• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada energi ransum yang berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada energi ransum yang berbeda"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

FRI

R

SE

INS

IES HOLL

RANSUM

AZH

EKOLAH

STITUT P

LAND

PAD

YANG BE

HAR AM

H PASCAS

ERTANIA

2010

DA ENER

ERBEDA

MIR

SARJANA

AN BOGO

RGI

A

(2)

AZHAR AMIR. Termoregulatory response and shade occupation behaviour of dairy heifers PFH offered diet content. Under supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and IDAT GALIH PERMANA

(3)

Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda. Dibimbing oleh

BAGUS PRIYO PURWANTO dan IDAT GALIH PERMANA.

Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu

faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan

genetisnya. Ternak sapi Fries Holland (FH) yang tidak tahan terhadap panas,

produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu

ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam

kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas.

Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada ternak

berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam

tubuh seperti pakan belum banyak dilakukan. Sejak lama diketahui bahwa pakan

yang dikonsumsi berpengaruh meningkatkan laju produksi panas dalam tubuh atau

biasa juga disebut efek kalorigenik pakan (EKP).

Tujuan penelitian adalah mempelajari dan mengetahui kandungan energi

ransum yang mempengaruhi kondisi fisiologi sapi perah dan pengaruh pakan sebagai

efek kalorigenik (respon termoregulasi). Mempelajari hubungan lingkungan mikro

dan konsumsi energi ternak sapi perah.

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010 di

Laboratorium Lapang, Kandang Sapi Perah Blok B, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin

(RBSL) 4x4 dengan perlakuan TDN konsentrat A (55%), B (60%), C (65%) dan D

(70%). Parameter iklim mikro yang diukur yaitu suhu lingkungan (SL), kelembaban

udara (Rh), Temperature Humidity Index (THI), kecepatan angin (v), dan radiasi

matahari (RM). Respons termoregulasi yang diukur yaitu suhu rektal (t

r

), suhu

permukaan kulit (t

s

), suhu tubuh (t

b

), denyut jantung (Hr) dan frekeuensi respirasi

(Rr), konsumsi BK, dan PBB ternak sapi. Tingkah laku ternak yang diamati yaitu

lama bernaung, ingestive (makan dan minum), lying (berbaring), ruminasi, standing

not grazing (berdiri), frekuensi defekasi, urinasi, agonistik, allelomimetik dan playing

(bermain). Data dianalisis secara statistik untuk mendapatkan rataan, standar deviasi,

analisisi sidik ragam, deskripsi dan analisis regresi.

(4)

7.4 kg. Perlakuan B dan C menunjukkan pertambahan bobot badan yang sama.

Konsumsi TDN ransum A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 2.9-5.3 kg,

3.2-5.4 kg, 3.8-5.8 kg dan 3.7-5.3 kg. Konsumsi protein kasar (PK) untuk perlakuan

A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 510-860 g, 560-810 g, 660-850 g dan

630-850 g. Konsumsi BK ransum mendukung pertumbuhan sapi yang optimal, pada

sapi perah dara PFH pada BB 240-354 kg, lebih efesien mencapai BB yang optimal

pada konsumsi TDN 3.2-4.3 kg dan protein kasar 660-850 g yang diperoleh pada

perlakuan C dengan TDN 65% dan PK 13%. Tidak ada perbedaan PBB yang nyata

antar perlakuan, meskipun demikian hasil PBB dari perlakuan D (0.55 kg/ekor/hari)

jauh lebih rendah dari perlakuan lain A (0.63 kg/ekor/hari), B (0.68 kg/ekor/hari) dan

C (0.65 kg/ekor/hari).

Pada penelitian ini, pengamatan respon termoregulasi dilakukan pada setiap 2

jam mulai pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Konsumsi energi ransum

pada penelitian ini menyebabkan respon termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr, Rr

mengalami peningkatan dari perlakuan A ke perlakuan D (P<0.01). Terdapat

hubungan linier antara Tb dan Rr (P<0.01,r

2

:0,90). Respon termoregulasi mulai

meningkat dan mencapai puncak antara pukul 12.00-13.00 serta menurun menjelang

sore hari. Respons termoregulasi tertinggi ditunjukkan pada pengamatan pukul 12.00

WIB yang disebabkan suhu lingkungan yang tinggi dan terjadi proses metabolisme

energi di dalam tubuh 2-5 jam setelah ternak makan.

Pengamatan tingkah laku di area penggembalaan antara pukul 09.00-15.00

WIB menunjukkan lama bernaung (LB) dipengaruhi oleh energi ransum yaitu

perlakuan C memberikan waktu LB yang lebih (210 menit selama pengamatan 6 jam)

dari perlakuan lainnya. Terdapat hubungan regresi LB dan TDN

 

(LB = -691.6 +

532.3 TDN -109.1 TDN

2

+ 7.7 TDN

3

),

 

r

2

: 0.985 konsumsi TDN berpengaruh nyata

(P<0.01) terhadap lama bernaung sapi perah dara.

(5)

FRIES HOLLAND

PADA ENERGI

RANSUM YANG BERBEDA

AZHAR AMIR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama : Azhar Amir NIM : D151080031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2010

(8)
(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

Puji dan syukur penulis ungkapkan kepada Allah SWT atas pemberian nikmat kesehatan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2009 ini ialah fisiologi, dengan judul Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Januari 2010 di kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. dan Bapak Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sejak awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, M.Sc. yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan yang telah memberikan bimbingan, masukan dalam proses belajar/akademik di IPB tercinta.

Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga atas dukungan dan doa restunya. Kepada Ri Dzikriyah Vanis tercinta dan keluarga yang selalu berdoa dan memberikan semangat. Kepada teman dan sahabat mahasiswa (i) SPS IPB mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP) 2008 yang telah membantu. Kiranya Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca. Apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan selama pelaksanaan penelitian dan perjalanan penyusunan tesis ini, penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalam

Bogor, Mei 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Bulukumba pada tanggal 7 Mei 1984 dari Ayah Amiruddin Bolong dan Ibu Hasirah. Penulis merupakan putra bungsu dari dua bersaudara.

(12)

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat ... 3

Pertumbuhan Sapi Dara ... 5

Produksi panas Ternak dalam Kandang ... 7

Faktor Indeks Suhu dan Kelembaban (THI) ... 10

Termoregulasi ... 12

Suhu Rektal ... 14

Denyut Jantung ... 15

Respirasi ... 16

Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak ... 16

Kandang dan Naungan ... 19

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 21

Materi Penelitian ... 21

Metode Penelitian ... 23

Rancangan Penelitian ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian ... 27

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB ... 30

(13)

Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung (Hr) ... 39

Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Respirasi (Rr) ... 40

Tingkah Laku Ternak ... 42

Hubungan antara Lama Bernaung (LB) Sapi Perlakuan Dengan Suhu Lingkungan (SL) dan Radiasi Matahari (RM) ... 47

Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Respon Termoregulasi ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(14)

1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara ... 6

2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara ... 7

3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH ... 9

4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi Pakan ... 9

5 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan ... 11

6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan ... 12

7 Karakteristik sapi dara ... 20

8 Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat ... 22

9 Skema perlakuan penelitian ... 25

10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang ... 27

11 Rataan konsumsi BK ransum dan PBB sapi perah dara selama Perlakuan ... 31

12 Pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal ... 34

13 Pengaruh perlakuan terhadap suhu kulit ... 36

14 Pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh ... 38

15 Pengaruh perlakuan terhadap denyut jantung ... 39

16 Pengaruh perlakuan terhadap frekuensi respirasi ... 41

17 Pengamatan tingkah laku ternak di area penggembalaan selama 6 jam (pukul 09.00-15.00) ... 43

(15)

1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara ... 4 2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara ... 8 3 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan

produksi panas ... 14 4 Prosedur kerja per penelitian ... 26 5 Rataan pola perubahan lingkungan mikro; (a) suhu lingkungan,

(b) kelembaban udara dan (c) temperature humidity index (THI)

Pada lokasi penelitian ... 28 6 Rataan pola perubahan lingkungan mikro; (d) kecepatan

angin, (e) energi radiasi matahari pada lokasi penelitian ... 29 7 Rataan pola konsumsi BK ransum perlakuan sepanjang periode ... 32 8 Pola perubahan lama bernaung per pengamatan perlakuan

energi ransum ... 47 9 Persamaan regresi antara konsumsi TDN dengan suhu tubuh

(Tb) ternak sapi dari perlakuan energi ransum ... 49 10 Persamaan regresi antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi

respirasi (Rr) ternak sapi dari perlakuan energi ransum ... 50 11 Persamaan regresi kubik antara lama bernaung (LB) dan

(16)

1 Gambar area penelitian ... 57

2 Lokasi pengukuran suhu permukaan kulit ... 58

3 Komposisi nutrien bahan pakan ... 59

4 Data hasil pengukuran konsumsi ransum dan PBB ... 60

5 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu rektal ... 62

6 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu kulit ... 63

7 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu tubuh ... 65

8 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam Hr ... 66

9 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam Rr ... 68

10 Analisis regresi Tb (Y) dan konsumsi TDN (X) ... 69

11 Analisis regresi Rr (Y) dan Tb (X) ... 70

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa yang memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu udara 13-18oC (Pennintong & van Devender 2004), 5-25oC (McNeilly 2001). Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah Fries Holland (FH) sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara yang tinggi menyebabkan sapi perah akan mengalami cekaman panas dan berakibat pada menurunnya produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas dapat dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan air minum ad libitum (Velasco et al. 2002).

Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetis yang dimiliki. Ternak yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler & Enseminger 2006).

(18)

Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada ternak berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti pakan belum banyak dilakukan. Panas ini memberikan makna yang esensial untuk mempertahankan suhu tubuh dan laju metabolisme yang tinggi pada sapi perah sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang normal. Sebaliknya, di lingkungan dengan suhu yang tinggi, EKP merupakan tambahan beban panas dan menurunkan produksi susu (West 2003; Pennintong & van Devender 2004).

Pada ternak yang digembalakan, cekaman panas dapat dikurangi dengan pemberian naungan pada ternak perah. Akses dan ketepatan penyiapan penggunaan naungan pada sapi perah yang baik, dapat meringankan pengaruh negatif dari beban panas tubuh ternak sapi perah (Kendall et al. 2006; Tucker et al. 2008). Terdapat bukti bahwa pada musim panas, akses sapi perah pada naungan menunjukkan tingkah laku berdiri yang rendah dan bernaung dengan tingkah laku berbaring yang tinggi (Schütz et al. 2008). Beradasar uraian diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai manajemen pakan dan pemberian naungan dalam kaitannya respons termoregulasi dan tingkah laku sapi perah pada kondisi lingkungan di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Mempelajari dan mengetahui konsumsi energi ransum yang mempengaruhi kondisi fisiologi sapi perah dan pengaruh pakan sebagai efek kalorigenik (respon termoregulasi).

2. Mempelajari mengenai hubungan lingkungan mikro dan konsumsi energi ternak sapi perah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain : 1. Sebagai informasi mengenai metode pemberian pakan yang baik untuk

kebutuhan hidup pokok dan respon termoregulasi sapi perah.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hijauan dan Konsentrat

Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas

dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler dan Enseminger (2006) pakan

merupakan kontributor utama terbesar sebagai biaya produksi dalam industri

peternakan yaitu sekitar 45-55%. Menurut Sudono et al. (2003), menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60-70% dari

total biaya produksi. Kondisi tersebut menyarankan pemberian pakan yang baik

akan sangat menguntungkan bagi para peternak.

Pemberian pakan pada ternak hendaknya memperhatikan dua hal yaitu

kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Pada sapi dara, pemberian

pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi, dengan fokus

utama adalah pertambahan bobot badan (PBB). Hal yang perlu diperhatikan

dalam pemberian pakan adalah kecukupan bahan kering (BK), protein kasar (PK),

dan energi (TDN). Pakan sapi perah yang ideal ditinjau dari segi biologis dan

ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Pakan

sapi perah yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai produksi

yang tinggi. Akan tetapi apabila pakan sapi perah hanya terdiri konsentrat saja,

produksinya akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan ada

kemungkinan terjadinya gangguan pencernaan yang menjuruskan sapi perah ke

arah penggemukan. Padahal penggemukan ini bertentangan dengan efesiensi

produksi susu (Sudono et al. 2003).

Hijauan dan konsentrat sebagai komponen pakan sapi perah merupakan

zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya.

Agar zat-zat makanan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat

perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum

sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum yang dapat memenuhi zat-zat

makanan yang dibutuhkan sapi perah. Oleh karena itu tanpa mengetahui

komposisi zat-zat makanan dari bahan pakan dan kebutuhan zat-zat makanan,

(20)

air tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama

sedang laktasi, harus selalu cukup tersedia (Agenậs et al. 2006).

Hijauan

Gambar 1. Hubungan antara tujuan dan kebutuhan pakan sapi perah (Tyler & Enseminger, 2006)

Berkenaan hubungan antara konsumsi pakan dengan faktor iklim, hal yang

harus diperhatikan adalah pengaruh iklim terhadap tingkat konsumsi. Rahardja

(2007) menyatakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi

pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan water intake (air minum), efesiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air

liur. Pengaruh tidak langsung iklim terhadap tingkat konsumsi adalah ketersediaan

sumber makanan di wilayah tersebut. Jumlah zat-zat makanan

yang dibutuhkan

Formulasi ransum

Sapi Perah

Air Minum

Pokok Hidup :

• Pengganti sel-sel tubuh yang sudah rusak • Basal metabolis • Regulasi suhu tubuh

Produksi : • Pertumbuhan • Penggemukan • Reproduksi • Produksi susu Konsentrat

(21)

Pertumbuhan Sapi Dara

Usaha pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum

banyak dilakukan karena dipandang belum menguntungkan dan biayanya mahal.

Pemeliharaan sapi dara merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan

sapi perah karena merupakan calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi

usaha pemeliharaan sapi perah dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan.

Perkembangan organ reproduksi terjadi selama masa pertumbuhan sehingga status

fisiologis sapi dara harus benar–benar diperhatikan, karena kekurangan gizi dapat

menyebabkan tidak berfungsinya ovarium sebaliknya bisa mengalami gangguan

reproduksi seperti terjadinya kegagalan kebuntingan dan terjadinya kemajiran bila

berat badan meningkat secara berlebihan (McNeilly 2001).

Pembesaran sapi dara berhubungan erat dengan efisiensi reproduksi;

keberhasilannya tergantung pada pola pemeliharaan yang 95% dipengaruhi oleh

pakan, kesehatan dan faktor lingkungan. Keberhasilan reproduksi dan produksi

sapi dara diharapkan berat badan saat kawin sekitar 250 kg–300 kg, namun

menurut Sudono et al. (2003) berat badan minimal 250 kg pada waktu kawin pertama jarang tercapai pada umur 15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh

rendahnya potensi pertumbuhan calon induk atau kurang terpenuhinya pakan.

Menurut Abeni et al. (2000) pertumbuhan ideal untuk sapi dara dengan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) 0.5 kg/hari membutuhkan protein

kasar sekitar 291 g dan energi metabolis sebesar 5.99 Mkal bila berat badannya

100 kg. Bila target PBBH 0.5 kg/hari tersebut, maka berat badan minimal ideal

untuk kawin pertama yakni sebesar 250 kg akan terpenuhi pada umur ± 16.5 bulan

sehingga sapi dara langsung dapat dikawinkan untuk pertama kali, dengan

demikian umur beranak pertama adalah pada umur 27 bulan.

National Research Council atau NRC (2001) telah menentukan kebutuhan nutrisi sapi perah untuk program pertumbuhan sapi dara dan efek selanjutnya

mengenai kebutuhan nutrisi sapi laktasi. Ada beberapa laporan mengenai studi

keperluan protein untuk sapi dara, yang menghubungkan untuk pertumbuhan,

pengganti induk, dan kelangsungan produksi susu. Laporan tersebut bertujuan

memperkirakan prediksi yang akurat tentang kebutuhan zat makanan sapi dara.

(22)

energi dan protein bahan pakan selama pertumbuhan. Jumlah energi yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan dihitung dari deposit net energi. Pemakaian energi

dapat dinyatakan dengan bermacam cara antara lain; DE (Digestible Energy), ME (Metabolizable Energy), NE (Netto Energy) dan TDN (Total Digestible Nutrient). Konversi energi dapat dikalkulasi nilai yang sama dari TDN yaitu :

o DE (Mkal/kg) = 0.04409 x TDN(%)

o ME (Mkal/kg) = 1.01x DE (Mkal/kg) – 0.45

o NEL (Mkal/kg) = 0.0245 x TDN(%) – 0.12

Berdasarkan penghitungan BK, kandungan protein kasar dan TDN yang

diperlukan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan telah ditentukan (NRC 2001)

yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara

No Berat Badan (kg) PBB (kg/hari) BK (kg/hari) TDN (%) PK (%)

1. 100 0.5 4.1 58.4 13.0

0.7 4.2 61.7 14.9

0.9 4.2 65.3 16.9

1.1 4.2 69.2 18.9

2. 200 0.5 5.1 58.4 11.9

0.7 5.2 61.7 13.4

0.9 5.2 65.3 15.0

1.1 5.2 69.2 16.6

3. 250 0.5 6.0 58.4 11.1

0.7 6.1 61.7 12.4

0.9 6.2 65.3 13.7

1.1 6.2 69.2 15.1

4. 300 0.5 6.9 58.4 10.6

0.7 7.0 61.7 11.7

0.9 7.1 65.3 12.9

1.1 7.1 69.2 14.1

5. 350 0.5 7.8 58.4 10.2

0.7 7.9 61.7 11.2

0.9 8.0 65.3 12.3

1.1 8.0 69.2 13.3

Sumber : National Research Council (NRC) (2001).

Energi pakan yang dikonsumsi ternak dapat digunakan dalam 3 cara: (1)

menyediakan energi untuk aktivitas; (2) dapat dikonversi menjadi panas; dan (3)

dapat disimpan sebagai jaringan tubuh. Kelebihan energi pakan yang dikonsumsi

setelah terpenuhi untuk kebutuhan pertumbuhan normal dan metabolisme

(23)

(diekskresikan) oleh tubuh ternak. Prediksi jumlah intake pakan yang diperlukan untuk kebutuhan pemeliharaan sapi perah dara ini harus mempertimbangkan

kebutuhan energi untuk proses metabolisme, aktifitas dan regulasi temperatur.

Pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan energi dihitung berdasarkan kehilangan

panas relatif untuk produksi panas ternak, temperatur harian, isolasi internal dan

eksternal (kandang dan penggembalaan), kecepatan angin, warna dan ketebalan

bulu, dan kondisi fisiologi (NRC 2001).

Penelitian Fox dan  Tylutki (1998) yang ditunjukkan pada Tabel 2,

memprediksi pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan nutrisi sapi perah yang

mempertimbangkan bobot badan ternak untuk beberapa daerah di Amerika

Serikat.

Tabel 2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara

Peubah

Netrala Northernb SouthWestc

1 1 2 3 4 1 2 3 4

PBB kg/d 0.94 0.88 0.60 0.53 0.68 0.88 0.88 0.78 0.88

Umur, bulan 20.3 21.1 28.5 28.5 25.9 20.7 20.7 22.4 20.7

BB, kg 603 588 560 501 574 580 580 561 580

Sumber : Fox dan Tylutki (1998)

a

setara kebutuhan pemeliharaan NRC (1996, 2001)

b pertengahan temperatur perbulan antara daerah central utara dan tenggara Amerika

Serikat. Situasi 1 = cerah dan kemarau, 2 = iklim sedang, 3 = kondisi 2 plus 10 cm mud dari November sampai Maret dan 4 = Kondisi 1 plus kecepatan angin 16 kph.

c

temperatur daerah barat daya Amerika Serikat

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk

pertumbuhan tergantung oleh interaksi antara DMI/bahan kering, tambahan panas

dari pakan, insulasi ternak dengan variabel yang dipengaruhi oleh temperatur

lingkungan, angin, produksi dan kehilangan panas ternak. Lingkungan yang

menyebabkan stress akan menunda pubertas pada ternak, sehingga waktu

melahirkan pertama sapi dengan interval yang lebih lama. Bobot badan induk

melahirkan pertama menurun jika terjadi lingkungan yang stres.

Produksi Panas Ternak dalam Kandang

Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari bobot

badan dan jumlah makanan yang dikonsumsi, serta kondisi lingkungan mikro.

(24)

kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan kemudian dilepas oleh tubuh hewan

terdiri atas sensible heat (panas sensibel) dan latent heat (panas laten). Panas sensibel dan panas laten yang dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan

komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur

kandang.

Perolehan panas dari heat gain (luar tubuh) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan

terjadi heat loss (kehilangan panas tubuh) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara

sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi

melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) Brown-Brandl et al. (2006a).

Gambar 2 Diagram produksi panas sapi perah pada suhu lingkungan.

Pada sapi perah FH, penampilan produksi terbaik akan dicapai pada suhu

lingkungan 18.3oC dengan kelembaban 55%. Secara fisiologis ternak atau sapi FH yang mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan;

2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan

  Dingin   Panas    optimun Batas suhu 

Nyaman

Cekaman panas  Cekaman panas 

Puncak

produksi

Regulasi  produksi panas  

Mati

 

Mat

i

 

Produksi Panas 

Terendah  Batas kritis suhu  maksimum

Batas kritis suhu  maksimum 

‐15oC  13oC 18oC  27o

C  Pro duk si Pan a s

(25)

katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan

konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan

denyut jantung (McNeily 2001); dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002) dan

8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schütz et al. 2008). Respons fisiologis sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 yang

menunjukkan respon yang berbeda pada temperatur yang nyaman dan temperatur

tinggi.

Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH

Parameter

Suhu Lingkungan

Sumber Netral Cekaman

Suhu Rektal (oC) 38.7 40.0 McNeilly (2001)

Schutz et al. (2008)

38.8 39.8 Purwanto et al. (1993)

Denyut Jantung (kali per menit)

77.0 79.0 McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)

64.0 67.0 Purwanto et al. (1993)

Pernapasan (kali per menit) 48.0 87.0 McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)

31.0 75.0 Purwanto et al. (1993)

Sumber : 1. sapi FH dengan suhu netral 24oC (McNeilly 2001) dan cekaman 32oC (Schutz

et al. 2008)

2. Purwanto et al. (1993) sapi FH dengan suhu netral 15oC dan cekaman 30oC

Tabel 4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan

Parameter

Suhu lingkungan

18oC 30oC

Produksi susu (kg/d) 19.5 15.0

Volume urine (ml) 10.0 13.6

Konsumsi air minum (kg/d) 57.9 74.7

Konsumsi konsentrat (kg/d) 9.7 8.4

Konsumsi hay (kg/d) 5.8 4.2

Evaporasi melalui (g m-2hari-1) : - Permukaan tubuh

- Respirasi

94.6 60.6

150.6 90.9

(26)

Faktor Suhu, Index Suhu dan Kelembaban (THI)

Menurut Rahardja (2007) bahwa faktor iklim, khususnya suhu lingkungan

sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi. Suhu lingkungan yang naik

sampai ± 27oC bagi sapi FH menyebabkan produksi susu menurun. Kemerosotan atau menurunnya produksi ini disebabkan oleh rendahnya napsu makan. Apalagi

di masa ini, isu tentang global warming (pemanasan global) sangat memungkinkan naik dan turunnya produksi susu secara drastis sehingga dapat

merugikan peternak tentunya. Di lingkungan yang suhu tergolong tinggi,

meningkatkan pengeluaran panas dan bila diberikan pakan maka efek kalorigenik

pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas sehingga dapat menurunkan

produksi susu sapi tersebut.

Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah

(FH serta PFH) pada suhu lingkungan yang naik di atas normal, lebih dari 30oC misalnya, merupakan lingkungan yang kritis. Suhu yang tinggi akan memaksa

sapi yang tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang

hidup di suatu lingkungan yang bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang sehingga produksi susu menurun (Rahardja 2007).

Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih

tinggi di atas zona termonetral (ZTN). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap

lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman.

Stres panas ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi

sapi perah termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan

komposisi susu (Bond & McDowell 2008).

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara

penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak.

Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit

dan saluran pernafasan Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban

relatif (Relative Humidity = RH). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi

(27)

Kemampuan berproduksi susu sapi perah FH menurut beberapa penelitian

yang telah dilakukan menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan

temperatur. Seperti halnya penelitian pengaruh stres panas yang dapat dilihat

pada Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan.

Temperatur (oC)

Perkiraan konsumsi dan produksi susu Konsumsi bahan

kering (lb)

Produksi susu (lb) Konsumsi air (Galon)

20 40.1 59.5 18.0

25 39.0 55.1 19.5

30 37.3 50.7 20.9

35 36.8 39.7 31.7

40 22.5 26.5 28.0

Sumber : Pennington dan van Devender (2004)

Tabel 5 menunjukkan perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan

produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan.

Temperatur lingkungan yang semakin tinggi membuat konsumsi air meningkat,

mengurangi napsu makan seekor sapi sehingga berpengaruh terhadap produksi

susunya. Perubahan temperatur lingkungan dari 95oF ke 104oF (35 ke- 40oC) menyebabkan ternak tersebut mengalami stres panas yang ditunjukkan produksi

susu menurun drastis secara signifikan. Stres panas harus ditangani dengan

serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar dengan usaha

yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi lingkungan agar ternak nyaman dengan

kondisi tempat tinggalnya seperti perbaikan pakan, manajemen dan temperatur

yang sesuai (Pennington & van Devender 2004).

Ternyata banyak tanda stres panas pada sapi laktasi, khususnya

mengurangi produksi susu dan menunjukkan prilaku lesu pada sapi. Untuk

mengurangi pengaruh stres panas tersebut perlu memperhatikan index temperatur

dan kelembaban di lingkungannya (THI = Temperature Humidity Index). Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal,

(28)

membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC atau Temperature Humidity Index (THI) < 72. THI > 72 akan mengalami stress, dimana THI > 84 memungkinkan

terjadi kematian pada sapi perah (West 2003 ; Pennington & van Devender 2004).

Hubungan THI dengan tingkatan stress dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan

Sumber : Pennington dan van Devender, 2004.

Aspek Fisiologi Termoregulasi

Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada

produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan,

atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya

tetap konstan, paling tidak, suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang

terlalu besar (Isnaeni 2006). Panas adalah sebuah bentuk energi yang

ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan suhu.

Suhu mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi

didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja. Energi yang dibutuhkan

untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan

metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif,

lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor

ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Tyler

(29)

produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2) dan faktor yang

mempengaruhi produksi panas adalah ukuran tubuh, spesies dan bangsa,

lingkungan, pakan dan air.

Menurut Brown-Brandl et al. (2006b), bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran

panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni

(2006), kesulitan dalam pelepasan panas dengan secara sensible, menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Menurut Short et al. (1990) dalam lfarez-Rodrīguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan

panas secara evaporasi dengan panting dan sweating. Schütz et al. (2008) menyatakan, evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang

secara tiba-tiba dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi. Pada saat

istirahat, hewan lebih toleransi pada suhu tinggi.

Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak

langsung. Kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non evaporasi dan

evaporasi (Martini 2007). Salah satu cara mengurangi kehilangan panas dengan

mengurangi evaporasi. Keseimbangan panas, menurut Isnaeni (2006), dipengaruhi

oleh panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari

aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang

melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau diperoleh

dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi dan radiasi.

Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan

metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam

tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan,

kerja pada otot dan metabolismeproses-proses produksi. Panas yang diperoleh

dari luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari disekitar ternak

(baik langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih

(30)

Dipengaruhi oleh : Dipengaruhi oleh : Sumber : Luas permukaan tubuh Hormon kalorigenik Makanan Penutup tubuh Produksi : cadangan tubuh Pertukaran air susu fermentasi rumen/ Aliran darah daging sekum

Lingkungan : wool Lingkungan Suhu aktivitas otot

Kecepatan angin kebutuhan pokok Kelembaban

Sensible non sensible Radiasi evaporasi Konveksi - respirasi Konduksi - kulit

[ Pelepasan panas ] [ Pelepasan panas ]

Hipotermia Hipertermia

Normal

[image:30.612.98.519.72.508.2]

Suhu tubuh, oC

Gambar 3 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas.

Suhu Rektal

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima

panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran

suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat

(Frandson 1992). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi yaitu salah

satunya pada rektal, karena cukup mewakilkan dan kondisinya stabil. Weeth et al. (2008) menyatakan bahwa suhu rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat

dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar pada

(31)

Suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari

jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan

antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun

temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada hewan, tetapi rektal

adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal

ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 oC dan ternak dibawah satu tahun berkisar 38.6-39.8 oC (De Rensis & Scaramuzzi 2003).

Denyut Jantung

Jantung adalah struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut

dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut

lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal

adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan,

parturition, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, olahraga, posisi tubuh, aktivitas

sistem pencernaan, ruminasi, temperatur lingkungan (Frandson 1992). Jantung

memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus

eksternal.

Denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55-80 kali/menit,

sedangkan pada pedet 100-120 kali/menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung

adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa. Pada sapi

jika dalam kondisi tenang, denyut jantung dapat dideteksi dari arteri pada rahang

bawah, arteri median, arteri koksigeal bagian tengah pada ekor, ± 10 cm dibawah

anus (Seath & Miller 2008).

Tucker et al. (2007) menyatakan bahwa ternak yang terekspos temperatur lingkungan yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat menyebabkan

peningkatan denyut jantung. Mekanismenya adalah peningkatan suhu darah yang

secara langsung mempengaruhi jantung, yang juga dipengaruhi oleh penurunan

tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral. Proses terakhir adalah

peningkatan jumlah adrenalin dan nonadrenalin yang disekresikan untuk

pembentukan energi, disertai sekresi hormon lainnya dari kelenjar endokrin

sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung. Menurut Seath dan Miller

(2008) bahwa perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap

(32)

Respirasi

Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen kedalam tubuh

serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder

membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstaseluler dalam tubuh, membantu

pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat

mengatur kelembaban dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar

sesuai dengan suhu tubuh. Sistem respirasi terdiri dari paru-paru dan saluran yang

memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru-paru. Pusat

respirasi pada burung dan mamalia adalah medulla yang sensitive terhadap

perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Frandson 1992).

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada,

dan perut (merespon kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi

aktivitasrespirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi

berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang

sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi

ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi

ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similiritas pergerakan kedua sisi (Isnaeni

2006).

Kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30

kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. mekanisme respirasi

dikontrol oleh medulla yang sensitive terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika

tekanan meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat.

Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen

yaitu setelah olahraga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembaban relatif

yang tinggi dan kegemukan (Frandson 1992).

Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak

Faktor produksi susu sapi yang tinggi merupakan suatu gabungan dari

paduan sifat tingkah laku yang unik dengan lingkungan yang menyenangkan dan

manajemen yang tepat. Pengetahuan mengenai tingkah laku sapi atau

defenisinya, memerlukan penanganan dan pemeliharaan ternak sapi sapi perah

(33)

tingkah laku sapi perah memberikan produkrivitas yang maksimal pada kawanan

sapi. Tingkah laku ternak merupakan hasil yang bersumber dari genetik, simple learning (latihan dan pengalaman), dan suatu pembelajaran yang kompleks (inteligen) (Tyler & Ensminger 2006).

Tingkah laku merupakan reaksi ternak untuk beberapa rangsangan atau

cara dimana mereka memberi reaksi terhadap lingkungan. Melewati beberapa

tahun, tingkah laku sapi perah disambut dengan sedikit perhatian dibanding

kuantitas dan kualitas susu yang diproduksi. Tetapi baru-baru ini, terdapat

pembaharuan perhatian yang menarik dalam tingkah laku terutama sebafai faktor

yang menghasilkan efesiensi dan produksi yang maksimal (Tyler & Ensminger

2006). Menurut Philips (2002) bahwa peningkatan frekuensi di kandang, banyak

sapi menimbulkan ekspresi tingkah laku abnormal termasuk kehilangan nafsu

makan, pica, kurang pergerakan, prilaku maternal yang buruk, sifat agresif yang berlebihan, dan beberapa gangguan tingkah laku yang lain.

Kita membutuhkan bangsa sapi perah yang mampu beradaptasi dengan

lingkungan buatan. Suatu kandang tidak hanya membatasi tetapi juga

mengganggu habitat dan organisasi sosial dimana sapi beradaptasi. Beberapa

tahun belakangan ini, sebagian besar aktivis kesejahteraan ternak, melihat

peternakan modern sebagai hal yang tak wajar dan kondusif untuk kesejahteraan

ternak. Beberapa sistem produksi intensif adalah kejam dan tidak kebal hukum.

Selanjutnya, aktivis mempertahankan bahwa setiap ternak akan diberikan

perlindungan moral yang sama selama bermanfaat untuk manusia. Ternak

memerlukan kebutuhan esensial baik secara fisik dan tingkah laku, jika tidak

maka menyebabkan menderita dan stres (Tyler & Enseminger, 2006). Hak-hak

ternak yang berkaitan dengan kesejahteraannya yaitu bebas dari lapar dan dahaga;

bebas dari luka, rasa sakit, dan penyakit; bebas dari rasa takut dan penderitaan;

bebas dari rasa panas dan tidak nyaman; dan bebas untuk mengeksperesikan

tingkah laku normal dan alaminya.

Memberikan kenyamanan adalah suatu usaha yang timbul dari kepedulian

kita sebagai manusia untuk memberikan lingkungan yang sesuai untuk hewan.

Terdapatnya usaha untuk meningkatkan kualitas hidup dari hewan tersebut,

(34)

memadai dengan fasilitas kandang yang sesuai dengan tingkah laku ternak dan

adanya teman untuk berinteraksi sosial. Menghindari ketidaknyamanan dan

cekaman panas dengan memberikan naungan atau tempat berteduh, tempat untuk

beristirahat dan fasilitas yang sesuai dengan perilaku hewan. Selain itu juga

memberikan pakan dan air minum dalam jumlah yang cukup, higienis dan

memenuhi kandungan gizi yang sesuai dengan keperluan masing-masing hewan.

Pemberian pakan harus tepat dan proporsional sehingga pertumbuhan hewan

dapat maksimal dan dapat berproduksi sebagaimana mestinya (Philips 2002).

Banyak peternakan rakyat yang masih belum memaksimalkan

kenyamanan pada sapi perah. Perlu diketahui bahwa observasi dan pengalaman

menunjukkan bahwa sapi yang berada di kandang yang nyaman, memproduksi

lebih banyak susu dan secara umum lebih sehat dan hidup lebih lama. Pakan dan

minum yang cukup, udara yang bersih, permukaan bedding yang empuk dan bersih harus tersedia bagi ternak sapi, sehingga sapi dapat berdiri dan berbaring

dengan nyaman, karna sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan

berbaring.

Menurut Schützet al. (2009) bahwa sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam

sehari dan selama waktu itu ternak hanya tidur selama 30 menit. Saat permukaan

bedding tidak nyaman, sapi akan mengurangi waktu istirahat. Jika tidak dapat berbaring, sapi akan berdiri terlalu lama sehingga akan mengganggu siklus

tingkah laku naturalnya. Sapi butuh untuk berbaring karena pengurangan waktu

berbaring, akan mengurangi produksi susu. Selain itu, sapi bisa beristirahat dan

ruminasi saat berbaring. Menurut Acatincăi et al. (2009) menyatakan bahwa

pengamatan pada sapi perah selama 48 jam pada suhu 31.6oC selama musim panas di Rumania, menunjukkan waktu ruminasi selama 350.60 menit dengan

rata-rata 24.81 menit pada frekuensi berkisar 14-18 kali.

Kandang dan Naungan

Pada daerah tropis, suhu lingkungan kandang wajib diperhatikan, terutama

di daerah panas kering. Bila suhu lingkungan kandang di atas suhu lingkungan

optimum untuk sapi perah, hal ini dapat menimbulkan masalah pada produksi

(35)

lingkungan tidak berpengaruh terhadap sapi perah. Kandang yang terintegrasi

dalam suatu sistem peternakan sapi perah dengan demikian dapat dan harus

berfungsi secara maksimum untuk mencapai efisiensi optimum.

Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara

secara intensif adalah radiasi matahari yang mengakibatkan terjadinya perubahan

faktor mikroklimat di dalam kandang. Radiasi matahari menimbulkan cekaman

panas pada sapi yang digembalakan. Pengaruh negatif radiasi matahari dapat

dikurangi dengan menggunakan naungan untuk mengurangi intensitas dan lama

penyinaran (Schutz et al. 2008). Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung sinar matahari dalam pembuatan naungan sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan

yang memantulkan dan menyerap radiasi langsung tersebut, sehingga dapat

mengurangi pengahantaran panas ke tubuh ternak. Bahan-bahan lokal yang dapat

digunakan sebagai naungan di area penggembalaan yaitu rumbia, seng, genteng

dan paranet. Data tentang penggunaan bahan naungan tersebut masih kurang,

sehingga dianggap perlu untuk mengkaji dalam pengaruhnya terhadap respon

fisiologi dan tingkah laku ternak.

Di dekat kandang peternak sapi perah dianjurkan menanam pohon

pelindung dan membuat saluran irigasi. Lantai semen terasa sangat dingin saat

temperatur lingkungan rendah dan kelembaban tinggi; jadi, perlu dipasang alas

lantai serbuk gergaji, jerami, atau karpet karet. Di Indonesia, sebaiknya kandang

mempunyai dinding setengah. Bahan atap dapat memakai daun rumbia, daun

alang-alang, ijuk, genting, seng, asbes, kaca, sirap, dan lain-lain. Kelebihan atap

daun rumbia dan alang-alang adalah harganya relatif murah dan dapat menahan

panas. Peternak sapi perah di Indonesia hingga saat ini paling banyak

menggunakan atap genting. Atap genting mudah didapat, murah, dan tahan api.

Seng dapat dipakai sebagai atap dan tahan api, tetapi tidak dapat menahan panas.

Atap asbes lebih baik menahan panas dari genting, tetapi sayangnya asbes

menghasilkan zat kimia berbahaya dan debu pada waktu diganti. Atap kaca tidak

menghalangi sinar matahari masuk ke dalam kandang; kelemahannya adalah

mudah pecah.

Tempat tinggal hewan ternak yang ideal adalah tersedia dua areal, terbuka

(36)

aktifitasnya disiang hari. Sedangkan areal tertutup berfungsi sebagai tempat

beristirahat hewan di malam hari. Sapi yang dipelihara dalam sistem feedlot lebih sering mengalami stres dibandingkan sapi yang dilepas disuatu ranch. Kendala pemeliharaan ternak di areal penggembalaan ternak di Indonesia adalah radiasi

matahari sehingga memerlukan perhatian yang lebih besar pula dalam hal

kebutuhan naungan (Schütz et al. 2008, 2009). Berbagai macam peneduh digunakan dalam pemeliharaan feedlot. Pada naungan yang terbuka, dibutuhkan luas sekitar 3-5 m2 untuk tiap satuan ternak. Kandangnya dapat dibangun sederhana, mudah dibersihkan dan harganya pun tidak terlalu mahal.

(37)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari

2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah

bagian IPT Perah Departemen IPTP dan analisis proksimat rumput gajah dan

pakan dilakukan di Laboratorium Analisa Bahan Makanan Ternak, Departemen

INTP Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian Ternak

Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi perah dara PFH dengan

[image:37.612.105.512.342.471.2]

karakteristik ternak ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik sapi dara

No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg)

1. KT 82 31 156 297

2. KT 84 25 147 253

3. KT 87 20 126 164

4. KT 88 19 132 188

Ransum

Ransum yang digunakan ada empat macam dan dihitung berdasarkan

kebutuhan TDN untuk pertumbuhan bobot badan. Ransum ini terdiri atas rumput

gajah (Pennisetum purpureum) dan beberapa bahan pakan untuk formulasi konsentrat. Kandungan protein kasar konsentrat adalah sebesar 12%-15% dan

bahan kering sebesar 86%. Pemberian ransum sebanyak ± 3% dari bobot hidup

(38)
[image:38.612.115.496.136.607.2]

Pemberian air minum disediakan secara ad libitum. Kandungan nutrien bahan pakan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat (%)

Bahan Pakan Konsentrat

A B C D

Onggok 21.6 24.04 26.2 30.4

Dedak halus 20 20 20 20

Dedak kasar 20.18 17.7 - 0.24

Mollases 4 3 3 28.56

Bungkil kelapa 30.13 23.11 15.61 5

Bungkil sawit - - 16 5

Pollard - 8 12 5

Bungkil kedele - - - 10

Urea 1.7 1.37 2.4 0.3

Garam 1.69 1.4 2.4 -

CaCO3 1.7 1.38 2.39 0.5

Analisis (%):

Bahan kering 86 86 86.7 86

Protein kasar 12 12 13 15

Abu 8.348 7.519 5.747 6.374

Lemak 6.299 5.847 5.305 5.833

Beta-N 45.92 46.457 44.951 43.179

Serat kasar 12.84 11.747 9.954 10.39

TDN 55 60 65 70

Ca 0.83 0.821 0.335 0.33

P 0.25 0.309 0.803 0.81

Harga (Rp) 1863.83 1823.36 2550.03 2639.08

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah termometer rektal (Safety, Japan),

termometer bola basah dan bola kering (dry-wet, Sanghai), termometer pengukur

(39)

(Anritsu Hl-2000, Tokyo), termometer bola hitam (black globe thermometer) atau pyranometer dan display, kabel termokopel, pengukur waktu (stopwatch Alba, Tokyo), stetoskop (Stetoscope, Japan), pita ukur, BTU-psychrometer, timbangan

rumput 110 kilogram dengan kepekaan 500 gram, timbangan konsentrat kapasitas

lima kilogram dengan kepekaan 20 gram.

Naungan

Naungan digunakan untuk melindungi sapi dari sinar matahari langsung.

Bahan naungan yang digunakan adalah paranet 75%. Pemberian naungan diarea

penggembalaan untuk ternak sapi perah dilakukan pada setiap akhir perlakuan

pemberian ransum, diantara pemberian pakan dengan pengamatan pada pukul

09.00-15.00 WIB. Pemberian naungan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

lingkungan mikro, daya tahan panas dan konsumsi energi ransum dengan

mengamati lama bernaung pada ternak. Fasilitas naungan tersebut berada di suatu

padang penggembalaan dengan luas 650 m2. Struktur bangunan naungan mempunyai luas 27 m2 (9x3 m), dengan tinggi bangunan 2,3 m. Pada area penggembalaan ternak, menyediakan air minum secara ad libitum dan meniadakan hijauan. Deskripsi penelitian ini, dapat dilihat pada Lampiran 1.

Metode Penelitian

Pemeliharaan Ternak

Sapi dipelihara pada tiap tiap periode perlakuan selama 21 hari, masa

adaptasi dua pekan (14 hari) dengan setiap hari pengamatan yang dilanjutkan

untuk pengumpulan data 7 hari terakhir.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati terdiri atas faktor iklim dan respons fisiologis

ternak sapi. Faktor iklim yang diukur meliputi suhu udara bola basah dan bola

kering (DBT-WBT), kelembaban (RH), kecepatan angin, menghitung temperature humidity index (THI) dan jumlah radiasi. Pengamatan faktor iklim tersebut dilakukan setiap hari pada pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan interval 60 menit.

Respons fisiologis ternak sapi yang diukur adalah suhu permukaan kulit

(40)

denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), suhu

tubuh (Tb), frekuensi pernapasan (Rr) dan denyut jantung (Hr) setiap hari pada

pukul 10.00, 12.00 dan 14.00 WIB. Konsumsi pakan diukur setiap hari pada

pukul 06.30 WIB. Pemberian naungan pada dua hari terakhir periode perlakuan

untuk menghitung lama bernaung ternak akibat adanya radiasi matahari, tingkah

laku ingestif, ruminasi, lying behaviour (berbaring), agonistik dan allelomimetik. Pengamatan tingkah laku antara pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan interval 60

menit.

Metode Pengukuran Parameter

Faktor iklim. Suhu udara dan kelembaban diukur dengan termometer bola basah dan bola kering. Pengukuran dilakukan dibawah kandang dan

naungan. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung dengan rumus yaitu :

THI = DBT + 0.36DP + 41.2

dengan ;

DBT : suhu bola kering (oC) dan DP : dew point (oC)

Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer digital diluar

kandang. Radiasi diukur dengan menggunakan pyranometer dimana mempunyai

satuan watt/m2.

Respons fisiologis sapi. Suhu permukaan kulit diukur pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (a), dada (b), tungkai atas (c) dan tungkai

bawah (d). rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu :

Ts = 0.25 (a + b) + 0.32 c + 0.18 d

Suhu rektal (Tr) diukur dengan memasukkan thermometer klinis ke dalam

rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. suhu tubuh (Tb) dihitung

menggunakan data Ts dan Tr berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu : Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts.

Tingkah Laku. Pengamatan tingkah laku bernaung ternak dihitung setiap 60 menit antara pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan menggunakan stopwatch.

Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang sisa ransum yang diberikan

(41)

Rancangan Penelitian

Terdapat dua faktor dalam percobaan ini yaitu individu sapi dan perlakuan,

sehingga digunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 X 4. Perlakuan yang

diujikan yaitu :

A (Hijauan + konsentrat TDN 55%)

B (Hijauan + konsentrat TDN 60%)

C (Hijauan + konsentrat TDN 65%)

D (Hijauan + konsentrat TDN 70%)

Pola pengacakan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Skema perlakuan penelitian

Periode

Kode Ternak Sapi

KT 82 KT 84 KT 87 KT88

I C D A B

II D C B A

III B A D C

IV A B C D

Model matematika dalam rancangan percobaan ini adalah (Steel & Torrie

1995):

Yijk =

µ +

α

i +

β

j

+

τ

k +

ε

ijk Keterangan :

Yijk : pengamatan dari perlakuan pakan ke-k dalam sapi ke-i dan waktu ke-j

µ : nilai rataan umum

αi : pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris)

βj

:

pengaruh aditif dari kondisi ternak (efek kolom)

τ

k : pengaruh aditif dari urutan perlakuan

εijk : galat percobaan pada perlakuan ke-k dalam sapi ke-j dan periode ke-i

Analisis Data

Data mengenai iklim mikro dianalisis secara statistik untuk mendapatkan

rataan dan standar deviasi. Respons termoregulasi dianalisis menggunakan sidik

(42)

7

perlakuan pakan diketahui melalui uji Beda Nyata Terkecil. Tingkah laku

bernaung dianalisis secara statistik menggunakan korelasi, regresi. Data

pengamatan lama bernaung yang diperoleh, diuji dengan menggunakan analisis

regresi berganda (Walpole 1995) untuk mengetahui hubungan masing-masing

variabel yaitu :

Y = βo + β1 x1 + β2 x2 + ε Keterangan :

Y = intensitas lama bernaung

βo = konstanta

β1… β2 = koefisien masing-masing regresi

β1 = Koefisien suhu lingkungan

β2 = Koefisien radiasi matahari

ε = galat

                 

waktu pengamatan (hari)

   

[image:42.612.101.542.60.703.2]

Keterangan :

Gambar 4. Prosedur kerja per periode penelitian

21 14

0 18

Pengukuran BB

Awal Periode Pengukuran BB

Akhir Periode

Kandang : Pengamatan respon termoregulasi (1-18) Masa adaptasi (1-14)

Tingkah laku Pengamatan lingkungan mikro (1-21)

Respons Termoregulasi : Pkl 10; 12 dan 14 WIB Suhu Rektal

Suhu Kulit Suhu Tubuh Denyut Jantung Frekuensi Respirasi

Tingkah Laku Ternak : Pukul 09.00-15.00 WIB Bernaung Berbaring Ruminasi Ingestive Berdiri Agonistik, dll. Lingkungan Mikro :

Pukul 09.00-15.00 WIB

Suhu Lingkungan Kelembaban Udara Kecepatan Angin THI

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul

09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan

bahwa kondisi lingkungan mikro suhu lingkungan berkisar antara 27.4-33.2oC, kelembaban udara antara 59.1-89.7%, THI (Temperature Humidity Index) antara 77.1-82.7, kecepatan angin 0.35-1.10 meter/detik dan energi radiasi matahari

berkisar antara 210.8-459.9 watt/m2. Nilai pengamatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi

perah. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ternak mengalami cekaman panas

pada kondisi lingkungan tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah tropis

basah yang mempunyai sirkulasi angin yang rendah, suhu lingkungan maupun

energi radiasi sinar matahari serta kelembaban udara yang tinggi pula. Rataan

[image:43.612.105.527.406.585.2]

kondisi iklim mikro dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang Periode

Pengamatan

Parameter Lingkungan Mikro

Ta (oC) RH (%) THI Va (m/s) SR (watt/m2) Periode I 30.1±1.27 73.6±3.69 79.9±1.34 0.7±0.07 315.3±82.29

Periode II 30.3±1.50 72.5±6.35 80.1±1.52 0.7±0.21 308.2±83.06

Periode III 31.6±1.68 64.5±5.63 81.2±1.62 0.8±0.22 357.6±90.92

Periode IV 30.1±2.14 74.7±5.19 79.2±1.53 0.6±0.19 338.7±109.65

Rataan 30.5±0.72 71.4±4.64 80.1±0,85 0.7±0.08 329.9±22.60

Keterangan :

Ta = Suhu lingkungan Va = Kecepatan angin RH = Kelembaban relatif SR = Energi radiasi matahari THI = Temperature Humidity Index

Tabel 10 menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro, yaitu suhu dan

kelembaban udara penelitian secara fisiologis tidak sesuai dengan kondisi

lingkungan yang nyaman sapi FH dan berpotensi menyebabkan cekaman. Hal ini

dikarenakan nilai suhu dan kelembaban udara melebihi zona termonetral (ZTN)

(44)

c k G 60.0 65.0 70.0 75.0 80.0 85.0 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. cekaman pa

[image:44.612.87.498.122.661.2]

kategori med

Gambar 5 R k l Suhu   Lin g kun g an   ( O C)   Kelem b a b an   ud ara   (% )   T e m p e rat ur e   Humid ity   In dex (THI)   79.6 0 0 0 0 0 0 9.00 1 77.4 0 0 0 0 0 0 0 9.00 anas (Tabel

dium stress (

Rataan pola kelembaban lokasi peneli (a)  (b)  (c)  6 72.0 6 10.00 11.00 4 79.7 8 10.00 11.00 6) bahwa k

(cekaman se

perubahan l udara dan (c itian. W 68.6 66.8 12.00 13 81.0 81.5

0 12.00 13 kondisi pene

edang) yang

lingkungan m c) temperatu

Waktu Pengam

67.3 70 3.00 14.00 81.3 80 3.00 14.00 elitian ini se

berpotensi te

mikro; (a) su ure humidity

matan (WIB)

0.8 74.5 15.00 0.5 79.2 15.00 ecara umum

erjadi pada s

uhu lingkung y index (THI)

(45)
[image:45.612.90.498.71.499.2]

G y ( b p h l d m 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 Gambar 6 Pada yang berfluk

(Ta), THI da

baku yaitu p

pada pukul 1

hari. Naik

lingkungan d dua faktor menyebabka Kece p atan   an g in   (m/s)   Rad ias i   ma ta h a ri   (watt /m

2 ) 

0.5 3 4 5 6 7 8 9 9.00 Rataan pola energi radi

a Gambar 5

ktuasi pada l

an energi rad

pola paraboli

12.00-13.00

turunnya e

dan kelemba iklim yan an perubahan (d)  (e)  0.6 10.00 11.00 a perubahan asi matahari

dan 6 menu

lokasi peneli

diasi mataha

ik. Nilai Ta

dan 13.00-1

energi total

aban udara (

ng mempeng

n keseimban

W

0.7

0.8

0 12.00 1

n lingkungan i pada lokasi

unjukkan po

itian. Pada

ari (SR) men

a (oC), THI d 14.00 WIB d

radiasi mat

(RH). Suhu

garuhi prod

ngan panas d

Waktu Pengam

0.9

0

13.00 14.00

n mikro; (d) i penelitian.

ola perubaha

Gambar ters

ngilustrasika

dan SR (watt

dan menurun

tahari sanga

dan kelemb

duksi sapi

dalam tubuh

matan (WIB)

0.7

0.7

15.00

) kecepatan

an kondisi ik

sebut, suhu l

an pola perub

t/m2) menca n setelah mej

at mempeng

baban udara m

perah, kar

h ternak, kes

(46)

air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Iklim mikro di

suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi

genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal. (McNeilly 2001;

Pennington &  van Devender 2004).

Pada Gambar 5c, ternak mulai mengalami stres ringan pada pukul 09.00

pagi dan stres sedang mulai pada pukul 11.00-14.00 siang. Peningtong and van Devender (2004) bahwa THI>72 mengindikasikan ternak mengalami stress dan

THI 83 memberikan pengaruh yang buruk terhadap produksi susu dan kondisi

fisiologi ternak. Kondisi iklim seperti ini harus diperhatikan oleh peternak di

Indonesia khususnya Bogor untuk mengurangi pengaruh iklim mikro dengan

beberapa cara yang disarankan oleh Velasco et al. (2002) melalui perbaikan sirkulasi kandang, manajemen pakan, imbangan nutrisi dan pemberian air minum

ad libitum. Berbeda halnya dengan kecepatan angin (Gambar 6d), justru pada saat THI yang tinggi, angin berada pada kecepatan yang rendah. Yani dan Purwanto

(2006) bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu

pengeluaran panas. Menurut Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa pemberian

kecepatan angin 1.12-1.30 m/s akan membantu sapi FH mengatasi cekaman

panas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB

Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup

pokok dan pertumbuhan. Sudono et al. (2003) pakan yang diberikan ke sapi perah harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu

bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN). Selama penelitian berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak.

Variasi ini muncul dikarenakan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang

digunakan serta periode lingkungan mikro penelitian. Faktor penting dalam

penyusunan ransum dan tingkat konsumsi pakan adalah bobot badan sapi.

Tabel 11 menunjukkan rataan tingkat konsumsi bahan kering ransum serta

pola perubahan pbb sapi perah dara. Konsumsi BK pakan sapi-sapi percobaan

berkisar antara 7.0-7.4 kg. Besarnya konsumsi tersebut masih sesuai dengan

anjuran NRC (2001) bahwa sapi-sapi dara FH dengan bobot badan antara 150 kg

(47)

BK per hari. Pada kondisi cekaman panas, efesiensi penggunaan energi akan

berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk

[image:47.612.114.513.163.471.2]

aktivitas termoregulasi.

Tabel 11 Rataan konsumsi BK, TDN, PK ransum dan analisis ragam PBB sapi perah dara selama perlakuan

Peubah A B C D Perlakuan

Bahan Kering (kg) :

Hijauan 4.2±1.17 4.0±0.98 4.3±0.16 4.1±0.57 Konsentrat 3.2±1.17 3.3±0.98 3.0±0.84 2.9±0.96 TDN (kg) :

Hijauan 2.4±0.49 2.3±0.43 2.5±0.05 2.3±0.23 Konsentrat 1.8±0.64 1.9±0.58 1,9±0.55 2.0±0.68 Protein Kasar (kg) :

Hijauan 0.33±0.06 0.34±0.08 0.36±0.01 0.34±0.03 Konsentrat 0.37±0.08 0.37±0.09 0.4±0.1 0.39±0.01 Lemak Kasar (kg) :

Hijauan 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 Konsentrat 0.2±0.07a 0.19±0.06ab 0.16±0.04b 0.17±0.05ab Serat Kasar (kg) :

Hijauan 1.6±0.45 1.5±0.38 1.6±0.06 1.5±0.22 Konsentrat 0.4±0.14b 0.38±0.11b 0.30±0.08a 0.30±0.08a Beta-N (kg) :

Hijauan 1.0±0.29 1.0±0.25 1.0±0.04 1.0±0.14 Konsentrat 1.5±0.54 1.5±0.45 1.38±0.38 1.1±0.77

PBB (kg) 0.63±0.08ab 0.68±0.05b 0.65±0.06ab 0.55±0.08a

Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05)

A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%.

Berdasarkan Tabel 11 di atas, konsumsi BK ransum antara perlakuan B

dan C menunjukkan jumlah relatif sama. Konsumsi TDN A, B, C dan D untuk

BB rendah ke tinggi yaitu 2.9-5.3 kg, 3.2-5.4 kg, 3.8-5.8 kg dan 3.7-5.3 kg.

Konsumsi protein kasar (PK) konsentrat untuk perlakuan A, B, C dan D untuk BB

rendah ke tinggi yaitu 510-860 g, 560-810 g, 660-850 g dan 630-850 g. Hasil ini

menguatkan data konsumsi BK untuk BB yang tidak berbeda jauh anjuran NRC

(2001), sehingga dapat pula dikatakan bahwa untuk sapi perah dara PFH pada BB

240-354 kg, lebih efesien mencapai BB yang optimal pada konsumsi TDN 3.2-4.3

kg dan protein kasar 660-850 gr yang diperoleh pada perlakuan C dengan TDN

(48)
[image:48.612.144.475.192.378.2]

t p N k p G p t t s u r r d a c m d t terhadap ko peningkatan NRC untuk kasar (LK), perlakuan en

Gambar 7 R r

Sumb

protein. Kar

tanpa nitrog ternak non-r sumber ene unggas, bab ruminansia rumput yan dalam rume asam propi cenderung m meningkatka dalam rumen terbang (VF K o nsum si    BK   (k g /h a ri )   nsumsi BK, n konsumsi sapi perah serat kasar nergi ransum

Rataan pola k ansum A,

ber energi u

rbohidrat ter

gen (Beta-N/

ruminansia d

ergi. Sumbe

bi) adalah B

adalah serat

ng tinggi da

en, sedangka

onat perse

meningkatkan

an produksi

n kurang dar

FA). Tabel

, TDN dan

PK dengan

dara. Sela

(SK) dan B

m konsumsi L

konsumsi BK ransum

untuk ternak

rdiri atas 2 (d

/pati). Terd

dan ruminan

er energi u

Beta-N, sed

t kasar. Tyl

alam ransum

an bila pers

entasenya d

n kadar lema

susu. Asam

ri 40% atau

l 11 menun

Wakt

PK. Tetap

rataan 750

ain itu, dilak

eta-N. Terd

LK dan SK k

K ransum pe m B, r

k adalah zat

dua) fraksi, y

dapat perbed

nsia dalam m

utama untuk

dangkan sum

ler dan Ense

m dapat me

entase kons

dapat meleb

ak susu, sed

m lemak sus

u lebih besar

njukkan kon

u Pengamata

i pada perla

gram yang kukan pengu dapat perbed konsentrat (P erlakuan sep ansum C,

makanan k

yaitu serat k

daan yang sa

menggunakan

k ternak no

mber energi e

Gambar

Gambar 1.  Hubungan antara tujuan dan kebutuhan pakan sapi perah
Tabel 1  Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara
Gambar 2  Diagram produksi panas sapi perah pada suhu lingkungan.
Tabel 4  Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi pola pita dan hubungan kekerabatan berdasarkan gen reseptor Interleukin-8 pada Sapi Peranakan Fries Holland

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ragam pakan sapi perah Fries Holland di dua lokasi dengan ketinggian tempat yang berbeda dan untuk menganalisis hubungan

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi respon suhu rektal dan suhu kulit sapi dara Fries Holland pada waktu pemberian pakan berbeda yang diberi konsentrat dengan

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi respon suhu rektal dan suhu kulit sapi dara Fries Holland pada waktu pemberian pakan berbeda yang diberi konsentrat dengan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian pakan komplit pada sapi perah Fries Holland (FH) yang berbasis limbah pertanian (wortel, kol, kulit

Jika tinggi pundak sapi perah FH laktasi hasil pengukuran dibandingkan dengan data ukuran tinggi pundak yang diambil pada penelitian mengenai Standarisasi Mutu

Hasil analisis menggunakan ANN untuk prediksi tingkat suhu kritis sapi perah berdasarkan perubahan suhu dan kelembaban udara dalam kandang lebih tahan terhadap panas

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai bahwa Gen MHC pada populasi sapi Perah Friesh Holland (FH)di Kabupaten Enrekang bersifat