INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA
DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA
DESI ARYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:
INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2009
Desi Aryani
ABSTRACT
DESI ARYANI. Market Integration of Rice and Sugar in Thailand, Philippines and Indonesia (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and RATNA WINANDI as Member of the Advisory Committee).
Opening up market within ASEAN members especially for agricultural products will lead to the price relation on those products. The law of one price will take place if no trade barriers are imposed. As a result, price transmission and also market integration are hampered due to this trade policy. The objective of this study is to analyze spatial market integration of rice and sugar commodity in Thailand, Philippines and Indonesia. The study used secondary data such as monthly price of rice and sugar, and also domestic exchange rate of each country to US Dollar. Vector autoregression model applied to investigate whether rice and sugar markets in these countries are co-integrated. The result showed that rice and sugar markets in Thailand, Philippines and Indonesia are co-integrated at a weak level. This condition is a consequence of import policy (tariff and non-tariff) applied by these countries.
4
RINGKASAN
DESI ARYANI. Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan RATNA WINANDI.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1
Januari 2003 merupakan bentuk liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Liberalisasi perdagangan antara negara anggota ASEAN khususnya untuk produk pertanian akan menciptakan hubungan harga antarproduk di negara-negara tersebut. Hal ini terjadi jika tidak ada hambatan perdagangan yang diberlakukan, sehingga transmisi harga dan integrasi pasar akan terjadi akibat diterapkannya kebijakan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis integrasi spasial antarpasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, (2) menganalisis sumber perubahan harga beras dan gula di Indonesia yang berasal dari perubahan harga beras dan gula di Indonesia, Thailand dan Filipina, dan (3) mengidentifikasi kebijakan perdagangan beras dan gula di Indonesia dan implikasinya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data bulanan harga beras dan gula di tiga negara ASEAN (Thailand, Filipina dan Indonesia) serta nilai tukar mata uang domestik masing-masing negara tersebut terhadap dolar Amerika. Model penelitian ini merupakan suatu model yang menganalisis data deret waktu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008. Data deret waktu umumnya bersifat tidak stasioner sehingga alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini melalui pendekatan dengan model Vector Autoregression (VAR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia telah terintegrasi dengan tingkat integrasi yang sangat lemah. Artinya apabila terjadi perubahan di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Kondisi ini disebabkan oleh masih adanya kebijakan pengendalian impor (baik tarif maupun nontarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditi beras dan gula.
analisis Variance Decomposition pada model beras dengan hasil analisis pada model gula, dapat dilihat bahwa pasar beras Indonesia lebih dapat menjelaskan variasi harga yang terjadi dibandingkan dengan pasar gulanya. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat impor beras Indonesia lebih kecil dari impor gula, kondisi ini sebagai akibat kecilnya produksi gula Indonesia sehingga kebutuhan konsumsi gula lebih banyak dipenuhi dari impor.
Kebijakan perdagangan yang memproteksi pasar domestik (baik melalui tarif maupun nontarif) akan menghambat terjadinya integrasi pasar. Padahal apabila integrasi pasar terjadi dengan baik (sempurna), berarti perdagangan bebas telah dijalankan. Sebagaimana diketahui bersama, salah satu keuntungan tambahan dari perdagangan bebas yang sangat penting adalah terpupuknya skala ekonomi. Perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya kerugian efisiensi yang seringkali diakibatkan oleh adanya proteksi. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah menerapkan kebijakan yang bertujuan memperbaiki pasar beras dan pasar gula domestik melalui peningkatan efisiensi ekonomi beras dan gula nasional, baik aspek budidaya, pascapanen, pengolahan maupun pemasaran hasil. Hal ini juga dilakukan supaya tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar beras dan gula dunia yang tipis tidak terlalu besar sehingga ketahanan pangan Indonesia tidak rentan terhadap gejolak harga dunia.
6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
INTEGRASI PASAR BERAS DAN GULA
DI THAILAND, FILIPINA DAN INDONESIA
DESI ARYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
8
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penelitian yang berjudul Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan
Indonesia .
Penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan selama penelitian, baik
berupa petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung hingga tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. dan
Dr. Ir. Ratna Winandi, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu
selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.S. selaku Ketua Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan
proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
2. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S. selaku penguji luar komisi pembimbing yang
telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini.
3. Adik-adikku terkasih (Deby, Rian, Amaliah, Amilah dan Fendi, Farhan,
Amirah) untuk doa dan dukungannya kepada penulis.
4. Teman-teman EPN angkatan 2007 (Mbak Wiwiek, Dian, Mas Roni, Wanti,
Mbak Asri, Pak Zul, Mas Ferry, Mas Ambar, Pak Adi, Pak Narta dan Pak
Suryadi) untuk kebersamaan dalam suka dan duka selama perkuliahan dan
5. Seluruh staf Mayor EPN (Mbak Ruby, Mbak Yani, Mbak Aam, Ibu Kokom
dan Pak Husein) yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk membantu
penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.
6. Keluarga di PCH (Kak Sahara, Tuti dan Sherly) untuk dukungan dan
kebersamaannya di rumah kita.
7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
namun telah banyak memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama
penulis kuliah di IPB.
Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ibunda Siti Aisyah dan Ayahanda
Zawawi Usman serta Ibu mertua Hj. Asma dan Bapak H. Ali Umar yang selalu
mendoakan untuk keberhasilan penulis. Terima kasih tak terhingga kepada suami
tercinta Ahmad Mutawalli dan putri terkasih Farah Fathinah, inilah persembahan
kecil Ummi sebagai pengganti waktu dan kebersamaan yang terpaksa sedikit
berkurang selama proses penyelesaian studi ini.
Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga
Allah SWT menerima apa yang telah penulis lakukan sebagai wujud syukur
kepada-Nya dan Allah mengampuni semua kesalahan kita. Amin.
Bogor, Agustus 2009
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 22 Desember 1981 dari Ayah
Zawawi Usman dan Ibu Siti Aisyah, S.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari
tiga bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Palembang dan pada tahun
yang sama penulis diterima pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Sriwijaya. Pendidikan sarjana tersebut diselesaikan pada
tahun 2003. Penulis melanjutkan Program Magister Sains di Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007
dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Sriwijaya sejak tahun
2003 sampai dengan sekarang. Bidang ilmu yang menjadi konsentrasi adalah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
1.5. Keterbatasan Penelitian ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Kebijakan Kerjasama Perdagangan di ASEAN ... 12
2.2. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Perdagangan ... 19
2.3. Integrasi Ekonomi ... 22
2.4. Integrasi Pasar ... 23
2.5. Metode Analisis Integrasi Pasar ... 27
2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 31
III. METODE PENELITIAN ... 38
3.1. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 40
3.3. Metode Analisis Data ... 41
3.3.1. Uji Stasioneritas Data ... 42
3.3.2. Penetapan Tingkat Lag Optimal ... 44
3.3.3. Analisis Kointegrasi ... 45
3.3.4. Analisis Impulse Response dan Variance Decomposition 47 IV. PERDAGANGAN BERAS DAN GULA DI ASEAN ... 49
4.1. Ekspor dan Impor Thailand, Filipina dan Indonesia di Dunia .... 49
12
4.1.2. Ekspor dan Impor Gula ... 50
4.2. Ekspor dan Impor Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia ... 52
4.2.1. Ekspor-Impor Beras Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia ... 52
4.2.2. Ekspor-Impor Gula Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia ... 52
4.3. Dinamika Harga Beras dan Gula ... 53
4.3.1. Harga Beras ... 53
4.3.2. Harga Gula ... 55
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57
5.1. Integrasi Pasar Beras dan Gula ... 57
5.2. Proses Pembentukan VAR ... 58
5.2.1. Uji Stasioneritas Data ... 59
5.2.2. Penetapan Tingkat Lag Optimal ... 62
5.2.3. Pengujian Stabilitas VAR ... 64
5.2.4. Analisis Kointegrasi ... 65
5.3. Pembentukan Sistem VECM ... 68
5.3.1. Pembentukan Sistem VECM Beras ... 70
5.3.2. Pembentukan Sistem VECM Gula ... 73
5.4. Analisis Dalam VECM ... 76
5.4.1. Analisis Impulse Response ... 76
5.4.2. Analisis Variance Decomposition ... 82
5.5. Kebijakan dan Implikasi ... 90
5.5.1. Kebijakan Perdagangan Beras di Indonesia dan Implikasinya ... 91
5.5.2. Kebijakan Perdagangan Gula di Indonesia dan Implikasinya ... 96
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101
6.1. Kesimpulan ... 101
6.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 103
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produksi Komoditi Padi dan Gula di ASEAN, Tahun 2000-2006 .... 3
2. Ekspor dan Impor Komoditi Beras dan Gula di ASEAN, Tahun 2005-2006 ... 4
3. Peta Aliran Perdagangan Beras dan Gula Antaranggota ASEAN, Tahun 2005 ... 6
4. Tarif Beras dan Gula dalam Mekanisme Common Effective Preferential Tariff 2007 di Thailand, Filipina dan Indonesia ... 14
5. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Thailand, Tahun 2007 ... 16
6. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Filipina, Tahun 2007 ... 17
7. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Indonesia, Tahun 2007 ... 18
8. Nilai Ekspor dan Impor Beras di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 50
9. Nilai Ekspor dan Impor Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 51
10. Peta Aliran Perdagangan Beras Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 52
11. Peta Aliran Perdagangan Gula Antarnegara Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 53
12. Hasil Unit Root Test pada Level ... 60
13. Hasil Unit Root Test pada Tingkat First Difference ... 61
14. Penetapan Lag Optimal Model Beras Berdasarkan Hasil Perhitungan LR, FPE, AIC, SC dan HQ ... 63
15. Penetapan Lag Optimal Model Gula Berdasarkan Hasil Perhitungan LR, FPE, AIC, SC dan HQ ... 64
16. Hasil Uji Stabilitas VAR Model Beras dan Model Gula ... 65
14
18. Hasil Analisis Kointegrasi Model Gula ... 67
19. Persamaan Kointegrasi Jangka PanjangHarga Beras ... 70
20. Nilai Koefisien VECM Persamaan Integrasi Pasar Spasial
Komoditi Beras ... 71
21. Persamaan Kointegrasi Jangka PanjangHarga Gula... 73
22. Nilai Koefisien VECM Persamaan Integrasi Pasar Spasial
Komoditi Gula ... 74
23. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Beras
Thailand Selama 20 Periode Mendatang ... 83
24. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Beras
Filipina Selama 20 Periode Mendatang ... 84
25. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Beras
Indonesia Selama 20 Periode Mendatang... 86
26. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Gula
Thailand Selama 20 Periode Mendatang ... 87
27. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Gula
Filipina Selama 20 Periode Mendatang ... 88
28. Hasil Analisis Variance Decomposition Variabel Harga Gula
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Harga Produsen Beras di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun
1991-2006 ... 7
2. Harga Produsen Gula di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun
1991-2006 ... 8
3. Dampak Pengenaan Tarif pada Perdagangan Domestik dan Asing .. 20
4. Kurva Supply dan Demand pada Pasar Potensial Surplus dan
Pasar Potensial Defisit ... 25
5. Kurva Excess Supply dan Excess Demand dalam Model
Perdagangan ... 26
6. Alur Kerangka Operasional Penelitian ... 39
7. Harga Retail Beras di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun
2003-2008 ... 54
8. Harga Retail Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia, Tahun
2003-2008 ... 56
9. Grafik Impulse Response Model Beras ... 78
16
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Aktual Integrasi Pasar Beras di Tiga Negara ASEAN,
Tahun 2003-2008 ... 108
2. Data Aktual Integrasi Pasar Gula di Tiga Negara ASEAN,
Tahun 2003-2008 ... 110
3. Ringkasan Pemilihan Asumsi Tren Deterministik yang Digunakan pada Model Beras ... 112
4. Ringkasan Pemilihan Asumsi Tren Deterministik yang Digunakan pada Model Gula ... 113
5. Hasil Estimasi VECM pada Model Beras ... 114
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau
Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil
Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar
Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand. Sejak dibentuknya
ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah
satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi
difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan
(preferential trade), usaha patungan (joint ventures) dan skema saling melengkapi
(complementation scheme) antarpemerintah negara-negara anggota maupun pihak
swasta di kawasan ASEAN. Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara
di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan
hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa
cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian
mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan (Direktorat Jenderal
Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2007).
Kerjasama di sektor perdagangan barang diawali dengan ditandatanganinya
Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangement (ASEAN PTA) tahun
1977 di Manila yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978. Pada KTT
ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 disepakati pembentukan ASEAN Free
Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective
18
memberikan implikasi dalam bentuk pengurangan atau eliminasi tarif,
penghapusan hambatan-hambatan nontarif dan perbaikan terhadap
kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Perkembangan AFTA tidak hanya difokuskan
pada liberalisasi perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi
(Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).
Kerjasama antarnegara anggota ASEAN semakin meningkat dari tahun ke
tahun, terutama di bidang perekonomian. Hal ini terlihat dari perkembangan
ekspor impor negara-negara anggota ASEAN yang menunjukkan peningkatan,
dimana pada tahun 2005 total ASEAN trade sebesar US$ 1 224 889.4 juta
meningkat menjadi US$ 1 404 805.7 juta pada tahun 2006. Sektor pertanian dan
kehutanan merupakan salah satu subsektor utama dalam perekonomian ASEAN
mengingat hampir semua negara anggota ASEAN merupakan negara agraris yang
memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Berdasarkan data pada ASEAN
Statistical Yearbook 2007, diketahui bahwa padi, jagung, kedelai, gula dan ubi
kayu merupakan lima komoditi pangan utama di ASEAN dengan total produksi
pada tahun 2006 masing-masing sebesar 178 817 000 ton, 27 589 000 ton,
1 572 000 ton, 105 820 000 ton dan 56 599 000 ton. Dari data tersebut jelas
terlihat bahwa di ASEAN, padi (beras) dan gula adalah komoditi yang paling
banyak diproduksi.
Padi dan gula diproduksi dan dikonsumsi oleh negara-negara ASEAN
dengan tingkat produksi dan konsumsi yang berbeda-beda. Sebagai komoditi
pangan utama, produksi padi menunjukkan tingkat pertumbuhan yang meningkat
dari tahun ke tahun (2000 sampai 2006). Produksi gula juga terus mengalami
19
produksi mengalami penurunan dan kembali meningkat pada tahun 2006. Secara
lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1 produksi padi dan gula untuk masing-masing
negara anggota ASEAN dari tahun 2000 sampai tahun 2006.
Tabel 1. Produksi Komoditi Padi dan Gula di ASEAN, Tahun 2000-2006
Negara Produksi (000 ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Sumber: ASEAN Secretariat, 2008
Keterangan: - not available at the time of publication
n.a. not applicable
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari tahun 2000 sampai tahun 2006 Indonesia
merupakan negara produsen padi terbesar di ASEAN, sedangkan gula banyak
diproduksi oleh Thailand. Berdasarkan informasi pada Tabel 2, walaupun
20
pengekspor utama beras, hanya US$ 0.53 juta beras yang diekspor oleh Indonesia,
bahkan pada tahun 2006 Indonesia merupakan negara ketiga yang paling banyak
mengimpor beras di ASEAN setelah Filipina dan Malaysia. Indonesia menjadi
negara net importir gula dengan nilai impor terbesar (US$ 629.49 juta)
dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, sedangkan Malaysia
merupakan negara pengimpor gula terbesar kedua di ASEAN dengan nilai impor
sebesar US$ 439.19 juta. Thailand merupakan negara pengekspor utama beras dan
gula di ASEAN. Pada tahun 2006 ekspor beras dan gula yang dilakukan Thailand
masing-masing sebesar 75.10 persen dan 63.31 persen dari total beras dan gula
yang diekspor oleh negara-negara anggota ASEAN.
Tabel 2. Ekspor dan Impor Komoditi Beras dan Gula di ASEAN, Tahun
2005-2006 (US$ juta)
Negara
Ekspor Impor
2005 2006 2005 2006
Beras Gula Beras Gula Beras Gula Beras Gula
Brunei Darussalam - - - 0.01 20 7 23.42 6.65
Kamboja 3 - 2.25 0.03 3 10 3.24 16.84
Indonesia 9 86 0.53 113.14 51 649 132.62 629.49
Laos 2 - 2.96 0.00 3 6 2.93 4.71
Malaysia 1 123 1.16 133.65 182 344 279.28 439.19
Myanmar 37 1 10.79 0.47 - 1 0.00 0.34
Filipina - 111 0.13 135.77 500 56 465.74 95.98
Singapura 29 58 22.50 84.89 114 170 127.76 214.06
Thailand 2 319 868 2 406.02 867.40 1 33 1.13 42.36
Vietnam 594 29 757.57 34.65 25 79 23.80 139.35
Total 2 994 1 276 3 203.93 1 370.02 899 1 355 1 059.91 1 588.98
Sumber: ASEAN Secretariat, 2008
Keterangan: - not available at the time of publication
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui bahwa tidak semua negara
produsen beras dan gula menjadi negara pengekspor. Hal ini dikarenakan
tingginya kebutuhan domestik sehingga hampir semua produksi dialokasikan
21
mengindikasikan bahwa surplus produksi yang diperdagangkan di pasar dunia
sangat terbatas. Liberalisasi perdagangan yang dilakukan oleh semua negara
ataupun oleh suatu negara baik oleh eksportir maupun importir secara langsung
akan mempengaruhi permintaan dan penawaran komoditi pangan yang pada
akhirnya mempengaruhi harga dunia. Perubahan-perubahan yang terjadi di pasar
dunia inilah yang akan memberikan dampak pada perdagangan di tingkat
domestik.
AFTA merupakan salah satu bentuk liberalisasi perdagangan yang
diberlakukan di kawasan Asia Tenggara. AFTA adalah wujud dari integrasi
ekonomi yang terjadi antarnegara di ASEAN. Pemberlakuan AFTA akan
menyebabkan terjadinya integrasi pasar antarnegara yang artinya pasar satu
negara akan saling mempengaruhi dengan pasar negara lain. Menurut Muwanga
dan Snyder (1997) dalam Adiyoga et al. (2006), pasar-pasar terintegrasi jika
terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah
secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi
dengan harga di pasar-pasar lainnya. Perubahan harga di suatu pasar secara parsial
atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam
jangka pendek atau jangka panjang.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dikaji bagaimana perubahan yang
terjadi di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi pergerakan
pasar antarnegara di tiga negara ASEAN. Negara-negara yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah Thailand, Filipina dan Indonesia. Tiga negara ini dipilih
karena dianggap mewakili negara eksportir dan importir beras dan gula di
22
1.2. Rumusan Masalah
Menurut Sawit (2006), Thailand adalah salah satu negara eksportir utama
beras di dunia atau sekitar 7 juta ton per tahun. Indonesia telah menjadi negara net
importir beras sejak lama. Pada periode 1998-1999, terjadi penurunan produksi
padi yang bersamaan dengan krisis ekonomi, sehingga impor beras tertinggi yaitu
mencapai 3.8 juta ton per tahun, dengan tingkat ketergantungan impor hampir
11 persen. Namun, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005, karena
Indonesia melarang impor beras, kecuali beberapa jenis beras untuk penggunaan
tertentu. Pada periode ini, impor hanya 206 ribu ton per tahun, dengan tingkat
swasembada mencapai 99.5 persen.
Tabel 3. Peta Aliran Perdagangan Beras dan Gula Antaranggota ASEAN, Tahun
2005 (000 US$)
Ekspor
Impor
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Indonesia n.a. n.a. 3.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Malaysia 0.00 0.00 n.a. n.a. 12.94 0.00 111.65 0.00 3.32 0.00
Filipina 0.00 12 467.51 68.78 0.00 n.a. n.a. 0.00 0.00 20 061.98 0.08
Singapura 0.00 0.00 0.35 0.00 0.00 0.00 n.a. n.a. 159.20 0.00
Thailand 32 489.04 0.00 93 533.88 12 019.86 0.07 0.00 73 159.16 111.92 n.a. n.a. Sumber: World Bank, 2005 (diolah)
Keterangan: (1) Beras; (2) Gula
Thailand menjadi eksportir utama bagi negara anggota ASEAN yang lain
dalam perdagangan beras dan gula. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3 tentang peta
aliran perdagangan beras dan gula antaranggota ASEAN 5. Ekspor beras
dilakukan oleh Thailand ke Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura;
Indonesia ke Malaysia; Malaysia ke Filipina, Singapura dan Thailand; Filipina ke
Malaysia dan Thailand; Singapura ke Malaysia dan Thailand. Sedangkan ekspor
23
dan Thailand. Dari penjelasan ini diduga terdapat hubungan ekspor-impor beras
dan gula antarnegara anggota ASEAN tersebut, artinya ada aliran barang (beras
dan gula) dari satu negara ke negara lain di ASEAN. Adanya aliran barang
mengindikasikan hubungan yang saling mempengaruhi antara satu negara dengan
negara lain.
Berdasarkan data harga beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia,
dapat dikatakan bahwa hubungan harga di ketiga pasar ada indikasi bergerak
bersama. Namun, Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika harga
ketiga negara tersebut diplotkan dari tahun 1991 sampai tahun 2006 terlihat bahwa
trend harga yang terjadi tidak selalu sama atau searah.
0
Sumber: FAO Statistics Division,2008
Gambar 1. Harga Produsen Beras di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun 1991-2006
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa antara pasar beras Thailand dan
Indonesia terdapat trend harga yang hampir sama atau searah dari tahun 1991
24
maka harga di kedua negara tersebut juga bergerak dengan arah yang sama.
Kecuali pada tahun 1998, ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia
dapat dilihat bahwa harga beras Indonesia dalam satuan US$ per ton bergerak
turun sangat drastis, hal ini dikarenakan nilai tukar mata uang domestik (Rupiah)
melemah terhadap US$. Dari gambar tersebut dapat diduga bahwa pasar beras
Indonesia dan Thailand terintegrasi. Berbeda dengan pasar beras di Filipina
dimana trend harga yang muncul agak berbeda dengan pasar beras Indonesia dan
Thailand. Dapat dilihat bahwa baru tahun 2000 trend harga beras yang terjadi di
Filipina bergerak hampir sama atau searah dengan harga beras Indonesia dan
Thailand.
0 10 20 30 40 50 60
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN
N
IL
A
I
(U
S
$
/T
O
N
)
Thailand Indonesia Filipina
Sumber: FAO Statistics Division,2008
Gambar 2. Harga Produsen Gula di Thailand, Indonesia dan Filipina, Tahun 1991-2006
Pasar gula di Thailand sangat berbeda dengan pasar gula di Filipina dan
Indonesia yang memiliki trend harga yang hampir sama dari tahun 1991 sampai
yang besar pada harga gula di Filipina dan Indonesia. Mulai tahun 2004 trend
harga mulai menunjukkan arah yang hampir sama, hal ini mungkin disebabkan
oleh mulai diberlakukannya AFTA yang mengakibatkan adanya keterpaduan
pasar gula antar ketiga negara tersebut. AFTA artinya terjadi liberalisasi
perdagangan barang antarnegara anggota ASEAN sebagai akibat adanya
pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan nontarif dan
perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan.
Liberalisasi perdagangan komoditi pangan memunculkan pertanyaan yaitu
apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi
naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik. Secara teoritis liberalisasi
perdagangan global yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan
hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar pangan dunia dan pasar
pangan domestik secara spasial semakin terintegrasi. Apabila dinamika harga di
tingkat pasar dunia secara otomatis mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat
konsumen domestik, berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga rentan
terhadap gejolak harga di pasar dunia (Purwoto et al. 2002). Integrasi pasar
artinya terdapat keterpaduan pasar satu dengan pasar lainnya. Menurut Sitorus
(2004), keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi yang memadai dan
informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar yang lain, sehingga
perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat dengan segera tertangkap
oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama.
Seharusnya dengan diberlakukannya AFTA maka akan terjadi integrasi
pasar antarnegara di ASEAN. Berdasarkan hal tersebut maka muncul pertanyaan
26
1. Bagaimana integrasi pasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia.
Apakah perubahan yang terjadi di dalam pasar beras dan gula suatu negara
akan mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lain.
2. Berapa besar perubahan harga beras dan gula di Indonesia berasal dari dirinya
sendiri dan berapa besar berasal dari pengaruh harga beras dan gula di
Thailand dan Filipina.
3. Bagaimana implikasi kebijakannya terhadap perdagangan beras dan gula di
Indonesia.
Indonesia di ASEAN adalah negara net importir, maka kajian ini sangat
penting dilakukan untuk melihat seberapa besar keterkaitan Indonesia terhadap
negara eksportir. Hal ini nantinya akan berhubungan dengan ketersediaan pangan
khususnya beras dan gula dalam pasar domestik apabila nantinya terjadi gangguan
pada pasar dunia khususnya pasar ASEAN.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar
beras dan gula di tiga negara ASEAN yaitu Thailand, Filipina dan Indonesia.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis integrasi spasial antarpasar beras dan gula di Thailand, Filipina
dan Indonesia.
2. Menganalisis sumber perubahan harga beras dan gula di Indonesia yang
berasal dari perubahan harga beras dan gula di Indonesia, Thailand dan
3. Mengidentifikasi kebijakan perdagangan beras dan gula di Indonesia dan
implikasinya.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi: (1) integrasi pasar beras dan gula di tiga
negara ASEAN dianalisis melalui hubungan harga, (2) tiga negara ASEAN dalam
penelitian ini adalah Thailand, Filipina dan Indonesia, (3) total ASEAN trade
untuk beras dan gula yang meliputi nilai ekspor dan impor beras dengan kode
produk 100640 yaitu broken rice (beras pecah), sedangkan untuk gula adalah gula
dengan kode produk 170111 yaitu raw sugar not containing added flavouring or
colouring matter:--cane sugar (gula kasar tidak mengandung tambahan bahan
perasa/pewarna:--gula tebu), (4) data harga beras dan gula yang digunakan adalah
harga eceran beras dan gula di masing-masing negara tersebut, dan (5) data
merupakan data time series bulanan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008.
1.5. Keterbatasan Penelitian
Secara empiris uji yang dilakukan hanya pada harga saja, sehingga
pengujian disini dengan asumsi bahwa biaya-biaya transaksi perdagangan
antarpasar adalah konstan antarwaktu. Penelitian ini tidak mengkaji pengaruh
faktor-faktor nonharga (kecuali exchange rate) terhadap integrasi antarpasar beras
dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia. Selain itu, karena penelitian ini
hanya difokuskan pada tiga negara saja, maka pengaruh harga di luar ketiga
28
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Kerjasama Perdagangan di ASEAN
Kerjasama di sektor perdagangan barang diawali dengan ditandatanganinya
ASEAN PTA tahun 1977 di Manila yang mulai diberlakukan pada tanggal 1
Januari 1978. Pelaksanaan kerjasama di sektor perdagangan dinilai masih
memerlukan berbagai upaya peningkatan, terutama untuk mata dagangan yang
secara nyata diperdagangkan tetapi belum dapat diberikan tingkat preferensi yang
memadai. Selain itu, masih diperlukan pula pendekatan yang lebih efisien, baik
dalam prosedur administrasi maupun berbagai upaya untuk mengurangi berbagai
hambatan nontarif (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).
Tingkat tarif efektif bersama diberlakukan antara 5-10 persen atas dasar
produk per produk, baik produk ekspor maupun impor guna menghilangkan
kendala-kendala perdagangan antarnegara ASEAN. Konsep CEPT ini juga
diterapkan pada pengaturan kerjasama ASEAN di bidang industri. Disamping itu,
disepakati juga untuk mengurangi tarif menjadi 0-5 persen bagi 90 persen produk
pada tahun 2000 serta untuk mempercepat pemberlakuan tarif 0 persen dan
memindahkan produk-produk yang tidak termasuk dalam pengurangan tarif ke
dalam Inclusion List (IL).Negara-negara anggota baru ASEAN (Kamboja, Laos,
Myanmar dan Vietnam/CLMV) akan memaksimalkan jumlah produk dengan tarif
0-5 persen pada tahun 2003 bagi Vietnam, 2005 bagi Laos dan Myanmar, serta
2007 bagi Kamboja. Mereka juga akan memperluas jumlah cakupan produk
dengan tarif 0-5 persen pada 2006 bagi Vietnam, 2008 bagi Laos dan Myanmar,
Pelaksanaan AFTA telah mengalami beberapa kali percepatan. Pada tahun
1995 disepakati Agenda of Greater Economic Integration yang antara lain berisi
komitmen untuk mempercepat pemberlakuan AFTA dari 15 tahun menjadi 10
tahun, atau yang semula tahun 2008 menjadi 2003. Pada tahun 1999, para
Pemimpin ASEAN memutuskan untuk melakukan percepatan dalam pencapaian
tarif nol persen dalam kerangka AFTA bagi ASEAN-6 yang dijadwalkan pada
tahun 2010. Sementara keempat negara anggota baru (CLMV) dijadwalkan pada
tahun 2015 dengan fleksibilitas.
AFTA saat ini telah terbentuk dengan sendirinya, dimana negara-negara
anggota ASEAN telah membuat langkah-langkah maju dalam menurunkan tarif
intraregional melalui mekanisme CEPT for AFTA. Sampai saat ini tercatat lebih
dari 99 persen produk yang masuk dalam daftar IL untuk negara-negara
ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand)
telah diturunkan menjadi sekitar 0-5 persen. Negara-negara CLMV juga tidak
ketinggalan jauh dalam pelaksanaan komitmen CEPT dimana hampir 80 persen
produk mereka telah masuk dalam IL dan 66 persen dari produk-produk tersebut
telah memiliki tarif antara 0-5 persen. Hingga tahun 2006, rata-rata CEPT
ASEAN-6 adalah 1.74 persen, CLMV 4.65 persen dan ASEAN secara
keseluruhan 2.82 persen (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007). Tabel 4
memperlihatkan tarif beras dan gula dalam mekanisme CEPT di Thailand, Filipina
dan Indonesia.
Tarif adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor.
Ada dua jenis tarif yaitu tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang
30
persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Pada kasus ini tarif
menimbulkan dampak berupa kenaikan harga atau biaya pengiriman barang
produk impor ke suatu negara (Krugman dan Obstfeld, 2004).
Tabel 4. Tarif Beras dan Gula dalam Mekanisme Common Effective Preferential
Tariff Rates 2007 di Thailand, Filipina dan Indonesia
Kode AHTN
(2007) Deskripsi Thailand Filipina Indonesia
1006.00.00 - Beras 5 SL HSL
1701.11.00 - - Gula Tebu 5 38 HSL
1701.11.00.10 ---ICUMSA minimal 1200 5 38 HSL
1701.11.00.90 ---Lainnya 5 38 HSL
Sumber: ASEAN Secretariat, 2007
Masing-masing negara anggota ASEAN khususnya Thailand, Filipina dan
Indonesia menetapkan kebijakan tarif yang berbeda-beda dalam perdagangan
beras dan gula. Thailand sudah memasukkan komoditi beras dan gula ke dalam
CEPT Rates 2007 dengan besaran tarif 5 persen. Berbeda dengan Filipina yang
menetapkan beras sebagai produk dengan status Sensitive List (SL) sedangkan
gula sudah ditetapkan tarifnya sebesar 38 persen. Indonesia bahkan memasukkan
beras dan gula ke dalam status High Sensitive List (HSL).
Kebijakan nontarif merupakan instrumen kebijakan perdagangan yang
sangat sering diterapkan selain kebijakan tarif. Salah satu kebijakan nontarif
adalah kuota, yaitu pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau
ekspor. Kuota bisa berupa pembatasan kuantitas pasokan atau bisa juga
pembatasan nilai. Kuota impor merupakan pembatasan langsung atas jumlah
barang yang boleh diimpor, biasanya pembatasan diberlakukan dengan
domestik untuk mengimpor suatu produk tertentu. Kuota impor dapat digunakan
untuk melindungi sektor pertanian atau sektor industri domestik tertentu
(Salvatore, 1997).
Komoditi pangan khususnya beras dan gula merupakan komoditas yang
masih memiliki nilai strategis dan politis. Karenanya kebijakan yang diterapkan
selalu bersifat protektif. Masing-masing negara anggota ASEAN menetapkan
kebijakan perdagangan yang berbeda-beda untuk setiap komoditi yang
diperdagangkan. Berdasarkan informasi dari ASEAN Secretariat (2007), di
bawah ini dituliskan beberapa kebijakan nontarif (Nontariff Measures/NTMs)
untuk perdagangan beras dan gula di negara Thailand, Filipina dan Indonesia
berdasarkan Harmonized System (HS).
1. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Thailand
Pemerintah Thailand membuat peraturan yang ketat untuk impor beras.
Dapat dilihat bahwa pemerintah Thailand sangat melindungi petani berasnya
dengan membuat kebijakan perdagangan beras per jenis produk berdasarkan HS,
mulai dari beras berkulit sampai dengan beras pecah. Kebijakan tarif dan kuota
diberlakukan untuk impor beras. Hal ini dilakukan untuk melindungi pendapatan
petani lokal. Selain itu juga diberlakukan lisensi impor. Impor beras yang
dilakukan di Thailand harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya
Phytosanitary Certificate dan melalui karantina tumbuhan. Beras yang diimpor
harus memiliki kualitas dan standar tertentu. Tidak berbeda dengan impor beras,
untuk impor gula pemerintah juga menerapkan kebijakan tarif dan kuota. Tabel 5
memperlihatkan kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Thailand untuk
32
Tabel 5. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Thailand, Tahun 2007
No. Kode HS (digit) Deskripsi
HS
Tipe
NTMs Deskripsi NTMs Sumber
2 4 6
1 10 1006 1006.10 Beras berkulit TRQ Impor beras tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Phytosanitary dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.
Impor beras dari Jepang, Filipina, India, Srilanka dan Cina tidak diizinkan berdasarkan UU Karantina Tumbuhan TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT.
Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu. Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.
Impor beras dari Jepang, Filipina, India, Srilanka dan Cina tidak diizinkan berdasarkan UU Karantina Tumbuhan TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.
Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu.
TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.
Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu.
Impor gula tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, untuk melindungi petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT untuk alokasi quota.
2. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Filipina
Pemerintah melakukan aturan kontrol kuantitas atau jumlah kuota untuk
impor gula. Kuota impor gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi
ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada importir yang terdaftar dimana
yang pertama datang yang pertama dilayani. Impor gula mengacu kepada
Minimum Access Volume (MAV) dan Tariff Rate Quotas (TRQs). Di bawah
skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ. Secara lebih rinci dapat
dilihat pada Tabel 6 tentang kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah
Filipina untuk komoditi gula.
Tabel 6. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Filipina, Tahun 2007
No.
Kode HS
(digit) Deskripsi
HS Tipe NTMs Deskripsi NTMs Keterangan
2 4 6
Quota impor gula tebu atau gula bit ditetapkan secara
(A.O.) 9 tahun 1996, diubah oleh A.O. 8 tahun 1997 dan
Sumber: ASEAN Secretariat, 2007
3. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Indonesia
Impor beras di Indonesia dilaksanakan melalui dua cara, yaitu impor
34
sebagai lembaga yang mengurus kebutuhan logistik nasional, dan impor yang
dilakukan berdasarkan lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus/NPIK).
Untuk komoditi gula, intervensi pemerintah dilakukan dengan cara kontrol impor
melalui registrasi produk oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan
(BPOM). Sejalan dengan impor beras, impor gula juga dilakukan berdasarkan
lisensi impor. Tabel 7 memperlihatkan kebijakan nontarif yang ditetapkan
pemerintah Indonesia untuk komoditi beras dan gula.
Tabel 7. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Indonesia, Tahun 2007
No. Kode HS (digit) Deskripsi HS Tipe NTMs Deskripsi NTMs
2 4 6
1 10 1006 Beras Aturan Monopoli -satu
saluran impor- administrasi perdagangan Negara.
Impor beras dan bahan mentah lainnya hanya bisa dilakukan proses lebih dari 3 bulan.
4 17 1701 Gula tebu dan
gula bit
Lisensi impor otomatis. Aturan
MIT:141/MPP/Kep/3/2002: Lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK)).
Sumber: ASEAN Secretariat, 2007
Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), praktik pembatasan impor selalu
meningkatkan harga barang yang diimpor di pasar dalam negeri. Akibat langsung
jika impor dibatasi adalah bahwa pada tingkat harga semula (sebelum ada
pembatasan) permintaan untuk barang yang bersangkutan lebih besar daripada
penawaran domestik ditambah impor. Keadaan ini menyebabkan harga lebih
tinggi sampai terciptanya keseimbangan baru. Perbedaan dampak yang
ditimbulkan oleh kuota dari yang ditimbulkan oleh tarif adalah bahwa dengan
Jika pemerintah memberlakukan kuota untuk membatasi impor, maka besarnya
pendapatan yang akan diperoleh dilakukan dengan cara memungutnya dari siapa
saja yang menerima lisensi impor. Pemegang lisensi dapat mengimpor suatu
produk yang dikenai kuota dan menjualnya di dalam negeri dengan harga yang
lebih tinggi. Keuntungan yang diperoleh pemegang lisensi itu dikenal sebagai
rente kuota.
2.2. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Perdagangan
Salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perdagangan adalah
pengenaan pajak yang berupa tarif impor. Intervensi pemerintah seperti ini
merupakan hambatan dalam perdagangan. Menurut Krugman dan Obstfeld
(2004), dari sisi tinjauan pengirim barang, tarif persis seperti biaya pengangkutan.
Jika Domestik mengenakan pajak sebesar US$ 1 untuk setiap unit barang yang
diimpornya, maka pengirim tidak akan bersedia mengangkut atau mengirimkan
barang tersebut, kecuali kalau perbedaan atau selisih harga di kedua pasar yang
jumlahnya paling sedikit US$ 1.
Sebagai ilustrasi, Gambar 3 memperlihatkan dampak-dampak pengenaan
tarif spesifik sebesar US$ t per unit beras, dengan asumsi tidak ada biaya
transportasi atau biaya-biaya perdagangan lainnya selain pajak atau tarif dan
Domestik merupakan negara besar jadi bisa mempengaruhi perdagangan dunia.
Tanpa tarif, harga beras di kedua negara akan sama yaitu Pw. Setelah ada tarif,
pengirim tidak akan bersedia mengangkut beras dari Asing ke Domestik kecuali
36
harga beras Domestik akan naik, sedangkan harga beras Asing segera turun
sampai perbedaan harga ini mencapai sebesar US$ t.
Sumber: Krugman dan Obstfeld, 2004
Gambar 3. Dampak Pengenaan Tarif pada Perdagangan Domestik dan Asing
Pengenaan tarif mengakibatkan harga di kedua pasar mengalami perubahan.
Tarif meningkatkan harga di Domestik ke PT dan menurunkan harga di Asing ke
P1T=PT t. Adanya harga yang lebih tinggi maka konsumen Domestik menurunkan
permintaannya, sehingga permintaan untuk impor menjadi berkurang. Di Asing,
harga yang lebih rendah menyebabkan penawaran turun, dengan demikian
perdagangan beras merosot dari sebanyak Qw (dalam keadaan perdagangan
bebas), menjadi hanya QT (volume perdagangan dengan tarif).
Jika suatu negara kecil mengenakan tarif, peranan ekonominya yang tidak
begitu berarti di pasar dunia untuk semua jenis barang biasanya hanya
pengurangan impor akibat tarif dari negara kecil itu hanya berpengaruh kecil pada
harga dunia sehingga bisa diabaikan. Artinya pengenaan tarif olehnya tidak akan
menurunkan harga barang-barang luar negeri yang diimpornya. Disini tarif hanya
akan meningkatkan harga barang yang diimpor sebesar tingkat tarif yang berlaku.
Liberalisasi perdagangan yang menghapuskan atau mengurangi hambatan
perdagangan baik tarif maupun nontarif akan menambah volume barang yang
diimpor. Artinya aliran barang dari satu negara ke negara lain yang melakukan
perdagangan semakin banyak, maka pasar satu negara akan semakin terintegrasi
dengan pasar negara yang lainnya. Pengurangan tarif mengakibatkan harga di
Domestik turun dari PT menjadi P*T dan meningkatkan harga di Asing ke P2T.
Harga yang lebih rendah menyebabkan para konsumen Domestik meningkatkan
permintaannya, sehingga permintaan untuk impor menjadi bertambah. Di Asing,
harga yang lebih tinggi menyebabkan penawaran meningkat, dengan demikian
perdagangan beras bertambah dari sebanyak Q1T (dalam keadaan perdagangan
dengan adanya tarif), menjadi Q2T (volume perdagangan dengan tarif yang
dikurangi). Dapat disimpulkan bahwa semakin kecil tarif yang dikenakan maka
semakin banyak volume barang yang diperdagangkan.
Menghilangkan kebijakan-kebijakan proteksi artinya mengizinkan terjadinya
liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas. Menurut Krugman dan Obstfeld
(2004), salah satu keuntungan tambahan dari perdagangan bebas yang sangat
penting adalah terpupuknya skala ekonomi (economies of scale). Perdagangan
bebas akan menghindarkan terjadinya kerugian efisiensi yang seringkali
38
keuntungan tambahan yang tidak dapat diperoleh jika terjadi distorsi produksi dan
konsumsi.
Bagi negara-negara kecil yang tidak dapat mempengaruhi harga ekspor
dunia, tarif menyebabkan kerugian netto bagi perekonomian. Hal ini terjadi
karena adanya distorsi terhadap rangsangan ekonomi bagi produsen maupun
konsumen. Pergerakan menuju ke arah perdagangan bebas bisa menghilangkan
distorsi-distorsi ini dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian yang
bersangkutan. Pasar yang diproteksi akan mengurangi daya saing dan potensi
meningkatkan laba, serta juga cenderung merangsang berbagai perusahaan untuk
memasuki industri yang diproteksi tersebut sehingga semuanya akan terjebak ke
dalam pola produksi yang tidak efisien (Krugman dan Obstfeld, 2004).
2.3. Integrasi Ekonomi
Integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial atau
kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan
hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara negara-negara yang saling
sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Maksudnya, di
lingkungan negara-negara yang menjadi anggota, berbagai bentuk hambatan
perdagangan, tarif maupun nontarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan
sama sekali, sedangkan terhadap negara-negara luar yang bukan merupakan
anggota, masing-masing negara anggota masih berhak untuk menerapkan
kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak memberlakukan hambatan
Selanjutnya Salvatore (1997), mengemukakan bahwa tingkatan integrasi
ekonomi itu sendiri bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial,
yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan kawasan atau area
perdagangan bebas, kemudian menjadi persekutuan pabean, pasaran bersama dan
pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh.
Kawasan atau area perdagangan bebas adalah suatu kawasan dimana tarif dan
kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap
menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.
Proses integrasi ekonomi dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat
ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut lebih besar dibandingkan
dengan biaya atau resiko yang mungkin dihadapi apabila tidak terlibat dalam
proses tersebut. Kebijakan liberalisasi maupun kesepakatan integrasi digunakan
sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong
pertumbuhan dalam rangka meningkatkan kemakmuran. Proses integrasi ekonomi
selalu ditandai oleh adanya proses integrasi pasar di antara negara yang
berpartisipasi dalam integrasi. Salah satu upaya penting untuk mencapai integrasi
pasar adalah melakukan integrasi kebijakan di antara negara-negara tersebut
(Winantyo et al. 2008).
2.4. Integrasi Pasar
Integrasi pasar merupakan suatu konsep dimana pelaku pasar dalam
kawasan yang berbeda atau negara-negara anggota dalam union digerakkan oleh
kondisi penawaran dan permintaan. Kondisi ini ditunjukkan dengan pergerakan
40
union. Pasar barang dan jasa yang homogen secara sempurna menyebabkan
intensitas integrasi pasar dalam suatu kawasan diukur melalui tingkat konvergensi
harga dalam suatu union (Pelkman, 2001 dalamWinantyo et al. 2008).
Secara konseptual integrasi pasar dapat dibedakan atas dua jenis yaitu
integrasi pasar spasial dan integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar spasial
merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional
lainnya, sedangkan integrasi vertikal adalah keterkaitan hubungan antara suatu
lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai
pemasaran (Simbolon, 2005). Penelitian ini akan membahas tentang analisis
integrasi spasial karena pasar beras dan gula antar tiga negara anggota ASEAN
terpisah secara geografis.
Integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan harga antarpasar yang
terpisah secara geografis, konsep ini diterangkan dengan menggunakan model
keseimbangan spasial. Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva
kelebihan penawaran (excess supply) dan kelebihan permintaan (excess demand)
pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Harga yang terbentuk pada
masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan dapat diduga
melalui model keseimbangan spasial ini (Tomek dan Robinson, 1990).
Analisis dilakukan dengan cara, pasar dibagi dalam dua kategori antara lain
pasar yang memiliki potensi surplus dan pasar yang berpotensi defisit. Prinsip
yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antardaerah
digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi penawaran
(supply)dan permintaan (demand) dari masing-masing pasar dengan asumsi tidak
Sumber: Tomek dan Robinson, 1990
Gambar 4. Kurva Supply dan Demand pada Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit
Berdasarkan Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pasar A merupakan
pasar yang berpotensi surplus dan pasar B yang berpotensi defisit. Jika tidak ada
perdagangan maka harga yang terbentuk adalah P1 di pasar A dan P2 di pasar B
dimana P1<P2. Kelebihan cadangan konsumsi di pasar A akan mendorong pelaku
pasar di pasar tersebut untuk menjual kelebihan cadangannya ke pasar lain,
sedangkan pelaku pasar di pasar B akan mendatangkan komoditi dari pasar lain
untuk memenuhi permintaan di pasar B.
Model keseimbangan spasial dapat ditunjukkan dari Gambar 4 dengan
mengembangkan kurva excess supply dan excess demand untuk menjelaskan
hubungan harga akibat perdagangan yang terjadi antara dua pasar. Kelebihan
penawaran adalah selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang
diminta pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang akan meningkat P1
P1
D S
a. Pasar A b. Pasar B
D1 ED
P2 ES
S
Q Q
P P
42
dengan semakin tingginya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi
keseimbangan pasar A (P1). Kelebihan permintaan adalah selisih antara jumlah
yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu
tertentu, akan meningkat dengan semakin rendahnya harga dan akan bernilai nol
pada saat terjadi keseimbangan pasar B (P2).
Sumber: Tomek dan Robinson, 1990
Gambar 5. Kurva Excess Supply dan Excess Demand dalam Model Perdagangan
Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan
perubahan kekuatan penawaran dan permintaan pada masing-masing pasar.
Berdasarkan Gambar 5, jika tidak ada biaya transfer antarpasar (A dan B) maka
total unit komoditi yang akan ditransfer dari pasar A ke pasar B sebesar 0QE1
dengan tingkat harga yang sama antara keduanya yaitu sebesar 0PE. Volume
perdagangan antar kedua pasar akan semakin menurun dengan adanya biaya
transfer. Jika biaya transfer lebih besar dari PB1-PA1 maka tidak akan ada
perdagangan antar keduanya. Pada kasus ini, demand dan supply akan sama antar PE
PA1
E
Excess Supply
di pasar A (ESA)
Excess Demand
di pasar B (EDB)
TC
0
x
y PB1-PA1
Komoditi (Q) Harga (P)
Transfer Cost(TC)
PEA2
PEB2
PB1
kedua daerah sedangkan perbedaan harga akan semakin kecil dibandingkan biaya
transfer.
Efek perubahan biaya transfer yang terjadi antara dua pasar (A dan B) dapat
diilustrasikan dengan membangun garis volume perdagangan (xy). Pada garis ini
dapat dilihat tidak akan ada perdagangan apabila biaya transfer yang terjadi
sebesar PB1-PA1, namun perdagangan akan maksimum (0QE1) jika biaya transfer
sebesar nol. Apabila biaya transfer yang terjadi antardaerah sebesar 0TC maka
jumlah komoditi yang diperdagangkan sebesar 0QE2. Harga komoditi yang terjadi
di pasar A akan naik menjadi 0PEB2 dan di pasar B akan turun menjadi 0PEA2.
Keterangan tersebut menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat
perubahan kekuatan pasar, akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang
melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Hal ini menunjukkan adanya
integrasi pasar antar kedua daerah yang melakukan perdagangan.
Hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun nontarif akan
meningkatkan biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung
sampai biaya transfer sama dengan selisih harga atau bahkan melebihi. Jika hal ini
terjadi maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan melakukan
perdagangan antarpasar. Akibatnya transfer kelebihan permintaan maupun
kelebihan penawaran tidak terjadi dan harga akan bergerak secara individu pada
masing-masing pasar.
2.5. Metode Analisis Integrasi Pasar
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis integrasi
44
bersamaan pada pasar yang diuji, metode regresi sederhana, metode kointegrasi
dan metode Vector Autoregression (VAR). Keempat metode tersebut digunakan
untuk menganalisis keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi
dalam bentuk time series sebagai input yang dinalisis.
Natawijaya (2001) dalamSimbolon (2005), menjelaskan bahwa penggunaan
metode korelasi dapat digunakan apabila arus perdagangan komoditi antarpasar
tidak terlalu jelas arah atau arah transmisi harga bukan fokus utama penelitian.
Kelemahan metode ini diatasi dengan menggunakan data harga riil berdasarkan
indeks harga konsumen pada setiap pasar sehingga pengaruh perubahan harga
akibat inflasi dapat dikoreksi. Metode ini hanya dapat menjelaskan keterkaitan
harga antarpasar namun tidak dapat menentukan besarnya pengaruh dan saling
mempengaruhi antar pasar-pasar yang diuji. Kelemahan yang lain dari model ini
adalah memberikan kesimpulan yang keliru, karena pergerakan harga dapat terjadi
sebagai akibat pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga.
Sehingga harga di kedua pasar menunjukkan korelasi yang tinggi walaupun tidak
terintegrasi.
Metode regresi sederhana bisa menjelaskan bahwa harga di suatu pasar
merupakan fungsi dari harga pada pasar lainnya. Kelebihan metode ini adalah
dapat menunjukkan nilai keeratan hubungan antara pasar yang terintegrasi. Tetapi
terdapat kelemahan pada metode ini yaitu tidak dapat memisahkan harga sebagai
variabel dependen maupun variabel independen karena model regresi sederhana
memiliki sifat inverse.
Analisis integrasi pasar dapat juga menggunakan uji kointegrasi yang bisa
antarpasar dalam suatu kawasan. Kelemahan metode ini yaitu tidak adanya
prosedur yang sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda secara
terpisah, selain itu tahapan estimasi dalam metode ini melalui dua tahap dimana
apabila terjadi pendugaan yang salah pada tahap pertama akan berlanjut ke tahap
kedua.
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode VAR. Menurut Thomas
(1997), kelebihan dari metode ini dapat digunakan untuk data dari berbagai
periode, hasil yang diperoleh tidak spurious (palsu), dapat menentukan besar
integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut
harga maupun pasar yang terisolasi. VAR adalah suatu sistem persamaan yang
memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag
(lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam
sistem. Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR yaitu semua peubah tak
bebas harus bersifat stasioner (mean, variance dan covariance bersifat konstan)
dan semua sisaan bersifat white noise yakni memiliki rataan nol, ragam konstan
dan saling bebas. VAR dengan ordo p dan n buah peubah tak bebas pada periode
waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai berikut:
Yt = ao + a1 Yt-1 + a2 Yt-2 + + ap Yt-p + t ... (2.1)
dimana:
Yt = vektor peubah tak bebas (Y1.t, Y2.t,..., Yn.t) yang berukuran n x 1
ao = vektor intersep berukuran n x 1
ai = matrik parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2,..., p
t = vektor sisaan ( 1.t, 2.t,..., n.t) berukuran n x 1
n = jumlah baris pada matrik n x m
46
Hadi (2003), menjelaskan bahwa pada dasarnya analisis VAR meliputi:
1. Uji Akar Unit (Unit Root Test)
Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati stasioner
atau tidak. Tes ini sebenarnya hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR,
mengingat tujuan dari analisis VAR adalah untuk menilai hubungan timbal
balik diantara variabel-variabel yang diamati, dan bukan tes untuk data. Akan
tetapi apabila data yang diamati adalah stasioner hal ini akan meningkatkan
akurasi dari analisis VAR.
2. Uji Hipotesis (Hypothesis Testing), yang terdiri dari:
a. Likelihood Ratio Test
Likelihood Ratio Test digunakan untuk menguji hipotesis mengenai
berapakah jumlah lag yang sesuai untuk model yang diamati.
b. Granger Causality Test
Tes ini menguji apakah suatu variabel bebas meningkatkan kinerja
forecasting dari variabel tidak bebas.
3. Innovation Accounting
Pada dasarnya tes ini digunakan untuk menguji struktur dinamis dari sistem
variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi
(innovation variable). Artinya tes ini merupakan tes terhadap variabel inovasi.
Tes ini terdiri dari:
a. The Impulse Responses
Untuk melihat efek gejolak (shock) suatu standar deviasi dari variabel
datang (future values) dari variabel-variabel endogen yang terdapat dalam
model yang diamati.
b. The Cholesky Decomposition
The Cholesky Decomposition atau biasa disebut juga dengan The Variance
Decomposition memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang
relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya tes ini merupakan metode
lain untuk menggambarkan sistem dinamis yang terdapat dalam VAR. Tes
ini digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel,
yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah
shock, baik yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain.
2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Bagian ini akan membahas hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai
integrasi pasar, baik komoditi pangan maupun komoditi lainnya. Pembahasan juga
menyangkut tentang penelitian-penelitian yang menggunakan metode VAR dan
Index of Market Connection (IMC). Sampai saat ini penelitian-penelitian tentang
integrasi pasar telah banyak dilakukan, tetapi yang membahas khusus tentang
komoditi pangan (beras dan gula) di kawasan ASEAN masih terbatas.
Menurut Irawan dan Rosmayanti (2007), salah satu cara untuk memahami
struktur, tingkah laku dan efektivitas pasar adalah dengan memahami kekuatan
relatif suatu pasar serta mekanisme perambatan harga dari satu pasar ke pasar
lainnya melalui kajian integrasi pasar, hal ini akan membantu pemerintah untuk
menentukan kebijakan harga yang tepat. Sejalan dengan hal tersebut, Adiyoga et
48
pusat konsumsi mengemukakan bahwa pengukuran integrasi pasar kentang dapat
memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna
untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga,
melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur
pemasaran kentang.
Menurut Adiyoga et al. (2006), beberapa alternatif pengujian tersedia untuk
mengkaji kointegrasi, namun telah terbukti bahwa pendekatan VAR yang
dikembangkan oleh Johansen (1988) menunjukkan keragaan yang lebih baik
dibandingkan dengan pendekatan persamaan tunggal serta metode multivariat
lainnya. Pendekatan VAR semakin sering digunakan dalam studi deliniasi pasar.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hadi (2003), yang menjelaskan bahwa VAR
merupakan alat analisis atau metode statistik yang bisa digunakan baik untuk
memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu maupun untuk
menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem
variabel tersebut. Selain itu, VAR juga merupakan alat analisis yang sangat
berguna, baik dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship)
antara variabel-variabel ekonomi, maupun di dalam pembentukan model ekonomi
berstruktur.
Selanjutnya Hadi (2003), mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis
VAR bisa dipadankan dengan suatu model persamaan simultan, oleh karena
dalam analisis VAR kita mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara
bersama-sama dalam suatu model. Perbedaannya dengan model persamaan
simultan biasa adalah bahwa dalam analisis VAR masing-masing variabel selain