• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi infestasi ektoparasit pada anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta^cGrady Priasdhika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi infestasi ektoparasit pada anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta^cGrady Priasdhika"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI INFESTASI EKTOPARASIT PADA ANJING DI

PONDOK PENGAYOM SATWA JAKARTA

GRADY PRIASDHIKA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Studi Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Grady Priasdhika

(3)

ABSTRAK

GRADY PRIASDHIKA. Studi Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.

Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling sering dipelihara oleh manusia. Masalah yang sering ditemukan adalah adanya ektoparasit seperti caplak, pinjal, tungau, dan kutu. Penelitian ini bertujuan mengetahui besarnya kasus infestasi ektoparasit pada pasien anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta (PPSJ) dari tahun 2009 sampai 2013. Data rekam medis dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 538 dari 3 478 pasien anjing yang datang di PPSJ terinfestasi ektoparasit (15.47%). Jenis ektoparasit yang tercatat adalah caplak (41.96%), kutu (23.94%), pinjal (21.48%), dan tungau (12.63%). Infestasi ektoparasit ditemukan lebih banyak pada anjing jantan (16.55%) dibandingkan anjing betina (14.15%). Selain itu, anjing ras murni memiliki prevalensi tertinggi (17.87%) diikuti anjing campuran (mix) (13.27%), dan anjing lokal (12.43%). Anjing dengan umur lebih dari 1 tahun (17.21%) lebih banyak terinfestasi dibandingkan anjing berumur 1 tahun atau kurang (13.59%). Hasil uji Chi-square (p<0,01) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, jenis anjing, dan umur dengan infestasi ektoparasit pada anjing.

Kata kunci : anjing, ektoparasit, infestasi, jenis kelamin, prevalensi, ras, umur

ABSTRACT

GRADY PRIASDHIKA. Study of Ectoparasites Infestation in Dogs at

Pondok

Pengayom

Satwa

Jakarta.

Supervised

by

UPIK

KESUMAWATI HADI.

Dog is the most common pet animal reared by humans. The problem that often found is the presence of ectoparasites such as ticks, fleas, mites, and louse. This study aim to determine the prevalence ectoparasite infestations in dogs at Pondok Pengayom Satwa Jakarta (PPSJ) from 2009 to 2013. The medical record data grouped based on sex, breed, and age. The result showed that there were 538 from 3 478 dogs that come at PPSJ infested by ectoparasites (15.47%). Types of ectoparasites recorded from 2012 to 2013 were ticks (41.96%), louse (23.94%), fleas (21.48%), and mites (12.63%). The infestation of ectoparasites found more in the male dog (16.55%) than the female dog (14.15%). In addition, pure breed dog (17.87%) had the highest prevalence of ectoparasites followed by mixed (13.27%), and local breed (12.43%). The dog which above 1 year old (17.21%) was more infested than the dog which 1 year old or less (13.59%). The result of Chi-square test (p<0.01) showed there were significant different between sex, breed, and age with the ectoparasites infestations in dogs.

(4)

STUDI INFESTASI EKTOPARASIT PADA ANJING DI

PONDOK PENGAYOM SATWA JAKARTA

GRADY PRIASDHIKA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan Insititut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini:

1 Kedua orangtua dan keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2 Ketua, dokter hewan, dan karyawan Pondok Pengayom Satwa Jakarta yang telah membantu penulis dalam kegiatan penelitian.

4 Dr Bambang Kiranadi, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dalam melaksanakan kegiatan perkuliahan. 5 Seluruh staf Bagian Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit

Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan. 6 Teman-teman seperjuangan Acromion FKH 47 yang telah memberikan

semangat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan umumnya bagi pembaca, serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, Desember 2014

Grady Priasdhika

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Caplak 2

Pinjal 5

Kutu 6

Tungau 7

Pencegahan dan Pengendalian Ektoparasit 8

Animal Shelter 8

METODE 9

Tempat dan Waktu Penelitian 9

Metode Penelitian 9

Pengambilan Data 9

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Prevalensi Infestasi Ektoparasit 9

Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin 11

Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Jenis Anjing 12

Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 18

(8)

DAFTAR GAMBAR

1 CaplakR. sanguineus 3

2 Siklus hidup caplakR. sanguineus 4

3 Siklus hidup pinjalC. felis 6

4 Siklus hidup tungauS. scabiei 8

5 Jenis ektoparasit yang ditemukan 10

6 Perbandingan jumlah pasien anjing yang terinfestasi dari tahun 2009

sampai 2013 berdasarkan jenis kelamin 12

7 Perbandingan jumlah pasien anjing yang terinfestasi dari tahun 2009

sampai 2013 berdasarkan jenis anjing 13

8 Perbandingan jumlah pasien anjing yang terinfestasi dari tahun 2009

sampai 2013 berdasarkan umur 14

DAFTAR TABEL

1 Jumlah pasien anjing pertahun, jumlah anjing terinfestasi ektoparasit, dan prevalensi infestasi ektoparasit di Pondok

Pengayom Satwa Jakarta tahun 2009 sampai 2013 11

2 Jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit berdasarkan

jenis kelamin di Pondok Pengayom Satwa Jakarta 11

3 Jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit berdasarkan

jenis anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta 12

4 Jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit berdasarkan

umur di Pondok Pengayom Satwa Jakarta 13

5 Hasil uji Chi-square jenis kelamin, jenis anjing, umur, dan

infestasi ektoparasit 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data infestasi ektoparasit perbulan berdasarkan kasus, jenis kelamin,

umur, dan jenis anjing 18

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan hewan kesayangan yang sering dipelihara oleh manusia. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan manusia. Anjing memiliki keistimewaan, seperti tingkat intelegensi yang cukup tinggi sehingga dapat dilatih, dapat menjadi teman bermain, dan memiliki sifat yang sangat setia pada pemilik. Selain sebagai teman bermain, anjing dipelihara untuk dijadikan pekerja, berburu, penjaga, dan pelacak.

Dalam memelihara hewan kesayangan, seringkali timbul masalah yang berkaitan dengan penyakit hewan. Masalah yang sering muncul adalah adanya gangguan ektoparasit. Ektoparasit banyak dijumpai di Indonesia karena kondisi iklim dan kelembaban yang menunjang kehidupan ektoparasit sepanjang tahun (Dharmojono 2001). Ektoparasit yang sering ditemukan pada anjing adalah caplak, kutu, tungau, dan pinjal. Caplak yang sering ditemukan pada anjing di Indonesia adalah Rhipicephalus sanguineus(Hadi dan Rusli 2006).Caplak hidup di permukaan kulit hewan dan akan menghisap darah induk semang melalui pembuluh darah perifer yang berada di bawah kulit. Caplak memiliki ukuran tubuh yang cukup besar yang melekat pada permukaan kulit sehingga sangat mudah ditemukan pada daerah tubuh anjing. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher, sela-sela jari, dan bagian dalam telinga (Hadi dan Soviana 2010). Caplak dapat menjadi vektor penular berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, rickettsia, dan protozoa (Levine 1994).

Pinjal yang sering ditemukan pada anjing adalah Ctenocephalides canisdan

Ctenocephalides felis. Pinjal berada pada permukaan tubuh inang saat membutuhkan makanan. Gigitan pinjal dapat mengakibatkan flea allergic dermatitis. Selain itu, pinjal berperan sebagai vektor penyakit plague dan inang antara cacing Dipylidium caninum (Eisen et al. 2008; Hadi dan Soviana 2010). Kutu yang sering ditemukan pada anjing adalah Trichodectes canis. Kutu ini sebagai inang antara cacing Dipylidium caninum untuk menularkan ke manusia (Scottet al.2001). Jenis ektoparasit tersebut banyak ditemukan di klinik, tempat penitipan anjing, dankennel. Tempat penitipan anjing dapat menjadi tempat yang berisiko dalam penyebaran ektoparasit. Tempat penitipan anjing menjadi alternatif pemilik jika mereka terlalu sibuk sehingga takut tidak dapat mengurusnya. Populasi ektoparasit yang sedikit tidak terlalu mengganggu hewan. Namun, bila terus berkembang biak dan jumlahnya bertambah banyak maka hewan akan terlihat terganggu.

(10)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui besarnya kasus infestasi ektoparasit pada pasien anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kasus infestasi ektoparasit pada anjing dan dapat dijadikan sumber acuan dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan ektoparasit di Pondok Pengayom Satwa.

TINJAUAN PUSTAKA

Caplak

Caplak adalah ektoparasit penghisap darah yang mempunyai peranan penting dalam bidang kesehatan hewan. Penyebaran caplak di seluruh dunia sangat luas dan umumnya terdapat di daerah teritorial meliputi hutan, rawa, gunung, dan padang rumput (Soulsby 1982; Levine 1994).

Caplak terdiri dari 2 famili yaitu Ixodidae dan Argasidae. Famili Ixodidae terdiri atas genus Ixodes, Haemophysalis, Dermacentor, Hyalomma, Nosomma,

Rhipicephalus, Boophilus, dan Margropus. Famili Argasidae terdiri atas genus

Argas, Ornithodoros, dan Otobius (James dan Harwood 1969). Caplak dari spesies R. sanguineusatau disebut juga “brown dog tick” merupakan jenis caplak yang paling sering terdapat pada anjing.

Nuchjangreed dan Somprasong (2007) melaporkan infestasi caplak di Pattaya, Thailand disebabkan R. sanguineuspada anjing (77.4%, 356/460) dan B. micropluspada sapi (10.9%, 50/460).

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Krantz (1970) caplak anjing (R. sanguineus) diklasifikasikan sebagai berikut :

Filum :Arthropoda

Kelas :Arachnida

Ordo :Parasitiformes

Famili :Ixodidae

Genus :Rhipicephalus

(11)

3

Gambar 1 CaplakR. sanguineus(a) larva, (b) nimfa, (c) betina dewasa, (d) jantan dewasa (Dantas-Torres 2010)

Secara umum tubuh caplak terbagi atas 2 bagian, yaitu gnatosoma (kepala dan toraks) dan idiosoma (abdomen). Pada bagian gnatosoma terdapat kapitulum (kepala) dan bagian-bagian mulut yang terletak dalam suatu rongga yang disebut kamerostom. Bagian dasar kapitulum adalah basis kapituli yang berhubungan dengan bagian idiosoma (Hadi dan Soviana 2010). Idiosoma adalah bagian posterior tubuh caplak.

Pada batas posterior bidang dorsal tubuh caplak dapat ditemukan legokan-legokan yang dinamakan marginal festoon. Pada caplak jantan maupun betina, lubang anus dan lubang kelamin terletak pada bidang ventral di tengah-tengah antara koksa 1 dan 2. Spirakel berbentuk koma, kapitula yang pendek, dan lekukan anus hanya mengelilingi setengah bagian dari anus dan kemudian memperluas bagian caudal hingga ke lekukan medial (James dan Harwood 1969).

LarvaR. sanguineus memiliki 3 pasang kaki, nimfa memilik 4 pasang kaki, dan dewasa memiliki 4 pasang kaki. Larva berbentuk bulat dengan sistem trakea belum berkembang dan berwarna coklat muda. Nimfa berbentuk oval dan lubang genital belum berkembang serta berwarna abu-abu. Di samping itu,R. sanguineus

juga memiliki sepasang mata yang terletak pada batas lateral skutum (James dan Harwood 1969). Seluruh bagian dorsal tubuh caplak jantan dewasa tertutup dengan skutum sedangkan pada caplak betina dewasa hanya sebagian saja (Gambar 1).

Siklus HidupR. sanguineus

Siklus hidup R. sanguineus memerlukan 3 induk semang untuk menjadi caplak dewasa. Induk semang dari telur menetas sampai menjadi caplak dewasa bisa pada jenis anjing yang sama rasnya ataupun dari ras yang berbeda. Seluruh stadium kehidupan caplak disebut stadium parasitik, karena R. sanguineus

(12)

4

badan caplak, jumlah darah yang dihisap, dan suhu serta kelembaban telur (suhu optimum 24–30 ºC dan kelembaban 80–90%).

Larva yang baru menetas akan segera mencari induk semangnya untuk menghisap darah inangnya sampai kenyang, kemudian larva jatuh ke tanah atau tetap tinggal di tubuh inangnya. Pada musim panas, larva molting menjadi nimfa selama 2 minggu dan pada musim dingin selama 7 minggu (Lord 2001). Larva sebelum menghisap darah akan berbentuk pipih dan akan mengalami perubahan bentuk menjadi bulat setelah menghisap darah. Setelah kenyang menghisap darah, larva akan jatuh ke tanah dan mencari tempat perlindungan yang kemudian akan berubah menjadi nimfa. Nimfa akan menghisap darah sampai kenyang kemudian jatuh ke tanah dan molting menjadi caplak dewasa dalam waktu 11–73 hari (Soulsby 1982; Levine 1990) atau 12–29 hari menurut Yates (1992). Caplak betina dewasa akan menghisap darah dalam waktu 6–21 hari (Soulsby 1982; Levine 1990) atau 6–50 hari menurut Yates (1992).

Gambar 2 Siklus hidup caplakR. sanguineus(Hadiet al.2013)

Siklus hidup caplak (Gambar 2) dapat berlangsung selama 2 bulan sampai 2 tahun tergantung pada kondisi lingkungannya. Dengan kondisi lingkungan yang mendukung, siklus hidupnya semakin pendek yang artinya perkembangbiakan semakin cepat terjadi. Pada suhu 29 ºC siklus hidup caplak berlangsung 63 hari dan dalam lingkungan yang kurang mendukung dalam 1 tahun hanya dapat mencapai 4 generasi. R. sanguineus dapat bertahan dalam kondisi yang kurang menguntungkan selama 253–255 hari tanpa makan (Soulsby 1982). Caplak ini juga tahan terhadap lingkungan yang terendam air, kekeringan, dan ketidaktersediaan makanan dalam waktu berbulan-bulan (Levine 1994).

(13)

5

Pinjal

Pinjal merupakan serangga ektoparasit yang bersifat semiobligat dan menghisap darah inangnya saat dewasa. Menurut Wall dan Shearer (2001) pinjal memilki 2 famili yang penting dalam dunia kedokteran hewan yaitu Ceratophyllidae dan Pulicidae. Famili Ceratophyllidae merupakan famili besar yang terdiri dari 80 spesies parasit burung dan sekitar 420 spesies parasit hewan pengerat (Taylor et al. 2007). Famili Pulicidae memiliki beberapa genus penting, misalnyaCtenocephalides (pinjal kucing dan anjing), Pulex (pinjal manusia) dan

Xenopsylla (pinjal tikus) yang merupakan jenis-jenis pinjal yang sering dijumpai sebagai ektoparasit utama serta menimbulkan masalah di Indonesia (Hadi dan Soviana 2010). Pinjal anjing (C. canis) memiliki kemiripan dengan pinjal kucing (C. felis) tetapi lebih jarang ditemukan. Pinjal kucing dapat ditemukan pada anjing karena pinjal kucing dapat hidup di tubuh anjing (Zentko dan Richman 2011).

Hasil studi di Hawassa, Ethiopia Selatan oleh Kumsa dan Mekonnen (2011) melaporkan tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada spesies C. felis (82.9%) diikutiC. canis(73.8%).

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Soulsby (1982) pinjalC. felisdiklasifikasikan sebagai berikut: Filum :Arthropoda

Pinjal dewasa memiliki bentuk tubuh pipih bilateral (Bowman 2002), berukuran 1.5–4 mm, tidak bersayap, mempunyai kaki-kaki yang panjang, dan kuat untuk meloncat. Tubuh pinjal ditutupi oleh rambut-rambut halus maupun kasar. Permukaan tubuh pinjal dilapisi khitin yang tebal untuk memudahkan bergerak pada rambut dan kulit inang (Urquhart 1996). Kepalanya kecil berbentuk segitiga dan memiliki lekuk di belakang mata yang berfungsi menyimpan antena bersegmen (Levine 1994). Pinjal memiliki mulut yang mengarah ke bawah dan terdiri dari sepasang maxillary lacinae yang berfungsi menusuk kulit inang. Bagian abdomen terbagi menjadi 10 segmen, pada segmen 6 sampai 8 terdapat spermateka pada pinjal betina yang berfungsi menyimpan sperma. Bagian toraks terdiri atas 3 ruas, yaitu protoraks, mesotoraks, dan metatoraks (Hadi dan Soviana 2010). Beberapa pinjal memiliki duri di atas mulut dan di belakang protoraks yang berguna untuk identifikasi jenis pinjal (Urquhart 1996).

Secara umum morfologi dari C. canis sama dengan C. felis, pinjalC. canis

memiliki duri ke-1 dari genal ctenidium yang lebih pendek dari duri ke-2. Kaki belakang terdiri dari 8 ruas padaC. canisdan 5 ruas padaC. felis. Kepala C.canis tidak memiliki panjang 2 kali lebar kepalanya sedangkan C. felis 2 kalinya (Soulsby 1982).

Siklus HidupC. felis

(14)

6

kondisi lingkungan optimal, seperti suhu dan kelembaban (Zentko dan Richman 2011) dan dapat mencapai 6–12 bulan pada kondisi yang tidak ideal (Wall dan Shearer 2001). Pinjal betina biasanya mengeluarkan telur sampai 20 butir setiap periode bertelurnya. Telur pinjal berbentuk oval dan berwarna keputihan. Telur menetas menjadi larva selama 2 hari dan berkembang dengan baik pada lingkungan yang terlindung dari sinar matahari dan hujan dengan kelembaban 75% dan suhu 70–90 oF. Sebelum menjadi dewasa, larva akan menjadi pupa sampai benar-benar menjadi pinjal dewasa. Menurut Dryden (1988) pinjal dewasa dapat hidup optimal pada lingkungan dengan suhu 27–39 oC dengan kelembaban 75–92%.

Gambar 3 Siklus hidup pinjalC. felis(Hadiet al.2013)

Kutu

Kutu merupakan serangga ektoparasit yang bersifat obligat dan memiliki bentuk tubuh pipih dorsoventral dengan ukuran antara 1–6 mm. Menurut Hadi dan Soviana (2010) jenis kutu yang menyerang anjing di Indonesia ada 2, yaitu

Heterodoxus longitarsusdanTrichodectes canis.T. canisadalah kutu yang paling sering ditemukan pada anjing yang menyebabkan pruritus dan juga menyebarkan patogen seperti Dipylidium caninum (Torres dan Figueredo 2007). Kedua kutu tersebut memiliki tipe mulut pengigit. Kutu berukuran besar, seluruh tubuhnya ditumbuhi oleh rambut lebat dan tebal berukuran sedang sampai panjang. Antenanya tersusun oleh 4 segmen, pada kutu betina ditemukan gonopods (alat kelamin luar). Bentuk tubuh kutu jenis ini pendek, membulat, berwarna kekuningan, kepalanya membulat, dan antenanya tersusun oleh 3 segmen. Pada ujung kaki ditemukan sebuah cakar, abdomen ditemukan spirakel pada segmen 2– 6, dan banyak bulu setae berukuran panjang.

(15)

7

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Hopla et al. (1994) kutu anjing (T. canis) diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum :Arthropoda

Kelas :Insekta

Ordo :Phthiraptera(Mallophaga) Sub ordo :Ischnocera

Famili :Trichodectidae

Genus :Trichodectes

Spesies :Trichodectes canis

Siklus HidupT. canis

Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna yang dimulai dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga kemudian dewasa. Telur yang dihasilkan kutu betina dewasa berjumlah 10–300 selama hidupnya dengan ukuran 1–2 mm, berbentuk oval, berwarna putih, dan beberapa jenis telur dilengkapi operkulum. Telur akan menetas menjadi nimfa setelah 5–18 hari. Warna nimfa dan kutu dewasa putih, makin tua akan menjadi gelap. Kutu dewasa dapat hidup 10 hari sampai beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2010).

Tungau

Tungau merupakan ektoparasit yang sering menyebabkan penyakit kulit seperti skabies dan demodekosis pada anjing. Skabies pada anjing disebabkan tungau Sarcoptes scabiei, sedangkan tungau yang menyebabkan demodekosis adalah Demodex canis. Sarcoptes scabiei berbentuk bulat, dengan ukuran tubuh jantan lebih kecil dibandingkan betina. Tungkai ke-2 pendek, pasangan tungkai ke-3 dan 4 tidak melebihi batas tubuh. Setiap tungkai dilengkapi dengan alat penghisap. Pada bidang dorsal terdapat stria halus dan cekungan-cekungan memanjang secara transversal (Hadi dan Soviana 2010).

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Taylor et al. (2007) tungau S. scabiei diklasifikasikan sebagai berikut:

Spesies :Sarcoptes scabiei

Siklus HidupS. scabiei

(16)

8

2001). Telur-telur tersebut akan menetas setelah 3–8 hari dan menjadi larva. Setelah 2–3 hari larva akan menjadi protonimfa, kemudian menjadi tritonimfa, dan beberapa hari kemudian menjadi dewasa. Stadium telur menjadi dewasa berlangsung selama 17–21 hari.

Gambar 4 Siklus hidup tungauS. scabiei(Hadiet al.2013)

Pencegahan dan Pengendalian Ektoparasit

Kerugian yang ditimbulkan oleh infestasi ektoparasit sangat banyak, sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian. Secara umum tindakan pengendalian dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu secara fisik, kimia, dan biotik. Pengendalian ektoparasit menurut ESCCAP (2012) dilakukan dengan mencegah hewan keluar rumah sehingga meminimalisir resiko infestasi. Menurut Blagburn dan Dryden (2009) pengendalian pinjal dapat dilakukan dengan membersihkan tempat tidur anjing, karpet, dan perabot rumah dengan vacuum cleaner untuk menghilangkan telur dan larva pinjal. Pengendalian pada caplak dengan pengambilan secara manual dan melenyapkan area yang beresiko menjadi tempat berkembangnya caplak.

Pengendalian secara kimia dengan menggunakan obat antiektoparasit atau insektisida. Permetrin, deltametrin, dan spinosad merupakan contoh insektisida untuk pengendalian ektoparasit (Beugnet dan Franc 2012). Antiektoparasit lain yang dapat digunakan seperti organofosfat, karbamat, amitraz, piretrin, dan piretroid.

Animal Shelter

Animal shelter merupakan tempat yang berperan dalam kesehatan dan pemeliharaan yang baik pada hewan. The Association of Shelter Veterinarians

(17)

9

Agustus 1987 oleh ibu Soeprapti Soeprapto, istri mantan Gubernur DKI Jakarta bapak R. Soeprapto. Dikarenakan Pondok Pengayom Satwa Jakarta adalah organisasi sosial, maka dana operasional sebagian besar berasal dari donasi pecinta satwa, biaya serahan, dan adopsi satwa. Semakin banyaknya anjing dan kucing yang diserahkan ke Pondok Pengayom Satwa Jakarta membuat biaya operasional yang ada tidak mencukupi. Oleh karena itu, Pondok Pengayom Satwa Jakarta membuka berbagai jasa pelayanan, yaitu penitipan anjing dan kucing, klinik hewan, mandi satwa, angkut satwa, kremasi, dan makam satwa.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Pondok Pengayom Satwa, Ragunan, Jakarta Selatan dari bulan Juli sampai Oktober 2014 dengan mengumpulkan data rekam medik sebagai sumber data penelitian.

Metode Penelitian

Pengambilan Data

Pengambilan data kasus berdasarkan rekam medik (medical record) di Pondok Pengayom Satwa Jakarta pada pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit yang kemudian akan dianalisis. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta dari 2009 sampai 2013. Ektoparasit yang tercatat pada rekam medik tidak spesifik terhadap jenis ektoparasit tertentu. Beberapa catatan rekam medik menunjukkan adanya infestasi caplak, tungau, pinjal, dan kutu.

Analisis Data

Data kasus ektoparasit diidentifikasi dari seluruh pasien anjing yang datang dan dihitung prevalensinya, lalu kasus infestasi ektoparasit dianalisis berdasarkan jenis/ras, umur, dan jenis kelamin kemudian dianalisis dengan uji Chi-square menggunakan software SPSS 15.0. Data disajikan secara deskriptif dan dalam bentuk tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Infestasi Ektoparasit

(18)

10

pinjal (Ctenocephalides felis), kutu (Trichodectes canis dan Heterodoxus longitarsus), dan tungau (Sarcoptes scabiei dan Demodex canis). Beberapa catatan rekam medik terlihat infestasi caplak sering terjadi dibandingkan dengan ektoparasit lain. Pada tahun 2012 sebanyak 73 kasus dari total 151 kasus infestasi diakibatkan oleh caplak (48.34%), diikuti kutu 36 kasus (23.84%), pinjal 30 kasus (19.87%), dan tungau 12 kasus (7.95%). Sementara itu, tahun 2013 sebanyak 37 kasus dari total 104 kasus infestasi diakibatkan oleh caplak (35.58%), diikuti oleh kutu 25 kasus (24.04%), pinjal 24 kasus (23.08%), dan tungau 18 kasus (17.31%). Rata-rata dari tahun 2012–2013, kasus infestasi oleh caplak sebesar 41.96%, kutu 23.94%, pinjal 21.48%, dan tungau 12.63%.

Gambar 5 Jenis ektoparasit yang ditemukan (A) caplakR. sanguineus, (B) pinjalC. felis, (C) kutuT. canis, (D) tungauS. scabiei

Data rekam medik pasien yang diperoleh dari Pondok Pengayom Satwa Jakarta pada bulan Januari 2009 sampai Desember 2013 menunjukkan adanya 538 kasus ektoparasit pada anjing. Jumlah pasien yang terinfestasi ektoparasit, jumlah pasien anjing tiap tahun, dan prevalensi infestasi ektoparasit tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 memperlihatkan prevalensi infestasi ektoparasit di Pondok Pengayom Satwa Jakarta dengan rata-rata 15.43% kasus pertahun. Setiap tahun prevalensi terlihat cukup fluktuatif, hal ini terlihat dengan adanya peningkatan maupun penurunan tiap tahun. Pada tahun 2009–2010 mengalami peningkatan 1.89%, tahun 2010–2011 mengalami penurunan 3.28%, tahun 2011–2012 mengalami peningkatan kembali 2.9%, dan tahun 2012–2013 mengalami penurunan 1.21%. Prevalensi tertinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu 16.86% dengan jumlah anjing yang terinfestasi 100 ekor dari total 593 ekor pasien. Jumlah anjing yang terinfestasi ektoparasit terbanyak terjadi pada tahun 2012, yaitu 151 ekor dengan total pasien 916 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa infestasi ektoparasit sering terjadi pada anjing.

A A

B

(19)

11

Tabel 1 Jumlah pasien anjing pertahun, jumlah anjing terinfestasi ektoparasit, dan prevalensi infestasi ektoparasit di Pondok Pengayom Satwa Jakarta tahun 2009 sampai 2013

Infestasi ektoparasit pada pasien anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta pada tahun 2009 sampai 2013 berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh anjing jantan dengan jumlah 307 ekor (16.55%) dan anjing betina 231 ekor (14.15%). Hasil penelitian di Gwang-ju, Korea oleh Chee et al. (2008) menunjukkan prevalensi anjing jantan (26.9%, 14/52) lebih tinggi dibandingkan dengan anjing betina (17.5%, 7/40). Hasil penelitian Mosallanejad et al. (2011) di Ahvaz, Iran menunjukkan hasil yang sama, yaitu infestasi ektoparasit paling banyak ditemukan pada anjing jantan dengan tingkat prevalensi 35.82% (24/67) sedangkan anjing betina 20.33% (12/59). Kumsa dan Mekonnen (2011) di Hawassa, Ethiopia melaporkan prevalensi infestasi ektoparasit tertinggi juga terjadi pada anjing jantan (100%, 179/179) dibandingkan dengan anjing betina (99.5%, 20/21). Sebaliknya di Jaunpur, India, Rao et al. (2013) melaporkan tingkat prevalensi anjing betina (60.38%, 96/159) lebih tinggi dibandingkan anjing jantan (50%, 43/86).

Faktor yang menyebabkan anjing jantan banyak terinfestasi caplak mungkin karena tingkah laku anjing jantan yang lebih aktif dan agresif. Anjing jantan lebih sering dijadikan sebagai anjing penjaga dan sebagai pemacek sehingga kontak dengan anjing lain sering terjadi. Menurut Broom dan Fraser (2007) hewan jantan memiliki sifat yang lebih dominan dibandingkan hewan betina, hal ini ditunjukkan dalam perilaku seperti mounting, mengendus-endus, dan berkelahi untuk memperebutkan wilayah. Perilaku anjing tersebut dapat menyebabkan anjing sering melakukan kontak langsung dengan anjing lain, sehingga infestasi ektoparasit akan meluas.

Tabel 2 Jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit berdasarkan jenis kelamin di Pondok Pengayom Satwa Jakarta

Tahun

Jumlah pasien anjing (ekor) Anjing yang terinfestasi (ekor)

Prevalensi (%)

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

2009 319 272 50 37 15.67 13.60

2010 294 299 51 49 17.35 16.39

2011 362 345 50 46 13.81 13.33

2012 538 378 94 57 17.47 15.08

2013 342 339 62 42 18.13 12.39

Jumlah 1855 1633 307 231 16.55 14.15

(20)

12

Gambar 6 Perbandingan jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit dari tahun 2009 sampai 2013 berdasarkan jenis kelamin

Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Jenis Anjing

Data rekam medik menunjukkan anjing ras merupakan pasien yang paling banyak terinfestasi ektoparasit dengan jumlah sebanyak 325 ekor (17.87%), diikuti anjing mix sebanyak 108 ekor (13.27%), dan anjing lokal 105 ekor (12.43%) (Tabel 3). Prevalensi tertinggi pada anjing ras terjadi pada tahun 2010, yaitu 10.45%. Tingginya prevalensi pada anjing ras mungkin disebabkan banyaknya pemilik anjing yang memilih anjing ras sebagai peliharaan. Beberapa anjing ras murni memiliki rambut yang panjang sehingga ektoparasit dapat bersembunyi di sela-sela rambut anjing. Penelitian yang dilakukan Tesfaye dan Chanie (2011) di Gondar, Ethiopia menunjukkan tingkat infestasi tertinggi terjadi pada anjing lokal (90.3%), kemudian anjing mix (82.7%), dan tidak dilaporkan pada anjing ras. Menurut James-Rugu (2000) perbedaan derajat infestasi ektoparasit diantara jenis anjing berkaitan dengan sistem imun dan gen anjing. Infestasi ektoparasit yang dapat menyebabkan penyakit kulit pada umumnya disebabkan karena kurangnya pemilik memperhatikan perawatan dan kesehatan hewan peliharaannya, sehingga ektoparasit dapat berkembang dengan baik (Muller dan Kirk 1976).

Tabel 3 Jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit berdasarkan jenis anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta

Tahun

Jumlah pasien anjing (ekor) Jenis anjing yang terinfestasi (ekor)

Prevalensi (%)

Ras Lokal Mix Ras Lokal Mix Ras Lokal Mix

2009 351 87 143 55 13 19 15.67 14.94 13.29

2010 344 127 122 62 17 21 18.02 13.39 17.21

2011 320 214 173 56 19 21 17.50 8.89 12.14

2012 488 249 179 93 38 20 19.06 15.26 11.17

2013 316 168 197 59 18 27 18.67 10.71 13.71

Jumlah 1819 845 814 325 105 108 17.87 12.43 13.27

(21)

13

Gambar 7 Perbandingan jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit dari tahun 2009 sampai 2013 berdasarkan jenis anjing

Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur

Data rekam medik di Pondok Pengayom Satwa Jakarta tahun 2009 sampai 2013 menunjukkan jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit paling tinggi pada anjing berumur >1 tahun sebanyak 311 ekor (17.21%) dan ≤1 tahun sebanyak 227 ekor (13.59%) (Tabel 4). Prevalensi infestasi ektoparasit tiap tahun terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan angka tertinggi terjadi pada tahun 2012 dengan angka kejadian 10.26% (94/916) pada anjing berumur >1 tahun. Menurut Raoet al.(2013) yang membagi menjadi empat kelompok umur, yaitu 0–6 bulan, 7–12 bulan, 13–18 bulan, dan lebih dari 18 bulan, kejadian tertinggi terjadi pada umur lebih dari 12 bulan. Tesfaye dan Chanie (2011) di Gondar, Ethiopia melaporkan prevalensi tertinggi terjadi pada anjing berumur antara 8–18 bulan (96.6%), kemudian umur dibawah 8 bulan (87%), diatas 18 bulan (85.1%). Hal ini didukung oleh Kumsa dan Mekonnen (2011) di Hawassa, Ethiopia bahwa anjing berumur tua (100%, 168/168) lebih tinggi prevalensi infestasi ektoparasit dibandingkan anjing berumur muda (96.9%, 31/32). Walaupun Cheeet al.(2008) di Gwang-ju, Korea dan Mosallanejad et al. (2011) di Ahvaz, Iran melaporkan anjing kurang dari satu tahun lebih banyak terinfestasi ektoparasit, yaitu 66.7% (6/9) dan 59.09% (26/44).

Tabel 4 Jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit berdasarkan umur di Pondok Pengayom Satwa Jakarta

Tahun

Jumlah Pasien Anjing (ekor) Umur Anjing yang Terinfestasi (ekor)

Prevalensi (%)

≤1 >1 ≤1 >1 ≤1 >1

2009 274 307 44 43 16.06 14.01

2010 328 265 40 60 12.20 22.64

2011 328 379 42 54 12.80 14.25

2012 435 481 57 94 13.10 19.54

2013 306 375 44 60 14.38 16.00

Jumlah 1671 1807 227 311 13.59 17.21

(22)

14

Gambar 8 Perbandingan jumlah pasien anjing yang terinfestasi ektoparasit dari tahun 2009 sampai 2013 berdasarkan umur

Anjing berumur tua banyak terinfestasi ektoparasit kemungkinan berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh anjing. Anjing yang sudah tua akan mengalami penurunan sistem kekebalan dibandingkan dengan anjing yang masih muda karena adanya antibodi maternal. Menurut Radji (2010) faktor yang mempengaruhi sistem imun adalah usia, semakin tua usia, maka akan semakin berkurang kemampuan sistem imun untuk memproduksi antibodi.

Apabila dianalisis lebih lanjut, dari seluruh kasus infestasi ektoparasit pada anjing dari tahun 2009 sampai 2013 (Tabel 5), maka total anjing terinfestasi pada jantan (307 ekor) lebih banyak daripada anjing betina (231 ekor). Anjing jantan dengan ras rambut pendek paling banyak terinfestasi oleh ektoparasit (107 ekor), diikuti oleh ras rambut panjang (70 ekor), mix atau campuran (69 ekor), dan paling sedikit pada anjing lokal (61 ekor). Jika dilihat dari segi umur, maka anjing berumur 1 sampai 3 tahun paling banyak terinfestasi oleh ektoparasit baik pada jantan (187 ekor) maupun pada betina (118 ekor). Berdasarkan analisis uji Chi-square (Chi-kuadrat) ternyata terdapat hubungan yang signifikan antara infestasi ektoparasit dengan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur (p<0.01) (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil uji Chi-square hubungan jenis kelamin, jenis anjing, umur, dan

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

(23)

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari data keseluruhan sejak Januari 2009 sampai Desember 2013 terdapat 538 kasus ektoparasit dari 3 478 pasien anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta. Prevalensi infestasi ektoparasit rata-rata 15.43% pertahun. Jenis ektoparasit yang menyerang anjing berdasarkan rekam medik tahun 2012 sampai 2013 adalah caplak (41.96%), kutu (23.94%), pinjal (21.48%), dan tungau (12.63%). Berdasarkan jenis kelamin, anjing jantan lebih banyak (8.73%) terinfestasi ektoparasit daripada yang betina (6.71%). Berdasarkan ras, anjing dengan ras murni paling banyak (9.33%) terinfestasi ektoparasit, diikuti oleh campuran (mix) (3.19%), dan lokal (2.92%). Sementara itu berdasarkan umur, anjing berumur >1 tahun paling banyak (8.85%) terinfestasi ektoparasit daripada umur ≤1 tahun (6.59%). Berdasarkan uji Chi-square, terdapat hubungan antara jenis kelamin, jenis anjing, dan umur dengan infestasi ektoparasit (p<0.01).

Saran

Melihat prevalensi infestasi ektoparasit yang cukup tinggi dan peran ektoparasit sebagai vektor beberapa penyakit maka perlu adanya tindakan pengendalian dan pencegahan agar anjing tidak terinfestasi ektoparasit. Evaluasi kejadian infestasi ektoparasit perlu dilakukan setiap tahun, karena semakin banyaknya penyakit bersifat zoonotik yang membahayakan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

[ASV] The Association of Shelter Veterinarians. 2010. Guidelines for Standards of Care in Animal Shelters.[tempat tidak diketahui]: ASV.

Beugnet F, Franc M. 2012. Insecticide and acaricide molecules and/or combinations to prevent pet infestation by ectoparasites. Trends in Parasitol.28(7):267–279.

Blagburn BL, Dryden MW. 2009. Biology, Treatment, and Control of Flea and Tick Infestations.Vet Clin Small Animal.39:1173–1200.

Broom DM, Fraser AF. 2007. Domestic Animal Behaviour and Welfare. Cambridge (UK): CAB International.

Chee JH, Kwon JK, Cho HS, Cho KO, Lee YJ, El-Aty AMA. 2008. A survey of ectoparasite infestations in stray dogs of Gwang-ju City, Republic of Korea.

Kor J Parasitol. 46(1):23–27.

(24)

16

Dharmojono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran veteriner : Hewan kecil. Jakarta (ID): Pustaka Populer Obor.

Dryden MW. 1988. Evaluation of certain parameters in the bionomics of

Ctenocephalides felis felis[tesis]. West Lafayette (US): Purdue Univ.

[ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2012.

Control of Ectoparasites in Dogs and Cats. 3th ed. Worcestershire (UK): Mews.

Eisen RJ et al. 2008. Early-phase Transmission of Yersinia pestis by Cat Fleas (Ctenocephalides felis) and Their Potential Role as Vectors in a Plague-endemic Region of Uganda.Am J Trop Med Hyg.78(6):949–956.

Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Supriyono. 2013. Atlas Entomologi Veteriner. Bogor (ID): IPB Pr.

Hadi UK, Rusli VL. 2006. Infestasi caplak anjing Rhipicephalus sanguineus

(Parasitiformes: Ixodidae) di daerah Kota Bogor. J Med Vet Indones. 10(2):55–60.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Hopla CE, Durden LA, Keiran JE. 1994. Ectoparasites and Classification. Rev Sci and Tech. 13(4):985–1017.

James-Rugu NN. 2000. A survey of ticks and tick borne parasites of sheep and goats from Bassa Local Government Area of Plateau State, Nigeria. J Pure Appl Sci. 1:35–43.

James MT, RF Harwood. 1969. Herm’s Medical Entomology. 6th ed. London (UK): Macmillan.

Johnston C. 1998. Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals [Internet]. [diunduh 2014 Aug 28]. University of Pennsylvania. Tersedia pada: http://cal.vet.upenn.edu/projects/merial/introduction/Intro_3.htm Krantz GW. 1970.A Manual of Acrology.Oregon (US): O. S. U Book Stores, Inc. Kumsa BE, Mekonnen S. 2011. Ixodid tick, fleas, and lice infesting dogs and cats in Hawassa, southern Ethiopia. Onder J Vet Res. 78(1):1–4. doi:10.4102/ojvr.v78i1.326.

Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Study Book of Veterinary Parasitology.

Lord CC. 2001. Brown Dog Tick,Rhipicephalus sanguineusLatreille (Arachnida: Acari: Ixodidae). University of Florida (US).

Molin EU. 2009. In vitro Characterization of Glutathione Transferases from

Sarcoptes scabiei[tesis]. Uppsala (SE): Swedish University of Agricultural Sciences.

Mosallanejad B, Alborzi AR, Katvandi N. 2011. A Survey on Ectoparasite Infestations in Companion Dogs of Ahvaz District, South-west of Iran. J Arthropod-Borne Dis. 6(1):70–78.

Muller GH, Kirk RW. 1976. Small Animal Dermatology. Philadelphia (US): WB Saunders.

Nuchjangreed C, Somprasong W. 2007. Ectoparasite species found on domestic dogs from Pattaya disctricy, Chon Buri province, Thailand.Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38:203-207.

(25)

17

Rao RM, Chandra S, Singh SK. 2013. Occurrence of phthirapteran ectoparasite parasitizing on domestic dogs, Canis familiaris (Linne) in Jaunpur district (U.P.).J Appl Nat Sci. 5(1):207–212.

Scott DW, Miller WH, Griffin CE. 2001. Muller and Kirk’s Small Animal

Dermatology. 6thed. Philadelphia (US): WB Saunders.

Shaw RD, Thorburn JA, Wallace HG. 1970. Cattle Tick Control. London (UK): Welcome Research Organization.

Soulsby EJC. 1982.Helminth, Antropods and Protozoa of Domesticated Animal. London (UK): Bailliere, Tindall, and Cassel Ltd.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. 3th ed. Oxford (UK): Blackwell.

Tesfaye A, Chanie M. 2011. Ectoparasites are Major Skin Diseases of Dogs in Gondar, Amhara National Regional State, Ethiopia. Int J Anim Veter Adv. 3(5):392–396.

Troyo A, Calderon-Arguedas O, Alvarado G, Vargas-Castro LE, Avendano A. 2012. Ectoparasites of dogs in home environments on the Caribbean slope of Costa Rica.Rev Bras Parasitol Vet.21(2):179–183.

Torres FD, Figueredo LA. 2007. Heterodoxus spiniger (Enderlein, 1909) on domestic dogs (Canis familiaris, L. 1758) from the city of Recife, Pernambuco State, Brazil.Braz J vet Res anim Sci.44(2):77–80.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary Parasitology. 2thed. Scotland (UK): Blackwell Scientific.

Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology, and Control.Oxford (UK): Blackwell.

Yates JR. 1992. Rhipicephalus sanguineus (Latreille) [Internet]. [diunduh 2014 Jun 30]. Extension Urban Entomologist, College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawaii at Manoa. Tersedia pada: http://www.extento.hawaii.edu/kbase/urban/site/brdgtick. htm.

(26)

18

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data infestasi ektoparasit perbulan berdasarkan kasus, jenis kelamin, umur, dan jenis anjing

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nov Des Total

2009 5 7 10 6 9 5 8 7 14 4 8 4 87

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nov Des Total

J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B J B

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni

R L M R L M R L M R L M R L M R L M

Tahun Juli Agst Sep Okt Nov Des Total

R L M R L M R L M R L M R L M R L M Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nov Des Total

(27)

19

Lampiran 2 Hasil uji Chi-square

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis_anjing * Umur *

Jenis_kelamin 538 100.0% 0 .0% 538 100.0%

Jenis_anjing * Umur * Jenis_kelamin Crosstabulation

Count

Jenis_kelamin

Umur Total

<1 1-3 >3

Jantan Jenis_anjing Lokal 21 39 1 61

Mix 27 42 0 69

Ras pendek 36 67 4 107

Ras panjang 22 39 9 70

Total 106 187 14 307

Betina Jenis_anjing Lokal 14 27 2 43

Mix 8 22 9 39 Jantan Pearson Chi-Square 16.108(a) 6 .013

Likelihood Ratio 16.113 6 .013

Linear-by-Linear

Association 3.107 1 .078

N of Valid Cases

307

Betina Pearson Chi-Square 19.060(b) 6 .004

Likelihood Ratio 18.179 6 .006

Linear-by-Linear

Association 2.496 1 .114

N of Valid Cases 231

a 4 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.7. b 3 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.71.

(28)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 September 1991 dari ayah Heniri Muhali dan ibu Puspa Sari Tanuwijaya. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Dalam masa pendidikannya, penulis bersekolah di SD Slamet Riyadi I Jakarta, SMP Slamet Riyadi Jakarta, dan SMA Gonzaga Jakarta. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah agama Katolik pada tahun ajaran 2011. Penulis juga menjadi anggota Himpunan Profesi Satwa Liar FKH IPB, pernah menjadi anggota Departemen Budaya, Olahraga, dan Seni BEM FKH IPB tahun 2011/2012, dan anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB tahun 2013/2014.

Gambar

Gambar 2 Siklus hidup caplak R. sanguineus (Hadi et al. 2013)
Gambar 3 Siklus hidup pinjal C. felis (Hadi et al. 2013)
Gambar 4 Siklus hidup tungau S. scabiei (Hadi et al. 2013)
Gambar 5 Jenis ektoparasit yang ditemukan (A) caplak R. sanguineus, (B)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa model komunikasi antarbudaya yang terjadi pada mahasiswa asing di Ma’had Al - Jami’ah IAIN Raden Intan

Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Pemberian Hak Atas Tanah di Atas Hak Pengelolaan Badan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan wilayah Morosari Desa Bedono Kecamatan Sayung, Demak telah teridentifikasi sebanyak 39 jenis makrozoobenthos

Jika user sudah mempelajari materi tersebut maka user dapat mulai menjawab soal latihan dan dimulai dari state/level pertama yakni menjawab 10 soal

Pendidikan Agama Islam pada dasarnya menempati posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, terutama dalam membentuk iman dan Berdasarkan karakteristik

Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk mendukung keputusan pemilihan jenis investasi yang didasarkan pada empat kriteria yaitu modal, jangka waktu, keuntungan, dan

Jendela Interrupt merupakan jendela yang didisain sebagai tampilan yang digunakan untuk mengatur nilai-nilai dari variabel yang terdapat pada jendela utama.. Pada jendela

matriks QSPM, Hasil analisis ini menunjukkan bahwa prioritas strategi yang ingin dijalankan oleh Pia Apple Pie adalah: (a) mempertahankan manajemen sumber daya pada