• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Backpropagation Neural Networks Modelling Using Probabilistic Neural Network for Monsoon Onset Prediction Based on Global Climate Indices

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Backpropagation Neural Networks Modelling Using Probabilistic Neural Network for Monsoon Onset Prediction Based on Global Climate Indices"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORKS DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK UNTUK PENDUGAAN AWAL

MUSIM HUJAN BERDASARKAN INDEKS IKLIM GLOBAL

MOCHAMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan

Backpropagation Neural Networks dan Probabilistic Neural Network Untuk Pendugaan Awal Musim Hujan Berdasarkan Indeks Iklim Global adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Mochamad Taufiqurrochman Abdul Aziz Zein

(4)

RINGKASAN

MOCHAMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN. Pemodelan

Backpropagation Neural Networks dan Probabilistic Neural Network Untuk Pendugaan Awal Musim Hujan Berdasarkan Indeks Iklim Global. Dibimbing oleh AGUS BUONO dan AKHMAD FAQIH.

Awal musim hujan merupakan faktor penentu dalam produksi hasil pertanian. Awal musim hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena iklim global seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole-Mode (IOD), Southern Oscillation Index (SOI) dan El Nino Modoki (EMI). Karena adanya pengaruh tersebut, penelitian ini menggunakan fenomena iklim global sebagai input untuk model jaringan syaraf yang dibangun. Pemodelan

backpropagation neural network (BPNN) dan probabilistic neural network (PNN) menggunakan korelasi Pearson untuk penentuan prediktornya. Penentuan awal musim hujan didasarkan pada pendekatan menurut definisi agronomis. Pendekatan agronomis yang digunakan adalah pendekatan untuk tanaman pertanian pangan, berdasarkan penelitian Moron et al. (2009). Hal ini dikarenakan wilayah Indramayu merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menerapkan model neural networks untuk melakukan pendugaan awal musim hujan berdasarkan pendekatan agronomis di wilayah Indramayu.

Penelitian dibagi dalam dua skema. Skema pertama adalah pemodelan

Backpropagation Neural Network pada lima arsitektur yang berbeda untuk prediksi awal musim hujan. Arsitektur yang dimaksud adalah variasi jumlah lapisan hidden dan jumlah neuron hidden. Skema kedua pemodelan

Backpropagation Neural Networks berdasarkan arsitektur terbaik yang diperoleh pada skema pertama, menggunakan Probabilistic Neural Network sebagai

classifier untuk prediksi awal musim hujan. Hasil skema pertama menunjukkan bahwa arsitektur Backpropagation Neural Networks menggunakan 1 buah lapisan

hidden dan 10 buah neuron hidden pada lapisan hidden tersebut memperoleh hasil terbaik dalam pendugaan awal musim hujan dengan nilai r sebesar 0.89 dan 11.6 untuk nilai RMSE-nya. Hasil tersebut diperoleh pada titik pengamatan

Kertasemaya. Skema kedua menunjukkan bahwa lokasi Kertasemaya sebagai lokasi terbaik dalam pendugaan awal musim hujan memiliki nilai r dan akurasi klasifikasi PNN masing-masing sebesar 0.85 dan 87.5% serta nilai RMSE yang

lebih baik dari skema pertama yaitu sebesar 10.3. Diagram Taylor digunakan untuk analisis performa keseluruhan model yang telah dibangun. Model pada skema kedua menjadi model terbaik pada 3 lokasi dari 8 titik lokasi pengamatan. Peta sebaran titik pengamatan menunjukan lokasi setiap titik dan nilai korelasi pendugaan awal musim hujan dengan nilai observasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penentuan awal musim hujan dengan pendekatan agronomis dapat digunakan untuk wilayah Indramayu.

(5)

MOCHAMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN. The Backpropagation Neural Networks Modelling Using Probabilistic Neural Network for Monsoon Onset Prediction Based on Global Climate Indices. Supervised by AGUS BUONO and AKHMAD FAQIH.

Monsoon-onset is the key factor in agricultural production especially for

crops. Monsoon-onset over Indonesia region is influenced by global climate

phenomena such as El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole

-Mode (IOD), Southern Oscillation Index (SOI) and El Nino Modoki (EMI). And thus, we used the global climate indices as predictors for neural networks input model. In this research we build a prediction model using Backpropagation Neural Networks (BPNN) method and Probabilistic Neural Networks (PNN) as classifier for monsoon-onset classification. This research has an objective to predict the

monsoon-onset over Indramayu district with agronomic approach definition using

Backpropagation Neural Networks and Probabilistic Neural Networks. Because of Indramayu district is one of the rice field center in Indonesia, the agronomic approaches that been used is especially for crops which has determined in Moron

et al. (2009) research.

This research divide into two scheme. First, monsoon-onset prediction

using backpropagation neural networks model in five different architectures. This architectures consist of different hidden layer and hidden neuron combination. And the second is, monsoon-onset prediction using Backpropagation Neural

Networks -based on first scheme results- with probabilistic Neural Networks as

classifier. The Probabilistic Neural Networks are used for classify the monsoon

-onset class in validation process for each new evaluated data. The first scheme shows that the backpropagation neural networks using 1 hidden layer and 10 hidden neuron as the best results with r 0.89 and RMSE 11.6. This results occurred at Kertasemaya location point. In the second scheme, Kertasemaya location point also gave us the best results in prediction with r , PNN accuration and RMSE as follows 0.85, 87.5% and 10.3. This results give us better number than previous scheme, with some notes. Taylor Diagram was used as a performance analysis tools for models evaluation. The last model (models which is developed in second scheme) become the best prediction model for 3 out 8 location points in the research. And also, we build a correlation map based on location points spreads in order to point out the spatial pattern.

The final results shows that monsoon-onset over Indramayu district can be

determined using agronomic approach. Monsoon-onset prediction with agronomic

approaches has been built using Backpropagation Neural Networks models and Probabilistic Neural Network as classifer, also global climate indices as predictors.

Key words : backpropagation neural networks, global climate indices, monsoon

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang

-

Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

MOCHAMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN G651110441

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Komputer

pada

Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis :Pemodelan Backpropagation Neural Networks dan

Probabilistic Neural Network Untuk Pendugaan Awal Musim Hujan Berdasarkan Indeks Iklim Global

Nama : Mochamad Taufiqurrochman Abdul Aziz Zein

NIM : G651110441

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom

Ketua Dr Akhmad Faqih, SSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Komputer

Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST, MT

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah

artificial intelligence, dengan judul Pemodelan Backpropagation Neural Networks

dan Probabilistic Neural Network Untuk Pendugaan Awal Musim Hujan

Berdasarkan Indeks Iklim Global.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom dan Bapak Dr Akhmad Faqih, SSi selaku pembimbing serta Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom selaku penguji dalam ujian tesis yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf Departemen Ilmu Komputer IPB serta rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komputer dan pihak-pihak yang tidak semua dapat disebutkan yang telah membantu selama proses penelitian dan penulisan karya ilmiah. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan beasiswa (Beasiswa Kemenag BS-2011) sehingga penulis dapat melaksanakan program pascasarjana dengan baik, serta kepada keluarga dan teman-teman sejawat atas segala do’a dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Iklim di Indonesia 3

Model prediksi Awal Musim Hujan 6

Penentuan AMH Menurut Definisi Agronomis 7

Jaringan Syaraf Tiruan 7

3 METODE 17

Alat dan Bahan 17

Wilayah Penelitian 17

Metode Penelitian 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Awal Musim Hujan (AMH/onset) 23

Pemilihan Prediktor 24

Skema I 26

Skema II 28

Diagram Taylor 30

Peta Hasil Penelitian 36

5 SIMPULAN DAN SARAN 37

DAFTAR PUSTAKA 38

(14)

DAFTAR TABEL

1 Skema Penelitian 22

2 Prediktor untuk neural networks hasil analisis korelasi 26

3 Performansi Skema I 27

4 Performansi Skema II 29

5 Model terbaik setiap lokasi penelitian 35

DAFTAR GAMBAR

1 Pola curah hujan di Indonesia 3

2 Fenomena El Nino dan La Nina di kawasan Pasifik 4

3 Wilayah Nino di Samudra Pasifik 4

4 Fenomena Dipole-Mode di kawasan Samudra Hindia 5

5 Wilayah perhitungan El Nino Modoki Index 5

6 Arsitektur dasar JST 7

7 Arsitektur BPNN dengan satu lapisan tersembunyi 9

8 Arsitektur BPNN multilayer 12

9 Arsitektur PNN 14

10 Diagram alir penelitian 18

11 Pembagian kelas onset pada penelitian 19

12 Arsitektur BPNN untuk model prediksi AMH 20

13 Arsitektur BPNN dengan dua lapisan hidden 20

14 Arsitektur PNN 21

15 Skema proses leave one out cross validation 21

16 Diagram Taylor 22

17 Peta sebaran lokasi pengamatan hujan pada wilayah penelitian 23

18 AMH setiap titik pengamatan (Indramayu) 23

19 Perbandingan (a) ONIdan (b) Rata-rata AMH Indramayu 24

20 Korelasi antara indeks iklim global (a) IOD, (b) SOI, (c) EMI, (d) Nino1+2, (e) Nino3, (f) Nino4, dan (g) Nino3.4 dengan AMH setiap titik pengamatan25

21 Perbandingan nilai korelasi (r) skema I 27

22 Perbandingan nilai RMSE skema I 28

23 Perbandingan korelasi (r) dan akurasi klasifikasi PNN 29

24 Diagram Taylor lokasi Indramayu 30

25 Diagram Taylor lokasi Kedokan Bunder 31

26 Diagram Taylor lokasi Krangkeng 31

27 Perbandingan antara AMH Krangkeng dengan seluruh model 32

28 Diagram Taylor lokasi Juntinyuat 32

29 Perbandingan antara AMH Juntinyuat dengan seluruh model 33

30 Diagram Taylor lokasi Sudimampir 33

31 Diagram Taylor lokasi Bondan 33

32 Diagram Taylor lokasi Kertasemaya 34

33 Perbandingan AMH Kertasemaya dengan seluruh model 34

34 Diagram Taylor lokasi Jatibarang 35

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

8 Hasil korelasi variabel prediktor dengan AMH Indramayu 48 9 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Kedokan Bunder 48 10 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Krangkeng 49 11 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Juntinyuat 49 12 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Sudimampir 50 13 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Bondan 50 14 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Kertasemaya 51 15 Hasil Korelasi variabel prediktor dengan AMH Jatibarang 51 16 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Indramayu 52 17 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Kedokan Bunder 52 18 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Krangkeng 53 19 Hasil Skema I prediksi tiap arsitektur BPNN di Juntinyuat 53 20 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Sudimampir 54 21 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Bondan 54 22 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Kertasemaya 55 23 Hasil prediksi Skema I tiap arsitektur BPNN di Jatibarang 55

24 Hasil Skema II Lokasi Indramayu 56

25 Hasil Skema II Lokasi Kedokan Bunder 57

26 Hasil Skema II Lokasi Krangkeng 58

27 Hasil Skema II Lokasi Juntinyuat 59

28 Hasil Skema II Lokasi Sudimampir 60

29 Hasil Skema II Lokasi Bondan 61

30 Hasil Skema II Lokasi Kertasemaya 62

31 Hasil Skema II Lokasi Jatibarang 63

(16)

Latar Belakang

Prediksi kedatangan musim hujan di Indonesia berkaitan erat dengan keberadaan wilayah Indonesia yang berada di wilayah tropis. Curah hujan di Indonesia dikendalikan oleh monsun Austral-Asia (Moron et al. 2009). Pengaruh monsun, El Nino Southern Oscilation (ENSO), Southern Oscillatin Index (SOI) dan Indian Ocean Dipole-Mode (IOD) memberikan efek terhadap kondisi iklim di Indonesia (Saji et al. 1999; Haylock dan McBride 2001; Naylor et al. 2001; Aldrian dan Sutanto 2003;). Selain faktor tersebut, fenomena El Nino Modoki Index (EMI) memberikan dampak terhadap penurunan musim hujan di beberapa wilayah di Indonesia (Windari et al. 2012).

Salah satu faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia adalah adanya aktivitas ENSO di wilayah Pasifik. Aktivitas ENSO di Pasifik diukur menggunakan suhu permukaan laut. Anomali suhu permukaan laut di wilayah pasifik dapat digunakan sebagai indikator terjadinya variabilitas curah hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003; Hendon 2003; Estiningtyas et al. 2007; Swarinoto dan Makmur 2009). Aldrian dan Susanto (2003) melakukan identifikasi terhadap tiga wilayah curah hujan dominan di Indonesia. Identifikasi tersebut juga memperhatikan hubungan antara suhu permukaan laut dengan variabilitas curah hujan di Indonesia. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pada bulan Maret hingga Mei, variabilitas curah hujan sangat sulit untuk diprediksi. Pada bulan Juni ke November, terdapat hubungan yang erat antara pola curah hujan dengan ENSO untuk wilayah Indonesia dari Sumatera bagian selatan hingga ke pulau Timor dan wilayah Maluku hingga Sulawesi. Pengaruh ENSO kuat pada musim kering normal (Juni-September) sangat beresiko pada tahun El Nino, hal

ini dikarenakan respons negatif yang berarti suhu permukaan laut yang lebih besar pada Nino 3 di daerah pasifik, akan menurunkan curah hujan di seluruh wilayah Indonesia.

Metode dalam pendugaan musim hujan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Estiningtyas et al. (2005) mengembangkan prediksi curah hujan bulanan berdasarkan suhu permukaan laut Nino 3.4 dengan menggunakan pendekatan metode Filter Kalman. Boer et al. (2007) melakukan prediksi curah hujan dengan melihat karakteristik curah hujan. Prediksi ini dilakukan dengan melihat anomali dari curah hujan berdasarkan prediktor faktor iklim anomali suhu muka laut di Pasifik. Marjuki (2011) menggunakan analisis hubungan suhu permukaan laut menggunakan teknik principal component regression (PCR) untuk prediksi awal musim hujan.

Penentuan awal musim hujan (AMH/onset) maupun prediksi curah hujan dengan pendekatan analisis data secara historis (keterkaitan waktu) telah banyak dilakukan seperti disebutkan dalam Syarifuddin et al. (2009) yaitu regresi frontier, analisis fraktal hingga metode jaringan syaraf. Menurut Pramudia et al. (2008) terknik jaringan syaraf mampu menggabungkan aspek analisis waktu dan analisis ruang secara simultan.

Moron et al. (2009) menyatakan bahwa onset berbeda-beda dan spesifik

(17)

pertanian, khususnya di Jawa (Naylor et al. 2007). Prediksi awal musim hujan sangat penting untuk mengevaluasi rekomendasi waktu tanam yang berpengaruh dalam produksi pertanian (Boer et al. 2007; Naylor et al. 2007).

Zhang et al. (1998) mengemukakan bahwa metode neural networks sangat baik digunakan untuk melakukan prediksi suatu kejadian dan memiliki akurasi yang sangat baik dengan memperhatikan keterbatasan dari metode ini. Pendekatan prediksi curah hujan menggunakan Artificial Neural Network (ANN) atau diperkenalkan oleh Lee et al. (1998) menggunakan interpolasi spasial di wilayah Switzerland. Pengembangan prediksi curah hujan dengan menggunakan neural networks dapat memberikan gambaran fluktuasi curah hujan dengan baik untuk wilayah hujan monsun (Pramudia et al. 2008; Muharsyah 2009). Pengembangan model prediksi awal musim hujan dalam penelitian ini dilakukan untuk wilayah Indramayu. Indramayu digunakan sebagai fokus kajian karena Indramayu merupakan wilayah Indonesia dengan tipe hujan monsun dan merupakan salah satu sentra produksi pertanian, khususnya padi.

Perumusan Masalah

Beberapa pertanyaan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Apa saja indeks iklim global yang berkaitan erat dalam menentukan hasil

prediksi awal musim hujan?

2. Teknik jaringan syaraf tiruan seperti apa yang terbaik dalam prediksi awal

musim hujan?

3. Bagaimanakah kemampuan dari model yang akan dibangun? 4. Apa saja batasan dan potensi yang dimiliki oleh model tersebut?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah menentukan awal musim hujan berdasarkan data historis curah hujan harian menggunakan pendekatan agronomis, menentukan korelasi antara Indeks Iklim Global dengan Awal Musim Hujan untuk penentuan prediktor yang akan digunakan dalam neural networks, melakukan pemodelan backpropagation neural networks dan

probabilistic neural networks untuk prediksi awal musim hujan, menghitung performa model dan terakhir adalah melakukan evaluasi terhadap seluruh model yang telah diabngun.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data series curah hujan harian selama mulai tahun 1990 hingga 2005 wilayah Indramayu. Data indeks iklim global yang digunakan dalam penelitian adalah Indian Ocean Dipole-Mode (IOD), Southern

(18)

Iklim di Indonesia

Iklim Indonesia dikendalikan oleh tiga sistem peredaran (sirkulasi) angin global dan lokal, yaitu sirkulasi secara meridional (angin pasat atau trade wind), sirkulasi secara zonal (angin monsoon), dan sirkulasi secara lokal (angin lokal). Dominasi masing-masing sistem sirkulasi udara tersebut sangat tergantung pada musim dan dinamika atmosfer global. Pada kondisi normal, angin pasat dan

monsoon Asia lebih dominan sesuai dengan dinamika Inter Tropical Convergence

Zone (ITCZ). Pada saat anomali iklim, pengaruh sistem sirkulasi udara secara zonal Asia Pasifik yang dikendalikan oleh El Nino Southern Oscillation (ENSO) sebagai perbedaan tekanan udara antara Darwin (Australia) dan Tahiti (Afrika Barat) lebih dominan dibanding sirkulasi udara zonal, khususnya angin zonal yang bertiup dari dan ke wilayah Lautan Pasifik ekuator. Keadaan ini menjadi penyebab terjadinya penyimpangan iklim El Nino dan La Nina.

Iklim di Indonesia secara normal memilki dua musim monsoon yang meliputi bulan Desember-Januari-Februari dan Juni-Juli-Agustus. Penentuan kedua monsoon didasarkan pada sifat angin monsoon yaitu arah, kemantapan dan kecepatannya. Berdasarkan pembagian tersebut, maka terdapat musim Transisi I dan musim Transisi II yang terjadi pada bulan Maret-April-Mei dan September-Oktober-November. Pola curah hujan di Indonesia berdasarkan tipenya disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Pola curah hujan di Indonesia

(Aldrian dan Susanto 2003)

Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah pola curah hujan, yaitu monsunal, equatorial dan lokal. Pola monsunal adalah tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan). Pola equatorial adalah tipe curah hujan dengan tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan). Pola lokal adalah bentuk pola hujan unimodial (satu puncak musim hujan) akan tetapi memiliki bentuk yang berlawanan dengan pola monsunal (Hermawan 2010).

Wilayah A yang ditunjukkan dengan batas garis tegas adalah wilayah dengan tipe monsunal. Wilayah B ditunjukkan dengan batas berupa garis putus

(19)

Kondisi suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) di Pasifik ekuator sangat berpengaruh terhadap sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika, suhu permukaan laut Pasifik ekuator tengah dan timur lebih tinggi dari rata-ratanya. Kondisi inilah yang disebut El Nino (Trenberth 1997). Sebaliknya, apabila suhu permukaan Lautan Pasifik ekuator tengah dan timur lebih rendah dari rata-ratanya, maka kondisi tersebut dinamakan La Nina (Gambar 2).

Gambar 2 Fenomena El Nino dan La Nina di kawasan Pasifik

(sumber : www.bom.gov.au)

Fenomena El Nino dan La Nina diindikasikan dengan keadaan suhu permukaan laut pada wilayah Nino (Gambar 3). Wilayah ini meliputi Nino1 dan Nino2 (berada pada pesisir selatan Amerika), Nino3 dan Nino4 (meliputi Pasifik ekuator tengah dan timur) dan Nino3.4 (memotong kedua buah Nino3 dan Nino4). Berdasarkan letak astronomisnya, wilayah Nino adalah sebagai berikut :

1. Nino1 berada pada 5-10°S, 80-90°W; 2. Nino2 berada pada 0-5°S, 80-90°W; 3. Nino3 berada pada 5°N-5°S, 150-90°W;

4. Nino4 berada pada 5°N-5°S, 160°E-150°W; dan 5. Nino3.4 berada pada 5°N-5°S, 120-170°W.

Gambar 3 Wilayah Nino di Samudra Pasifik

(sumber : www.bom.gov.au)

Pada kejadian El Nino, wilayah Indonesia mengalami kekeringan dan pada kejadian La Nina, wilayah Indonesia mengalami curah hujan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan maju atau mundurnya awal musim hujan di Indonesia.

Southern Oscillation Index (SOI) menunjukkan perkembangan dan

(20)

(1)

�� �� adalah rata-rata mean sea level pressure (MSLP) Tahiti selama sebulan dikurangi dengan rata-rata MSLP Darwin selama sebulan. �� ���� adalah

�� �� yang dicari dengan �� �� adalah nilai standar deviasi �� �� bulan yang dicari. Nilai 10 pada persamaan (1) merupakan suatu konvensi sehingga nilai SOI akan selalu berada pada interval -35 hingga 35.

Fenomena yang berkaitan dengan iklim di Indonesia selain ENSO adalah

Indian Ocean Dipole-Mode (IOD). IOD pertama kali dikemukakan oleh Saji et al.

(1999) yang menyatakan bahwa terdapat fenomena dipole mode di kawasan samudra Hindia, terpisah dari fenomena ENSO. Fenomena IOD ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Fenomena Dipole-Mode di kawasan Samudra Hindia

(sumber : www.jamstec.go.jp)

IOD merupakan perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera

India (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dengan suhu muka laut di kawasan tenggara Samudera India (90°-110°BT, 0°-10°LS). Fenomena IOD (Gambar 3) terdiri dari dua kondisi, dipole mode positif dan dipole mode negatif. Kondisi dipole mode positif memberikan dampak berkurangnya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia, sedangkan kondisi dipole mode negatif memberikan dampak sebaliknya.

Fenomena iklim global yang juga mempengaruhi iklim di Indonesia adalah pengembangan dari El Nino (La Nina) yaitu El Nino Modoki. Wilayah perhitungan fenomena tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.

(21)

Fenomena El Nino modoki berasal dari bahasa jepang klasik (modoki :

similar but different thing), mengacu pada fenomena yang menyerupai El Nino

tetapi berbeda secara spasial dan temporal serta bersifat independen (Ashok et al.

2007).

Ashok et al. (2007) merumuskan bahwa El Nino Modoki didefinisikan menurut persamaan (2) sebagai berikut.

EMI = [SSTA]Central – (0.5[SSTB]East + 0.5[SSTC]West) (2)

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa El Nino Modoki Index (EMI) dihitung berdasarkan nilai suhu permukaan laut di wilayah A (SSTA) dikurangi dengan setengah nilai suhu permukaan laut wilayah B (SSTB) yang ditambahkan setengah nilai suhu permukaan laut wilayah C (SSTC).

Model prediksi Awal Musim Hujan

Awal musim hujan di Indonesia menurut BMKG diidentifikasi sebagai jumlah curah hujan dasarian (10 harian) lebih besar atau sama dengan 50 mm ditambah dengan minimum dua dasarian berikutnya. Moron et al. (2009) memberikan definisi terhadap awal musim hujan di Indonesia sebagai hari basah pertama pada 5 hari berturut-turut dengan curah hujan sedikitnya 40 mm yang

tidak diikuti oleh 10 hari kering berturut-turut yaitu dengan curah hujan kurang

dari 5 mm selama 30 hari dari awal hari onset.

Hendon (2003) menyatakan bahwa variabilitas suhu permukaan laut Nino3.4 mempengaruhi 50 % variasi curah hujan di Indonesia. Sedangkan variabilitas suhu permukaan laut di Laut India mempengaruhi hingga 10-15%

variasi curah hujan di Indonesia. Estiningtyas et al. (2005;2009) mengembangkan prediksi curah hujan berdasarkan suhu permukaan laut. Terdapat korelasi secara spasial antara curah hujan dengan suhu permukaan laut. Pramudia et al. (2008) dan Syarifudin et al. (2009) membuat model prediksi curah hujan menggunakan teknik Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Hasil model tersebut dapat mereplikasi fluktuasi cuarh hujan dan dapat digunakan untuk simulasi pertanian. Pada tahun 2010, Buono et al. (2010) membuat model prediksi curah hujan menggunakan neural network dengan pendekatan statistika (statistic downscalling). Korelasi maksimum yang diperoleh dari model yang dikembangkan adalah 0.796. Selain itu, diketahui juga bahwa hasil prediksi cenderung mengalami overestimate pada curah hujan rendah dan underestimate pada curah hujan tinggi.

(22)

digunakan sebagai prediktor adalah Southern Oscillation Index (SOI). Korelasi tertinggi antara observasi dengan prediksi adalah 0.99.

Penentuan AMH Menurut Definisi Agronomis

Sivakumar (1988) menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan produksi pertanian adalah dengan mengeksploitasi panjang musim tumbuh suatu komoditi pertanian. Hal ini bertujuan untuk meminimumkan efek kekeringan dengan efisiensi penggunaan musim hujan. Moron et al. (2009) menyebutkan bahwa pendekatan berdasarkan definisi secara agronomis sangat dipengaruhi oleh komoditas yang digunakan dan sangat baik untuk manajemen pertanian. Penggunaan pendekatan menggunakan definisi agronomis ini bertujuan untuk menghindari false rain (hujan semu) yang sering terjadi di Indonesia (Moron et al.

2009).

Definisi agronomis yang dikemukakan oleh Moron et al. (2009) memiliki beberapa poin utama. Pertama, penentuan onset dimulai dari tanggal 1 Agustus. Bulan Agustus hingga September merupakan bulan paling kering di Indonesia (Aldrian dan Sutanto 2003), sehingga penentuan awal musim hujan adalah setelah memasuki periode kering tersebut. Kriteria berikutnya adalah hari pertama curah hujan 5 (lima) harian menerima curah hujan minimal 40 mm dan tidak diikuti 10 hari kering menerima curah hujan kurang dari 5 mm selama 30 hari sejak awal musim hujan ditetapkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari false rain

(hujan semu) dan menghindari kekurangan air pada tanaman pangan. Kekurangan air pada tanaman pertanian dapat memperlambat waktu pemanenan dan mengurangi hasil produksi (Dikshit et al. 1987).

Jaringan Syaraf Tiruan

Model Artificial Neural Networks (ANN) merupakan teknik komputasi yang meniru model syaraf biologis (Fauset 1994). Struktur dasar elemen ANN memiliki satu neuron seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

X

Gambar 6 Arsitektur dasar JST

(Fauset 1994)

(23)

untuk menyimpan informasi, bias ( ) digunakan untuk mengatur nilai ambang, elemen pemroses dan fungsi aktivasi ( ) untuk memroses informasi serta keluaran ( ) menyampaikan hasil pemrosesan informasi ke sel neuron berikutnya.

Persamaan umum untuk model ANN berdasarkan neuron pada Gambar 6 ditunjukkan oleh persamaan 3 dan 4 sebagai berikut.

∑ +

Zhang et al. (1998) menjelaskan bahwa JST memiliki karakteristik yang unik seperti adaptability, nonlienarity dan arbitrary function mapping ability

sehingga menyebabkan jaringan syaraf tiruan cocok untuk dan sangat bermanfaat untuk prediksi suatu kejadian. Selain itu, terdapat beberapa keterbatasan metode JST dalam melakukan prediksi. Beberapa poin yang dikemukakan oleh Zhang et al. (1998) dalam memperhatikan keterbatasan metode JST adalah bahwa :

1. Jaringan syaraf tiruan merupakan metode nonlinier, sehingga untuk proses

dengan data yang bersifat linier statis dan sedikit gangguan, model jaringan syaraf tiruan tidak lebih baik dari model statistika linier biasa.

2. Jaringan syaraf tiruan merupakan metode black-box. Metode ini tidak memiliki bentuk yang eksplisit untuk menjelaskan dan menganalisa hubungan antara input dengan output.

3. Jaringan syaraf tiruan cenderung memiliki masalah overfitting dikarenakan

besarnya parameter yang ditentukan untuk melakukan perkiraan.

4. Penggunaan metode trial-error dan eksperimen yang berulang-ulang untuk

mengidentifikasi struktur jaringan yang terbaik.

5. Jaringan syaraf tiruan biasanya memerlukan banyak input data dan waktu

untuk komputasi pada proses training (pelatihan).

Backpropagation Neural Net

Jaringan syaraf tiruan propagasi balik atau Backpropagation neural network (BPNN) melibatkan tiga tahap utama yaitu, proses feedforward

(perambatan maju) pola input, backpropagation (propagasi balik) nilai galat terkait dan penyesuaian bobot (Fauset 1994). Arsitektur JST propagasi balik (Fauset 1994) ditunjukkan pada Gambar 7.

Algoritme Pelatihan BPNN

(24)

Y1

Gambar 7 Arsitektur BPNN dengan satu lapisan tersembunyi

(Fauset 1994) Langkah 0. Inisialisasi bobot

Langkah 1. ketika kondisi berhenti bernilai false, lakukan langkah 2-9

Langkah 2. Untuk setiap pasangan pelatihan, lakukan langkah 3-8

Perambatan maju/Feedforward

Langkah 3. Setiap unit input (Xi, i=1,..,n) menerima sinyal input xi dan

melakukan broadcast ke seluruh unit di lapisan berikutnya (hidden unit). Langkah 4. Setiap unit hidden (Zj, j=1,..,p) menjumlahkan bobot input

sinyalnya.

_ + ∑

=

Melakukan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya,

zj = f(z_inj)

dan mengirim sinyal ke lapisan diatasnya (output layer).

(25)

dan melakukan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya

yk = f(y_ink)

Propagasi balik/Backpropagation dari error

Langkah 6. Setiap unit input (Yk, k=1,..,m) menerima pola target yang

berhubungan dengan pola input pelatihan, perhitungan nilai informasi galatnya mengikuti

� − ′

Menghitung koreksi bobot (digunakan untuk memperbarui nilai wjk)

∆ ��

Menghitung koreksi bias (digunakan untuk memperbarui nilai w0k)

∆ ��

dan mengirimkan δkke unit di lapisan bawahnya

langkah 7. Setiap hidden unit (Zj, j=1,..,p) menjumlahkan selisih input

(dari unit di lapisan atasnya)

�_ ∑ �

=

dikalikan dengan turunan fungsi aktivasi untuk menghitung nilai informasi galat

� � ′

Menghitung koreksi bobot (digunakan untuk memperbarui nilai vij)

∆ ��

dan menghitung koreksi bias (digunakan untuk memperbarui nilai v0j)

∆ ��

Memperbarui bobot dan bias

Langkah 8 setiap unit output (Yk, k=1,..,m) memperbarui nilai bias dan

bobotnya (j=0,..,p)

+ ∆

Setiap unit hidden (Zj, j=1,..,p) memperbarui nilai bias dan bobotnya

(26)

+ ∆

Langkah 9. Syarat kondisi berhenti terpenuhi (stopping condition)

Syarat kondisi berhenti terpenuhi apabila nilai error pada proses pelatihan yang seharusnya menurun, mulai menunjukkan proses kenaikan. Hal ini berarti jaringan mulai menghapalkan pola pelatihan terlalu spesifik sehingga mulai kehilangan kemampuan untuk generalisasi. Pada kondisi tersebut, proses pelatihan akan dihentikan.

Prosedur aplikasi BPNN

Setelah proses pelatihan, BPNN diaplikasikan menggunakan hanya fase

feed-forward dari algoritme pelatihan. Prosedur aplikasi tersebut adalah sebagai berikut.

Langkah 0. Inisialisasi bobot (dari algoritme pelatihan) Langkah 1. Untuk setiap vektor input, lakukan langkah 2-4

Langkah 2. Untuk i=1, …, n; aktivasi unit input xi Langkah 3. Untuk j=1, …, p; perubahan pada algoritmenya. Arsitektur BPNN dengan lebih dari satu lapisan

hidden ditunjukkan pada Gambar 8.

Algoritme BPNN dengan dua lapisan hidden adalah sebagai berikut (Fauset 1994).

Feedforward

Setiap unit input (Xi, i=1, …, n)

Broadcast sinyal input ke unit hidden

Setiap unit hidden (Zh, h = 1, …, q)

Menghitung sinyal input

_ + ∑

=

Menerapkan fungsi aktivasi untuk menghitung output, dan

( )

Mengirimkan sinyal outputnya ke hidden berikutnya Setiap unit hidden (ZZj, j= 1, …, p)

(27)

_ + ∑ =

Menerapkan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output, dan

Gambar 8 Arsitektur BPNN multilayer (Fauset 1994)

Backpropagation error

Unit output (Yk , k= 1, …, m)

Menghitung error

(28)

Untuk pola pelatihan sekarang, dikalikan dengan turunan fungsi aktivasi (ditunjukkan dengan Yk) untuk memperoleh

� ′

Menghitung koreksi bobot (digunakan untuk updatewjk nantinya)

∆ ��

Menghitung koreksi bias (digunakan untuk updatew0k nantinya),

∆ ��

dan Mengirimkan ke unit hidden (ZZj, j= 1, …, p)

Setiap unit hidden (ZZj, j= 1, …, p)

Menghitung input dari unit di lapisan atasnya untuk memperoleh

�_ ∑ �

=

Mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi (ditunjukkan pada

zzj) untuk memperoleh

� �_ ′

Menghitung koreksi bobot (digunakan untuk updatevhj nantinya)

∆ ��

Menghitung koreksi bias (digunakan untuk updatev0j nantinya),

∆ ��

dan Mengirimkan ke unit hidden (Zh, h = 1, …, q)

Setiap unit hidden (Zh, h = 1, …, q)

Menghitung input dari unit di lapisan atasnya untuk memperoleh

�_ ∑ �

=

Mengalikannya dengan turunan fungsi aktivasi (ditunjukkan pada

zh) untuk memperoleh

� �_ ′

Menghitung koreksi bobot (digunakan untuk updatevij nantinya)

∆ ��

Menghitung koreksi bias (digunakan untuk updatev0j nantinya),

(29)

Probabilistic Neural Net

Probabilistic Neural Net (PNN) untuk klasifikasi vektor input ke dalam suatu kelas dari dua kelas (misalkan kelas A dan kelas B) memiliki empat jenis unit. Unit tersebut adalah unit input, unit pola, unit penjumlah dan unit output. Unit pola terdiri dari dua jenis, masing-masing untuk kelas A dan kelas B.

Arsitektur PNN ditunjukkan pada Gambar 9.

Y

Algoritme PNN dibangun sebagai perkembangan proses pelatihan. Setiap unit pola mewakili satu dari dua kelas yang ada. Algoritmenya adalah sebagai berikut (Fauset 1994).

Langkah 1. Untuk setiap pola input pelatihan x(p), p=1, …,P. Lakukan langkah 2 hingga 3.

Langkah 2. Membuat unit pola Zp:

Bobot vektor untuk unit Zp:

(unit Zp adalah salah satu unit ZA atau unit ZB)

Langkah 3 hubungkan unit pola ke unit penjumlah:

Jika x(p) milik Kelas A, maka hubungkan unit pola Zp (unit

(30)

Langkah 2. Pada unit pola :

Menghitung input jaringan :

_ . � (43)

Hitung output:

xp [ _ − ]

� adalah parameter pemulus yang berhubungan dengan standar deviasi distribusi Gaussian

Langkah 3. Pada unit penjumlah :

Jumlahkan input dari unit pola sesuai dengan hubungan yang ada. Untuk unit penjumlah pada Kelas B, total inputnya adalah :

−ℎ

ℎ merupakan peluang kemunculan di pola kelas A, adalah biaya yang berhubungan dengan klasifikasi suatu vektor milik kelas B ketika sebenarnya seharusnya berada di kelas A. adalah jumlah pola pelatihan di kelas A. Sedangkan, ℎ , , adalah variabel dengan deskripsi yang sama untuk kelas B.

Langkah 4. Pada unit Output :

Menjumlahkan sinyal dari fA dan fB. Vektor input dikelaskan menjadi kelas

A jika total input ke unit pengambil keputusan bernilai positif.

Jaringan ini dapat digunakan untuk proses klasifikasi segera setelah contoh pola dari setiap kelas ditunjukkan dalam jaringan. Kemampuan jaringan dalam generalisasi hasil meningkat seiring dengan banyaknya contoh data yang dilatih. Penentuan nilai Y (kelas klasifikasi) berdasarkan aturan keputusan Bayes, bahwa suatu vektor input menjadi kelas A apabila

ℎ > ℎ (46)

Batas wilyah antara kelas A dengan kelas B ditunjukkan dengan persamaan (47)

fA merupakan peluang kerapatan fungsi kelas A. Sedangkan fB adalah

(31)
(32)

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan seperangkat komputer dengan spesifikasi Processor Intel Core 2 duo 2.0 GHz, Memory RAM 4 GB, HDD 320 GB. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah MATLAB R2010b versi 7.11, ArcView 3.3 dan Microsoft Office 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Computational Intelligence (CI) Departemen Ilmu Komputer FMIPA, Institut Pertanian Bogor, mulai Maret 2013.

Wilayah Penelitian

Indramayu terletak pada 107°52’ - 108°36’ BT dan 6°15’ - 6°40’ LS

dengan luas tercatat 204 011 ha dengan 54% wilayahnya terdiri dari tanah sawah. Wilayah Indramayu berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Cirebon di sebelah tenggara, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang di sebelah barat.

Metode Penelitian

Penelitian pemodelan backpropagation neural networks dan Probabilistic Neural network untuk prediksi awal musim hujan berdasarkan indeks iklim global dibagi menjadi beberapa tahapan proses. Tahapan tersebut adalah pengumpulan data, praproses data, pengolahan data, pembuatan model (BPNN, PNN+BPNN), validasi, evaluasi dan pelaporan penelitian. Diagram Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data curah hujan

Data curah hujan harian wilayah Indramayu diperoleh dari Center for Climate Risks and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) dari tahun 1990-2005. Terdapat 8 stasiun

pengamat curah hujan yang digunakan dalam penelitian. Stasiun tersebut diwakilkan sebagai titik pengamatan (T1, T2, …T8) Indramayu, Kedokan Bunder, Krangkeng, Juntinyuat, Sudimampir, Bondan, Kertasemaya dan Jatibarang.

b. Data Indian Ocean Dipole-Model (IOD) dan El Nino Modoki Index (EMI)

Data IOD dan EMI (oC) diperoleh dari Japan Marine Earth Science and

Technology Center (JAMSTEC) dari tahun 1990-2005. Data IOD dan

EMI diperoleh dari http://www.jamstec.go.jp/.

c. Data Southern Oscillation Index (SOI) dan Suhu permukaan laut

wilayah Nino

(33)

Nino3, Nino3.4 dan Nino4) diperoleh dari National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) dan dapat diunduh pada http://www.esrl.noaa.gov/.

Gambar 10 Diagram alir penelitian

2. Praproses

Tahap praproses dilakukan untuk persiapan data dan analisis pendahuluan sebelum pembentukan model. Proses ini terdiri dari perhitungan onset menurut definisi Moron et al. (2009) dan analisis korelasi setiap indikator iklim global untuk penentuan prediktor dalam neural networks.

a. Penentuan Awal Musim Hujan (AMH/Onset)

Menurut BMKG, penentuan awal musim hujan di Indonesia ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian yang melebihi 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Penelitian ini menggunakan definisi onset berdasarkan penelitian Moron et al. (2009) dengan penentuan sebagai berikut :

1) Penentuan onset dihitung dari tanggal 1 Agustus dan berakhir pada 31

Juli tahun berikutnya untuk periode satu tahunan.

2) Curah hujan akumulasi selama 5 hari (lima harian) memiliki nilai lebih

besar dari 40 mm.

3) Akumulasi curah hujan sepuluh harian berturut-turut sejak onset

(34)

b. Analisis Korelasi

Korelasi antara onset dengan variabel indeks iklim global dilakukan untuk peenentuan prediktor. Nilai korelasi diperoleh berdasarkan persamaan 48.

∑��= ∑��= �∑��=

√∑�

�= [∑��= �] √∑��= [∑��= ]

(48)

Nilai merupakan besarnya korelasi antara onset dengan variabel yang akan dijadikan prediktor, dengan t adalah data prediktor (indeks iklim global) dan adalah data awal musim hujan (AMH/onset). Nilai rentang korelasi adalah − ≤ ≤ .

3. Pengolahan data

Data awal musim hujan dikelompokkan menjadi dua kelas, yaitu kelas I dan kelas II. Pembagian kelas dilakukan dengan menghitung rataan (μ) dan simpangan baku (σ) onset. Kelas I adalah data dengan nilai awal musim hujan (AMH/onset) normal, yaitu pada rentang onsetμ – σ dan onsetμ + σ. Sedangkan kelas II adalah data awal musim hujan bernilai ekstrem (maju/mundur), yaitu pada rentang

onsetμ – σ dan onsetμ + σ. Pembagian kelas tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Pembagian kelas onset pada penelitian

4. Pembuatan Model

Pemodelan awal musim hujan mengikuti skema yang akan dilakukan. Pada Skema I, model dibangun dengan BPNN sesuai skema Tabel 1. Pada Skema II, model BPNN dibangun sesuai dengan kelas yang ditentukan.

a. BPNN

Pengembangan model neural networks (NN) yang akan dilakukan adalah

backpropagation neural network (BPNN). BPNN yang dibangun merupakan BPNN yang memiliki lebih dari satu lapisan (multilayer) dengan hidden layer (z) sebagai lapisan tersembunyi diantara lapisan input dan output.

Proses pelatihan pada BPNN terdiri dari tiga tahap, yaitu proses feedforward

(35)

mempercepat proses pembelajaran dibandingkan inisialisasi acak (Nguyen dan Widrow 1990).

b. Arsitektur BPNN

BPNN dibangun dengan arsitektur yang memiliki satu dan dua lapisan

hidden. Arsitektur jaringan pada BPNN dengan satu lapisan hidden ditunjukkan pada Gambar 12.

SOIx IODx EMIx N1+2x N3x N4x N3.4x

1

Z1 Z2 Zn

1

Onset

...

Gambar 12 Arsitektur BPNN untuk model prediksi AMH

Nilai x pada neuron input menunjukkan nilai bulan pada variabel prediktor yang memiliki korelasi terhadap awal musim hujan (AMH/onset).

Jumlah z pada lapisan tersembunyi berbeda pada tiap arsitektur sesuai skema pada Tabel 1. Penambahan lapisan z bertujuan untuk menentukan jenis arsitektur terbaik yang diujicobakan dalam penelitian. Arsitekur BPNN dengan dua lapisan hidden ditunjukkan pada Gambar 13.

Perubahan algoritme pada arsitektur BPNN dengan dua lapisan hidden

adalah penambahan lapisan z baru (zz) sebelum lapisan output (onset). Nilai korelasi dihitung dari AMH dengan prediktor menurut Persamaan 48.

SOIx IODx EMIx N1+2x N3x N4x N3.4x

1

Z1 Z2 Zn

1

Onset

...

ZZ1 ZZ2 ZZn

1 ...

(36)

c. Arsitektur PNN

PNN digunakan untuk menentukan kelas prediksi dari input. Input adalah data yang digunakan sebagai data uji pada proses leave one out cross validation. Output hasil PNN menunjukkan kelas model yang digunakan dalam prediksi nilai AMH. Arsitektur PNN yang diadaptasi dari Fauset (1994) untuk penelitian ini

Gambar 14 Arsitektur PNN

5. Leave one out cross validation (LOOCV)

Proses validasi dilakukan dengan menggunakan leave one out crooss validation (LOOCV). LOOCV dilakukan dengan cara mengeluarkan satu data yang digunakan sebagai uji dan sisa datanya sebagai data latih − . Hal ini dilakukan berurutan hingga setiap satu data pada kumpulan tersebut (n) teruji sebagai data uji. Skema LOOCV ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15 Skema proses leave one out cross validation

6. Evaluasi

(37)

�� √ ∑ − ̂ = (48)

Nilai y adalah data AMH hasil observasi dan ̂ adalah data AMH hasil prediksi. n adalah jumlah data dan i adalah iterasi. Plot diagram Taylor ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Diagram Taylor

(Taylor 2001)

7. Analisis/Skema Penelitian

Skema penelitian dengan menggunakan model BPNN dan model PNN+BPNN ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Skema Penelitian

Skema Keterangan

Skema I Penerapan BPNN dengan 1 dan 2 lapisan hidden

JST1-05 1 lapisan hidden, 5 neuron hidden

JST1-10 1 lapisan hidden, 10 neuron hidden

JST1-20 1 lapisan hidden, 20 neuron hidden

JST2-10-5 2 lapisan hidden, 10 dan 5 neuron hidden

JST2-20-10 2 lapisan hidden, 20 dan 10 neuron hidden

(38)

Awal Musim Hujan (AMH/onset)

Penelitian dilakukan di wilayah Indramayu pada posisi pengamatan curah hujan seperti pada Gambar 17 sebagai berikut.

Gambar 17 Peta sebaran lokasi pengamatan hujan pada wilayah penelitian

(Sumber peta dasar : Badan Informasi Geospasial)

Hasil penentuan AMH (onset) untuk tiap titik pengamatan ditunjukkan pada Gambar 18.

Gambar 18 AMH setiap titik pengamatan (Indramayu)

240 265 290 315 340 365 390 415 440 465

AMH

Tahun

Indramayu (T1) Kedokan Bunder (T2) Krangkeng (T3)

Juntinyuat (T4) Sudimampir (T5) Bondan (T6)

(39)

Nilai AMH diperoleh berdasarkan dari perhitungan AMH tiap titik pengamatan menggunakan data curah hujan harian dari tahun 1990 hingga 2005.

Oceanic Nino Index (ONI) dibentuk dari data Anomali Nino3.4 yang digunakan oleh NOAA sebagai standar dalam melakukan identifikasi kejadian El Nino maupun La Nina di wilayah Pasifik tropis menunjukkan bahwa karakteristik wilayah Indramayu terpengaruh oleh fenomena iklim global. Grafik perbandingan

oceanic nino index dengan rata-rata awal musim hujan Indramayu ditunjukkan

pada Gambar 19.

(a) (b)

Gambar 19 Perbandingan (a) ONIdan (b) Rata-rata AMH Indramayu

Data anomali Nino3.4 (ONI) menunjukkan bahwa pola awal musim hujan di wilayah pengamatan (Indramayu) memiliki karakteristik yang menyerupai pola kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan ONI. Karakteristik ini menjadi dasar bahwa indeks iklim global dapat digunakan sebagai variabel yang mempengaruhi wilayah Indramayu. Analisis lebih lanjut terhadap pengaruh setiap indeks iklim global tersebut akan dibahas dalam penentuan prediktor untuk neural networks.

Pemilihan Prediktor

Analisis korelasi tiap indikator iklim global dilakukan untuk menentukan prediktor yang digunakan dalam penerapan jaringan syaraf tiruan. Korelasi dihitung dari data variabel indeks iklim global tiap bulan terhadap data AMH yang telah ditentukan berdasarkan Moron et al. (2009). Terdapat 7 (tujuh) indeks iklim global yang digunakan dalam penelitian, yaitu IOD, SOI, EMI, Nino1+2, Nino3, Nino4 dan Nino3.4. Setiap variabel indeks iklim global tersebut terdiri atas 12 bulan dalam 1 tahun. Untuk analisis korelasi dalam pemilihan prediktor, setiap indeks iklim global tersebut terdiri dari 16 bulan (bulan Mei tahun sebelumnya hingga bulan Agustus tahun berjalan). Data yang digunakan dalam penelitian adalah data tahun 1990 – 2005.

Pemilihan prediktor dilakukan berdasarkan nilai korelasi Pearson pada taraf nyata 5%. Korelasi dengan nilai p > 0.468 terpilih sebagai prediktor untuk jaringan syaraf tiruan. Prediktor dengan nilai korelasi p < -0.468 juga terpilih

sebagai prediktor karena nilai negatif menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik.

Notasi Mei-th hingga Des-th menunjukkan data pada variabel bulan Mei

(40)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

(41)

Berdasarkan analisis korelasi seperti ditunjukkan pada Gambar 20, maka prediktor pada lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Prediktor untuk neural networks hasil analisis korelasi

Lokasi Prediktor

Nino3.4Ags, Nino4Jun, Nino4Jul, Nino4Ags

Kertasemaya (T7) IODJun-th, IODJul-th, IODAgs-th, IODSept-th, IODOkt-th, IODAgs,

Nino3.4Jul, Nino3.4Ags, Nino4Jul, Nino4Ags

Skema I

Skema I adalah percobaan pemodelan BPNN pada lima arsitektur berbeda. Arsitektur tersebut adalah JST1-05, JST1-10, JST1-20, JST2-10-5 dan JST2-20

(42)

Performansi setiap arsitektur BPNN untuk tiap titik lokasi pengamatan pada proses simulasi ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Performansi Skema I

Lokasi

Arsitektur

JST1-05 JST1-10 JST1-20 JST2-10-5 JST2-20-10

RMSE r RMSE r RMSE r RMSE r RMSE r

T1 30.0 0.73 25.2 0.86 40.9 0.76 20.1 0.69 24.2 0.71

T2 34.6 0.51 30.2 0.65 43.4 0.58 32.4 0.56 31.9 0.58

T3 21.9 0.68 27.1 0.70 22.9 0.65 21.8 0.70 22.1 0.65

T4 27.6 0.69 26.4 0.78 37.2 0.67 28.5 0.70 27.2 0.63

T5 27.4 0.72 27.0 0.72 24.0 0.77 22.5 0.64 24.8 0.67

T6 18.8 0.78 17.7 0.81 16.3 0.76 16.2 0.73 16.2 0.71

T7 12.5 0.88 11.6 0.89 15.1 0.82 16.5 0.81 16.1 0.78

T8 34.4 0.69 47.2 0.70 44.1 0.55 33.4 0.65 38.0 0.55

Nilai performa terbaik dicapai pada BPNN dengan arsitekur JST-10

dengan nilai RMSE sebesar 11.6. Nilai RMSE terbaik dicapai pada arsitektur JST1-10 yaitu penerapan BPNN dengan penggunaan satu lapisan hidden dan 10

neuron hidden. Lokasi terbaik dalam penerapan BPNN untuk prediksi adalah Kertasemaya (T7). Lokasi Indramayu (T1), Kedokan Bunder (T2) dan Jatibarang (T8) secara umum memiliki rata-rata RMSE yang besar untuk setiap arsitektur

dibandingkan titik lokasi lainnya. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah jumlah prediktor terpilih dan besarnya nilai korelasi antara indeks iklim global dengan AMH titik lokasi tersebut. Semakin tinggi korelasi antara variabel indeks iklim global dengan AMH titik lokasi pengamatan dan jumlah prediktor (variabel bulan terpilih tiap indeks iklim global) maka nilai RMSE akan semakin baik (kecil). Perbandingan nilai korelasi setiap titik lokasi untuk Skema I ditunjukkan pada Gambar 21.

(43)

Nilai r menunjukkan korelasi antara hasil prediksi terhadap observasi. Nilai korelasi semakin baik apabila mendekati nilai 1. Titik pengamatan Kertasemaya memberikan hasil r tertinggi dibandingkan titik pengamatan lainnya. Arsitektur JST1-10 merupakan arsitektur dengan keseluruhan nilai r terbaik

dibandingkan arsitektur BPNN lainnya.

Nilai RMSE menujukkan selang antara AMH observasi dengan AMH prediksi. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin baik model dalam melakukan prediksi. Perbandingan nilai RMSE pada BPNN skema I ditunjukkan pada Gambar 22.

Gambar 22 Perbandingan nilai RMSE skema I

Titik pengamatan Kertasemaya (T7) memberikan nilai RMSE terbaik (11.6). Hal ini berarti bahwa terdapat kesalahan prediksi sebesar ±12 hari dalam penentuan awal musim hujan pada lokasi tersebut.

Skema II

Skema II adalah penerapan klasifikasi PNN untuk penentuan kelas prediksi AMH dengan pemodelan BPNN untuk prediksi AMH berdasarkan prediksi kelas yang dilakukan oleh PNN. Kelas AMH dalam klasifikasi PNN terdiri atas dua kelas, Kelas 1 dan Kelas 2. Kelas 1 adalah AMH dengan nilai normal, sehingga prediksi AMH dilakukan dengan Model BPNN 1 yaitu model BPNN pada Skema II yang dilatih dengan data AMH kelas normal. Kelas 2 adalah AMH dengan nilai ekstrem, shingga prediksi AMH dilakukan dengan Model BPNN 2 yaitu model BPNN pada Skema II yang dilatih dengan data AMH kelas ekstrem.

Parameter BPNN yang diimplementasikan pada setiap model adalah model BPNN dengan arsitektur JST1-10 atau BPNN dengan satu lapisan hidden

(44)

digunakan adalah penggunaan laju pembelajaran (learning rate) sebesar 0.1 dan jumlah epoch maksimal sebanyak 1000. Selain itu, target error untuk pemodelan BPNN pada Skema II adalah 1.10-10. Percobaan dilakukan sebanyak 100 kali perulangan untuk setiap model PNN+BPNN yang dibangun untuk memperoleh hasil dengan performansi terbaik. Performansi pemodelan pada Skema II ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Performansi Skema II

Lokasi RMSE r Akurasi PNN

(%)

Indramayu (T1) 17.2 0.96 50.00

Kedokan Bunder (T2) 34.3 0.34 62.50

Krangkeng (T3) 23.7 0.79 56.25

Juntinyuat (T4) 35.0 0.83 43.75

Sudimampir (T5) 21.3 0.32 68.75

Bondan (T6) 10.2 0.88 62.50

Kertasemaya (T7) 10.3 0.85 87.50

Jatibarang (T8) 20.2 0.76 56.25

Nilai r terbaik diperoleh di lokasi Indramayu dengan nilai 0.96. RMSE terbaik diperoleh di lokasi Bondan dengan nilai 10.2. Namun, untuk melihat performa skema lebih lanjut, nilai r dan akurasi klasifikasi PNN yang bersesuaian akan dibandingkan seperti pada ditunjukkan pada Gambar 23.

Gambar 23 Perbandingan korelasi (r) dan akurasi klasifikasi PNN

(45)

Nilai RMSE Kertasemaya (T7) yang lebih kecil (kedua terbaik setelah Bondan 10.2) dibandingkan lokasi lainnya turut mendukung lokasi ini menjadi lokasi dengan performa terbaik pada Skema II. Lokasi ini juga merupakan lokasi pengamatan terbaik pada Skema I.

Diagram Taylor

Performa Skema I dan Skema II dapat dibandingkan secara bersama-sama

dengan menggunakan Diagram Taylor. Model terbaik adalah model dengan posisi pada diagram Taylor yang paling dekat dengan titik referensi, dengan melihat parameter standar deviasi, RMSE dan korelasi. Titik referensi adalah titik standar deviasi data pada suatu lokasi tertentu.

Model 1 adalah model Backpropagation Neural Network dengan satu lapisan hidden dan 5 neuron hidden. Model 2 adalah model Backpropagation Neural Network dengan satu lapisan hidden dan 10 neuron hidden. Model 3 adalah model Backpropagation Neural Network dengan satu lapisan hidden dan 20 neuron hidden. Model 4 adalah model Backpropagation Neural Network

dengan dua lapisan hidden, masing-masing 10 dan 5 neuron hidden. Model 5

adalah model Backpropagation Neural Network dengan dua lapisan hidden, masing-masing 20 dan 10 neuron hidden. Model 6 adalah integrasi model Probabilistic Neural Network dan Backpropagation Neural Network. Berikut adalah perbandingan model yang telah dibangun untuk setiap titik lokasi penelitian.

1. Indramayu

Gambar 24 Diagram Taylor lokasi Indramayu

Berdasarkan Gambar 24 dapat diketahui bahwa lokasi Indramayu memiliki standar deviasi ± 20. Model terbaik pada lokasi ini adalah model 5 yaitu JST2-20

(46)

2. Kedokan Bunder

Gambar 25 Diagram Taylor lokasi Kedokan Bunder

Berdasarkan Gambar 25, lokasi Kedokan Bunder berada pada standar deviasi ± 22. Model terbaik untuk lokasi Kedokan Bunder adalah Model 2 (JST1

-10) yaitu model BPNN dengan satu lapisan hidden dan 10 neuron hidden.

3. Krangkeng

Gambar 26 Diagram Taylor lokasi Krangkeng

(47)

Gambar 27 Perbandingan antara AMH Krangkeng dengan seluruh model

4. Juntinyuat

Gambar 28 Diagram Taylor lokasi Juntinyuat

Berdasarkan diagram Taylor di atas, lokasi Juntinyuat berada pada standar deviasi ± 34. Model 2 dan model 6 berpotensi menjadi model terbaik yang menggambarkan lokasi Juntinyuat. Model 2 dan Model 6 berada pada rentang RMSE yang hampir sama. Akan tetapi, model 6 memiliki korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan model 2. Sebaliknya, model 2 berada pada rentang standar deviasi yang lebih dekat terhadap lokasi Juntinyuat. Model 6 terpilih menjadi model terbaik pada lokasi Juntinyuat dengan asumsi bahwa model 6 yang dibangun dari PNN+BPNN merupakan pengembangan dari model 2 (BPNN dengan satu lapisan hidden dan 10 neuron hidden). Pada model 6 (PNN+BPNN), model BPNN yang digunakan menggunakan arsitektur BPNN dengan satu lapisan

(48)

Gambar 29 Perbandingan antara AMH Juntinyuat dengan seluruh model

5. Sudimampir

Gambar 30 Diagram Taylor lokasi Sudimampir

Lokasi Sudimampir memiliki standar deviasi ± 19. Model terbaiknya adalah model 5 (JST2-20-10), yaitu model BPNN dengan dua lapisan hidden dan

20 neuron hidden pada lapisan hidden pertama serta 10 neuron hidden pada lapisan hidden kedua. Model 5 merupakan model dengan korelasi (r) terbaik dan berada pada rentang RMSE terdekat dengan titik referensi lokasi Sudimampir.

6. Bondan

(49)

Gambar 31 menunjukkan bahwa lokasi Bondan memiliki standar deviasi ± 23. Model terbaik untuk lokasi Bondan adalah model 2 (JST1-10) yaitu model

BPNN dengan satu lapisan hidden dan 10 neuron hidden. Model 2 merupakan model dengan korelasi terbaik dan terletak pada rentang RMSE terbaik dengan posisi paling dekat dengan titik referensi lokasi Bondan.

7. Kertasemaya

Gambar 32 Diagram Taylor lokasi Kertasemaya

Berdasarkan diagram, lokasi Kertasemaya memiliki standar deviasi ± 17. Model 2 dan model 6 berpotensi menjadi model terbaik karena berada pada rentang RMSE yang sama. Model 2 memiliki standar deviasi yang hampir sama (± 16) dengan standar deviasi lokasi Kertasemaya, namun dengan korelasi yang lebih kecil dibandingkan dengan model 6. Menurut Taylor (2001), apabila terdapat dua model yang memiliki kemiripan, maka perlu diperhatikan korespondensi hasil prediksi model dengan nilai observasinya (Gambar 30). Berdasarkan Gambar 30, terlihat bahwa pola yang dimiliki model 6 lebih mampu menggambarkan pola seperti pada observasi. Dengan demikian, model 6 (PNN+BPNN) menjadi model terbaik pada lokasi Kertasemaya. Selain itu, model 6 merupakan pengembangan metode dari model 2 (BPNN dengan satu lapisan hidden dan 10 neuron hidden).

(50)

8. Jatibarang

Gambar 34 Diagram Taylor lokasi Jatibarang

Berdasarkan grafik diatas, lokasi Jatibarang memiliki standar deviasi ± 18. Model 4 memiliki nilai korelasi tertinggi (>0.95) dibandingkan dengan model lainnya. Akan tetapi, memiliki nilai rentang RMSE yang besar dan standar deviasi hampir dua kali lipat (40) dari titik referensi lokasi Jatibarang. Hal ini menyebabkan model 1 (JST1-05) yaitu model BPNN dengan satu lapisan hidden

dan 5 neuron hidden ditentukan sebagai model terbaik pada lokasi Jatibarang. Diagram Taylor setiap titik lokasi penelitian menunjukkan model terbaik yang dibangun dalam penelitian. Berikut ini (Tabel 5) adalah model terbaik yang telah dibangun baik pada Skema I maupun Skema II berdasarkan analisis menggunakan Diagram Taylor.

Tabel 5 Model terbaik setiap lokasi penelitian Lokasi TerbaikModel Keterangan

Indramayu (T1) Model 5 BPNN 2 lapisan hidden hidden, 20 dan 10 neuron

Kedokan Bunder (T2) Model 2 BPNN 1 lapisan hidden, 10 neuron hidden

Krangkeng (T3) Model 6 PNN+BPNN

Juntinyuat (T4) Model 6 PNN+BPNN

Sudimampir (T5) Model 5 BPNN 2 lapisan hidden hidden, 20 dan 10 neuron

Bondan (T6) Model 2 BPNN 1 lapisan hidden, 10 neuron hidden

Kertasemaya (T7) Model 6 PNN+BPNN

Jatibarang (T8) Model 1 BPNN 1 lapisan hidden, 5 neuron hidden

(51)

(T1), Sudimampir (T5) dan Kedokan Bunder (T2), Bondan (T6). Sedangkan Model 1 menjadi model terbaik pada lokasi Jatibarang (T8).

Peta Hasil Penelitian

Hasil analisis korelasi antara hasil prediksi dan observasi digunakan dalam membangun peta hasil penelitian untuk melihat pengaruh dari tiap lokasi pengamatan terhadap hasil prediksi. Gambar 35 menunjukkan peta lokasi penelitian dengan memperhatikan pengaruh tiap lokasi terhadap hasil prediksi.

Gambar 35 Peta lokasi dan korelasi tiap lokasi terhadap prediksi AMH

Berdasarkan percobaan, terdapat variasi korelasi yang dihasilkan dari prediksi terhadap hasil obaservasi pada tiap lokasi penelitian. Gambar 35 menunjukkan bahwa terdapat beberapa lokasi dengan nilai korelasi antara hasil prediksi dengan observasi dengan nilai korelasi yang signifikan. Lokasi Indramayu dan Kertasemaya termasuk dalam lokasi pada rentang korelasi 0.81

(52)

Simpulan

Awal musim hujan dapat ditentukan dengan data harian menggunakan pendekatan berdasarkan definisi agronomis. Indeks iklim global yang meliputi

Indian Ocean Dipole-Mode (IOD), Southern Oscillation Index (SOI), El Nino

Modoki Index (EMI), dan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) meliputi La Nina dan El Nino yang diindikasikan dengan nilai suhu permukaan wilayah Nino menunjukkan korelasi terhadap awal musim hujan Indramayu. Model Backpropagation Neural Network dengan satu buah lapisan hidden dan 10 buah neuron serta menggunakan Probabilistic Neural Network untuk klasifikasi AMH menjadi model terbaik pada penelitian. Berdasarkan Diagram Taylor setiap lokasi, model integrasi Backpropagation Neural Network dan Probabilistic Neural Network menjadi model terbaik untuk pendugaan AMH pada 3 titik dari total 8 titik pengamatan yaitu Krangkeng, Juntinyuat dan Kertasemaya. Akurasi tertinggi diperoleh sebesar 87.5% pada titik pengamatan Kertasemaya.

Saran

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.

Internatioal Journal of Climatology. 23:1435–1452.doi:10.1002/joc.950. Apriyanti N. 2005. Optimasi jaringan syaraf tiruan dengan algoritme genetika

untuk peramalan curah hujan. [skripsi]. Bogor [ID].Institut Pertanian Bogor. Ashok K, Behera SK, Rao SA, Weng H, Yamagata T. 2007. El Niño Modoki and

its possible teleconnection. J Geophys Res-Oceans. 112. C11007.

Boer R, Notodiputro KA, Las I. 2007. Prediction of daily rainfall characteristics from monthly climates indices. J Agromet Indonesia [internet]. [diunduh 2012 September 27];21:12–20. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/ index.php/agromet/article/viewFile/3470/2370.

Buono A, Faqih A, Boer R, Santikayasa I P, Ramadhan A, Muttaqien M R, Asyhar A. 2010. A neural network architecture for statistical downscaling technique: a case study in Indramayu district. Afita International Conference. 2010 Okt 3-7; Bogor, Indonesia

Buono A, Kurniawan A, Faqih A. 2012. Peramalan awal musim hujan menggunakan jaringan syaraf tiruan backpropagation levenberg-marquardt.

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2012 (SNATI 2012), Yogyakarta 15-16 Juni 2012; ISSN: 1907-5022; B27-B32

Dikshit UN, Parida D dan Satpathy D. 1987. Genetic evaluation and utilization : drought tolerance. International Rice Research News. 12;6-7

Estiningtyas W, Ramdhani F, Aldrian E. 2007. Analisis korelasi curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah Indonesia, serta implikasinya untuk prakiraan curah hujan (studi kasus kabupaten Cilacap). J Agromet Indonesia

[internet]. [diunduh 2012 September 27];21:46–60. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index.php/agromet/article/viewFile/3479/2379. Estiningtyas W, Suciantini, Irianto G. 2005. Prediksi curah hujan bulanan

berdasarkan suhu permukaan laut nino 3.4 : suatu pendekatan dengan metode filter kalman. J Agromet Indonesia [internet]. [diunduh 2012 September 27];19:43–56. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/ index.php/agromet/article/viewFile/3467/2367.

Fauset L. 1994. Fundamental of Neural Networks. International Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Haylock M dan McBride J. 2001. Spatial coherence and predictability of indonesian wet season rainfall. Journal of Climate. 14:3882-3887

Hendon HH. 2003. Indonesian rainfall variability : impacts of ENSO and local air

– sea interaction. American Meteorology Society, 16:1775–1790. doi:10.1175/1520-0442.

Hermawan E. 2010. Pengelompokan pola curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan P. Sumatra berbasis hasil analisis teknik spektral. Jurnal Meteorologi dan Geofisika [internet]. [diunduh 2014 Februari 17];II(2):75-84. Tersedia pada http://www.bmkg.go.id/

Gambar

Gambar 1  Pola curah hujan di Indonesia
Gambar 2  Fenomena El Nino dan La Nina di kawasan Pasifik
Gambar 5  Wilayah perhitungan El Nino Modoki Index
Gambar 6  Arsitektur dasar JST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dibangunnya sistem ini adalah sebagai lembaga pendidikan tinggi yang terbaik dibidang IPTEK sesuai dengan visi FST selain itu tujuan lainnya adalah

1) Dosen Pembimbing Skripsi adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang bertanggung jawab untuk membimbing skripsi mahasiswa. 2) Setiap Mahasiswa yang sedang

Tidaklah berlebihan jika Kelurahan Tanah Baru yang tengah merintis Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini telah menyadari betapa pentingnya persiapan generasi penerus calon

Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz, 2006:12), dan pemerolehan bahasa

This is to certify that this project titled “ DESIGN AND SIMULATION OF AN ENTERPRISE NETWORK USING PACKET TRACER: A Case Study of a Model Secondary School ”

- Co adalah kadar obat yang bebas dalam protein plasma dimana. diperoleh dari hasil serapan yang dimasukkan pada

Hasil penelitian ini menunjukkan besarnya nilai p (0,000) lebih kecil dari 0,05 sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi bermain game online dengan

Beberapa permasalahan penyebab kondisi tersebut diantaranya: (1) keterampilan guru: guru belum maksimal menggunakan model pembelajaran ; (2) aktivitas siswa: dalam kegiatan