ANALISIS UKURAN KEMISKINAN FOSTER-GREER-THORBECKE
DARI SEBARAN PENDAPATAN PARETO TIPE I
HIDHAYATUL KAMIL
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
HIDHAYATUL KAMIL. Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I. Dibimbing oleh HADI SUMARNO dan ALI KUSNANTO.
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah. Sisi penting dari kemiskinan adalah masalah pengukuran kemiskinan. Salah satu ukuran yang dapat memberikan pemahaman terkait kemiskinan adalah ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Dalam tulisan ini ukuran kemiskinan FGT dianalisis berdasarkan sebaran pendapatan Pareto tipe I. Penelitian ini menggunakan data rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan dan garis kemiskinan tahun 2010 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa provinsi yang sebaran pendapatannya sesuai dengan model sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan parameter α = 1.5 dari 33 provinsi adalah Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Papua. Provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin, kesenjangan kemiskinan, dan penyebaran kemiskinan tertinggi, sedangkan Provinsi Banten memiliki persentase terendah.
Kata kunci : garis kemiskinan, kemiskinan, sebaran pendapatan, ukuran kemiskinan
ABSTRACT
HIDHAYATUL KAMIL. The Analysis of the Foster-Greer-Thorbecke Poverty Measure of Pareto Income Distribution Type I. Supervised by HADI SUMARNO and ALI KUSNANTO.
Poverty is one of fundamental issues that attracts the attention of governments. Important points of poverty is about poverty measurement problem. One of the poverty measurements that provides a comprehensive poverty view is Foster-Greer-Thorbecke (FGT). This paper analyzes the poverty measures of FGT from Pareto income distribution type I. This study uses the average of total outcome per capita per month and poverty line in 2010 that was reported by Statistics Indonesia. The result of the analysis shows that the provinces having distribution of income satisfying as the Pareto income distribution type I model in parameter α = 1.5 from 33 provinces are West Java, Banten, DI Yogyakarta, Bali, South Kalimantan, East Kalimantan, North Sulawesi, Gorontalo, South Sulawesi, Southeast Sulawesi, and Papua provinces. Papua Province has the highest percentage of poor, poverty gap, and distribution of poverty, meanwhile the lowest percentage is Banten Province.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada
Departemen Matematika
ANALISIS UKURAN KEMISKINAN FOSTER-GREER-THORBECKE
DARI SEBARAN PENDAPATAN PARETO TIPE I
HIDHAYATUL KAMIL
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I
Nama : Hidhayatul Kamil NIM : G54090004
Disetujui oleh
Dr Ir Hadi Sumarno, MS Pembimbing I
Drs Ali Kusnanto, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Toni Bakhtiar, MSc Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah ukuran kemiskinan, dengan judul Analisis Ukuran Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari Sebaran Pendapatan Pareto Tipe I.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hadi Sumarno, MS dan Bapak Drs Ali Kusnanto, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu dan menyediakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini serta Bapak Prof Dr Ir Siswadi, MSc dan Bapak Ir Ngakan Komang Kutha Ardana, MSc yang telah banyak memberi saran dan kritik yang membangun. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada ibunda Gusmarni yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan semangat kepada penulis, serta kepada keluarga besar, dosen dan staf Departemen Matematika IPB, Zonna, Ami, Syukrio, Givo, Arif, teman-teman indekos Radar X, dan teman-teman Matematika 46 yang telah membantu, memberikan doa, dan semangat kepada penulis.
Karya ilmiah ini penulis dedikasikan khusus kepada dua sosok penting dalam hidup penulis yang telah tiada, almarhum ayahanda Arjulis dan almarhum kakek Bustami. Nasihat dan ilmu yang telah beliau berikan selalu penulis tanamkan dalam kehidupan penulis dan menjadi energi tambahan dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODE 5
Bahan 5
Prosedur Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Analisis Ukuran Kemiskinan Provinsi di Indonesia dengan Ukuran
Foster-Greer-Thorbecke 6
Tingkat Kemerataan Sebaran Pendapatan 12
SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
DAFTAR TABEL
1 Nilai head count index (P0) tahun 2010 7
2 Indeks kesenjangan kemiskinan (P1) tahun 2010 9
3 Nilai indeks P1 normalisasi 9
4 Perbandingan nilai indeks P1 dengan P0 10
5 Indeks penyebaran kemiskinan (P2) tahun 2010 12
6 Indeks Gini tahun 2010 berdasarkan data BPS 15
DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi daerah kesenjangan kemiskinan 8
2 Ilustrasi daerah B(x) 11
3 Kurva Lorenz tahun 2010 14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Fungsi sebaran kumulatif dan nilai harapan sebaran pendapatan Pareto
tipe I 17
2 Nilai rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan, parameter θ, dan
garis kemiskinan 18
3 Perbandingan nilai P0 dengan data BPS 19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan suatu pembangunan seringkali diukur dari dimensi ekonomi, seperti nilai pendapatan per kapita, GDP, GNP, dan laju pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Indonesia telah menentukan bahwa strategi pembangunan ditekankan pada perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia yakni meningkatkan taraf hidup masyarakat secara lebih merata, sekaligus ditujukan pula untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Strategi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam UUD 1945. Di sisi lain, suatu pembangunan yang berhasil harus mampu menghapus kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah fundamental yang tengah dihadapi oleh seluruh bangsa di dunia, terutama oleh negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh keterbatasan, ketidakmampuan, dan kekurangan (Sumargo 2002). Seperti keterbatasan dalam memperoleh kebebasan dan hidup yang sesuai dengan tingkat harapan hidup; ketidakmampuan untuk mendapatkan pendidikan, akses air bersih, dan ketidakmampuan untuk mendapatkan kesehatan yang memadai; dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan pangan. Kemiskinan merupakan indikator utama dari ketertinggalan suatu negara. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda lagi dengan alasan apapun dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Salah satu sisi penting dari kemiskinan adalah masalah pengukuran kemiskinan. Mengukur kemiskinan bukan merupakan hal yang mudah karena kemiskinan merupakan suatu isu yang kompleks. Pengukuran kemiskinan yang baik memungkinkan pemerintah dan komunitas untuk menentukan sasaran yang terukur bagi perencanaan dan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan.
2
Blackwood dan Lynch (1994) mengemukakan 4 macam ukuran kemiskinan absolut, yaitu poverty headcount, poverty gap, distribusi pendapatan antar orang miskin, dan ukuran kemiskinan komposit (seperti indeks Sen dan ukuran FGT). Poverty headcount merupakan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Poverty gap merupakan kesenjangan pendapatan orang miskin terhadap garis kemiskinan. Distribusi pendapatan antar orang miskin dapat diukur menggunakan kurva Lorenz dan indeks Gini. Sedangkan ukuran kemiskinan komposit merupakan ukuran kemiskinan berupa penggabungan ukuran kemiskinan yang sudah ada sebelumnya. Masing-masing pendekatan pengukuran kemiskinan mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri tergantung dari pemanfaatan/tujuannya.
Dalam perhitungan ukuran kemiskinan absolut, seperti ukuran FGT (Foster-Greer-Thorbecke), membutuhkan data pengeluaran per kapita sebulan masing-masing penduduk. Terkadang data tersebut sangat sulit untuk ditemukan. Salah satu cara untuk melakukan perhitungan ukuran kemiskinan adalah melalui pendekatan model sebaran pendapatan. Model sebaran pendapatan yang pernah digunakan sangat banyak, di antaranya adalah model Pareto tipe I, Lognormal, Gamma, Log-Logistik, Singh-Maddala, dan model Dagum tipe I (Zuliati 2001). Dalam karya ilmiah ini penulis akan membahas analisis ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dari sebaran pendapatan Pareto tipe I.
Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan dari karya ilmiah ini adalah:
1 mengkaji ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke berdasarkan sebaran pendapatan Pareto tipe I,
2 menduga tingkat kemerataan sebaran pendapatan berdasarkan sebaran pendapatan Pareto tipe I, dan
3 mendapatkan informasi tentang tingkat kemiskinan dan sebaran pendapatan beberapa provinsi di Indonesia dan membandingkannya dengan data BPS.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan adalah sesuatu yang sangat multidimensional dan memang sulit untuk diukur. Kompleksitas itu kemudian oleh para ahli statistika disederhanakan, misalnya dengan menganggapnya sebagai gejala ekonomi (economic poverty), gejala kualitas SDM (human poverty), atau gejala budaya (cultural poverty). Di antara banyak definisi yang ada, BPS menghitung kemiskinan sebagai gejala economic poverty dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Hasbullah 2011). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
3 merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kilokalori per kapita per hari. Garis kemiskinan bukan makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan (BPS 2008).
Penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang nilai konsumsinya kurang dari nilai rupiah 2 100 kkal per kapita per hari ditambah kebutuhan primer bukan makanan tersebut, dengan kata lain memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pendekatan ini sudah sangat umum diaplikasikan di banyak negara.
Berdasarkan pendekatan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar ada 3 indikator kemiskinan, yaitu jumlah penduduk miskin, kesenjangan kemiskinan, dan penyebaran kemiskinan. Salah satu ukuran yang dapat memberikan pemahaman terkait mereka yang berada di bawah garis kemiskinan berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar adalah ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke.
Foster, Greer, dan Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran kemiskinan Pa yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu:
a ∑
yi= rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada
di bawah GK (i = 1, 2, 3, ..., q), yi< z,
q = banyaknya penduduk yang berada di bawah GK, dan n = jumlah penduduk.
Jika a = 0 diperoleh head count index (P0), jika a = 1 diperoleh indeks
kesenjangan kemiskinan/poverty gap index (P1), dan jika a = 2 diperoleh indeks
penyebaran kemiskinan/poverty severity index (P2).
Head count index (P0) merupakan persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan. Indeks kesenjangan kemiskinan/poverty gap index (P1)
merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks penyebaran kemiskinan/poverty severity index (P2) memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dapat diduga melalui model sebaran pendapatan. Salah satu model sebaran pendapatan yang dapat digunakan adalah sebaran pendapatan Pareto tipe I. Ahli ekonomi dan sosiologi Vilfredo Pareto (1848-1923) mengembangkan teori umum dari ketimpangan sosial yang diinspirasi oleh keadaan sebaran pendapatan di antara masyarakat (Nielsen 2006).
4
dengan α > 1. Bukti dapat dilihat pada Lampiran 1.
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Ukuran yang biasa digunakan untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan adalah indeks Gini.
Indeks Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) sebaran pendapatan yang angkanya berkisar antara 0 (pemerataan sempurna) dan 1 (ketimpangan yang sempurna). Indeks Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang tempat kurva Lorenz itu berada.
Dalam publikasi BPS dan Bappeda Kota Semarang (2012), Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang, atau tinggi. Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut:
a. Ketimpangan taraf rendah, bila indeks Gini < 0.35.
b. Ketimpangan taraf sedang, bila indeks Gini antara 0.35 dan 0.5. c. Ketimpangan taraf tinggi, bila indeks Gini > 0.5.
Indeks Gini didasarkan pada kurva Lorenz. Kurva Lorenz merupakan sebuah kurva yang menjelaskan hubungan antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dengan persentase pendapatan yang mereka peroleh dari total pendapatan selama satu periode tertentu.
Fungsi kurva Lorenz dari sebaran teoritis secara formal dapat didefinisikan sebagai:
∫
dimana Y adalah variabel pendapatan, Y 0 dan µ = E(Y), sedangkan p = F(y) adalah fungsi sebaran kumulatif dari populasi penerima pendapatan. Berdasarkan definisi di atas, kurva Lorenz merupakan momen pertama fungsi sebaran F(y), sehingga persamaan di atas dapat diganti:
5 karena fungsi sebaran kumulatif dari semua model sebaran pendapatan adalah terus meningkat dan fungsinya dapat diturunkan kontinu, y = F−1(p), dengan baik (Zuliati 2001).
Untuk mengetahui ketelitian pengukuran ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dapat digunakan symmetric mean absolute percentage error (SMAPE). SMAPE merupakan ketelitian pengukuran yang berdasarkan persentase eror, didefinisikan dengan:
∑
| |
dengan At adalah nilai sebenarnya dan Ft adalah nilai ramalan. Formula tersebut
memiliki nilai 0% ≤ SMAPE ≤ 200% (Makridakis dan Hibon 1995).
METODE
Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Data BPS yang digunakan adalah data rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan dan garis kemiskinan menurut provinsi tahun 2010 (BPS 2011).
Prosedur Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah: 1. Memelajari ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke dan sebaran
pendapatan Pareto tipe I.
2. Mencari data rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan dan garis kemiskinan menurut provinsi tahun 2010.
3. Mencari nilai parameter θ dari sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan parameter α = 1.5 berdasarkan data.
4. Menghitung dan menganalisis ukuran kemiskinan provinsi di Indonesia dengan ukuran Foster-Greer-Thorbecke.
5. Melakukan pendugaan model kurva Lorenz dari sebaran pendapatan Pareto tipe I dan menghitung indeks Gini.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Zuliati (2001) melakukan penelitian tentang pendugaan model kurva Lorenz dan indeks Gini dari fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan dengan studi kasus sebaran pendapatan di Jawa Barat. Salah satu tujuan penelitiannya adalah mengetahui tingkat ketidakmerataan sebaran pendapatan pada tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) dan pada tahun 1999 (masa krisis ekonomi) untuk wilayah Jawa Barat berdasarkan indeks Gini. Hasil dugaan parameter fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan menggunakan metode Gauss-Newton pada wilayah Jawa Barat tahun 1996 adalah α = 1.5 dan θ = 0.0378, sedangkan untuk tahun 1999 adalah α = 1.5 dan θ = 0.0429.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian Zuliati (2001), diasumsikan parameter α = 1.5 sebaran pendapatan Pareto tipe I konstan terhadap perubahan kondisi perekonomian. Dalam karya ilmiah ini, nilai parameter α = 1.5 digunakan untuk menduga sebaran pendapatan pada tahun 2010 dari model sebaran pendapatan Pareto tipe I.
Dengan adanya informasi α = 1.5 dan data rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan (µ) tahun 2010, maka dapat diduga parameter θ sebaran pendapatan Pareto tipe I sehingga diperoleh sebaran pendapatan untuk tahun 2010. Pendugaan nilai parameter θ dan fungsi sebaran pendapatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
α α θ
maka θ .
Fungsi sebaran pendapatan tahun 2010 adalah:
θ θ
Hasil pendugaan nilai parameter θ masing-masing provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Analisis Ukuran Kemiskinan Provinsi di Indonesia dengan Ukuran Foster-Greer-Thorbecke
Head Count Index (P0)
Head count index (P0) merupakan banyaknya penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan dibagi dengan jumlah penduduk, dengan kata lain P0
7
∑ ∑
Dengan data garis kemiskinan (z) pada tahun 2010, dapat diperoleh proporsi fungsi sebaran kumulatif dari masing-masing provinsi. Proporsi tersebut adalah nilai peluang penduduk yang pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, ini merupakan persentase penduduk miskin (P0). Perhitungan nilai P0 dari fungsi
sebaran pendapatan dapat dirumuskan dengan cara sebagai berikut:
∫
θ
Hasil persentase penduduk miskin yang diperoleh dengan pendugaan dari fungsi sebaran pendapatan Pareto tipe I dibandingkan dengan persentase penduduk miskin berdasarkan data BPS dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa ada 11 provinsi yang memiliki ketelitian pengukuran yang cukup baik berdasarkan symmetric absolute percentage error (SAPE) yang kurang dari 55%, yaitu Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Nilai SAPE juga ditampilkan dalam diagram box-plot dapat dilihat pada Lampiran 4. Ukuran kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke akan dianalisis untuk 11 provinsi tersebut.
Nilai head count index (P0) masing-masing provinsi tahun 2010 yang
diduga dari fungsi sebaran pendapatan dapat dilihat dalam Tabel 1.
8
Indeks Kesenjangan Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1)
Indeks kesenjangan kemiskinan/poverty gap index (P1) merupakan ukuran
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Dari persamaan (1), indeks kesenjangan kemiskinan (P1) dirumuskan
dengan:
∑
Nilai ∑ merupakan jumlah total kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai ini dapat didekati dengan luas daerah di bawah kurva fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan (F(x)) terhadap sumbu-x yang dibatasi oleh parameter θ dan garis kemiskinan z. Daerah ini diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ilustrasi daerah kesenjangan kemiskinan
Formula indeks kesenjangan kemiskinan (P1) dari fungsi sebaran
pendapatan dapat dimodifikasi dengan cara sebagai berikut:
∑
∑
∫
θ
∫ ( θ )
θ
θ
θ
( θ ) θ
9 Perhitungan nilai P1 menggunakan nilai parameter θ masing-masing provinsi yang
sudah diduga sebelumnya dan data garis kemiskinan (z) dari data BPS.
Angka indeks kesenjangan kemiskinan (P1) untuk masing-masing provinsi
tahun 2010 disajikan dalam bentuk persentase seperti yang terdapat dalam Tabel 2. Tabel 2 Indeks kesenjangan kemiskinan (P1) tahun 2010
No. Provinsi P1(%)
1 Jawa Barat 1.16
2 Banten 0.06
3 DI Yogyakarta 1.10
4 Bali 0.08
5 Kalimantan Selatan 0.11
6 Kalimantan Timur 0.18
7 Sulawesi Utara 0.80
8 Gorontalo 2.21
9 Sulawesi Selatan 0.63
10 Sulawesi Tenggara 1.13
11 Papua 12.43
Nilai indeks P1 tidak memiliki kriteria rentang nilai yang mutlak. Nilai
minimum indeks P1 adalah 0, sedangkan nilai maksimumnya tergantung pada
nilai indeks P0. Untuk mengetahui nilai indeks P1 yang tertinggi dan terendah dari
11 provinsi, maka perlu menormalisasi nilai indeks P1 sehingga nilainya berada
dalam rentang nilai [0,100]. Normalisasi dilakukan dengan cara:
5 Kalimantan Selatan 1.91
6 Kalimantan Timur 2.49
7 Sulawesi Utara 5.36
8 Gorontalo 9.11
9 Sulawesi Selatan 4.74
10 Sulawesi Tenggara 6.41
11 Papua 23.63
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 3, wilayah yang memiliki indeks kesenjangan kemiskinan (P1) tertinggi adalah Provinsi Papua dengan nilai
10
rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin paling dekat dari garis kemiskinan adalah Provinsi Banten dengan nilai indeks 0.06.
Indeks kesenjangan kemiskinan (P1) juga dapat memberikan informasi
besarnya pendapatan yang dibutuhkan untuk keluar dari kemiskinan. Hal ini berarti Provinsi Papua membutuhkan peningkatan pendapatan terbesar untuk keluar dari kemiskinan. Sedangkan Provinsi Banten membutuhkan upaya peningkatan pendapatan terkecil untuk keluar dari kemiskinan.
Berikut data perbandingan nilai indeks P1 dengan P0 dari 11 provinsi
Apabila nilai indeks P1 masing-masing provinsi dibandingkan dengan nilai
indeks P0, dapat terlihat bahwa masing-masing provinsi memiliki nilai indeks P1
yang relatif jauh dari nilai indeks P0. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa
masing-masing provinsi memiliki indeks kesenjangan kemiskinan (P1) yang
rendah. Hal ini menggambarkan bahwa di antara mereka yang miskin di setiap provinsi sangat kecil kemungkinan yang keadaannya sangat kekurangan.
Indeks Penyebaran Kemiskinan/Poverty Severity Index (P2)
Indeks penyebaran kemiskinan/poverty severity index (P2) memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Dari persamaan (1), indeks penyebaran kemiskinan (P2) dirumuskan dengan:
∑
11 F(x,y)
Transformasi B(x
’,y’)
x √
y y’= y
Jadi fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan yang baru (B(x)) adalah:
θα √ α
Jadi nilai ∑ dapat didekati dengan luas daerah di bawah kurva fungsi sebaran kumulatif sebaran pendapatan yang baru (B(x)) terhadap sumbu-x yang dibatasi oleh garis kemiskinan z dan z + (z − θ)2. Daerah ini diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Ilustrasi daerah B(x)
Formula indeks penyebaran kemiskinan (P2) dari fungsi sebaran pendapatan
dapat dimodifikasi dengan cara sebagai berikut:
∑
∑
∫ θ
∫ θ θ √
(n = 1 karena nilai peluang F(x)).
Perhitungan nilai P2 menggunakan nilai parameter θ masing-masing provinsi yang
sudah diduga sebelumnya dan data garis kemiskinan (z) dari data BPS. Perhitungan dilakukan dengan bantuan software Mathematica.
z+(z-θ)2
12
Angka indeks penyebaran kemiskinan (P2) untuk masing-masing provinsi
tahun 2010 disajikan dalam bentuk persentase seperti yang terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Indeks penyebaran kemiskinan (P2) tahun 2010
No. Provinsi P2(%)
1 Jawa Barat 0.0973
2 Banten 0.0010
3 DI Yogyakarta 0.0906
4 Bali 0.0018
5 Kalimantan Selatan 0.0029
6 Kalimantan Timur 0.0059
7 Sulawesi Utara 0.0555
8 Gorontalo 0.2585
9 Sulawesi Selatan 0.0386
10 Sulawesi Tenggara 0.0936
11 Papua 3.5724
Dari hasil yang diperoleh, wilayah yang memiliki indeks penyebaran kemiskinan (P2) tertinggi adalah Provinsi Papua dengan nilai indeks 3.5724. Hal
ini menggambarkan bahwa Provinsi Papua memiliki disparitas kemiskinan antar orang miskin yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya. Angka ini menyatakan bahwa walaupun sama-sama miskin, antar orang miskin di Provinsi Papua ketimpangan pengeluaran mereka masih cenderung tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Selain itu, indeks tersebut mengidentifikasikan semakin bervariasinya jarak pengeluaran orang miskin di Provinsi Papua dari garis kemiskinan dibandingkan dengan provinsi lainnya. Di sisi lain, Provinsi Banten memiliki ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin terendah apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya, dengan nilai indeks 0.0010. Indeks ini menggambarkan bahwa di Provinsi Banten memiliki variasi yang kecil pada jarak pengeluaran orang miskin dari garis kemiskinan.
Tingkat Kemerataan Sebaran Pendapatan
Model sebaran pendapatan yang mengukur tingkat kemerataan sebaran pendapatan suatu wilayah adalah kurva Lorenz. Kurva Lorenz pada dasarnya merupakan fungsi sebaran kumulatif pendapatan yang digunakan untuk menghitung proporsi jumlah total pendapatan yang dimiliki oleh penerima pendapatan (Zuliati 2001). Model kurva Lorenz dapat diperoleh dengan pendugaan dari sebaran pendapatan Pareto tipe I.
Jumlah total semua pendapatan ≤p adalah:
13
α α θα α
θ
α α θα α α
α θ
α ααθ θα α
Jumlah total semua pendapatan ≤ p tersebut dibagi dengan mean (E(X)) menghasilkan proporsi dari jumlah total semua pendapatan yang ≤p, yaitu:
∫θ
α ααθ θα α(ααθ )
θ αθα
θ α
Fungsi sebaran kumulatif dengan pendapatan p (F(p) = F) merupakan
m y y ≤ p. Karena fungsi
sebaran kumulatif terus meningkat, maka dapat dihasilkan fungsi invers p(F), yaitu:
θα α θα α
α θα
θ α
Dengan mensubstitusikan nilai p ke fungsi L(p) maka diperoleh proporsi jumlah total pendapatan yang dimiliki oleh penerima pendapatan, yaitu:
θ
α
θ
α
α
Maka fungsi kurva Lorenz dari sebaran pendapatan Pareto tipe I adalah:
α α
14
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua pada tahun 2010 adalah:
Gambar 3 berikut ini adalah bentuk kurva Lorenz untuk semua provinsi pada tahun 2010.
Gambar 3 Kurva Lorenz tahun 2010
Salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh adalah indeks Gini. Indeks Gini dihitung berdasarkan kurva Lorenz. Indeks Gini didefinisikan sebagai rasio daerah antara kurva Lorenz dan garis diagonal (45°) terhadap total daerah di bawah diagonal.
Luas daerah antara kurva Lorenz dan garis diagonal (45°) adalah:
∫ αα ( α Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua pada tahun 2010 adalah 0.5.
15 Tabel 6 Indeks Gini tahun 2010 berdasarkan data BPS
No. Provinsi Indeks Gini
1 Jawa Barat 0.36
2 Banten 0.42
3 DI Yogyakarta 0.41
4 Bali 0.37
5 Kalimantan Selatan 0.37
6 Kalimantan Timur 0.37
7 Sulawesi Utara 0.37
8 Gorontalo 0.43
9 Sulawesi Selatan 0.40
10 Sulawesi Tenggara 0.42
11 Papua 0.41
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS, secara umum Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua memiliki nilai indeks Gini yang relatif sama, yaitu di sekitar angka 0.4. Dibandingkan dengan nilai indeks Gini yang diperoleh dari pendugaan model sebaran pendapatan Pareto tipe I yakni 0.5, hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh. Kriteria ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan indeks Gini yang diduga dari model sebaran pendapatan Pareto tipe I maupun dari data BPS untuk Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua adalah sama, yaitu ketimpangan distribusi pendapatan taraf sedang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan model sebaran pendapatan Pareto tipe I dengan pemilihan nilai parameter α = 1.5, terdapat 11 provinsi dari 33 provinsi yang sebaran pendapatan tahun 2010 sesuai dengan model. Provinsi tersebut adalah Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dan Provinsi Banten memiliki persentase penduduk miskin terendah. Provinsi Papua memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin paling jauh dari garis kemiskinan dan memiliki ketimpangan pengeluaran antar orang miskin yang cenderung tinggi dibandingkan dengan 10 provinsi lainnya. Sedangkan rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap orang miskin paling dekat dari garis kemiskinan dan memiliki ketimpangan pengeluaran antar orang miskin yang cenderung rendah dimiliki oleh Provinsi Banten.
16
indeks Gini hanya bergantung pada nilai parameter α, yakni
α . Dalam penelitian ini menggunakan parameter α yang sama, yakni 1.5, maka
Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua memiliki nilai indeks Gini yang sama, yakni 0.5. Ini berarti provinsi-provinsi tersebut memiliki kriteria ketimpangan distribusi pendapatan taraf sedang berdasarkan kriteria Oshima.
Saran
Nilai parameter α = 1.5 tidak sesuai untuk menduga sebaran pendapatan provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui metode lain yang lebih akurat dalam pendugaan nilai parameter α untuk mengetahui tingkat kemerataan sebaran pendapatan di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Blackwood DL, Lynch RG. 1994. The Measurement of Inequality and Poverty: A
cy ’ to the Literature. World Development, Vol. 22, No. 4,
pp. 567-578. doi: 10.1016/0305-750X(94)90112-0.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
[BPS Kota Semarang Bappeda Kota Semarang] Badan Pusat Statistik Kota Semarang, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang. 2012. Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011. Semarang (ID): BPS dan Bappeda Kota Semarang.
Foster J, Greer J, Thorbecke E. 1984. A Class of Decomposable Poverty Measures. Econometrica, Vol. 52, No. 3, pp. 761-776. doi:10.2307/1913475.
Hasbullah J. 2011. Memahami Angka Kemiskinan di Indonesia [Internet]. Opini Republika 6 Januari 2011; [diunduh 2013 Nov 25]. Tersedia pada: Taken. North Carolina (US): University of North Carolina.
Sumargo B. 2002. Validitas dan Reliabilitas Pengukuran Kemiskinan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
17 Lampiran 1 Fungsi sebaran kumulatif dan nilai harapan sebaran pendapatan
Pareto tipe I
Fungsi kepekatan peluang Pareto tipe I:
αθα α θ α
Fungsi sebaran kumulatif Pareto tipe I:
≤ ∫
θ
∫ αθα α θ
θα α] θ
θα α
dengan x θ > 0, α > 1.
Untuk nilai x yang cukup besar, maka nilai peluangnya bernilai 1. Nilai harapan sebaran Pareto tipe I:
∫
θ
∫ αθα α
θ
∫ αθα α
θ
α α θα α ]
θ
α α θα(
θα )
α α θ
18
Lampiran 2 Nilai rata-rata total pengeluaran per kapita sebulan, parameter θ, dan garis kemiskinan
7 Sumatera Selatan 4.53722 1.51241 2.43904
8 Kepulauan Bangka Belitung 6.61834 2.20611 2.83302
9 Bengkulu 4.77749 1.59250 2.45762
18 Nusa Tenggara Barat 4.24377 1.41459 2.08784 19 Nusa Tenggara Timur 3.33008 1.11003 1.60743
20 Kalimantan Barat 4.71360 1.57120 1.82293
21 Kalimantan Tengah 5.11818 1.70606 2.12790 22 Kalimantan Selatan 5.90378 1.96793 2.04732
23 Kalimantan Timur 7.93438 2.64479 2.78031
24 Sulawesi Utara 5.06633 1.68878 1.88096
25 Gorontalo 4.16691 1.38897 1.67162
26 Sulawesi Tengah 4.51174 1.50391 2.31225
27 Sulawesi Selatan 4.61810 1.53937 1.69286
28 Sulawesi Barat 4.04379 1.34793 1.65914
29 Sulawesi Tenggara 4.25599 1.41866 1.61451
30 Maluku 3.88663 1.29554 2.28895
31 Maluku Utara 5.26951 1.75650 2.02185
32 Papua 4.98350 1.66117 2.73285
19 Lampiran 3 Perbandingan nilai P0 dengan data BPS
No. Provinsi P0
8 Kepulauan Bangka Belitung 31.28% 6.51% 131.10%
9 Bengkulu 47.84% 18.30% 89.32%
20
Lampiran 4 Diagram box-plot nilai SAPE dari persentase penduduk miskin (P0)
Keterangan:
SAPEmin = 0.99%
SAPEmax = 200%
Q1 = 45.21%
Median = 69.70% Q3 = 89.32%
Batas Atas = 155.48%
200%
155.48%
89.32%
69.70%
45.21%
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 9 Oktober 1990. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Arjulis (alm) dan Ibu Gusmarni.
Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP N 1 Batusangkar, Sumatera Barat, pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA N 1 Batusangkar dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan minor yang diambil selama masa perkuliahan adalah Manajemen Fungsional.