SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk
Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Jenjang Pendidikan Strata Satu (S-1)
Oleh
JUNAEDI
NIM: 106011000109
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Judul : Kotribusi Peran Komite Sekolah Terhadap Mutu Layanan Pendidikan di SMKN 1 Depok.
Judul tersebut dilatar belakangi oleh perlunya mendorong perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, serta mendorong orngtua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sejauhmana perhatian Komite Sekolah terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan dan sejauhmana kontribusi peran Komite Sekolah terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan di SMKN 1 Depok.
Adapun fokus masalah penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran secara empiris mengenai kontribusi Peran Komite Sekolah terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan di SMKN 1 Depok. Untuk memecahkan permasalahan di atas digunakan pendekatan kuantitatif dengan jumlah sampel 44 guru, dari semua guru tetap yang ada. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner tertutup.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai koefisien korelasi 0,536 jika
dikonsultasikan angka indeks korelasi “r” 0,536 yang berada antara 0,40-0,70
termasuk dalam kategori adanya korelasi yang sedang atau cukup. Dengan demikian, secara sederhana dapat diberikan interpretasi terhadap rxy tersebut, yaitu bahwa terdapat korelasi positif antara variable X dan variable Y (hubungan di antara kedua variable itu sedang dan cukup). Dengan perhitungan diatas diperoleh KD sebesar 28,73% maka diketahui bahwa kontribusi yang diberikan peran komite sekolah terhadap peningkatan mutu pendidikan di SMK N 1 Depok sebesar (28,73%) ini berarti sebagian besarnya (71,27%) dipengaruhi oleh faktor lain selain Peran Komite Sekolah.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam saya sanjungkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya
sampai akhir zaman.
Tidaklah terlepas ucapan terima kasih syukur bahagia yang tiada terhingga
sampai kapan pun untuk kedua orang tua keluargaku tercinta Ayahanda H. Nendi
Ibunda Hj. Ecih yang selalu mendo’akanku, mendidikku dengan penuh
keikhlasan, keridhoan dan kesabaran serta kasih sayangnya hingga saat ini,
kepada kakak-kakakku Nina, Suryati, Sumiyati yang selalu memberikan
semangat arti penuh makna dalam menuju hidup yang kaya amanah akan
keberkahan dan semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan menjaga mereka
dalam menuju kerihoan-Nya.
Selain itu penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan serta
dorongan dari berbagai pihak yang secara tulus ikhlas memberikan bantuannya
baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menghaturkan ucapan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
2. Bahrisalim, M.Ag., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Dra. Hj. Eri Rosatria, M.Ag., Dosen penasehat akademik dan para dosen yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga
selesainya skripsi ini.
4. Drs. Nurrochim, M.M., Dosen pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas
telah memberikan bimbingan, bantuan serta motivasinya untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak Ocim Wijaya, S.Pd. M.M., Kepala SMK N 1 Depok, yang telah sudi
kiranya menerima penulis dengan baik dan terbuka dalam melakukan
penelitian di Sekolahnya, sehingga penulis dapat dengan mudah memperoleh
vi
6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemimpin
dan Staf Perpustakaan UNJ, yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan bahan-bahan referensi dalam peneyelesaian skripsi ini.
7. Muhammad Irfan Arofah (Bang. Irfan) Insan Nursuryansyah (icank), Deden
Fatih (Dewan), Hamdillah (Thile), Fahrurrozi (Booy), Jurahman Namar
(Ncunk) Rifki (Rifki), Ali Mudasir (Dasir), Ghozali (Ali), Andika (Dika),
(Kawan-kawan yang memberikan keceriaan dalam kehidupan dengan tawa
dan canda), para mahasiswa PAI khususnya PAI C Angkatan 2006, segenap
kawan-kawan yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut serta
membantu dan memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kawan-kawan IKMD (Ikatan Keluarga Mahasiswa Depok) Abdul Rohim,
Ahmad Fadilah, Deden Supriadi, Andi Basyuni, Alfian Haikal, Mubin
Nurdiansyah dan semua anggota IKMD yang selalu memberikan dukungan
penuh kepada penulis.
Dengan menengadah tangan dan mengucap syukur Alhamdulillah, karena
hanya kepada Allah SWT, jualah penulis mohonkan semoga amal baik yang telah
diberikan menjadi amal sholeh dan diterima disisi-Nya. Akhirnya tiada kata lain
yang lebih berarti selain sebuah harapan semoga penelitian ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 28 Juni 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS ... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Perumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II : KAJIAN TEORITIS ... 10
A. Mutu Pendidikan ... 10
viii
2. Mutu Pendidikan dan Faktor yang Mempengaruhinya ... 13
3. Mutu Pendidikan berdasarkan Tujuan Pendidikan Nasional ... 17
4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan di Indonesia .. 18
5. Kotribusi Peran Komite Sekolah Terhadap Peningkatan Mutu Layanan Pendidikan ... 20
B. Komite Sekolah ... 23
1. Pengertian Komite Sekolah ... 23
2. Konsep Dasar Komite Sekolah ... 24
a. Nama dan Unsur-unsur ... 24
b. Kedudukan dan Sifat ... 25
c. Tujuan ... 26
d. Fungsi ... 26
e. Keanggotaan ... 27
f. Prinsip Pembentukan ... 28
3. Pemberdayaan Komite Sekolah ... 28
C. Kerangka Berpikir ... 30
D. Hipotesis ... 31
BAB III : METODE PENELITIAN ... 32
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
B. Variabel Penelitian ... 32
C. Populasi dan Sampel ... 33
D. Intrumen Penelitian ... 33
E. Teknik Pengumpulan Data ... 37
ix
BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 40
A. Gambaran Umum Penelitian ... 40
1. Sejarah Singkat SMK N 1 Depok ... 40
2. Visi dan Misi ... 41
3. Struktur Organisasi Sekolah ... 42
4. Kondisi Tenaga Kependidikan dan Sarana Prasarana ... 42
5. Keadaan Siswa-siswi ... 44
6. Komite Sekolah ... 44
7. Program Kerja Komite Sekolah ... 45
B. Deskripsi Data ... 46
C. Uji Hipotesis ... 52
D. Interpretasi Data ... 56
BAB V : PENUTUP ... 57
A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
x
Mutu Pendidikan ... 34
4.1 Struktur Organisasi Sekolah ... 42
4.2 Kondisi tenaga Kependidikan SMK N 1 Depok ... 43
4.3 Sarana dan Prasarana ... 43
4.4 Keadaan Siswa-siswi SMK N 1 Depok ... 44
4.5 Struktur Organisasi Komite Sekolah SMK N 1 Depok ... 45
4.6 Kategori Penilaian Peran Komite Sekolah ... 49
4.7 Kategori Penilaian Mutu Pendidikan ... 52
4.8 Tabel Kerja atau Tabel Perhitungan ... 53
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Referensi
Lampiran 2 Surat Pengajuan Profosal Skripsi
Lampiran 3 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 5 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
Lampiran 6 Surat Angket Penelitian
Lampiran 7 Tabel Hasil Jawaban Angket
Lampiran 8 Profil Sekolah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, memposisikan
kabupaten/kota sebagai pemegang kewenangan dalam tanggungjawab
pembangunan berbagai sektor, termasuk penyelenggaraan bidang pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya diserahkan kepada kabupaten/kota,
melainkan juga diberikan kepada satuan pendidikan, baik jalur pendidikan sekolah
maupun luar sekolah. Dengan demikian, keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan
juga pemerintah provinsi, kabupaten/kota, pihak sekolah, dan masyarakat atau
stakeholder pendidikan. Hal ini relevan dengan konsep partisipasi berbasis
masyarakat dan manajemen berbasis sekolah.
Salah satu masalah mendasar dalam bidang pendidikan Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah. Mutu pendidikan di Indonesia selama ini masih
2
terutama di kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup
mengembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu
pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan
pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih
bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah terpenuhi,
maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan
output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur
oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang
diproyeksikan di tingkat mikro (sekolah).1
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah terdapat
sedikitnya tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami
peningkatan secara merata, yaitu:
1. Pendekatan education production function atau input & output analisi yang digunakan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia tidak dilakukan secara konsekuen.
2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara
birokratiksentralistik.
3. Peranserta masyarakat, khususnya orangtua siswa dlam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.2
Hal tersebut banyak terjadi akhir-akhir ini di lembaga pendidikan atau satuan
pendidikan (sekolah). Karena tidak jarang yang sampai saat ini sekolah belum
bisa mengartikan secara keseluruhan dari kebijakan yang telah pemerintah pusat
keluarkan. Hal ini pula yang dialami di satuan pendidikan (sekolah) yang ada di
Depok, khususnya SMK N 1 Depok.
Ada beberapa poin paradigma untuk mendasari mutu pendidikan Indonesia
yaitu, Pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran,
pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru dan
mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan
pendidikan.
1
Forum Wartawan Peduli Pendidikan, Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006. h.
2
Guna peningkatan mutu pendidikan maka sekolah harus dinamis dan kreatif
dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu
pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai
keragamannya, diberikan kepercayaan untuk mengatur dab mengurus dirinya
sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan partisipasi masyarakat
sangat diperlukan. Partisipasi masyarakat yang selama ini umumnya lebih banyak
bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan (pengembalian
keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan
akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan
hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orangtua siswa,
sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan.
Untuk menampung dan menyalurkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka dibentuklah suatu wadah yang diberi nama
Komite Sekolah. Komite sekolah adalah suatu badan mandiri yang mewadahi
peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, penertaan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra satuan
pendidikan, jalur pendidikan satuan pendidikan maupun jalur pendidikan luar
satuan pendidikan. Komite Sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non
profit dan non politis, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh
para stakeholder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi
dan berbagai unsur yang bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas proses
dari hasil pendidikan.3
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002, tanggal
2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dikatakan bahwa
Komite Sekolah merupakan dampak wujud dari otonomi pendidikan, melalui
demokratisasi pendidikan. Wujud dari kebijaksanaan ini adalah kesempatan
masyarakat untuk berperan aktif dalam menumbuhkembangkan pendidikan. Hal
3
4
ini, sejalan dengan apa yang disebut dengan community based education, dan
secara tidak langsung imbas dari school based management.
Dibetuknya Komite Sekolah dimaksudkan agar suatu organisasi masyarakat di
satuan pendidikan mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap
peningkatan kualitas satuan pendidikan. Adapun tujuan dibentuknya KOmite
Sekolah sebagai organisasi masyarakat di satuan pendidikan sebagai berikut:
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di satuan pendidikan.
2. Meningkatkan tanggungjawab peranserta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.4
Namun demikian kehadiran Komite Sekolah yang fakta di lapangan masih
menunjukkan justru keberadaannya dianggap sebagai masalah baru bagi orangtua
siswa karena menjadi actor utama di balik mahalnya biaya sekolah.
Keberadaannya sekadar menstempel setiap kebijakan yang dibuat oleh kepala
sekolah, terutama untuk menarik dana dari orangtua siswa. Hal ini pula yang
terjadi di berbagai sekolah di kota Depok, salah satunya adalah SMK N 1 Depok
yang masih menganggap Komite Sekolah adalah suatu lembaga yang sama
dengan lembaga sebelumnya.
Kalau dihitung mulai dari terbitnya Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah telah berusia kurang lebih sembilan tahunan. Melalui program sosialisasi,
pengembangan, dan kemudian pembinaan yang telah dan sedang dilaksanakan
oleh pemerintah, dalam hal ini Ditjen Mandikdasmen, hasilnya dapat kita ketahui
sebagai berikut:
1. hampir semua kabupaten/kota di Indonesia telah terbentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota.
2. Separuh provinsi di Indonesia secara mandiri telah membentuk Dewan Pendidikan Provinsi.
4
3. Hampir semua satuan pendidikan telah membentuk Komite Sekolah
4. bagaimana pun juga Dewan Pendidikan Nasional sampai saat ini memang belum terbentuk. Hal ini terkait dengan soal jumlah atau kuantitatif. Jika secara kuantitatif kondisinya cukup membanggakan, namun secara kualitatif memang masih sangat memprihatinkan.5
Dalam keterangan di atas telah dijelaskan bahwa hampir semua satuan
pendidikan telah terbentuk Komite Sekolah. Itu memang benar sekali. Namun
kondisi itu sama sekali tidak melegakan hati kita. Pada awalnya proses
pembentukan Komite Sekolah dilakukan secara instan. Kalau ada Komite Sekolah
yang dibentuk dengan model pemilihan formatur, maka itu masih lumayan. Yang
sering terjadi adalah justru Komite Sekolah yang dibentuk dengan cara
penunjukan oleh kepala sekolahnya. Akibatnya, sampai saat ini Komite Sekolah
masih tetap menyandang stigma seperti BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara
Pendidikan) atau pun POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru). Inilah
kondisi Komite Sekolah yang ada dan kita kenal sampai saat ini, yakni sebagai
Komite Sekolah stempel.
Ade Irawan, Sekretaris Koalisi Pendidikan melihat ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab komite tidak mampu menjalankan fungsi sebenarnya, yaitu: ”Pertama, buruknya sosialisasi. Kedua, minimnya pemahaman guru dan orangtua siswa. Ketiga, komite dibentuk kepala sekolah”.6
Untuk melihat lebih jauh kondisi di lapangan penulis mengadakan studi
pendahuluan di sekolah menengah dan atas kota Depok. Dari hasil studi
pendahuluan penulis menemukan terdapat SMK N 1 Depok di Kecamatan Tapos
Kota Depok. Permasalahan yang masih ditemukan menyangkut komite sekolah
yaitu komite sekolah tidak mempunyai program kerja sendiri, sehingga komite
sekolah tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan.
Hal ini dikarenakan tidak ada program kerja yang harus mereka laksanakan.
Komite sekolah akan melaksankan program yang telah dibuat oleh kepala sekolah
sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja komite sekolah dalam
6
memerankan peran dan fungsinya, karena program kerja komite sekolah masih
ikut dalam program kerja sekolah hal ini akan menyebabkan tidak berdayanya
peran komite sekolah sebagai organisasi yang mewadahi peran serta masyarakat
dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan.
Komitmen UU yang telah diamatkan terhadap pemerintah tersebut tentunya
perlu didukung. Hanya perlu diingat, untuk memajukan mutu pendidikan tidak
cukup diandalkan dengan alokasi dana yang besar saja. Kalau tidak dibarengi
dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang benar, serta dikelola
orang-orang yang benar, maka jelas akan tidak efektif dan efisien.
Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah bersama-sama dengan masyarakat
bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di satuan pendidikan karena,
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Tentang Standar Nasional
Pendidikan yang berkenaan dengan; “pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala
sekolah satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite
sekolah/madrasah”.7 Hal itu dimaksudkan agar kualitas mutu pendidikan di
Indonesia terus mengalami peningkatan dan tujuan pendidikan nasional dapat
tercapai sesuai dengan harapan.
Di era otonomi ini, partisipasi masyarakat sebagai kekuatan control dalam
pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang
pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa
menjadi semacam kekuatan control bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di
sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Kemendiknas mulai menerapkan konsep
manajemen berbasis sekolah (school-based management). Karena itulah gagasan
tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam
lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat
(semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak
terhindarkan. Dengan adanya Komite Sekolah, kepala sekolah dan para
penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan
bertanggungjawab kepada komite tersebut.
7
Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan para
penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah,
dalam hal ini kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen
Dikdasmen) Kementerian Pendidikan Nasional, maka dengan konsep manajemen
berbasis sekolah pertanggungjawaban itu kepada Komite Sekolah. Pemerintah
dalam hal ini hanya memberikan legalitas saja. Selama ini Komite Sekolah
memang telah dibentuk oleh pemerintah, tapi perannya terbatas hanya untuk
mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau yang lebih dikenal saat ini
Bantuan Oprasional Sekolah (BOS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak
terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS/BOS saja, melainkan juga berperan
bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus
menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi
masyarakat pada sekolah.
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya
optimalisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini menjadi sangat penting lagi di
saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas
sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan sisi
lain sekolah, bisa sama mengantisipasi dan mengarahkan serta
bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan
demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga,
masyarakat dan pemerintah.
Melihat realitas tersebut penulis merasa perlu mengkaji permasalahan tersebut
secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penulis mengangkat permasalahan
tersebut ke dalam skripsi dengan judul “KONTRIBUSI PERAN KOMITE
SEKOLAH TERHADAP MUTU LAYANAN PENDIDIKAN DI SMKN 1
DEPOK”.
B.Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi
8
1. Ketidakkompakan pihak sekolah dengan komite sekolah dalam menjalankan
program-programnya.
2. Komite sekolah sering dianggap tidak memberikan kontribusi yang besar
terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan.
3. Adanya Ketidaktahuan bahwa masyarakat terlibat dalam dunia pendidikan
untuk mengembangkan pendidikan ke arah yang lebih maju.
4. Rendahnya kualitas sumber daya manusia anggota komite sekolah yang ada
di sekolah.
5. Banyaknya hambatan yang dihadapi komite sekolah untuk berperan aktif
dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
6. Kurangnya perhatian satuan pendidikan dan komite sekolah terhadap
pengembangan mutu pendidikan.
C.Pembatasan Masalah
Dari permasalahan-permasalahan yang tercantum pada identifikasi masalah,
penulis melihat perlu melakukan pembatasan masalah. Hal itu dilakukan agar
permasalahan tidak menimbulkan kerancuan, maka masalah penelitian menjadi
sebagai berikut:
1. Komite sekolah sering dianggap tidak memberikan kontribusi yang besar
terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan.
2. Kurangnya perhatian Komite Sekolah terhadap peningkatan mutu
pendidikan di sekolah.
D.Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah pada poin sebelumnya dapat dirumuskan menjadi
pertanyaan berikut:
1. Bagaimana gambaran kontribusi peran Komite Sekolah terhadap
peningkatan mutu layanan pendidikan?
2. Bagaimana perhatian Komite Sekolah terhadap peningkatan mutu layanan
E.Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejauh mana kontribusi peran Komite Sekolah terhadap
peningkatan mutu layanan pendidikan, dan
2. Untuk mengetahui sejauh mana perhatian Komite Sekolah terhadap
peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Mengenai manfaat dalam penulisan skripsi ini penulis akan memaparkan
beberapa manfaat, diantaranya adalah:
1. Bagi Sekolah : sebagai informasi mengenai upaya yang telah dilakukan
Komite Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan,
2. Bagi Komite Sekolah: sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan upaya
meningkatkan mutu pendidikan.
3. Bagi Praktisi Pendidikan : Menjadi tambahan dalam khazanah ilmu
pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
4. Bagi Masyarakat : sebagai media informasi atas keberadaan komite sekolah
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A.Mutu Pendidikan
1. Pengertian Mutu Pendidikan
Masalah mutu pendidikan merupakan salah satu masalah nasional yang
sedang dihadapi dan dapat perhatian sungguh-sungguh dalam sistem
pendidikan nasional Indonesia dewasa ini. Sebelum mutu pendidikan ada
baiknya mengetahui apa itu mutu dan apa itu pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mutu adalah ukuran baik buruk
suatu benda; kadar; taraf; atau derajat (kepandaian, kecerdasan dsb); kualitas”.1
Secara substantif, istilah mutu itu sendiri mengandung dua hal yaitu: “pertama sifat dan kedua taraf. Sifat adalah sesuatu yang menerangkan keadaan benda
sedangkan taraf menunjukan kedudukan dalam suatu benda”.2
Menurut Aan Komariah dalam pengertian mutu dapat dilihat dari dua segi,
yaitu mutlak/absolut dan relatif. “Dalam pengerian mutlak Mutu adalah suatu
jasa yang memiliki nilai tertinggi, bersifat unik dan sangat berkaitan dengan
ungkapan kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebenaran (truth), dan
1
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 677
2
idealitas. Sedangkan dalam arti relatif mutu berdasarkan pada kebutuhan
pelanggan”.3
Jadi dapat disimpulkan bahwa mutu adalah ukuran untuk menyatakan esensi
suatu benda atau hal berupa standar ideal yang ingin dicapai oleh suatu proses.
Sedangkan Pendidikan dalam Undang-undang Pendidikan No. 20 tahun 2003, bahwa “Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan bagi
perannya dimasa yang akan datang”.4
Amier Daien Indrakusuma mengartikan “pendidikan sebagai bantuan yang diberikan secara sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani dan
rohaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan”.5
Menurut Lengeveld dalam bukunya Alisuf Sabri pendidikan adalah: pemberian bimbingan atau bantuan rohani bagi yang masih memerlukan. Pendidikan itu terjadi melalui pengaruh dari seseorang yang telah dewasa kepada orang yang belum dewasa. Dalam hal ini Lengeveld menegaskan pendidikan ialah semua usaha, pengaruh, perlindungan, serta bantuan yang diberikan harus tertuju kepada anak didiknya atau dengan kata lain membantu anak didik agar cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri.6
Demikian beberapa pengertian menurut pandangan dari beberapa tokoh,
yang pada dasarnya menjelaskan bahwa pendidikan itu merupakan pemberian
bimbingan atau bantuan kepada mereka yang memerlukan dalam pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani, menuju kesempurnaan kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup masa kini dan masa yang akan datang.
Sebelum penulis menarik kesimpulan tentang mutu pendidikan. Ada yang
perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu bahwa pengertian mutu pendidikan,
merupakan suatu konsep yang bisa berkembang seirama dengan tuntunan
kebutuhan hasil pendidikan, yang berkaitan dengan kemajuan ilmu dan
3
Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), Cet. I hal. 9
4
UU Sisdiknas dan peraturan pelaksanaannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), Cet. II, hal. 2
5
Amier Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), Cet. I hal. 27
6
12
teknologi yang melekat pada wujud pengembangan kualitas sumber daya
manusia.
Mutu pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan lembaga
pendidikan dalam mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin. Dalam konteks
pendidikan, menurut Departemen Pendidikan Nasional, sebagaimana dikutip
Mulyasa, “pengertian mutu mencakup input, proses, dan outputpendidikan”.7
Jadi dalam memandang konsepsi input output pendidikan sebagaimana
digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Konsepsi Mutu Pendidikan
Konsepsi input dan output pendidikan sejauh ini merupakan gambaran mutu
pendidikan adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau
jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
diharapkan atau yang tersirat.
Dengan kata lain mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan
sekolah dalam dua dimensi yaitu “kemampuan teknis dan pengelolaan”.8
Mutu pendidikan tidak terlepas dari seperangkat pelaksana pendidikan,
karena perangkat pelaksana pendidikan memiliki lingkup kegiatan langsung
berkaitan dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
7
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam; Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Jslam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 206
8
Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan; Isu, Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. I. hal. 299
Proses
Dengan demikian, pengertian tentang mutu pendidikan adalah tingkat/ taraf/
derajat kemampuan dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap
komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah sehingga menghasilkan
nilai tambah terhadap komponen-komponen tersebut menurut norma/ standar
yang berlaku.
2. Mutu Pendidikan dan Faktor Yang Mempengaruhinya
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi
guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana
pendidikan dan meningkatkan mutu manajemen sekolah. Namun demikian
berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang
berarti. Sedangkan sekolah, terutama dikota-kota, menunjukan peningkatan
mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya
masih memprihatinkan.
Keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan akan menjadi agenda
utama semua birokrasi pendidikan, semua komponen persekolahan, semua
orang tua dan wali murid, serta pihak-pihak lainnya yang memiliki jaringan
langsung atau tidak terhadap dunia pendidikan. Mutu pendidikan sangat
ditentukan oleh banyak pihak, apakah pemerintah, masyarakat, sekolah,
orangtua dan siswa itu sendiri.
Sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak
mengalami peningkatan secara merata.
Pertama, fungsi dan tujuan pendidikan kurang melekat pada pelaksana dan pelaksanaan pendidikan.
Kedua, prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif tidak dijadikan sebagai prinsip yang harus dijunjung tinggi.
14
Keempat, evaluasi pendidikan seringkali dibelokkan dengan kepentingan tertentu.9
Pembangunan pendidikan hendaknya diarahkan kepada beberapa sektor
yang merupakan kebutuhan mendasar, karena langsung memberikan dampak
terhadap peningkatan mutu pendidikan diantaranya yaitu:
Pertama, sarana dan prasarana pendidikan, meliputi pembangunan ruang belajar, renovasi dan rehabilitasi ruang belajar beserta perangkat pendukungnya, ruang laboratorium, perpustakaan, komputer, pusat sumber belajar, dan termasuk rumah guru, kepala sekolah, penjaga sekolah, WC guru dan murid. Kedua, sarana dan prasarana pembelajaran, berkaitan dengan pengadaan alat dan media pembelajaran, untuk bidang IPA, IPS, Bahasa, dan bidang lainnya, seperangkat alat praktek laboratorium, pengadaan buku-buku perpustakaan, dan sebagainya. Ketiga, Pembangunan SDM. Kualifikasi pendidikan guru. Keempat, Pembangunan sektor Pendidikan Luar Sekolah. Kelima, pembangunan life skill.10
Haryono Suyono, seorang Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan,
mengemukakan bahwa:
Gerakan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang sangat rendah setidak-tidaknya harus diarahkan untuk lima sasaran utama dengan komitmen dan dukungan program dan anggaran yang kuat, terpadu dan dinamik dari pemerintah dan aparatnya di seluruh pelosok tanah air. Sasaran pertama, peningkatan pemberdayaan siswa secara konsisten dan berkelanjutan. Kedua, peningkatan mutu, kemampuan dan kesejahteraan guru. Ketiga, penyempurnaan kemampuan dan kesiapan sekolah untuk memberikan dukungan terhadap aktivitas kependidikan dan pengajaran yang dinamik, padat dan relevan dengan perkembangan masyarakatnya. Keempat, pengembangan kesadaran orang tua untuk mengirim dan memberikan dukungan kepada anak-anaknya untuk belajar sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya. Kelima, pengembangan budaya masyarakat yang kondusif serta mendukung upaya belajar dalam suasana nyaman, menggairahkan dan dinamik.11
Untuk mengukur sejauh mana mutu pendidikan telah dicapai, perlu
diketahui tanda-tanda operasionalnya, tanda-tanda opreasional yang
9
Maslikhah, Quo Vadis, Pendidikan Multikultur; Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan, (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2007), Cet. Ke-1 hal. 88-89
10
Isjoni, Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 22-23
11
dimaksudkan itu dijelaskan oleh Djauzak Ahmad dalam bukunya Petunjuk
Peningkatan Mutu Sekolah Dasar sebagai berikut:
a. Siswa, meliputi:
1) Kemampuan siswa dalam mengikuti belajar mengajar
2) Lingkungan siswa seperti lingkungan sosial, ekonomi dan budaya dalam lingkungan dan masyarakat
b. Guru, meliputi:
1) Kemampuan guru dalam kegiatan mengajar 2) Latar belakang pendidikan
d. Sarana dan prasarana, meliputi: 1) Alat peraga
7) Ruang kantor, gedung dan perabot e. Pengelolaan kelas, meliputi:
1) Pengelolaan kelas 2) Pengelolaan guru 3) Pengelolaan siswa
4) Pengelolaan sarana dan prasarana 5) Peningkatan tata tertib
f. Proses belajar mengajar, meliputi: 1) Penguasaan materi
2) Penggunaan metode mengajar 3) Penampilan guru
4) Pendayagunaan alat dan fasilitas g. Pengelolaan dana, meliputi:
1) Hubungan sekolah dengan orang tua
16
4) Hubungan sekolah dengan lembaga pendidikan lainnya.12
Selain itu Sidi menyebutkan ada lima langkah yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan, yaitu:
a. pembenahan kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal.
b. peningkatan kualitas, kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan.
c. penetapan standar kelengkapan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan.
d. pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. e. penciptaan iklim dan suasana kompetitif dan koperatif antar sekolah.13
Sedangkan Isjoni menjelaskan dalam bukunya “Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan” ada tujuh aspek yang dijadikan pertimbangan dalam pembangunan pendidikan, yakni:
a. Pengadaan guru
b. Pengadaan dan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan c. Pengembangan kurikulum
d. Peningkatan kualitas pendidikan
e. Peningkatan profesionalisme dan tanggung jawab terhadap profesi f. Peningkatan kesejahteraan guru
g. Pemberdayaan masyarakat.14
Dari semua pendapat para ahli yang telah dikemukakan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa peningkatan mutu pendidikan menitikberatkan kepada
pengembangan komponen-komponen yang ada dalam satuan pendidikan dan
pembangunan mutu secara keseluruhan mulai dari pemerintah, sekolah dan
masyarakat atau stakeholder pendidikan, agar dalam proses peningkatan mutu
pendidikan dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan baik dari aparatur
pemerintah maupun satuan pendidikan itu sendiri.
Faktor penentu atas keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan
juga ditentukan atas kelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran,
bagaimana guru akan mengajar lebih efektif, dan hasil belajar anak didiknya
12
Djauzak Ahmad, Petunjuk Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, (Jakarta: Rhinaka Cipta, 1995), h. 9
13
Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 74-75
14
baik, kalau sarana pembelajaran dalam kelas tidak tersedia. Ini jelas akan
menjadi kebijakan pemerintah, karena itu tugas pemerintahlah untuk
menyediakan sarana pembelajaran di kelas yang diperlukan guru. Seperangkat
pembelajaran tersebut sangat menentukan dalam mewujudkan mutu
pendidikan.
3. Mutu Pendidikan Berdasarkan Tujuan Pendidikan Nasional
Mutu pendidikan menurut berbagai kamus, “kata inggris academy berasal dari kata latin academia. Kata ini mempunyai beberapa makna, yang salah
satunya adalah (a lerned sociery for the advancement of arts and scient) suatu
masyarakat atau perkumpulan orang-orang yang didirikan untuk memajukan
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan”.15
Persoalan mutu pendidikan adalah suatu masalah yang kontroversial, pada
satu pihak terkadang dikatakan bahwa mutu pendidikan di indonesia sudah
cukup baik; sistem pendidikan di indonesia sudah dapat memenuhi sebagian
tuntunan dan kebutuhan bangsa kita, misalnya berkaitan dengan tenaga kerja
yang terdidik. Perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar terjadi, karena
belum adanya standarisasi mutu pendidikan yang diterima oleh seluruh praktisi
pendidikan di indonesia. Banyak sekolah-sekolah dinilai sebagai sekolah yang
terbaik oleh masyarakat, masing-masing lembaga tersebut memiliki misi yang
berbeda merupakan bukti bahwa belum ada kriteria yang pasti tentang mutu
pendidikan itu sendiri.
Maka dari itu penulis ingin mengembalikan persoalan mutu pendidikan
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, karena tujuan pendidikan nasional
yang telah diterapkan merupakan cermin dari orientasi pendidikan sesuai
dengan kebutuhan dan cita-cita bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, “yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
15
18
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta sara tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”.16
Sementara dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa:
pendidikan harus berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yans bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.17
Dari pemaparan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mutu
pendidikan yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional adalah
pendidikan yang dapat menghasilkan peserta didik yang memilki kapabilitas
sebagai berikut: beriman, bertakwa terhadap tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, berkepribadian, berbudi luhur, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif,
terampil, bertanggung jawab, produktif dan sehat jasmani dan rohani.
Selain itu mutu pendidikan juga harus bisa mewujudkan tujuan bersama
yakni mencerdaskan kehidupan manusia Indonesia. Karena mutu pendidikan
Indonesia sangat berpengaruh terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
sebagai modal pembangunan bangsa di masa yang akan datang.
4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan di Indonesia
Mutu pendidikan yang diupayakan melalui penerapan konsep MBS
sebagaimana telah diuraikan pada subunit 1 di atas, dapat diukur menggunakan
parameter yang berlaku secara nasional. Parameter yang dimaksudkan adalah
Standar Nasional Pendidikan dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
pendidikan, sebagai persyaratan minimum layanan pendidikan. Pada tingkat
sekolah, SPM pendidikan mencerminkan spesifikasi teknis layanan pendidikan
dan merupakan bagian standar nasional.
16
UU Sisdiknas, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), Cet IV, h. 4
17
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal menetapkan bahwa Standar Pelayanan
Minimal pendidikan adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
bidang pendidikan yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga secara minimal. Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah
prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan
besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil
dan/atau manfaat pelayanan pendidikan di sekolah. Sedangkan pengertian
pelayanan dasar adalah pelayanan pendidikan bagi siswa yang mutlak untuk
dipenuhi.
SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan
dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian.SPM
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan
keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil
daerah dalam bidang yang bersangkutan. Penyusunan rencana pencapaian SPM
dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan
berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM
oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan
dasar kepada masyarakat. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh : a).
Pemerintah untuk pemerintahan daerah Provinsi; dan b). Gubernur sebagai
representasi pemerintah di daerah untuk Kabupaten/Kota. Pemerintah wajib
mendukung pengembangan kapasitas pemerintahan daerah yang belum mampu
mencapai SPM. Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab
pengembangan kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten/ Kota yang belum
mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah.
Dukungan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dapat berupa
fasilitas, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis,
pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya. Berdasar hasil monev,
20
berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan, dan
memberikan sanksi kepada pemerintahan daerah yang tidak berhasil mencapai
SPM dengan baik.
Berdasarkan mekanisme pemenuhan SPM pendidikan seperti tersebut di
atas, pemerintah daerah Propinsi dan Kabupeten/Kota menyusun SPM
pendidikan sesuai dengan kapasitas daerahnya masing-masing. Acuan utama
yang digunakan untuk menyusun SPM pendidikan adalah Peraturan
Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Berkenaan dengan standar pendidikan, pemerintah menetapkan 8 (delapan)
standar pendidikan, yaitu: a). standar isi; b). standar proses; c). standar
kompetensi lulusan; d). standar pendidik dan tenaga kependidikan; e). standar
sarana dan prasarana; f). standar pengelolaan; g). standar pembiayaan; dan h).
standar penilaian pendidikan.
5. Kontribusi Peran Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan
Keberadaan Komite Sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi
masyarakat dalam mengingkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan
sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian
peran sesuai posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang harus dijalankan
Komite Sekolah adalah sebagai berikut:
a. Pemberi pertimbangan (advisor agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b. Pendukung (supporting) baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. c. Pengontrol (controling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan dewan Perwakilan rakyat daerah (legislatif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.18
18
Dari empat peran Komite Sekolah ini berarti lembaga ini mempunyai
tanggung jawab yang sama besarnya dengan komponen-komponen yang ada di
satuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu Komite Sekolah dituntut dapat
berjalan bersama dengan sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan
sebagaimana fungsi dan tujuan Komite Sekolah.
Peran komite sekolah sebagai mediator sekolah dengan masyarakat sangat
memungkinkan untuk mencari dan merangkul dunia industri atau dunia usaha,
bahkan tidak menuntup kemungkinan perseorangan atau individu sebagai
mitra. Pihak yang disebutkan tadi adalah sebagai mata rantai dalam
keberlangsung kehidupan sekolah, baik kini maupun yang akan datang.
Sekolah masa depan, sekolah berwawasan keunggulan, sekolah berwawasan
teknologi, merupakan cita-cita yang akan dicapai oleh suatu sekolah. Untuk
mencapai tersebut, tidak mungkin dilakukan oleh semata-mata aparat sekolah
yang ada, karena kemampuan personil sangat terbatas. Oleh sebab itu, perlu
kerja sama dan kemitraan dengan pihak-pihak lain, sehingga pengembangan
sekolah ke depan dapat dipikirkan secara bersama-sama. Sebab, pembangunan
pendidikan adalah tanggung jawab banyak pihak.
Program link and match merupakan salah satu tali pengikat dunia
pendidikan dengan dunia usaha. Melalui program ini terjalin kemitraan, dunia
pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja dan dunia industri sebagai penerima
tenaga kerja, dan tentunya melalui proses pendidikan. Tentunya tenaga kerja
yang dihasilkan melalui dunia pendidikan sejalan san sesuai dengan kebutuhan
dunia usaha.
Sedangkan menurut Dede Rosyada dalam bukunya menjelaskan beberapa
tugas Komite Sekolah antara lain:
a. Mengembangkan akses sekolah pada dana, sehingga sekolah mampu membangkitkan berbagai sumber dana potensial untuk mendukung proses pembelajaran siswa.
b. Mengembangkan budgeting sekolah dalam konteks pengembangan kemampuan pembiayaan untuk mendanai berbagai program sekolah. c. Memutuskan struktur anggaran sekolah.
d. berpartisipasi dalam pemilihan kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah. e. Ikut serta dalam curah pendapat tentang kurikulum dalam konteks
22
pada sekolah tentang kualifikasi kompetensi siswa yang akan dihasilkan sekolah.19
Sekolah yang memiliki visi dan misi serta strategi tentunya punya
perencanaan menjalin kemitraan dengan dunia usaha yang ada. Apalagi dengan
keberadaan komite sekolah sebagai mitra sekolah sudah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan. Keberadaan komite sekolah sebagai lembaga yang memiliki
legalitas dan bersama-sama dengan sekolah mencari peluang, bagaimana dapat
membesarkan dan menjadikan sekolah sebagai sesuatu kebutuhan mendasar
bagi stakeholder.
Adapun dalam kaitan itu maka komponen-komponen fokus kegiatan
pendidikan yang mengitari dan membantu terwujudnya kualitas pendidikan
menurut Sixtus Tanje sangat tergantung bagaimana para aktor pendidikan bisa
mengelola delapan kunci keberhasilan pendidikan, diantaranya:
a. Kesiswaan b. Kurikulum
c. Human Resources (SDM) d. Public Relation (kehumasan) e. Finance (keuangan)
f. Manajemen
g. Sarana & Prasarana h. Supervisi & Evaluasi.20
Apabila sekolah dapat mengelola dengan baik delapan kunci keberhasilan
ini, maka kualitas/mutu sekolah dengan sendirinya akan mengalami
peningkatan yang signifikan.
Hal ini tidak terlepas dari kerjasama antar komponen-komponen yang ada
di satuan pendidikan itu sendiri, salah satunya adalah peranserta masyarakat
yang tergabung dalam satu wadah yakni Komite Sekolah.
19
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I. hal. 276-277
20
B.Komite Sekolah
1. Pengertian Komite Sekolah
Berdasarkan Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003, disebutkan
bahwa komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra
sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.21
Nanang Fatah memberikan pengertian tentang komite sekolah dalam
bukunya, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, “Komite
sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non profit dan non politis,
dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokrasi oleh para stakeholder
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai
unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil
pendidikan”.22
Komite Sekolah merupakan penyempurnaan dan perluasan badan kemitraan
dan komunikasi antara sekolah dengan masyarakat. Sampai tahun 1994 mitra
sekolah hanya terbatas dengan orang tua peserta didik dalam wadah yang
disebut dengan POMG (Persatuan Orang Tua dan Guru), “Peran Komite
Sekolah secara legal mulai digulirkan sejak 2 April 2002 meski sesungguhnya
peran sejenis sudah berjalan dalam bentuk kemitraan antara guru dan orangtua
murid yakni melalui lembaga Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan
(BP3)”.23
Jadi dapat disimpulkan bahwa komite sekolah adalah badan atau lembaga
yang terdiri dari beberapa orang anggota yang dipilih secara musyawarah untuk
mewadahi peran serta masyarakat pada satu satuan pendidikan, dan
mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan.
21
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Thn 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 2003), Cet. I, h. 156
22
Nanang Fatah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Pendidikan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 118
23
24
2. Konsep Dasar Komite Sekolah
a. Nama dan Unsur-unsur
Ditinjau dari prespektif sejarah persekolahan pada tingkat SD, SLTP, dan
SMU/SMK di Indonesia, masyarakat sekolah khususnya orang tua siswa,
telah menerapkan sebagian fungsi dalam membantu penyelenggaraan
pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dachnel dalam bukunya,
bahwa “Sebelum tahun 1980 di Indonesia cukup banyak nama badan yang
bertujuan membantu atau menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pada
jenjang SD, SMTP dan SMTA adalah Persatuan Orang Tua Murid dan Guru
(POMG) yang kemudian berubah nama menjadi BP3 (Badan Pembantu
Penyelenggaraan Pendidikan)”.24
Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas
pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan
mutu, pemerataan dan efisiensi penyelenggaran pendidikan, dan tercapainya
demokrasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat
untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih dari sekedar lembaga
pengumpul dana pendidikan dan orang tua siswa.
Pada saat ini selain adanya BP3 dibentuk pula Komite Sekolah
(dibeberapa sekolah yang memperoleh program khusus), beranggotakan
kepala sekolah sebagai ketua dan salah seorang guru, ketua BP3, ketua
LKMI dan tokoh masyarakat sebagai anggota. Pembentukan komite
dimaksudkan untuk menangani pelaksanaan rehabilitasi bangunan sekolah
(SD dan MI), dan pembangunan unit sekolah baru (SLTP dan MTs)
sedangkan di SMK, selain terdapat BP3 dibentuk juga Majelis Sekolah yang
mempunyai peran menjembatani sekolah dengan industri dalam pelaksanaan
Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dan Bursa Kerja Khusus (BKK) yang
merupakan kerja sama sekolah dengan Depnaker dan pemasaran Jurusan.
24
Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang
dilandasi kesepakatan, komitmen kesadaran dan kesiapan membangun
budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan Masyarakat Sekolah
yang memiliki loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya
suatu sekolah merupakan bentuk atau wujud kebersamaan yang dibangun
melalui kesepakatan.
Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan seperti Komite Sekolah, Komite pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati.25
Dengan demikian, organ yang ada tersebut dapat memperluas fungsi,
peran dan keanggotaannya sesuai panduan ini atau melebur menjadi
organisasi baru yang bernama Komite Sekolah peleburan BP3 atau
bentuk-bentuk organisasi yang ada di sekolah, kewenangannya akan berkembang
sesuai dengan kebutuhan dalam wadah Komite Sekolah.
b. Kedudukan dan Sifat
1) Kedudukan
Komite Sekolah bekedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah
maupun luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis
dan jalur pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yang amat beragam,
ada sekolah negeri dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan
penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, maka Komite Sekolah dapat
dibentuk dengan alternatif sebagai berikut:
Pertama. Komite Sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan. Kedua. Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis. Ketiga. Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikan dan terletak di dalam satu kompleks atau
25
26
kawasan yang berdekatan. Keempat. Komite Sekolah yang dibentuk dengan pertimbangan lain.26
2) Sifat
Komite Sekolah merupakan badan yang besifat mandiri, tidak
mempunyai hubungan hirarkis dengan sekolah maupun lembaga
pemerintahan lainnya. Komite Sekolah dan sekolah memiliki
kemandirian masing-masing, tetapi tetap sebagai mitra yang harus saling
bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
c. Tujuan
Dibentuknya Komite Sekolah dimaksudkan agar adanya strata organisasi
masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta
kepedulian terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite Sekolah yang
dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar budaya, demokratis,
ekologis nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi
masyarakat setempat. Oleh karena itu, Komite Sekolah yang dibangun harus
merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif.
Artinya Komite Sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada
pengguna (client model) berbagai kewenangan (power sharing and
advocacy model) dan kemitraan (partnership model) yang berfokuskan pada
peningkatan mutu pelayanan pendidikan di daerah.
Adapun tujuan dibentuknya Komite Sekolah sebagai suatu organisasi
masyarakat sekolah adalah sebagai berikut:
1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan si satuan pendidikan.
2) Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan da satuan pendidikan. 3) Meningkatkan suasana dan kondisi transparan akuntabel, dan demokratis
dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.27
d. Fungsi
26
Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah; Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi Daerah, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), Cet. I, h. 62
27
Untuk menjalankan tugasnya, komite sekolah memiliki fungsi sebagai
berikut:
1) Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2) Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri), dan pemerintahan berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3) Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntunan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
4) Memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
a) Kebijakan dan program pendididkan
b) Rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS) c) Kriteria kinerja satuan pendidikan
d) Kriteria fasilitas pendidikan
5) Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. 6) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kibijakan, program,
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di suatu pendidikan.28
Komite Sekolah sesuai dengan fungsinya, melakukan akuntabilitas
sebagai berikut:
1) Komite Sekolah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program
sekolah kepada stakeholder secara periode, baik yang berupa
keberhasilan maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran
program sekolah.
2) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bantuan masyarakat,
baik berupa materi (dana, barang tak bergerak maupun bergerak),
maupun non materi (tenaga, pikiran) kepada masyarakat dan
pemerintahan setempat.
e. Keanggotaan Komite Sekolah
Komite Sekolah setidaknya memiliki beberapa unsur keanggotaan
sebagai berikut:
1) Unsur Masyarakat: Orangtua/wali peserta didik, tokoh masyarakat,tokoh pendidikan, DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri), organisasi profesi tenaga kependidikan, wakil alumni, wakil peserta didik.
28
28
2) Unsur dewan guru, yayasan penyelenggara pendidikan, badan pertimbangan desa dapat dilibatkan sebagai anggota komite sekolah maksimal 3 (tiga) orang
3) Jumlah anggota minimal 9 (sembilan) orang dan gasal
4) Syarat-syarat, hak dan kewajiban, serta masa bakti keanggotaan ditetapkan di dalam AD/ART.29
f. Prinsip Pembentukan Komite Sekolah
Prinsip-prinsip pembentukan komite sekolah antara lain:
1) Transparan (terbuka)
2) Akuntabel (dipertanggungjawabkan kepada masyarakat)
3) Demokratis (dipilih dari dan oleh masyarakat pendidikan)
4) Merupakan mitra satuan pendidikan.30
3. Pemberdayaan Komite Sekolah
Berdasarkan UU No. 25 tahun 2002 tentang program nasional (propenas)
2002-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta
masyarakat perlu dibentuknya Dewan Pendidikan ditingkat kabupaten atau
kota, dan Komite Sekolah ditingkat satua pendidikan. Amanat rakyat ini
sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik ditingkat kabupaten
maupun ditingkat sekolah. Amanat rakyat dalam UU tersebut telah ditindak
lanjut dengan keputusan menteri pendidikan nasional nomor 044/U/2002
tanggal 2 April 2002 tentang dewan pendidikan dan komite sekolah. Dalam
kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa, peran yang harus diemban oleh
dewan pendidikan dan komite sekolah adalah:
a. Advisory Agency (pemberi pertimbangan)
b. Supporting Agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan)
c. Mediator atau pengumpul atau pengait tali komunikasi antara masyarakat
dan pemerintahan.
Peran serta masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan berarti pula
pemberdayaan masyarakat itu sendiri ikut serta dalam menentukan arah dan isi pendidikan. “Dalam kaitan ini gerakan desentralisasi pendidikan yang sesuai
29
Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah,…, h. 63-64 30
dengan UU No. 25 tahun 2002 berarti mengikutsertakan masyarakat didalam
menentukan akuntabilitas pendidikannya”.31
Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah
harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan masyarakat,
menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan
warga sekolah, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam
nuansa keberhasilan, dalam hal ini merupakan aplikasi dan prinsip-prinsip yang
disebut dengan Total Quality Management, melalui suatu mekanisme yang
menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada
satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan
pengembangan masyarakat.
Pada dasarnya pemberdayaan terjadi melalui beberapa tahap, antara lain:
masyarakat mengembangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka dapat
melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh
seperangkat keterampilan agar mampu bekerja lebih baik. Kemudian mereka
akan mengalami pengurangan perasaan ketidakmampuan dan mengalami
peningkatan kepercayaan diri. Kemudian seiring dengan tumbuhnya
kepercayaan diri, masyarakat bekerjasama untuk berlatih lebih banyak
mengambil keputusan dan memilih sumber-sumber daya yang akan berdampak
pada kesejahteraan mereka.
Pemahaman tentang memberdayakan masyarakat ini adalah dengan
memberikan pendidikan praktis, latihan kepemimpinan dan akses ke
sumber-sumber daya dan dilaksanakan oleh dan dengan masyarakat.
Pentingnya ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat adalah
merupakan alat untuk mengubah citra masyarakat awam terhadap pengertian
salah tentang kebijakan sekolah dan para petugas, kemudian dapat memberikan
informasi tentang program dan kebijakan sekolah serta menghilangkan atau
mengurangi kritik-kritik tajam atau negatif terhadap sekolah.
31
30
C.Kerangka Berpikir
Partisipasi yang belaku pada masyarakat kita masih belum diartikan secara
universal. Para perencana pembangunan mengartikan partisipasi sebagai
dukungan terhadap rencana atau proyek pembangunan yang direncanakan dan
ditentukan oleh pemerintah. Ukuran partisipasi masyarakat diukir oleh berapa
besar sumbangan yang diberikan masyarakat untuk menanggung biaya
pemerintah, baik berupa uang maupun barang yang diberikan kepada pemerintah.
Partisipasi yang berlaku secara universal adalah kerjasama yang erat antara
perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan
mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berarti pula
memberdayakan masyarakat itu sendiri di dalam keikutsertaan dalam menentukan
arah dan isi pendidikannya. Di dalam kaitannya, gerakan desentralisasi pendidikan
yang sesuai dengan UU No. 25 tahun 2002, berarti mengikutsertakan masyarakat
di dalam menentukan akuntabilitas pendidikannya.
Sebagai konsekuensi perluasan makna partisipasi masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, maka perlu
dibentuk suatu wadah untuk menampung dan menyalurkannya yang diberi nama
komite sekolah. Komite Sekolah merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan
musyawarah oleh para stakeholder pendidikan di tingkat sekolah yang
bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Berdirinya sebuah lembaga pendidikan tergantung dari dinamisasi masyarakat
dan sebaliknya, perkembangan masyarakat juga dipengaruhi oleh kian
berkembangnya ilmu pengetahuan yang sebagiannya disampaikan melalui
pendidikan untuk menjaga kestabilannya, dibutuhkan kerja sama yang baik antara
sekolah dan masyarakat yang dapat mengawasi dan membantu segala sesuatu
yang berkaitan dengan kegiatan kependidikan.
Untuk mengingkatkan mutu layanan pendidikan melalui program komite
sekolah, dibutuhkan kerja sama antara sekolah dan masyarakat. Semua ini
dilakukan dalam upaya peningkatn mutu lembaga pendidikan dan mutu layanan
simpulkan bahwa: apabila semakin besar kontribusi peran komite sekolah maka
akan semakin besar peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah tersebut.
Namun sebaliknya apabila semakin rendah kontribusi peran komite sekolah maka
akan semakin rendah peningkatan mutu layanan pendidikan di satuan pendidikan
itu sendiri.
D.Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
Ho :Tidak terdapat hubungan positif antara Peran Komite Sekolah dengan
Peningkatan Mutu Layanan Pendidikan.
Ha :Terdapat hubungan positif antara Peran Komite Sekolah dengan
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian yang akan diteliti adalah SMKN 1 Depok yang
beralamatkan: Jl. Bhakti Suci Tapos RT 01/01 Kelurahan Cimpaeun Kecamatan
Tapos Kota Depok.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini terhitung dari
awal bulan Maret sampai dengan April 2011.
B.Variabel Penelitian
”Variabel adalah obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian”.1
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang dijadikan sebagai
acuan dalam pengamatan, guna memperoleh data dan kesimpulan empiris
mengenai peran Komite Sekolah terhadap mutu layanan pendidikan. Variabelnya
antara lain yaitu:
1