• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penyiraman dan Penganginan terhadap Respon Termoregulasi dan Tingkat Konsumsi Pakan Sapi Fries Holland Dara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penyiraman dan Penganginan terhadap Respon Termoregulasi dan Tingkat Konsumsi Pakan Sapi Fries Holland Dara"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP

RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI

PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA

SKRIPSI

MUHAMMAD ISMAIL

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP

RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI

PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA

MUHAMMAD ISMAIL

D14101048

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

(3)

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP

RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI

PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA

Oleh

MUHAMMAD ISMAIL

D14101048

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan

Komisi Ujian Lisan pada tanggal 17 April 2006

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr.

NIP. 131 471 379

Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.

NIP. 131 849 398

Dekan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ISMAIL. D14101048. 2006.

Pengaruh Penyiraman dan Penganginan

terhadap Respon Termoregulasi dan Tingkat Konsumsi Pakan Sapi Fries Holland

Dara

. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Bagus P. Purwanto, M.Agr.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.

Sapi perah yang dikembangkan di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah

bangsa Fries Holland (FH) dan peranakannya. Sapi FH termasuk bangsa yang paling

rendah daya tahannya terhadap panas. Permasalahan muncul ketika sapi FH

dibudi-dayakan di daerah beriklim tropis, sehingga memerlukan solusi yang efektif dan efisien,

yaitu modifikasi kondisi iklim mikronya.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh teknik rekayasa iklim mikro

kandang terhadap respon termoregulasi dan tingkat konsumsi pakan sapi FH dara.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah,

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor dari

tanggal 7 Juli sampai dengan 25 Agustus 2005.

Empat ekor sapi dara akan diuji dengan menggunakan rancangan percobaan bujur

sangkar latin pola 4 x 4. Perlakuan yang diberikan yaitu perlakuan kontrol, penyiraman,

penganginan, dan kombinasi penyiraman dengan penganginan. Peubah yang diamati,

yaitu aspek fisiologis yang terdiri dari suhu rektal, laju respirasi, denyut jantung, dan

konsumsi pakan. Data dianalisa dengan menggunakan Sidik Ragam dan dilanjutkan

dengan menggunakan Uji Tukey.

Kondisi lingkungan berpotensi menyebabkan cekaman ringan hingga sedang

terhadap sapi perah. Kondisi iklim mikro kandang memiliki rataan suhu udara sebesar

28,34

0

C (22-33

0

C), kelembaban udara sebesar 72,28% (54-92%), kecepatan angin

sebesar 0,55 m/s (0,2-1,8 m/s), dan THI sebesar 78,33 (71-84).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (T

A

), penyiraman (T

B

),

penganginan (T

C

), dan kombinasi penyiraman dengan penganginan (T

D

) berpengaruh

nyata (p<0,05) terhadap suhu rektal (T

A

= 39,1 + 0,09, T

B

= 39,0 + 0,09, T

C

= 39,0 +

0,13, dan T

D

= 38,7 + 0,12

0

C), laju respirasi (T

A

= 34 + 1,04, T

B

= 33 + 1,73, T

C

= 33 +

1,29, dan T

D

= 29 + 0,92 kali/menit), dan denyut jantung (T

A

= 86 + 0,57, T

B

= 83 + 1,50,

T

C

= 83 + 2,12, dan T

D

= 80 + 1,07 kali/menit) pada sore, dan pada malam hari hanya

laju respirasi yang menunjukkan adanya pengaruh dari perlakuan (T

A

= 32 + 1,30, T

B

=

31 + 2,16, T

C

= 32 + 3,11, dan T

D

= 29 + 1,03 kali/menit). Tingkat konsumsi pakan

harian dan pagi tidak dipengaruhi perlakuan, akan tetapi perlakuan dapat meningkatkan

konsumsi pakan bahan kering sebesar 3,86 + 2,02%, protein kasar sebesar 4,17 + 1,64%,

dan

total digestible nutrient

3,83 + 2,05% pada pemberian sore hari

(5)

ABSTRACT

The Effect of Sprinkler and Aeration to Thermoregulatory Responses and Feed

Consumption of Fries Holland Heifer

Ismail, M., B.P. Purwanto, and A. Sudarman

Dairy cow which is developed in Indonesia, generally derived from Fries Holland

(FH) breed. FH is less suitable in tropical area because of its low heat tolerance.

Modification of its micro-climate is needed as an effective and efficient solution to the

problem above. The aim of this study was to evaluate the effect of micro-climate

modification to FH heifer’s thermoregulatory responses and feed consumption. The study

was conducted at Field Laboratory of Dairy Production Science Division, Department of

Animal Production Technology, Bogor Agricultural University, from July 7

th

to August

25

th

2005. Four heifers were subject to Latin Square Experimental Design of 4 x 4

patterns. The treatments were control, sprinkler, aeration and combination of sprinkler

and aeration. The variables observed were physiology aspect consisted of rectal

temperature, respiration rate, heart rate and feed consumption. Data was analyzed by

Analysis of Variance followed by Tukey test. Barn micro-climate condition was potential

made mild heat-stress until middle heat-stress for dairy cattle with its average value is

28,34

o

C in temperature (22-33

o

C), 72,28% in humidity (54-92%), 0,55 m/s in wind

speed (0.2-1.8 m/s) and 78,33 in THI (71-84). The results showed that control (T

A

),

sprinkler (T

B

), aeration (T

C

), and combination of sprinkler and aeration treatments (T

D

)

affected (p<0.05) rectal temperature (39,1 + 0,09, 39,0 + 0,09, 39,0 + 0,13, and 38,7 +

0,12

0

C, respectively), respiration rate (34 + 1,04, 33 + 1,73, 33 + 1,29, and 29 + 0,92

times/minute, respectively), and heart rate (86 + 0,57, 83 + 1,50, 83 + 2,12, and 80 + 1,07

wave/minute, respectively) in the afternoon, but in the night only respiration rate was

affected by treatments (32 + 1,30, 31 + 2,16, 32 + 3,11, and 29 + 1,03 times/minute,

respectively). Daily and morning feed consumption was not affected by treatments, but

the treatments could increasing feed consumption until 3,86 + 2,02% for dry matter, 4,17

+ 1,64% for crude protein, and 3,83 + 2,05% for total digestible nutrient in the afternoon.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Maret 1983. Penulis adalah anak

kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Harry Herman Kabul dan Ibu Siti

Nurjanah.

Pendidikan

penulis

diselesaikan

pada tahun 1995 di SDN Ciujung 3 Bandung.

Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SLTPN 2

Bandung dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 8

Bandung.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Program Studi

Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peter-nakan,

Fakultas Peternakan melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.

Selama

mengikuti

perkuliahan, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan intra

kampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (2001-2002),

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (2002-2004), Unit Kegiatan Mahasiswa

Forum for Scientific Studies (2004-2005), dan Badan Eksekutif Mahasis-wa Keluarga

Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (2005-sekarang).

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Penyiraman dan Penganginan

terhadap Respon Termoregulasi dan Tingkat Konsumsi Pakan Sapi Fries Holland Dara”

dibawah bimbingan Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. dan Dr. Ir. Asep Sudarman,

M.Rur.Sc.

Skripsi ini terinspirasi dari sistem pendingin yang ada di Taman Hiburan Dunia

Fantasi Jakarta, berupa kombinasi penyiraman dengan penganginan dan kon-disi

Kabupaten Bogor pada bulan Mei hingga September merupakan musim ke-marau.

Penulis berusaha menguji teknik pendinginan tersebut untuk diterapkan di kandang.

Teknik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap me-kanisme

termoregulasi dan tingkat konsumsi pakan dari sapi Fries Holland (FH) dara sebelum

diaplikasikan di peternakan.

Pada penelitian ini, empat ekor sapi FH dara diberi empat perlakuan yang berbeda

selama empat puluh hari dari bulan Juli hingga bulan Agustus 2005. Respon yang

dihasilkan dari pemberian perlakuan diindikasikan empat hal, yaitu suhu rektal, laju

respirasi, denyut jantung, dan tingkat konsumsi pakan. Pemberian perlakuan tersebut

diharapkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap peubah pengamatan.

Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih banyak kekurangan, namun

penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat sebagai referensi penelitian sejenis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan dan dukungan secara moral, material, dan spiritual. Kritikan dan masukan sangat

penulis nantikan sebagai penambah wawasan keilmuan dari isi karya ini.

Dramaga, April 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ...

i

ABSTRACT ...

ii

RIWAYAT HIDUP ...

iii

KATA PENGANTAR ...

iv

DAFTAR ISI ...

v

DAFTAR TABEL ...

vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ...

ix

PENDAHULUAN ...

1

Latar Belakang ...

1

Perumusan Masalah ...

1

Tujuan ...

2

TINJAUAN PUSTAKA ...

3

Lingkungan Hidup Sapi FH ...

3

Termoregulasi ...

5

Suhu Rektal ...

9

Laju Respirasi ...

10

Denyut Jantung ...

11

Konsumsi Pakan ...

12

METODE

...

14

Lokasi dan Waktu ...

14

Materi ...

14

Rancangan ...

15

Perlakuan ...

15

Model ...

16

Peubah ...

16

Analisis Data ...

16

Prosedur ...

17

HASIL DAN PEMBAHASAN...

21

Keadaan Umum Penelitian ...

21

Kondisi Iklim Mikro Lokasi Penelitian ...

21

Pemberian Perlakuan dan Pengukuran Peubah Fisiologis ...

24

(9)

Suhu

Rektal

...

25

Laju

Respirasi

...

28

Denyut

Jantung

...

32

Pengaruh

Perlakuan

terhadap

Tingkat Konsumsi Pakan ...

35

Kebutuhan Nutrisi Sapi Perah Penelitian ...

35

Perbandingan

Pengaruh

Perlakuan terhadap Tingkat Konsumsi

Pakan

...

35

Analisa Kecukupan Nutrisi ...

37

KESIMPULAN DAN SARAN...

44

Kesimpulan ...

44

Saran ...

44

UCAPAN TERIMA KASIH ...

45

DAFTAR PUSTAKA ...

46

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Tabel Modifikasi Wierama untuk Identifikasi Cekaman Panas berdasarkan

Temperature-Humidity Index

(THI) ... 4

2. Pemberian Hijaun dan Konsentrat pada Sapi Dara ... 13

3. Kandungan Nutrisi Rumput Gajah (

Pennisetum purpureum

) dan

Konsentrat ... ... 14

4. Urutan Perlakuan Penelitian ... 15

5. Kebutuhan Sapi Dara akan BK, PK, dan TDN berdasarkan Bobot

Hidup ... . 19

6. Data Rataan Iklim Mikro Lingkungan Kandang ... ... 21

7. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal ... 26

8. Pengaruh Perlakuan terhadap Laju Respirasi ... 29

9. Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung ... ... 33

10. Kebutuhan Nutrisi Sapi Penelitian akan BK, PK, dan TDN ... 35

11. Perbandingan Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat Konsumsi Pakan ... 37

12. Analisa Kecukupan Nutrisi Bahan Kering ... 39

13. Analisa Kecukupan Nutrisi Protein Kasar ... 41

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Suhu Tubuh sebagai Keseimbangan Pelepasan dan Produksi Panas ...

6

2. Mekanisme Termoregulasi pada Ternak ...

8

3. Model Sistem Regulasi Suhu Tubuh ...

9

4. Teknik Pemberian Perlakuan ... 16

5. Skema Prosedur Aktivitas Harian Penelitian ... 20

6. Grafik Rataan Harian Kecepatan Angin Penelitian ... 21

7. Grafik Rataan Harian Suhu Udara Penelitian ... 22

8. Grafik Rataan Harian Kelembaban Udara Penelitian ... 22

9. Grafik Rataan Harian

Temperature-Humidity Index

(THI) Penelitian .... 23

10. Rataan Suhu Rektal Penelitian ... 26

11. Rataan Laju Respirasi Penelitian ... 29

12. Rataan Denyut Jantung Penelitian ... 33

13. Rataan Analisis Kecukupan Nutrisi Bahan Kering (BK) ... 39

14. Rataan Analisis Kecukupan Nutrisi Protein Kasar (PK) ... 41

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Hasil Analisis Kualitas Konsentrat ... ... 51

2. Sidik Ragam Suhu Rektal Pengukuran Pagi... ... 51

3. Sidik Ragam Suhu Rektal Pengukuran Siang ... 52

4. Sidik Ragam Suhu Rektal Pengukuran Sore... ... 52

5. Sidik Ragam Suhu Rektal Pengukuran Malam ... 52

6. Sidik Ragam Laju Respirasi Pengukuran Pagi ... 52

7. Sidik Ragam Laju Respirasi Pengukuran Siang ... 52

8. Sidik Ragam Laju Respirasi Pengkuran Sore ... 53

9. Sidik Ragam Laju Respirasi Pengukuran Malam ... 53

10. Sidik Ragam Denyut Jantung Pengukuran Pagi ... 54

11. Sidik Ragam Denyut Jantung Pengukuran Siang ... 54

12. Sidik Ragam Denyut Jantung Pengukuran Sore ... 54

13. Sidik Ragam Denyut Jantung Pengukuran Malam ... 54

14. Sidik Ragam Konsumsi BK Total ... 54

15. Sidik Ragam Konsumsi BK Pagi Hari ... 55

16. Sidik Ragam Konsumsi BK Sore Hari ... 55

17. Sidik Ragam Konsumsi PK Total ... 56

18. Sidik Ragam Konsumsi PK Pagi Hari ... 56

19. Sidik Ragam Konsumsi PK Sore Hari ... 56

20. Sidik Ragam Konsumsi TDN Total ... 57

21. Sidik Ragam Konsumsi TDN Pagi Hari ... 57

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah yang dikembangkan di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah bangsa Fries Holland (FH), peranakan, dan persilangan dengan sapi lokal. Sapi FH diantara bangsa sapi perah yang ada di dunia termasuk bangsa sapi yang paling rendah daya tahan panasnya. Sapi FH dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila tempat hidupnya berada di lingkungan yang memiliki suhu udara sebesar 18,3 0C dan kelembaban udara sebesar 55% (Sutardi, 1981).

Permasalahan muncul ketika sapi FH dibudidayakan di daerah beriklim tropis yang memiliki rataan suhu musiman berkisar 27 0C, yaitu berupa cekaman panas. Permasalahan tersebut memerlukan solusi yang efektif. Salah satunya adalah mela-kukan rekayasa atau modifikasi kondisi iklim mikro kandang.

Teknik modifikasi kondisi iklim mikro kandang yang dapat digunakan para peternak banyak jenisnya, diantaranya teknik penyiraman dan teknik penganginan. Kedua teknik tersebut telah diuji sebelumnya secara terpisah oleh Sukarli (1995), Hadi (1995), dan Yanis (1996). Ketiganya menyatakan bahwa pada taraf tertentu dari masing-masing perlakuan atau teknik pendinginan memperlihatkan adanya perbaikan respon termoregulasi akibat cekaman panas yang ditimbulkan oleh kondisi ling-kungan, terutama lingkungan kandang.

Akan tetapi cara yang paling efektif dari kedua teknik pendinginan tersebut belum diketahui. Atas dasar deskripsi diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat diperoleh informasi tentang efektivitas dari setiap teknik pendinginan untuk mengatasi cekaman panas.

Perumusan Masalah

(14)

Tujuan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan Hidup Sapi FH

Bioklimat atau lingkungan biologis dan cuaca dari hewan ternak dapat menimbulkan derajat pembatas pada performa dan fungsi fisiologisnya. Banyak faktor utama lingkungan yang berpengaruh terhadap fisiologi ternak. Faktor lingkungan yang utama sebagai pembatas adalah faktor iklim atau meteorologi, nutrisi dan pastura, penyakit dan parasit, dan manajemen (Johnson, 1987). Dari faktor meteorologi, unsur cuaca atau iklim yang bermanfaat bagi kehidupan menurut Nasir (1995) terdiri dari radiasi surya, lama penyinaran, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara, kecepatan dan arah angin, penutupan awan, dan evaporasi/eva-potranspirasi.

Evaluasi hubungan antara performa fisiologi ternak dengan lingkungannya secara teori berdasarkan konsep thermo neutral zone (TNZ). TNZ menurut Taylor dan Field (2004) didefinisikan sebagai suatu kisaran temperatur sekitar yang efektif bagi ternak ditandai dengan laju dan efisiensi performa dimaksimalkan dan kesehatan pada kondisi optimal. Menurut Yousef (1984) kisaran TNZ sapi perah berada pada suhu 0-16 0C. Sedangkan menurut Johnson (1984) untuk mengevaluasi hubungan performa fisiologi ternak dengan lingkungan, metode yang sering diguna-kan para peneliti adalah Indeks Suhu dan Kelembaban (Temperature-Humidity In-dex/THI).

THI menurut Yousef (1984) adalah indeks yang yang memformulasikan dua komponen iklim, yaitu suhu udara dan kelembaban udara dengan rumus :

THI = Tbk + (0,36 x Tbb) + 41,2. Keterangan : Tbk : Termometer bola kering Tbb : Termometer bola basah Bentuk keeratan hubungan antara nilai THI dengan performa fisiologi ternak menurut Johnson (1984) tampak pada peubah produksi susu, konsumsi hay, dan suhu rektal. Dijelaskan lebih lanjut setiap peningkatan satu angka THI memiliki pengaruh berupa penurunan 0,26 kg produksi susu, penurunan 0.23 kg konsumsi hay, dan pe-ningkatan 0,12 0C suhu rektal.

(16)

Tidak stress / normal

terkena cekaman panas. Cekaman panas menjadi fokus dalam industri peternakan, khususnya sapi perah, karena pada saat terkena cekaman panas, tubuh ternak cende-rung memproduksi panas lebih banyak dari kondisi normal, sedangkan pelepasan panasnya tidak berjalan dengan baik, sehingga aktivitas biologis sapi tersebut lebih memfokuskan pada pemeliharaan diri (maintenance) dari pada pertumbuhan maupun produksi (Adisuwiryo et al., 1983). Cekaman panas ini dapat terjadi secara meteoro-logi akibat pengaruh faktor energi radiasi, suhu udara, kelembaban relatif, dan kece-patan angin (West et al., 2003).

Identifikasi cekaman panas pada sapi perah saat ini lebih mudah dilakukan, karena menurut Berman (2005) cekaman panas pada sapi perah erat kaitannya dengan dengan nilai THI. Pernyataan ini diperkuat dengan metode klasifikasi cekaman panas yang dilakukan Steevens (1997) dan Pennington dan VanDevender (2004). Steevens (1997) melakukan klasifikasi potensi cekaman panas dengan men-jadi tiga katagori, yaitu waspada (nilai THI = 75-78), bahaya (nilai THI = 79-83), dan darurat (nilai THI diatas 84). Sedangkan Pennington dan VanDevender (2004) melakukan klasifikasi tersebut dengan Tabel Modifikasi Wierama menjadi tiga katagori, yaitu cekaman ringan (nilai THI = 72-79), cekaman sedang (nilai THI = 80-89), dan cekaman berat (nilai THI = 90-98)

Tabel 1. Tabel Modifikasi Wierama untuk Identifkasi Cekaman Panas berda- sarkan Temperature Humidity Index (THI, Penington dan

VanDe-vender, 2004)

SUHU KELEMBABAN RELATIF

0C 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

24 72 72 73 73 74 74 75 75

27 72 72 73 73 74 74 75 76 76 77 78 78 79 79 80 29 72 72 73 74 75 75 76 77 78 78 79 80 81 81 82 83 84 84 85 32 72 73 74 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84 85 86 86 87 88 89 90 35 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 38 77 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 98 99 41 79 80 82 83 84 86 87 88 89 91 92 93 95 96 97

43 81 83 84 86 87 89 90 91 93 94 96 97 46 84 85 87 88 90 91 93 95 96 97 49 86 88 89 91 93 94 96 98

Keterangan : Cekaman ringan (mild stress) Cekaman sedang (middle stress) Cekaman berat (severe stress)

(17)

Pertanda yang umum tampak pada saat sapi perah tercekam pada suhu sekitar 26,6 hingga 32,2 0C dan kelembaban udara berkisar 50 hingga 90%, yaitu laju respirasi yang cepat, berkeringat sebanyak-banyaknya, dan penurunan kira-kira 10% pada produksi susu dan konsumsi pakan (Pennington dan VanDevende, 2004).

Efek negatif dari cekaman panas terhadap sapi perah harus diantisipasi oleh peternak. Beberapa teknik untuk mengurangi intensitas cekaman panas yang telah dilakukan para peternak dan diuji oleh para ilmuwan, diantaranya yaitu menyediakan naungan (Janni, 1999; Steevens, 1997; dan Worley, 1999), menyediakan ventilasi yang baik sehingga pertukaran udara optimal, salah satunya dengan menggunakan kipas (Janni, 1999; Steevens, 1997; Keown dan Grant, 2005; dan Worley, 1999), menggunakan sistem penyiraman (Janni, 1999; Steevens, 1997; dan Worley, 1999), memodifikasi pakan dengan mengurangi konsumsi pakan hijauan dan meningkatkan ketersedian air minum (Keown dan Grant, 2005), melakukan pengawasan terhadap lalat, melalui sanitasi kandang (Jones dan Stalling, 1999), manajemen perkandangan, berupa modifikasi rancangan dan alas kandang (Steevens,1997), menggunakan sistem kombinasi penyiraman dan penganginan (Worley, 1999), dan menggunakan sistem pengkabutan bertekanan tinggi (Worley, 1999). Beberapa teknik telah diujikan, diantaranya oleh Sukarli (1995), Hadi (1995), dan Yanis (1996), yaitu penyiraman dan penganginan. Ketiganya menyatakan bahwa pada taraf tertentu dari masing-masing perlakuan atau teknik pendinginan memperlihatkan adanya respon termoregulasi yang dapat mengatasi cekaman panas yang ditimbulkan dari kondisi lingkungan, terutama lingkungan kandang.

Termoregulasi

(18)

Konsep dasar termoregulasi adalah keseimbangan antara produksi panas dan pelepasan panas (Esmay dan Dixon, 1986). Keseimbangan panas menurut William-son dan Payne (1993) dipengaruhi oleh produksi panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, dan naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau didapat dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi, dan radiasi. Keseimbangan ini lebih lanjut Yousef (1984) ilustrasikan sebagai neraca kesetimbangan seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Suhu Tubuh ( 0C)

Gambar 1 menjelaskan bahwa kestabilan suhu tubuh terbentuk dari kesetim-bangan proses produksi panas dengan pelepasan panas tubuh. Produksi panas dalam tubuh bersumber dari empat sumber pembangkit, yaitu makanan, cadangan tubuh, fermentasi rumen/sekum, dan lingkungan. Tingkat produksi panas dalam tubuh

di-Dipengaruhi oleh : - Hormon kalorigenik - Produksi :

¾ Susu

¾ Daging

¾ Wool - Aktivitas otot - Kebutuhan pokok

Sumber : - Makanan - Cadangan Tubuh - Fermentasi Rumen/ Sekum

- Lingkungan

Produksi panas Dipengaruhi oleh :

- Luas permukaan tubuh - Penutup tubuh - Pertukaran air - Aliran darah - Lingkungan :

¾ Suhu

¾ Kecepatan angin

¾ Kelembaban Pelepasan panas Evaporasi Respirasi Kulit Non Evaporasi Radiasi Konveksi Konduksi

HYPOTHERMIA HYPERTHERMIA

N o r m a l

(19)

pengaruhi oleh konsentrasi hormon kalorigenik, proses produksi (susu, daging, atau wool), aktivitas otot, dan kebutuhan pokok. Sedangkan pelepasan panas tubuh dapat dilakukan melalui dua cara yaitu non evaporasi (konduksi, konveksi, dan radiasi) dan evaporasi (respirasi dan kulit). Intensitas laju pelepasan panas dipengaruhi luas permukaan tubuh, penutup tubuh, pertukaran air, aliran darah, dan lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin).

Kondisi ideal antara produksi panas dan pelepasan panas terjadi kese-timbangan. Namun pada saat tertentu, ternak dapat mengalami ketidaksetimbangan yang dinamakan kondisi hipertermia dan hipotermia. Kondisi hipertermia dapat ter-jadi apabila produksi panas lebih banyak dilakukan oleh ternak dari pada pelepasan panas, sedangkan hipotermia dapat terjadi apabila pelepasan panas lebih banyak dila-kukan oleh ternak dari pada produksi panas.

Termoregulasi yang terjadi didalam tubuh ternak dilakukan secara sistematis oleh organ-organ yang saling berhubungan dalam proses yang kompleks. Menurut Blight (1984) setidaknya ada lima hal pokok yang harus ada dalam proses termore-gulasi, yaitu deteksi gangguan oleh sensor, transmisi informasi dari sensor menuju pusat interpretasi, interpretasi atau penerjemahan sinyal dari sensor dan inisiasi sinyal perintah yang tepat, kemudian ditransmisikan menjadi respon efektor, ekse-kusi respon, dan umpan balik dari efektivitas respon efektor berupa mengurangi atau meniadakan sinyal gangguan. Proses pengaturan suhu tubuh sapi merupakan hasil kerja yang saling berhubungan antara beberapa organ tubuh. Secara fisiologis mekanisme pengaturan suhu tubuh diilustrasikan oleh Blight (1984) seperti pada Gambar 2.

(20)

Keterangan : Cut : Kulit, SC : Sumsum tulang belakang, AH : Hipofisa anterior.

Gambar 2. Mekanisme Termoregulasi pada Ternak

Tahap berikutnya adalah eksekusi respon yang diim-plementasikan oleh efektor pelepasan panas maupun efektor produksi panas dengan organ target adalah jantung dan paru-paru. Tahap terakhir dari proses termoregulasi pada ternak adalah adanya umpan balik dari efektivitas respon efektor berupa mengurangi atau meniadakan sinyal gangguan melalui pembuluh darah nadi.

Proses pengaturan suhu tubuh, selain dilakukan secara autonom, dapat dilaku-kan pula dengan tingkah laku ternak. Pernyataan ini berdasardilaku-kan kepada model sistem regulasi suhu tubuh yang disajikan pada Gambar 3. Pada gambar ini diilus-trasikan bahwa proses regulasi suhu tubuh diawali dari penerimaan sinyal gangguan dari detektor panas maupun detektor dingin pada syaraf tepi. Sinyal ini selanjutnya diteruskan ke hipotalamus oleh sel-sel syaraf (neuron). Di hipotalamus neuron akan melakukan dua aktivitas yaitu eksitasi dan inhibisi yang diterjemahkan dalam bentuk mekanisme autonom dan tingkah laku. Kedua aktivitas ini ditentukan dari sumber sinyal pada syaraf tepi. Apabila sinyal yang dibawa bersumber dari detektor panas, maka neuron di hipotalamus akan mengeksitasi neuron pelepasan panas dan mengin-hibisi neuron produksi panas. Begitu pula sebaliknya, apabila sinyal yang dibawa bersumber dari detektor panas, maka neuron di hipotalamus akan mengeksitasi neu-ron produksi panas dan menginhibisi neuneu-ron pelepasan panas.

Sistem Syaraf Pusat

Efektor Pelepas

Panas

Efektor Produksi

Panas

Jantung dan Paru-paru

SC AH Cut

Sensor Panas

Sensor Dingin

Umpan balik = Pembuluh darah nadi

Menaikan/ menurunkan

(21)

Keterangan : Eksitasi Neuron

Inhibisi Sumber : Stewart (1991)

Gambar 3. Model Sistem Regulasi Suhu Tubuh

Berdasarkan ilustrasi yang dijelsakan sebelumnya diperoleh informasi bahwa organ target eksekusi dari aktivitas termoregulasi adalah jantung, paru-paru, dan pembuluh darah nadi. Untuk mengetahui respon tersebut Sukarli (1995), Hadi (1995), dan Yanis (1996) menyatakan bahwa peubah fisiologi yang sering digunakan pada penelitian termoregulasi, diantaranya adalah suhu rektal, laju respirasi, dan denyut jantung.

Suhu Rektal

Suhu didefinisikan sebagai cerminan energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul (Handoko, 1993). Definisi ini menginsyaratkan bahwa suhu pada tubuh organisme terdapat variasi, baik antar organisme maupun antar organ. Per-bedaan ini berkaitan dengan kemampuan organisme tersebut mengatur suhu tubuh-nya dan kemampuan organ tersebut menghasilkan panas (Creel, 1999).

Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen, 1997). Entin (2003) mendeskripsikan suhu tubuh dengan rumus : Body Temp = 0.7 (Core Temp) + 0.3 (Skin Temp). Rumus tersebut

me-Hipotalamus

Mekanisme autonom, contoh :menggigil

Tingkah laku, contoh : bergerak ke lingkungan yang hangat

Mekanisme autonom, contoh :berkeringat

Tingkah laku, contoh : bergerak ke lingkungan yang dingin

Pelepasan panas

Produksi panas

Alur dari syaraf tepi ke hipotalamus

Sinyal dari detektor panas pada syaraf tepi

(22)

nunjukkan bahwa 70% pengukuran suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu inti (core temperature).

Suhu inti mendominasi penentuan suhu tubuh dikarenakan suhu inti relatif lebih konstan daripada suhu permukaan kulit (Schmidt-Nielsen, 1997). Dalam ilmu kedokteran, anggota tubuh yang dapat mewakili suhu inti diantaranya yaitu rektum, telinga, dan esofagus (Entin, 2003).

Mammalia sebagai organisme homeotermis memiliki kisaran suhu tubuh yang relatif konstan pada kisaran 37-40 0C (Creel, 1999). Pada sapi perah, suhu tubuh (suhu rektal) normal berada pada kisaran 37,8-39,2 0C dengan rataan suhu rektal sebesar 38,5 0C (Kelly, 1984). Sedangkan Ensminger (1971) menyatakan suhu rektal sapi perah berkisar 38,0-39,3 0C dengan rataan 38,4 0C. Walaupun demikian pada kondisi tertentu suhu rektal dapat bervariasi, diantaranya saat estrus/birahi, per-gantian musim, dan perper-gantian waktu antara pagi hari dengan sore hari (Curtis, 1983)

Laju Respirasi

Respirasi didefinisikan sebagai aktivitas menangkap oksigen dan melepaskan karbon dioksida (Schmidt-Nielsen, 1997). Pertukaran udara pada hewan dapat terjadi karena terlibatnya proses kimia dan fisik dalam aktivitas ini (Kelly, 1984). Menurut Frandson (1992) sistem respirasi memiliki dua fungsi, yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer meliputi aktivitas pertukaran gas oksigen dengan karbon dioksida, sedangkan fungsi sekunder meliputi aktivitas membantu mengendalikan suhu tubuh, regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, eliminasi air, dan pembentukan suara (fonasi).

(23)

Pengukuran laju respirasi dalam penelitian termoregulasi perlu dilakukan, karena peubah yang mengindikasikan mekanisme termoregulasi berfungsi normal, salah satunya adalah laju respirasi (Taylor dan Field, 2004) . Menurut Kelly (1984) pengukuran laju respirasi dilakukan pada saat ternak tersebut berada pada posisi berdiri. Adapun yang diukur adalah pergerakan tulang dada dan tulang rusuk atau pergerakan perut. Laju respirasi sapi pada kondisi normal berkisar 10-30 kali per menit (Kelly, 1984 dan Ensminger, 1971).

Denyut Jantung

Denyut jantung menurut Frandson (1992) merupakan urutan peristiwa yang terjadi secara kontinu pada jantung, berupa gerakan diastole (relaksasi) dan gerakan sistole (kontraksi). Aktivitas denyut jantung dikendalikan oleh sistem syaraf simpa-tetik yang bersifat meningkatkan denyut jantung dan sistem syaraf parasimpasimpa-tetik yang bersifat menurunkan denyut jantung (Rastogi, 1977).

Pengukuran denyut jantung dalam penelitian termoregulasi perlu dilakukan, karena peubah denyut jantung dapat memperkuat indikasi berfungsinya mekanisme termoregulasi secara normal, karena aktivitas denyut jantung memiliki hubungan yang erat dengan laju respirasi. Hal ini berkenaan dengan fungsi jantung sebagai organ pemompa darah dan fungsi darah itu sendiri dalam sistem respirasi sebagai media transportasi oksigen dan karbon dioksida.

Pemeriksaan denyut nadi pada sapi dapat dilakukan berbagai cara, diantara-nya memeriksa arteri dibagian wajah, median, ekor bagian tengah (Kelly, 1984), dan rongga dada dengan menggunakan stetoskop (Sukarli,1995; Hadi,1995; dan Yanis, 1996). Denyut jantung yang normal pada sapi berkisar 55-80 kali per menit (Kelly, 1984), sedangkan menurut Ensminger (1971) denyut jantung normal sapi adalah 60-70 kali per menit.

(24)

Konsumsi Pakan

Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Ensminger (1991) pakan merupakan kontributor terbesar biaya produksi dalam industri peternakan, yaitu sekitar 45-55%. Sedangkan menurut Sudono (1999), biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Sehingga, program pemberian pakan yang baik sangat menguntungkan bagi para peternak.

Sapi yang sehat memerlukan sejumlah pakan yang cukup dan berkualitas, baik dari segi kondisi pakan maupun imbangan nutrisi yang dikandung. Menurut Akoso (1996) pakan yang diberikan kepada ternak harus mengandung unsur-unsur nutrisi makanan, yaitu air, karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Khusus pada sapi perlu adanya ketersediaan serat kasar yang cukup.

Sapi yang kondisi maupun imbangan nutrisinya baik dapat menjamin kese-hatan, pertumbuhan badan yang optimal, dan kesuburan reproduksi (Akoso, 1996). Hal ini dikarenakan nutrisi yang dikandung ransum/pakan menurut Gillespie (1992) akan digunakan untuk pertumbuhan bagi ternak yang belum dewasa, pemeliharaan janin di masa kebuntingan, penggemukan selama masa kering kandang, pemeliha-raan kondisi tubuh ternak dewasa, dan produksi susu.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka pemberian pakan kepada sapi perah hendaknya memperhatikan dua hal yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan pro-duksi (Sutardi, 1981). Pada sapi dara pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi dengan fokus utama adalah pertambahan bobot badan.

(25)

Tabel 2. Pemberian Hijauan dan Konsentrat pada Sapi Dara

Umur (bulan) Hijauan (kg) Konsentrat (kg)

12 – 18 15 2,25

18 – 24 20 2,50

24 – 30 25 2,75

30 – 36 30 3,00

Sumber : Sutardi (1981)

Berkenaan hubungan antara konsumsi pakan dengan faktor iklim lingkungan, hal yang harus diperhatikan adalah pengaruh iklim terhadap tingkat konsumsi. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan air yang diminum (water intake), efisiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air liur. Sedangkan pengaruh tidak langsung iklim terhadap tingkat konsumsi adalah ketersediaan sumber makanan di wilayah tersebut

(26)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama 50 hari dimulai dari tanggal 7 Juli hingga 25 Agustus 2005. Lokasi penelitian ini yaitu laboratorium lapang Bagian Ilmu Pro-duksi Ternak Perah, Departemen Ilmu ProPro-duksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak yang digunakan adalah empat ekor sapi FH dara yang memiliki rataan estimasi bobot badan sebesar 276 + 21,86 kg dan rataan umur ternak hingga hari terakhir penelitian yaitu 28 + 6,14 bulan. Ternak tersebut dipelihara dalam kandang individu dan diberi pakan berupa hijauan segar rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan konsentrat. Adapun kandungan nutrisi dari pakan sapi perah pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrisi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan Konsentrat

Kandungan Nutrisi Rumput Gajah a) Konsentrat b)

--- %---

Bahan Kering 22,20 83,49

Abu 12,00 13,21

Protein Kasar 8,69 6,44

Serat Kasar 32,3 14,51

Lemak Kasar 2,71 2,71

TDN 52,40 53,62c)

Keterangan : a) Sutardi, 1981

b) Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2005

c) Diperoleh melalui rumus Harris et al. dengan menggunakan kelas bahan 1 (Hartadi

et al., 1990)

(27)

Rancangan

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan adalah rancangan bujur sangkar latin pola 4 x 4 dengan menggunakan empat macam perlakuan, yaitu tanpa perlakuan atau kontrol (TA), penyiraman air sebayak 20 liter selama 15 menit (TB), penganginan dengan kecepatan 1,125 meter per detik (TC), dan kombinasi penyi-raman dengan penganginan (TD). Setiap ekor sapi FH akan mendapatkan satu perla-kuan setiap periode. Adapun urutan perlaperla-kuan selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Urutan Perlakuan Penelitian

Periode (minggu) Nomor Sapi FH dara

153 136 137 138

I D B A C

II A C D B

III B D C A

IV C A B D

Setiap perlakuan dilakukan selama 10 hari dengan pengukuran parameter fisiologis selama tiga hari (Armstrong, 1998; Keren, 2005), yaitu hari kedelapan hingga hari kesepuluh. Perlakuan diberikan hanya satu kali per hari selama satu jam pada pukul 13.30-14.30 dengan prosedur sebagai berikut :

a. Perlakuan kontrol. Pada perlakuan ini ternak tidak diberikan perlakuan apapun. b. Perlakuan penyiraman. Pada pelakuan ini menggunakan alat penyiram (sprayer)

empat lubang dengan masing-masing lubang berdiameter 1 mm sebanyak 20 l ke seluruh tubuh secara merata dan bergantian dari sisi atas, samping kiri, bawah, dan samping kanan (Sukarli, 1995).

c. Perlakuan pengangian. Perlakuan ini menggunakan kipas angin berdiameter 35 cm dengan kecepatan 1,125 m/s yang digantung pada ketinggian 1 m dari tubuh ternak (Yanis, 1996)

d. Perlakuan kombinasi penyiraman dan penganginan. Perlakuan ini menggunakan gabungan prosedur penyiraman dan penganginan.

(28)

Gambar 4. Teknik Pemberian Perlakuan

TA TB TC TD

Keterangan : TA : Perlakuan kontrol

TB : Perlakuan penyiraman air sebanyak 20 liter

TC : Perlakuan penganginan dengan kecepatan 1,125 m/s TD : Perlakuan kombinasi penyiraman dan penganginan

Model

Model linier dari rancangan bujur sangkar latin menurut Steel dan Torrie (1995) adalah Yijk = μ + αi +βj + τk + εijk, i = 1,2,3,4

j = 1,2,3,4

k = 1,2,3,4

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan dari urutan perlakuan dalam urutan periode sebagai efek baris, dan urutan ternak sebagai efek kolom

μ = Nilai tengah rataan respon termoregulasi dan tingkat konsumsi αi = Pengaruh aditif dari kondisi periode sebagai efek baris

βj = Pengaruh aditif dari kondisi ternak sebagai efek kolom

τk = Pengaruh aditif dari urutan perlakuan

εijk = Pengaruh galat percobaan dari urutan perlakuan, urutan periode sebagai bagian baris, dan urutan ternak sebagai bagian kolom

Peubah

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah aspek fisiologis yang terdiri dari suhu rektal, laju respirasi, denyut jantung, dan konsumsi pakan.

Analisis Data

(29)

dan konsumsi pakan pada hari kedelapan hingga hari kesepuluh setiap periodenya. Data statistik dari respon fisiologi ternak, kondisi lingkungan, dan konsumsi pakan diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel.

Analisa data penelitian berupa respon fisiologi ternak dan konsumsi pakan menggunakan Sidik Ragam (ANOVA) program Minitab Release 13.1. Jika hasil analisa menyatakan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Turkey untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Prosedur

Penelitian didahului dengan proses aklimatisasi selama sepuluh hari. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Spain et al. (1998) yang menyatakan pada hari kesepuluh kondisi fisiologis ternak tidak menunjukkan perubahan setelah terekspos pada kondisi lingkungan yang panas. Aklimatisasi dilakukan agar potensi terkena cekaman yang bersumber dari perpindahan kandang, iklim kandang, maupun perla-kuan pengukuran parameter dapat dikurangi.

Prosedur harian selama penelitian ini terdiri dari lima aktivitas, yaitu :

1. Perawatan ternak dan pembersihan kandang. Aktivitas ini dilakukan pagi hari, yaitu pukul 07.30-08.00.

2. Pengukuran kondisi iklim kandang, yang terdiri dari suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan THI. Pengukuran ini dilakukan setiap satu jam antara pukul 07.00-21.00. Adapun cara pengukurannya adalah sebagai beri-kut :

a. Suhu dan kelembaban udara kandang. Parameter ini diukur dengan menggunakan termometer bola basah dan bola kering di dalam kandang. Nilai suhu udara diperoleh dari besarnya nilai yang ditunjukkan oleh ter-mometer bola kering, sedangkan besarnya nilai kelembaban udara di-peroleh dari konversi selisih nilai termometer bola kering dan bola basah dengan nilai termometer bola kering.

b. Kecepatan angin. Parameter ini diukur dengan menggunakan anemometer di dalam kandang selama 30 detik.

c. Temperature-Humidity Index (THI). Peubah ini dihitung setiap hari dengan menggunakan rumus THI = Tbk + (0,36 x Tbb) + 41,2.

(30)

3. Pengukuran parameter respon fisiologi ternak, meliputi penukuran suhu rektal, laju respirasi, dan denyut jantung. Pemeriksaan ini dilakukan empat waktu, yaitu pukul 07.00-07.30, 13.00-13.30, 15.00-15.30, dan 21.00-21.30. Adapun teknik pengukurannya adalah sebagai berikut :

a. Suhu rektal. Peubah ini diukur dengan menggunakan termometer klinis yang dimasukkan ke dalam rektum sedalam lebih kurang 10 cm selama tiga menit (Yanis, 1996; Sukarli, 1995).

b. Frekuensi respirasi. Peubah ini diukur bersamaan pengukuran suhu rektal dengan menghitung pergerakan rongga dada setiap menitnya dengan pengulangan tiga kali ulangan (Yanis, 1996; Sukarli, 1995).

c. Frekuensi denyut jantung. Peubah ini diukur menggunakan stetoskop untuk menghitung detak jantung setiap menitnya dengan pengulangan tiga kali ulangan (Sukarli, 1995).

4. Pemberian pakan dan minum. Pemberian ini dilakukan dua kali dalam sehari selama dua jam, yaitu pagi pada pukul 09.00-11.00 dan sore pada pukul 17.00-19.00. Hijauan yang diberikan sebanyak 30 kg/ekor/hari dan konsentrat sebanyak 4 kg/ekor/hari. Prosedur pemberian pakan untuk hijauan terdiri dari penimbangan awal sebanyak 32 kg/ekor/hari, pelayuan, pencacahan, dan pe-nimbangan akhir sebanyak 30 kg/ekor/hari. Sedangkan prosedur untuk kon-sentrat hanya terdiri dari penimbangan sebanyak 4 kg/ekor/hari.

5. Evaluasi konsumsi pakan, dilakukan dua kali dalam satu hari setelah pem-berian pakan dan air minum. Pada aktivitas ini terdiri dari 3 prosedur perhitungan, yaitu :

a. Evaluasi konsumsi pakan bahan segar. Prosedur perhitungannya yaitu mengurangi sejumlah pakan yang diberikan dengan sejumlah pakan yang tersisa. Aktivitas ini dilakukan pada pukul 11.30-12.00 dan 19.30-20.00

(31)

(Pennisetum purpureum) dan konsentrat pada Tabel 4. Analisis ini dilakukan setelah penelitian selesai.

c. Analisis kecukupan nutrisi. Prosedur perhitungannya mengacu pada penelitian Sanusi (2005), yaitu selisih antara jumlah nutrisi pakan yang dikonsumsi dengan kebutuhan rata-rata ternak selama penelitian. Ada-pun tingkat kebutuhan nutrisi sapi dara dapat dilihat pada Tabel 5. Analisis ini dilakukan setelah penelitian selesai dan dilakukan ber-samaan dengan analisis konsumsi nutrisi pakan.

Tabel 5. Kebutuhan Sapi Dara akan BK, PK, dan TDN berdasarkan Bobot Hidup

Bobot Hidup (kg)

Kebutuhan (kg/hari)

Bahan Kering (BK) Protein Kasar (PK) Energi (TDN) 180-275 4,9 - 7,2 0,559 – 0,699 2,94 – 3,98 275-362 7,2 - 8,3 0,699 – 0,859 3,98 – 4,89 362-412 8,3 - 8,6 0,859 - 0,946 4,89 – 5,39 412-439 8,6 - 8,7 0,946 – 0,986 5,39 – 5,62

Sumber : Sutardi, 1981

[image:31.612.112.514.278.398.2]
(32)
[image:32.612.107.483.67.586.2]

Gambar 6. Skema Prosedur Aktivitas Harian Penelitian

Penimbangan awal (32 kg/ekor/hari)

Penimbangan akhir (30 kg/ekor/hari)

Pelayuan

Pencacahan

Pemberian pakan

Penimbangan (4 kg/ekor/hari)

Hijauan

Konsentrat

Pemberian perlakuan (13.30-14.30)

Pengukuran fisiologis III (15.00-15.30)

Pengukuran fisiologis IV (21.00-21.30) Pemberian pakan dan air

minum (17.00-19.00)

Evaluasi pemberian pakan (19.30-20.00) Pengukuran fisiologis I

(07.00-07.30)

Pemeliharaan ternak dan kandang (07.30-08.00)

Pemberian pakan dan air minum (09.00-11.00)

Pengukuran fisiologis II (13.00-13.30) Evaluasi pemberian pakan

(11.30-12.00)

(33)

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

07.00 09.00 11.00 13.00 14.00 15.00 17.00 19.00 21.00

Waktu Pengam atan Kec.angin (m /s)

Periode I Periode II Periode III Periode IV Rataan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian

Kondisi Iklim Mikro Lokasi Penelitian

[image:33.612.116.526.272.408.2]

Kondisi iklim mikro lokasi penelitian berada pada kisaran suhu udara sebesar 22-33 0C, kelembaban relatif sebesar 54-92%, kecepatan angin sebesar 0,2-1,8 m/s, dan Temperature-Humidity Index (THI) sebesar 71-84. Rataan kondisi iklim mikro dapat dilihat pada Tabel 6 dan grafik rataan harian dari masing-masing unsur iklim dapat dilihat pada Gambar 6, 7, 8, dan 9

Tabel 6. Data Rataan Iklim Mikro Lingkungan Kandang Periode

Pengamatan

Kondisi Iklim Suhu udara

(0C)

Kelembaban relatif (%)

Kecepatan angin (m/s)

Temperature-Humidity Index (THI)

Periode I 28,33 + 2,86 72,30 + 10,01 0,52 + 0,10 78,31 + 3,29

Periode II 28,06 + 2,95 70,87 + 10,83 0,49 + 0,13 77,88 + 3,36

Periode III 28,52 + 3,18 72,68 + 10,11 0,55 + 0,09 78,58 + 3,72

Periode IV 28,46 + 3,17 73,29 + 9,93 0,62 + 0,20 78,56 + 3,71

Rataan 28,34 + 0,16 72,28 + 0,41 0,55 + 0,05 78,33 + 0,23

[image:33.612.125.496.402.620.2]

Keterangan :

(34)

22,00 24,00 26,00 28,00 30,00 32,00 34,00

07.00 09.00 11.00 13.00 14.00 15.00 17.00 19.00 21.00

Waktu Pengam atan Suhu Kandang (0C)

Periode I Periode II Periode III Periode IV Rataan

57,00 60,00 63,00 66,00 69,00 72,00 75,00 78,00 81,00 84,00 87,00

07.00 09.00 11.00 13.00 14.00 15.00 17.00 19.00 21.00

Waktu Pengam atan Nilai RH (%)

Periode I Periode II Periode III Periode IV Rataan

[image:34.612.122.491.79.269.2]

Keterangan :

Gambar 7. Grafik Rataan Harian Suhu Udara Penelitian

Keterangan :

[image:34.612.135.484.360.555.2]
(35)

72,00 74,00 76,00 78,00 80,00 82,00 84,00

07.00 09.00 11.00 13.00 14.00 15.00 17.00 19.00 21.00

Waktu Pengam atan Nilai THI

Periode I Periode II Periode III Periode IV Rataan

[image:35.612.130.506.97.297.2]

Keterangan :

Gambar 9. Grafik Rataan Harian Temperature-Humidity Index (THI) Penelitian Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kondisi iklim lingkungan, yaitu suhu dan kelembaban udara penelitian secara fisiologis tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang nyaman bagi sapi FH dan berpotensi menyebabkan cekaman. Hal ini dikarena-kan nilai suhu dan kelembaban udara lokasi penelitian diatas suhu dan kelembaban udara zona termonetral bagi sapi perah didaerah tropis sebesar 18,5 0C dan 55% (Sutardi, 1981). Berdasarkan Tabel Modifikasi Cekaman Panas Wierama (Penington dan VanDevender, 2004), kondisi penelitian ini secara umum termasuk katagori cekaman ringan (mild stress).

Pada Gambar 6, 7, 8, dan 9 memperlihatkan ilustrasi kondisi iklim mikro lokasi penelitian berlangsung. Gambar 6 mengilustrasikan bahwa kecepatan angin tidak memiliki pola yang baku. Berbeda dengan Gambar 7, 8, dan 9, ketiga grafik tersebut mengilustrasikan bahwa suhu udara, kelembaban udara, dan nilai THI memiliki pola yang baku, yaitu pola parabolik.

(36)

perbandingan menyatakan bahwa secara keseluruhan iklim mikro lokasi penelitian berpotensi menyebabkan cekaman panas dengan puncaknya pada pukul 14.00 (THI = 82,23). Selang waktu antara pukul 07.00-11.00 dan 17.00-21.00, iklim mikro lingkungan berpotensi menyebabkan cekaman panas ringan (THI = 72-78), sedang-kan selang waktu antara pukul 11.00-17.00, iklim mikro lingkungan berpotensi menyebabkan cekaman panas tingkat menengah (THI = 79-84).

Pemberian Perlakuan dan Pengukuran Peubah Fisiologis

Pemberian perlakuan pendinginan, berupa penyiraman, penganginan, dan kombinasi penyiraman dengan penganginan dilakukan pada pukul 13.30-14.30. Pertimbangan perlakuan diberikan pada selang waktu tersebut, yaitu suhu udara berada pada titik puncak sedangkan kelembaban berada pada titik terendah. Kondisi ini memudahkan proses transfer panas pada tubuh ternak, baik secara evaporasi maupun non evaporasi.

Pemberian perlakuan pendinginan, memiliki konsep dasar untuk membantu ternak melakukan proses pelepasan panas. Sukarli (1995) menjelaskan bahwa perla-kuan penyiraman membantu ternak mengurangi cekaman panas melalui konduksi, konveksi, dan evaporasi kulit. Pelepasan panas dilakukan secara konduksi saat air disiramkan ke tubuh ternak terjadi proses transfer panas dari tubuh ke media air yang suhunya lebih dingin pada lapisan tipis yang berada disekitar kulit. Peristiwa ini menurut Handoko (1995) dinamakan pelepasan panas secara konduksi semu karena tidak sepenuhnya merupakan proses pemindahan panas dilakukan secara konduksi. Pelepasan panas secara konveksi dilakukan melalui transfer panas dari permukaan tubuh dengan udara yang mengalir dan lebih dingin dari suhu permukaan kulit yang berasal dari air yang disiramkan. Sedangkan pembuangan panas secara evaporasi pada penelitian Sukarli (1995) terjadi bersamaan dengan transfer panas secara kon-duksi dan konveksi didaerah kulit. Proses evaporasi ini mampu menurunkan suhu permukaan kulit dan memudahkan proses transfer panas melalui aktivitas respirasi, sehingga respirasi dapat dilakukan lebih dalam.

(37)

lanjutan pada permukaan kulit, yaitu evaporasi. Sama halnya seperti efek perlakuan penyiraman, proses evaporasi ini mampu menurunkan suhu permukaan kulit dan me-mudahkan proses transfer panas melalui aktivitas respirasi, sehingga respirasi dapat dilakukan dengan tenang.

Data respon fisiologi diambil pada pukul 07.00, 13.00, 15.00, dan 21.00. Pemilihan waktu pengambilan data respon fisiologi didasari pada tujuan pengukuran dan karakteristik iklim mikro.

Data respon fisiologi diambil pada pukul 07.00 dan 21.00 ditujukan untuk mengetahui respon ternak pada kondisi cekaman ringan (mild stress) dan menurut Salisbury et al. (1978) pengukuran pada pukul 07.00 dan 21.00 dapat membantu peternak untuk identifikasi terjadinya birahi. Hal ini perlu dilakukan karena secara fisiologi reproduksi sapi yang digunakan adalah sapi dara yang telah dewasa kelamin dan secara statistik berperan sebagai faktor koreksi bagi ternak yang mengalami birahi saat pengambilan data. Pada penelitian ini ditemukan sapi yang mengalami birahi, yaitu pada periode kedua hari kesembilan. Sehingga data fisiologis berupa suhu rektal, laju respirasi, dan denyut jantung yang diperoleh pada saat birahi, yaitu pengukuran malam hari terlebih dahulu dikoreksi sebelum diolah dengan cara menghilangkan data tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena siklus birahi dapat mempengaruhi produksi panas tubuh (Curtis, 1983)

Pengambilan data fisiologi pada pukul 13.00 ditujukan untuk mengetahui respon fisiologis ternak saat ternak tersebut berada pada kondisi cekaman tingkat menengah. Dan pengambilan data yang dilakukan pada pukul 15.00 ditujukan untuk mengetahui respon fisilogi ternak setelah ternak tersebut diberi perlakuan.

Pengaruh Perlakuan terhadap Respon Termoregulasi

Suhu Rektal

(38)

38.00 38.20 38.40 38.60 38.80 39.00 39.20

Pagi Siang Sore Malam

Waktu Pengamatan

S

uhu R

e

k

ta

l (

0 C)

Kontrol Penyiraman Penganginan Kombinasi

[image:38.612.117.520.162.296.2]

termoregulasi tubuh sapi penelitian masih berfungsi dengan baik. Gambaran tentang kondisi suhu rektal selama penelitian berlansung dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 10.

Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal (x + SD)

Waktu

Pengamatan

Nilai

THI

Perlakuan

Kontrol Penyiraman Penganginan Kombinasi

--- ( 0C)

---Pagi (07.00) 73,50 38,6 + 0,16 38,4 + 0,12 38,6 + 0,12 38,5 + 0,17

Siang (13.00) 82,15 39,1 + 0,07 39,1 + 0,11 39,1 + 0,12 39,1 + 0,14

Sore (15.00) 81,11 39,1 + 0,09a 38,9 + 0,09ab 39,0 + 0,13ab 38,7 + 0,12b

Malam (21.00) 73,92 39,0 + 0,06 38,9 + 0,08 39,0 + 0,16 38,8 + 0,10

(39,1 + 0,28)

Keterangan : - Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) - Angka didalam kurung ( ) merupakan data rataan yang belum terkoreksi; termasuk saat

[image:38.612.130.483.353.509.2]

sapi birahi

Gambar 10. Rataan Suhu Rektal Penelitian

Pengukuran pagi hari saat nilai THI sebesar 73,50 data menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Artinya semua ternak memberikan respon yang relatif sama, yaitu 38,4-38,6 0C. Hal ini terjadi karena menurut Curtis (1983) pada pagi hari panas yang dihasilkan di dalam tubuh ternak didominasi dari proses metabolisme, sedangkan penambahan panas dari lingkungan relatif lebih kecil.

Pengukuran siang hari saat nilai THI sebesar 82,23 menunjukkan adanya peningkatan suhu rektal sekitar 0,6 0C menjadi 39,1 0C pada seluruh perlakuan.

(39)

ningkatan ini terjadi karena adanya akumulasi panas yang berlangsung dalam tubuh ternak yaitu resultan produksi panas yang dihasilkan secara metabolis dan penam-bahan panas dari lingkungan. Peningkatan produksi panas dari aktivitas metabolis diperoleh ternak dari produksi panas basal, aktivitas pencernaan rumen, aktivitas otot, dan naiknya metabolisme untuk proses pertumbuhan sapi dara. Sedangkan pe-nambahan panas diperoleh tubuh ternak melalui makanan dan trnasfer panas dari lingkungan ke tubuh ternak secara konduksi, konveksi, maupun radiasi.

Pengukuran sore hari saat nilai THI sebesar 81,11 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Artinya terdapat perbedaan respon fisiologis yang diperlihatkan ter-nak untuk menjaga keseimbangan panas tubuhnya setelah mengalami perlakuan ber-beda. Tabel 7 menunjukkan suhu rektal yang terendah dihasilkan perlakuan kombi-nasi penyiraman dengan penganginan.

Tingginya suhu rektal pada perlakuan kontrol sebesar 39,1 0C merupakan hasil akumulasi produksi panas yang diterima maupun yang dihasilkan tubuh ternak saat siang hari, sedangkan kemampuan ternak melepaskan panas tubuh tidak langsung dengan baik. Perlakuan tunggal penyiraman maupun penganginan ber-dasarkan Tabel 7 kurang efektif mereduksi cekaman panas, karena kedua perlakuan tersebut tidak optimal membantu melepaskan panas tubuh ternak. Hal ini berdasar-kan kemampuan kedua perlakuan tersebut dalam menurunberdasar-kan suhu rektal sebesar 0,20 dan 0,10 0C menjadi 38,9 dan 39,0 0C berturut-turut untuk perlakuan tunggal penyiraman dan penganginan.

Perlakuan tunggal penyiraman dinilai kurang efektif karena air yang disi-ramkan ke tubuh ternak mudah menguap sehingga proses pelepasan panasnya ber-langsung singkat. Selain itu, secara teknis pemberian perlakuan kurang memenuhi persyaratan spefikasi peralatan. Menurut Worley (1999) hal yang perlu diperhatikan dalam memilih alat penyiram (sprayer) adalah kapasitas mulut pipa (nozzle) sebesar 0,5-2 gallon per minute atau setara dengan 1,9-7,7 liter per menit. Sedangkan pada penelitian ini kapasitas nozzle yang digunakan adalah 1,33 liter per menit (20 liter per 15 menit).

(40)

perlakuan ini disebabkan faktor teknis, yaitu lama penganginan dan peng-gunaan alat. Yanis (1996) menyatakan bahwa lama penganginan yang efektif untuk mengatasi cekaman panas pada kecepatan 1,125 m/s adalah 120 menit. Penggunaan alat yang direkomendasikan Worley (1999) dan Jones dan Stalling (1999), yaitu kipas berdiameter 36-48 inci (0,91- 1,22 m) dipasang 30-40 kaki (9,14 - 12,92 m) diatas lantai dengan sudut kemiringan 300 arah vertikal. Pada penelitian ini kipas angin yang digunakan berdiameter 0,35 m dipasang tegak lurus dengan tubuh sapi pada ketinggian 2,4 m dari permukaan lantai. Ukuran rekomendasi diameter kipas dan tinggi penempatan kipas bila dikonversikan sesuai ukuran penelitian maka di-peroleh tinggi penempatan kipas angin sebesar 3,5-3,7 m diatas permukaan lantai. Tinggi penempatan kipas pada penelitian telah memenuhi tinggi optimal penempatan kipas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor teknis penggunaan alat yang menyebabkan perlakuan penganginan kurang efektif mereduksi panas adalah sudut kemiringan kipas angin terhadap tubuh ternak.

Perlakuan kombinasi penyiraman dan penganginan pada pengukuran sore hari berdasarkan Tabel 7 menunjukkan hasil yang efektif menurunkan suhu rektal sebesar 0,40 0C menjadi 38,7 0C. Penurunan ini merupakan efek akumulasi pelepasan panas tubuh yang dihasilkan dari kombinasi dua perlakuan. Perlakuan menjadi lebih efektif dikarenakan proses transfer panas dari tubuh ternak ke lingkungan berlangsung optimal dengan penguatan pada proses transfer panas secara konveksi dan evaporasi sehingga lingkungan kandang relatif lebih nyaman.

Pengukuran suhu rektal pada malam hari saat nilai THI sebesar 73,92 me-nunjukkan kondisi suhu rektal yang tidak berbeda antar perlakuan. Tercatat suhu rektal ternak pada malam hari berada pada kisaran suhu 38,8-39,0 0C. Kisaran ini menandakan bahwa ternak tersebut pada kondisi lingkungan yang nyaman.

Laju Respirasi

(41)

20.00 22.00 24.00 26.00 28.00 30.00 32.00 34.00 36.00 38.00

Pagi Siang Sore Malam

Waktu Pengamatan L a ju R e s p ir a s i (k a li/me n it )

Kontrol Penyiraman Penganginan Kombinasi

[image:41.612.115.520.260.393.2]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon termoregulasi, berupa laju res-pirasi bervariasi antar pelakuan. Laju resres-pirasi penelitian berkisar antara 26-36 kali per menit. Hasil ini menunjukkan bahwa pada kondisi lingkungan tertentu ternak mengalami cekaman, karena kisaran normal laju respirasi ternak sapi menurut Kelly (1984) adalah 10-30 kali per menit. Peningkatan laju respirasi dapat terjadi setelah hewan tersebut melakukan gerak badan, terekspos pada suhu dan kelembaban tinggi, dan kegemukan. Mengenai gambaran kondisi suhu rektal penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 11.

Tabel 8. Pengaruh Perlakuan terhadap Laju Respirasi (x + SD)

Waktu

Pengamatan

Nilai

THI

Perlakuan

Kontrol Penyiraman Penganginan Kombinasi

--- (kali per menit) ---

Pagi (07.00) 73,50 27 + 0,92 27 + 1,14 26 + 1,62 26 + 1,26

Siang (13.00) 82,15 36 + 1,52 36 + 0,63 35 + 1,51 35 + 1,97

Sore (15.00) 81,11 34 + 1,04a 33 + 1,73a 33 + 1,29a 29 + 0,92b

Malam (21.00)

73,92 32 +1,30 a 31 + 2,16ab 31 + 3,11ab 29 + 1,03b

(33 + 1,59)

Keterangan : - Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) - Angka didalam kurung ( ) merupakan data rataan yang belum terkoreksi; termasuk

saat sapi birahi

Pengukuran pagi hari saat nilai THI sebesar 73,5 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Materi penelitian pada pagi hari memberikan respon laju res-pirasi yang hampir sama, yaitu sekitar 26-27 kali per menit. Hal ini dikarenakan pada

[image:41.612.114.506.274.633.2]

Keterangan :

(42)

pagi hari, panas yang dihasilkan tubuh tidak terlalu besar, sehingga proses pelepasan panas yang dilakukan ternak secara respirasi masih berada pada kisaran normal.

Pengukuran laju respirasi siang hari saat nilai THI sebesar 82,15 menun-jukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Semua ternak memberikan respon yang ham-pir sama pada kondisi lingkungan yang sama, berupa peningkatan laju resham-pirasi sebe-sar 31,41% menjadi 35-36 kali per menit. Peningkatan ini terjadi erat kaitannya dengan aktivitas oksidasi biologi berlangsung pada tubuh ternak.

Hasil akhir dari aktivitas biologi organisme tingkat tinggi adalah CO2, energi, dan panas. Semakin besar oksidasi biologi yang berlangsung dalam tubuh ternak, maka semakin banyak CO2, energi, dan panas yang dihasilkan tubuh. Peningkatan ini berimplikasi pada peningkatan laju respirasi.

Riski (1996) menerangkan peningkatan laju respirasi merupakan salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik. Bahkan menurut Dollah (1977) peningkatan panas dapat mengakibatkan peningkatan respirasi, karena saat ternak meningkatkan laju respirasi, jumlah panas yang dikeluarkan mencapai 30% dari total panas yang dikeluarkan dari dalam tubuh.

Pengukuran pada sore hari saat nilai THI sebesar 81,11 menunjukkan respon yang bervariasi antar perlakuan, berupa penurunan laju respirasi. Penurunan laju res-pirasi pada tubuh ternak berkaitan dengan kemampuan ternak melepaskan panas. Perlakuan kontrol memiliki nilai laju respirasi tertinggi sebesar 34 kali per menit karena pada perlakuan ini ternak mengalami kesulitan melakukan pelepasan panas, sehingga untuk salah satu menurunkan suhu tubuhnya adalah meningkatkan laju respirasi.

Perlakuan tunggal penyiraman maupun penganginan memiliki pengaruh penurunan laju respirasi lebih baik dari pada perlakuan kontrol yaitu 33 kali per me-nit untuk masing-masing perlakuan. Penurunan ini terjadi karena perlakuan tunggal penyiraman maupun penganginan mampu membantu pelepasan panas tubuh, sehing-ga sapi dapat bernafas lebih dalam. Akan tetapi kedua perlakuan penyiraman terdapat kelemahan, yaitu proses terjadinya transfer panas yang berlangsung singkat, sehingga tercatat penurunannya hanya 2-3 kali per menit.

(43)

per menit pada kondisi lingkungan yang sama. Hal ini dikarenakan, pada perlakuan kombinasi terjadi penguatan pengaruh pendinginan yang mampu memaksimalkan proses transfer panas, terutama proses transfer panas secara evaporasi melalui kulit, sehingga ternak yang mendapat perlakuan kombinasi dapat melakukan respirasi lebih optimal.

Pengukuran laju respirasi pada malam hari saat nilai THI sebesar 73,92 menunjukkan hasil yang bervariasi antar perlakuan. Perlakuan kontrol, penyiraman, dan penganginan mampu menurunkan laju respirasi menjadi 32, 31, dan 31 kali per menit berturut-turut. Sedangkan perlakuan kombinasi penyiraman dan penganginan menunjukkan laju respirasi yang sama seperti aktivitas sore hari sebesar 29 kali per menit.

Pada pengukuran malam hari walaupun perlakuan kontrol, penyiraman, dan penganginan mampu menurunkan laju respirasi, ternyata penurunan tersebut masih berada diatas ambang normal. Hal ini terjadi karena pada saat pengukuran malam hari ternak melakukan aktivitas fisik, berupa mengubah posisi tubuh dari istirahat menjadi berdiri.

Perubahan posisi tubuh dapat memicu peningkatan produksi panas tubuh, sehingga salah satu cara yang efektif untuk melepaskan panas tubuh di malam hari adalah meningkatkan laju respirasi. Hal ini dilakukan karena pada malam hari kelembaban udara kandang berada pada titik puncak dan efek bagi proses transfer panas adalah proses evaporasi melalui kulit tidak dapat bekerja dengan baik. Pening-katan ini sesuai dengan pernyataan Kelly (1984) bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan laju respirasi adalah gerak badan.

(44)

Denyut Jantung

Jantung merupakan organ vital pada seluruh aktivitas tubuh ternak, termasuk pengaturan suhu tubuh. Aktivitas denyut jantung memiliki hubungan yang erat dengan laju respirasi. Hal ini berkaitan dengan fungsi jantung dan darah. Jantung berperan untuk memompakan darah ke seluruh tubuh dan darah berperan sebagai media transportasi oksigen dan karbondioksida dan panas tubuh.

Aktivitas kerja jantung dipengaruhi oleh sistem syaraf simpatetik dan parasimpatetik. Kedua sistem syaraf ini diatur oleh hipotalamus. Menurut Creel (1999) hipotalamus senantiasa menerima masukan (input) dari termoreseptor yang berada di seluruh bagian tubuh. Hipotalamus memiliki suhu set-point yang kiner-janya mirip termostat. Jika suhu tubu melebihi suhu set-point, maka sinyal syaraf menginisiasi mekanisme pendinginan. Begitu pula sebaliknya, jika temperatur tubuh melebihi suhu set-point, maka sinyal syaraf menginisiasi mekanisme penyimpanan panas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon termoregulasi berupa denyut jantung bervariasi. Denyut jantung penelitian berkisar antara 76-85 kali per menit. Hasil ini menunjukkan bahwa pada kondisi lingkungan tertentu ternak mengalami cekaman, karena kisaran normal laju respirasi sapi menurut Kelly (1984) adalah 55-80 kali per menit. Pada Tabel 9 dan Gambar 12 dapat dilihat kondisi denyut jantung ternak selama penelitian.

Pengamatan pagi, siang, dan malam hari saat kondisi THI masing-masing waktu pengamatan sebesar 73,50, 82,15, dan 73,92 menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata. Tercatat denyut jantung penelitian di pagi hari sebesar 76-78 kali per menit, siang hari sebesar 85-86 kali per menit, dan malam hari sebesar 81-85 kali per menit.

(45)

75,00 78,00 81,00 84,00 87,00

Pagi Siang Sore Malam

Waktu Pengamatan D e ny ut J a ntung (k a li/m e n it )

Kontrol Penyiraman Penganginan Kombinasi

[image:45.612.118.520.161.297.2]

Peningkatan suhu rektal ini selanjutnya akan diterjemahkan oleh hipotalamus dalam bentuk peningkatan aktivitas organ-organ tertentu, diantaranya jantung untuk melakukan aktivitas pelepasan panas.

Tabel 9. Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung (x + SD)

Waktu Pengamatan

Nilai THI

Perlakuan

Kontrol Penyiraman Penganginan Kombinasi

--- (kali per menit) ---

Pagi (07.00) 73,50 78+ 1,81 77 + 0,42 78 + 0,88 76 + 1,83

Siang (13.00) 82,15 86 + 1,99 85 + 1,37 85 + 0,84 85 + 1,67

Sore (15.00) 81,11 86 + 0,57a 83 + 1,50ab 83 + 2,12ab 80 + 1,07b

Malam (21.00)

73,92 85 + 1,58 83 + 3,70 84 + 2,69 81 + 3,01

(86 + 2,37)

Keterangan : - Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) - Angka didalam kurung ( ) merupakan data rataan yang belum terkoreksi; termasuk

saat sapi birahi

Gambar 12. Rataan Denyut Jantung Penelitian.

Pada saat kondisi lingkungan panas, reseptor panas dari susunan syaraf tepi yang berada pada kulit mengirimkan sinyal ke hipotalamus. Pada hipotalamus sinyal tersebut diterjemahkan menjadi suatu respon. Menurut Creel (1999) bentuk respon yang muncul pada saat kondisi panas yaitu vasodilatasi pembuluh kapiler, berkeringat, terengah-engah, penyesuaian laju darah selama aliran pergantian panas berlangsung, dan regulasi tingkah laku. Menurut Stewart (1991) bentuk tingkah laku ketika kondisi lingkungan panas adalah mencari kondisi lingkungan yang lebih dingin.

[image:45.612.146.507.354.510.2]
(46)

Sukarli (1995) menerangkan bahwa perubahan lingkungan yang drastis menyebabkan perubahan secara cepat pada sistem hormonal. Bentuk respon yang di-kendalikan secara hormonal, yaitu peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, perce-patan laju repirasi, dan peningkatan denyut jantung. Hormon yang berperan penting pada keadaan ini adalah adrenalin dan epinefrin yang dihasilkan medula adrenal dan norepinefrin yang dihasilkan diujung syaraf (Ganong, 1983).

Pengukuran siang hari menunjukkan semua perlakuan mengalami pening-katan denyut jantung, karena pada siang hari organ pembuluh darah, yaitu pembuluh kapiler mengalami perluasan kapasitas pembuluh darah (vasodilatasi) dan terjadi penyesuaian laju darah. Vasodilatasi ini memberikan sinyal kepada hipotalamus untuk memerintahkan jantung memompa darah ke seluruh tubuh lebih banyak. Pe-ningkatan aktivitas memompa darah inilah yang disebut dengan pePe-ningkatan denyut jantung.

Pengamatan denyut jantung sore hari pada nilai THI sebesar 81,11, pada Tabel 9 menunjukkan adanya variasi respon antar perlakuan, berupa penurunan laju respirasi menjadi 80-86 kali per menit. Penurunan denyut jantung yang efektif terjadi pada perlakuan kombinasi penyiraman dan penganginan. Hal ini dikarenakan perla-kuan ini efektif membuang panas yang berada di sekitar kulit. Hilangnya panas ini selanjutnya diterjemahkan oleh sel-sel syaraf di kulit sebagai umpan balik negatif untuk mengurangi laju denyut jantung agar panas yang dibuang ke lingkungan tidak berlebihan dan suhu tubuh tetap konstan. Itulah penjelasan penurunan denyut jantung sebagai bagian respon mekanisme pengaturan suhu tubuh.

Pengukuran malam hari pada Tabel 9 menunjukkan pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata terhadap denyut jantung. Denyut jantung pada malam hari berkisar pada angka 81-85 kali per menit. Nilai ini berada diatas ambang batas normal denyut jantung, yaitu 80 kali per menit. Peningkatan ini terjadi berkaitan dengan terjadinya peningkatan laju respirasi dan aktivitas fisik ternak, berupa perubahan posisi tubuh dari istirahat menjadi berdiri.

(47)

sesuai dengan pernyaatan Frandson (1992) bahwa salah satu faktor yang mem-pengaruhi perubahan frekuensi denyut jantung adalah latihan atau aktivitas otot.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Tingkat Konsumsi Pakan

Kebutuhan Nutrisi Sapi Perah Penelitian

Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan (Sutardi, 1981). Menurut Sudono (2002) pakan yang diberi-kan ke sapi perah harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi padiberi-kan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan total digestible nutrient (TDN). Selama penelitian berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak.

[image:47.612.115.510.388.502.2]

Variasi ini muncul dikarenakan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan. Sutardi (1981) menyatakan bahwa faktor penting dalam penyusunan ransum dan pengukuran tingkat konsumsi pakan adalah bobot badan sapi. Pada Tabel 10 diperlihatkan variasi kebutuhan nutrisi beserta bobot badan dari masing-masing sapi dara penelitian.

Tabel 10. Kebutuhan Nutrisi Sapi Penelitian akan BK, PK, dan TDN

Nomor Sapi

Bobot Hidup (kg)

Kebutuhan

Bahan Kering (BK) (kg/hari)

Protein Kasar (PK) (kg/hari)

Energi (TDN) (g/kg 0,75 BB/hari)

136 254 6,69 0,67 58,94

137 266 6,98 0,69 58,90

153 279 7,25 0,71 58,88

138 305 7,58 0,75 58,78

Perbandingan Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat Konsumsi Pakan

(48)

terhadap hasil sidik ragam. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Fkolom pada Lampiran 14, 17, dan 20 yang mewakili faktor ternak sebesar 58,31, 56,79, dan 28,27 untuk peubah BK, PK, dan TDN. Nilai ini lebih dari nilai Ftabel pada taraf 0,01 sebesar 9,78. Berdasarkan Uji Tukey pada Lampiran 14, 15, dan 16, faktor ternak yang diduga mengakibatkan hasil sidik ragam tidak berbeda nyata adalah faktor sapi bernomor 136 dan 137. Sapi penelitian bernomor 136 diduga mengakibatkan hasil sidik ragam tidak berbeda nyata karena rataan data yang dihasilkan dari ternak ini untuk ketiga peubah tersebut memiliki hasil yang paling rendah dibandingkan sapi yang lain.

Sapi penelitian bernomor 137 diduga mengakibatkan hasil sidik ragam tidak berbeda nyata pada BK dan PK erat kaitannya dengan kemampua

Gambar

Tabel 1. Tabel Modifikasi Wierama untuk Identifkasi Cekaman Panas berda-   sarkan Temperature Humidity Index (THI, Penington dan VanDe-vender, 2004)
Gambar 1. Suhu Tubuh sebagai Keseimbangan Pelepasan dan Produksi Panas
Gambar 2. Mekanisme Termoregulasi pada Ternak
Gambar 3. Model Sistem Regulasi Suhu Tubuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

I Made Giri Gunadi (1993) dalam artikel yang berjudul “Variasi Ragam Hias Pada Lapik Beberapa Arca di Desa Pejeng Kabupaten Gianyar”, memberi penjelasan bahwa peninggalan patung

X Muham mad Anugrah, Emsosfi Zaini, dan Rispiand a VSM dan WAM Membeerikan usulan berdasarkan identifikasi pemborosan yang terjadi menggunakan WAM Metode dalam

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi

Edmodo dipilih untuk dijadikan sarana proses belajar dikarenakan siswa yang dapat mengakses untuk berbagi sumber belajar, hanya siswa yang memiliki password yang

Persentase Provinsi dengan anggaran kesehalan daerah dalam ApBD yang sesuai dengan prioritas nasional di bidang kesehatan 40.. 07.03 Nilai Reformasi Birokrasi

Dari hasil regresi pengaruh pendapatan daerah dan Kinerja Keuangan terhadap Kesejahteraan Masyarakat yang diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah

Maka Ketetapan Waktu Iddah dari Ulama Sumatera Utara Terhadap Haid yang Direkayasa, mengikuti oleh ketua MUI SUMUT dengan alasan memiliki kesinambungan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pertumbuhan penjualan dalam meningkatkan laba pada Perum Perumnas Regional I Medan, dua variabel