• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di Dataran Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di Dataran Rendah"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

DI DATARAN

RENDAH

JOHN

BESTARI

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(2)

ii

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Suplementasi

Kromium Pikolinat Murni Dalam Ransum Sapi Perah Dara Yang Dipelihara Di

Dataran Rendah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

John Bestari

(3)

vi JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.

Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah.

Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan

mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral.

Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi

perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan

percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu.

Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan.

(4)

vii JOHN BESTARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI.

The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucose level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area.

The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.

.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area.

(5)

iii

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(6)

iv

DI DATARAN RENDAH

JOHN

BESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

v N a m a : John Bestari

N I M : D051030101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Ketua

Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

vi JOHN BESTARI. Suplementasi Kromium Pikolinat Murni dalam Ransum Sapi Perah Dara yang Dipelihara di Dataran Rendah. Dibimbing oleh TOTO TOHARMAT dan KUSWANDI.

Peran mineral Kromium (Cr) sebagai faktor toleransi glukosa (GTF) telah diketahui khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan nutrisi mineral Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara terhadap fermentasi rumen, kondisi fisiologis (suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan), kadar glukosa darah, hormon triiodotironine (T3), hormon tetraiodotironine (T4) dan tingkat pertumbuhan sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di dataran rendah.

Percobaan dimulai dengan uji kualitas pakan secara in-vitro yang dilakukan

mengunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan suplementasi Cr-pikolinat murni (0; 1,5; 3,0 dan 4,5 ppm) dalam pakan konsentrat, masing-masing 3 ulangan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput gajah dan konsentrat yang dibuat iso-protein (15%) dan iso-TDN (67%). Konsentrat dibuat dari bahan pakan bungkil kelapa, dedak padi, pollard, bungkil kelapa sawit, onggok, garam, kapur dan campuran mineral.

Percobaan kedua adalah uji kualitas ransum secara in-vivo menggunakan 12 ekor sapi

perah (PFH) dara umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg, dengan rancangan acak lengkap 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan sama dengan

percoban in-vitro dan diamati selama 12 minggu.

Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum menghasilkan kecernaan dan fermentabilitas ransum yang lebih baik (P < 0,05), meningkatkan bobot badan dan konsumsi BK pakan secara nyata (P<0,05). Diperoleh penurunan pada kadar glukosa darah pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm dibandingan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada suhu rektal, denyut jantung dan pernafasan terjadi penurunan yang nyata (P<0,05) pada perlakuan suplementasi 3,0 dan 4,5 ppm, sebaliknya terjadi peningkatan pada kandungan hormon T3 dan T4 secara nyata, sehingga suplementasi Cr-pikolinat murni dalam pakan konsentrat sapi PFH yang dipelihara di dataran rendah diperlukan.

(9)

vii JOHN BEST ARI. Supplementation of Pure Chromium Picolinate in Rations of Dairy Heifers Raised in Low Land Area. Supervised by TOTO TOHARMAT and KUSWANDI.

The role of Chromium (Cr) as a glucose tolerance factor (GTF) has well recognised in particular for glucose intake into cells. The purpose of this study is to evaluate the supplementation effect of pure Cr-picolinate in dairy heifers feed in altering ruminal fermentation, physiological condition (rectal temperature, cardiac pulses and respiration), plasma glucos e level, triiodothyronine (T3) hormone, tetraiodothyronine (T4) hormone and growth rate on dairy heifers raised in low land area.

The experiment was initiated with an in-vitro trial applying a completely randomized design with 4 treatments of pure Cr-picolinate supplementation levels (0; 1.5; 3.0; and 4.5 ppm) in concentrate of 3 replications subsequently. Experimental ration consisted of elephant grass (Pennisetum purperium) and concentrate made to isoprotein (15%) and iso TDN (67%). Concentrate was made from cocconut cake, rice bran, pollard, palm kernel cake, cassava by product (onggok), salts, lime and mineral mixed. The second experiment was in-vivo trial using 12 heads of Fresien Hollstein crossbreeds of 12 months old and 208 to 217 kg weight, using a completely randomized design of 4 treatments and 3 replications. The treatment applied was similar to the in-vitro study for 12 weeks observation.

.

Supplementation of pure Cr-picolinate resulted better digestability and fermentability (P<0.05) and increased body weight gain and feed dry matter intake (P<0.05). Plasma glucose level in heifers fed ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm Cr-picolinate decreased significantly compared to that in control group. The study also resulted significant reduction in rectal temperature, cardiac pulses and respiration rate (P<0.05) but increased significantly T3 and T4 hormone in heifers offered ration supplemented with 3.0 and 4.5 ppm. The supplementation of pure Cr-picolinate in ration is therefore required for dairy heifers raised in low land area.

(10)

viii lagi maha penyayang karena berkat limpahan rakhmat dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Tesis ini mengangkat tema teknologi nutrisi mineral kromium pada sapi perah yang dipelihara di daerah dataran rendah lingkungan panas, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Kuswandi, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, motivasi dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian mulai dari pembuatan proposal sampai penulisan tesis, sehinga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam tesisi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyerni, M.S, M.Sc sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan kritikan yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf laboratorium percobaan ternak ruminansia besar Balitnak Ciawi (I. Ketut Pustake dan staf) laboratorium ternak lokasi Cicadas (Bambang Eka dan staf), staf laboratorium Fisiologi Nutrisi Balitnak lokasi Bogor, satf laboratorium Fisologi dan Famakologi FKH IPB yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan hingga selesainya penelitian.

Kepada kedua orang tuaku tercinta, Papa H. Moenaf Ali (Alm) dan Ibunda Hj. Ramilan (Alm) serta istriku tersayang Drg. Gadis Sotyandillah, anakku tercinta Mohammad Fidelio Omar Bestari dan Mohammad Aulia Putra Bestari, disampaikan ucapan terima kasih yang dalam karena berkat do’a, dorongan dan bantuan moril maupun materil, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga. Tesis ini penulis persembahkan sebagai buah pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi penulis, rekan-rekan peneliti di Balitnak, IPB dan bagi yang membutuhkannya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya teknologi nutrisi mineral kromium.

Bogor, Februari 2007

(11)

ix Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 14 Jui 1957 dari Bapak H. Abdoel Moenaf Ali (Alm) dan Ibu Hj. Ramilan (Alm) sebagai anak ke enam dari sembilan

bersaudara. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan di SMA Negeri

Batusangkar Sumatera Barat dan pendidikan Sarjana diselesaikan di Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang dan lulus pada tahun 1985. Pada tahun

2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program Magíster Sains di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1986 penulis diterima bekerja di Proyek Penelitian Swamps II

Badang Litbang Departemen Pertanian di Karang Agung Ulu Sumatera Selatan, dan

tahun 1988 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, Badan Litbang Departemen Pertanian dan ditempatkan di Sub

Balai Penelitian Sungai Putih Sumatera Utara sebagai peneliti. Selanjutnya pada

tahun 1990 penulis kembali ke Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor sebagai peneliti di Program Ruminansia Besar, khususnya meneliti tentang Teknologi Nutrisi dan

Makanan Ternak Sapi Potong dan Sapi Perah sampai sekarang.

Selama bekerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, penulis mendapat kesempatan pendidikan di Oestereigh University di Seibersdorf Vienna-Austria tahun

1995 dalam program Magíster, namun tidak selesai. Kemudian pada tahun 1997,

penulis mendapat desempatan mengikuti Training Course on Improving The Productivity of Ruminant Livestock through on Farm Assessment of Nutrition,

Production and Reproduction Interactios di Belgia selama 4 bulan. Pada tahun 2003 penulis kembali mendapatkan kesempatan mengikuti International Training on

Animal Husbandry Nutrition, Production and Management di Nanhu Wuchang,

Wuhan, Shanghai Province RRC selama 3 bulan.

Selama menjadi peneliti di Balai Penelitian Ternak Badan Litbang Depar-temen Pertanian, penulis telah mengikuti beberapa Seminar Nasional, Symposium

dan Workshop di beberapa daerah di Indonesia seperti Bogor, Jakarta, Jogyakarta,

Semarang, Surabaya, Bali, Makasar, Palembang, Jambi dan Padang Sumatera Barat, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Beberapa makalah

penulis telah diterbitkan antara lain di Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Wartazoa dan di beberapa prossiding di beberapa Universitas dan BPTP.

Penulis menikah dengan Drg. Gadis Sotyandillah pada tahun 1988 dan telah

dikarunia dua orang putra yang bernama Mohammad Fidelio Omar Bestari lahir

(12)

x Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi ... Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan ... Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak ... Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Sapi Perah ………... Daerah Termonetral pada Sapi Perah …………... Glukosa Darah dan Regulasinya …………... Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak …………... Peranan Hormon T3 dan T4 terhadap Suhu Lingkungan Tinggi ………...

4

Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) ..

Pengukuran Kadar VFA Total ...

Analisa Kadar Glukosa Darah ...

Analisa Hormon Triiodotironine (T3) ...

Analisa Hormon Tetraiodotironine (T4) ...

(13)

xi Indikator Fermentasi Rumen ... Bobot Badan, Konsumsi dan Konversi Ransum ... Suhu Tubuh Ternak ... Denyut Jantung Ternak ... Frekuensi Pernafasan Ternak ... Kadar Glukosa darah ... Konsentrasi Hormon Tyroksin ... Respon Ternak Terhadap Kromium Pikolinat Murni ………...

32 33 36 38 39 40 42 46

SIMPULAN DAN SARAN ………... 48

DAFTAR PUSTAKA ………... 49

(14)

xii Halaman

1. Nilai indek suhu kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan ……….. 11

2. Suhu rectal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam

kondisi suhu lingkungan berbeda ……….………... 12

3. Komposisi dan nilai gizi pakan konsentrat dan rumput gajah ……….. 21

4. Rataan suhu lingkungan, kelembaban udara dan indek suhu

kelembaban (ISK) di lokasi penelitian ……….………... 31

5. Rataan nilai kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO),

NH3 dan VFA sapi-sapi perlakuan ……….………... 32

6. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum sapi-sapi perlakuan ... 34

7. Rataan suhu tubuh sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang hari 37

8. Rataan denyut jantung sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan siang

hari ... 38

9. Rataan frekuensi pernafasan sapi-sapi perlakuan pada waktu pagi dan

siang hari ... 39

10. Rataan kandungan glukosa darah sapi-sapi perlakuan sebelum dan

sesudah diber makan ... 41

11. Rataan konsentrasi hormon T3 dan T4 dalam serum darah sapi-sapi

(15)

xiii Halaman

1. Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1972) ………... 6

2. Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a) ………... 13

3. Mekanisme umpan balik sekresi hormon tiroksin akibat perubahan suhu

(16)

xiv 1. Hasil Anova kecernaan bahan kering (KCBK) (%) Ransum Perlakuan ... 58

2. Hasil Anova kecernaan bahan organik (KCBO) (%) Ransum Perlakuan ... 59

3. Hasil Anova N-NH3 (mM) Ransum Perlakuan ... 60

4. Hasil Anova VFA (mM) Ransum Perlakuan ... 61

5. Hasil Anova pertambahan bobot badan (kg/ekor/hr) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ... 62

6. Hasil Anova pertambahan bobot badan harian (g/ekor/hr) sapi perah

PFH yang dipelihara di dataran rendah ... 63

7. Hasil Anova konsumsi ransum bahan kering (g/ekor/hr) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah kecernaan ... 64

8. Hasil Anova konversi ransum BK (gBK ransum/PBBH) sapi perah PFH yang dipelihara di dataran rendah ...

65

9. Hasil Anova suhu tubuh pagi (0C/8menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 66

10. Hasil Anova suhu tubuh siang (0C/8menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 67 11. Hasil Anova denyut jantung pagi (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 68 12. Hasil Anova denyut jantung siang (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 69 13. Hasil Anova pernafasan pagi (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 70 14. Hasil Anova pernafasan siang (kali/menit) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 71 15. Hasil Anova glukosa darah pagi (mg/dl) sapi perah PFH yang dipelihara

di dataran rendah ...

72 16. Hasil Anova glukosa darah siang (mg/dl) sapi perah PFH yang

dipelihara di dataran rendah ... 73 17. Hasil Anova hormon triiodotironine (T3) pagi (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ... 74 18. Hasil Anova hormon triiodotironine (T3) siang (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ... 75 19. Hasil Anova hormon tetraiodotironine (T4) pagi (ng/dl) sapi perah PFH

yang dipelihara di dataran rendah ... 76 20. Hasil Anova hormon tetraiodotironine (T4) siang (ng/dl) sapi perah PFH

(17)

Latar Belakang

Populasi sapi perah dalam negeri masih harus dipacu peningkatannya agar

permintaan konsumen akan susu sapi secara bertahap dapat dipenuhi. Selama

periode tahun 2001 – 2005, kemampuan produksi susu baru mencapai 59.8% per

tahun dari kebutuhan Nasional (Ditjennak 2004). Upaya peningkatan produksi susu

dalam negeri dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi sapi perah. Populasi

sapi perah pada tahun 2005 berjumlah 374000 ekor dengan produksi susu

seba-nyak 596303 ton dan jumlah ini masih jauh di bawah permintaan konsumen susu

yang sudah mencapai 997 850 ton (Ditjennak 2004).

Sapi perah di Indonesia cendrung dipelihara di dalam dua wilayah ekstrim,

yang pertama wilayah dengan ekosistim baik namun kondisi sosial ekonominya

rendah yaitu di daerah pedesaan di lereng pergunungan yang memiliki suhu sejuk

dan yang kedua wilayah dengan keadaan ekosistim buruk namun memiliki sosial

ekonomi yang cukup tinggi yaitu daerah dataran rendah di sekitar kota besar yang

bersuhu lingkungan tinggi (Sutardi 1981). Kondisi lingkungan Indonesia yang

merupakan daerah tropis dimana suhu dan kelembaban udaranya cukup tinggi akan

memberikan pengaruh yang merugikan seperti terjadinya cekaman panas pada

ternak sapi perah.

Peningkatan populasi sapi perah dalam upaya peningkatan produksi susu

tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan

berproduksi sapi perah umumnya. Selain faktor genetik dan gizi makanan (kuantitas

dan kualitas), lingkungan merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam

mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah. Diantara

faktor lingkungan yang mempunyai aspek terhadap kemampuan berproduksi sapi

perah adalah suhu dan kelembaban udara. Hasil penelitian menunjukan bahwa,

sapi yang di datangkan dari daerah suhu udara rendah ke daerah suhu udara tinggi

akan mengalami stress, suhu udara merupakan stressor yang besar sekali

pengaruhnya terhadap kemampuan berproduksi.

Suhu lingkungan dapat secara langsung maupun tidak langsung

mempe-ngaruhi pertumbuhan dan kemampuan berproduksi sapi perah. Pengaruh ataupun

aspek secara tidak langsung adalah melalui kuantitas dan kualitas penyediaan

(18)

gizi pakan terjalin suatu interaksi yang berakibat pada pertumbuhan dan

kemampuan berproduksi sapi perah.

Mineral kromium (Cr) telah lama diketahui perannya dalam metabolisme

karbohidrat, khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui

peningkatan potensi aktivitas insulin (Schwarz & Mertz 1959). Hasil-hasil penelitian

kromium menunjukan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat,

kromium juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein. Defisiensi

kromium dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta

rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam

amino yang dipengaruhi oleh kromium adalah metionin, glisin dan serin (Anderson

1987). Burton (1995) menambahkan bahwa kromium berperan dalam sistem

kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3), yaitu hormon

yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesa protein.

Suplementasi kromium ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila

diberikan dalam bentuk komplek organik. Hal ini karena dalam bentuk an-organik.

Kromium bersifat racun terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+), walaupun

tingkat penyerapannya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+) yang tidak

beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus kromium an-organik yang

dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat

faeses (Offenbacher et al. 1986). Sebaliknya ketersediaan kromium organik cukup

tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997).

Moonsie & Mowat (1993) melaporkan bahwa penambahan kromium ragi

pada anak sapi yang mengalami stress dengan mempergunakan beberapa tingkatan

suplementasi (0.2; 0.5 dan 1 ppm) diperoleh peningkatan berat badan dan konsumsi

pakan masing-masing sebesar 29 dan 15% dibandingkan dengan kontrol selama 30

hari pertama di feedlot.

Hasil penelitian Jayanegara (2003) dalam uji in vitro ransum yang

disuplementasi kromium organik dan an-organik pada level 1; 2; 3 dan 4 ppm dapat

meningkatkan total VFA dan menurunkan konsentrasi NH3. Suplementasi kromium

organik lebih efisien dari pada suplementasi dalam bentuk an-organik. Level terbaik

pada penelitian ini adalah suplementasi dalam bentuk an-organik 4 ppm.

Astuti (2005) pada penelitiannya mendapatkan bahwa fungi yang mempunyai nilai

(19)

Rhizopus orizae dan penggunaannya dalam ransum sebesar 1 dan 3 mg/kg

memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan organik (secara

in-vitro) dan menyarankan bahwa penggunaan kromium organik murni dalam

ransum adalah sebesar 4 ppm. Menindak lanjuti hasil penelitian Jayanegara (2003)

dan Astuti (2005) serta penelitian lain tentang kromium, maka penelitian ini perlu

dilaksanakan pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah untuk

mendapatkan hasil yang berguna bagi perkembangan peternakan sapi perah di

Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi

kromium organik murni (Chromium Pikolinate Pure) terhadap fermentasi rumen,

kondisi fisiologis (suhu rectal, denyut jantung dan pernafaan), kandungan glukosa

darah, hormon triiodotironine (T3) dan hormon tetraiodotironine (T4) serta tingkat

pertumbuhan fase pembesaran sapi perah (PFH) dara yang dipelihara di daerah

dataran rendah.

Hipotesa

1. Suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum dapat memberikan tingkat

fermentasi rumen, kandungan glukosa darah, hormon triiodotironine (T3),

hormon tetraiodotironine (T4) dan pertumbuhan yang lebih baik pada sapi perah

dara yang dipelihara di daerah dataran rendah.

2. Suplementasi Cr-pikolinat murni dapat menekan tingkat stress akibat cekaman

panas pada sapi perah dara yang dipelihara di daerah dataran rendah dengan

suhu lingkungan dan kelembaban tinggi sehingga tidak mengganggu

pertum-buhan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan infomasi tentang pengaruh

suplementasi Cr-pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara khususnya yang

dipelihara di daerah dataran rendah, sehingga memberikan manfaat yang besar bagi

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Mineral Kromium

Kromium merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang

mempunyai bilangan oksidasi 0; 2+; 3+; 4+ dan 6+, namun umumnya bervalensi tiga

merupakan bentuk yang stabil (Stoecker 1990). Kromium bervalensi empat bersifat

toksit, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk

bervalensi tiga (Wenk 1995).

Kromium pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaugel

pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan lead chromate.

Namun kromium diambil dari nama Yunani chroma yang artinya warna, karena

unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda. Komponen ini telah lama

digunakan untuk mewarnai dan menyamak kulit. Pada tahun 1900 kromium

merupakan bahan yang penting sebagai pelindung logam dari korosi dan terus

digunakan hingga kini (Ensminger et al. 1990). Mineral kromium pertama kali

dilaporkan sebagai mineral jarang esensial pada tahun 1959 (Mc Donald at al.

1988).

Menurut Anderson dan Kozlovsky (1988) penyerapan kromium dalam bentuk

organik 5-10 kali lebih baik dibandingkan dengan kromium klorida (hanya 2-3%).

Linder (1992) melaporkan bahwa, kemungkinan sistim pengangkutan kromium

adalah, setelah diserap, kromium diangkut pada protein pengangkut Fe (iron carrier

protein) dari plasma darah, yakni transferin. Tidak diketahui apakah faktor glukosa

yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk

atau juga terikat dengan transferin. Dari usus, hampir semua kromium masuk ke

dalam hati dan akan digabungkan ke dalam faktor toleransi glukosa. Sejumlah

faktor toleransi glukosa tertentu disekresi ke dalam plasma dan akan tersedia untuk

membantu aktivitas insulin. Kalau kadar gula darah meningkat, insulin akan

disekresi dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran faktor toleran glukosa

atau kromium ke dalam plasma. Faktor toleran glukosa akan meningkatkan

pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin.

Akhir-akhir ini muncul produksi kromium pikolinat dan kromium nikotinat.

Asam pikolinat dan asam nikotinat keduanya merupakan isomer yang hanya

berbeda pada posisi penempelan asam karboksilat pada cincin piridin. Pada asam

(21)

posisi dua. Kedua bentuk tersebut sama efektifnya. Pada keadaan alami kromium

berikatan dengan asam nikotinat sehingga kromium yang berasal dari ragi (nikotinat)

lebih disukai karena sifat alaminya.

Menurut Linder (1992) defisiensi kromium dapat menyebabkan hiperkoles

terolemia. Mekanisme interaksi kromium dan metabolisme kolesterol belum jelas,

walaupun suplementasi dengan preparat kromium aktif dapat menurunkan kadar

kolesterol plasma ataupun serum darah. Hal ini mungkin disebabkan oleh

pengaruhnya dalam menghambat reduktase hidroksimetilglutaril coenzim-A dari hati

yang analog dengan aktifitas vanadium. Tetapi pada percobaan in-vitro, pengaruh

kromium dapat meransang atau menghambat, tergantung pada konsentrasinya

(Underwood & Suttle 1977). Menurut Merkel (1990) kromium tersebar diseluruh

jaringan tubuh dengan konsentrasi yang rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa

konsentrasi tertinggi adalah waktu lahir dan menurun sesuai dengan pertambahan

umur.

Berdasarkan hasil penelitian Lindemann (1966) defisiensi kromium pada

tikus akan menunjukan tanda-tanda sebagai berikut : (1) tidak mampu

memetabolisme karbohidrat secara normal, (2) menurunkan sensitifitas jaringan

perifer terhadap insulin, (3) mengganggu metabolisme protein, (4) mengurangi laju

pertumbuhan, (5) umur lebih pendek, (6) meningkatkan kolesterol serum darah,

(7) meningkatkan sumbatan pada aorta, (8) luka pada selapat bening dan (9)

mengurangi jumlah sperma dan fertilitas. Setelah penyuntikan kromium pada tikus,

konsentrasi puncak dalam darah tercapai satu jam kemudian dan kadarnya menurun

secara logaritmis hingga konsentrasi 20% dalam waktu 24 jam. Umumnya kromium

terakumulasi pada limpa, tulang, pangkreas, ginjal dan hati (Stoecker 1990).

Hasil penelitian dari Brasil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium

ragi 0.4 ppm pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging

bagian dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1955). Pangan

et al. (1995) melaporkan bahwa suplementasi kromium pada kuda pacu

berpengaruh positif tehadap respon metabolisme ketika periode latihan berat pada

kecepatan tinggi. Suplementasi kromiun sangat nyata menurunkan kadar glukosa

laktat, kortisol dan meningkatkan trigliserida dalam plasma darah. Selanjutnya hasil

kurva menunjukan bahwa penggunaan energi lebih efisien pada suplementasi

(22)

Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi

Kromium (Cr) dikenal merupakan mineral esensial sejak tahun 1959.

Schwartz dan Mertz (1959) adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast

mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan

meningkatkan potensi aktivitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai

faktor toleransi glukosa (Glucosa Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF tersusun

dari komplek antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang

terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder 1992) seperti

diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur Faktor Toleransi Glucosa (Linder 1992).

Di dalam struktur GTF, kromium adalah komponen aktifnya, sehingga tanpa

adanya kromium pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi

insulin (Burton 1995). Anderson dan Kozlovsky (1988) menyatakan kerja GTF pada

sistim transpor glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin

dengan reseptor spesifiknya pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor

spesifiknya, pengambilan seluler glukosa dan asam amino dipermudah, dalam hal ini

fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin.

COOH

N

Glisin

Glutamat

atau Glisin

Sistein

HOOC

(23)

Saner (1980) berpendapat bahwa fungsi GTF sebenarnya lebih terpusat

pada sel target. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa kerja

GTF dalam transport gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin.

Pada sel kelenjer ambing hewan ruminansia pengambilan glukosa ditentukan oleh

insulin (Collier 1985; Mc Guire et al. 1995; Manalu 1999), namun insulin sangat

dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin,

isoleusin, leusin dan tirosin (Laarveld et al. 1981). Hasil penelitian Fleet dan

Mepham (1985) mendapatkan bahwa selain asam amino diatas, asam amino lain

yang mengambil selulernya ke dalam sel kelenjer ambing meningkat oleh perlakuan

infusi insulin adalah metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin.

Yang et al. (1996) menyatakan bahwa suplementasi kromium dapat

meningkatkan pengambilan glukosa pada sel kelenjer ambing dengan cara

mengurangi jumlah reseptor pada sel hati dan jaringan perifer sehingga

sensitifitasnya terhadap insulin menurun. Pendapat ini didukung hasil penelitian

Subiyatno et al. (1996) bahwa suplementasi kromium meningkatkan ratio insulin

atau glukosa, sementara konsentrasi IGF-I (Insulin Like Growth Factor I) meningkat.

Manalu (1994) menghimpun beberapa hasil penelitian tentang pengaruh IGF-I pada

produksi susu mendapatkan bahwa hormon tersebut berpengaruh pada

pertumbuhan sel kelenjer ambing dan perkembangan sistim transport glukosa pada

sel tersebut. Ditambahkan IGF-I bekerja secara langsung pada epithelium sel

kelenjer susu untuk meningkatkan sintesa susu. Mc Carty (1993) menduga bahwa

kromium dapat meningkatkan aktivitas reseptor IGF-I yang fungsi dan strukturnya

sama dengan reseptor hormon insulin.

Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang peranan

kromium dalam sistim kekebalan menyimpulkan bahwa kromium berpengaruh baik

pada pembentukan sistim kekebalan hormonal (HI) maupun kekebalan yang

diperantarai oleh sel (CMI). Dalam kekebalan hormonal suplementasi kromium

meningkatkan produksi antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI

suplementasi kromium menyebabkan peningkatan respon blastogenik (lymphocit

blastogenesis) terhadap imunostimulan. Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa

peningkatan produktifitas antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi

kortisol dan kekurangan energi dari pakan. Hormon ini bekerja meningkatan

glukogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres. Proses glukogenesis akan

(24)

Dengan kata lain hormon kortisol bekerja berlawanan dengan terbantuknya sistim

kekebalan dalam tubuh ternak.

Myers et al. (1997) menyatakan bahwa kromuim dapat memodulasi produksi

sitokin (cytokine). Menurut Ganong (1995) salah satu sitokin penting yang

dihasilkan limfosit T4 adalah interleukin (IL), yaitu IL-2 yang mempengaruhi

proliferasi sel T8 dan IL-4 yang bekerja mempengaruhi proliferasi dan deferensiasi

limfosit B. Pada pemeriksaan sel darah limfosit T dan B akan terukur sebagai

leukosit total, sehingga pada kondisi terinfeksi konsentrasi leukosit total akan

mengikat.

Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan

Kebutuhan kromium pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi

stres kebutuhan kromium akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi

cadangan kromium dalam tubuh akibat peningkatan mobilitas cadangan glukosa

jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya

sebagian kromium itu akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan

dan laktasi kebutuhan kromium juga meningkat, hal ini karena pada saat tersebut

mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al. 1996).

Meskipun konsentrasi kromium dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam

pakan cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm dalam

bentuk CrCl3 (NRC 1988). Efectivitas suplementasi kromium selain tergantung pada

jenis ternak juga tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk kromium yang

digunakan.

Komplek organik kromium terdapat dalam bentuk kromium chelate, kromium

proteinat ragi (high Cr yeast) dan kromium pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk

dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit

sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin

atau asam nikotinat (West & Todd 1961; Combs 1992; Groff & Gropper 2000).

Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak

Page et al. (1993) yang meneliti tentang suplementasi kromium pada babi

sedang tumbuh mendapatkan bahwa kromium pikolinat sebanyak 0.2 ppm

meningkatkan pertambahan bobot badan (0.87 kg/hr) lebih tinggi dibandingkan

(25)

kromium pikolinat 0.05% BK ransum pada babi lepas sapih, menghasilkan retensi N

dan pertambahan bobot badan (74.88% dan 294.4 g/hari) lebih tinggi dibanding

kontrol (67.12% dan 281.6 g/hari).

Pertambahan bobot badan yang tinggi pada penelitian tersebut diatas

menggambarkan terjadinya peningkatan síntesis protein dan lemak pada jaringan

perifer akibat meningkatnya pengambilan asam amino dan glukosa oleh efektivitas

kerja insulin akibat adanya kromium. Namun demikian suplementasi kromium pada

kondisi laktasi berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin

sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjer ambing untuk

produksi susu.

Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada

sapi perah laktasi bahwa suplementasi kromium chelate sebesar 5 mg kromium per

hari menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.2% (27.5 vs 24.3 kg/hari).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi kromium juga meningkatkan konsumsi

bahan kering sebesar 15% (13.76 vs 11.93 kg/hari), mengubah resistensi insulin

pada sel kelenjer ambing, menurunkan kejadian milk fever dan heat edema.

Penelitian senada yang dilakukan oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil

bahwa, suplementasi kromium pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu

meningkatkan produksi susu sebesar 24% (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu pertama

laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-I (39.05 vs 49.42

ng/ml) dan ratio insulin atau glukosa (7.27 vs 5.76 µ/mol).

Tang et al. (2000) melihat pengaruh kromium terhadap pembentukan

antibodi dengan memberikan suplementasi kromium-yeast sebanyak 0.2 ppm

ransum pada babi yang disuntik antigen virus demam. Empat belas hari setelah

penyuntikan diperoleh hasil bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang

diberi kromium-yeast dibanding kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 µ. Hasil senada diperoleh

Burton et al. (1993, 1994) bahwa, suplementasi kromium meningkatkan titer antibodi

sapi yang disuntik dengan antigen sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus

rhinotracheitis.

Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Sapi Perah

Iklim sangat penting dalam sistim produksi ternak, karena dapat

mempengaruhi ternak secara langsung yang berpengaruh terhadap jumlah

(26)

lingkungan disekitar ternak merupakan total keseluruhan kondisi eksternal yang

mempengaruhi perkembangan, respon dan pertumbuhan.

Secara langsung komponen iklim berupa suhu udara dapat mempengaruhi

kemampuan sapi-sapi perah dalam berproduktivitas. Kenaikan suhu udara akan

mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut nadi dan pernafasan setiap menitnya.

Meningkatnya frekuensi pernafasan adalah reaksi tubuh sapi perah itu sendiri untuk

mengatasi kenaikan suhu tubuhnya. Meningkatnya frekuensi denyut nadi adalah

untuk mempercepat penyaluran darah sebagai transportasi O2 dan panas.

Menurut Yousef (1985) batas suhu kritis minimum sapi FH adalah – 27OC

sampai 9OC dan batas suhu kritis maksimum 25OC sampai 26OC. Suhu udara yang

tinggi akan menyebabkan turunnya produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu

antara lain sebagai akibat dari turunnya nafsu makan dan turunnya efisiensi

penggunaan energi untuk produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu. Suhu udara

yang tinggi sebenarnya bukan saja berakibat pada turunnya konsumsi pakan,

sehingga konsumsi energi menjadi kurang, tetapi juga mengakibatkan tidak

efisiennya lagi penggunaan energi.

Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat

dinyatakan sebagai kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak adalah perbandingan

tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban lingkungan udara memberikan pengaruh

yang nyata terhadap kecepatan pelepasan panas ternak, terutama pada suhu udara

yang tinggi. Atmadilaga (1959) menyatakan bahwa, toleransi kelembaban untuk sapi

perah agar berproduksi tinggi dengan RH maksimum 55%.

Indek suhu kelembaban merupakan tetapan untuk mengetahui adanya

cekaman panas karena lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). Nilai ISK ini

merupakan indeks imbangan antara suhu udara dan kelembaban. Hahn (1985)

menentukan bahwa perhitungan ISK untuk sapi FH menggunakan persamaan :

ISK = DBT + 0.36 W B2 T + 41.2

dimana DBT (Dry bulb temperature = suhu udara bola kering, 0C) dan WBT (Wet

bulb temperature = suhu udara bola basah, 0C). Pembagian selang ISK untuk

mengetahui tingkat kenyamanan lingkungan hidup sapi perah terlihat pada Tabel 1

(27)

Tabel 1 Nilai Indek Suhu Kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan.

No. Indek Suhu Kelembaban (ISK) Keterangan

1. < 70 Normal

2. 71 – 78 Waspada

3. 79 – 83 Bahaya

4. > 83 Kritis

Sumber : Yousef (1985).

Produkstifitas sapi perah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, karena faktor

tersebut dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas, keseimbangan

energi, keseimbangan air dan tingkah laku. Proses keseimbangan tersebut

melibatkan sistim syaraf dan hormonal di dalam tubuh (McDowell 1972).

Unsur lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak adalah suhu

lingkungan, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi (Armstrong 1977;

Etgen et al. 1987; Payne 1990). Antara suhu lingkungan dan suhu tubuh terdapat

suatu keseimbangan yang memungkinkan setiap proses biokimiawi dan faali dapat

berlangsung dengan semestinya, bila terjadi ketidakseimbangan akan menyebabkan

ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh (McDowell 1972; Mount 1979; Esmay

1978).

Daerah beriklim tropis basah seperti Indonesia, lama dan intensitas

penyinaran matahari menyebabkan peningkatan suhu udara (Payne 1990).

Akibatnya, ternak yang dipelihara akan menerima panas yang semakin besar.

Di samping itu, tingkat kandungan air yang tinggi di udara akan meningkatkan

kelembaban, sehingga akan menghambat proses penguapan dari permukaan tubuh

ternak. Kedua faktor iklim tesebut secara sendiri-sendiri maupun bersama menekan

produktifitas ternak (Esmay 1978). Interaksi suhu dan kelembaban tersebut

digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui ketidaknyamanan suatu lokasi

terhadap penampilan produktifitas ternak, sehingga (Armstrong 1977; Esmay 1978;

Hahn 1985) menyarankan penggunaan indeks suhu dan kelembaban (Temperature

Humidity Index = THI) untuk mengetahui adanya cekaman panas karena

keadan lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). Sapi mulai tidak nyaman

apabila THI sudah melebihi 72 (Armstrong 1977) sedangkan menurut Ryan et al.

(28)

Untuk mengetahui status cekaman panas pada ternak dapat dilakukan

dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasi dari hasil pengukuran suhu rektal

dan suhu kulit, sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan panas tubuh

(heat loss) dapat dilakukan dengan menetahui suhu kulit, frekuensi pernafasan dan

denyut jantung (Purwanto 1993a).

Pengaruh yang timbul akibat peningkatan suhu tubuh pada keadaan

cekaman panas antara lain : (1) penurunan nafsu makan, (2) peningkatan konsumsi

minum, (3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, (4) peningkatan

pelepasan panas melalui penguapan, (5) peningkatan respirasi, (6) penurunan

konsentrasi hormon dalam darah, (7) peningkatan temperatur tubuh, (8) peningkatan

denyut jantung (McDowell 1972; Amstrong 1977) dan (9) perubahan tingkah laku

(Ingram & Dauncey, 1985).

Perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh sapi Fries Holstein (FH) yang

menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 2. Pengaruh cekaman panas atau

suhu lingkungan yang tinggi terhadap respons fisiologis sapi sangat jelas pada

peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung.

Tabel 2 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam

2) Purwanto (1993a). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu rektal 15.00C dan suhu cekaman 30.00C.

Daerah Termonetral pada Sapi Perah

Daerah termonetral (confort zone ) bagi hewan ternak merupakan kisaran

suhu udara yang paling sesuai untuk kehidupannya, di mana terjadi metabolisme

basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan

(29)

menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (McDowell 1972; Yoesef

1985a). Terjadinya metabolisme basal pada kisaran suhu termonetral tesebut berarti

pula produksi panas tubuh sangat rendah. Apabila terjadi peningkatan atau

penurunan suhu lingkungan (di atas atau di bawah suhu nyaman), mengakibatkan

pula peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau

mempertahankan panas tubuh (Yoesef 1985a). Kisaran suhu nyaman dan pola

perubahan produksi panas di dalam tubuh ternak akibat perubahan suhu lingkungan

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a).

Daerah termonetral terdiri atas 3 sub daerah, yaitu daerah optimum (BC),

daerah dingin (AB) dan daerah hangat (CD). Daerah BC merupakan daerah yang

paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak (sapi perah berkisar antara

0 dan 160C). Daerah AB merupakan daerah dengan produksi panas tetap normal,

namun ternak melakukan penyesuaian dengan tingkah laku atau mekanisme

otomatik untuk menghasilkan panas tubuh dalam rangka mengimbangkan dengan

keadaan yang mulai dingin bagi ternak. Daera CD merupakan daerah dengan

produksi panas minimal, namun mekanisme termoregulasi telah mulai bekerja

dengan cara meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan evaporasi untuk

membuang panas. Apabila suhu udara dibawah suhu kritis (low critical temperature

(30)

tidak kedinginan dan ternak akan mati bila beban dingin terus meningkat.

Demikian juga bila suhu udara diatas suhu kritis (upper critical temperature = UCT),

terjadi peningkatan produksi panas sebagai akibat dari usaha membuang tambahan

beban panas dari luar tubuh. Keadaan ini selanjutnya akan meningkatkan suhu

tubuh.

Sapi FH mempunyai kisaran suhu termonetral yang rendah, sehingga lebih

toleran terhadap perubahan suhu rendah dibandingkan dengan perubahan suhu

tinggi (Payne 1990). Penampilan produktivitas sapi FH akan optimal apabila

dipelihara di lokasi dengan suhu yang nyaman. Suhu nyaman sapi perah berkisar

antara 4,4-21,10C (Schmidt 1971); antara 13-180C (McDowell 1972); antara 4-250C

(Yousef 1985a). Suhu kritis sapi FH adalah 270C (Kibler 1962; McDowell 1972),

sedangkan menurut Yousef (1985a) adalah 250C. Apabila suhu udara meningkat di

atas suhu kritis, sapi akan mulai menderita cekaman panas, sehingga mekanisme

termoreguilasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan,

denyut jantung dan penguapan air melalui kulit (Hafez 1968; Armstrong 1977; Linvill

& Pardue 1992).

Sapi-sapi FH yang dipelihara di daerah tropis, bobot badan sapi dewasa

lebih kecil 18 sampai 30 persen dibandingkan bila dipelihara di daerah beriklim

sedang, karena adanya tropical degeneration (McDowell 1972).

Glukosa Darah dan Regulasinya

Sumber energi utama dalam tubuh ternak adalah karbohidrat. Sumber energi

ini berasal dari pangan yang dikonsumsi setiap hari. Energi yang terbentuk melalui

metabolisme, disimpan dalam bentuk apa yang disebut “ikatan energi tinggi” yang

menghubungkan fosfor dengan atom oksigen di dalam ATP (adenosin tri

phosphate). Dengan adanya enzim yang cocok (ATPase), sebuah gugus fosfor

terlepas dalam suatu transforilasi dengan membebaskan energi yang siap pakai.

Senyawa yang dihasilkan adalah ADP (adenosin di phosphate) yang siap

dikonversikan menjadi ATP dengan penambahan fosfat dan energi (Frandson,

1993).

Metabolisme karbohidrat menyangkut semua reaksi yang terjadi dalam tubuh

baik berasal dari pakan maupun terbentuk dalam tubuh, bukan berasal dari

karbohidrat. Produk metabolisme karbohidrat salah satunya adalah glukosa. Sekitar

(31)

dan komponen-komponen seluler yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel

darah putih) dan trombosit. Fungsi primernya adalah untuk mengangkut oksigen

dan metabolit ke sel serta mengangkut karbondioksida dan hasil limbah

metabolisme ke luar. Darah merupakan campuran kompleks dari banyak zat,

termasuk gukosa (sekitar 65 sampai 90 mg/100 ml, secara normal). Sel darah merah

tidak mempunyai mitokondria, oleh karena itu hanya dapat menggunakan glukosa

sebagai bahan bakar (Colby 1989).

Glukosa darah melalui peredaran darah dihantar dari suatu organ ke organ

lain. Organ seperti usus dan hati akan memberikan masukan glukosa ke dalam

darah, sehingga dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Alat tubuh lain

seperti otak, oto (dalam keadaan aktif) akan menggunakan glukosa dalam darah

untuk kebutuhan fisiologisnya yang berakibat turunnya kadar glukosa dalam darah

(Djojosoebagio 1990). Dalam keadaan normal, otak secara keseluruhan juga

tergantung pada suplai glukosa yang kontiniu karena otak tidak dapat mengambil

asam lemak dan hanya dapat mengabsorbsi benda keton setelah beberapa hari

puasa, bila konsentrasinya tinggi di dalam darah. Untuk memenuhi kebutuhan

bahan bakar jaringan yang tergantung pada glukosa darah dipertahankan dalam

batas 3.7 mmol/liter. Ini jelas berbeda dengan konsentrasi asam lemak (10 kali) dan

benda keton (100 kali).

Terdapat beberapa alasan penting mengapa konsentrasi glukosa darah

diatur dengan batas-batas yang sempit. Bila konsentrasi glukosa darah turun di

bawah 1.5 mmol/liter, otak tidak cukup disuplai bahan bakar, kadar ATP otak

menurun dan fungsi otak terganggu, selanjutnya dapat timbul koma dan kematian

(Colby 1989). Menurut Djojosoebagio (1990), meskipun kadar glukosa dalam darah

dipengaruhi oleh beberapa faktor, keseimbangannnya diatur oleh dinamika yang

unik dan dalam keadaan fisiologis normal selalu relatif konstan. Keadaan ini dapat

dipertahankan sebagai hasil kerja alat-alat tubuh yang terkoordinasi dengan rapi.

Bila salah alat tubuh melepaskan glukosa ke dalam darah, maka dengan segera

glukosa tersebut diserap oleh alat tubuh lainnya. Berbagai faktor mempengaruhi

dan mengontrol metabolisme glukosa sejak dikonsumsi sampai diserap oleh usus

kemudian tiba di dalam sel-sel yang membutuhkannya. Diantara berbagai faktor

tersebut adalah pengaruh hormonal yang salah satunya adalah insulin. Tanpa

insulin, sangat menurunlah kemampuan untuk memetabolisasi glukosa menjadi

energi atau mensintesis lemak dari glukosa. Insulin memiliki pengaruh utama agar

(32)

dimetabolisasikan (Frandson 1993). Selama pencernaan makanan, kadar glukosa

darah meningkat. Peningkatan kadar insulin dalam situasi yang menyertainya

mengakibatkan pengeluaran glukosa dari sirkulasi dengan meningkatkan kecepatan

transpor glukosa ke dalam sel dan dengan meningkatkan aktifitas lintasan yang

menggunakan glukosa (Colby 1989).

Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak

Peran kromium sebagai suatu trace elemen esensial untuk pertumbuhan dan

perkembangan normal mamalia serta unggas telah didokumentasikan dengan baik

(NRC 1997). Pengaruh kromium terhadap kadar glukosa darah mungkin dapat

melalui peningkatan efetivitas insulin secara endogen (disekresi, sebagai respon

terhadap konsumsi glukosa) atau dalam pengobatan dimana insulin akan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh urat daging serta jaringan lemak dan

meningkatkan sintesis glikogen dalam urat daging dan hati (Linder 1992). Kromium

mempunyai potensi penting dalam metabolisme karbohidrat, lipid, protein dan asam

nukleat karena itu kromium diduga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan

karbohidrat dan lipid sebagai sumber energi serta protein untuk pertumbuhan

sehingga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan. Kromium merupakan

bagian dari suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan

memperbaiki efisiensi penggunaan insulin dimana substansi ini diketahui sebagai

GTF. Komplek GTF juga mengandung asam nikotinat, glysine, asam glutamat dan

sistein (Linder 1992).

GTF meningkatkan kesanggupan suatu jaringan yang sensitf terhadap

insulin. Semakin cepat transport glukosa kedalam sel maka semakin cepat

pemenuhan kebutuhan energi sel oleh glukosa dan dengan cara demikian semakin

banyak glukosa (dan tentunya karbohidrat) yang digunakan sebagai sumber energi.

Kromium trivalen dalam bentuk komplek organik berperan aktif dalam metabolisme

karbohidrat melalui GTF (Mertz 1993). Peningkatan kecepatan transport glukosa

oleh insulin dikarenakan pengaruh GTF berarti bahwa level glukosa dalam sel-sel

tersebut cendrung turun dengan lebih cepat dibawah level homeostasi. Kondisi ini

merangsang se-sel tersebut untuk menyerap glukosa dengan segera.

Pengaruh kromium terhadap metabolisme lipid terlihat tidak bergantung dari

pengaruh-pengaruh terhadap metabolisme glukosa. Beberapa penelitian

(33)

Kromium pikolinat diduga menurunkan retensi lemak melalui penghambatan

lipogenesis, yang mana inkonsisten dengan hasil Cho et al. (2000). Kromium diduga

berinteraksi dengan biosintesis protein dikarenakan adanya peran insulin dalam

meregulasi pengambilan asam amino oleh jaringan hewan. Dengan adanya kromium

pikolinat terhadap tingginya sensivitas insulin menyebabkan peningkatan dalam

pengambilan glukosa dan asam amino oleh sel-sel otot untuk protein (Yi et al. 1996).

Peranan Hormon Tiroksin (T3 dan T4) Terhadap Suhu Lingkungan Tinggi

Hormon-hormon tiroksin merupakan hormon utama dalam mekanisme panas

oleh karena perannya dalam merangsang metabolisme tingkat sel di seluruh tubuh

(Ganong 1983; Djojosoebagio 1990). Peningkatan konsentrasi hormon T3 dan T4

dalam darah akan meningkatkan pula metabolisme didalam sel-sel tubuh (Capen &

Martin 1989). Dijelaskan lebih lanjut bahwa hormon-hormon tiroksin merangsang

penggunaan oksigen dan meningkatkan produksi panas (heat production) oleh

sel-sel tubuh. Hal itu disebabkan karena peningkatan penggunaan karbohidrat,

peningkatan katabolisme protein yang ditandai dengan ekskresi nitrogen dan

peningkatan oksidasi ternak yang ditandai dengan kehilangan bobot badan.

Apabila ternak ada di dalam lingkungan bersuhu tinggi, maka ternak terkena

cekaman panas karena mendapatkan tambahan panas dari luar dan merasa tidak

nyaman. Sedangkan bila suhu lingkungan dingin terjadi sebaliknya (Capen & Martin

1989; Djojosoebagio 1990). Selanjutnya diuraikan bahwa cekaman panas

menyebabkan penghambatan keluarnya tiroksin releasing hormon (TRH) dari

hipotalamus, sehingga terhambat pula keluarnya tiroksin stimulating hormone (TSH)

dari anterior pituitary dan menyebabkan sekresi T3 dan T4, sehingga proses

metabolisme berjalan dalam taraf yang mencukupi. Mekanisme umpan balik

pengaruh suhu lingkungan panas dan linkungan dingin terhadap sekresi hormon

tiroksin disajikan pada Gambar 3.

Dalam keadaan cekaman seperti perubahan suhu lingkungan yang drastis,

terjadi perubahan secara cepat pada sistim hormonal. Keadaan ini ditandai dengan

peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan frekuensi pernafasan dan

peningkatan kandungan glukosa darah. Hormon yang menaikan peranan pada

keadaan ini adalah adrenalin atau epinefrin yang dihasilkan oleh medula adrenal dan

norepinefrine yang dihasilkan pada ujung saraf (Ganong 1983). Lebih lanjut

(34)

hormon yang berasal dari gertakan hipotalamus. Hipotalamus mensekresikan

corticotropin releasing factor (CRF) ke hipofise anterior dan selanjutnya hipofise

anterior akan mengeluarkan adrenocorticotropin (ACTH) yang disekresikan ke

suluruh tubuh. Kemudian jaringan kortek adrenal akan memberikan tanggapan

terhadap ACTH dengan meningkatkan sintesa dan pelepasan hormon steroid,

keadaan ini ditandai dengan peningkatan hormon kortisol dalam darah.

Keterangan : = alur sekresi. = alur penghambat.

Gambar 3 Mekanisme umpan balik sekresi hormon tiroksin akibat perubahan suhu lingkungan (Ganong 1983).

Suhu lingkungan dingin akan merangsang produksi tiroksin, akibatnya proses

metabolisme sel ditingkatkan dalam taraf yang mencukupi sehingga proses

metabolisme pada umumnya dapat terkendali lebih baik (Schmidt 1971). McDowell

(1972) mengemukakan bahwa sapi Fries Holstein pada suhu lingkungan 18 dan

300C mempunyai kadar tiroksin secara berturut-turut 0.06 dan 0.04 ug/ml yang

berarti terjadi penurunan kandungan tiroksin sebesar 33%. Purwanto et al. (1991)

melaporkan bahwa kandungan tiroksin (T3) menurun dari 2.51 menjadi 1.79 ng/ml Rangsang

Suhu Panas

Rangsang Suhu Dingin

Reseptor Panas

Reseptor Dingin

Hypothalamus

Tiroksin Releasing Hormon (TRH)

Anterior Pituitary

Tiroksin Stimulating Hormon (TSH)

Kelenjer Tiroid T3 dan

(35)

pada saat suhu lingkungan meningkat dari 10 menjadi 300C. Selain itu dijelaskan

bahwa suhu lingkungan dan konsumsi ransum sangat berpengaruh terhadap

fisiologis kelenjer gondok.

Gambaran suhu lingkungan terhadap konsentrasi hormon T3 dan T4

dilaporkan juga oleh Magdub et al. (1982) dan Nixon et al. (1988) bahwa suhu

lingkungan yang tinggi akan menurunkan sintesis hormon-hormon tiroksin. Hal ini

berhubungan dengan penghambatan sekresi tiroksin releasing hormon (TRH) dari

hipotalamus dan akhirnya keluarnya tiroksin stimulating hormon (TCH) karena ada

(36)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yaitu dari 8 Februari sampai 21 Juni

2006 meliputi dua kegiatan. Percobaan I secara In-Vitro dilakukan di Laboratorium Fisiologi Nutrisi Balai Penelitian Ternak, Bogor. Percobaan II secara In-Vivo

dilakukan di kandang percobaan Ruminansia Besar Balai Penelitian Ternak Ciawi

dengan Lokasi Cicadas, Kecamatan Gunung Putri Bogor. Analisis proksimat pakan

konsentrat dan rumput gajah dilakukan di Laboratorium Kimia Pakan Balai Penelitian

Ternak Ciawi - Bogor, sedangkan analisis glukosa darah dan hormon triiodotironine

(T3) serta tetraiodotironine (T4) dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam percobaan I (in-vitro) adalah pakan konsentrat

yang terdiri atas bungkil kelapa, dedak padi, polard, bungkil kelapa sawit, onggok,

garam, kapur, campuran mineral, kromium pikolinat murni dan rumput gajah

(Tabel 1). Untuk mengetahui tingkat fermentabilitas ransum yang disuplementasi

mineral kromium pikolinat murni digunakan cairan rumen sapi perah. Ternak yang

digunakan untuk percobaan II (in-vivo) adalah 12 ekor sapi dara peranakan Fries

Holstein (PFH) umur 12 bulan dengan bobot badan 208 – 217 kg (rataan 213 +

3.05 kg).

Peralatan yang digunakan untuk menguji kualitas pakan, kecernaan bahan

kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCB0) dan fermentabilitas ransum (VFA

dan NH3) dalam rumen (percobaan I / in-vitro) adalah timbangan elektrik, oven

pengering, waterbath, botol gelas, isolatif, biuret, cawan petri dan pipet tetes.

Alat yang digunakan pada percobaan II (in-vivo) meliputi kandang individu berukuran

250 x 175 cm, tempat pakan dan air minum individu berukuran 40 x 60 x 40 cm

terbuat dari semen, timbangan sapi elektronik merk Allflex FX 1 dengan kapasitas

2000 kg dan kepekaan 1 kg, timbangan konsentrat (Yamato, Shanghai) dengan

kapasitas 5 kg, timbangan rumput gajah kapasitas 50 kg, thermometer tubuh

(Safety Vivid Yellow Line Clinical Thermometer) untuk mengukur suhu rektal dan

hygrometer / thermometer bola basah dan bola kering (Dray-Wet, Shanghai) untuk

mengukur kelembaban (%RH) lokasi penelitian, pengukur waktu / Stop Watch

(37)

jantung, alat pengambil dan penampung darah serta kit T3 dan T4 berlebel 125 I

(Diagnostic Products Corporation, Los Angeles, CA).

Metode

Percobaan I : In - Vitro

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat fermentabilitas ransum

yang disuplementasi kromium pikolinat murni dalam rumen. Percobaan in-vitro

dilakukan dengan metode Tilley and Terry (1963) menggunakan rumen sapi perah.

Ransum basal terdiri atas rumput gajah dan konsentrat dengan kandungan

protein 15% dan TDN 67%. Komponen dan nilai nutrisi ransum perlakuan yang diuji

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi dan Nilai Gizi Pakan Konsentrat dan Rumput Gajah.

Komposisi

Sumber : Hasil analisa Laboratorium Kimia Pakan Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

(38)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

dengan 4 perlakuan pakan dan 3 ulangan (Steel & Torrie 1993). Empat macam

ransum perlakuan yang diuji adalah :

Cr-Pic 0 = Ransum Basal Balitnak Ciawi (Kontrol).

Cr-Pic 1.5 = Ransum Cr-Pic 0 + 1.5 ppm Cr-pikolinat murni.

Cr-Pic 3.0 = Ransum Cr-Pic 0 + 3.0 ppm Cr-pikolinat murni.

Cr-Pic 4.5 = Ransum Cr-Pic 0 + 4.5 ppm Cr-pikolinat murni.

Parameter yang diukur meliputi kecernaan bahan kering (KCBA) dan

kecernaan bahan organik (KCBO) dengan metoda Tilley and Terry 1963, VFA

total dengan metoda Kromatografi gas (AOAC 1980), dan NH3 dengan metoda

Mikrodifusi Conway (General Laboratory 1966).

Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)

Pengukuran kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO)

dilakukan dengan metode Tilley and Terry (1963). Tahap pertama yaitu kecernaan

yang dilakukan oleh mikroba rumen dengan menggunakan saliva buatan Mac

Dougall yang dicampur dengan cairan rumen sapi perah. Kecernaan microba

berjalan selama 48 jam dalam waterbath pada suhu 390C. Setelah periode

fermentasi larutan pH 6-8 dilanjutkan dengan kecernaan enzimatik. Uji kecernaan

menggunakan sampel bahan pakan (konsentrat dan rumput gajah) dimasukan ke

dalam tabung fermentor, lalu ditambah dengan larutan saliva Mac Dougall sebanyak

12 ml pada suhu 390C dan pH 6.5-6.9 dan cairan rumen 8 ml, kemudian diinkubasi

secara an-aerob selam 24 jam dalam waterbath. Setelah 24 jam tabung penutup

fermentor dibuka dan ditambahkan HgCl2 jenuh sebanyak 0.2 ml untuk mematikan

mikroba. Selanjutnya tabung disentrifius dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10

menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambah 20 ml larutan pepsin 0.2 %

dalam suasana asam. Inkubasi dalam suasana an-aerob selama 24 jam. Endapan

disaring dengan kertas saring Nomor 41, kemudian dianalisis kadar bahan kering

dan organiknya dengan analisis proksimat (AOAC 1980). Sabagai blanko digunakan

cairan rumen tanpa perlakuan. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik

(39)

BK Awal - (BK residu - BK blanko)

KCBK = X 100%. BK Awal

BK Awal - (BO residu - BO blanko)

KCBO = X 100%. BO Awal

dimana : KCBK = kecernaan bahan kering

KCBO = kecernaan bahan organik

B K = bahan kering

B O = bahan organik

Pengukuran Kadar VFA Total

Analisis VFA total dilakukan dengan teknik destilasi uap (Sutardi 1994).

Sebanyak 5 ml supernatan dimasukan ke dalam tabung destilasi Markham lalu

ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup. Proses desitilasi

dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air

mendidih. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N

sampai volumenya mencapai 300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator sebanyak

2-3 tetes dan kemudian dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna berubah dari

merah jambu menjadi bening. Produksi VFA total (mM) dihitung dengan rumus :

VFA Total (mM) = (ml titran blanko – ml titran sampel) X N-HCl X 1000/5 mM.

Pengukuran Kadar N - NH3

.

Digunakan teknik mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966).

Termos berisi air panas (suhu 400C) sebanyak 250 ml, lalu cairan rumen sapi perah

sebanyak 75 ml dengan menggunakan stomach tube yang ditampung dalam termos

yang air panasnya telah dibuang. Satu gram sample yang akan diperiksa

dimasukan ke dalam tabung fermentasi (dibuat duplo), kemudian ditambahkan

larutan Mac Dougall sebanyak 12 ml (suhu 390C dan pH 6.6–6.8), selanjutnya

ditambahkan cairan rumen sebanyak 8 ml (suhu 390C), lalu dialirkan gas CO 2

selama 30 detik dan ditutup dengan prop karet yang berventilasi. Selanjutnya

tabung fermentasi tadi dimasukan ke dalam waterbath yang bersuhu 39-400C dan

(40)

kemudian disentrifius berpendingin (–40C) pada 10.000 rpm. Supernatan yang

diperoleh ditampung untuk dianalisa terhadap kandungan N-NH3.

Cawan Conway yang diolesi vaselin pada bibirnya dan supernatan Conway

dimasukan 1 ml Na2CO3 jenuh pada alur cawan Conway yang bersebelahan

dengan supernatan, ke dua bahan tersebut tidak boleh bercampur. Kemudian

diletakkan 1 ml larutan asam borat (HBO3) berindikator dalam cawan kecil yang

terletak di tengah cawan Conway, kemudian ditutup rapat dengan isolasi.

Selanjutnya cawan Conway digoyang-goyang dan dimiringkan agar Na2CO3

dan supernatan tercampur merata, lalu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar.

Selanjutnya tutup dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan HCl 0.005 N

sampai warna berubah menjadi kemerahan. Prosedur ini juga dilakukan pada contoh

fermentasi blanko (cairan rumen ditambah 12 ml larutan Mac Dougall, tanpa contoh

pakan). Kadar N-NH3 dapat dihitung dengan rumus :

N-NH3 (mM) = ( Va – Vo) X N HCl X 1000.

dimana Va = volume titrasi sampel.

Vo = volema titrasi sampel cairan rumen tanpa sampel (blanko).

Analisis Data

Keragaman semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan

model matematika dari Rancanagn Acak Lengkap (RAL) menurut Steel and Torrie

(1993) adalah :

Y ij = µ +

τ

i + S ij.

dimana : Yij

µ

τ

i S ij

i

j

= Nilai pengamatan ke i, j.

= Nilai tengah umum.

= Pengaruh faktor ransum percobaan pada taraf ke i.

= Pengaruh sisa pada satuan percobaan yang mendapat

perlakuan taraf ke i.

= Cr-Pic 0; Cr-Pic 1.5; Cr-Pic 3.0 dan 4.5 Cr-Pic.

Gambar

Gambar 1  Struktur Faktor Toleransi Glucosa  (Linder 1992).
Tabel  1 Nilai Indek Suhu Kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan.
Tabel  2  Suhu rektal,  denyut jantung  dan  frekuensi  pernafasan  sapi  FH  dalam  kondisi suhu lingkungan berbeda
Gambar 2  Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a).
+7

Referensi

Dokumen terkait

beramonium clan analog hidroksi metionin ke dalam ransum sapi perah pada awal laktasi tidak mempengaruhi berat jenis susu.. Hal yang sama dilaporkan oleh

Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah Fries Holland (FH) sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara yang tinggi menyebabkan sapi perah

Hasil evaluasi terhadap kinerja produksi sapi perah impor di Jawa Timur menunjukkan bahwa produksi susu sapi perah impor masih berada di bawah kemampuan tingkat produksi

Perubahan suhu lingkungan pada akhir musim kemarau panjang berkorelasi dengan respon fisiologis berupa peningkatan suhu rektal, suhu tubuh, suhu kulit dan peningkatan

Status mikrob dan jumlah sel somatik dalam susu yang berasal dari peternakan sapi perah Pondok Ranggon yang berlokasi di daerah dataran rendah memiliki nilai yang lebih

Hampir semua perlakuan konsentrat fermentasi memiliki kecernaan bahan organik ransum lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 40 persen konsentrat tanpa fermentasi

Akan tetapi berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara kemampuan pro- duksi susu sapi perah turunan impor yang

Melalui pemanfaatan pengaruh heterosis dan gen kombinasi sifat unggul dari sapi FH dan Ongole, maka persilangan sapi FH dan PO diharapkan dapat menghasilkan produksi susu