PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN
SUATU STUDY TERHADAP PERSEPSI KARYAWATI
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN JAKARTA
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: AGUSTINA 204044103069
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “ PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN SUATU
STUDY TERHADAP PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM UIN JAKARTA” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syrarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Desember
2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Prodi Peradilan Agama.
Jakarta 09 Desember 2008
Mengesahkan,
DekanFakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR.H.M.Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP.150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM
(...)
Nip. 150 210 422
Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA
(...)
Nip. 150 269 678
Pembimbing I : Dr. Isnawati Rais
(...)
Nip. 150 222 135
Pembimbing II : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag
(...)
Penguji I : H. Zubaer Laeni, SH
(...)
Nip. 150 094 301
Penguji II : Drs. H. Mas’udi
(...)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian puji dan
syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayat-Nya yang senantiasa
berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta
ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa
penulis haturkan kepada Revolesioner Besar junjungan Nabi Muhammad SAW, yang
senantiasa membawa cahaya dan rahmat bagi seru sekalian alam.
Kini tiba saat dinanti-nantikan, sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan
perjuangan, walau dengan yang tertatih-tatih dan melelahkan akhirnya penulis
mampu menyelesaikan studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan
hambatan yang dihadapi, serta saat ini juga masih jauh dari kesempurnaan dalam hal
ini tidak terlepas dari sifat manusia yaitu tempatnya salah dan lupa.
Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapkan ribuan terima kasih tiada tara
dan tiada terhingga atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis,
yaitu kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M. selaku dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu
Dekan I, II, dan III yang telah membimbing dan memberikan ilmu serta waktunya
2. Bapak Drs. A. Basik Djalil, SH. MA., dan Bapak Kamarusdiana S. Ag, MH.
Selaku Ketua, dan Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak
memberikan motivasi kepada penulis.
3. Ibu Dr. Isnawati Rais, dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
petunjuk, dan pengarahan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif HIdayatullah
Jakarta, serta kepada karyawan dan Staf Perpustakaan yang telah memfasilitasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
5. Kepada Ibunda tercinta Samsiar dan Bapak Rahmad. A. yang tersayang “Terima
Kasih atas cinta dan kasih sayangnya dan segala bimbingan baik moril maupun
materil”
6. Kepada Kakak-Kakakku Usandi Rahman dan Usanto Handroyoko terima kasih
yang selalu memberikan dorongan dan semangat dalam hidup.
7. Kepada “A...D” Mohammad Dodo Ridho yang telah memberi semangat dan
nasihat-nasihat yang tak henti-hentinya dan memberikan cinta dan kasih
sayangnya sehingga penulis tak bosan untuk menyusun skripsi ini.
8. Untuk Sahabat-sahabatku (Santi, Meri, Heli, Uma, dan masih banyak lagi) terima
kasih atas do’a dan masukannya kalian semua teman terbaik. Semoga kita selalu
9. Rekan-rekan SAS Non-Regular angkatan 2004, semoga kalian semua selalu
dalam kesuksesan. Buat yang belum lulus cepat dong, kita semua mendukung
usaha kalian.
10. Untuk ade-adeku (Nita, Warsi, Yeni, Iwas,) terima kasih sudah memberi
semangat dan dorongan terhadap penulis
Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung, hingga terselesaikan skripsi ini, hanya ucapkan terima kasih yang penulis
haturkan. Semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah
SWT. Dan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda (Amin). Maka akhirnya
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, bagi penulis khususnya pembaca
umum.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 9 Desember 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8
C. Tujuan Penulisan 9
D. Tunjauan Pustaka 9
E. Metode Penulisan 10
F. Sistematika Penulisan 12
BAB II TINJAUAN TENTANG PERCERAIAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Perceraian 14
B. Bentuk Perceraian 20
C. Akibat Perceraian 30
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IMPOTENSI DALAM
KEUTUHAN RUMAH TANGGA
A. Pengertian dan Sebab Impotensi 34
B. Suami Impoten dan Hubungannya Terhadap Keutuhan
C. Pandangan Islam Tentang Suami Impoten Terhadap Keutuhan
Rumah Tangga 49
BAB IV PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN JAKARTA TENTANG PERCERAIAN AKIBAT
SUAMI IMPOTEN
A. Profil
Karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta 55
B. Persepsi
Karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Tentang Perceraian Akibat Suami Impoten 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpu
lan 76
B.
Saran-Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu perkawinan dimaksudkan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam
rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang
masa. Setiap pasangan suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir dan bathin
yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh sepanjang hayat masih
dikandung badan.
Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara
kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang
mudah dilaksanakan, bahkan mampu dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan
yang harmonis antara suami istri itu tidak diwujudkan. Faktor- faktor psikologis,
biologis, ekonomis, dan menjadi kendala perbedaan kecendrungan, pandangan hidup
dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat
Dalam mengatur dan memelihara kehidupan bersama antara suami istri,
syariat Islam tidak berhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal balik antara
keduanya dan memaksakan keduanya hidup bersama terus menerus tanpa
memperdulikan kondisi obyektif yang ada dan timbul dalam kehidupan bersama.
Namun lebih dari itu syariat Islam mengakui realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan
yang mungkin berubah dan silih berganti.
Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antar suami istri,
timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecendrungan hati dan
masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah
suasana harmonis menjadi percecokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang
menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan
diselesaikan.
Pada dasarnya suami istri wajib bergaul dengan sebaik-baiknya, suami wajib
bersikap sabar jika melihat suatu yang disenangi atau tidak disenangi pada istrinya,
demikian pula sebaliknya.
Firman Allah menjelaskan:
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. An Nisa’:19).1
1
Langgengnya hubungan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan oleh suami dan istri. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan
seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat
mewujudkan rumah tangga sebagai tempat belindung, menikmati naungan kasih
sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik.
Karena itu, maka dikatakan bahwa “ikatan perkawinan antara suami istri” adalah
ikatan yang paling suci dan juga paling kokoh. Jika ikatan perkawinan suami istri itu
demikian kokoh kuatnya, maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan. Setiap
usaha untuk menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya adalah
dibenci Islam.
Sebaiknya menjadi perhatian bahwa tidak semua orang dapat mengatur rumah
tangga dan tidak semua orang dapat diserahi kepercayaan mutlak, sebagai teman
karib yang akan saling membela untuk selama-lamanya. Maka sebelum kita
mengutarakan maksud yang terkandung di hati untuk menikahi seorang wanita
sebaiknya kita selidiki dahulu apakah wanita tersebut baik untuk menjadi istri kelak.
Nabi SAW telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu:
1. Yang beragama;
Firman Allah menjelaskan:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Al-Hujarat:13)
2. Keturunan orang yang subur;
Firman Allah menjelaskan:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu” (Qs. An-Nisa: 1).
3. Yang masih perawan atau yang masih sendiri;
Firman Allah menjelaskan:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs. An-nur: 32).
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai
matinya salah satu seorang suami atau istri. Inilah sebenarnya yang dikendaki agama
Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya
perkawinan itu. Dalam arti bila hubungan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan
terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah
terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Dalam keadaan seperti ini putusnya
perkawinan mungkin adalah jalan keluar yang baik.
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri.
Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa
sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4
kemungkinan yaitu:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang
suami ataupun istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula
hubungan perkawinan.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh karena alasan tertentu dan
dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini disebuttalak.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang
mengharuskan putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk
suami dengan membayar uang ganti rugi dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk
memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebutkhulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat
adanya sesuatu pada suami dan si istri yang menandakan tidak dapatnya
hubungan perkawinan yang dilanjutkan. Putusnya perkawinan bentuk ini disebut
fasakh.
Di samping itu terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri
yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan
hubungan perkawinan itu secara hukum syara’. Terhentinya hubungan perkawinan
dalam hal ini ada 3 bentuk yaitu:
a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia (suami) telah menyamakan
istrinya dengan ibunya. Ia (suami) dapat meneruskan hubungan suami istri bila si
suami telah membayar kafarah. Terhentinya hubungan perkawinan perkawinan
dalam bentuk ini disebutzhihar.
b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia (suami) telah bersumpah untuk
tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia (suami)
membayar kafarah atas sumpahnya itu, namun perkawinan tetap utuh.
Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebutila’.
c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia (suami) telah menyatakan sumpah
atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai selesai
prosesli’andan perceraian di muka hakim. Terhenti perkawinan dalam bentuk ini
Salah satu yang menyebabkan perceraian pekawinan adalah gangguan seksual yang
sangat merisaukan dalam kehidupan rumah tangga yaitu suami impoten. Tak sedikit
rumah tangga yang goyah bahkan hancur akibat suami menderita impoten. Sebab tak
bisa dipungkiri bahwa suami impoten adalah salah satu penyebab
ketidakharmonisannya rumah tangga, bahkan kemampuan seksual suami memegang
peranan penting dalam usaha menciptakan kebahagiaan hidup berumah tangga.
Impoten adalah cacat seksual yang mengakibatkan seorang suami tidak
mempunyai potensi untuk melakukan hubungan seksual. Suami tidak bisa
membangkitkan dan mempertahankan ereksi penisnya dengan baik sehingga tidak
melakukan penetrasi. Padahal salah satu tujuan perkawinan adalah agar suami isteri
menyalurkan hasrat seksualnya secara sah. Oleh karena itu, Islam menggariskan
bahwa suami isteri boleh membatalkan perkawinannya atau isteri boleh minta cerai
kepada suaminya jika ternyata suaminya impoten.2
Untuk lebih jelasnya ’Abburahman Al-Jaziri lebih memperinci lagi maksud impoten itu yaitu: ”Yang dimaksud impoten ialah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan istrinya pada kemaluannya, walaupun sudah bangun kemaluannya waktu mendekati istrinya, sekalipun ia sanggup bersetubuh dengan wanita lain (juga disebut impoten) orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan (juga disebut impoten) orang yang sanggup dengan istri pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaannya seperti yang tersebut di atas dinamakan impoten untuk mensetubuhi istrinya”.3
2
Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda Surabaya, 1997), h. 105
3
Potensi seksual laki-laki tergantung pada banyak faktor, seperti kekuatan
libidonya, daya ereksi, dan kemampuan mempertahankan ereksi selama waktu
tertentu. Apabila ketiga faktor tersebut atau salah satunya tidak dimiliki oleh suami,
maka ia tidak akan mampu melakukan kontak seksual sebagaimana mestinya. Untuk
itu kita harus mengerti tentang penyebab faktor mengapa suami bisa tidak bisa
memberikan keturunan, jangan asal menceraikan saja tanpa tahu penyebabnya.
Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian di atas
menurut bahasa adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut
istilah Syara’ adalah orang yang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan istrinya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun
skripsi yang berjudul ”PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN SUATU
STUDY PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN
JAKARTA”.
B. Pembatasan masalah dan Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan judul di atas, perlu dibatasi masalah yang akan
diteliti, sehingga dalam pembahasan permasalahan tidak keluar dari sasaran yang
hendak diteliti. Studi ini hanya meneliti tentang apakah Impotensi dapat dijadikan
sebagai alasan untuk perceraian.
Setelah mengetahui batasan masalah, maka untuk menghindari terjadinya
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang perceraian yang disebabkan oleh
suami Impoten
2. Bagaimana persepsi karyawati UIN Jakarta tentang perceraian yang
disebabkan oleh suami impoten khususnya karyawati Syariah dan Hukum
UIN Jakarta
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penulisan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam tentang perceraian yang
disebabkan suami impoten
2. Untuk mengetahui persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukun UIN
Jakarta tentang perceraian yang disebabkaan oleh suami impoeten.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan,
seperti yang dilakukan oleh saudara Gufron Tamim SHI, dalam karya skripsinya yang
berjudul ”Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Impotensi Sebagai
Alasan Percereraian”.
Namun disini penulis meninjau sisi yang lain, tidak sedikit para mahasiswa di
oleh impoten. Maka penulis disini ingin mencoba mengetahui tentang Perceraian
yang diakibatkan oleh suami impoten dan menanyakan kepada karyawati UIN
Syariah dan Hukum yang sudah berumah tangga tentang pendapat di atas, karena
fenomena ini sering terjadi kepada pasangan suami istri dan terkadang ada pasangan
yang mengalaminya (salah satu dari pasangan mengalami impotensi)
Dalam skripsi ini penulis ingin mencoba mengetahui apakah yang akan wanita
lakukan apabila pasangan mereka (suami) mengalami impotensi, karena saudara
Gofron Tamim SHI dengan judulnya” Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif
Terhadap Impotensi Sebagai Alasan Perceraian” tidak menjelaskan apa yang akan
dilakukaan oleh istri bila suami impoten. Apakah si isteri akan langsung mengggugat
suami untuk bercerai atau akan mencari jalan keluar agar tidak terjadi perceraian
seperti:
1. Mengadopsi anak,
2. Intropeksi diri atau memberikan waktu kepada suami untuk membuktikan
bahwa si suami bisa memberikan keturunan kepada isterinya.
3. Dan berobat ke dokter.
E. Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh data yang fakta yang akan menjelaskan permasalahan
dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang
merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan
bahwa metode penelitian deskriptif adalah memaparkan secara utuh terhadap obyek
melalui penelitian lapangan (Field Research) untuk memperoleh data dan informasi
yang akurat maka penulis melakukan penelitian langsung ke Karyawati UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum sebagai obyek penelitian untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam skripsi ini.
Cara ini ditempuh dengan tehnik pengumpulan data yaitu:
a. Studi Dokumentasi, yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan, arsip
dan lain-lain. Studi dokumentasi ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan erat dengan aspek-aspek permasalahan,
mengambil data, meneliti dan mengkaji literatur atau buku-buku rujukan
tentang perkawinan dan perceraian, maupun sumber-sumber lain yang
menunjang serta mempermudah penelitian ini. Dalam hal ini studi
dokumentasi yang dilakukan adalah studi dokumentasi pada perceraian akibat
suami impotensi suatu studi terhadap persepsi karyawati Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta.
b. Observasi, yaitu cara mengumpulkan data dengan pengamatan yang dilakukan
dengan sengaja dan sistematis dengan gejala-gejala yang timbul dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicatat.
c. Angket, yaitu data yang diperoleh dari penyebaran angket kepada Karyawati
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang perceraian pasangan impoten kepada
karyawati yang sudan menikah dan berpengalaman dalam rumah tangga.
e. Sampel, yaitu bagian dari populasi yang diambil dari cara-cara tertentu. Pada
penelitian ini penulis menggunakan tehnik penarikan sampel Random, yaitu
penarikan secara acak berdasarkan pada jenis kelamin, dan penulis
menggunakan rumus sebagai berikut:
P = x100%
F N
P = Angka Persentase
F = Frekuensi yang sedang dicari
N = Number Of Cases (jumlah frekuensi/ individu)
100 = Bilangan Tetap
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis mencoba membagi sistemtika penulisan skripsi
kedalam lima bab, masing-masing terdiri dari beberapa sub-sub yaitu sebagai berikut:
BAB I
Menjelaskan tentang pendahuluan diantaranya: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II
Menjelaskan tentang tinjauan umum tentang perceraian dalam Islam
BAB III
Menjelaskan tentang diantaranya adalah: pengertian dan sebab-sebab impoten
, suami impoten dan hubungannya terhadap keutuhan rumah tangga, dan pandangan
Islam tentang impoten dalam keutuhan rumah tangga.
BAB IV
Menjelaskan tentang persepsi karyawati UIN Jakarta tentang perceraian akibat
impoten dan analisa penulis diantaranya adalah: profil karyawati jurusan Syariah dan
Hukum UIN Jakarta, persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
tentang perceraian yang diakibatkan oleh suami impoten.
BAB V
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DALAM ISLAM
A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PERCERAIAN
Perceraian berasal dari kata ”cerai” yang berarti pisah atau putus hubungan
suami istri.4 Putusnya perkawinan adalah istilah yang hukum yang digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan ”perceraian” atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang suami istri.5 Sedangkan menurut bahasa
perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan antara suami istri.6
Hal-hal yang menyebabkan sering terjadinya perceraian karena perselisihan
antara suami dan istri dan menimbulkan permusuhan, menanamkan bibit kebencian
antara keduanya atau terhadap kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain untuk
memperbaiki rumah tangga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri
untuk memperbaiki rumah tangganya, maka dengan keadilan Allah Swt.
dibukakan-Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran dan perselisihan itu yakni pintu
perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan perceraian itu terjadilah ketertiban
dan ketentraman antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri, dan supaya
masing-masing pihak antara suami dan istri dapat mencari pasangan yang cocok dan dapat
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet, 2, h. 168
5
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet, 1, h. 190
6Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,
mencapai apa yang dicita-citakan sehingga bisa terbentuklah keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah.7
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menjelaskan bahwa perceraian
dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak (suami atau istri) berbuat zina atau menjadi pemabuk.
Penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,
2. Salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan pihak lain selama 2
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain (suami atau istri) tanpa alasan
yang sah atau karena lain diluar kemampuan,
3. Salah satu pihak (suami atau istri) mendapat hukuman penjara selama 5
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,
4. Salah satu pihak (suami atau istri) melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,
5. Salah satu pihak (suami atau istri) mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
ataupun istri,
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan lagi akan hidup rukun dalam rumah tangga,
7. Suami melanggar taklik talak,
8. Peralihan agama atau murtad disalah satu pihak (suami atau istri) yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.8
7
Hal-hal yang sering menjadi penyebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang
suami dan seorang istri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan, menurut
Undang-Undang no.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 38 dinyatakan ada tiga
sebab yaitu:
a. Karena kematian,
b. Perceraian,
c. dan Atas Keputusan Pengadilan.9
Ketiga macam sebab ini, bahwa perceraian itu ada yang merupakan hak dari pihak
suami, ada pula yang merupakan pihak istri, dan ada pula yang di luar hak mereka
(suami istri) yakni karena kematian dan sebab atas keputusan pengadilan. Oleh
karena itu berikut ini akan dikemukakan mengikuti kategori yang telah dijelaskan di
atas yaitu:
a. Sebab Yang Merupakan Hak Suami.
Ikatan perkawinan yang dibangun oleh pihak-pihak dengan dasar sukarela
dalam arti bebas dari paksaan pihak luar, termasuk pihak seperti wali, orang tua
ataupun penguasa. Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu bila ikatan tidak bisa
dipertahankan, Islam memperbolehkan untuk memutus ikatannya atas dasar kemauan
dari pihak masing-masing. Suami diberi hak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan
hukum yang akan menjadi sebab pemutusan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut
disebut talak. Mengenai perbuatan hukum ini yaitu apabila seorang suami
8
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: 2001), h. 56
9
melontarkan ucapan kepada istrinya dengan salah satu kata: talaqa, saraha, faraqa,
atau semakna dengan itu. Bahkan bisa menggunakan kata semakna dengan itu
misalnya ”pulanglah kamu” yang disertai dengan niat dalam hati bahwa kata itu
maksudnya adalah untuk pemutusan ikatan perkawinan suami istri tersebut.
Penjelasan di atas jelas bahwa talak adalah sebagai perbuatan hukum yang
gampang menimbulkan putusnya ikatan perkawinan, sehingga hak yang diletakkan
pada pihak suami membutuhkan sifat kehati-hatian dalam arti suami tidak mudah
melontarkan kata dan niatannya. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat Al-baqarah ayat
227 yaitu:
”Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-baqarah: 227).
Haktalakini dapat digunakan untuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang
di hadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah
tangga. Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan rasa
cinta kasih antara dua pihak yaitu suami dan istri, sehingga apabila rasa cinta menjadi
tidak ada di antara mereka dan sulit dipulihkan namun yang ada hanya saling benci
membenci maka terbukalah pintu yang memberi haktalakini kepada suami.
Mengikuti ketentuan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maka
penggunaan hak talak oleh suami hanya boleh diperkenankan apabila mempunyai
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan,
2. Salah satu pihak suami ataupun istri meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya,
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinann berlangsung,
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain,
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang suami atau istri,
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan persengketaan
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dari alasan-alasan yang ditentukan pasal 19 ini dipahami bahwa ikatan nikah yang
idealnya kekal abadi diberi peluang terputusnya dengan perceraian adalah dengan
talakdari suami.10
b. Sebab Yang Merupakan Hak Istri
Istri diberi hak untuk melakukan sutu perbuatan hukum yang akan menjadi
sebab putusnya ikatan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut namanya adalah
khul’un, yang dapat dicontohkan sebagai berikut: pihak istri meminta agar pihak
suami bersedia memutus ikatan perkawinan dan suami bersedia menceraikan si istri,
10
dan pihak istri menyediakan sejumlah pembayaran yang besarnya disetujui oleh pihak
suami (yang lazim paling besar yaitu tidak melebihi mahar). Unsur pokok yang
menentukan bentuk perbuatan hukum ini adalah adanya kesediaan pihak istri
membayar sejumlah harta kepada pihak suami bayaran ini disebutiwadh.
Putusnya ikatan perkawinan dalam Undang-Undang Dasar no.1 Tahun 1974
dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 disebut dengan kata perceraian,
sehingga sama dengan penggunaan hak talak oleh suami atau penggunaan hakkhulu’
oleh istri dan hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan seperti yang telah
disebutkan di atas dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tersebut.11
c. Sebab Atas Keputusan Pengadilan
Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada di luar
pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan
perkawinan ini pengadilan tidak bisa melakukan insiatif. Keterlibatannya ini terjadi
apabila salah satu pihak baik pihak suami ataupun pihak istri, mengajukan gugatan
atau permohonan cerai kepada pengadilan. Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan
menentukan bahwa mereka yaitu suami istri yang berhak mengajukan ke pangadilan
untuk membatalkan perkawinan, selain suami ataupun istri yang mengajukan
permohonan untuk membatalkan perkawinan yaitu keluarga begaris keturunan suami
ataupun suami, dan pejabat yang berwenang.
Beberapa bentuk perceraian yang terdapat dalam literatur fiqh di antaranya
adalah:
11
1. Terabaikannya pemberian nafkah suami kepada istri,
2. Istri ditinggal pergi,
3. Salah satu pihak dihukum penjara,
4. Pemukulan jasmaniah atau pemaksaan untuk berbuat dosa dan sebagainya.12
B. BENTUK PERCERAIAN
Di dalam perceraian terdapat beberapa bentuk dan alasan-alasan yang
menyebabkan terjadinya perceraian di antaranya adalah:
1. Talak
Di dalam Al-qur’an terdapat kata faraqa yang disebutkan sebagai kata yang
semakna dengantalakdi antaranya dalam surat al-Ahzab ayat 49 yaitu:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.(Qs. Al-Ahzab:49).
Kandungan ayat ini mempunyai kandungan kepada laki-laki untuk melepas
dan membiarkan istrinya dalam keadaan dijatuhi talak. Jadi di dalam ayat di atas
12
mengatur tentang melepas ikatan perkawinan dan menentukan caranya dengan
sebaik-baiknya.
Talak yang di sunnahkan yaitu jika istri berahlak rusak, sedangkan suami
tidak ada kemampuan memperbaiki sama sekali seperti rusak karena berzina, tidak
mau shalat, atau melanggar larangan-larangan agama lainnya. Talak sebagai
perbuatan hukum membutuhkan beberapa ketentuan, di antaranya ialah:
a. Menggunakan ungkapan tertentu, misalnya ia harus menggunakan kata baik
memakai talak dan terjemahannya tegas ataupun memakai kata yang memakai
kata sindiran, dan ungkapan itu dikemukakan ketika ada ikatan perkawinan yang
sah.
b. Subyek hukum pelaku dalam kondisi tertentu, misalnya ia (suami) harus berakal,
dewasa dan dalam kondisi bisa berkemauan sendiri. Dikatakan berakal bilamana
ia (suami) tidak gila, tidak sakit yang mengganggu ingatan misalnya sakit saraf,
dan lain-lain, dan dikatakan dewasa artinya bukan kanak-kanak yang menurut
Hanafiyah batasannya mulai mumayyiz, yaitu sekitar umur 10 tahun. Demikian
pula pelaku talaqa harus dalam kondisi berkemauan sendiri, terbebas dari tekanan
atau paksaan.
c. Memperhatikan kodisi yang dijatuhi talak, yaitu sebelum menjatuhkan talak,
Karena Abullah bin ’Umar berpendapat yang menjatuhkan talak dalam keadaan
istri sedang haid diperintahkan untuk merujuk.13
Disini akan dijelaskan alasan-alasan terjaditalakyaitu sebagai berikut:
1. Talak karena alasan nafkah, jika istri menuntut ke pengadilan dengan alasan
suami tidak memberi nafkah kepada istri maka diperbolehkan, alasan boleh ini
terdapat dalam firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 1 yaitu:”Bii Ma’ruf”
Sudah tidak diragukan lagi bahwa tidak memberi nafkah berarti bertentangan
dengan perintah Allah”peliharalah dengan baik”.14
2. Talak karena membahayakan istri, istri berhak menuntut ke pengadilan agar
menjatuhkan talak karena ia (istri) beranggapan suaminya telah membuat
membahayakan dirinya, sehingga ia (istri) tidak sanggup lagi untuk
melangsungkan pergaulan suami istri seperti: karena suami suka memukul
atau menyakiti dengan cara apa pun yang tidak dapat ia (istri) tanggung lagi.15
3. Talak karena kepergian suami, dapat dijatuhkan talak karena suami
meninggalkan pergi istri. Hal ini guna melepaskan istri daripada kesusahan
yang dideritanya, karena si istri khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam
perbuatan yang di haramkan Allah maka ia (istri) berhak untuk menuntuttalak
kepada suaminya.16
13
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Pernikahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 133
14
Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah 8, (Bandung: Al-ma’rif bandung, 1980), h. 87
15
Ibid, 91
16
2. Khulu’(Pelepasan)
Di dalam Al-Qur’an ikatan perkawinan digambarkan sebagai pakaian. Oleh
karena itu pemutusan perkawinan antara suami dan istri ada yang dinamakan khulu’
pelepasan, seolah-olah melepaskan pakaian. Secara khusus bila perceraian dilakukan
oleh suami disebuttalak, namun bila perceraian dilakukan oleh istri disebutkhulu’.
Tidak berbeda dengantalak,khulu’hukumnya pun bisa berubah menjadijaiz,
sunnah, wajib, atau haram mngikuti hubungan suami istri itu sendiri. Adapun
mengenai hukum bagi suami untuk menerima iwadh baik yang ditawarkan oleh istri
atau karena permintaan suami sendiri disebutjaiz. Ketentuan ini tampak adil kembali
kepada dibangunnya akad yang diikuti dengan suami membayar maskawin, suami
membayar nafkah, kemudian tiba-tiba ada semacam pengingkaran pihak istri.Iwadh
ini merupakan ciri khas khulu’. Artinya bila suami tidak mengaitkan pemutusan
ikatan perkawinan yaitu cerai dengan adanya iwadh sama sekali tidak cerai itu
termasuk talak. Mengenai jumlah harga iwadh memakai ukuran harga maskawin
yang dibayarkan saat akad nikahnya. Hal ini diartikan tidak boleh kurang dari jumlah
harga maskawin tanpa disetujui pihak suami, dan tidak boleh tanpa istri
menyetujuinya.
Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: ”Perceraian dengan jalankhulu’
akibat hukum khulu’ adalah sama dengan talaq ba’in sugra yang artinya untuk
kembali membangun rumah tangga harus melalui akad nikah yang baru.17
Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan perceraian tapi membencinya,
kecuali untuk kepentingan suami istri atau untuk kepentingan keturunannya. Dalam
masalah ini ada dua hal yang merupakan sebab terjadinya perceraian yaitu:
1. Kemandulan. Kalau seorang laki-laki mandul maka ia (suami) tidak akan
mempunyai anak padahal anak merupakan keutamaan dalam perkawinan. Dengan
anak keturunan dunia menjadi makmur. Begitu pula dengan perempuan apabila
mandul, maka keberadaannya bersama suami akan mengeruhkan kejernihan
hidup. Maka percerairan mempunyai faedah bagi suami bila istri mandul. Sebab
di antara tujuan yang mendorong untuk mendorong untuk kawin adalah
terwujudnya keturunan.
Kita melihat, banyak di antara orang yang mandul meskipun dulunya pernah
dengan cinta kasih dan penuh dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan
memperkuat hubungan mereka berdua namun kenikmatan berupa anak tidak
pernah mereka rasakan. Padahal kesempurnaan kebahagiaan dunia di antaranya
adalah keturunan, bahkan keturunan merupakan yang terpenting bagi suami istri.
Sebagaimana firman Allah SWT menjelaskan:
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-kahfi: 46)
17
2. Terjadi perbedaan dan pertentangan kemarahan, dan segala yang mengingkari
cinta di antara suami istri. Kalau cinta sudah hilang akan berubahlah pilar-pilar
perkawinan. Mereka jatuh ke lembah kehidupan yang susah dan pemikiran yang
bimbang karena pada dasarnya persatuan dan kekompakan dalam segala hal
merupakan kunci kesuksesan dan kebahagiaan serta sumber segala kesengan.
Lain halnya kalau ada tabiat yang berbeda dan hati yang tidak bersatu, maka
perceraian akan menghilangkan kesengsaran bagi kedua belah pihak.18
Jika terjadi perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam
kebencian antara keduanya, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk
perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka perceraian itulah jalan satu-satunya
yang menjadi pemisah antara mereka. Islam datang untuk mengangkat harta dan
martabat bagi wanita. Wanita mempunyai hak untuk meminta perceraian jika itu lebih
baik baginya. Jika terjadi konflik antara suami dan istri yang dapat didamaikan maka
dengan keadilan Allah, maka perceraian itu diperbolehkan. Mudah-mudahan dengan
jalan itu terjadi ketertiban dan keamanan bagi kedua pihak agar masing-masing dapat
mencari pasangan yang cocok hingga dapat mencapai apa yang dicita-citakan dalam
menempuh pernikahan.19
3. Fasakh
18
Abd. Rahman Ghazali,Fiqh Munakahat, h. 219
19
Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan ikatan
perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak yang berakad
(suami istri) tetapi termasuk pihak ketiga (saudara masing-masing pihak). Sedangkan
hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh akad nikah yaitu: Pertama,
adanya sebab yang diketahui setelah akad terjadi misalnya tiba-tiba terungkap ada
bukti kuat bahwa antara mereka (suami istri) tersebut adalah saudara sesusu yang
haram saling menikah, atau si istri ketika akad berlangsung masih dalam masaiddah,
atau masih ada ikatan perkawinan dengan suami lain dan sebagainya. Sedangkan
yang kedua, ada sebab yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad, misalnya
salah satu pihak (istri ataupun suami) yang mengubah agamanya, karena murtad di
dalam iman diharamkan kawin, maka batal ikatannya akadnya. Baik pihak yang satu
(suami ataupun istri) menerima kenyataan itu atau tidak. Sebab-sebab yang terjadinya
fasakhantara lain adalah:
a. gila,
b. Menderita penyakit menular, tidak ada harapan sembuh misalnya penyakit
AIDS,
c. Kehilangan kemampuan melakukan hubungan seks,
d. Merasa tertipu saat akad,
e. Suami miskin tidak berkemampuan memberi nafkah wajib,
f. Dan lain sebagainya.20
20
4. Zihar, Ila’, dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum: zihar, ila’, dan li’anadalah perbuatan berupa
kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang menyatakan
putusnya ikatan perkawinan.Ziharmerupakan kebiasaan orang Jahiliyyah yang tidak
lagi memfungsikan istrinya sebagai istri walau istrinya masih tetap didikat dalam
ikatan perkawinan.
Firman Allah dalam surat al-Mujahadilah ayat 2 menjelaskan:
”Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguh-sungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (Qs. Al-Mujadilah: 2).
Celaan dan pernyataan dusta yang dikemukakan ayat ini terhadap pelakuzihar
menunjukkan bahwa cara demikian harus ditinggalkan dan diganti dengan cara cerai
mengikuti tuntutan Al-Qur’an.
Sedangkan ila’ juga merupakan kebiasaan orang jahiliyyah pula yang yang
seorang lelaki bersumpah mengenai hubungan sebagai suami terhadap istrinya sendiri
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 226 menjelaskan:
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah: 226).
Adapun li’an adalah sumpah yang memang diajarkan Islam dalam kaitan
seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina.
Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 6 menjelaskan:
”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”(Qs. an-Nur: 6).
Petunjuk selanjutnya mengenai li’an sumpahnya diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam yaitu pasal 127. Tata carali’andiatur sebagai berikut:
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak
tersebut (bila dalam pernikahan suami istri tersebut menghasilkan anak) bila tidak
kata-kata laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan atau pengingkaran anak
tersebut dusta.
b. Istri menolak tuduhan atau pengingkaran sumpah empat kali dengan kata tuduhan
atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti kelima dengan kata-kata murka
Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut benar.
c. Tata cara pada huruf (a) dan (b) di atas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
d. Apabila tata cara huruf (a) tidak diikuti dengan tata cara huruf (b) maka dianggap
tidak terjadiLi’an.21
5. Syiqaq
Makna syiqaq adalah retak. Jadi syiqaq cenderung sebagai predikat bagi
hubungan perkawinan suami istri yang sedang berlangsung. Hubungan suami istri
tersebut sudah tidak pada keadaan yang diharapkan dan dapat diberi dengan kata
negatif, pada predikat negatif ini sering sering mengarah kepada berakhirnya ikatan
perkawinan suami istri tersebut.
Keretakan hubungan suami istri ini ada yang disebabkan oleh dua pihak, yaitu
pihak suami dan pihak istri secara bersama-sama. Gambarannya adalah apabila
terdapat perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan, masing-masing bertahan
dan tidak ada yang mengalah sama sekali antara suami ataupun istri, dan titik temu
benar-benar jarang diperoleh sehingga kehidupan dalam rumah tangga ada saja
21
gangguan ketentramannya dan ketegangan tidak kunjung reda. Ada pula disebabkan
hanya satu pihak, pihak suami misalnya tidak bertanggung jawab sebagai pelindung,
bertindak semena-mena hanya mau menang sendiri yang melekat di dalam
pikirannya, sehingga perlu dinasehati tetapi dinasehati orang tidak didengar. Suasana
rumah tangga demikian tentu menekan istri, dan sampai batas tertentu dan beban
tekanan itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau sebaliknya, penyebab syiqaq
justru datangnya dari pihak si istri yang nusyuz, dan diupayakan perbaikannya
melalui tahapan yang diajarkan Al-Qur’an yaitu diberi nasehat, dipisahkan tempat
tidur, dan dipukul sebagai pengajaran.
Firman Allah tentang syiqaq terdapat dalam surat an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. An-Nisa: 35).
Syiqaq sering berakhir dengan perceraian, tetapi pesan Al-Qur’an tidak mesti
dalam bentuk perceraian, oleh karenanya surat an-Nisa ayat 35 memerintahkan agar
adanya dua orang hakam. Hakam ini mempunyai tugas dan wewenang untuk
perselisihan. Dalam hal ini syiqaq yang tidak dapat diatasi kecuali harus dengan
perceraian maka bagaimana kedudukan hakam pada proses perceraian tersebut dapat
dipertanyakan antara kedudukan sebagai penentu mutlak atau wakil pihak antara
suami istri.22
C. AKIBAT PERCERAIAN
Akibat perceraian adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang suami
dan istri. Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala
bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah:
1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh
saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku
antara dua orang yang saling asing.
Perkawinan adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri. Putusnya perkawinan mengembalikan status yang
halal yang didapatnya dalam perkawinan, sehingga ia kembali ke status semula
yaitu haram. Bila terjadi hubungan kelamin dalam masa iddah tersebut atau
sesudahnya, maka perbuatan tersebut menurut jumhur ulama termasuk zina.
Hanya tidak diperlakukan terhadapnya sanksi atau had zina karena adanya
syubhat ikhtilaf ulama.
2. Keharusan memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut’ah sebagai
22
pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar
tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan
suatu pemberian yang bernama mut’ah.
Dalam kewajiban memberi mut’ah itu wajib menurut Ibnu Hazmin, dasar
wajibnya itu adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 241 yaitu:
” Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa” (Qs. al-Baqarah: 241).
Hanafiyah berpendapat bahwa hukum wajib berlaku untuk suami yang
menalak istrinya sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan,
sebagaimana dijelaskan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 236 yaitu:
Jumhur berpendapat bahwa mut’ah itu hanya untuk perceraian yang
insiatifnya berasal dari suami, seperti talak, kecuali bila jumlah mahar telah
ditentukan dan bercerai sebelum bergaul.
3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa
perkawinan baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, mahar yang belum di bayar
atau dilunasi, harus dilunasi setelah bercerai.
4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah.
5. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.23
Menurut Kompilasi Hukum Islam bagi seorang istri yang putus perkawinan
dengan suaminya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suaminya. Waktu tunggu seorang janda
ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu
ditetapkan 130 hari,
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi janda yang
masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan
bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 hari,
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan,
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.24
23
BAB III
PENGERTIAN IMPOTENSI DALAM RUMAH TANGGA
A. PENGERTIAN DAN SEBAB-SEBAB IMPOTENSI
A.1. Pengertian Impotensi
Impotensi adalah perihal lemah syahwat; keadaan tidak berdaya. Sedangkan
Impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk (lemah syahwat
atau tidak mempunyai tenaga) tidak dapat berbuat apa-apa.25
Kata impoten berasal dari Bahasa Inggris yang berarti tidak berdaya, tidak
bertenaga, Mati pucuk (lemah zakar. Dan didalam Kamus Bahasa Arab disebut
”Unnah” (Lemah Syahwat)dan juga biasa disebut ”Inniin”( Yang tidak mampu
bersetubuh).
Ibnu Abidin juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Dra.
Firdaweri di dalam bukunya tentang pengertian impotensi menurut Bahasa dan istilah
sebagai berikut: Orang impoten menurut Bahasa ialah orang yang tidak sanggup
bersetubuh. Dan (orang impoten) menurut Syara’ (Istilah) ialah: orang yang tidak
sanggup mensenggamai isterinya, karena terhalang si suami akibat impotensi. Seperti
sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya Dra. Firdaweri mengutip
pendapat Abdurahman Al-Jaziri yang mengemukakan pendapatnya tentang
24
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h, 71
25
impotensi, yang lebih memperinci lagi maksud impoten itu adalah: orang yang tidak
sanggup bersenggama dengan isterinya pada kemaluannya, walaupun sudah bangun
kemaluannya pada waktu mendekati isterinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh
dengan wanita lain. Impoten bisa disebut juga karena orang yang hanya sanggup
bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup pada perempuan perawan, bisa
disebut impoten juga karena orang yang sanggup pada isterinya pada duburnya dan
tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaannya seperti itu
disebut dinamakan impoten untuk mensetubuhi isterinya. Dengan demikian impoten
menurut bahasa: Orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut istilah:
Orang yang tidak danggup besenggama pada kemaluan isterinya.26
Impoten atau disfungsi ereksi pada dasarnya terjadi akibat tersumbatnya darah
menuju zakar. Dalam hal ini kasusnya cukup bervariasi. Ada suami yang bisa ereksi
selama cumbuan awal, namun ketika hendak melakukan hubungan suami istri
penetrasinya lemas. Ada juga suami yang bisa melakukan penetrasi, namun berapa
kali gerakan zakarnya sudah lemas dan terlepas dari vagina.
Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian di atas
menurut bahasa adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut
istilah Syara’ ialah orang yang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan istrinya.
Kalau hal ini terdapat pada salah seorang suami tentu istri kurang menerima
haknya. Selama istri merelakan itutidak menjadi persoalan, tetapi bagi istri yang tidak
26
rela, ia (istri) akan menuntut haknya. Dalam hal ini ia (istri) harus melalui prosedur
Pengadilan.
A.2. Sebab-Sebab Impotensi
Dari segi penyebabnya, impotensi dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Impotensi organis adalah impotensi yang disebabkan oleh penyakit kelamin
atau penyakit lainnya yang kemudian mempengaruhi alat kelamin, sehingga
kemampuan seksualnya tidak normal. Penyakit yang dimaksug di atas yaitu
mencakup trauma operasi yang menyebabkan sirkalulasi darah ke zakat tidak
baik, kerusakan sum-sum tulang belakang (trauma medulla spinalis),
pembengkakan prostat, kerusakan saraf akibat penyakit kelamin, atau karena
membengkaknya saraf-saraf karena difteria.
Impotensi juga bisa karena suami menderita penyakit TBC, malaria,
dankencing manis. Pada prinsipnya kencing manis merupakan penyakit
karena gangguan metabolisme tubuh, yakni kegagalan mengurangi gula di
dalam membuka peluang bagi terjadinya komplikasi seperti gangguan pada
pembuluh darah (vaskulopati), gangguan persarafan (neoropati), dan
gangguan pada sel otak (miopati). Padahal ketiga faktir tersebit memegang
peranan penting dalam proses ereksi,. Oleh karena itu, wajar jika impotensi
b. Impotensi fungsional adalah impotensi yang disebabkan oleh gangguan saraf,
pemakaian obat-obatan antihipertensi, antidepresi, trankuilizer, obat diksi
seperti alkohol. Barbiturat, heroin, amfetamin secara berlebihan.
Sebagaimana diketahui, ereksi yang biasanya berlanjut dengan ejakulasi
semuanya diatur oleh saraf secara otomatis. Apabila saraf itu terganggu, maka
sudah tentu potensi seksualnya juga terganggu. Di samping itu kekurangan
kekurangan hormon dan kelelahan akibat bekerja terlalu keras juga bisa
mengakibatkan impotensi jenis yang disebutkan di atas.
c. Impotensi psikis adalah impotensi yang disebabkan oleh faktor psikologis.
Laki-laki yang menderita impotensi jenis ini dari segi fisik penisnya normal,
namun tidak bisa ereksi karena ada gangguan yang bersifat psikis. Namun jika
dibiarkan bisa menjadi impotensi sejati.27
d. Impotensi yang disebabkan oleh tertutupnya kedua pasangan saluran cairan
mani. Tertutup cairan mani ini biasanya terjadi pada saluran mani atau saluran
pengecar, karena gejala yang bermacam-macam seperti bengkak-bengkak atau
bintik-bintik pada penis.28
Dan penaggulangannya atau pengobatan impotensi sangat tergantung dari
penyebabnya, namun terlebih dahulu harus diketahui impotensi jenis apa yang
diderita oleh suami di antaranya adalah:
27
Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori,Bimbigan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), h.110
28
1. Jika yang diderita adalah impotensi organis yang disebabkan oleh kelainan
fisik, maka upaya penyembuhannya harus ditangani oleh dokter ahli.
Penanganan para ahli dalam hal ini terbukti banyak membuahkan hasil yang
memuaskan. Paling tidak, mereka sampai target hubungan seksual (penetrasi)
berhasil dilakukan. Untuk keperluan penyembuhan tersebut para ahli telah
menciptakan alat bantu yang bantu dari luar yang prinsip kerjanya
megembangkan ruang vakum (kosong) di sekitar penis. Di Inggris telah
menciptaka alat bantu seperti itu. Alat bantu yang pertama berupa silikon
yang dikenakan seperti memakai kondom. Dengan memasukkan udara
kedalamnya, maka akan menghasilkan penegangan. Namun para pengguna
juga banyak yang mengeluh karena berkurangnya kepekaan (sensivitas)
karena alat tersebut dirasakan terlalu tebal.
2. Jika yang diderita adalah impotensi fungsional yang disebabkab oleh
gangguan saraf , maka upaya penyembuhannya adalah alat yang kedua berupa
silinder platik yang dikenakan pada penis, lalu udaran di dalamnya disedot
dengan pompa jika penis tersebut sudah membesar, maka dengan sendirinya
darah akan masuk ke dalam pembuluh darah penis. Setelah itu pada pangkal
penis dipasang karet silikon yang berbentuk lingkaran sebagai penyumbat
udara. Para pemakai alat ini biasanya bisa menikmati hubungan seksual.
Meskipun sesudah menggunakan alat ini biasanya akan terjadi
3. Jika yang diderita adalah impotensi psikis yang disebabkan oleh faktor
psikolosgis, maka upaya penyembuhannya memerlukan kesabaran dan
bantuan psikiater diperlukan untuk menyelidiki latar belakang kehidupannya
sehingga mengalami impotensi. Hasil penyelidikan itu akan dianalisa untuk
dijadikan dasar alam memberikan saran dan nasehat bagi upaya penyembuhan
tahap berikutnya.
Disamping itu peran istri dalam upaya menyembuhkan impotensi psikis ini
juga sangat penting. Misalnya, jika suami menderita impotensi karena
kekhawatirannya terhadap penisnya yang pendek atau kecil, di samping
berkonsultasi dengan psikiater, istri pun harus membantu suaminya agar tidak
usah menghiraukannya, karena jika suami terus-terus memikirkannya justru
akan menambah kecemasannya, dan itu akan memperparah impotensi yang
dideritanya.29
B. SUAMI IMPOTEN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP KEUTUHAN
RUMAH TANGGA.
Apabila pernikahan berlangsung dan sah dengan memenuhi syarat dan
rukunnya, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami dan istri dalam
keluarga.
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing,
maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah
29Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori,
kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berumah tangga
akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu, sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Apabila suami istri telah menunaikan akad pernikahan maka dihalalkan saling
bergaul mengadakan hubungan seksual, perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama
suami istri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi suami halal berbuat kepada
istrinya begitu juga dengan istri terhadap suaminya.
Hal ini berdasarkan firman Allah pada surat an-Nisa ayat 19 yaitu:
... ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut...”(Qs. An-Nisa: 19).30
Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan
memelihara istri sebaik-baiknya tidak boleh menganiaya istri dan menimbulkan
kemudharatan terhadap istri. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan
menyia-nyiakan hak istri.
Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
”Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. ” (Qs. Al-Baqarah: 231)
Berdasarkan firman Allah menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami
istri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah
30
satu pihak yang menderita mudharat dapat mengambil keputusan untuk memutuskan
perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atas dasar pengaduan pihak
yang menderita tersebut.
Dengan keputusan Pengadilan atas dasar pengaduan antara salah satu pihak
suami atau pun istri karena kemudharatan yang diderita, maka perkawinan dapat
dipisahkan dengan beberapa alasan yaitu:
a. Tidak adanya nafkah bagi istri
Imam Malik, Asy syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hakim boleh
menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada
istrinya, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak
memberi nafkah. Tidak memberi nafkah istri adalah perbuatan yang menyakitkan
hati dan menyengsarakannya, berarti