• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi sistem informasi geografi untuk kajian kerentanan pantai utara Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi sistem informasi geografi untuk kajian kerentanan pantai utara Jakarta"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PAHARUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KAJIAN KERENTANAN PANTAI UTARA JAKARTA" adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 24 Januari 2011

(3)

Vulnerability Assessment in the North Coast Jakarta. Under supervisor by SETYO BUDI SUSILO and DJISMAN MANURUNG.

Coastal zone is vulnerable to sea level rise due to global warming. Coastal area in the North Coast of Jakarta is also vulnerable to the impact that could affect the sustainability of coastal zone management. A study has been conducted on this area to identify the level of coastal vulnerability index spatially (5 coastal districts) and determine the coastal vulnerability index and the predicted value of vulnerability in the future. Components of vulnerability following the division of Polsky, namely: exposure, sensitivity and adaptive capacity. Analysis of components based on data directly observable dimensions of vulnerability and the parameter value is transformation of quantitative and qualitative into scoring value of the coastal vulnerability index. The study shows that Coastal Vulnerability Index in the five coastal districts is moderate, namely: Koja (13.15), Cilincing (11.73), Tanjung Priuk (10.00), Pademangan (9.86) and Penjaringan (9.78). Prediction the vulnerability dynamic the next 10 years, 3 districts will experiences a high vulnerability (Penjaringan, Pademangan, and Cilincing) and 2 districts will experiences a very high vulnerability (Tanjung Priuk, and Koja).

(4)

iii

 

RINGKASAN

PAHARUDDIN. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kajian Kerentanan Pantai Utara Jakarta. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO, dan DJISMAN MANURUNG.

Secara fisik, pesisir adalah suatu kawasan yang sempit dan merupakan kawasan peralihan atau pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat, kawasan pesisir merupakan daratan kering maupun terendam air yang dipengaruhi oleh sifat laut seperti efek: intrusi air laut, pasang surut, dan naiknya permukaan laut (sea level rise) karena efek pemanasan global (global warming), sedangkan ke arah laut merupakan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang masih terjadi di darat seperti aliran air tawar dan aktivitas manusia. Mengingat sangat strategis kawasan pesisir sekaligus rentan terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas manusia, maka dalam pemanfaatan kawasan pesisir harus dicari keseimbangan antara pemanfaatan dengan pelestariannya. Salah satu teknologi yang saat ini berkembang sangat pesat dan sangat potensial untuk aplikasi inventarisasi sumberdaya alam dan lingkungan adalah teknologi penginderaan jauh, termasuk tujuan deteksi dan kajian kerentanan pantai.

Kajian tingkat kerentanan pantai dapat dilakukan dengan mengintegrasikan Sistem Informasi Geografi dan data penginderaan jauh satelit. Tingkat kerentanan pantai dapat dihitung dengan mengembangkan konsep kerentanan pantai yang merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan daya adaptasi (adaptive capacity). Kajian ini sangat penting karena lebih 60% penduduk Indonesia hidup di kawasan ini. Dampak yang diterima di wilayah pesisir akibat fenomena ini merupakan hal yang perlu dikaji untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan pesisir pantai dan memproyeksikan perubahannya dimasa yang akan datang serta upaya yang dapat ditempuh menghadapi dampak tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi secara spasial tingkat kerentanan pantai, dan 2) menghitung indeks kerentanan pantai dan proyeksinya dimasa mendatang di pantai Utara Jakarta. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai dampak perubahan iklim dan pemanasan global terhadap tingkat kerentanan pantai dan upaya mitigasi dan adaptasi akibat perubahan muka laut.

Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan dan pengumpulan data sekunder. Analisis data terdiri dari: (1) analisis ekosistem dan sumberdaya pesisir; (2) analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat; dan (3) analisis kerentanan lingkungan pantai. Untuk menentukan parameter kerentanan lingkungan digunakan pendekatan VSD (vulnerability scoping diagram), dimana terdapat 17 parameter yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: kenaikan muka laut, erosi pantai, tinggi gelombang, rata-rata tunggang pasang, kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan penduduk, elevasi dan slope, tipologi pantai, penggunaan lahan, tipologi pemukiman penduduk, habitat pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan kawasan konservasi laut.

(5)

rendah yaitu; habitat pesisir, ekosistem mangrove, eksositem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan kawasan konservasi laut. Nilai kerentanan Pantai Utara Jakarta di lima kecamatan masuk dalam kategori kerentanan sedang, dengan kisaran indeks kerentanan 9,78 – 13,15. Indeks kerentanan pantai Kecamatan Koja (13,15), Cilincing (11,73), Tanjung Priuk (10,00), Pademangan (9,86) dan Penjaringan (9,78).

Kecenderungan perubahan nilai kerentanan, beberapa parameter akan mengalami perubahan pada masa yang akan datang. Parameter tersebut adalah kenaikan muka laut akan mengalami peningkatan sehingga memberikan dampak terhadap sistem pesisir. Prediksi skor kenaikan muka laut pada 2 tahun kedepan akan berubah dari semula (1) menjadi nilai (2). Selain itu, pertumbuhan dan kepadatan penduduk juga akan berubah nilai skornya masing-masing naik satu tingkat.

Proyeksi indeks kerentanan Pantai Utara Jakarta pada tahun 2020 diprediksi bahwa tiga kecamatan akan mencapai kerentanan sangat tinggi yaitu; Penjaringan, Pademangan dan Cilincing, sedangkan dua kecamatan lainnya akan mencapai kerentanan tinggi yaitu Tanjung Priuk dan Koja tanpa melakukan skenario pengelolaan. Parameter yang berpengaruh terhadap kerentanan adalah kenaikan muka laut dan kepadatan penduduk yang diakibatkan kisaran laju pertumbuhan penduduk dewasa ini sebesar 1,03 – 1,99% pertahun. Olehnya itu perlu memperhatikan daya dukung lahan dan kondisi ekosistem pesisir sebagai habitat yang memiliki fungsi fisik peredam arus dan gelombang. Dan untuk menghindari dampak kerugian akibat kenaikan muka laut, maka strategi adaptasi hendaknya dikaji dan diimplementasikan dalam kerangka pengelolaan pesisir secara berkelanjutan.

(6)

v

 

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(7)

PAHARUDDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

vii

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul "Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kajian Kerentanan Pantai Utara Jakarta". Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK), Sekolah Pasca Sarjana

(SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS selaku Dekan beserta staf administrasi dan keuangan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program Magister Sains di institut ini. 2. Bapak Prof.Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan yang telah mendorong dan memotivasi penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister Sains di Fakultas ini.

3. Bapak Prof.Dr.Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan didalam memberikan dukungan, bimbingan dan kemudahan dalam penulisan tesis ini. 4. Bapak Dr.Ir. Djisman Manurung, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing

sekaligus Ketua Mayor Teknologi yang banyak memberikan dukungan, bimbingan dan kemudahan dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan, kritik dan saran dalam penyempurnaan tulisan tesis ini.

6. Para staf dosen dan tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan layanan akademik dan administrasi akademik di Mayor Teknologi Kelautan.

(10)

ix

 

8. Ketua Jurusan Teknologi Penangkapan Ikan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dan seluruh staf yang mendukung ataupun memberikan semangat serta motivasi didalam terselesaikannya penulisan tesis ini.

9. Dengan rasa cinta penulis ucapkan terima kasih kepada Ayahanda Haji Pudding Maressang dan Ibunda Hajja Tang Damma juga untuk isteri tercinta Warnida, S.Pi serta belahan jiwaku ananda Muhammad Wiryansyah (Ian) dan Muhammad widyawan Ahdiyat (Adit) dan semua sanak saudaraku tercinta yang banyak memberikan dorongan baik moril maupun materil serta dengan sabar terus memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan program Magister Sains ini.

10.Teman-teman Angkatan 2008 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB: Vito,Yuli, Hengky, Jusron, Zulham, Juni dan Anin yang telah banyak memberikan dukungan, saran dan motivasi dalam

menyelesaikan tesis ini.

11.Seluruh teman-teman di IPB baik didalam kuliah maupun Forum Pasca Sarjana alumni IPB: Pak Irawan, Pak Khairul Amri, Pak Anto (Lab ITK), Awir, dan Pak Rusdi (Bakosurtanal) semua teman-teman yang tidak disebutkan satu persatu didalam memberikan semangat dan motivasi guna terselesaikannya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak memiliki kekurangan atau keterbatasan, hingga hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaanya.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam kebijakan dan pengelolaan Sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia khususnya terkait dengan kajian kerentanan pesisir di pantai Utara Jakarta.

Bogor, 24 Januari 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Mei 1971 merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Haji Pudding Maressang dan Hajja Tang Damma.

Adapun jenjang pendidikan ditempuh mulai dari Sekolah Dasar (SD Muhammadiyah I) di Makassar, kemudian memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP Muhammadiyah III) di Makassar, dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMAN 4) di Makassar. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin Makassar Sulawesi Selatan pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Ilmu dan Teknolgi Kelautan dengan judul skripsi "Aplikasi Sistem Informasi Geografi dalam Pemetaan Ekosistem Perairan Laut Dangkal di Pulau Barrang Lompo, Makassar Sulawesi Selatan”, dan lulus pada tahun 1996.

Pada tahun 1997 hingga 2004 menjadi pendiri dan pengurus pada organisasi non pemerintah ”Yayasan Konservasi Laut Indonesia” yang berkedudukan di Makassar dan aktif melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan pesisir dan laut. Tahun 2002 – 2004 menjadi anggota dan pengurus Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-Indonesia) yang berkedudukan di Jakarta sebagai kontak person untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 16 Juli 1998 melangsungkan pernikahan dengan Warnida, S.Pi dan telah dikarunia 2 (dua) orang putra yakni: Muh. Wiryansyah (11 tahun) dan Muh. Widyawan Ahdiyat (6 tahun).

Pada tahun 2005 diterima sebagai PNS di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep Departemen Pendidikan Nasional sebagai staf dosen. Pada tahun 2008 melanjutkan studi ke SPs (Sekolah Pascasarjana) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK) Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan melalui jalur Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional.

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis menjadi anggota/ pengurus pada kegiatan organisasi profesi Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB (Forum Wacana IPB) dan Forum Mahasiswa Pascasrajana Sulawesi Selatan (Forum Wacana Sulsel).

Judul penelitian tesis penulis adalah "Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kajian Kerentanan Pantai Utara Jakarta".

(12)

xi

2.3 Pemanasan Global dan Kenaikan Muka Laut ……… 7

2.4 Karakteristik Kawasan Pesisir dan Laut ……….. 10

2.5 Kerentanan Pantai ………. 11

2.5.1 Konsep Kerentanan ………. 11

2.5.2 Kuantifikasi Kerentanan ………. 16

2.6 Indeks Kerentanan ………. 20

2.7 Kenaikan Muka Laut ……… 22

2.7.1 Proses Kenaikan Muka Laut ………. 22

2.7.2 Dampak Kenaikan Muka Laut ……….. 23

2.8 Kajian Kerentanan Pantai ………. 25

III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 27

3.2. Bahan dan Peralatan ………. 27

3.2.1 Bahan ……….. 27

3.2.2 Peralatan ……… 28

3.3. Tahapan Penelitian ………. 29

3.4. Diagram Cakupan Kerentanan ……… 31

3.4.1. Keterpaparan (Exposure) ……….. 32

3.4.2. Kepekaan (Sensitivity) ………. 33

(13)

3.6.2. Analisis Karakteristik Geofisik Pesisir ………. 38

3.6.3. Analisis Karaktistik Sosial Ekonomi ……… 39

3.6.4. Indeks Kerentanan Pantai ………. 39

3.7 Integrasi Data Spasial dan Atribut Kerentanan Pantai ……… 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 45

4.1 Deskripsi Lokasi ………. 45

4.2 Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Pantura Jakarta …… 47

4.2.1 Ekosistem Mangrove ……….. 48

4.2.2 Ekosistem Padang Lamun ……… 51

4.2.3 Ekosistem Terumbu Karang ……….. 51

4.2.4 Sumberdaya Pesisir Pantura Jakarta ……… 51

4.3 Karakteristik Fisik dan Sosial Pesisir Jakarta……….. 57

4.3.1 Karakteristik Geofisik Pantai ……… 57

4.3.2 Karaktersitik Sosial Pantura Jakarta ……… 61

4.4 Indeks Kerentanan Pantai ……… 65

4.4.1 Persamaan Matematika untuk Dimensi Exposure ………. 65

4.4.2 Persamaan Matematika untuk Dimensi Sensitivity ………….. 66

4.4.3 Persamaan Matematika untuk Dimensi Adaptive Capacity …… 66

4.4.4 Penentuan Bobot Parameter Kerentanan ……… 67

4.5 Penilaian Parameter Kerentanan ……….. 68

4.5.1 Keterpaparan (Exposure) ……….. 69

4.5.2 Kepekaan (Sensitivity) ………. 70

4.5.3 Daya Adaptasi (Adaptive Capacity) ……….. 72

4.6 Perhitungan Indeks Kerentanan Pantai ……… 72

4.6.1 Kerentanaan Saat Ini ………. 72

4.6.2 Dinamika Kerentanan ………. 74

4.7 Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan ……… 78

4.7.1 Analisis Parameter Keterpaparan (Exposure) ………. 78

4.7.2 Analisis Parameter Kepekaan (Sensitivity) ……… 78

4.7.3 Analisis Parameter Daya Adaptif (Adaptive Capacity) ………. 79

4.8 Interpretasi Parameter Indeks Kerentanan Pantai ……… 81

V. SIMPULAN DAN SARAN ……….. 90

5.1 Simpulan ……… 90

(14)

xiii

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spesifikasi citra satelit ALOS ……….. 6

2 Beberapa pengertian kerentanan ……… 12

3 Sinonim dan antonim kata kerentanan ………. 13

4 Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim ………. 14

5 Dampak utama kenaikan muka laut ……… 24

6 Jenis dan sumber data ……… 28

7 Komponen dimensi keterpaparan (exposure) dan satuan pengukurannya ……… 32

8 Sistem penskalaan dan skoring parameter keterpaparan (exposure)…. 32 9 Komponen dimensi kepekaan (sensitivity) dan satuan pengukurannya ……… 33

10 Sistem penskalaan dan skoring parameter kepekaan (sensitivity) …… 33

11 Komponen dimensi daya adaptasi (adaptive capacity) dan satuan pengukurannya ………... 34

12 Sistem penskalaan dan skoring parameter daya adaptasi (adaptive capacity) ……… 34

13 Jenis data dan teknik pengumpulan data ……….. 36

14 Kriteria persentase penutupan karang hidup ……… 37

15 Kriteria baku kerusakan mangrove ……… 38

16 Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun ……… 38

17 Luas wilayah menurut kecamatan ……….. 46

18 Luasan ekosistem mangrove di wilayah Jakarta Utara ……… 48

19 Persentase luasanmasing-masing tutupan lahan dari daerah penelitian pesisir di Teluk Jakarta ………. 53

20 Panjang garis pantai dan luas wilayah menurut kecamatan di Jakarta Utara ……… 59

21 Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta Utara ……… 61

22 Bobot parameter kerentanan lingkungan ……… 67

23 Nilai skor masing-masing parameter kerentanan lingkungan pantai ……… 68

24 Hasil perhitungan indeks kerentanan lingkungan di pantai utara Jakarta ……….. 73

25 Indeks kerentanaan saat ini dan karakterisitik spesifik masing-masing lokasi………. 74

26 Dinamika indeks kerentenan pantai (Vt) 2 tahun kedepan ………… 76

27 Indeks kerentanan pantai saat ini dan prediksi 10 tahun kedepan …… 76

(15)

1 Kerangka pemikiran penelitian kerentanan pantai ……… 5

2 Perbandingan skenario iklim (garis merah) dengan temperatur musim panas dari tahun 1900-2100: dan iklim panas (panah hitam) di Eropa tahun 2003 ……… 8

3 Proyeksi kenaikan muka air laut terendah, menengah dan tertinggi pada kurun waktu 100 tahun ………. 9

4 Dinamika kerentanan pantai (Preston BL dan Stafford-Smith 2009) …… 16

5 Prototip indikator kerentanan-resiliensi ……….. 17

6 Lokasi penelitian di Pantai Utara Jakarta ………. 27

7 Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pantai ………. 29

8 Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pantai ……… 30

9 Diagram cakupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pesisir (adopsi dari Polsky 2007) ……… 31

10 Diagram integrasi analisis SIG dan data citra satelit dalam penentuan tingkat kerentanan pesisir ………. 44

11 Luas Wilayah DKIJakarta menurut kabupaten/kota ……… 46

12 Penggunaan lahan sumberdaya pesisir Teluk Jakarta dan sekitarnya ….. 54

13 Aktifitas di pesisir Teluk Jakarta ………. 55

14 Peta lokasi pelabuhan di Jakarta ……….. 56

15 Tipe geomorfologi pantai Jakarta Utara ………. 58

16 Rata-rata kenaikan muka laut global yang di peroleh dari AVISO …….. 60

17 Kecenderungan kenaikan paras laut regional dari Oktober 1992 sampai Maret 2010 ………. 60

18 Kepadatan penduduk di Jakarta Utara ……….. 62

19 Laju pertumbuhan penduduk 2000 – 2010 di Jakarta Utara ………. 62

20 Distribusi penduduk di Jakarta Utara ………. 63

21 Distribusi kawasan permukiman di DKI Jakarta……….. 64

22 Distribusi perumahan, bangunan dan ruang terbuka hijau di Jakarta Utara ……….. 65

23 Perbandingan nilai parameter exposure kelima lokasi penelitian ……… 70

24 Perbandingan nilai parameter sensitivity kelima lokasi penelitian …….. 71

(16)

xv

 

26 Diagram prediksi indeks kerentanan di Jakarta Utara ……… 77 27 Nilai skor parameter kenaikan muka laut, erosi, tunggang pasut dan

tinggi gelombang maksimum menurut kecamatan di Jakarta Utara ……. 82 28 Nilai skor parameter kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan

(17)

1 Kuisioner kajian kerentanan pantai ……… 97 2 Perhitungan nilai minimun (batas bawah) dan nilai maksimun

(batas atas) indeks kerentanan lingkungan pantai ………. 101 3 Penurunan rumus dinamika indeks kerentanan lingkungan pantai ….. 102 4 Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan

lingkungan pantai ……….. 103 5 Rekapitulasi data penelitian ……… 106 6 Hasil perhitungan dinamika kerentanan menurut kecamatan ………. 107 6.a. Peta indeks parameter kenaikan muka laut (SLR) dan erosi (ER)

pada dimensi keterpaparan (eksposure) di Jakarta Utara ………. 102 6.b. Peta indeks parameter pasut (PS) dan tinggi gelombang (GL) pada

dimensi keterpaparan (eksposure) di Jakarta Utara ……… 103 6.c. Peta indeks parameter kepadatan penduduk (PD), laju

pertumbuhan penduduk (KP) dan penyebaran pemukiman pada

dimensi keterpaparan (eksposure) di Jakarta Utara ………. 104 7.a . Peta indeks parameter elevasi (EL) dan tipologi pantai (TP)

dimensi sensitivity (kepekaan) di Jakarta Utara ……….. 105 7.b. Peta indeks parameter penggunaan lahan (PL) dan kemiringan

(SL) dimensi sensitivity (kepekaan) di Jakarta Utara ……….. 106 7.c. Peta Indeks parameter kemiringan (SL) pada dimensi sensitivitas

(kepekaan) ………. 107 8. Indeks kerentan lingkungan pantai di Jakarta Utara ……… 108 9. Peta potensi rawan banjir dan subsidence di DKI Jakarta …………. 109 10. Trend kenaikan muka laut dan proyeksi daerah banjir di DKI

(18)

xvii

 

(19)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara fisik, pesisir adalah suatu kawasan yang sempit dan merupakan

kawasan peralihan atau pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat, kawasan

pesisir merupakan daratan kering maupun terendam air yang dipengaruhi oleh

sifat laut seperti efek: intrusi air laut, pasang surut, dan naiknya permukaan laut

(sea level rise) karena efek pemanasan global (global warming), sedangkan ke arah laut merupakan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang

masih terjadi di darat seperti aliran air tawar dan aktivitas manusia (Rais 1998b).

Walaupun kawasan pesisir mencakup hanya 15% dari permukaan bumi, tetapi

lebih dari 60% penduduk dunia hidup di kawasan ini (Rais 1997; Rais 1998b).

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang lemah atau bersifat rentan

oleh faktor lingkungan seperti variabilitas iklim, perubahan iklim dan naiknya

permukaan laut, resiko gempa bumi, tsunami dan perisitiwa vulkanik, dan

ekosistem-ekosistem rapuh (Pratt et al. 2004).

Mengingat sangat strategis kawasan pesisir sekaligus rentan terhadap

perubahan lingkungan dan aktivitas manusia, maka dalam pemanfaatan kawasan

pesisir harus dicari keseimbangan optimum antara pemanfaatan dengan

pelestariannya. Salah satu teknologi yang saat ini berkembang sangat pesat dan

potensial untuk aplikasi inventarisasi sumberdaya alam dan lingkungan adalah

teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh yang mempunyai

keunggulan dibidang resolusi spasial (0,5 m sampai 1,1 km), temporal (dari 15

sampai 30 hari), dan resolusi spektral (dari 1 saluran/band hingga ratusan) sangat

relevan untuk deteksi dan identifikasi tingkat kerentanan pantai.

Teknologi Penginderaan Jauh (inderaja) semakin berkembang melalui

kehadiran berbagai sistem satelit dengan berbagai misi dan teknologi sensor.

Aplikasi satelit penginderaan jauh telah mampu memberikan data/informasi

tentang sumberdaya alam daratan dan kelautan secara teratur dan periodik.

Ketersediaan data inderaja/citra satelit dalam bentuk digital memungkinkan

analisis dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu data inderaja

(20)

2

 

     

1995). Data tersebut dapat diolah dan dianalisis lebih lanjut sebagai data masukan

bagi pengembangan Sistem Informasi Geografi.

Sistem Informasi Geografi adalah suatu informasi yang berbasiskan

komputer digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengambil kembali,

memanipulasi, menganalisa dan mengeluarkan data yang bereferensi secara

geografi (spasial) yang disimpan dalam basis data digunakan untuk mendukung

pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Pantai adalah suatu zona yang dinamik karena merupakan zona

persinggungan dan interaksi antar tiga fase yang sangat rumit yakni: lautan,

daratan, dan udara. Zona pantai senantiasa memiliki proses penyesuaian yang

terus menerus menuju keseimbangan alami terhadap dampak dari pengaruh

eksternal dan internal baik yang bersifat alami maupun non alami. Faktor alami

diantaranya adalah gelombang, arus, aksi angin, input dari sungai, kondisi

tumbuhan pantai serta aktifitas tektonik maupun vulkanik. Faktor non alami

seperti kegiatan campur tangan manusia/buatan dalam hal ini, adalah pemanfaatan

kawasan pantai sebagai suatu kawasan seperti: perikanan, industri, pelabuhan,

pariwisata, pertanian/kehutanan, pertambangan dan pemukiman.

Kajian tingkat kerentanan pantai dapat dilakukan dengan menggunakan

sistem informasi geografi dan data penginderaan jauh melalui analisis spasial

terhadap parameter yang terkait dengan dimensi kerentanan. Tingkat kerentanan

pantai dapat dihitung dengan mengembangkan konsep kerentanan pantai yang

dikembangkan oleh Fussel dan Klein (2006) maupun Turner et al. (2003) dimana konsep kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan daya adaptasi (adaptif capacity).

Wilayah pesisir Pantai Utara (Pantura) Jakarta merupakan zona yang

rawan terhadap fenomena alam kenaikan muka laut (sea level rise). Wilayah Kotamadya Jakarta Utara sebagian besar terdiri dari tanah daratan hasil dari

pengurukan rawa-rawa yang mempunyai ketinggian rata-rata 0 s/d 1 meter diatas

permukaan laut terutama disepanjang pantai. Daratan Jakarta Utara membentang

dari barat ke timur sepanjang 35 km menjorok ke darat antara 4 - 10 km.

Ketinggian dari permukaan laut antara 0 – 2 meter, dan tempat tertentu ada yang

(21)

air payau. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat

bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2 (dua) banjir kanal menyebabkan wilayah

ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena pasang air

laut (BPS Jakarta Utara 2007).

Permasalahan di wilayah pesisir sangat sensitif dan rentan terhadap

fenomena alam perubahan iklim dan pemanasan global. Dampak yang diterima di

wilayah pesisir akibat fenomena ini merupakan hal yang perlu dikaji untuk

mengidentifikasi secara spasial tingkat kerentanan pantai dan memproyeksikan

perubahan kerentanan pantai dimasa yang akan datang diakibatkan perubahan

faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan Pantai Utara Jakarta. Pengaruh

eksternal dan internal ini dapat dikaji polanya dengan menggunakan Sistem

Informasi Geografi dan data penginderaan jauh.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana dampak kenaikan muka laut terkait dengan parameter

geomorfologi dan biofisik pesisir terhadap tingkat kerentanan Pantai Utara

(Pantura) Jakarta dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi dan data

penginderaan jauh?

b. Bagaimana perubahan tingkat kerentanan pantai dimasa mendatang

berdasarkan parameter yang mempengaruhinya di wilayah pesisir Pantai Utara

Jakarta?

1.3. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Identifikasi tingkat kerentanan fisik pantai dengan menggunakan data citra

satelit ALOS dan Sistem Informai Geografi di wilayah Pantai Utara Jakarta.

b. Pengembangan konsep kerentanan pantai yang merupakan fungsi dari

(22)

4

 

     

c. Objek penelitian difokuskan pada wilayah pesisir Pantai Utara Jakarta,

Propinsi DKI Jakarta.

d. Penelitian hanya mencakup zona pantai ke arah laut dan zona sub-litoral

hingga ke sempadan pantai.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah

a. Mengidentifikasi tingkat kerentanan pantai dengan menggunakan Sistem

Informasi Geografi dan data citra satelit ALOS (Advanced Land Observation Satellite) Pantai Utara Jakarta.

b. Menghitung indeks kerentanan pantai dan memproyeksikan perubahan

kerentanan pada masa yang akan datang diakibatkan perubahan faktor-faktor

yang mempengaruhi kerentanan Pantai Utara Jakarta.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan :

a. Memberikan gambaran mengenai dampak perubahan iklim dan pemanasan

global terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) yang rawan akan bencana di sepanjang wilayah pesisir Pantura Jakarta.

b. Memberikan data/informasi spasial terkait tingkat kerentanan pantai di

sepanjang pesisir Pantura Jakarta.

c. Dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dan stakeholder terkait dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan wilayah pesisir di Pantura Jakarta

khususnya upaya mitigasi dan adaptasi akibat perubahan muka laut.

1.6. Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1

(23)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian kerentanan pantai. X

Pemanasan Global

Lingkungan Pesisir

Cakupan Kerentanan

Data Citra Satelit

SIG Pantai Utara Jakarta

Analisis Spasial

Kategori Kerentanan Overlay ⇔ Klasifikasi

Skala, Skor dan Pembobotan

Adaptasi / Mitigasi bencana akibat SLR

Kondisi Kekinian Kerentanan Pantai

Dimensi Kerentanan Lingkungan Pesisir

Pengolahan Citra

Data Atribut / Raster

IKP (Indeks Kerentanan Pantai)

Indeks Exposure

Indeks Sensitivity

Indeks Adaptif Capacity.

Kepekaan (S) Daya adaptasi (AC)

5 Komponen 7 Komponen

Keterpaparan (E)

(24)

6

 

     

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Satelit ALOS

Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, saat ini

tersedia satelit ALOS yang memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) PRISM yang dapat

merekam pada julat gelombang tampak dengan resolusi spasial 2,5 meter; 2)

AVNIR yang dapat merekam pada julat gelombang sinar tampak hingga

inframerah dekat dan memiliki resolusi spasial 10 meter; dan 3) PALSAR yang

merupakan sensor perekam radar (ALOS/JAXA 2006). Dengan sensor yang

dibawa pada PRISM dan AVNIR, memungkinkan untuk melakukan identifikasi

objek dasar perairan dangkal (Prayudha 2008). Spesifikasi citra satelit ALOS

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesifikasi citra satelit ALOS

 

Pembedaan objek pada citra satelit dapat dilakukan secara visual melalui

teknik interpretasi maupun melalui teknik interpretasi secara digital. Teknik

interpretasi secara digital dilakukan dengan jalan menganalisis tiap nilai digital

yang ditampilkan pada setiap piksel dari citra satelit. Posisi dari tiap piksel

dipresentasikan pada sistem koordinat xy, contohnya pada citra Landsat, koordinat

asal berada pada pojok kiri atas citra. Tiap piksel memiliki nilai numerik yang

disebut dengan nilai digital yang menunjukkan intensitas energi elektromagnetik

yang terukur yang berasal dari pantulan, hamburan, atau pancaran dari obyek yang

diindera. Nilai digital memiliki julat dari 0 sampai nilai tertinggi pada tingkat

(25)

mengkombinasikan angka 1 dan 0 secara bertingkat. Misalnya, untuk seri data 8

bit akan mampu menampilkan 256 tingkat keabuan pada citra hitam putih (28 = 256 tingkat kecerahan), nilai minimum atau nol akan ditampilkan gelap pada citra

dan nilai maksimum atau 256 akan ditampilkan dengan warna putih atau cerah

(Sabins 1987).

2.2 Sistem Informasi Geografi

Sistem Informasi Geografi adalah suatu informasi yang berbasiskan

komputer digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengambil kembali,

memanipulasi, menganalisa dan mengeluarkan data yang bereferensi secara

geografi (spasial) yang disimpan dalam basis data digunakan untuk mendukung

pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir

(Aronoff 1993).

SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras

(hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan, sehingga

dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG

merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer

dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (i) mempunyai fenomena aktual (variabel

data non-lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi

bersangkutan; (ii) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan (iii) mempunyai

dimensi waktu (Purwadhi 2001).

2.3 Pemanasan Global dan Kenaikan Muka Laut

Pemanasan global terjadi karena dipicu oleh meningkatnya emisi CO2 yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pemakaian bahan bakar untuk

berbagai aktivitas, penggundulan hutan, maupun kejadian alam seperti peristiwa

gunung meletus. Berkaitan dengan emisi CO2, IPCC menyebutkan bahwa sebelum revolusi industri, konsentrasi CO2 sekitar 280 ppm dan dari kajian terakhir rata-rata peningkatannya sekitar 1,8 ppm/tahun. Peningkatan konsentrasi

(26)

8

 

     

Perbandingan anomali suhu bulan Juni–Agustus (nilai tengah relatif tahun

1961–1990 dalam °C) beberapa bagian di Eropa yang menunjukkan pengamatan

suhu (garis hitam), dan suhu dari simulasi model HadCM3 (garis merah).

Pengamatan suhu tahun 2003 ditunjukkan titik panah, kejadian musim panas

tahun 2003 hingga 2040 di Eropa. Perbandingan dari hasil observasi dan simulasi

ini menunjukkan anomali kenaikan lebih cepat 2,4oC pada titik potong di tahun 2040 (Stott et al. 2004). Perbandingan skenario iklim disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Perbandingan skenario iklim (garis merah) dengan temperatur musim panas dari tahun 1900-2100: dan iklim panas (panah hitam) di Eropa tahun 2003.

Berdasarkan kecenderungan peningkatan suhu permukaan laut dan

pencairan es di daerah kutub, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian

peningkatan setinggi 48 cm (Mimura dan Harasawa 2000). Hasil proyeki IPCC

seperti disajikan pada Gambar 3 kenaikan muka laut terendah mencapai 18 cm di

(27)

 

Sumber: IPCC 1992.

Gambar 3 Proyeksi kenaikan muka air laut terendah (L), menengah (M) dan tertinggi(H) pada kurun waktu 100 tahun

Kenaikan permukaan air laut ini ditengarai akan memberikan dampak

yang sangat besar. Sebagai contoh kenaikan permukaan air laut sebesar 1 meter

akan mengakibatkan kehilangan lahan daratan seluas 5-10 ribu mil² di Amerika

Serikat dan mempengaruhi kawasan pantai sepanjang 19.000 mil (Kombaitan

2001). Kerugian yang ditimbulkan oleh kehilangan daratan seluas itu tentunya

akan lebih jelas terlihat apabila kita melihat aktivitas yang ada dikawasan tersebut.

Hal itu disebabkan aktivitas-aktivitas yang ada akan terganggu atau bahkan tidak

bisa dilakukan lagi. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai

suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan

secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan

kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasikan oleh

pemanasan global. Dampak lanjutan dari pengaruh pasang surut dan kemungkinan

kenaikan muka laut secara permanen antara lain perubahan kondisi ekosistem

pantai, meningkatnya erosi, makin cepatnya kerusakan bangunan dan

terganggunya kegiatan penduduk seperti permukiman, perindustrian, pertanian

dan kegiatan lainnya (Suprijanto 2003).

Pengamatan pada beberapa lokasi stasiun penelitian di beberapa kawasan

pantai di Indonesia menunjukan adanya peningkatan yang bervariasi antara satu

tempat dengan tempat lainnya. Kenaikan muka air laut pertahun di Belawan

adalah 7,83 mm; Jakarta adalah 4,38 mm; Semarang adalah 9,27 mm; Surabaya

(28)

10

 

     

tahun 1976 – 1992 di pantai Cilacap menunjukan kenaikan rata-rata muka air laut

pertahun adalah 1,3 mm. Maka rata-rata kenaikan muka air laut pertahun pada

pantai di 6 (enam) kota di pulau Jawa adalah lebih tinggi dari kondisi pantai

secara global. Secara sepintas menggambarkan bahwa kawasan pantai di Jawa

cenderung berkurang lebih cepat dibandingkan kawasan pantai skala global

(Hadikusumah 1993).

2.4 Karakteristik Kawasan Pesisir dan Laut

Adapun karakteristik umum kawasan pesisir/tepi air (Suprijanto 2002),

antara lain :

a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai,

serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan

pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga)

kategori, yaitu:

- daerah rawa atau di atas air (laut/sungai/danau)

- daerah relatif datar/kemiringan 0 - 20% (di darat, termasuk daerah

pasang surut);

- daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20 - 60% (di darat);

b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air laut/sungai/danau terhadap air tanah, serta merupakan

daerah retensi sehingga run-off air rendah.

c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lembek, serta rawan bencana tsunami.

d. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan kelembaban tinggi.

e. Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan pengendapan sedimen

pada badan air (laut, sungai atau danau) sehingga garis pantai sering berubah,

yang berakibat terganggunya aktivitas yang sedang maupun yang akan

berlangsung. Pengendapan sedimen yang berakibat pendangkalan badan air

menjadikan terganggunya transportasi air.

f. Terdapat berbagai jenis vegetasi spesifik seperti tanaman bakau dapat

berfungsi untuk mencegah abrasi, serta menjadi pemandangan alami.

(29)

h. Cocok bagi pengembangan perikanan darat (tambak) dan perikanan laut.

Pantai merupakan suatu wilayah yang dimulai dari titik terendah air laut

waktu surut hingga ke arah daratan sampai batas paling jauh ombak/gelombang

menjulur ke daratan. Jadi daerah pantai dapat juga disebut daerah tepian laut.

Adapun tempat pertemuan antara air laut dan daratan dinamakan garis pantai

(shore line). Garis pantai ini setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan pasang surut air laut.

Pesisir adalah suatu wilayah yang lebih luas dari pada pantai. Wilayah

pesisir mencakup wilayah daratan sejauh masih mendapat pengaruh laut (pasang

surut dan perembasan air laut pada daratan) dan wilayah laut sejauh masih

mendapat pengaruh dari darat (aliran air sungai dan sedimen dari darat).

2.5 Kerentanan Pantai

Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan

pantai. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan.

Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di

sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian

sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang

berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian

tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekuensi terkait dengan

penduduk di pulau tersebut.

2.5.1 Konsep Kerentanan Pantai

Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun

dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002), pengertian kerentanan mengandung dua

aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari

suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya,

kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga,

komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 2 disajikan beberapa pengertian

(30)

12

 

     

Tabel 2 Beberapa pengertian kerentanan

Nama Tahun Pengertian

Timmerman 1981 Derajat atau tingkat dari suatu sistem pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Tingkat dan kualitas dari suatu reaksi yang dikondisikan oleh resiliensi sistem tersebut.

Susman et al. 1983 Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda yang dibedakan dalam hal resiko baik dalam hal

kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial. Kates et al. 1985 Kapasitas yang dapat diadaptasi dari sutau gangguan

atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik. UN Departemen of

Humanitarian Affairs

1992 Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam.

Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya.

Watts dan Bohle 1993 Kerentanan didefiniskan sebagai fungsi dari

keterpaparam, kapasitas dan potensial, dimana menurut perspektif dan normatif respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, menguatkan potensi pemulihan.

Blaikie et al. 1994 Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi, mengatasi, resistensi dan memulihkan dari dampak bencana alam.

Bohle et al. 1994 Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan.

Dow dan Downing 1995 Perbedaan kepekaan dari keadaaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko

kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian.

Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim.

Adger dan Kelly 1999 Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka.

Liechenko dan O’Brien

2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi.

(31)

Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari

faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami

kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis

pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan

sebagainya) yang mengalami kerusakan. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan

komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat

didefenisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon

adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang

beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sinonim dan antonim kata kerentanan

Synonym Antonym English Indonesia English Indonesia

weak Sumber: Campbell (2009).

Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4

(empat) tahapan, yaitu; dimulai dengan kajian dampak (impact assessment), kemudian kajian kerentanan generasi pertama (vulnerability assessment first generation), kajian kerentanan generasi kedua (vulnerability assessment second generation), dan kajian adaptasi kebijakan (vulnerability policy assessment) (Fussel dan Klein 2006). Kajian kerentanan generasi pertama dikarakteristikkan

(32)

14

 

     

yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah.

Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah penilaian terhadap kapasitas individu/orang yang sudah bergeser dari sekedar

penilaian potensi daya adaptasi pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan

adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim (Fussel dan Klein 2006).

Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan daya

adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dari karakteristik setiap

tahap dari perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim

Kajian dampak

Kajian Kerentanan Kajian Kebi- jakan Adaptasi Generasi pertama Generasi kedua

Fokus utama kebijakan

Kebijakan mitigasi

Kebijakan mitigasi Alokasi sumberdaya

Kebijakan adaptasi

Pendekatan analisis

Positif Positif Positif Normatif

Hasil utama Dampak potensi

Jangka panjang Sedang-jangka panjang

Pendek-jangka panjang

Skala ruang Nasional ke global

Kecil Parsial penuh Penuh

Integrasi antara ilmu sosial dan alam

Rendah Rendah ke sedang Sedang ke tinggi Tinggi

Keterlibatan stakeholder

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sumber : Fussel dan Klein (2006).

Kerentanan adalah tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem

tersebut terkena dampak atau ketidakmampuan mengatasi dampak dari perubahan

iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Kerentanan merupakan

fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose,

(33)

tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena

gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir

terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan

wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka

laut (IPCC-CZMS 1992).

Dolan dan Walker (2004) mengemukakan terdapat 3 karakteristik dari

kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh keterpaparan suatu sistem

terhadap bencana alam (misalnya banjir di wilayah pesisir) dan bagaimana

bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di

wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia,

kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Dalam hal ini,

kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dan distribusi dampak/efek negatif

dari resiko diantara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan

kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan

terhadap akses sumberdaya. Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara

kejadian/peristiwa secara fisik dari fenomena sosial yang menyebabkan

keterpaparan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam

merespon bencana alam yang muncul.

Kerentanan pesisir meliputi kerentanan lingkungan (environmental vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) lingkungan termasuk

didalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan disetiap level kelompok

spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk

manusia (sosial) yang dapat digunakan secara luas dengan menggunakan asumsi

bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan

indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan (3) indikator

ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas

(34)

16

 

     

Kerentanan memiliki sifat yang dinamis, yang berarti kerentanan dapat

berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Preston

BL dan Stafford-Smith 2009). Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan

faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik.

Dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor yang

mempengaruhinya disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Dinamika kerentanan pantai (Preston BL dan Stafford-Smith 2009)

2.5.2 Kuantifikasi Kerentanan

Turner et al. (2003) menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi overlay dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensivity), dan kapasitas atau daya adaptasi (adaptive capacity). Selanjutnya Metzger et al. (2006) mengekspresikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari

keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi sebagai berikut:

V = f(E, S, AC)

Brenkert dan Malone (2005) juga menggambarkan kerentanan suatu

negara atau wilayah terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut

(35)

Gambar 5 Prototip indikator kerentanan-resiliensi

2.5.2.1 Keterpaparan (exposure)

Keterkaitan antara kerentanan dengan keterpaparan juga dikemukakan

oleh Adger (2006) dan Kasperson et al. (2003), dimana keterpaparan merupakan salah satu konsep dari kerentanan yang memiliki pengertian umum dalam hal

tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan.

Keterpaparan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen

pengembangan kerentanan. Keterpaparan merupakan sebuah atribut dari

hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation).

Keterpaparan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada

suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut),

tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim yang mempengaruhi

sistem, tetapi juga dapat dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan

yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan

iklim. Keterpaparan menggambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan

operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Suatu

masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami keterpaparan

yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekuensi dari suatu gangguan (Luers et al. 2003).

2.5.2.2 Kepekaan (sensitivity)

Kepekaan adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau

berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim (Olmas 2001). Sementara

Perubahan Iklim

Kepekaan

Kerentanan dan Resiliensi Keterpaparan ()

•Pangan

•Air

•Perumahan

•Kesehatan

•Ekosistem

Daya Adaptasi(+)

•Sumberdaya manusia

•Kemampuan Ekonomi

(36)

18

 

     

itu, Allen (2005) mengemukakan bahwa kepekaan merefleksikan respon dari

suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan

yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Sistem dikatakan peka apabila respon

dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, yang secara signifikan

dipengaruhi oleh perubahan iklim skala kecil. Pemahaman kepekaan dari suatu

sistem juga memerlukan pemahaman terhadap ambang batas dimana perubahan

itu direspon oleh pengaruh iklim termasuk kenaikan muka laut. Dalam

pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah

pemahaman terhadap kepekaan dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan

mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak

(Luers et al. 2003).

Adger (2006) mendefinisikan kepekaan sebagai suatu tingkatan atau level

dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa

mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami

perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit dan Wandel (2006) mengatakan

bahwa kepekaan tidak dapat dipisahkan dari keterpaparan. Luers (2005) juga

mengkombinasikan pengertian kepekaan dan keterpaparan, dimana ia

mendefinisikan kepekaan sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan

eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers (2005) mengatakan bahwa termasuk

dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan

dan kemampuan untuk pulih kembali kekondisi semula setelah gangguan yang

mengenai sistem berlalu.

2.5.2.3 Daya Adaptasi (Adaptif Capacity)

Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam

merespon kondisi aktual dan iklim atau dampak dari perubahan iklim. Daya

adaptasi adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan

iklim (termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim) yang membuat potensi

dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekuensi

dari perubahan tersebut (Fussel dan Klien 2006). Menurut Luers (2005), daya

adaptasi merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan

(37)

perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam

beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Adaptasi dapat direncanakan atau

terjadi secara otomatis. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam

mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim. Perencanaan adaptasi ini sudah

merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem

untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim (Allen 2005). Daya adaptasi suatu

sistem atau masyarakat menggambarkan kemampuan untuk memodifikasi

karakteristik atau perilakunya sehingga mampu mengatasi dengan lebih baik

dampak perubahan kondisi eksternal (Fussel dan Klein 2006).

Daya adaptasi merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang

didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap keterpaparan (Smit

dan Pilifosova 2003). Dalam hal ini, daya adaptasi direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilien memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu

kerusakan (SOPAC 2005). Resiliensi alami (intrinsic resilience) adalah kemampuan alami suatu entitas untuk tahan terhadap kerusakan. Sebagai contoh,

pantai yang bervegetasi memiliki ketahanan yang kuat secara alami terhadap

gerusan arus dan hantaman gelombang pasang dibanding dengan pantai yang

tidak bervegetasi. Resiliensi adalah kemampaun dari suatu sistem, komunitas atau sosial beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya, atau

melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat

diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Semisal sistem sosial, hal

ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan

kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat

proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Brooks (2003) mengklasifikasi faktor-faktor yang menentukan daya

adaptasi menjadi faktor yang spesifik dari faktor general/umum dan juga

berdasarkan faktor endogenous dan exogenous. Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan

(38)

20

 

     

Menurut Downing et al. (2001) untuk mengkuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara

sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung

pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian. Dampak

tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur

kerentanan (Luers et al. 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan

menganalisis suatu tempat/lokasi. Hal ini disebabkan karena sistem yang paling

sederhanapun cukup kompleks dan akan sulit untuk menghitung seluruh variabel,

proses-proses dan gangguan yang dikarakteristikkan oleh kerentanan tersebut

(Luers et al. 2003). Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan dengan memodifikasi hal-hal berikut: (1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik

yang dapat mengurangi kepekaannya terhadap tekanan yang kritis, (2) merubah

posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi

keterpaparan sistem terhadap tekanan.

Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC

(2007) membagi dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti:

(a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir, (b) penyadaran

masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir

dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai

lainnya. Adaptasi lainnya adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti: (a)

implementasi konsep dari pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, (b)

penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan

peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan

kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir.

2.6 Indeks Kerentanan

Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan

mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farell dan Hart

1998). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan

(39)

berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks dapat juga digunakan

sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks

kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan dibeberapa negara

berkembang. Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk

menghasilkan sebuah indeks tunggal (Bossel 1999). Untuk menghasilkan sebuah

indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit

yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke

suatu nilai skoring pada beberapa skala.

Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan

secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu

mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantungan/keterkaitannya

dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan.

Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan

model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan informasi secara menyeluruh kedalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki

dari indikator kerentanan. Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator

kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini haruslah

kompatibel (Villa dan McLeod 2002). Schroter et al. (2005) menyajikan 8 tahapan dalam melakukan kajian kerentanan, termasuk dalam menyusun indeks

kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: (1) mendefenisikan wilayah studi,

baik secara spasial maupun temporal; (2) mencari dan mengumpulkan informasi

terkait dengan wilayah studi, melalui kajian literatur dan diskusi dengan peneliti

sebelumnya; (3) mengembangkan hipotesis siapa/apa yang mengalami

kerentanan; (4) mengembangkan model kerentanan dengan menguraikan

keterpaparan, kepekaan, dan daya adaptasi, mengidentifikasi faktor pendorong,

(5) menentukan indikator untuk elemen kerentanan, seperti indikator

keterpaparan, indikator kepekaan, dan indikator daya adaptasi; (6)

mengoperasikan model kerentanan, melalui pembobotan dan penggabungan

indikator, validasi hasil; (7) pengembangan lebih lanjut dengan memilih skenario

dari aplikasi model; dan (8) mengkomunikasikan hasil kajian kerentanan kepada

(40)

22

 

     

2.7 Kenaikan Muka Laut

2.7.1 Proses Kenaikan Muka Laut

Selama proses pemanasan global (perubahan iklim), dua proses utama

yang menyebabkan kenaikan rata-rata muka laut global adalah (1) pemanasan

lautan yang menyebabkan pengembangan massa air sehingga terjadi peningkatan

volume air (lautan), dan (2) pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan

peningkatan massa air. Selain itu, pada beberapa wilayah pesisir terjadi subsiden

yang menambah kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009).

Perubahan muka laut dalam skala lokal tergantung pada perubahan yang terjadi

pada skala regional dan global serta faktor-faktor lokal (Nichols 2002).

Komponen-komponen perubahan muka laut tersebut adalah (Church et al. 2001):

• Kenaikan rata-rata muka laut global, yaitu peningkatan volume global lautan

karena pemanasan global dan mencairnya es di kutub.

• Faktor meteo-oseanografi regional seperti variasi spasial dampak ekspansi panas, perubahan tekanan atmosfir dalam jangka panjang dan perubahan

sirkulasi lautan.

• Pergerakan vertikal daratan yang disebabkan oleh berbagai proses geologi dan

tektonik.

Kajian terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) dan dampaknya terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil banyak mendapat perhatian dari banyak

kalangan peneliti. Secara global rata-rata kenaikan muka laut sekitar 2,5

mm/tahun, sedangkan secara lokal, di lokasi-lokasi tertentu bahkan dapat

mencapai maksimum 30 mm/tahun. Berdasarkan kecenderungan peningkatan

suhu permukaan laut dan pencairan es di daerah kutub, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm

dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm (Mimura dan Harasawa 2000).

Nilai kenaikan yang signifikan tersebut terutama disebabkan oleh

mengembangnya suhu air laut. Kajian kenaikan muka laut di Indonesia juga sudah

banyak dilakukan. DKP (2009) memprediksi laju kenaikan muka laut di perairan

(41)

2.7.2 Dampak Kenaikan Muka Laut

Dari sudut pandang geografi pesisir, dampak dari kenaikan muka laut

terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu: (1) tingkat

kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun), dan (2) karakteristik

daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai

(Nallathiga 2006). Proyeksi kenaikan muka laut akibat pemanasan global akan

mengancam wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah (Yamano et al. 2007; Barnet dan Adger 2003).

Kenaikan muka laut ini diprediksi akan menyebabkan perendaman,

penenggelaman dan erosi pantai dari pulau-pulau karang (Leathermen 1997).

Erosi pantai, perendaman dan instrusi air laut merupakan dampak dari kenaikan

muka laut yang menimpa pulau-pulau atol di Tavalu (Aung et al. 2009). Hal yang sama juga dikemukan oleh Mimura (1999), bahwa dampak yang prinsip ingin

diantisipasi dari kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil khususya pulau

atol adalah erosi pantai, perendaman pulau dan instrusi air laut. Upaya yang

dilakukan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim ini harus

didasarkan pada kapasitas sistem alam yang kemudian didukung dengan

perencanaan adaptasi yang baik berupa proteksi kawasan pesisir dari perubahan

struktur bangunan (Klein dan Nicholls 1999; Hay et al. 2003).

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang dinamis dan respon dari

kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut lebih kompleks dari sekedar

terjadinya perendaman. Erosi pantai adalah fenomena atau proses-proses alami

yang terjadi karena adanya gelombang dan arus laut dan dapat menyebabkan

hilangnya lahan darat (USCCSP 2009). Kenaikan muka laut dapat memperparah

perubahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh erosi pantai. Kerentanan pantai

terhadap kenaikan muka laut, umumnya faktor elevasi daratan menjadi faktor

kritis dalam kajian potensi dampak. Flora dan fauna yang umumnya sangat kaya

terdapat di wilayah pesisir juga akan mendapatkan tekanan akibat pengaruh

kenaikan muka laut. Kualitas dan kuantitas serta distribusi spasial dan habitat di

wilayah pesisir akan berubah sebagai hasil dari erosi pantai, perubahan salinitas

(42)

24

 

     

Ekosistem pesisir juga merupakan salah satu ekosistem yang mengalami

kerentanan karena adanya kenaikan muka laut. Sejak vegetasi lahan basah ‘akrab’

dengan kenaikan muka laut, maka ekosistem ini menjadi sensitif terhadap

perubahan muka laut jangka panjang. Hasil pemodelan dari pesisir lahan basah

(termasuk ekosistem lamun) menunjukkan bahwa sekitar 33% dari lahan basah di

dunia akan hilang dengan kenaikan muka laut sekitar 34 cm dalam kurun waktu

2000 sampal 2080, dan akan hilang sekitar 44% pada kenaikan muka laut sekitar

72 cm (Church et al. 2007). Pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan mengurangi 500.000 ha ekosistem mangrove di 16 negara di kawasan pasifik.

Dampak kenaikan muka laut ditentukan oleh perubahan relatif kenaikan

muka laut, yang direfleksikan tidak hanya oleh kecenderungan perubahan muka

laut global tetapi juga oleh variasi lokal perubahan kenaikan muka laut dan proses

geologi seperti subsiden. Umumnya pesisir yang mengalami subsiden akan lebih

terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan

muka laut juga dikemukan oleh Nicholls (2002) seperti disajikan pada Tabel 5

berikut:

Tabel 5 Dampak utama kenaikan muka laut

Dampak Biofisik Faktor Relevan Lainnya

Iklim Non Iklim

Suplai sedimen Suplai sedimen

Erosi Gelombang dan badai iklim, suplai sedimen

Suplai sedimen

Intrusi air laut/air permukaan

(43)

2.8 Kajian Kerentanan Pantai

Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan

global terus berkembang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak

dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya

daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs

(1991) mengembangkan indeks kerentanan pantai dengan memasukkan parameter

dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang

digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini

banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga

memiliki sebuah angka (indeks) untuk pengelolaan wilayah pesisir.

Kajian kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan oleh SOPAC

(2005) untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di

kawasan Pasifik Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah melakukan

penjumlahan terhadap nilai skor (1–7) dari 50 parameter/indikator yang

mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang

dikemukakan SOPAC (2005) ini dilakukan oleh Gowrie (2003) untuk menghitung

indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago. Pilihan terhadap metode

penjumlahan atau perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga

dikemukakan oleh Villa dan McLeod (2002), dimana disebutkan bahwa

penggunaan metode perkalian untuk sub-indikator yang komponennya saling

berinteraksi adalah yang paling sesuai.

Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan

dampak langsung dari fenomena ini terutama di wilayah-wilayah pesisir.

Sementara itu, mayoritas populasi di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar

wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi

temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah

satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Strategi yang ditempuh secara internasional dalam menghadapi kenaikan

permukaan laut ini adalah bersifat pendekatan penyesuaian (adaptasi) sebab

adaptasi lebih tepat dari pada mengatasi apalagi melawan. Dampak yang berskala

(44)

26

 

     

saat inipun tidak akan dapat mengatasinya. IPCC merekomendasikan empat

strategi adaptasi untuk perencanaan daerah pantai, yaitu: (i) manajemen

perencanaan kawasan pantai harus memperhitungkan faktor kenaikan permukaan

laut; (ii) identifikasi daerah-daerah rawan terhadap kenaikan permukaan laut; (iii)

pengembangan pantai tidak meningkatkan kerentanan terhadap kenaikan

permukaan laut; dan (iv) kesiapsiagaan dan mekanisme respons terhadap kenaikan

permukaan laut ini harus dikaji kembali.

Bila strategi IPCC diterapkan di Pulau Jawa yang pantai utaranya sangat

rentan terhadap kenaikan muka laut ini, penataan wilayah perkotaan di pantai

utara ini hendaknya dikendalikan arah perkembangannya tidak terlalu dekat ke

daerah pantai. Strategi ini akan mengurangi risiko penduduk dari hantaman

gelombang pasang disamping juga menghindarkan penduduk dari masalah

pengadaan air bersih akibat intrusi air laut yang membuat air bawah tanah menjadi

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian kerentanan pantai.
Tabel 1 Spesifikasi citra satelit ALOS
Gambar 2 Perbandingan skenario iklim (garis merah) dengan temperatur musim panas dari tahun 1900-2100:  dan iklim panas (panah hitam) di Eropa tahun 2003
Gambar 3 Proyeksi kenaikan muka air laut terendah (L), menengah (M) dan tertinggi(H)  pada kurun waktu 100 tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian yakni menjelaskan pengaruh persepsi dukungan organisasi dan budaya organisasi terhadap organizational citizenship behavior (OCB) melalui

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui model monologue teks yang tersedia di Lembar Kerja Siswa (LKS ) " FOKUS BAHASA INGGRIS XI SEMESTER 1 "

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hambatan proses pembelajaran biologi dalam pelaksanaan kurikulum 2013 bagi guru kelas X

Penelitian yang dilakukan Dinawan (2010), Rosvita (2010) dan Idris (2013) menunjukkan hasil bahwa secara positif citra merek dan kualitas produk berpengaruh terhadap

Karakter penting yang dimiliki spesies dalam grup Euphalaenopsis antara lain petal yang panjang dan lebih lebar daripada sepal, memiliki dua appendages yang nyata pada bagian

 Konsep rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya melakukan dan bertanggungjawab dalam kegiatan pembudidayaan,

Sistem penyederhanaan jumlah partai politik untuk pembatasan peserta Pemilu diterapkan saat Orde Baru, sistem ini dianggap sangat berlawanan dengan kebebasan berserikat dan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelitian terhadap perbandingan antara sari buah jambu bol dan ekstrak bunga rosella serta konsentrasi penstabil yang digunakan