• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

Peninggalan benda-benda purbakala merupakan warisan budaya yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan purbakala dapat dijadikan sebagai panduan kehidupan di masa sekarang dan masa-masa yang akan datang. Warisan budaya tersebut dapat digunakan sebagai salah satu penunjang untuk merekontruksi sejarah kehidupan manusia di masa lampau, didalamnya terkandung tingkat kehidupan dari masyarakat pendukungnya (Tjandrasasmita, 1980 : 95). Pembuatan benda-benda purbakala seperti: arca, meru, prasada dan pura, sudah tentu memiliki fungsi dan nilai tertentu bagi masyarakat pendukungnya. Begitu pula dengan benda-benda bercorak seni lainya, tentunya mengandung arti serta fungsi dan nilai-nilai individu tertentu bagi masyarakat penciptanya (Purba, 1980 : 32).

Arca yaitu suatu benda yang dibuat oleh manusia dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan rohaninya.Dengan demikian maka arca-arca berkaitan erat dengan makna-makna dan fungsi-fungsi tertentu.Suatu hal yang menarik dari peninggalan arca yaitu adanya suatu perbedaaan nilai-nilai arca, adanya nilai ikonografi dan nilai seni.Kiranya merupakan suatu pertanda dari adanya perkembangan ajaran agama yang diawali oleh suatu peninggalan arca sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan. Nilai Ikonografi menyangkut sistem tanda-tanda yang mempunyai fungsi sebagai penentu identitas arca, sedangkan nilai seni

(2)

menyangkut unsur gaya yang penggarapannya menentukan indah buruknya arca sebagai dorongan kehidupan manusia (Setyawati, 1977:214)

Arca yang bersifat Hindu atau Buddhis adalah suatu lambang yang merupakan media pemujaan (Setyawati, 1977:3-4).Ini semua sesuai dengan ajaran agama Hindu antara lain menyebutkan bahwa Ida Sang Hyang Widhi / Tuhan adalah bersifat Acintya, yang berarti tidak terpikirkan oleh akal manusia.Untuk keperluan keagamaan, Tuhan diwujudkan dalam suatu lambang (Nyasa) agar dapat dikhayalkan menurut fantasi manusia.

Lambang inilah yang akan membantu umat dalam mengarahkan pikirannya menuju Tuhan. Seperti diketahui tidak semua orang mempunyai kekuatan yang sama agar dengan seketika dapat memusatkan pikirannya dengan baik. Lebih-lebih penganut Bhakti Marga yang berdasarkan atas rasa cinta kasih.Untuk melampiaskan rasa cinta kasih itu, maka Tuhan sering diwujudkan dalam suatu bentuk arca. Sehingga dalam proses pembuatannya disertai dengan pertimbangan hari, bulan yang baik, yang akhirnya dapat dijadikan lambang atau simbul keagamaan (Satyawati, 1980 : 123).

Arca dwarapala adalah arca penjaga pintu, penunggu pintu sekaligus menjaga halaman candi termasuk bangunan suci, gedong dengan segala isinya (Kempers, 1959 : 54-55). Arca dwarapala itu digambarkan dengan ekspresi muka menyeramkan seperti mata melotot, taring yang mencuat keluar, rambut keriting atau ikal, arca dalam sikap mengancam bahkan disertai dengan senjata (Linus, 1982:18).Arca yang digambarkan itu biasanya dimiliki oleh arca dwarapala yang berbentuk raksasa.

(3)

Di Bali arca seperti ini digunakan sebagai dwarapala untuk menambah kesan angkernya suatu candi.Selain arca dwarapala yang berbentuk raksasa, ada juga ditemukan arca dwarapala yang berbentuk binatang. Arca dwarapala yang berbentuk binatang bisa di lihat di daerah Gianyar khususnya beberapa pura di daerah Sukawati, misalnya di Pura Puseh Wasan dan Pura Puseh Canggi

Istilah pura itu sendiri mempunyai pengertian sebagai tempat pemujaan bagi umat Hindu di Bali, tampaknya berasal dari zaman yang tidak begitu lama, namun tempat pemujaannya sendiri bermakna dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang sangat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur dan kekuatan alam yang Maha besar yang tetap dikenalnya pada zaman Neolitik dan berkembang pada tradisi Megalitik, sebelum kebudayaan India datang di Indonesia (Heekeren, 1960 : 75)

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak, yang diduga sebagai replika(bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah (Soejono, 1968 : 1). Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia.Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru) sebagai alam arwah juga dianggap sebagai alam para dewa.

Mengenal arti kata Pura adalah berasal dari urat kata pur yang berarti ‘kota’ atau ‘benteng’ atau ‘kota yang berbenteng’. Pengertian tersebut lalu

(4)

berkembang, dan di Bali pura itu yaitusuatu tempat khusus yang disucikan dan dikelilingi oleh tembok, tempat diadakan persembahyangan untuk memuja Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya beserta roh leluhur yang telah suci (Ardana, 1971 : 6-7).

Berbicara mengenai pura di atas, Pura Puseh Canggi yang menjadi salah satu objek penelitian ini terletak diwilayah Dusun Canggi Desa Persiapan Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dari pusat Kota Gianyar kearah barat berjarak sekitar 8 km, dan setelah sampai dipertigaan Canggi, kira-kira 600 meter menuju arah ke selatan. Situs berada di sebelah timur Sungai Batuan (Anak Sungai Petanu).Alam disekitar areal Pura Puseh Canggi sebagai lokasi berdirinya gapura, terdiri atas hamparan tanah persawahan yang terdapat di sebelah utara pura hingga ke pinggir jalan raya jurusan Gianyar-Denpasar.

Pura Puseh Canggi memiliki tinggalan arkeologi yaitu Gapura Canggi,yang termasuk bangunan gapura tipe kuno yang cukup penting manfaatnya sebagai sumber pelengkap data sejarah.Bangunan Pura Puseh Canggi ini di apit oleh empat buah arca dwarapala binatang, yakni berupa arca nandi sebanyak dua buah terletak di sisi barat pintu gapura, dan dua buah arca kambing menghias sisi timur gapura (lihat lampiran gambar 1).

Keunikan dari arca dwarapala binatang berbentuk lembu dan kambing ini yaitu disetiap lapik arca lembu dan kambing tersebut memakai hiasan tengkorak diantara kaki kiri dan kanan depan, begitu pula pada arca kambing yang terletak di belakang gapura yang sama memakai hiasan tengkorak diantara kaki kiri dan kanan depannya. Selanjutnya penulis menguraikan sedikit tentang Pura

(5)

Puseh Wasan sebagai data pembanding yaitu pada arca dwarapala binatang nandi dan kambing di Pura Puseh Canggi.

Pura Puseh Wasan terletak di satu dataran yang terdiri atas jenis tanah liat berpasir dengan ketinggiannya sekitar 82 meter diatas permukaan laut.Situs ini berada ditempat yang lebih rendah dibandingkan dengan sawah – sawah disekitarnya dan bahkan di sebelah barat pura merupakan tebing lebih kurang 5 m, disungai Batuan (Anak Sungai Petanu).

Pura Puseh Wasan dikelilingi oleh tanah persawahan yang subur dan sampai sekarang sawah-sawah tersebut ditanami padi dua kali serta satu kali penanaman palawija dalam satu tahun.Untuk Mengenal peninggalan arkeologi yang terdapat di Pura Puseh Wasan ditempatkan pada gedong arca diatas pondasi kuno.Gedong arca ini konstruksinya dari batu padas pada bagian atas dengan kerangka kayu dan atap genteng.Didalam gedong ini disimpan empat buah arca perwujudan, dua puluh dua fragmen arca, sedangkan satu buah lingga dan satu buah fragmen arca perwujuan diletakkan pada pelataran gedong arca tetapi untuk dua buah arca nandi dan satu buah arca kambing diletakkan sebagai pengapit tangga naik menuju gedong arca (Ardana, 1971:16-17).

Penulismencoba untuk melihat perbandingan arca dwarapala binatang yang berada di Pura Puseh Canggi dengan Pura Puseh Wasan yang mempunyai persamaan dan perbedaan bentuk komponen arca dwarapala binatangnya.Persamaannya yaitu di Pura Puseh Canggi dan Pura Puseh Wasan sama-sama terdapat arca binatang nandi dan kambing pada arca dwarapalanya, bedanya di Pura Puseh Canggi ini arca dwarapala binatang nandi dan kambingnya

(6)

masih terlihat utuh dan kokoh dan pada lapiknya terdapat motif hiasan tengkorak (lihat lampiran foto 11-12), sedangkan pada arca dwarapala binatang nandi dan kambing di Pura Puseh Wasan terlihat aus dan tidak utuh, begitu pula pada lapiknya terdapat motif hiasan tengkorak yang kurang begitu jelas (lihat lampiran foto13-14).

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut permasalahan yang akan diteliti dalam Penelitian ini yaitu :

1. Apa latar belakang konsepsi arca nandi dan kambing sebagai arca dwarapala binatang dipahatkan ragam hias tengkorak, di Pura Puseh Canggi Kabupaten Gianyar?

2. Apa fungsi ragam hias tengkorak yang terdapat pada lapik arca dwarapala binatang yang berbentuk nandi dan kambing di Pura Puseh Canggi Kabupaten Gianyar?

3. Apakah makna ragam hias tengkorak yang terdapat pada lapik arca dwarapala binatang yang berbentuk nandi dan kambing di Pura Puseh Canggi Kabupaten Gianyar?

1.2 Tujuan Penelitian

Setiap karya ilmiah hendaknya memiliki tujuan yang jelas dan pasti, berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa ragam hias tengkorak pada arca dwarapala binatang ini mempunyai arti dan makna yang sangat menarik dimana ragam hias tengkorak ini mempunyai hubungan terhadap aliran Tantrayana, oleh

(7)

karena itu, agar permasalahan ini bisa terselesaikan dengan baik maka dibutuhkan tujuan pokok yang mendasar, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus

1.2.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang filosifis, fungsi dan maknaragam hias tengkorak pada arca dwarapala berbentuk binatang di Pura Canggi, Desa Canggi Kabupaten Gianyar.Terutama filosofis, fungsi dan makna ragam hias tengkorak ini dengan arca dwarapala nandi dan kambing

1.2.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan agar dapat memberikan tambahanilmu pengetahuan umum dan sumbangan data Arkeologi pada khususnya dan juga bisa memberikan tambahan informasi terhadap masyarakat setempat mengenai filosofis, fungsi, dan makna ragam hias tengkorak pada arca dwarapala yang berbentuk binatang nandi dan kambing tersebut.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Diadakannya penelitian mengenal ragam hias tengkorak pada arca dwarapala binatang di Pura Canggi, Desa Canggi Kabupaten Gianyar ini, diharapkan dapat bermanfaat terhadap ilmu pengetahuan dan tambahan data Arkeologi khususnya di wilayah Kabupaten Gianyar Provinsi Bali.

(8)

b. Manfaat Praktis

Memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat dan pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan dalam mengembangkan pariwisata budaya.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup langkah awal dari penelitian, dimana dalam penelitian ini perlu dibatasi agar penelitian ini tidak terlalu luas.Oleh karena itu peneliti harus mengambil data yang akurat dan terarah agar penelitian bisa terfokus pada permasalahannya maupun objek penelitiannya.

Berhubungan dengan ruang lingkup objek penelitian ini yaitu, ragam hias tengkorak pada arca dwarapala berbentuk binatang, dimana ragam hias tengkorak ini berada di setiap lapik arca lembu dan kambing dan bagaimana filosofis arca nandi dan kambing sebagai arca dwarapala binatang dan dipahatkan hiasan tengkorak, seolah-olah binatang tersebut sebagai binatang karnivora, fungsi, dan makna ragam hias tengkorak pada arca dwarapala binatang nandi dan kambing di Pura Puseh Canggi, Desa Canggi, Kabupaten Gianyar.

(9)

1.5 Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan masalah yang hendak diangkat maka ada beberapa tulisan atau buku yang dipakai sebagai penunjang dalam penelitian ini yaitu :

I Gusti Gede Ardana (1971) dalam artikel yg berjudul “Pengertian Pura di Bali”, memberi penjelasan tentang struktur pura yang setiap pura mempunyai kesamaan, akan tetapi setiap pura mempunyai susunan dan keistimewaan tersendiri. Disamping itu pula setiap pura tediri atas dua halaman atau tiga halaman, satu sama lain terpisah oleh tembok-tembok penyengker tetapi saling berhubungan melalui gapura-gapura dalam bentuk pemisah tersebut, begitu pula dengan Pura Puseh Canggi, disini bisa dipahami bahwa keistimewaan dari Pura Puseh Canggi ini yaitu terdapat pada Gapura Canggi, yang menghubungkan antara jaba Tengah dengan Pura Bale Agung. Sedangkan antara Jaba tengah dan Pura Puseh dihubungkan oleh sebuah kori Agung dari Pura Puseh Canggi itu sendiri.

I Gusti Ayu Surasmi (2007) dalam buku yang berjudul “Jejak Tantrayana di Bali”, memberikan penjelasan bahwa dalam mewujudkan arca-arca tantra para penganut paham tantra, sesuai dengan dasar-dasar kepercayaannya dalam melaksanakan ajaran agamanya yang banyak mempergunakan magic dan mistic, selalu berbentuk menakutkan, serem, garang, dan penuh dengan sifat keraksasaan. Bisadipahami bahwa di Pura Puseh Canggi ini bisa dilihat pada lapik arca dwarapala binatang nandi dan kambing tersebut terdapat motif hiasan tengkorak, dimana hiasan tengkorak tersebut bersifat mistisdan merupakan simbol kematian, menakutkan sehingga arca dwarapala

(10)

binatang nandi dan kambing yang tedapat di Pura Puseh Canggi tersebut terkena pengaruh aliran Tantrayana.

I Nyoman Setiana (1986 ) dalam skripsi yang berjudul “Kajian Arkeologi Arca Dwarapala Binatang Sebagai Arca Dwarapala di Pura Kuna di Kabupaten Gianyar”, memberikan penjelasan bahwa ragam hias tengkorak ini dianggap memiliki kekuatan religius magis, dan juga digambarkan sebagai simbol kematian, keangkeran, dan menyeramkan, dalam arca-arca yang berkarakter tantrayana, hiasan tengkorak ini biasanya dipahatkan pada beberapa bagian seperti : pada mahkota, kundala, ikat pinggul, ikat kepala, gelang tangan, gelang lengan, gelang kaki, kalung, dan lapik pada arca dwarapala tersebut. Bisa dipahami bahwa di Pura Puseh Canggi ini hiasan tengkorak tersebut dipahatkan pada lapik arca dwarapala binatang nandi dan kambing dan menandakan arca dwarapala binatang nandi dan kambing tersebut merupakan arca dwarapala binatang yang berkarakter tantrayana dengan adanya hiasan tengkorak tersebut.

Ni Komang Aniek Purniti (1990) dalam artikel yang berjudul “Pahatan Binatang Dalam Seni Relief dan Arca di Beberapa Tempat di Kabupaten Gianyar”, memberi penjelasan bahwa pahatan relief dan binatang sering kali dipakai sebagai penghias dinding atau tembok dari bangunan-bangunan suci atau pura.Demikian pula arca-arca binatang dengan berbagai bentuk dan hiasannya tersendiri.Bentuk-bentuk pahatan tersebut tentunya mempunyai makna-makna tertentu.Bisa dipahami bahwa di Pura Puseh Canggi pahatan ragam hias tengkorak pada lapik arca binatang nandi dan kambing ini mempunyai makna yaitu menyeramkan dan merupakan simbol kematian bagi penganut aliran tantrayana.

(11)

I Made Giri Gunadi (1993) dalam artikel yang berjudul “Variasi Ragam Hias Pada Lapik Beberapa Arca di Desa Pejeng Kabupaten Gianyar”, memberi penjelasan bahwa peninggalan patung atau arca di dareah ini pada umumnya mempunyai persamaan langgam, jika diperhatikan lebih mendetail akan terdapat pula perbedaan-perbedaan halus, adapun perbedaan itu seperti adanya variasi bentuk hiasan pada beberapa bagian arca, baik itu bentuk hiasan badan maupun bentuk hiasan lapiknya.Dapat dipahami bahwa perbedaan yang terdapat pada Pura Puseh Canggi ini yaitu bentuk hiasan pada lapik arca dwarapala binatang nandi dan kambing berupa motif hias tengkorak yang merupakan bentuk variasi hiasan yang menggunakantengkorak sebagai simbol penjaga pura yang bersifat magis dan penolak bahaya dari gangguan-gangguan roh jahat, sehingga tidak ada yang bisa mengganggu di areal Pura Puseh Canggi tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diasumsikan bahwa ragam hias tengkorak pada arca dwarapala yang berbentuk binatang yang terletak di Pura Puseh Canggi, Desa Canggi, Kabupaten Gianyar ini mempunyai pengaruh dari ajaran tantrayana, dimana ragam hias tengkorak ini dianggap memiliki kekuatan religius magis, dan juga digambarkan sebagai simbol kematian, keangkeran dan menyeramkan.

Dalamarca-arca yang berkarakter tantrayana, hiasan tengkorak ini biasanya dipahatkan pada beberapa bagian seperti : pada mahkota, kundala, ikat pinggul, ikat kepala, gelang tangan, gelang lengan, gelang kaki, kalung, dan lapik pada arca dwarapala tersebut dan sebagainya.

(12)

Apabila ragam hias tengkorak ini dihubungkan dengan arca dwarapala sebagai penjaga pintu masuk candi, atau mungkin juga sebagai arca dwarapala bangunan suci, maka hiasan tengkorak ini dikaitkan dengan simbol penolak bahaya (unsur-unsur yang jahat).Jadi hal ini memungkinkan bahwa arca dwarapala yang terkena pengaruh aliran tantrayanayang memakai hiasan tengkorak tersebut.

1.6 Metode Penelitian

Metode ilmiah merupakan cara yang ampuh dalam mengkaji suatu penelitian yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan penelitian, agar dalam melakukan penelitian tersebut bisa mendapatkan hasil yang memuaskan dengan menggunakan metode yang sistematis, sehingga dapat menghasilkan tulisan yang baik dan terarah. Metode ini bertujuan untuk memahami objek yang akan menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Untuk mencari jawaban terhadap permasalahan yang akan dibahas, maka tahapan metode yang dipergunakan adalah tahap pengumpulan dan analisis data, sehingga penulisan yang sistematis tidak terlepas dari topik yang akan dibahas sesuai dengan permasalahan, agar lebih jelas, maka tahapan metode yang digunakan adalah sebagai berikut.

1.6.1 Tahap Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

(13)

Pengumpulan data di lapangan belumlah cukup untuk mengkaji suatu penelitian, sehingga diperlukan studi kepustakaan.Hal ini sangat diperlukan sebagai suatu landasan teoritis guna mencari pemecahan permasalahan yang didapatkan di lapangan.

Penulis berusaha mencari laporan-laporan, buku-buku, dan artikel yang ada kaitannya dengan objek penelitian dalam studi ini, sehingga dapat memperoleh penjelasan tertulis dalam membantu menyelesaikan tulisan ini. b. Observasi

Observasi yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan suatu pengamatan secara langsung terhadap objek yang akan diteliti, sehingga data yang didapat sesuai dengan apa yang diamatinya. Untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat peneliti harus membuat pendokumentasian melalui pemotretan, penggambaran, pengukuran ataupun dengan melakukan pencatatan-pencatatan.

c. Wawancara

Untuk mendapatkan data yang lebih kongkrit yang didapat melalui observasi, maka dilakukan wawancara langsung terhadap sejumlah informan yang mengetahui tentang objek yang akan diteliti, metode wawancara yang dipakai adalah wawancara tanpa struktur, maksudnya tanpa dipersiapkan daftar pertanyaan. Kendatipun pertanyaan tidak berstruktur, tetapi arah pertanyaan tetap difokuskan terhadap masalah pokok yang ditujukan yaitu informan dari Made Ardana(Guru), Wayan Badra(PNS), Ni Wayan Yanti(Honorer), Wayan Swarma(Prebekel Banjar Blahtanah) (Vreden bregt, 1978 : 68).

(14)

1.6.2 Tahap Pengolahan dan Analisis Data

Selanjutnya setelah data terkumpul semuanya, maka sampailah pada tahap-tahap berikutnya yaitu pengolahan dan analisis data.Data diolah dan dianalisis secara kontekstual, kualitatif, komparatif, simbolik, morfologi dan ikonografi.

a. Analisis Kontekstual

Merupakan metode analisis data dengan cara menghubungkan antara objek yang diteliti dengan pengaruh lingkungan terhadap objek-objek yang berada disekitar tempat penelitian tersebut. Analisis kontekstual ini bertujuan untuk mengkaitkan arca dwarapala binatang tersebut dengan ragam hias tengkorak yang berada pada lapik Arca Dwarapala Nandi atau Lembu. Ragam hias tengkorak ini terdapat pada lapik arca binatang lembu dan arca lembu ini merupakan salah satu wahana dari Dewa Siwa, Dewa Siwa ini juga merupakan saktinya dari Dewi Durga, Dewi Durga ini juga sering disebut sebagai Dewi Kematian. Sehingga bisa dikaitkan arca dwarapala binatang tersebut dengan ragam hias tengkorak yang berada pada lapik arca Lembu ini,dan ada juga pengaruh aliran Tantrayana.

b. Analisis Kualitatif

Kajian atas sejumlah data berdasarkan kualitatif tertentu untuk kemudian dianalisis berdasarkan konsep tiga dimensi itu meliputi aspek bentuk (form), ruang (space), dan aspek waktu (time).Konsep tiga dimensi itu merupakan alat yang lazim diterapkan oleh para arkeolog dalam menganalisis

(15)

artefak arkeologi (Srijaya, 1990:2).Dalam mengadakan analisis diadakan pengamatan terhadap hiasan pada lapik sebagai data kongkrit, yaitu ragam hias tengkorak pada lapik arca dwarapala binatang.Dari analisis kualitatif ini diharapkan dapat diketahui ragam dan jenis hiasan pada lapik arca di Pura Puseh Canggi.

c. Analisis Komparatif

Merupakan metode perbandingan yang dilakukan dengan cara mengamati persamaan dan perbedaan bentuk dan komposisi komponen serta penampilan pada semua objek penelitian. Dimaksudkan untuk mengetahui mengapa terjadi persamaan dan perbedaan dalam ragam hias lapik, serta karakter yang dimiliki arca.Contoh pada Pura Puseh Wasan dan Pura Puseh Canggi disini bisa dilihat persamaan ragam hias dan arca dwarapala binatangnya dimana ragam hiasnya berupa tengkorak yang terdapat di setiap lapiknya, dan arca binatangnya berupa lembu dan kambing.

d. Analisis Simbolik

Metode analisis yang menggunakan variabel-variabel untuk mengamati simbol-simbol tertentu maupun simbol-simbol khusus yang ada pada objek penelitian ini, dilihat dari simbol ragam hias pada keseluruhan bagian arca dwarapala.Contoh : ragam hias pada arca dwarapala binatang nandi dan kambing di Pura Puseh canggi ini berupa hiasan tengkorak dan mempunyai simbol menyeramkan dan mistis.

(16)

Merupakan metode analisis data dengan cara melihat atau meneliti atribut atau lambang, simbol pada arca khususnya pada ragam hias tengkorak yang ada pada Pura Canggi, sehingga bisa diketahui apa fungsi dan maknadari ragam hias tengkorak pada Pura Canggi tersebut. Analisis ikonografi ini bertujuan untuk mengetahui maksud dari simbol dan bentuk dari ragam hias tengkorak tersebut, dan pada periode kapan ragam hias tengkorak tersebut.

1.7 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

Data yang telah didapat, selanjutnya disajikan dalam bentuk tulisan dengan menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang benar. Selain menggunakan uraian, penulisan ini menyajikan pula gambar-gambar bangunan yang menjadi objek penelitian.Adapun pokok-pokok dalam pembahasan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut.

Bab I PENDAHULUAN yang terdiri atas: latar belakang dan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian hasil penelitian.

Bab II GAMBARAN UMUM PURA PUSEH CANGGI terdiri atas: lokasi dan keadaan geografis Pura Puseh Canggi, sejarah Pura Puseh Canggi, latar belakang keagamaan Pura Puseh Canggi, serta fungsi dan status Pura Puseh Canggi.

Bab III RAGAM HIAS TENGKORAK PADA ARCA DWARAPALA BINATANG NANDI DAN KAMBING DI PURA PUSEH CANGGI

(17)

KECAMATAN SUKAWATI KABUPATEN GIANYARterdiri atas: diskripsi ragam hias tengkorak secara umum, Filosofis Arca Nandi dan Kambing Sebagai Arca Dwarapala Binatang dan Dipahatkan Hiasan Tengkorak seolah-olah Binatang Tersebut Sebagai Binatang Karnivora di Pura Puseh Canggi, Fungsi Ragam Hias Tengkorak Yang Terdapat Pada Lapik Arca Dwarapala Binatang Berbentuk Nandi dan Kambing di Pura Puseh Canggi, Makna Ragam Hias Tengkorak Yang Terdapat Pada Lapik Arca Dwarapala Binatang Berbentuk Nandi dan Kambing di Pura Puseh Canggi.

Bab IV PENUTUP terdiri atas: simpulan hasil penelitian dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

J~\1jJ~\1 "Tidak boleh membahayakan / merugikan orang lain dan tidak : boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kompetensi pengetahuan IPA siswa yang dibelajarkan melalui model pembelajaran STAD Berbasis Tri

Dengan melakukan penelitian yang berfokus pada Routing Redistribution antara routing Enchanced Interior Gateway Routing Protocol (EIGRP), Intermediate

Berdasarkan hasil pemantauan BPS Provinsi Kalimantan Selatan dengan menggunakan penghitungan tahun dasar (2007 = 100) di Kota Banjarmasin pada bulan April 2011 terjadi deflasi 0,23

z Dalam sistem rumen, karbohidrat sederhana lebih cepat terhidrolisis dibandingkan dengan karbohidrat komplek terhidrolisis dibandingkan dengan karbohidrat komplek yang

“Pengaruh Suplementasi Mineral Organik (Zn dan Se) terhadap Pertambahan Bobot Badan, Konsumsi, dan Konversi Ransum pada Domba Lokal”.. Suparyanto,

Khusus pesefta wanita : membawa surat keterangan dari dokter yang menyatakan.. tidak dalam keadaan hamil, serta ildak diperkenankan membawa

2dapun tujuan penggunaan larutan flourida dan larutan arsenat pada perlakuan ini yaitu untuk melihat pengaruh inhibitor terhadap proses glikolisis sel ragi dan tujuan