• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) di Taman Satwa Cikembulan Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) di Taman Satwa Cikembulan Garut"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PEMELIHARAAN DAN PERILAKU ADAPTASI ORANGUTAN

KALIMANTAN (

Pongo pygmaeus morio

Owen, 1837)

DI TAMAN SATWA CIKEMBULAN GARUT

VENTIE ANGELIA NAWANGSARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) di Taman Satwa Cikembulan Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)

ABSTRAK

VENTIE ANGELIA NAWANGSARI. Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) di Taman Satwa Cikembulan Garut

.

Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI dan BURHANUDDIN MASY’UD.

Orangutan kalimantan merupakan spesies primata yang mengalami penurunan populasi di alam dan terancam punah. Hal ini memerlukan upaya konservasi eksitu, salah satunya di Taman Satwa Cikembulan. Teknik pemeliharaan dan adaptasi orangutan di habitat eksitu perlu diperhatikan. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji teknik pemeliharaan dan menilai respon orangutan kalimantan terhadap perlakuan warna baju di Taman Satwa Cikembulan. Adaptasi orangutan dilakukan dengan memberikan perlakuan pengenaan warna baju yang berbeda (hitam, merah, biru, dan kuning) pada pengamat. Pengumpulan data pemeliharaan orangutan dilakukan dengan observasi lapang, wawancara, dan studi literatur. Orangutan kalimantan memberikan respon terbaik terhadap pengamat berbaju merah. Manajemen kandang belum ideal karena tidak tersedia kandang karantina dan pengayaan kandang masih kurang, manajemen pakan sudah ideal meskipun tidak ada penimbangan pakan, dan manajemen kesehatan belum ideal karena belum tersedia klinik bagi satwa sakit.

Kata kunci: adaptasi, manajemen pemeliharaan, orangutan

ABSTRACT

VENTIE ANGELIA NAWANGSARI. Captive Breeding Management and Behaviour Adaptation Borneo Orangutan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) in Cikembulan Animal Park Garut. Supervised by ABDUL HARIS MUSTARI and BURHANUDDIN MASY’UD.

Borneo orangutan is endangered primate species due to the declining of its population in the wild and endangered. Its existence required conservation effort, through the exsitu conservation. Captive breeding management and adaptation in the ex-site effort has to be considered. The objectives of this research was to study captive breeding management and valuating response of orangutans in Animal Park Cikembulan Garut West Java. Orangutan adaptation was observed through an experiment in which the experiment in which different color drees (black, red, blue, and yellow). Data of captive breeding management has done by observation such us interview to worker and study literatures. Orangutan gave positive response to was observer using red drees. Cage management wasa not ideal, due to lack of quarantine cage and cage enrichment. However, feeding management was considered ideal despite the lack of feed weighing. Health management was not ideal, since there was not only clinic available for sick animals.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

TEKNIK PEMELIHARAAN DAN PERILAKU ADAPTASI ORANGUTAN

KALIMANTAN (

Pongo pygmaeus morio

Owen, 1837)

DI TAMAN SATWA CIKEMBULAN GARUT

VENTIE ANGELIA NAWANGSARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) di Taman Satwa

Cikembulan Garut

Nama : Ventie Angelia Nawangsari NIM : E34100009

Disetujui oleh

Dr Ir Abdul Haris Mustari, MScF Pembimbing I

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April 2014 ini ialah adaptasi, dengan judul Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) di Taman Satwa Cikembulan Garut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Abdul Haris Mustari, MsCF dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS selaku pembimbing tugas akhir dan telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Rudi Arifin, SE, Manager Taman Satwa Cikembulan yang telah mengijinkan penulis untuk penelitian, beserta pegawai Taman Satwa yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta sahabat Nepenthes rafflesiana 47 atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Jenis Data 2

Metode Pengumpulan Data 5

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Teknik Pemeliharaan 9

Adaptasi 19

SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Orangutan kalimantan yang terdapat di Taman Satwa Cikembulan 3 2 Data respon orangutan kalimantan terhadap perlakuan warna baju 4

3 Jenis dan metode pengumpulan data adaptasi 6

4 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang orangutan kalimantan di Taman

Satwa Cikembulan 9

5 Jenis pakan orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan 15 6 Jenis penyakit dan cara pengobatan penyakit orangutan kalimantan di

Taman Satwa Cikembulan 17

7 Pengaruh nyata warna baju terhadap respon orangutan kalimantan 20

DAFTAR GAMBAR

1 Individu orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan 4 2 Kandang display (peraga) orangutan kalimantan di Taman Satwa

Cikembulan berbentuk terbuka 10

3 Kandang karantina orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan

berbentuk tertutup 11

4 Kandang istirahat orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan 12 5 Grafik suhu dan kelembaban udara kandang orangutan kalimantan di

Taman Satwa Cikembulan 14

6 Jenis pakan yang diberikan pada orangutan kalimantan 15 7 Persentase waktu aktivitas harian orangutan kalimantan di Taman

Satwa Cikembulan 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Aktivitas orangutan kalimantan pada pagi, siang, dan sore hari di

Taman Satwa Cikembulan 27

2 Respon orangutan jantan (Jana) terhadap pengamat pada perlakuan

warna baju 27

3 Respon orangutan jantan (Jeni) terhadap pengamat pada perlakuan

warna baju 28

4 Respon orangutan jantan (Unyil) terhadap pengamat pada perlakuan

warna baju 28

5 Respon orangutan jantan (Amel) terhadap pengamat pada perlakuan

warna baju 29

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio Owen, 1837) merupakan primata yang masuk dalam Appendik I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan tergolong dalam status endangered species (IUCN 2013). Penentuan status tersebut didasarkan pada populasi orangutan kalimantan di alam yang semakin menurun. Penurunan populasi orangutan disebabkan oleh kebakaran hutan, perburuan illegal, pembalakan, fragmentasi habitat, dan pembukaan lahan misalnya untuk pemukiman dan perkebunan (Soehartono et al. 2007). Keterancaman populasi orangutan kalimantan di alam memerlukan upaya konservasi insitu maupun eksitu agar keberadaan orangutan kalimantan tetap lestari. Salah satu lembaga konservasi eksitu yang memelihara orangutan kalimantan adalah Taman Satwa Cikembulan, Garut. Taman satwa berfungsi sebagai perawatan dan perkembangbiakan satwa berdasarkan prinsip kesejahteraan satwa, perlindungan dan pelestarian jenis, pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta rekreasi (PERMENHUT 2006).

Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pemeliharaan orangutan di eksitu adalah adaptasi orangutan pada lingkungan baru. Hal ini karena perilaku adaptasi akan memengaruhi keberhasilan perkembangbiakan dan keberlanjutan hidup serta gambaran kondisi kesejahteraan hidup orangutan tersebut. Prinsip kesejahteraan satwa tersebut antara lain bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, bebas dari rasa takut dan tertekan, dan bebas untuk mengekspresikan perilaku alami (Dirjen PHKA 2011).

Pemantauan orangutan di habitat eksitu sangat dibutuhkan. Hasil pemantauan tersebut nantinya digunakan untuk menilai tingkat adaptasi orangutan di lingkungan barunya. Perkembangan perilaku adaptasi terkait dengan proses pemeliharaan orangutan sangat penting untuk dikaji. Hal tersebut karena kurangnya informasi mengenai teknik pemeliharaan dan perkembangan adaptasi orangutan di Taman Satwa Cikembulan. Adaptasi orangutan dapat dinilai dari jarak orangutan merespon terhadap perubahan lingkungan. Batasan untuk menilai adaptasi orangutan dilakukan dengan melakukan perlakuan warna baju yang berbeda terhadap orangutan. Perlakuan tersebut untuk melihat dan menilai respon orangutan terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya kajian khusus mengenai teknik pemeliharaan dan adaptasi orangutan di habitat eksitunya.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai perilaku adaptasi dan teknik pemeliharaan orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan, Garut. Informasi tersebut diharapkan sebagai masukan bagi upaya pengembangan pengelolaan perbaikan, serta peningkatan pengelolaan orangutan kalimantan khususnya di Taman Satwa Cikembulan, Garut. Selain itu, informasi perilaku orangutan bermanfaat sebagai ilmu pengetahuan.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Satwa Cikembulan, Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan 10 - 30 Maret 2014.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi termometer, pita ukur, kamera, kalkulator, panduan wawancara, tally sheet, kaos (merah, biru, kuning, dan hitam) dan alat tulis. Sedangkan objek yang diamati adalah orangutan Kalimantan.

Jenis Data

Data primer yang dikumpulkan meliputi dua aspek utama yakni teknik pemeliharaan orangutan dan adaptasi orangutan di Taman Satwa Cikembulan.

Data Teknik Pemeliharaan

Jenis data yang dikumpulkan yang terkait dengan sistem pemeliharaan orangutan kalimantan meliputi:

1. Pengelolaan perkandangan meliputi (i) jenis kandang (ii) jumlah dan ukuran kandang; (iii) konstruksi kandang; (iv) perlengkapan kandang; (v) suhu dan kelembaban kandang dilakukan pada pagi sampai sore hari (pukul 08.00 - 17.00) dengan cara menggantungkan termometer di dalam kandang dengan pengulangan sebanyak tiga kali; (vi) pengelolaan dan perawatan kandang; (vii) pengelolaan air dan pembuangan limbah.

2. Pengelolaan pakan meliputi jenis pakan, sumber pakan, jumlah pemberian pakan, waktu pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, dan cara pemberian pakan.

(13)

3

Data Perilaku Adaptasi

Adaptasi adalah suatu penyesuaian perilaku untuk mengatasi perubahan lingkungan untuk bertahan hidup dan berkembang biak (Smit dan Wandel 2006). Adaptasi orangutan di Taman Satwa Cikembulan dibatasi atau hanya dengan menilai respon orangutan. Pengumpulan data adaptasi orangutan meliputi respon orangutan terhadap perubahan lingkungan. Respon orangutan dilihat dengan memberikan perlakuan pengenaan warna baju berbeda (kuning, merah, biru, dan hitam) oleh pengamat dan setiap petugas pemelihara (keeper). Perlakuan warna didasarkan pada kebiasaan orangutan dalam membedakan warna buah yang sudah matang dan daun sebagai pakan secara visual (Regan et al. 2000). Selain itu, upaya dalam mempercepat dan memperkuat proses adaptasi pada satwa dapat dilakukan dengan memanipulasi suara (bunyi) dan warna (Sukriyadi et al. 2006). Perlakuan tersebut akan menunjukkan respon yang diterima orangutan sama atau berbeda dalam setiap warna baju. Prinsipnya semua satwa akan memberikan respon atas setiap stimulans yang diterima melalui pendengaran berupa bunyi atau suara dan penglihatan berupa cahaya atau warna. Perlakuan ini bertujuan untuk melihat dan menilai respon orangutan terhadap perubahan lingkungan. Hal ini mengacu pada penelitian rusa totol yang diberi perlakuan warna baju (Sukriyadi et al. 2006).

Pemakaian warna baju yang sama oleh keeper dan pengamat pada saat memberikan makan kepada orangutan. Respon orangutan terhadap warna baju dinilai dengan mengukur jarak respon orangutan terhadap pengamat. Perlakuan ini diberikan selama 12 hari setiap pagi dan sore secara berturut-turut dan diamati respon orangutan terhadap perlakuan tersebut. Perilaku orangutan diamati dengan melihat respon orangutan sebelum perlakuan dan setelah melakukan perlakuan. Orangutan yang dijadikan sampel dalam penelitian berjumlah empat individu yang terdiri dari dua jantan dan dua betina (Tabel 1 dan Gambar 1). Indikator proses penguatan ditunjukkan oleh perilaku orangutan yang jinak dan bisa dipegang atau benar-benar dekat dengan pengamat lain (orang baru). Peubah yang diukur adalah ada tidaknya respon aktivitas orangutan terhadap perlakuan. Ada dua kategori respon aktivitas orangutan yang diamati, yakni:

a. Acuh tidak acuh, artinya orangutan tidak memberikan respon oleh perlakuan dan tetap melakukan aktivitas seperti kondisi awal,

b. Mendekat, artinya orangutan yang sedang istirahat atau makan atau aktivitas lain memberikan respon dengan bergerak (berjalan/berlari) mendekati keeper.

Tabel 1 Orangutan kalimantan yang terdapat di Taman Satwa Cikembulan No. Nama orangutan Jenis Kelamin Umur Asal

1 Jana Jantan 6 tahun Penangkaran

2 Jeni Betina 6 tahun Penangkaran

3 Unyil Jantan 4 tahun Alam, hasil sitaan

(14)

4

(a)

(b)

(c) (d)

Gambar 1 Individu orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan, Amel (a), Jana (b), Jeni (c), dan Unyil (d)

Respon orangutan sebelum perlakuan diamati dengan cara pengamat berinteraksi langsung (memberi makan kepada orangutan) serta wawancara kepada keeper mengenai respon awal ketika orangutan baru datang ke TS Cikembulan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat perlakuan adaptasi orangutan. Data respon orangutan yang diambil dilihat dari jarak orangutan merespon adanya pengamat (Tabel 2).

Pencatatan data jarak orangutan dengan pengamat dan keeper sebagai respon terhadap perlakuan digunakan pendekatan perkiraan jarak dari posisi awal ke posisi akhir yakni mendekati atau acuh tidak acuh terhadap pengamat.

Tabel 2 Data respon orangutan Kalimantan terhadap perlakuan warna baju

No. Perlakuan Jarak (meter)

0 1 - 5 6 - 10 11 - 15 16 - 20 1 Baju hitam

(15)

5 Sukriyadi et al. (2006) menyatakan jarak yang menunjukkan respon orangutan diberi skor sebagai berikut: jarak 0 m = 1, jarak 1 – 5 m = 2, jarak 6 – 10 m = 3, jarak 11–15 m = 4, dan jarak 16 – 20 m = 5. Perilaku adaptasi orangutan kalimantan yang diamati dibatasi oleh perilaku antara lain:

1. Makan merupakan segala aktivitas dimana orangutan secara aktif makan, memproses dan mempersiapkan makanan, pergerakan saat makan, minum dan penggunaan alat untuk makan.

2. Istirahat merupakan kondisi saat orangutan sama sekali tidak melakukan aktivitas apapun sebagai aktivitas utamanya.

3. Pergerakan merupakan semua aktivitas perpindahan lokasi yang dilakukan oleh orangutan, termasuk pula perpindahan lokasi yang dilakukan bersama individu orangutan lain. Tetapi aktivitas ini tidak termasuk saat orangutan melakukan pergerakan ketika aktivitas makan berlangsung.

4. Sosial merupakan aktivitas yang melibatkan interaksi orangutan sasaran dengan orangutan lain, baik salah satu orangutan sasaran lain maupun orangutan bukan sasaran yang menjadi pelaku dan penerima selama kontak berlangsung.

5. Kawin merupakan aktivitas hubungan seksual antara orangutan jantan dengan betina, dimulai dengan aktivitas untuk menarik perhatian lawan jenis dan kemudian dilanjutkan kopulasi.

Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung dari objek penelitian dan merupakan data yang sudah ada yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai metode. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi studi literatur yang mendukung mengenai teknik pemeliharaan dan adaptasi orangutan.

Metode Pengumpulan Data

Teknik pemeliharaan

Data teknik pemeliharan orangutan meliputi pengelolaan perkandangan, pengelolaan pakan, penyakit dan perawatan kesehatan, pengelolaan reproduksi, dan pemanfaatan satwa peraga. Pengumpulan data teknik pemeliharaan masing-masing dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan studi literature.

Adaptasi

Pengumpulan data adaptasi dilakukan dengan cara memberikan tratment, pengamatan, wawancara, dan studi literatur (Tabel 3). Pengamatan perilaku orangutan dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling merupakan suatu metode pengamatan langsung yang digunakan untuk mengamati semua perilaku dari satu individu atau kelompok individu tertentu berdasarkan waktu periode pengamatan yang telah ditentukan (Altman 1974). Perilaku yang diamati dicatat secara continuous recording.

(16)

6

Perilaku yang dilakukan oleh orangutan meliputi perilaku makan (ingestive), berpindah (locomotion), istirahat, membuang kotoran, sosial dan kawin. Makan (ingestive), yaituaktivitas yang dimulai ketika satwa mulai melihat makanan atau minuman, memilih, mengambil, membawa memasukkan makanan ke dalam mulut, menggigit, mengunyah, dan menelannya sampai satwa berhenti makan. Posisi tubuh orangutan pada saat melakukan perilaku makan terdiri atas berdiri, duduk, dan menggantung. Posisi berdiri dilakukan dengan sikap tubuh dan kepala yang lurus dan posisi kaki sedikit menekuk (mendekati lurus). Posisi duduk dilakukan dengan menempelkan bagian belakang bawah tubuhnya (pantat) pada dahan atau lantai, dengan kaki ditekuk, atau diluruskan. Posisi menggantung dilakukan dengan cara memegang dahan dengan dua atau tiga tungkainya, sedangkan tungkai lainnya digunakan untuk mengambil dan memasukkan makanan kedalam mulutnya.

Berpindah/bergerak (locomotion), yaitu semua pergerakan satwa dari satu tempat ke tempat lain, meliputi Berjalan/berlari, yaitu posisi tubuh dengan cara berdiri di atas keempat tungkainya dilanjutkan dengan melangkahkan tangan ke tangan. Sedangkan berjalan dan berlari dibedakan berdasarkan kecepatannya. Melompat, dilakukan dengan pijakan awal yang diikuti dengan lompatan. Memanjat, dilakukan dengan cara memegang batang/dahan dengan keempat tungkainya kemudian bergerak ke arah vertikal. Berayun/bergantungan, dilakukan dengan menggunakan keempat kakinya, yang dimulai dengan tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri disusul dengan kaki kanan atau kombinasi keduanya atau berayun yang dimulai dengan tangan kanan kemudian tangan kiri atau sebaliknya.

Istirahat, yaitu aktivitas dian yang meliputi duduk dan tidur. Posisi duduk dilakukan dengan menempelkan bagian belakang tubuhnya (pantat) pada dahan atau lantai, dengan posisi kaki ditekuk atau diluruskan. Aktivitas tidur dilakukan dengan berbagai variasi posisi tubuh, yaitu sambil duduk atau berbaring. Posisi berbaring dilakukan dengan menempelkan seluruh tubuhnya didahan atau lantai. Membuang kotoran (eliminatif), meliputi defokasi (pembuangan feses) dan urinasi (pembuangan air seni).

Aktivitas sosial meliputi bermain (playing), yaitu aktivitas yang biasanya dilakukan oleh anak-anak sampai individu remaja seperti kejar-kejaran,

tarik-Tabel 3 Jenis dan metode pengumpulan data perilaku adaptasi

No. Data yang diambil

(17)

7 menarik ekor, dan berguling sambil bergulat. Berkelahi (agonistic), yaitu aktivitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerak badan, memburu serta baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawan. Ancaman mimik muka dilihat dari raut muka yang menunjukkan ancaman atau menunjukkan gigi. Memburu merupakan aktivitas mengejar lawan, sedangkan baku hantam ditandai dengan adanya kontak fisik dengan lawan. Grooming, yaitu aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri atau tubuh individu lain. Aktivitas ini dimulai dengan mencari di sela-sela rambut tubuh, menjilat, kemudian mengunyahnya. Kawin, yaitu aktivitas hubungan seksual antara jantan dengan betina, dimulai dengan aktivitas untuk menarik perhatian lawan jenis dan kemudian dilanjutkan dengan kopulasi (persetubuhan).

Observasi lapang mengenai sistem pemeliharaan orangutan dilakukan dengan mengamati secara langsung terhadap orangutan yang dipelihara di TS Cikembulan yakni (i) manajemen kandang (meliputi jenis kandang, jumlah dan ukuran kandang, konstruksi kandang, perlengkapan kandang, suhu dan kelembaban kandang dilakukan pada pagi sampai sore hari (pukul 08.00 - 17.00 WIB) dengan cara menggantungkan termometer di dalam kandang dengan pengulangan sebanyak tiga kali, dan perawatan kandang) (ii) manajemen pakan (meliputi: jenis pakan yang diberikan, jumlah, waktu, frekuensi dan cara pemberian pakan), (iii) manajemen kesehatan (jenis penyakit yang pernah, sering, dan sedang diderita orangutan kalimantan, cara mencegah serta mengatasi penyakit yang diderita orang utan kalimantan tersebut).

Wawancara dilakukan kepada pengelola Taman Satwa Cikembulan, Garut secara mendalam. Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara berupa daftar pertanyaan asal dan umur orangutan kalimantan, adaptasi orangutan pertama kali datang ke TS Cikembulan, manajemen kandang, manajeman pakan, dan manajemen kesehatan. Wawancara dilakukan secara mendalam, santai, terbuka dan tidak kaku.

Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui berbagai informasi yang terkait dengan teknik pemeliharaan dan adaptasi orangutan kalimantan. Studi pustaka juga dilakukan untuk mempertajam dan memperkuat analisis terhadap hasil-hasil penelitian. Selain itu, juga dilakukan penelusuran informasi yang mendukung dan mempertajam analisis mengenai perilaku adaptasi dan teknik pemeliharaan orangutan kalimantan.

Analisis Data

Data teknik pemeliharaan yang terkumpul dianalisis secara statistik deskriptif yakni menyesuaikan setiap aspek teknik pemeliharaan orangutan disertai dengan tabel dan gambar yang relevan. Data yang diolah dan dianalisis meliputi manajemen kandang, pengelolaan pakan, dan perawatan kesehatan.

Data adaptasi yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif. Penentuan ada atau tidaknya suatu respon orangutan kalimantan terhadap perlakuan pengenaan warna baju yang berbeda oleh pengamat dan keeper diuji dengan uji Chi-Square (� ), yang dinotasikan sebagai berikut :

� = [∑ � − ��

(18)

8

Keterangan:

� : Nilai chi-kuadrat

�� : Frekuensi yang diharapkan

� : Frekuensi yang diperoleh/diamati

Kriteria uji �tabel = � ( (0,05); Db =(b-1)(c-1)) yang digunakan sebagai berikut: Hipotesis yang diuji dirumuskan sebagai berikut:

H0 : x=0, tidak ada respon orangutan kalimantan terhadap perlakuan pengenaan warna baju yang berbeda

H1 : x≠0, terdapat respon orangutan kalimantan terhadap perlakuan pengenaan warna baju yang berbeda

Kriteria uji pemeriksaan atau perolehan hipotesis ditentukan dengan ketentuan: Jika �hitung ≤ �tabel, maka terima H0

Jika �hitung > �tabel, maka tolak H0

Berdasarkan hasil dari Chi-square, jika hipotesis �hitung> �tabel, maka terima H1 atau tolak H0, dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui warna yang berbeda nyata terhadap respon orangutan yang diberikan perlakuan. Menurut Walpole (2005) uji duncan dilakukan dengan menghitung selisih rata-rata �̅ − �̅ perlakuan dengan nilai Rp . nilai Rp dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

� = �� �√ �

Keterangan :

: Kuadrat tengah galat

rp : wilayah terstudenkan nyata , 5 , v = k n − ) n : jumlah perlakuan

Rp : wilayah nyata terkecil

Kriteria uji pemeriksaan atau perolehan hipotesis ditentukan dengan ketentuan: Jika �̅ − �̅ < Rp maka hasilnya tidak berbeda nyata (sama)

Jika �̅ − �̅ > Rp maka hasilnya berbeda nyata

Data mengenai perilaku adaptasi orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan dianalisis secara kuantitatif. Perilaku orangutan kalimantan disajikan dalam bentuk tabel. Persentase setiap perilaku yang dilakukan oleh orangutan dihitung dengan rumus:

(19)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan orangutan kalimantan di TS Cikembulan menggunakan sistem intensif. Sistem intensif merupakan sistem pengelolaan yang berarti seluruh kebutuhan satwa diatur oleh pengelola. Manajemen pemeliharaan orangutan kalimantan meliputi tiga aspek yaitu manajemen kandang, manajemen pakan, dan manajemen kesehatan.

Manajemen kandang

Kandang berfungsi sebagai habitat buatan bagi satwa. Sebagai habitat buatan kandang harus memenuhi semua kebutuhan hidup satwa, seperti luas kandang harus cukup agar satwa dapat bergerak secara bebas, suhu dan kelembaban yang cukup, adanya komponen pendukung dalam kandang seperti tempat berlindung dan tempat beristirahat, dan terjaganya sanitasi kandang dari penyakit. Pembuatan kandang harus mempertimbangkan kebiasaan orangutan di alam.

Jenis kandang, ukuran, dan konstruksi kandang

Terdapat tiga jenis kandang orangutan kalimantan di TS Cikembulan yaitu kandang peragaan (kandang display), kandang karantina, dan kandang tidur (Tabel 4).

Kandang peraga

(20)

10

sekitar 2 m. Hal ini dijadikan sebagai sekat yang bertujuan agar orangutan tidak keluar dari kandang dan mendekat kepada pengunjung yang datang. Selain itu, untuk menghindari pengunjung memberi makan pada orangutan. Kondisi kolam tersebut berwarna keruh. Kandang peraga orangutan kalimantan yang terdapat di TS Cikembulan berbentuk terbuka (Gambar 2).

Gambar 2 Kandang display (peraga) orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan berbentuk terbuka

Kandang utama berbentuk terbuka menyebabkan sirkulasi udara cukup baik dan sinar matahari dapat langsung masuk. Konstruksi kandang utama ini dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari kaca dan beton serta pintu yang terbuat dari besi. Fasilitas yang ada di dalam kandang utama diantaranya tempat bermain seperti kayu-kayu dan ban bekas masing-masing sebanyak dua buah yang digantungkan dan dilengkapi dengan tali atau rantai besi yang dipasang saling berhubungan dengan yang lain. Hal ini bertujuan untuk dijadikan tempat orangutan bergelantungan. Selain itu, terdapat batang pohon sebanyak dua buah yang digunakan sebagai tempat ayunan oleh orangutan. Jambatan besi yang ada di dalam kandang ini berfungsi untuk menghubungkan antara kandang peraga dengan kandang karantina. Fasilitas yang berada di dalam kandang peraga ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi orangutan kalimantan seperti berada di habitat alaminya dan dapat terhindar dari stres akibat perubahan habitat. Fasilitas kandang disesuaikan dengan kebutuhan yang biasa dilakukan oleh orangutan kalimantan.

(21)

11 Pengayaan dalam kandang peraga orangutan masih kurang, tidak terdapat pohon meskipun dengan sistem perkandangan terbuka dengan sirkulasi udara yang cukup baik satwa dapat bergerak secara bebas. Selain itu, ketersediaan air bersih masih kurang. Kandang juga harus disesuaikan dengan habitat satwa di alam. Kehidupan orangutan di habitat alam sangat tergantung pada pohon untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. MacKinnon (1974) menyatakan orangutan merupakan hewan arboreal, yakni hewan yang segala aktivitasnya dilakukan di atas pohon. Rijksen (1978) menyatakan struktur hutan yang dihuni orangutan terdiri atas pohon-pohon tinggi sebesar 35 - 50 meter. Kandang tidak hanya digunakan untuk melindungi satwa yang akan melarikan diri dan membatasi pengunjung, tetapi juga harus didesain menjadi tempat yang cocok bagi satwa sesuai dengan habitat satwa di alam, tingkah laku, dan kehidupan satwa (Manangsang 2002).

Kandang Karantina

Kandang karantina merupakan kandang yang berfungsi untuk mengadaptasikan orangutan yang baru datang ke TS Cikembulan dan mengisolasi orangutan yang terkena penyakit. Kandang ini terletak di dalam kandang peraga, jauh dari pengunjung, dan apabila menuju kandang peraga harus melewati kandang karantina terlebih dahulu. Kandang peraga dan kandang display dihubungkan oleh jembatan. Kandang karantina berjumlah tiga buah dan masing-masing memiliki ukuran 2.1x1.6x2 m3. Konstruksi kandang ini terbuat dari beton dan besi. Fasilitas yang ada di dalam kandang ini berupa tempat bermain (ban yang digantungkan dengan rantai). Kondisi kandang karantina yang ada di TS Cikembulan baik dan terawat. Salah satu kandang karantina juga digunakan oleh keeper untuk tempat memandikan orangutan. Keeper yang akan memberi makan pada orangutan harus melewati kandang ini terlebih dahulu. Berdasarkan wawancara dengan pengelola orangutan yang baru datang ditempatkan di dalam kandang karantina selama satu minggu. Menurut Sajuthi (1984) masa karantina orangutan minimal selama enam bulan.

Gambar 3 Kandang karantina orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan berbentuk tertutup

(22)

12

dilihat dari bentuk kandang yang tertutup, sehingga cahaya matahari kurang dapat masuk ke dalam kandang sehingga menyebabkan kandang lembab. Selain itu, kandang ini juga berfungsi untuk memandikan, memberi makan orangutan, dan biasanya dijadikan sebagai tempat bermain satwa. Kandang karantina seharusnya hanya digunakan apabila satwa sakit dan untuk mengadaptasikan satwa yang baru datang. Dirjen PHKA (2011) menyatakan kandang karantina satwa harus mendapat sinar matahari yang cukup, sirkulasi udara lancar, lokasi terisolir dan tertutup untuk umum, dan jauh dari kandang peraga, terdapat sistem pembuangan limbah, dan mudah dibersihkan.

Kandang Istirahat

Kandang istirahat digunakan sebagai tempat istirahat dan tidur oleh orangutan. Kandang istirahat ini terletak di dalam kandang peraga. Selain itu juga, digunakan sebagai shelter oleh orangutan dari sinar matahari dan hujan. Kandang ini berjumlah empat dan masing-masing kandang memiliki ukuran 1x1x1 m3 dan 1x1.5x1 m3. Kandang istirahat ini tidak terdapat fasilitas. Kandang istirahat yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan besi dan tali. Besi dan tali tersebut biasanya juga digunakan untuk bergelantungan oleh orangutan. Konstruksi kandang ini terbuat dari beton dan besi. Kondisi kandang istirahat orangutan kalimantan yang terdapat di TS Cikembulan dapat dilihat pada Gambar 4

Gambar 4 Kandang istirahat orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan

Perawatan Kandang

(23)

13 pembersihan ini perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kesehatan orangutan. Menurut Sajuthi (1984) pembersihan kandang minimal dilakukan satu kali dalam sehari.

Menurut Setio dan Takandjandji (2007), tindakan yang dibutuhkan untuk menjaga kebersihan kandang adalah :

a. Mengeruk, menyikat dan menyapu kotoran yang melekat pada bagian-bagian kandang untuk dibuang pada tempat pembuangan yang telah disiapkan.

b. Menyemprot atau menyiram dengan air pada bagian kandang yang telah dibersihkan secara rutin dua kali sehari.

c. Menyemprot kandang dengan desinfektan secara reguler satu bulan sekali.

Pengolahan Limbah

Limbah yang dihasilkan di kandang peraga orangutan berupa limbah padat. Limbah ini berasal dari sisa-sisa makanan orangutan berupa kulit rambutan, jagung, jambu, kulit pisang, kulit kacang tanah, kulit telur, kulit pepaya, dan feses orangutan. Limbah-limbah tersebut dikumpulkan setiap pagi, kemudian dibuang ke dalam kolam yang ada di kandang peraga. Limbah tersebut seharusnya tidak dibuang kedalam kolam melainkan pada penampungan limbah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran pada kolam tersebut, sehingga menyebabkan ikan yang ada di dalam kolam akan mati. Selain itu juga, berpengaruh terhadap kesehatan orangutan karena orangutan yang ada di dalam kandang peraga biasanya minum air kolam tersebut.

Berdasarkan pernyataan, seharusnya dibuat penampungan limbah sehingga limbah tidak dibuang pada kolam. Limbah-limbah tersebut dibuang pada penampungan limbah terakhir. Limbah padat ini dapat dijadikan sebagai pupuk kandang yang dapat membuat subur tanaman. Pupuk organik ini dapat bermanfaat untuk peningkatan produksi tanaman, mengurangi pencemaran lingkungan karena berasal dari bahan-bahan yang alami, dan dapat juga meningkatkan kualitas dari tanah. Berbeda dengan pupuk buatan yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan maupun terhadap produksi tanaman.

Suhu dan Kelembaban Kandang

Berdasarkan hasil pengukuran suhu kandang orangutan Kalimantan di Taman Satwa Cikembulan menunjukkan kondisi suhu relatif stabil. Suhu rata-rata harian di kandang sebesar 24.8°C. Suhu kandang pada pagi hari sebesar 23.4°C, siang hari sebesar 27.2°C, dan sore hari sebesar antara 25.1°C (Gambar 5). Hal ini berbeda dengan suhu rata-rata kandang orangutan yang ada di TSI sebesar 200C dan PPS sebesar 300C (Ragil 2008). Kelembaban rata-rata harian di kandang orangutan sebesar 80 - 92% (Gambar 5). Berdasarkan penelitian Ragil (2008) kelembaban rata-rata di TSI sebesar 60 - 70% dan kelembaban rata-rata PPS sebesar 30 - 50%. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang yang dilakukan hasilnya tidak berbeda jauh dengan pengukuran kandang yang dilakukan oleh pengelola. Berdasarkan hasil pengukuran pengelola suhu kandang orangutan berkisar 22oC - 28oC dan kelembaban kandang sebesar 65 - 85%.

(24)

14

et al. (2007) faktor-faktor yang dapat memengaruhi suhu di dalam kandang antara lain:

a. Radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam kandang, b. Produksi panas oleh tubuh satwa

c. Kondisi konstruksi kandang mencakup tinggi, luas lantai, dan bukan atap kandang.

Gambar 5 Grafik suhu dan kelembaban udara kandang orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan

Manajemen Pakan

Makanan merupakan faktor pembatas dalam suatu pengelolaan satwa yang mempengaruhi kelangsungan hidup suatu satwa. Pakan orangutan dapat berupa daun, buah, bunga, telur burung, dan serangga. Berdasarkan penelitian Napier dan Napier (1985), bahwa pakan orangutan dapat berubah-ubah tergantung jenis pakan yang sedang tersedia. Pakan orangutan ketika sedang musim buah, pakan orangutan dapat 100% berupa buah. Namun, pada saat tidak musim buah, alternatif pakan orangutan adalah dedaunaan (25%), kulit kayu (37%), buah (21%), dan serangga (7%). Galdikas (1984) menyatakan orangutan termasuk satwa frugivora (pemakan buah). Pakan diberikan oleh pengelola sebanyak dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore hari. Waktu pemberian pakan biasanya dilakukan pada pukul 09.00 WIB dan 15.00 WIB. Pakan tersebut langsung diberikan dan tidak ditimbang terlebih dahulu oleh pengelola. Sebagian pakan yang diberikan sudah ditakar oleh penyedia pakan (distributor) terutama pisang. Jenis pakan yang diberikan pada orangutan berupa buah-buahan seperti pisang, jagung, rambutan, dan jambu biji (Tabel 5). Sebelum pakan tersebut diberikan dibersihkan (dicuci) terlebih dahulu dengan air, kemudian ditempatkan pada ember. Di kandang peraga tidak terdapat tempat makan secara permanen. Komposisi pakan yang diberikan oleh orangutan setiap pagi dan sore hari berbeda-beda. Hal ini dilakukan oleh pengelola untuk menghindari kejenuhan yang dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan orangutan. Namun, pakan yang selalu diberikan setiap kali makan adalah pisang.

(25)

15

Pakan yang diberikan pada pagi hari biasanya berupa pisang, rambutan, dan pakan tambahan berupa kacang tanah. Sedangkan pada sore hari biasanya berupa pisang, jagung, jambu, dan pakan tambahan berupa pepaya. Selain itu, orangutan juga diberikan telur rebus sebagai pakan tambahan. Telur ini biasanya diberikan dua kali dalam seminggu. Jenis pakan yang diberikan orangutan kalimantan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Jenis pakan yang diberikan pada orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan

Pemberian pisang ditujukan sebagai sumber energi karena pisang mengandung karbohidrat, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin C (Endra 2006). Karbohidrat memiliki fungsi sebagai sumber energi sedangkan vitamin dapat membantu dalam pembentukan dan pemeliharaan sel- sel tubuh (Tilman et al. 1998). Telur sebagai protein berfungsi sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti jaringan rusak, bahan baku pembentukan enzim, hormon, dan antibodi (zat kekebalan), serta metabolisme energi (Soemadi dan Mutholib 1995). Kacang tanah mengandung lemak yang berfungsi sebagai sumber energi, mengatur suhu tubuh, melindungi organ tubuh, membawa vitamin (A, D, E dan K), membawa asam lemak esensial, dan sebagai bahan baku pembentukan hormon steroid (Soemadi dan Mutholib 1995). Jagung mengandung karbohidrat yang berfungsi

Tabel 5 Jenis pakan orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan No Jenis Pakan Jumlah

(kg/buah/ikat) Cara pemberian Pakan Utama

1Pisang 5 kg Di cuci dan langsung di berikan 2Jagung 8 buah Dicuci dan di potong-potong 3Rambutan 2 ikat Dicuci dan langsung di kasih 4Jambu biji 8 buah Di cuci dan langsung di kasih Pakan Tambahan

1Kacang tanah 2 genggam Di cuci

2Wortel 8 buah Di cuci

3Pepaya 1 buah Di cuci dan di potong-potong

(26)

16

sebagai sumber energi, membakar lemak, membantu memperkecil oksidasi protein menjadi energi, dan memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan normal (Soemadi dan Mutholib 1995). Sumber pakan yang diberikan pengelola pada orangutan berasal dari distributor. Pepaya dan wortel diberikan secara insidental tergantung persediaan, apabila jumlah pepaya yang terdapat di penangkaran berlebih akan diberikan pada orangutan sebagai makanan tambahan. Pengelola menilai kualitas pakan yang diberikan pada satwa dilihat dari kondisi fisik pakan tersebut. Apabila pakan secara fisik tidak mengalami kebusukan, maka pakan tersebut dapat diberikan pada satwa.

Berdasarkan hasil pengamatan orangutan kalimantan lebih suka makan rambutan dari semua pakan yang diberikan oleh pengelola. Hal ini dilihat dari makanan yang pertama dimakan dan lebih cepat habis adalah rambutan. Umumnya pakan yang lebih disukai (memiliki preferensi yang tinggi) akan lebih mudah dicerna hewan daripada pakan yang lebih bernutrisi tetapi preferensinya rendah (Morrison 1959). Menurut Ungar (1995), orangutan lebih menyukai buah yang matang, mengandung banyak air, dan berukuran besar. Buah yang dipilih kadang manis ataupun masam.

Menurut Church dan Pond (1988), satwa memiliki sifat selektif terhadap makanannya, begitu juga dengan orangutan. Selektivitas ini timbul akibat faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam tubuh satwa, misalnya kondisi kesehatan satwa dan preferensi satwa terhadap pakan. Faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya cita rasa, tekstur, ukuran, dan konsistensi pakan. Ketersediaan rambutan di TS Cikembulan bersifat musiman. Apabila tidak musim rambutan, biasanya pakan diganti dengan buah pear atau apel. Pakan yang disukai oleh orangutan kalimantan belum tentu memiliki kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemilihan jenis pakan tersebut timbul akibat bekerjanya indra penciuman, peraba, dan perasa (McDonald et al. 1995 dalam Zuhra 2009).

Sumber pakan alami orangutan di alam yang sangat penting adalah Ficus spp. (Zuraida 2004). Ficus spp. mampu menyediakan buah sepanjang tahun. Ketersediaan pakan orangutan di alam dipengaruhi oleh musim berbuah dan ketersediaan jenis tumbuhan pakan tersebut (Krisdijantoro 2007). Konsumsi pakan orangutan di alam ditentukan oleh kandungan nutrisi pakan. Asupan nutrisi memiliki korelasi positif terhadap bobot badan dan umur. Orangutan dengan umur lebih tua dan bobot tubuh yang tinggi akan mengkonsumsi pakan dengan kandungan nutrisi yang lebih tinggi (Zuraida 2004). Berbeda dengan ketersediaan pakan di TS Cikembulan tidak dipengaruhi oleh musim. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dimana orangutan yang ada di TS Cikembulan dapat mengkonsumsi jenis pakan yang disukai secara berkelanjutan. Menurut Dirjen PHKA (2011) syarat pakan dan air minum bagi satwa diantaranya pakan harus bersih, segar, dan bebas dari kontaminasi, cocok dan sesuai selera satwa (tidak menimbulkan gangguan metabolisme, pakan harus dalam jumlah yang cukup, mutu baik, seimbang dan bervariasi, air minum harus diganti setiap hari, dan tempat pakan maupun minum harus dibersihkan setiap hari agar tidak berlumut.

(27)

17 pertumbuhan dan pertambahan bobot badan dari orangutan. Kualitas pakan sangat ditentukan oleh nilai gizi yang dikandung dalam pakan tersebut. Pengelolaan pakan orangutan kalimantan ini ada empat hal yang sangat mempengaruhi gizi pakan diantarnya kuantitas bahan pakan yang diberikan, kualitas pakan (penyimpanan, bentuk, dan rasa atau bau), penyediaan pakan yang teratur, dan teknik pemberian pakan. Menurut Borror et al. (1992) di alam ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kelimpahan satwa dan kualitas habitatnya termasuk penyebarannya. Ketersediaan pakan di alam tersebut memberikan pengaruh yang juga hampir menyerupai kondisi di penangkaran. Ketersediaan pakan dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangbiakan dan jumlah satwa yang dapat bertahan di penangkaran. Selain itu, ketersediaan pakan yang ada setiap saat juga dapat mempengaruhi pola perilaku alaminya.

Kebutuhan minum orangutan dipenuhi dengan menyediakan tempat minum secara permanen. Tempat minum tersebut berbentuk bersegi berukuran 1x1 m yang terbuat dari semen. Berdasarkan hasil pengamatan orangutan jarang melakukan aktivitas minum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Galdikas (1986) bahwa aktivitas minum orangutan hanya dilakukan satu kali dalam sehari. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Kudiati (1992) bahwa aktivitas minum orangutan hanya dilakukan 1,25% dari aktivitas lain yang dilakukan oleh orangutan.

Manajemen Kesehatan

Berdasarkan hasil wawancara dengan keeper dan tenaga medis di TS Cikembulan, penyakit yang biasa ditemukan menyerang orangutan adalah sakit mata, diare, flu, dan luka. Tidak ada batasan umur tertentu pada orangutan yang mengalami penyakit tersebut. Jenis penyakit dan cara pengobatan penyakit orangutan (Tabel 6).

Tabel 6 Jenis dan cara pengobatan penyakit orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan

No Jenis

penyakit Gejala Penyebab Cara Pengobatan 1 Sakit

(28)

18

Berdasarkan buku riwayat kesehatan medik yang ada di TS Cikembulan selama ini orangutan tidak pernah terkena penyakit yang serius seperti hepatitis, TBC, dan sebagainya. Sakit mata biasanya ditandai dengan mata berwarna merah dan belekan. Pegobatan terhadap sakit mata tersebut dilakukan secara langsung dan rutin setiap hari. Keeper biasanya mengobati sakit mata tersebut dengan menggunakan obat insto yang diteteskan rutin setiap pagi dan sore. Orangutan yang terkena flu dan diare diberikan obat yang sama dikonsumsi dengan manusia. Luka merupakan salah satu media perantara yang mudah menyebarkan penyakit, bukan hanya pada manusia melainkan juga dapat terjadi pada satwa. Luka dapat terinfeksi oleh bakteri, virus ataupun jamur sehingga dapat mengganggu kesehatan satwa. Luka ini terjadi akibat perkelahian antara individu orangutan dengan individu lainnya. Luka pada tubuh orangutan ini biasanya dibiarkan saja dan tetap dilakukan pengontrolan. Orangutan yang terkena penyakit tidak dipindahkan pada kandang karantina, tetapi tetap berada pada kandang peraga.

Pengecekan kesehatan orangutan dilakukan setiap hari pada pagi hari. Pengecekan kesehatan ini dilakukan dengan cara melihat kondisi fisik satwa dan nafsu makan pada satwa. Apabila terjadi penurunan nafsu makan pada orangutan, pengelola biasanya memberikan vitamin. Vitamin yang diberikan biasanya fitkom sebanyak dua buah. Vitamin tersebut diberikan langsung pada orangutan. Pemberian vitamin pada orangutan ini berbeda dengan satwa lain yang ada di TS Cikembulan. Satwa lain diberikan vitamin dengan cara menyisipkan vitamin tersebut ke dalam makanannya. Namun, pemberian vitamin pada orangutan dilakukan secara langsung tanpa disisipkan ke dalam makanan.

Tindakan pencegahan penyakit pada orangutan yang dilakukan oleh pengelola meliputi pemeriksaan kondisi tubuh dan nafsu makan satwa, pembersihan kandang dan lingkungan sekitar kandang, dan pemberian pakan yang tepat. Selain itu dilakukan tindakan pencegahan penyakit dengan cara pemberian vaksin rabies terhadap orangutan. Namun, pemberian vaksin ini tidak rutin dilakukan setiap tahun. Pemeriksaan kondisi tubuh orangutan dilakukan dengan melihat tanda-tanda atau gejala kelainan pada fisik orangutan. Pemeriksaan kondisi tubuh orangutan biasanya dilakukan pada saat pemberian pakan maupun pada saat membersihkan kandang dan tubuh orangutan. Jika terdapat luka atau gejala-gejala penyakit lain, keeper langsung melaporkan kejadian tersebut kepada dokter hewan yang ditugaskan agar segera diperiksa dan diberikan tindakan pengobatan yang tepat. Menurut Dirjen PHKA (2011) tindakan pencegahan penyakit satwa dilakukan melalui karantina, pengawasan evakuasi dan mutasi satwa, pemerikasaan dan pengujian penyakit, dan sanitasi.

(29)

19 Tindakan pencegahan penyakit lainnya adalah memandikan orangutan, dengan tujuan untuk menjaga kebersihan badan orangutan. Pemandian orangutan dilakukan dengan penyemprotan air dari kandang sampai orangutan basah. Pemandian orangutan ini dilakukan oleh keeper. Pemandian orangutan ini biasanya dilakukan pada siang hari, namun biasanya terdapat orangutan yang menolak dan menghindar untuk dimandikan. Hal ini kemungkinan karena orangutan sangat sedikit tergantung dengan air (Noprianto 2004). Jadwal pemandian orangutan ini biasanya dilakukan setiap dua kali dalam seminggu.

Terdapat beberapa kendala dalam pengelolaan kesehatan satwa di TS Cikembulan diantaranya ketersediaan obat untuk mengobati penyakit satwa yang kurang cukup, tidak terdapat klinik kesehatan, belum terdapat kandang kanrantina yang tetap (hanya berfungsi untuk mengisolasi satwa yang terkena penyakit), peralatan medis yang kurang memadai, obat yang dibutuhkan untuk mengobati penyakit tertentu susah untuk didapatkan, dan tenaga medis yang kurang.

Kesehatan dan penyakit satwa berhubungan dengan dua faktor utama yaitu kebersihan kandang dan kondisi fisiologis satwa. Kandang yang dibersihkan secara rutin dengan baik dan benar dapat meningkatkan kesehatan dan menghindarkan kesempatan masuknya bibit penyakit. Kondisi fisiologis satwa yang secara langsung mempengaruhi fisiologis satwa seperti metabolisme, pakan yang diberikan, dan reproduksi satwa. Terkait dengan kedua hal tersebut, maka prinsip penting yang harus dilakukan adalah pencegahan penyakit (preventif) secara teratur dan konsisten sejak dini. Menurut Mcardle (1972) dalam Trisaputra (2009), bahwa pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui penanganan aspek pengandangan dan pemberian makanan yang baik, karena pada prinsipnya ada beberapa hal yang diketahui dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada satwa, antara lain:

a. pemberian makanan yang tidak tepat dan tidak disukai, b. keadaan kandang yang buruk,

c. isi kandang yang padat, d. sirkulasi udara buruk,

e. secara umum pengontrolan terhadap pemberian makan, minum dan hama penganggu kurang diperhatikan atau dilakukan secara rutin.

Adaptasi

(30)

20

wawancara dengan keeper, orangutan kalimantan pertama kali datang masih takut dengan manusia (belum jinak).

Orangutan yang terdapat di TS Cikembulan diberikan perlakuan mengenai pengenaan warna baju pada saat memberi makan untuk melihat adaptasi (respon) orangutan tersebut terhadap pengamat. Berdasarkan hasil pengamatan respon orangutan pertama kali terlihat marah (menarik-narik) dan takut terhadap pengamat. Pada hari keenam pengamatan orangutan sudah mulai merespon terhadap kehadiran pengamat dalam kandang. Meskipun hanya satu individu orangutan dalam kandang yang merespon terhadap kehadiran pengamat. Sebagian individu orangutan yang lain masih tidak merespon terhadap kehadiran pengamat. Hal ini menunjukkan bahwa respon orangutan terhadap pengamat dipengaruhi oleh interaksi antara pengamat dengan orangutan. Semakin tinggi interaksi pengamat dengan orangutan, maka orangutan memberikan respon semakin cepat. Adaptasi suatu satwa pada lingkungan baru untuk jinak dipengaruhi oleh luasan lahan yang tersedia (Semiadi 1996).

Perlakuan warna baju berpengaruh terhadap respon orangutan. Hasil perlakuan warna baju memberikan respon orangutan yang berbeda-beda. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji analisis chi-square dengan taraf nyata sama dengan 0,05 menunjukkan bahwa x2 hitung total lebih (21.42) besar daripada x2 tabel (21.03). Adanya pengaruh warna baju orangutan maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui warna baju yang berbeda nyata terhadap respon orangutan. Berdasarkan hasil uji Duncan pengaruh warna baju yang berbeda nyata dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan Tabel 7 hasil analisis uji Duncan dengan taraf nyata 0.05 menunjukkan bahwa orang utan memberikan respon terhadap semua warna baju yang diberikan. Warna baju yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon orangutan adalah warna baju merah. Orangutan memberikan respon yang paling baik terhadap perlakuan warna baju merah. Hal tersebut dilihat dari jarak orangutan merespon pakan yang diberikan pada saat perlakuan baju merah lebih dekat dibandingkan dengan warna baju lainnya. Selama pengamatan dua individu orangutan memberikan respon dengan jarak dari posisi awal sampai posisi akhir orangutan paling jauh 18 m terhadap pengamat. Selain itu, dua individu lainnya juga memberikan respon dengan jarak dari posisi awal sampai posisi akhir paling jauh sebesar 16 m terhadap pengamat. Warna merah memiliki panjang gelombang dengan sinar yang panjang dan memberikan efek elektromagnetik yang sensitif untuk di tangkap oleh retina (Young 1802). Menurut Moen (1936) bangsa monyet

Tabel 7 Pengaruh nyata warna baju terhadap respon orangutan kalimantan Perlakuan Selisih rata-rata skor jarak perlakuan

(31)

21 dan kera dapat membedakan warna cahaya. Hal ini didukung dengan pernyataan Derrinton et al. 1984 bahwa primata memiliki sel trikromatik (memiliki sel kerucut yang berbeda-beda dalam membedakan warna). Terdapat dua saluran maksimal yang mempolarisasikan modulasi sel kromatik diantaranya merah dan biru atau violet dan kuning secara berturut-turut. Jenis kera dan siamang memiliki penglihatan warna trikomatrik, berdasarkan panjang gelombang yang sangat sensitive pada selang 424 - 434, 531 - 539, dan 562 - 568 nm (Bowmaker et al. 1991; Dulai et al. 1994). Buah yang biasanya dimakan oleh orangutan berwarna kuning, orange, atau merah yang memiliki berat 5 - 50 gram, mengandung biji sebesar 0.5 - 2.5 gram dan memiliki daging buah mengandung banyak air (Gautier-Hion 1985).

Orangutan memberikan respon waktu yang berbeda-beda terhadap perlakuan yang diberikan. Dua individu orangutan memberikan respon yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat daripada individu orangutan lainnya. Hal ini karena orangutan tersebut awalnya sudah berada di penangkaran, sedangkan dua yang lainnya berasal dari alam. Orangutan yang berasal dari penangkaran lebih jinak daripada orangutan yang dari alam. Orangutan yang berasal dari penangkaran tersebut sudah dapat dipegang (dielus-elus) dan tidak menghindar dengan kehadiran dari pengamat di dalam kandang. Sedangkan orangutan yang berasal dari alam, masih memiliki sifat waspada dan masih takut terhadap pengamat. Orangutan yang masih liar dan orangutan yang sudah jinak memiliki sifat yang berbeda-beda. Orangutan liar akan menghindar ketika mencium manusia pada jarak yang relatif jauh (Galdikas 1984). Orangutan yang sudah jinak akan terbiasa dengan kehadiran manusia, sudah tidak memiliki rasa takut terhadap manusia (Minarwanto 2008).

Aktivitas Orangutan

Pengamatan aktivitas orangutan kalimantan di TS Cikembulan dilakukan dari pukul 08.00 - 11.00 dan 13.00 - 17.00 selama 840 jam (12 hari). Orangutan yang diamati berjumlah empat individu yang terdiri dua jantan dan dua betina. Hasil aktivitas orangutan kalimantan jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 7.

(32)

22

Perilaku yang banyak dilakukan oleh orangutan kalimantan di TS Cikembulan adalah bergerak, istirahat, makan, sosial, dan membuang kotoran. Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa perilaku yang sering dilakukan oleh orangutan jantan maupun betina adalah bergerak sebesar 40,207% dan 36,091%. Perilaku bergerak yang dilakukan oleh orangutan kalimantan meliputi berayun, berjalan, bergelantungan, dan berlari. Perilaku bergerak yang banyak dilakukan orangutan di dalam kandang adalah bergelantungan di rantai yang saling dihubungkan antara ban dan batang kayu. Hasil ini berbeda dengan penelitian perilaku orangutan yang dilakukan di Taman Safari Indonesia, dimana orangutan lebih banyak melakukan perilaku istirahat dibandingkan dengan bergerak (Ragil 2008). Orangutan yang ada di TS Cikembulan langsung dilepaskan dalam kandang, pengelola tidak mengatur perilakunya. Berdasarkan hasil pengamatan orangutan jantan lebih aktif dibandingkan dengan orangutan betina. Hal tersebut dipengaruhi oleh jenis kelamin, perbedaan ukuran tubuh, dan berat tubuh antara orangutan jantan dan betina terhadap perilaku pergerakan dan makan (Galdikas 1978, Rijksen 1978). Berdasarkan pengamatan orangutan banyak melakukan perilaku makan pada pukul 09.00 - 11.00 dengan suhu 26.2oC dan pada pukul 15.00 - 17.00 dengan suhu 25.7oC. Orangutan jantan lebih sering melakukan perilaku sosial seperti bermain dengan individu lain. Sering terlihat orangutan jantan bermain dengan individu jantan lainnya. Berdasarkan Gambar 8 perilaku kawin tidak pernah dilakukan oleh orangutan yang ada di TS Cikembulan. Hal ini karena usia orangutan yang ada di TS Cikembulan masih tergolong anak (4 tahun dan 6 tahun).

Selama pengamatan perilaku orangutan lebih banyak dilakukan pada pagi dan sore hari, siang hari orangutan lebih banyak istirahat. Sesuai dengan penelitian di TSI dan Pusat Primata Schmutzer bahwa perilaku banyak dilakukan pada pagi hari, menurun pada siang hari, dan pada sore hari perilaku kembali meningkat (Ragil 2008). Hasil penelitian Maple (1980) menyatakan bahwa orangutan di kebun binatang Yerkes pada pagi hari di antara pukul 08.00 -11.00 banyak melakukan perilaku makan dan interaksi sosial, siang hari antara pukul 11.00 - 14.00 orangutan banyak melakukan istirahat (tidur siang) atau sangat sedikit melakukan perilaku, dan kembali beraktivitas pukul 14.00 - 16.00. Menurut Saczawa (2005) berdasarkan hasil penelitian anak Pongo pygmaeus yang masih tergolong dalam anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain pada pagi hari dari pada siang dan sore hari.

(33)

23 sama dengan orangutan di alam, apabila didukung dengan habitat yang hampir sama dengan habitat aslinya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pelaksanaan teknik pemeliharaan orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan belum memenuhi syarat minimum dilihat dari tiga aspek yaitu aspek kandang, pakan, dan kesehatan. Aspek kandang tidak terdapat pohon sebagai pengayaan dan sanitasi kandang masih kurang baik, serta belum tersedia klinik kesehatan satwa. Orangutan memberikan respon yang paling baik terhadap perlakuan warna baju berturut-turut adalah baju merah, baju kuning, baju biru, dan baju hitam.

Saran

Rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil penelitian untuk pengelolaan Taman Satwa Cikembulan meliputi, diperlukan pengayaan kandang orangutan berupa pohon agar sesuai dengan habitatnya di alam, pembuatan penampungan untuk limbah padat yang dihasilkan oleh orangutan sehingga limbah tidak langsung dibuang ke kolam agar tidak terjadi pencemaran kolam, pembersihan kandang tidak hanya menyapu kandang tetapi harus dilakukan penyemprotan kandang untuk menghindari penyebaran penyakit, dan diperlukan kandang karantina permanen untuk mengisolasi satwa yang baru datang dan satwa yang terkena penyakit. Pakan yang diberikan harus ditimbang terlebih dahulu agar sesuai dengan kebutuhan secara konkret. Perlu pembuatan klinik kesehatan satwa dan vaksinasi yang rutin.

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen PHKA] Direktorat Jendral Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. 2011. Peraturan Direktorat Jendral Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) No. P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2007. The IUCN RedList of Threatened Species [internet]. [3 Juni 2014].http://www.iucnredlist.org. Altman J. 1974. Observational study of behavior: sampling methods. Behaviour

49: 227-267.

(34)

24

Bowmaker JK, Astell S, Hunt DM, Mollon JD. 1991. Photosensitive and photostable pigments in the retinae of Old World monkeys. Journal Exp. Biol. 156: 1-19.

Church DC, Pond. 1988. Basic animal nutrition and feeding. 3rd Edition. Canada (CA): John Wiley and Sons, Inc.

Commission on Life Sciences National Research Council. 1996. Guide For The Care and Use of Laboratory Animals. Washington (US): National Academy Press.

Derrington AM, Krauskopf J, Lennie P. 1984. Chromatic mechanisms in lateral geniculate nucleus of macaque. Journal Physiol. 357:241-265.

Dulai KS, Bowmaker JK, Mollon JD, Hunt DM. 1994. Sequence divergence, polymorphism and evolution of the middle-wave and long-wave visual pigment genes of great apes and OldWorld monkeys. Vision Res.34: 2483-2491.

Endra Y. 2006. Analisis proksimat dan komposisi asam amino buah pisang batu (Musa balbisiana Colla). [skripsi]. Bogor (ID): Fakulas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor

Fagen R. 1981. Animal play behaviour. New York (US): Oxford University Press. Galdikas BMF. 1978. Beberapa aspek tingkah laku Orangutan (Pongo pygmaeus

Linne. 1760). Jakarta (ID): Universitas Nasional Jakarta.

Galdikas BMF. 1984. Adaptasi orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia.

Galdikas BMF. 1986. Adaptasi orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah edisi ke-II. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia.

Gautier-Hion A. 1985. Fruit characters as a basis of fruit choice and seed dispersal in a tropical forest vertebrate community. Oecologia 65: 324-337.

Hill RA, Barrett L. 2004. Indices of environmental temperatures for primates in open habitats. Primates 45: 7-13.

Holmes DA. 2001. Deforestation in Indonesia. in E. Wickramanayake, E. Dinerstein, and D. Olson editors. Teresterial ecoregions of the Indo-Pacific. Washington (DC): a conservation assessment. Island Press..

Krisdijantoro A. 2007. Analisis pola penggunaan ruang dan waktu orangutan (Pongo pygmaeus Linneaus, 1760) di Hutan Mentoko Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kudiati SE. 1992. Tingkah laku makan mawas (Pongo pygmaeus) di Taman

Safari Cisarua Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kuncoro P. 2004. Aktivitas harian orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus 1760) rehabilitan di Hutan Lindung pegunungan Meratus, Kalimantan Timur. [skripsi]. Bali (ID): Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

MacKinnon JR. 1974. The behavior and ecology of wild Orangutan (Pongo pymaeus). Animal Behavior. 22:3-74

Manangsang J. 2002. Management of primates in Taman Safari Indonesia. Dalam International symposium: Application of Non Human Primates in Biotechnology for Conservation and Biomedical Research Bogor-Indonesia. Bogor (ID) : Research Institut of Bogor Agricultural.

(35)

25 Minarwanto H. 2008. Studi aktivitas harian orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) di orangutan care Center and Quarantine Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Moen AN. 1936. Wildlife ecology an analytical approach. San Francisco (US): WH Freeman & Company.

Morrison FB. 1959. Feed an feeding. Iowa: The Morrison Publishing Comany. Napier JR, Napier PH. 1985. The natural history of the primates. Massachusetts

(US): The MIT Press.

Noprianto A. 2004. Kajian pengelolaan orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus, L) di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.53/Menhut-II/2006 Tentang Lembaga Konservasi.

Ragil IWA. 2008. Perilaku anak orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan dan Taman Safari Indonesia. [skripsi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Regan BC, Julliot C, Simmen B, Vienot F, Charles-Dominique P, Mollon JD. 2001. Fruits, foliage, and the evolution of primate colour vision. Phil. Trans. R. Soc. Lond. 356:229-283

Rijksen HD. 1978. A field study on Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii Lesson 1827) ecology, behavior and conservation. H. Veenman & Zonen B.V. Wageningen.

Saczawa M. 2005. The types and duration of play in a solitary species (Pongo pygmaeus) versus a social spesies (Mandrillus leucophaeus). Oxford Journal of Anthropology. 1: 1-10.

Sajuthi D. 1984. Satwa primata sebagai hewan laboraturium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Semiadi G. 1996. Perilaku rusa sambar (Cervus unicolor) dalam proses penjinakan. Bogor (ID): Puslitbang Biologi LIPI.

Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi ex-situ burung endemik langka melalui penangkaran. Di dalam: Konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; 20 September 2006. Bogor (ID): Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.47-61.

Smit B, Wandel J. 2006. Adaptation, adaptive capacity and vulnerability. Global Environmental Change 16 : 282–292

Soehartono T, Susilo HD, Andayani N, Atmoko SSU, Sihite J, Saleh C, dan Sutrisno A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.

Soemadi W, Mutholib A. 1995. Pakan burung. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sukriyadi, Thohari M, Masyud B. 2006. Habituasi pada rusa totol (Axis axis

Erxleben, 1777) di Penangkaran dengan panggilan, warna, dan urin. Media Konservasi. 3: 77-82.

(36)

26

Trisaputra D. 2009. Burung perkutut (Geopelia striata Linn.) sebagai hewan potensial. [karya ilmiah]. [12 Maret 2014]. Dalam: https://uripsantoso.wordpress.com/2009/11/10/burung-perkutut-geopelia-striata-linn-sebagai-hewan-potensial/

Ungar PS. 1995. Fruit preference of four sympatric primate species at Ketambe, Northerm Sumatera, Indonesia. Int. Journal Primatology. 43: 159–165.

Walpole RE. 2005. Pengantar Statistika Edisi Ke-3. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama

Wiseman J dan Cole DJA. 1990. Feedstuff evaluation. London (UK): Butterworth.

Yani A, Suhardiyanto H, Hasbullah R, Purwanto BP. 2007. Analisis dan simulasi ditribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan Momputational Fluid Dynamics (CFD). Media Peternakan. 30 (3): 218-228.

Young T. 1802. Diagnostic examination of the eye color vision. Philadelphis-Montreal : Lippincott CO.

Zuhra R. 2009. Aktivitas makan orangutan (Pongo pygmaeus) di Pusat Primata Schmutzer Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Zuraida. 2004. Konsumsi dan kandungan nutrient pakan orangutan (Pongo

(37)

27

Lampiran 1 Aktivitas orangutan kalimantan pada pagi, siang, dan sore hari di Taman Satwa Cikembulan

Perilaku

Jana Jeni Unyil Amel

Rata-rata menit Rata-rata menit Rata-rata menit Rata-rata menit

pagi siang sore pagi siang sore pagi siang sore pagi siang sore

makan 31,362 17,168 42,322 37,644 16,624 41,063 52,534 19,211 34,133 40,513 17,667 39,173

bergerak 70,006 26,006 34,347 64,441 51,015 36,980 88,071 66,703 55,455 74,173 47,908 42,261

istirahat 69,829 75,014 36,876 73,972 48,450 35,588 12,034 18,904 35,535 51,945 47,456 36,000

sosial 8,399 0,366 9,854 6,282 6,454 3,077 25,254 13,815 2,909 13,312 6,878 5,280

membuang kotoran 0,257 0,000 0,374 0,183 0,141 0,070 0,438 0,711 0,113 0,293 0,284 0,186

kawin 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

TOTAL MENIT 179,853 118,554 123,773 182,522 122,685 116,778 178,332 119,344 128,146 180,236 120,194 122,899

Lampiran 2 Respon orangutan jantan (Jana) terhadap pengamat pada perlakuan warna baju Jarak

Warna baju (jana)

TOTAL

hitam+peluit merah+peluit biru+peluit kuning+peluit

f0 fe f0-fe

(f0-fe)^2/fe f0 fe f0-fe

(f0-fe)^2/fe f0 fe f0-fe

(f0-fe)^2/fe f0 fe f0-fe

(f0-fe)^2/fe f0 fe

0 0 0.00 0.00 0 0 0 0.00 0 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0 0

1-5 m 2 0.92 1.08 1.28 0 1.08 -1.08 1.08 0 0.92 -0.92 0.92 2 1.08 0.92 0.78 4 4

6-10 m 6 5.50 0.50 0.05 3 6.5 -3.50 1.88 9 5.5 3.50 2.23 6 6.50 -0.50 0.04 24 24

11– 15 m 4 6.42 -2.42 0.91 8 7.58 0.42 0.02 8 6.42 1.58 0.39 8 7.58 0.42 0.02 28 28

16-20 10 9.17 0.83 0.08 15 10.8 4.17 1.60 5 9.2 -4.17 1.89 10 10.83 -0.83 0.06 40 40

Gambar

Tabel 1  Orangutan kalimantan yang terdapat di Taman Satwa Cikembulan
Tabel 2  Data respon orangutan Kalimantan terhadap perlakuan warna baju
Tabel 3  Jenis dan metode pengumpulan data perilaku adaptasi
Tabel 4 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang orangutan kalimantan di Taman Satwa Cikembulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Bupati Bantul Nomor 2 A Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas (Berita Daerah Kabupaten Bantul

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa pemberian irigasi tetes secara tidak langsung meningkatkan integritas dinding sel dengan meningkatnya serapan Ca ke buah sehingga ekskresi

Penggunaan shear connector bambu bertujuan untuk menambah kemungkinan plat bekerja sebagai satu kesatuan (monolit) yang dapat dibuktikan dengan hasil eksperimental yang

dan referensi untuk mengembangkan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan asupan vitamin D dengan kadar glukosa darah puasa pada penderita DMT2

Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Johansen Turnip (2001) dalam Desti Tarigan (2004) menunjukkan bahwa variabel bauran pemasaran:

Pengujian perbedaan tingkat kinerja SIA antara perusahaan yang memiliki dengan yang tidak memiliki Pendidikan dan Pelatihan Pengguna, Komite Pengendali SI, dan Lokasi Departemen