TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Magister
PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Diajukan Oleh :
AMALIA FARRA SABRINA
0964020010
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
SURABAYA
Untuk memenuhi Persyaratan
Guna Menyusun Tesis
Program Studi Magister Manajemen Agribisnis
Yang diajukan :
AMALIA FARRA SABRINA
NPM : 0964020010
Telah disetujui untuk diseminarkan :
Pembimbing Utama
Prof.Dr.Ir.Syarif Imam H, MM
Tanggal :…………
Pembimbing Pendamping
Ir. Setyo Parsudi, MP
Tanggal :…………
Surabaya,……….
UPN “Veteran” Jawa Timur
Program Pascasarjana
Ka. Prodi MMA
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan
saya, di dalam naskah tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan
oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur jiplakan, saya bersedia tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah
saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan
pasal 70).
Surabaya, Juli 2011
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul KINERJA
KELEMBAGAAN AGRIBISNIS TEBU (Studi Kasus di PG Gempolkrep,
Mojokerto, Jawa Timur).
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir.Syarif Imam H, MM
selaku Pembimbing Utama, Ir. Setyo Parsudi, MP selaku Pembimbing
Pendamping, serta Dr.Ir. Sudiyarto, MM selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Magister Manajemen Agribisnis yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dorongan dan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan
tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :
• Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Bapak
Prof.Dr.Ir. Teguh Soedarto, MP yang banyak memberikan masukan dan saran
kepada mahasiswa Pascasarjana sebelum menyusun penulisan tesis.
• Direktur Pascasarjana Bapak Prof.Dr. Djohan Mashudi, SE, MS beserta staf,
dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur, atas perhatian dan dedikasinya sehingga penulis sangat
terbantu dalam menyelesaikan tesis ini.
• Anggota Dewan Penguji, yaitu Bapak Ir. Sri Tjondro Winarno, MM dan Bapak
Ir. A. Rachman Waliulu, MS yang telah banyak memberikan masukan dan
saran dalam penyelesaian tesis ini.
• Bapak Ir. Hudi Haryono, MS selaku Kepala Balai Besar Perbenihan dan
Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya, Bapak Ir. Muchtar Luthfi, selaku
Kepala Bidang Proteksi, Bapak Ir. Hari Prasetijono, MS, selaku Kepala Bidang
Perbenihan, yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi ke
jenjang Strata-2 di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
• Direktur PTPN X (Persero) beserta staf, dan Administratur PG Gempolkrep
beserta staf, Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi Jawa Timur, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Mojokerto yang telah
Mojokerto, P3GI, serta dari BBP2TP Surabaya, yang telah banyak membantu
penulis dalam menggambarkan keadaan yang sesungguhnya pelaksanaan
kelembagaan agribisnis tebu di wilayah kerja PG Gempolkrep.
• Teman-teman sekantor di Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan Surabaya, rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana MMA
Angkatan XXI dan MM Angkatan XVIII atas persaudaraan yang terjalin.
• Sembah sujud dan rasa terimakasih kepada Papaku Drs. Untung Djaelani, SH,
MM, MH dan Mamaku Rr. Endang Sri Warsiti, Kakakku Arsa Mukti
Brahmani, SH serta Kakak iparku Anies Zulailu Islam, S.Psi yang selalu
mendo’akan keberhasilan penulis hingga saat ini.
• Seluruh keluargaku, terutama Omku Bapak Drs.Ec. Heru Suprihadi, MS yang
selalu memberikan masukan dan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.
• Secara khusus penulis sampaikan kepada Calon Suamiku yang tersayang
Iskandar, SH, S.PdI, MM, atas kesetiaan, segala do’a dan motivasi yang terus
diberikan.
Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan
pengalaman penulis. Tak lupa penulis juga memohon maaf, apabila dalam
penulisan tesis ini terdapat kesalahan ataupun kekurangan yang tidak berkenan
bagi pembaca. Akhirnya hanya kepada Allah kembalinya segala urusan, penulis
berharap semoga dapat memberikan manfaat dalam membangun keilmuan,
masyarakat, bangsa dan negara.
Surabaya, Juli 2011
KATA PENGANTAR…………..……… i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
SUMMARY... xi
RINGKASAN ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Manfaat Penelitian ... 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 11
BAB II. TELAAH PUSTAKA ... 13
2.1 Penelitian Terdahulu ... 13
2.2 Landasan Teori ... 17
2.2.1 Tebu ... 17
2.2.2 Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu…. ... 19
2.2.3 Kondisi Gula Jawa Timur ... 22
2.2.4 Agribisnis Tebu ... 23
2.2.5 Sejarah Industri Gula Indonesia ... 27
2.2.6 Kinerja ... 30
2.2.6.1 Definisi Kinerja ... 30
2.2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja 31 2.2.6.3 Penilaian Kinerja ... 32
2.2.7 Kelembagaan ... 33
2.2.8 Ekonomi Kelembagaan ... 36
2.2.9 Peranan Kelembagaan Terhadap Agribisnis Tebu ... 39
3.3 Metode Pengambilan Data………. ... 60
3.4 Jenis Data………. ... 61
3.5 Definisi Operasional………. ... 62
3.6 Metode Analisis Data………. ... 64
3.7 Keabsahan Data ………. ... 65
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITAN……….. 67
4.1 Profil PG Gempolkrep Mojokerto ... 67
4.1.1 Kondisi Geografis di PG Gempolkrep ... 67
4.1.2 Sejarah PG Gempolkrep Mojokerto………. 69
4.1.3 Bentuk Badan Usaha ... 71
4.1.4 Visi, Misi dan Tujuan Perusahaan ... 71
4.1.5 Karakteristik Perusahaan ... 72
4.2 Profil Tentang InformanPenelitian ... 76
4.3 Kegiatan Budidaya Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep ... 82
4.3.1 Pengolahan Tanah ... 82
4.3.1.1 Sistem Reynoso ... 83
4.3.1.2 Sistem Bajak (Mekanisasi) ... 83
4.3.2 Persiapan Bibit ... 84
4.3.3 Penanaman ... 88
4.3.4 Pemeliharaan ... 89
4.3.5 Taksasi Produksi ... 90
4.3.6 Panen ... 90
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 95
5.1 Analisis Informan Dalam Penelitian ... 95
5.2 Mekanisme Kelembagaan Pada PG Gempolkrep ... 99
Wilayah Kerja PG Gempolkrep ... 112
5.2.4 Mekanisme Pelunasan Kredit Oleh Petani Tebu
di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…..………..…. 116
5.3 Kelembagaan Agribisnis Tebu PG Gempolkrep ... 118
5.3.1 Deskripsi Ekonomi Kelembagaan Agribisnis Tebu 118
5.3.2 Deskripsi Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu ... 121
5.3.3 Lembaga Bersifat Makro ... 126
5.3.3.1 Peranan dan Kinerja PG Gempolkrep ... 126
5.3.3.2 Peranan dan Kinerja Petani PG Gempolkrep132
5.3.3.3 Peranan dan Kinerja APTR (Asosiasi
Petani Tebu Rakyat)……….. ... 137
5.3.3.4 Peranan dan Kinerja Koperasi ... 140
5.3.3.5 Peranan dan Kinerja Bank Pelaksana/ Bank
Pemberi Kredit ... 147
5.3.3.6 Peranan Forum Temu Kemitraan (FTK) ... 149
5.3.3.7 Peranan Forum Temu Kemitraan Wilayah
(FTKW) ... 150
5.3.4 Lembaga Bersifat Mikro ... 151
5.3.4.1 Peranan dan Kinerja PTPN X (Persero) .... 151
5.3.4.2 Peranan dan Kinerja Dinas Perkebunan
Propinsi Jawa Timur ... 153
5.3.4.3 Peranan dan Kinerja Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Mojokerto ... 156
5.3.4.4 Peranan dan Kinerja Investor ... 160
5.3.4.5 Peranan dan Kinerja Distributor Pupuk .... 162
5.3.4.6 Peranan dan Kinerja Dinas Koperasi dan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ... 164
5.3.4.7 Peranan dan Kinerja Dinas Perhubungan,
Perkebunan (LPP) ... 169
5.3.4.10 Peranan dan Kinerja Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya171 5.4 Rincian Ketidaksesuaian Kelembagaan Agribisnis Tebu di PG Gempolkrep ... 173
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 183
6.1 Kesimpulan ... 183
6.2 Saran ... 184
DAFTAR PUSTAKA ... 187
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Tebu di Indonesia Tahun
2002-2009... 5
Tabel 2. Luas Lahan dan Tonase Tebu Giling PG Gempolkrep Tahun
2006-2010 ... 8 Tabel 3. Inventarisasi Tebu Tegakan MT. 2010/2011……….…. 9
Tabel 4. Komposisi Tebu ... 19
Tabel 5. Perkembangan Luas Areal Perkebunan, Produksi, dan Produk-
tivitas Tebu Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 – 2009…..……… 21
Tabel 6. Luas Perkebunan Tebu di Kabupaten Mojokerto Tahun
2008 – 2010………. 21
Tabel 7. Produksi, Produktivitas Gula, dan Rendemen di Jawa Timur Tahun 2004 – 2009………... 23
Tabel 8. Ikhtisar Ekonomi Neoklasik dan Ekonomi Kelembagaan………. 38
Tabel 9. Data Kapasitas Giling PG Gempolkrep Tahun 2003-2010...……. 68
Tabel 10. Data Luas Lahan TS dan TR PG Gempolkrep Tahun 2003-2010.. 73
Tabel 11. Pembagian Prosentase Tebu dan Tetes Berdasarkan Perhitungan Bagi Hasil Efektif (PBHE) Antara Petani Tebu dan PTPN X
(Persero) Tahun 2010…….………. 75
Tabel 12. Pedoman Penyelenggaraan Pembibitan dan Masa Tanam…………. 88
Tabel 13. Informasi Usia, Pengalaman/ Masa Kerja dan Latar Belakang
Pendidikan Informan………... 96
Tabel 14. Daftar KPTR Penerima Kredit PMUK Wilayah Kerja PG
Gempolkrep………...…… 103
Tabel 15. Rincian Kegiatan Pokok Program Swasembada Gula Nasional
dan Lembaga Penanggung Jawab Kegiatan……..………... 124
Tabel 16. Daftar Nama Pabrik Gula PTPN X (Persero) dan Target 2011…… 126
Tabel 17. Peranan dan Kinerja PG Gempolkrep Terhadap Lembaga Lain….. 128
Tabel 21. Daftar Koperasi Wilayah Kerja PG Gempolkrep………...………… 141
Tabel 22. Peranan dan Kinerja Koperasi Terhadap Lembaga Lain...………… 142
Tabel 23. Plafon Kredit dan Realisasi TR MT. 2010/2011….……...………… 147
Tabel 24. Peranan dan Kinerja Bank Pelaksana/ Bank Pemberi Kredit Terhadap Lembaga Lain……….………..……...……….. 148
Tabel 25. Peranan dan Kinerja PTPN X (Persero) Terhadap Lembaga Lain… 152
Tabel 26. Peranan dan Kinerja Disbun Prop. Jawa Timur Terhadap Lembaga Lain……… 154
Tabel 27. Daftar Nama Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Dishutbun
Kab. Mojokerto Wilayah PG Gempolkrep Tahun 2010-2011…...… 157
Tabel 28. Peranan dan Kinerja Dishutbun Kab. Mojokerto Terhadap Lembaga Lain……….... 158
Tabel 29. Peranan dan Kinerja Investor Terhadap Lembaga Lain ……… 161
Tabel 30. Proporsi Pupuk di Wilayah Kerja PG Gempolkrep..………. 163
Tabel 31. Peranan dan Kinerja Distributor Terhadap Lembaga Lain……...…. 163
Tabel 32. Peranan dan Kinerja Dinas Koperasi & UMKM Terhadap Lembaga Lain……… 165
Tabel 33. Peranan dan Kinerja Dishubkominfo Kabupaten Mojokerto Terhadap Lembaga Lain……… 167
Tabel 34. Peranan dan Kinerja P3GI Terhadap Lembaga Lain…….……...…. 168
Tabel 35. Peranan dan Kinerja LPP Terhadap Lembaga Lain…………..…… 170
Tabel 36. Peranan dan Kinerja BBP2TP Surabaya Terhadap Lembaga Lain… 171
Tabel 37. Rincian Ketidaksesuaian Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu
Gambar 1. Skema Penelitian Ertaningrum, 2007 ... 14
Gambar 2. Skema Penelitian Singgih, 2009... 15
Gambar 3. Skema Penelitian Saptana dkk, 2003 ... 17
Gambar 4. Tanaman Tebu ... 18
Gambar 5. Pertanian Sebagai Sistem Agribisnis. ... 25
Gambar 6. Keterkaitan dalam Sistem Agribisnis ... 27
Gambar 7. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian ... 58
Gambar 8. Proses Panen Tebu Giling ... 91
Gambar 9. Tebu Hasil Panen Siap Digiling ... 92
Gambar 10. Informasi Informan Berdasarkan Usia ... 97
Gambar 11. Informasi Informan Berdasarkan Pengalaman/ Masa Kerja ... 97
Gambar 12. Informasi Informan Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan .... 98
Gambar 13. Mekanisme Pengajuan Sebagai Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep……..………. 100
Gambar 14. Skema Kelembagaan Dalam Fasilitas Dana PMUK…………. 104
Gambar 15. Mekanisme Pengajuan Kredit Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 111
Gambar 16. Mekanisme Pencairan Kredit Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 113
Gambar 17. Mekanisme Pencairan Kredit Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 115
Gambar 18. Mekanisme Pelunasan Kredit Oleh Petani Tebu di Wilayah Kerja PG Gempolkrep…………...………. 117
Gambar 19. Skema Model Kelembagaan Pengembangan Agribisnis Tebu di PG. Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur…..………. 120
Gambar 20. Mekanisme Pelelangan Gula dan Tetes Tebu……..…………... 146
1 Pointer Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu ... 190
2 Uraian Kegiatan Program Swasembada Gula ... 191
3 Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara X (PERSERO) ... 197
4 Struktur Organisasi Bagian Tanaman PG Gempolkrep ... 198
5 Uraian Tugas PG Gempolkrep ... 199
6 Standar Fisik Pabrik Gula 1987 ... 206
Java); Main Adviser: H. Syarif Imam Hidayat; Co-Adviser: Setyo Parsudi.
Indonesia has long been known to have a big potency as estate crop producer. In 2006, the Government of Indonesia (GoI) has determined to direct national sugar program to achieve self sufficiency. This target was not easy to reach due to the inefficiency within the organization of sugar industries in almost all levels.
Organizational performance is indispensable in sugar agribusiness. Sugar agribusiness is basically a sugarcane based agribusiness which is carried out with the collaboration between sugar factory as the sugar manufacturer (off-farm) and the sugarcane farmers as the supplier of crude materials (on-farm). Therfore, sugar factories have all the interests in assisting the farmers on-farm to generate the off-farm continuity of crude materials for the factory.
Until 2006, Mojokerto District developed sugarcane plantation to reach the area of 10,476.6 hectare counted for 22.18% from the total potential land to be planted with estate crops. Almost all of the sugarcane produced by the district and the adjacent area (part of Jombang and Lamongan Districts) is processed in Gempolkrep Sugar Factory, which belongs to PT. Perkebunan Nusantara X Persero.
The purpose of the study is to describe and analyse the organizational performance of sugar agribusiness in Gempolkrep Sugar Factory of Mojokerto, East Java.
The result of the study described that Gempolkrep agribusiness organization as a macro organization composed of the Gempolkrep itself as sugar factory, sugarcane farmers (SF/PTR), bank as the creditor, cooperation and the association of sugarcane farmers (ASF/APTK). Micro organizations connected to these macro organizations are PT. PTPN X (Persero), Dinas Perkebunan (Disbun) of East Java Province, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) of Mojokerto District, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi of Mojokerto District, Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) of Mojokerto District, Fertilizer Distributor of KPTR of East Java, the investor as the buyer of sugar and mollases, the Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta and Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya.
The analyses of organizational performance of Gempolkrep Sugar Factory has found the inappropriateness, which is needed to be improved to achieve an effective performance through the following steps: (1) to restore the function of the cooperation as the initiator of definite plan of groups necessities (RDKK); (2) to restore the function of sugar and mollases selling authority to the ASF; (3) immidiately replacing the former ASF organizer to improve its effectiveness; (4) to restore the Partnerships Meeting (PM/FTK) organizer to the Dishutbun of Mojokerto District and (5) to improve the coordination and communication as to create a better link to conduct the government program of sustainable development and finding immidiate solution to the problems.
A good coordination and communication among the stakeholders in order to apply the ”rule of the games” are the key factors to create a better and effective agribusiness performance of Gempolkrep Sugar Factory.
Utama : H. Syarif Imam Hidayat; Pembimbing Pendamping : Setyo Parsudi. Indonesia memiliki potensi menjadi produsen tanaman perkebunan. Pada tahun 2006 pemerintah memiliki tekad untuk mengarahkan pergulaan nasional melalui pendekatan swasembada gula. Tekad ini sangat sulit dicapai mengingat terjadinya ketidakefisiesian kelembagaan di hampir semua level pada industri gula.
Kelembagaan sangat dibutuhkan pada penerapan pelaksanaan agribisnis tebu. Agribisnis tebu adalah kegiatan agribisnis berbasis tanaman tebu yang diusahakan dengan cara kerja sama antara pabrik gula sebagai pengolah bahan baku tebu ( off-farm) dan petani sebagai penyedia/ pemasok bahan baku tebu (on-farm). Pabrik gula sangat berkepentingan untuk membantu petani secara on-farm sebagai jaminan adanya bahan baku tebu yang diolah dipabriknya off-farm.
Kabupaten Mojokerto pada tahun 2010 memiliki lahan yang ditanamani tebu seluas 10.478,6 Ha atau 22,18% dari total luas areal potensial perkebunan di Kabupaten Mojokerto. Tanaman tebu yang ada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya (Kotamadya Mojokerto, sebagian Kabupaten Jombang dan sebagian Kabupaten Lamongan) umumnya digiling di Pabrik Gula (PG) Gempolkrep milik PT. Perkebunan Nusantara X (Persero).
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis kinerja kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur.
Hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep, yaitu lembaga yang bersifat makro terdiri dari PG Gempolkrep sendiri, petani tebu rakyat (PTR), Bank pemberi kredit/ Bank Pelaksana, Koperasi dan APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat), sedangkan lembaga yang bersifat mikro yaitu PT. PTPN X (Persero), Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi Jawa Timur, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Mojokerto, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Mojokerto, Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kabupaten Mojokerto, Distributor Pupuk KPTR Jatim, Investor pembeli gula dan tetes, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta serta Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya.
Hasil analisis kinerja pada kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep ditemukan ketidaksesuai. Sehingga langkah yang harus dilakukan antara lain : (1) mengembalikan tugas pembuatan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) kepada koperasi agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (2) mengembalikan tugas penjualan gula dan tetes tebu kepada APTR agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (3) segera melakukan pembentukan kepengurusan APTR baru, agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (4) mengembalikan tugas penyelenggaraan FTK (Forum Temu Kemitraan) kepada Dishutbun Kabupaten Mojokerto agar nantinya kinerja kelembagaan dapat berjalan lebih efektif; (5) perbaikan dalam segi koordinasi dan komunikasi agar permasalahan dapat terselesaikan, dan program pemerintah untuk mendukung pertumbuhan perkebunan berkelanjutan benar-benar terlaksana.
Dibutuhkan koordinasi dan komunikasi yang baik antar masing-masing lembaga, sehingga rules of the game (aturan main) dapat nampak jelas diaplikasikan oleh semua lembaga dan kelembagaan agribisnis tebu di PG Gempolkrep berjalan lebih efektif.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkebunan menurut Undang-Undang No.18 Tahun 2005 adalah
segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/
atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan
masyarakat.
Indonesia memiliki potensi menjadi produsen tanaman perkebunan
dunia karena dukungan agroekosistem, luas lahan dan tenaga kerja.
Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan
tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa
Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun
1930-an dim1930-ana jumlah pabrik gula y1930-ang beroperasi adalah 179 pabrik gula,
produktivitas sekitar 14,8 % dan rendemen mencapai 11,0 – 13,8 %.
Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula
pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan
dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi,
Pamor Indonesia yang pernah menjadi negara pengekspor gula
terbesar kedua dunia setelah Kuba, secara berangsur menurun menjadi
negara importir gula, saat ini Indonesia menjadi importir terbesar pertama
di Asia dan terbesar kedua dunia setelah Rusia (Nainggolan, 2007).,
Pada tahun 2006 pemerintah mulai memiliki tekad untuk
mengarahkan pergulaan nasional melalui pendekatan swasembada gula
sugar self sufficiency, berdasarkan Road Map Swasembada Gula
Nasional 2006-2009. Swasembada gula adalah suatu negara yang
produksi gula berbasis tebunya secara netto jumlah produk dalam negeri
minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestik. Namun tekad ini
sangat sulit dicapai mengingat terjadinya ketidakefisiesian kelembagaan di
hampir semua level pada industri gula. Adapun salah satu faktor utama
yang menyebabkan ketidakefektifan adalah aturan main (rules of the
game), baik itu aturan formal (kontrak, lembaga, hukum, sistem politik,
pasar), maupun aturan informal (tradisi, sistem nilai, norma) dan prosedur
penegakan yang melingkupinya kurang mendukung (Ertaningrum, 2007).
Penurunan kinerja industri gula dipengaruhi oleh ketidakefektifan
kinerja petani yang menyebabkan penurunan produktivitas tebu dan pada
pabrik gula. Terjadinya produktivitas yang rendah dikarenakan teknologi
yang digunakan oleh pabrik gula masih dikatakan konvensional karena
masih ada yang menggunakan mesin-mesin dan lori-lori peninggalan
Belanda yang kurang layak pakai sehingga menyebabkan ketidakefektifan
Ketidakefektifan kinerja dapat dikurangi apabila aturan main
kelembagaan yang tersedia dalam kegiatan agribisnis tebu telah berjalan
efektif. Kelembagaan merupakan aturan yang dijadikan pegangan bagi
setiap anggota dalam melakukan kegiatan. Salah satu kegiatan
masyarakat pedesaan adalah bertani, sehingga kelembagaan yang
berlaku dalam masyarakat akan mencerminkan pola usahatani
masyarakat tersebut (Gunawan, 1989). Sedangkan menurut Soentoro
(2002), kelembagaan mengandung dua pengertian yaitu disebut institusi
atau pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai organisasi
lebih mudah dikenali dalam bentuk nyata seperti KUD, Bank, Pemerintah,
dan sebagainya. Sedangkan pengertian kelembagaan sebagai pranata
dapat dikenali melalui pemahaman unsur-unsurnya.
Kelembagaan sangat dibutuhkan pada penerapan pelaksanaan
agribisnis tebu. Agribisnis tebu adalah kegiatan agribisnis berbasis
tanaman tebu yang diusahakan dengan cara kerja sama antara pabrik
gula sebagai pengolah bahan baku tebu (off-farm) dan petani sebagai
penyedia/ pemasok bahan baku tebu (on-farm). Pabrik gula sangat
berkepentingan untuk membantu petani secara on-farm sebagai jaminan
adanya bahan baku tebu yang diolah dipabriknya secara off-farm.
Pemerintah memiliki kewajiban dalam membantu mewujudkan kerja
sama yang baik dan saling menguntungkan diantara kedua belah pihak,
mengeluarkan instrumen kebijakan yang mengatur hak dan kewajiban
daripada kedua belah pihak tersebut (Arifin, 2000).
Salah satu titik lemah sistem agribisnis di Indonesia adalah
absennya organisasi ekonomi petani yang kokoh sebagai salah satu ciri
pertanian modern. Petani cenderung berusaha sendiri-sendiri, serta
bergantung pada bantuan pemerintah dan pelaku usaha lainnya seperti
pabrikan, pedagang dan pemilik modal. Model individual seperti ini
menjadi tidak efisien karena harus mendatangkan input dalam volume
kecil, serta juga mengalami masalah dalam peningkatan produktivitas,
mutu hasil, pemasaran, akses ke teknologi dan permodalan.
Berbicara mengenai gula tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
bahan baku utama pembuatnya yaitu tebu. Tanaman tebu adalah
tanaman perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, artinya dari
tanaman tersebut dapat diambil manfaat sebanyak mungkin, tidak hanya
saripatinya yang dijadikan gula, namun masih banyak hasil sampingnya
seperti : tetes, ampas, blotong, pucuk tebu yang juga memiliki nilai
ekonomi (Yulistyati, 2009).
Sejak tahun 2002 luas total areal tanaman tebu di Indonesia relatif
tetap sekitar 300 ribu hingga 400 ribu Ha, dimana lebih dari 60 %
diantaranya berada di Pulau Jawa (Tabel 1). Tahun 2009, luas areal tebu
mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini
dimungkinkan karena beralih fungsinya areal potensial perkebunan
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Tebu di Indonesia Tahun 2002-2009.
Tahun Luas Areal (Ha)
Jawa Luar Jawa Total
2002 226.405,32 122.390,00 348.795,32
2003 208.021,93 129.158,75 337.180,68
2004 214.417,71 127.167,54 341.585,25
2005 240.036,30 142.678,40 382.714,70
2006 247.891,60 148.849,30 396.740,90
2007 274.177,70 152.033,90 426.151,50
2008 277.928,91 154.525,50 432.454,41
2009 262.917,58 146.372,99 409.290,57
Sumber : Data Primer Bagian Bidang Usaha P3GI, 2010
Pada tahun 2009 Jawa Timur merupakan propinsi penyumbang
luas areal tebu terbesar di Indonesia dengan 186.025,65 Ha. Tahun 2009
sekitar 45,45% areal tebu Indonesia atau 70,75% areal tebu Jawa berada
di Propinsi Jawa Timur. Jawa Timur memiliki sharing product antara 30%
sampai dengan 40% terhadap total produk nasional yang dipasok dari 31
pabrik gula, yaitu PTPN X, PTPN XI, PT. RNI, PT. Candi Baru dan PT.
Kebon Agung. Menurut Santoso, dkk (2006), Propinsi Jawa Timur juga
memiliki permasalahan pergulaan yang tidak jauh berbeda yaitu : (1)
menurunnya produktivitas tebu; (2) menurunnya kinerja pabrik gula; (3)
menurunnya peran lembaga pendukung (penelitian, keuangan, distribusi
agro input).
Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu wilayah perkebunan di
Desa. Luas wilayah Kabupaten Mojokerto secara keseluruhan adalah
69.215 Ha, dengan 47.265 Ha adalah luas baku lahan sawah dan lahan
tegalan yang potensial untuk tanaman perkebunan.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Mojokerto komoditas perkebunan yang cocok ditanam di wilayah
Kabupaten Mojokerto antara lain; Kapuk Randu, Kopi, Cengkeh,
Tembakau, Kapas, Kelapa dan Tebu. Khusus luas lahan tebu pada tahun
2008 seluas 10.125,6 Ha; tahun 2009 seluas 9.896,0 Ha; dan tahun 2010
seluas 10.478,6 Ha atau 22,18% dari total luas areal potensial
perkebunan di Kabupaten Mojokerto.
Tanaman tebu yang ada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan
sekitarnya (Kotamadya Mojokerto, sebagian Kabupaten Jombang dan
sebagian Kabupaten Lamongan) umumnya digiling di Pabrik Gula (PG)
Gempolkrep milik PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) yang terletak di
Desa Gempolkrep Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto Propinsi Jawa
Timur. Data Departemen Pertanian pada tahun 2009, PTPN X (Persero)
memberikan kontribusi terbesar dengan 29,87% dalam pemenuhan
kebutuhan gula nasional di Indonesia.
Kontribusi PTPN X (Persero) yang besar menunjukkan kinerja yang
telah dicapai. Pengertian kinerja menurut Anonim (2011)b, merupakan
hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya. Sedangkan menurut Faustino Cardosa Gomes
efisiensi, serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas.
Sedangkan kinerja PG Gempolkrep pada musim tanam tahun 2009/2010
memiliki target tertinggi dari beberapa pabrik gula di PTPN X yaitu seluas
12.798,127 Ha dengan tebu yang akan digiling 1.098.123,1 ton.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian secara
mendalam tentang “Kinerja Kelembagaan Agribisnis Tebu (Studi Kasus di
PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur)”.
1.2. Perumusan Masalah
Secara umum permasalahan pergulaan yang dihadapi oleh industri
gula sangat kompleks baik dari on-farm maupun off-farm. Disisi on-farm
masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas
gula yang saat ini hanya mencapai kisaran 6 ton/Ha, serta ketersediaan
lahan yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi lahan. Sedangkan
pada sisi off-farm dengan bertambahnya umur pabrik terjadi penurunan
efisiensi pabrik yang memerlukan penggantian peralatan yang terkendala
oleh terbatasnya ketersediaan dana investasi.
Permasalahan industri gula dapat dikategorikan, menjadi : (1) Tidak
efisiennya produksi pada tingkat petani tebu, (2) Tidak efisiennya produksi
pada tingkat pabrik gula, (3) Struktur ekonomi dan kelembagaan yang
tidak efisien pada hubungan antara petani dan pabrik gula.
Ketidakefektifan struktur ekonomi kelembagaan dapat ditunjukkan
kerjasama suatu kelembagaan yang solid. Tabel 2. akan menunjukkan
salah satu kasus kelembagaan agribisnis, yaitu ketidakberhasilan PG
Gempolkrep dalam menggiling tebu sesuai targetnya. Tebu yang digiling
masih belum 100% berarti dipastikan terdapat potensi tebu petani yang
masih dapat dioptimalkan untuk peningkatan produktivitas pabrik gula.
Tabel 2. Luas Lahan dan Tonase Tebu Giling PG Gempolkrep Tahun 2006-2010
Tahun
Target Realisasi Selisih
Tebu Yang Digiling Dengan Target (%)
Luas (Ha) Tebu (Ton) Luas (Ha) Tebu (Ton)
2006 12.156,904 1.050.572,0 9.578,281 910.228,4 86,64
2007 12.365,442 1.034.156,8 11.791,550 1.137.295,3 109,97
2008 13.356,544 1.157.246,8 10.920,883 1.008.506,9 87,15
2009 12.068,783 1.138.872,8 10.353,887 888.970,2 78,06
2010 12.798,127 1.098.123,1 12.594,408 1.048.023,4 95,44
Rata-rata selisih tebu yang digiling dengan target (%) 91,45
Sumber : Data Primer Bagian Tanaman PG Gempolkrep, 2011
Keefisiensian kelembagaan harus dipandang sebagai instrumen
strategi untuk mencapai keberhasilan. Sistem kelembagaan atau
kemitraan awalnya dibangun melalui Inpres No. 9 tahun 1975 yaitu
adanya hubungan bisnis antara petani dan pabrik gula yang saling
menguntungkan, tetapi pada akhirnya justru menimbulkan kecurigaan dan
ketidakpercayaan petani terhadap pabrik gula, demikian juga sebaliknya
pabrik gula terhadap petani.
Ketidakpuasan petani terjadi pada bentuk pelayanan yang mungkin
berbelit-belit, adanya rendemen yang dipermainkan, sistem bagi hasil
kurang baik, pembagian tonase tebu yang harus disetorkan dan pada
gilirannya pendapatan petani yang kurang menguntungkan. Disisi lain,
pabrik gula menganggap petani tidak lagi menanam tebunya dengan baku
teknis, petani menanam tebu hanya sesuai keinginannya tanpa
menghiraukan saran pabrik gula yang berharap banyak dari tebu yang
dihasilkan petani, sehingga produktivitas dan produksi tebunya sangat
rendah. Akibat selanjutnya adalah pasokan bahan baku sangat kurang,
rendemen rendah tidak sesuai harapan dan pada akhirnya hari dan target
tonase tebu giling tidak terpenuhi.
Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa adanya beberapa petani tegakan
(petani yang belum terdaftar memiliki kontrak dengan pabrik gula) di
wilayah areal PG Gempolkrep yang harusnya dapat menutupi perbedaan
persentase target dan realisasi produksi tebu giling.
Tabel 3. Inventarisasi Tebu Tegakan MT. 2010/2011
No. Kecamatan Kabupaten
No. Kecamatan Kabupaten
Petani Terdaftar Petani Tegakan Peluang Tebu Tegakan
(%) Luas (Ha) Tebu
(Ton) Luas (Ha)
Tebu (Ton)
17 Jatirejo Mojokerto 705.685 55.082,1 242.619 15.648,9 22,12 18 Dlanggu Mojokerto 355.810 27.939,2 105.837 6.879,4 19,76 19 Puri Mojokerto 810.082 69.743,6 176.632 12.364,2 15,06 20 Trowulan Mojokerto 910.859 74.843,4 445.585 30.299,8 28,82 Rata-rata peluang tebu tegakan (%) 21,68 Sumber : Data Primer Bagian Tanaman PG Gempolkrep, 2011
Permasalahan petani tegakan merupakan salah satu bagian dari
masalah kinerja kelembagaan agribisnis tebu. Petani memiliki kebebasan
dalam memilih konsumen pembeli tebunya. Namun ketidakefektifan
struktur ekonomi kelembagaan dalam menggalang jaringan kerjasama
menjadikan persentase petani tegakan di wilayah areal PG Gempolkrep
relatif tinggi, yaitu sebesar 21,68%. Dari uraian masalah di atas maka
dibutuhkan pengembangan produksi tebu dan industri gula yang
komprehensif, yang nantinya akan mendukung penataan kelembagaan
yang sinergis. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji pada penelitian
adalah :
Bagaimana kinerja kelembagaan agribisnis tebu dan pengaruhnya pada
PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari perumusan masalah yang dikemukakan di atas,
maka tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kinerja kelembagaan agribisnis
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi PG Gempolkrep agar dapat meningkatkan produktivitas,
kapasitas dan kualitas teknis, serta kelembagaan dan manajerial
pabrik sehingga dapat menyukseskan program swasembada gula.
2. Bagi Petani untuk memberikan informasi dan stimulus agar tetap
menanam tebu dengan input produksi dan budidaya yang tepat,
sehingga memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang semakin
meningkat, serta turut berperan serta menyukseskan program
swasembada gula.
3. Bagi Pemerintah dan penentu kebijakan Instansi/ Lembaga lain dapat
digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
kebijakan-kebijakan pergulaan serta penataan kinerja kelembagaan
agribisnis tebu, yang mengakomodasi kepentingan petani tebu, pabrik
gula dan konsumen agar sama-sama tidak ada yang dirugikan.
4. Bagi pembaca dapat digunakan sebagai masukan untuk
dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup upaya mempelajari industri
gula di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur melalui pendekatan
1. Pabrik Gula yang diteliti hanya di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa
Timur.
2. Petani yang diteliti adalah petani tebu yang memiliki kontrak dengan
PG Gempolkrep yang berada di sebagian Kabupaten Mojokerto, Kota
Mojokerto, sebagian Kabupaten Jombang dan sebagian Kabupaten
Lamongan.
3. Komoditas yang dianalisis adalah tebu, bahan baku utama pembuatan
gula.
4. Analisis Kelembagaan menggunakan Konsep Ekonomi Kelembagaan
dengan pendekatan dalam arti institusi yang mengandung empat
unsur pokok yaitu aturan main, pengaturan hak dan kewajiban, batas
yuridikasi dan adanya sanksi.
5. Analisis Kinerja Kelembagaan menggunakan pendekatan dari tugas
pokok dan fungsi lembaga yang berdasarkan visi, misi dan tujuan
yang digunakan dalam pelaksanaan agribisnis tebu keterkaitannya
dengan lembaga lain sesuai “Road Map Program Pemerintah
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ertaningrum (2007) dengan
judul “Analisis Ekonomi Gula : Suatu Pendekatan Konsep Ekonomi
Kelembagaan dan Matriks Analisis Kebijakan (Studi Kasus di PG Krebet
Baru dan PG Kebon Agung, Kabupaten Malang)”. Penelitian ini dilakukan
dengan tujuan sebagai berikut : (1) Mendeskripsikan aspek ekonomi
kelembagaan pada industri gula di Malang mulai dari kelembagaan petani
tebu sampai dengan pabrik gula; (2) Menganalisis perbedaan biaya
usahatani dan biaya transaksi dari petani tebu kredit dan petani tebu
bebas serta tingkat keunggulan komparatif dan kebijakan usahatani tebu;
(3) Menganalisis biaya produksi dan biaya transaksi dari pabrik gula
BUMN dan pabrik gula swasta yang terdiri dari produksi, pasar, manjerial
dan biaya transaksi politik.
Hasil dari penelitian tersebut adalah sumber kredit petani tebu di
Kabupaten Malang untuk petani kredit didapatkan dari koperasi atau
pabrik gula, sedangkan untuk sumber dana petani bebas didapatkan dari
pedagang perantara/ tengkulak dan tetangga atau keluarga. Dan
pengembalian kreditnya dilakukan setelah masa panen. Biaya produksi
yang dikeluarkan ada enam macam, yaitu : upah tenaga kerja, sewa
pada petani tebu dapat dikategorikan sebagai berikut : pajak tanah,
tebang-muat-angkut dan karung, fee Surat Perintah Tebang Angkut
(SPTA), fee untuk pedagang perantara dan tengkulak, pesta adat, bunga
kredit, selisih (marjin) bunga, kertas kerja, biaya korbanan dan
keterlambatan kredit. Biaya transaksi yang dikeluarkan PG Krebet Baru
lebih rendah daripada PG Kebon Agung, meskipun lebih rendah namun
hampir 90 persen biaya transaksinya untuk manajerial. Bisa disimpulkan
bahwa besarnya biaya dikarenakan sifat birokrasi Pabrik Gula BUMN
masih sentralistik sehingga biaya transaksi yang dikeluarkan sangat
besar. Sedangkan besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan PG Kebon
Agung adalah untuk biaya transaksi pasar agar pasokan bahan baku tebu
berkesinambungan.
Skema penelitian :
Gambar 1. Skema Penelitian Ertaningrum, 2007 Pabrik Gula
BUMN
Pabrik Gula Swasta
Putani Tubu bubas Putani Tubu
krudit
Pabrik Gula di Malang Putani di Malang
Diduskripsikan burdasarkan aspuk ukonomi kulumbagaan
Penelitian tentang kelembagaan juga dilakukan oleh Singgih
(2009), dengan judul “Non Performing Loan (NPL) Pada Kredit Ketahanan
Pangan (KKP) : Studi Kajian Ekonomi Kelembagaan”. Penelitian tersebut
bertujuan untuk (1) untuk memahami masalah-masalah kelembagaan
dalam Non Performing Loan pada usahatani petani tebu dan padi; (2)
untuk memahami komponen-komponen kelembagaan agar dapat
mengurangi Non Performing Loan.
Penelitian tersebut dapat menyimpulkan bahwa berdasarkan
temuan data di lapangan adanya lembaga penjamin dan pengawas
menjadikan kelembagaan yang terdapat pada usahatani tanaman tebu
lebih solid sehingga menjadikan usahatani tanaman tebu memiliki nilai
Non Performing Loan yang rendah. Dan juga keterkaitan antar lembaga
dalam usahatani tanaman tebu menjadikan biaya pengawasan dan
penjaminan menjadi rendah sehingga transaksi yang timbul semakin
efisien dan keterkaitan kelembagaan tersebut dapat mengurangi resiko
kredit macet yang timbul.
Skema penelitian :
Gambar 2. Skema Penelitian Singgih, 2009 Putani Tubu Kab. Lumajang Putani Padi Kab. Lumajang
Diduskripsikan masalah-masalah kulumbagaan yang mumpungaruhi Non Performing Loan
Penelitian terdahulu mengenai kelembagaan lainnya dilakukan oleh
Saptana, dkk (2003) dengan judul “Kinerja Kelembagaan Agribisnis Beras
di Jawa Barat”. Dalam penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
kinerja kelembagaan agribisnis beras dan merumuskan alternatif model
kelembagaan pengembangan agribisnis beras.
Kinerja kelembagaan agribisnis beras di Jawa Barat dapat ditinjau
dari : (1) Keragaan sumber daya lahan; (2) Kelembagaan pengadaan
saprodi; (3) Aplikasi teknologi petani dan kelembagaan di tingkat petani;
(4) Kelembagaan panen dan penanganan pasca panen; dan (5)
Kelembagaan pemasaran dan distribusi.
Berdasarkan analisis keragaan dan kelembagaan agribisnis beras
di Jawa Barat menunjukkan bahwa dari aspek teknik budidaya,
masyarakat petani sudah melakukan budidaya dengan relatif baik.
Implikasi kebijakan penting yang perlu ditempuh dalam rangka perbaikan
agribisnis beras antara lain adalah (1) Meningkatkan produktivitas dan
kualitas hasil melalui perbaikan benih dan teknologi budidaya; (2)
Membangkitkan kembali peranan kelembagaan lokal guna meningkatkan
efisien dan efektivitas transfer teknologi, dalam pengadaan input serta
pemasaran hasil; (3) Kebijakan insentif berupa investasi publik di tingkat
pedesaan (infrastruktur irigasi, jalan usahatani, kecermatan pasca panen,
infrastruktur pasar), kredit program, serta penyediaan teknologi spesifik
lokasi; (4) Kebijakan tarif, sepanjang masih dalam kesepakatan GATT; (5)
lagi pasar untuk segmen PNS, TNI dan POLRI dengan semangat otonomi
daerah dan nasionalisme melalui jaminan kualitas produk.
Skema penelitian :
Gambar 3. Skema Penelitian Saptana, dkk (2003)
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Tebu
Bahan baku utama untuk memproduksi gula adalah tebu. Tebu
(Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi perkebunan yang
penting dalam pembangunan sub sektor perkebunan antara lain untuk
memenuhi kebutuhan domestik maupun sebagai komoditi ekspor
penghasil devisa negara (Anonim, 2010d).
Tebu sebagai bahan baku industri gula diharapkan dapat
memenuhi persyaratan kuantitas maupun kualitasnya. Dengan lahirnya
Inpres No. 5 Tahun 1998 maka penanaman tebu dengan mengikuti
program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dihapuskan. Hal tersebut Agribisnis Buras di Jawa Barat
Kuragaan Sumbur Daya
Lahan
Lumbaga Pungadaan
Saprodi
Aplikasi Tuknologi
Lumbaga Panun & Pasca Panun
Lumbaga Pumasaran & Distribusi
Diduskripsikan puran masing-masing lumbaga, guna : 1. Muningkatkan produktivitas dan kualitas hasil 2. Mumbangkitkan puran kulumbagaan guna
muningkatkan transfur tuknologi
didukung oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman yang membebaskan petani menanam komoditi yang
ingin ditanamnya maka hal ini akan mengusik pemenuhan bahan baku
tebu sepanjang musim giling.
Teknologi budidaya tebu yang selalu diperbaharui merupakan
pendukung tercapainya industri gula yang dapat memenuhi kebutuhan
gula secara mandiri. Dalam rangkaian industri gula, proses produksi
bahan baku yang akan diolah sangat menentukan industri gula tersebut
sebab itu memerlukan perhatian khusus. Pemilihan varietas yang tepat
khususnya untuk usahatani tebu akan sangat meningkatkan kepercayaan
dan minat petani dalam membudidayakan tebu.
Pabrik gula sangat diuntungkan bila petani berminat dalam
berusahatani dengan mutu bahan baku yang mampu bersaing, dipandang
dari keamanan pasok bahan baku dengan memberikan jaminan kepada
petani untuk mendapatkan keuntungan dari usahataninya.
Gambar 4. Tanaman Tebu
Tanaman tebu hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis.
ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Untuk
pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin
pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan
tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula
pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan
dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse)
dan air. Daun tebu yang kering memiliki biomassa yang mempunyai nilai
kalori tinggi. Biasanya digunakan sebagai bahan bakar memasak. Dalam
konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu
digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk
proses produksi dan pembangkit listrik (Anonim, 2007). Komposisi tebu
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Tebu
Komponen Persentase (%)
Sabut 12,5
Nira : 87,5
a. Air 65,6-70
b. Bahan kering : 17,5-21,8
1. Bahan terlarut 3,2-4,4
2. Bahan tidak terlarut 0,4-1,1
Sumber : Anonim, 1992.
2.2.2. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu
Luas areal tanaman perkebunan tebu di Jawa Timur cenderung
meningkat, namun produktivitas tebu terus menurun. Dalam upaya
meningkatkan produksi dan produktivitas tebu serta mendukung
tahun 2001 dilaksanakan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Gula Nasional hingga saat ini.
Secara garis besar Program Akselerasi diimplementasikan melalui
tiga kegiatan, yaitu bongkar ratoon, penguatan kelembagaan, dan
rehabilitasi pabrik gula. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja
industri gula nasional agar mampu menghasilkan gula secara efisien serta
dapat menutupi kebutuhan dalam negeri. Program yang sudah berjalan
meliputi kegiatan bongkar ratoon diikuti dengan pemakaian varietas
unggul baru, pengairan, penyediaan kredit ketahanan pangan untuk petani
tebu, serta upaya penguatan modal usaha kelompok/ koperasi tebu
rakyat.
Kegiatan program bongkar ratoon prinsipnya adalah merehabilitasi
tanaman tebu yang telah dikepras berulang-ulang, keprasan maksimal
yang ditoleransi adalah sebanyak 3 (tiga) kali. Bongkar ratoon
diprioritaskan pada tanaman tebu yang dikepras lebih dari 3 kali.
Tanaman dibongkar kemudian diganti dengan tanaman tebu baru. Bibit
tanaman tebu penganti merupakan varietas unggul bersertifikat dan
direkomendasikan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).
Berdasarkan program diatas Propinsi Jawa Timur masih terus
berusaha untuk meningkatkan produktivitas tebu guna menyukseskan
Program Swasembada Gula Nasional. Berikut ini adalah data
perkembangan areal, produksi, dan produktivitas tebu di Jawa Timur
Tabel 5. Perkembangan Luas Areal Perkebunan, Produksi, dan Produktivitas Tebu Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 - 2009
Tahun Luas Areal (Ha) Tebu
Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ Ha)
2004 150.132,09 12.664.376,37 84,35
2005 169.336,99 15.506.586,00 91,57
2006 173.830,14 14.968.431,00 86,11
2007 197.056,65 17.425.615,50 88,43
2008 200.821,90 16.015.546,37 79,75
2009 186.025,65 14.732.643,10 79,20
Sumber : Data Primer Disbun Propinsi Jawa Timur Bagian Usahatani, 2010
Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu wilayah perkebunan
tebu di Propinsi Jawa Timur. Luas tanam perkebunan tebu di Kabupaten
Mojokerto semakin tahun menunjukkan peningkatan dan dapat dilihat
dalam Tabel 6.
Tabel 6. Luas Perkebunan Tebu di Kabupaten Mojokerto Tahun 2008 – 2010
JUMLAH 10.125,60 9.896,00 10.478,635
2.2.3. Kondisi Gula Jawa Timur
Rendahnya produksi gula nasional antara lain disebabkan tidak
efisiennya pabrik-pabrik gula. Pada tahun 2006 telah dicanangkan
Gerakan Peningkatan Rendemen Tebu di Jawa Timur untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas tebu sehingga mampu
mendukung keberhasilan Program Swasembada Gula Nasional.
Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2006 tentang Petunjuk
Teknis Gerakan Peningkatan Rendemen Tebu di Jawa Timur yang
ditetapkan di Surabaya tanggal 28 Agustus 2006, merupakan landasan
operasional bagi gerakan tersebut, dalam pelaksanaannya didasari pula
pada keterpaduan dan harmonisasi pelaku praktisi gula, khususnya antara
petani dan pabrik gula (PG). Upaya peningkatan rendemen tebu
mencakup aspek teknis di bidang on-farm (meliputi penataan varietas,
pemupukan, kontrak giling, dan monitoring perencanaan tebangan tebu
dengan aplikasi pertanian terukur); Tebang Angkut; dan off-farm.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) juga memberikan gambaran bahwa upaya swasembada
gula akan dicapai, walaupun hal tersebut memerlukan waktu yang cukup
lama. Upaya untuk melakukan swasembada gula dapat dilakukan dengan
cara : (1) meningkatkan efisiensi usaha tani; (2) memperbaiki sistem
penyaluran sarana produksi; (3) menerapkan usaha tani terpadu; (4)
serta petani dalam usaha tani tebu. Berikut data produksi, produktivitas
gula, dan rendemen di Jawa Timur dapat dilihat di Tabel 7.
Tabel 7. Produksi, Produktivitas Gula, dan Rendemen di Jawa Timur Tahun 2004 - 2009
Tahun Gula Rendemen (%)
Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ Ha)
2004 921.178,00 6,14 7,27
2005 1.048.734,47 6,19 6,76
2006 1.099.186,38 6,32 7,34
2007 1.205.997,40 6,12 6,92
2008 1.245.207,69 6,20 7,77
2009 1.079.236,68 5,80 7,33
Sumber : Data Primer Disbun Propinsi Jawa Timur Bagian Usahatani, 2010
2.2.4. Agribisnis Tebu
Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu
agribisnis penting di Indonesia, karena gula memegang peranan penting
dalam ekonomi pangan di Indonesia.
Saragih dan Khrisnamrti dalam Mardikanto (2005) menyatakan
agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengusahaan
tumbuhan dan hewan (komoditas pertanian, peternakan, perikanan dan
kehutanan) yang berorientasi terhadap pasar (bukan hanya untuk
pemenuhan kebutuhan pengusaha sendiri) dan perolehan nilai tambah.
Agribisnis memiliki dua konsep pokok. Pertama, agribisnis
merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif dan terdiri dari
beberapa sub sistem, yaitu: Sub sistem pengadaan sarana produksi
industri hasil pertanian (agroindusri); Sub sistem pemasaran hasil
pertanian; dan Sub sistem kelembagaan penunjang kegiatan pertanian,
seperti penelitian, penyuluhan, pembiayaan, konstruksi, transportasi, dan
jasa lainnya. Sebagian sub sistem pertama dan ketiga, serta sub sistem
kedua merupakan on-farm agribusiness. Kedua, agribisnis merupakan
suatu konsep yang menempatkan kegiatan pertanian sebagai suatu
kegiatan yang utuh dan komprehensif, sekaligus sebagai suatu konsep
untuk dapat menelaah dan menjawab berbagai masalah tantangan, dan
kendala yang dihadapi pembangunan pertanian sekaligus juga untuk
dapat menilai keberhasilan pembangunan pertanian serta pengaruhnya
terhadap pembangunan nasional secara lebih tepat. Merupakan off-farm
agribusiness (Mardikanto, 2005).
Kegiatan pertanian yang dipandang sebagai suatu kegiatan
agribisnis dinilai merupakan cara yang tepat dalam menghadapi berbagai
perkembangan yang terjadi saat ini dan dimasa yang akan datang, baik
dalam lingkup nasional maupun internasional. Jadi, agribisnis merupakan
cara baru memandang pertanian (agribusiness as a new way to look
agriculture), sehingga dalam kaitannya dengan struktur perekonomian
nasional, kiranya perlu dilihat peran intersektoral dalam sistem agribisnis
(khususnya pertanian, perdagangan, industri, dan lembaga keuangan)
untuk mendapatkan gambaran mengenai peran sektor pertanian
Gambar 5. Pertanian Sebagai Sistem Agribisnis (Mardikanto, 2005)
Agribisnis tebu merupakan kegiatan agribisnis berbasis tanaman
tebu yang diusahakan dengan cara kerja sama antara pabrik gula sebagai
pengolah bahan baku tebu (off-farm) dan petani sebagai penyedia/
pemasok bahan baku tebu (on-farm). Dalam rangka menjalin kerja sama
tersebut pemerintah berkewajiban membantu mewujudkan kerja sama
yang baik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Untuk maksud
tersebut maka pemerintah mengeluarkan instrumen kebijakan yang
mengatur hak dan kewajiban daripada kedua belah pihak.
Menurut Arifin (2000) tebu merupakan salah satu komoditas
agribisnis Indonesia yang menghadapi permasalahan struktural sejak
zaman pemerintah penjajahan Belanda sampai zaman transisi demokrasi
seperti sekarang. Dominasi birokrasi terlalu banyak mewarnai kebijakan
produksi dan perdagangan gula nasional, bukan prinsip-prinsip
mekanisme pasar yang menjunjung tinggi asas keadilan bagi segenap
dengan penerapan konsep agribisnis diharapkan dapat memberikan
dampak positif bagi pembangunan di sektor pertanian sehingga
mengimbangi pertumbuhan di sektor industri (Wijaya, 1996).
Pengertian agribisnis diberikan oleh Davis and Goldberg (1957)
yaitu : agribusiness included all operations involved in the manufacture
and distribution of farm supllies; production operations on the farm, the
storage, processing and distribution of farm commodities made from
them, trading (whosaler, retailers), consumers to it, all non farm firm and
institution serving them. Sistem agribisnis yang lengkap merupakan suatu
gugusan industri (industrial cluster) yang terdiri dari empat subsistem,
yaitu (1) subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness) yakni seluruh
industri yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi
pertanian primer, seperti industri pembibitan/ perbenihan, industri
agro-kimia, industri agro-otomotif, agri-mekanik, dan lain-lain; (2) subsistem
agribisnis budidaya/ usahatani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang
menggunakan sarana produksi untuk menghasilkan komoditas pertanian
pertanian primer (farm product); (3) subsistem agribisnis hilir (downstream
agribusiness) yakni industri yang mengolah industri primer menjadi produk
olahan beserta kegiatan perdagangannya; dan (4) subsistem jasa
penunjang (supporting system agribusiness) yakni kegiatan yang
menyediakan jasa bagi ketiga subsistem di atas seperti infrastruktur,
pendidikan pelatihan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain (Saptana dkk,
2003). Secara sederhana sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Keterkaitan dalam Sistem Agribisnis
2.2.5. Sejarah Industri Gula Indonesia
Departemen Pertanian (2002) menyatakan bahwa sejarah industri
gula di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode. Pada periode
sebelum tahun 1930, industri gula di Indonesia telah dimulai sejak abad
16 oleh penduduk keturunan Cina. Setelah dikuasai Belanda, industri gula
mulai maju, namun pada abad 19 muncul penyakit sereh yang
menghancurkan semua jenis tebu, dan baru bisa diatasi setelah POJ
(sekarang menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula, P3GI) berhasil
menemukan varietas tebu POJ 2878, industri gula pun maju pesat, dan
berhasil mencapai tingkat produksi 3 juta ton pada tahun 1930 dan
menjadikan Indonesia negara eksportir gula terbesar dunia setelah Kuba,
ketika itu budidaya tebu dilakukan dengan total luas areal 200.000 Ha.
Tahun 1930 berlalu, terjadi resesi dunia dan peralihan penjajahan,
yang diikuti perang kemerdekaan pada tahun 1940-an. Hal ini membuat Subsistem hulu
(upstream agribusiness)
Subsistem usahatani (on-farm agribusiness)
Subsistem hilir
(downstream agribusiness)
industri gula Indonesia terpuruk karena banyak penghentian produksi di
pabrik gula, maupun kerusakan lahan pertanian termasuk lahan tebu.
Tahun 1957, pemerintah RI mengambil alih seluruh aset perusahaan
asing di Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan gula milik Belanda.
Pada tahun 1957, tataniaga industri gula sepenuhnya ditangani
oleh pemerintah RI, dan pengelolaan serta usahatani tebu ditangani
Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Industri gula Indonesia pada saat
itu mulai membaik. Lahan untuk budidaya tebu diperoleh dengan cara
menyewa sawah petani, sehingga periode ini disebut juga Periode Sistem
Sewa. Untuk mengatasi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan dalam
negeri yang semakin meningkat, pada awal tahun 1970-an dikembangkan
budidaya tebu lahan kering di Pulau Jawa, dan mulai dirintis proyek
pengembangan industri gula di luar Jawa.
Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 1975, menyatakan terdapat
perbedaan sistem usahatani tebu semula dari sistem sewa berubah
menjadi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Sistem ini bertujuan agar petani
tebu menjadi wiraswasta yang mampu berusaha sendiri dan mandiri,
dalam kelompok tani maupun koperasi petani dan mempunyai kedudukan
ekonomi yang kuat, serta meningkatkan luas areal pertanaman tebu di
Indonesia dan mempengaruhi peningkatan produktivitas gula Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaannya ditunjang dengan
kebijakan lainnya berupa pemberiaan kredit kepada petani peserta, sistem
pabrik gula dan perluasan areal tebu baik di lahan sawah maupun lahan
kering, baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa.
Tataniaga gula sejak tahun 1975 dilakukan oleh Badan Urusan
Logistik (BULOG), karena gula dianggap sebagai salah satu komoditas
strategis selain beras. Sedangkan untuk harga dasarnya ditetapkan oleh
pemerintah berupa harga provenue. Dengan sistem tataniaga dan
penentapan seperti itu, maka petani tebu dan pelaku industri gula di
Indonesia akan merasa terlindungi dari pasar dunia yang distorsif.
Pada tahun 1998, BULOG tidak lagi menangani tataniaga gula.
Terbitnya Inpres No. 5 Tahun 1998, sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
dihapuskan, sehingga jalinan hubungan kemitraan antara petani dan
pabrik gula diatur oleh masing-masing pihak dalam hubungan kemitraan
tersebut. Tataniaga gula selanjutnya diserahkan pada mekanisme pasar
yang fluktuatif dan cenderung berupa dumping. Sedangkan harga gula
disesuaikan dengan harga dunia, karena pemerintah sudah tidak lagi
menetapkan harga provenue. Pada tahun tersebut terdapat beberapa
kebijakan pemerintah yang tidak mendukung eksistensi industri gula
Indonesia, seperti penetapan tarif bea masuk gula impor nol persen, serta
pembebasan proses impor gula terhadap importir swasta.
Pemerintah mengambil langkah melalui Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.634/MPP/Kep/9/2002, menetapkan
bahwa impor gula hanya dapat dilakukan pihak produsen, dengan syarat
lebih dari 75 % dari tebu rakyat. Impor tersebut baru dapat dilakukan
setelah harga gula petani mencapai Rp. 3.100 per Kg. Berdasarkan
criteria tersebut, maka produsen yang dapat melakukan impor gula atau
yang mendapat ijin import gula dalam bentuk Impor Terdaftar (IT) atau
yang dikenal dengan "Sembilan Samuari" di antaranya adalah PTPN IX,
X, dan XI, serta PT. Rajawali Nusantara Indonesia melalui importir swasta
setelah melewati proses tender. Import mulai dijalankan pada tahun 2003.
2.2.6. Kinerja
2.2.6.1. Definisi Kinerja
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau
tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para manajer kadang
tidak memperhatikan bagaimana kinerja suatu organisasi tetapi tiba-tiba
menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk yang terjadi di
organisasi ini merupakan peringatan adanya kinerja yang merosot.
Kinerja memiliki banyak pengertian diantaranya kinerja menurut
Sulistiyani (2003) dalam Anonim (2011)a, kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai
dari hasil kerjanya, sedangkan menurut Hasibuan (2001) dalam Anonim
(2011)a, mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja
yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman
dan kesungguhan serta waktu. Menurut Cushway (2002) dalam Anonim
dibandingkan dengan target yang telah ditentukan. Menurut Witmore
(1997) dalam Anonim (2011)a, kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi
yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu
pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang
harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk
mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan
visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui
dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Maka kinerja
kelembagaan dapat dimengerti sebagai kondisi lembaga dan
keterkaitannya dengan lembaga lain dalam menerapkan tugas dan
fungsinya sebagaimana yang tertuang pada visi dan misi masing-masing
lembaga/ instansi.
2.2.6.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ada beberapa, yaitu
menurut Mathis (2001) dalam Anonim (2011)a, terdapat faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu: 1. Kemampuan mereka;
2. Motivasi; 3. Dukungan yang diterima; 4. Keberadaan pekerjaan yang
mereka lakukan; dan 5. Hubungan mereka dengan organisasi. Kinerja
merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu
maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh
kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar
serta keinginan untuk berprestasi. Sedangkan menurut Gibson (1987)
1. Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga,
pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang; 2. Faktor
psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan
kerja; 3. Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan,
kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).
2.2.6.3. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan
organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian maka dapat diketahui
kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan atau baik
buruknya kondisi organisasi. Menurut Cascio (1992) dalam Anonim
(2011)a, penilaian kinerja adalah sebuah gambaran yang sistematis
tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari seseorang atau suatu
kelompok. Tujuan penilaian kinerja menurut Alwi (2001) dalam Anonim
(2011)a, dapat dikategorikan sebagai suatu yang bersifat evaluation dan
development. Sifat evaluation karena berupa penyelesaian : 1. Hasil
penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi; 2. Hasil
penilaian digunakan sebagai staffing decision; 3. Hasil penilaian
digunakan sebagai dasar mengevaluasi sistem seleksi. Sedangkan yang
bersifat development penilaian berupa penyelesaian : 1. Prestasi riil yang
dicapai individu; 2. Kelemahan-kelemahan individu yang menghambat
2.2.7. Kelembagaan
Kelembagaan merupakan salah satu komponen penting dalam
menunjang kerangka dasar perumusan kebijakan dan pembangunan
pertanian untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan yang
dimaksud disini adalah suatu aturan yang dikenal, diikuti dan ditegakkan
secara baik oleh anggota masyarakat, yang member naungan dan
hambatan constraints bagi individu atau anggota masyarakat.
Kelembagaan memberi nafas dan ruang gerak bagi tumbuh dan
berkembangnya suatu organisasi, yang sebenarnya memiliki ruh
kehidupan karena suatu kelembagaan.
Kelembagaan dibuat untuk membuat lancar, terjamin, teratur, dan
mengurangi ketidakefisiensinya transaksi ekonomi. Menurut Johson
(1989) dalam Singgih (2009), mengemukakan bahwa sumber daya alam
(SDA), sumber daya manusia (SDM), teknologi dan kelembagaan
merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian.
Keempat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan untuk mencapai
pembangunan yang dikehendaki. Artinya apabila salah satu atau lebih
faktor tersebut tidak dipenuhi, maka tujuan untuk mencapai keadaan
tertentu tidak akan terjadi.
Mubyarto (1997) dalam Singgih (2009), mengemukakan bahwa
lembaga atau kelembagaan adalah organisasi atau kaidah-kaidah baik