerjemah Fathurazi, Tafsir Adhwaul Bayan ( Tafsir
Al-qur’an dengan Al-qur’an ), pustaka Azzam Jakarta Selatan , 2006 . Hal 629
7
meninggalkan saudara atau saudari seayah atau seayah seibu. Dikatakan demikian
karena sebab turunnya ayat 176 ini mengenai pertanyaan Jabir bin Abdullah pada
ayat terakhir surat an-Nisa‟ ini berkenaan dengan hubungan darah dari pihak
ayah.8 Jika dibaca, secara saksama, sedikitnya ada empat ketentuan yang
terkandung dalam ayat ini, yaitu :
a. Bila yang meninggal laki-laki dan meninggalkan satu orang saudari, maka
bagiannya adalah separoh, sedang separohnya yang lain untuk ashabah
(asabat), kalau ada, atau dia ambil semua, jika tidak ada ashabah (asabat).
b. Bila yang meninggal perempuan dan meninggalkan seorang saudara
laki-laki, maka bagiannya adalah seluruh harta.
c. Bila yang meninggal laki-laki dan meninggalkan dua orang saudari, maka
bagian mereka dua pertiga.
d. Jika yang ditinggalkan sejumlah saudara dan saudari, maka ketentuannya,
bagian saudara dua kali lipat bagian saudari .9
Dalam pembahasan lain Arti kalâlah telah dijelaskan oleh Allah sendiri
dalam Surah Al-nisa‟ : 176, yaitu, jika seorang mati dengan tidak ada baginya
walad” (inimru’un halaka laisa lahu walad) sehingga definisi itu baru jelas jika
telah diketahui apa maksudnya walad”. Dalam surati al-nisa‟ : 11 dijumpai bentuk
jama‟ dari walad yaitu awlad dan disana tegas dinyatakan bahwa awlad itu
mungkin anak laki – laki, mungkin anak perempuan, mungkin bergandengan
kedua jenis anak – anak itu dan mungkin pula tidak, seperti dalam bagian kalimat
8
Syekh Muhammad Mutawalli Sya‟rawi , Tafsir Asy-Sya’rawi tim penerjemah Safir al - Azhar , Duta al - Azhar, , PT ikrar mandiri abadi , Jakarta, hal : 491
9
“fa’in kunna nisa’an” maka teranglah bahwa arti walad setiap macam anak boleh
anak laki – laki, boleh anak perempuan, sehingga arti kalâlah dalam surah al-nisa
: 12 dan al-nisa‟ : 176 ialah keadaan seseorang yang mati dengan tidak ada
baginya seorang anakpun, baik anak laki – laki maupun anak perempuan”.
Dihubungkan dengan arti mawali dalam surah al-nisa : 33, maka arti anak mesti
pula diperluas dengan keturunan, sehingga arti kalâlah selengkapnya ialah
keadaan seseorang yang mati punah, artinya mati dengan tidak berketurunan”.
Dalam sistim bilateral yang dianut oleh Qur‟an maka keturunan artinya setiap
orang digaris ke bawah, tidak peduli apakah garis itu melalui laki – laki atau
perempuan.10
B. Penafsiran Ayat Kalalah 1. An-Nisa Ayat 12
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu
10
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)11. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.12
a) Munasabah
ayat – ayat yang terdahulu menjelaskan tentang haram memakan harta
anak yatim dan diperintahkan menyerahkan semua hartanya kepadanya bila telah
dewasa dan juga larangan mengambil mahar perempuan yang sudah dinikahi atau
menikahimya tanpa mahar. Maka dalam ayat ini dijelaskan tentang pembagian
harta pusaka dan perlakuan terhadap anak – anak yatim dan hartanya.13
11
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.(Penjelasan dalam Al-Qur‟an)
12
Dalam tafsir al-bayan karya hasbi ash-shiddieqy , semua ulama menetapkan bahwa dikehendaki dengan saudara disini adalah saudara seibu. Al-qurthuby mengatakan bahwa seluruh ahli ilmu menetapkan bahwa yang dikehendaki dengan saudara disini , ialah saudara seibu. lafal kalalah disebut dua kali dalam al-qur‟an , yang satu lagi dalam ayat 176 surat an-Nisa juga .
13
b) Asbabun Nuzul
Dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al Hakim
yang bersumber dari Jabir. Jabir berkata : “Isteri Sa‟id bin ar-Rabi menghadap
Rasulullah SAW . Lalu berkata : “Ya Rasulullah, kedua anak perempuan saya ini
adalah anak Sa‟id bin ar-Rabi yang telah gugur sewaktu bersama engkau di
perang uhud. Dan sesungguhnya paman kedua anak perempuan itu mengambil
harta bendanya dan tidak ditinggalkannya sedikitpun harta , sedangkan mereka
susah nikah kecuali mereka mempunnai harta benda”. maka beliau saw, bersabda :
“Allah akan memberi keputusan hukum perkara itu”. Maka turunlah ayatul mirast
(ayat mengenai hukum warisan)”14
Al Hafizh Ibnu Hajar, bedasarkan hadis yang mengisahkan kedua anak
perempuan sa‟id itu berkata : “bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kedua
anak perempuan sa‟id tadi bukan mengenai jabir, karena pada waktu itu jabir
belum mempunyai anak”. Beliau berkata lagi : “sebagai jawaban, bahwa turunya
ayat tadi mengenai keduanya secara berssama, mungkkin ayat pertama ( ayat 11 )
mengenai kedua anak perempuan sa‟id, sedangkan bagian akhir ayat di ( ayat : 12
“ WAIN KAANA RAJULUN YUURATSU KALÂALATAN”) adalah mengenai
kisah jabir . Adapun yang dimaksud kata – kata Jabir : “maka turunlah ayat “
YUUSHIIKUMULLAAHU FII AULAADIKUM ”. ialah hanya untuk
menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalâlah yang terdapat di dalam
ayat berikutnya.
14
c) Penafsiran Wahbah Zuhaili
Penjelasan Wahbah Zuhaili sebelum membahas kalâlah secara jelas,
beliau menjelaskan terlebih dahulu pembagian waris untuk anak, orang tua, suami
dan istri serta pembahasan untuk mendahulukan hutang dari pada wasiat yang
pembahasannya masih bersangkutan dengan pembahasan pada ayat sebelumnya,
yakni ayat 11.
Kalâlah: menurut Wahbah adalah diambil dari lafadz iklil yang berarti
rangkaian bunga yang melingkupi kepala, kata ini digunakan pada pewaris dan
yang mewarisi. Kalau dari sisi pewaris, maka diartikan sebagai seseorang yang
tidak punya orang tua dan anak .
Menurut Abu bakar : kalâlah adalah selain orang tua dan anak. Kalau
kalâlah dikatakan sebagai penerima waris maka yang meninggal bukanlah orang
tua dan anak .15
Bagian waris untuk anak.
Allah memulai ayat tentang waris dengan posisi bagian untuk anak setelah
itu posisi untuk orang tua, Sebab karena mereka ( anak – anak ) masih
membutuhkan kasih sayang dan karena mereka lemah. Adapun orang tua masih
mempunyai hak yang wajib selain dari orang yang meninggal ataupun mereka
mempunyai pekerjaan. “Diberitahukan kepada kalian untuk memberikan
kewajiban/pentingnya memberi waris kepada anak” (bagi anak laki-laki
15
memperoleh dua kali lipat bagian perempuan) . laki – laki lebih berhak dapat lebih
karena nantinya di tuntut membayar mahar, memberi nafkah serta menanggung
beban keluarganya. Sedangkan wanita mendapatkan lebih kecil, karena wanita
tidak dituntut untuk memberikan nafkah atau kerja karena jika sudah nikah
merupakan tanggung jawab suami.
Jika ahli waris perempuan atau saudara perempuan lebih dari dua maka
bagiannya 2/3 secara bersama dari tirkah . Kalau yang ditinggalkan anak
perempuan dan tidak anak laki – laki yang dapat ashabah, maka bagiannya ½.
Dua anak perempuan yang menerima waris tapi tinggal secara berpisah
menurut ibnu abbas diperumpamakan menjadi satu anak perempuan dan
mendapatkan ½, karena ayat ini menjelaskan bagian untuk saudara perempuan
yang lebih dari dua mendapat 2/3 secara bersamaan.
Menurut Jumhur ulama, dua anak perempuan seperti satu saudara, dan dua
- duanya dapat 2/3 secara bersamaan. Diqiyashkan lafadz dua saudara perempuan
dalam firman Allah ) ) dan dapat 2/3 dari tirkah.16
Waris bagi orang tua
Orang tua baik bapak atau Ibu memperoleh bagian 1/6 dari harta
peninggalan (pusaka), baik yang meninggal anak laki laki atau perempuan, satu
anak ataupun lebih. Sementara yang tersisa dari beberapa anak memperoleh
16
bagian sebagaimana yang telah diterangkan. Jika orang tua tidak mempunyai anak
sama sekali dan ahli warisnya hanya kedua orang tua, maka seorang Ibu
mendapatkan 1/3. sebab mengapa disamaratakannya bagian bagi bapak dan ibu
yang mempunyai anak adalah menghormati kedua secara samarata. Adapun
sebab mengapa bagian orang tua lebih kecil dari bagian anak karena orang tua
dinilai sudah dewasa (tua), cukup, ataupun adanya beberapa anak yang menafkahi
mereka. Adapun anak dinilai masih butuh terhadap beberapa nafkah, adakalanya
karena sebab masih kecil, adakalanya sebab kebutuhan untuk menikah dan
menanggung biaya hidup ketika dewasa nanti.
Jika seorang anak (mayit) meninggalkan orang tua (bapak dan ibu )
sekaligus beberapa saudara kandung baik laki laki ataupun perempuan, maka Ibu
mendapatkan bagian 1/6 pengganti dari 1/3. hal ini berlaku ketika saudaranya
sekandung ,baik dari bapak ataupun dari ibu.
Dua saudara sama saja seperti tiga saudara atau lebih, karena Nabi Saw
dan para Khalifah al-Rasyidin menetapkan hukum “Bahwa bagi dua saudara
laki-laki dan atau dua saudara perempuan yang menyebabkan ibu mereka
mendapatkan 1/6, yang tadinya memperoleh 1/3.” Ibn Jarîr meriwayatkan hadis
dari Ibn Abbâs bahwasannya Ibn Abbâs menemui Utsmân RA. Kemudian
bertanya “Mengapa dua orang saudara bisa menyebabkan seorang ibu
memperoleh 1/6, yang tadinya memperoleh 1/3 ”?, bukankah Allah Swt berfirman
(
)
“jika dia(mayit) mempunyai beberapa saudara”, adapunbukanlah ikhwah (beberapa saudara)?, Utsmân menjawab : “apakah aku sanggup merubah hukum yang telah berlaku sebelumku, dan banyak orang yang telah
melakukan pembagian waris, dan telah berlaku dibeberapa kota/negara?
Hal ini menjadi konsesus (ijma‟) para ulama, dan diperkuat oleh bahasa
bahwasanya makna dua terkadang digunakan untuk jama (banyak). Allah Swt
berfirman “maka sesungguhnya hati kalian berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan)”. (QS. Al- Tahrîm : 66 : 4), dan firmannya pula “dan adakah
sampai kepadamu berita orang –orang yang berperkara (bermasalah) ketika
mereka memanjat pagar”?. (QS. Shad :38: 21), kemudian firman Allah yang lain
“(kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat
zhalim kepada yang lain.” (QS. Shad :38:22)17
Mendahulukan membayar hutang kemudian memenuhi wasiat
Bagian dari harta waris seluruhnya dibagikan kepada ahli warisnya, tetapi
yang harus didahulukan adalah membayar hutang yang berkaitan dengan tirkah
(harta pusaka), kemudian melaksanakan wasiat. Allah Swt berwasiat dan
memerintahkan untuk membagi harta warisan sesuai dengan apa yang telah
disyaria‟atkan setelah mayit menyampaikan wasiatnya dan setelah mebayar
hutang yang ditanggung mayit sebelum dia meninggal.
Pada dasarnya wasiat layak didahulukan dari pada membayar hutang
sebagai anjuran untuk melaksanakannya, mementingkannya dan menghindari
17
untuk meniggalkannya. Adapun hutang telah kita ketahui kekuatannya
(kewajibannya) untuk dibayar didahulukan ataupun tidak.
Kemudian makna ( ) disini bermakna ( ) kebolehan, dan bukan
bermakna ) ( urutan. Dalil untuk mendahulukan membayar hutang dalah
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh „Ali Karamallahu wajhahu dan
diriwayatkannya pula oleh jama‟ah seperti Ibn jarîr al-Thabarî : “kalian membaca
ayat
Sesungguhnya Rasul Saw menganjurkan untuk membayar hutang sebelum
wasiat, maka tidak ada hak bagi penerima warisan ataupun yang diberi wasiat
terkecuali setelah membayar hutang. walaupun tirkah (harta pusaka) habis
dikarenakan membayar hutang, maka tidak ada hak bagi siapapun..
Biaya kain kafan dan seluruh keperluan dalam mengurus jenazah lebih
diprioritaskan dari hutang ,wasiat, dan pembagian waris. Hal ini sebagai bentuk
penghormatan terhadap manusia dan terhadap anak cucu adam. Hutang lebih
didahulukan dari pada wasiat dan pembagian waris karena janji mayit tergadaikan
dengan hutangnya, melunasi hutang lebih utama dari mengerjakan kebaikan
dengan hutang.
Mendahulukan wasiat dari pembagian harta waris tidak lebih dari 1/3
sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh jama‟ah da Sa‟d : ”1/3 dan
1/3 itu jumlah yang banyak ” ( )
Kemudian al-qur‟an memberikan redaksi Naas dengan mu‟taridho
( menentang ) untuk memperingati / mengingatkan terhadap kebodohan seseorang