• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme"

Copied!
414
0
0

Teks penuh

(1)

MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL

HINDIA BELANDA: KAJIAN

POSKOLONIALISME

DISERTASI

ROSLIANI

098107002/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA

BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

dengan wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) dipertahankan pada tanggal 30 Agustus 2012

di Medan, Sumatera Utara

ROSLIANI

0981070002

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL

HINDIA BELANDA: KAJIAN

POSKOLONIALISME

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Terbuka

Pada Hari : Kamis

Tanggal

: 30 Agustus 2012

Pukul

: 10.30

Oleh

(4)

Judul Disertasi : MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA

BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME

Nama Mahasiswa : Rosliani

NIM : 098107002

Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Kajian Sastra

Menyetujui:

Promotor

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

Ko. Promotor Ko. Promotor

Prof. Mana Sikana, Ph.D.

Ketua Program Studi, Direktur Sekolah Pascasarjana,

(5)

HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI UNTUK

SIDANG TERBUKA TANGGAL 30 AGUSTUS 2012

Oleh Promotor

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

Ko-Promotor

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Prof. Mana Sikana, Ph.D.

Mengetahui

Ketua Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

(6)

Diuji pada Ujian Tertutup Disertasi Tanggal: 11 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. USU MEDAN

Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED MEDAN Prof. Mana Sikana, Ph.D. UPSI MALAYSIA Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN

Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. UNIV. NEG. PADANG Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. USU MEDAN

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. USU MEDAN

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

(7)

Diuji pada Sidang Terbuka (Promosi Doktor) Tanggal: 30 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. USU MEDAN

Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED MEDAN Prof. Mana Sikana, Ph.D. UPSI MALAYSIA Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU MEDAN

Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. UNIV. NEG. PADANG Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. USU MEDAN

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. USU MEDAN

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

(8)

TIM PROMOTOR

1. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

(9)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd.

Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

(10)

BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI

Judul Disertasi : Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme

Nama Mahasiswa : Rosliani

NIM : 098107002

Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Kajian Sastra

No. Nama Tanda Tangan Tanggal

1 Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

2 Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

3 Prof. Mana Sikana, Ph.D.

4 Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

5 Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd.

6 Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

(11)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN

POSKOLONIALISME

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Ada pun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2012 Penulis,

(12)

Disertasi ini saya persembahkan untuk keluarga, Universitas

Sumatera Utara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

serta Bangsa dan Negara Republik Indonesia

Orang tua tercinta dan tersayang

Ayahanda Parnak

Ibunda Giyah

Mertua tercinta

Ayahanda Mohammad Yasin

Ibunda Sarimpi

Suami tercinta

Syaiful Hidayat, S.S.

Anak-anak terkasih dan tersayang

Farah Oktavia Hidayat

(13)

ABSTRAK

MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME, Rosliani, Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

Disertasi ini berjudul “Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme”. Novel yang dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1918-2011). Hasil identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas hibridisasi Barat dan Timur.

Di dalam penganalisisan digunakan teori poskolonialisme dan teori struktur naratif dengan paradigma konstruktivisme. Penggunaan teori dan metodologi penelitian ini untuk mengungkap gaya hidup Hindia Belanda sebagai realitas fiksi dan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya sebagai realitas historis. Untuk itu, penelitian ini menggunakan uji teks dan uji pustaka dalam membenarkan deskripsi dan komparasi realitas fiksi dan realitas historis kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda.

Secara struktur naratif, realitas fiksi novel Hindia Belanda dideskripsikan secara kronologis berdasarkan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Realitas fiksi ini diikuti pendeskripsian realitas historis dengan fokus pada riwayat hidup pengarang dan masalah yang dihadapi elite birokrasi, baik pemerintahan, pendidikan, maupun perkebunan. Hasilnya, realitas fiksi dalam novel didasarkan pada realitas historis, seperti praktik KKN dan pembaratan, baik sesuai konteks historisnya maupun konteks historis yang dipindahkan dan disamarkan lokasi serta nama pelakunya.

Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi.

(14)

ABSTRACT

THE MIMICRY AND HYBRIDITY OF DUTCH EAST INDIES NOVEL: POST-COLONIALSM STUDIES, Rosliani, S3 Doctoral Linguistics Program, Literature Studies Concentration Post-graduate School of the University of North Sumatra

The title of the dissertation is “Mimicry and Hybridity of Dutch Indies Novels: A Post-colonialism Study”. The materials of the research are taken from Max Havelaar written by Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet written by M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Manusia Bebas written by Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), and Oeroeg written by Hella S. Haasse (1918-2011). The results of the identification are problems relating to the structure of the narratation, mimicry, ambivalence, hybridity, and syncretism. Of the five problems, ambivalence occurs due to the infirmness of mimicry and syncretism occurs due to the flexibility of Western and Eastern hybridization.

Post-colonialism theory and narrative structure theory are used in the analysis by using constructivism paradigm. The aim of using the theories and methodology is to reveal Dutch Indie’s lifestyle as fiction reality and historical event underlying it as a historical reality. For that reason, the study uses text study and library research in justifying description and comparative reality of the fiction and historical reality of colonial nation’s life and colonized country in Dutch-Indie.

Based on the narrative structure, fiction reality of Dutch-Indies novels are chronologically described based on plot, physical structure, race and gender relation, space and time structure, and narration transmission structure. The description of historical reality is focused on the author and the problem faced by bureaucratic elite such as the government, education, and plantation. Fiction reality in the novel is based on the historical reality, such as the practice of corruption, nepotism and Westernization, in accordance to the historical context or the historical context which has moved or disguised the locations and the names of the actors.

The appearance of western and eastern civilization clash in Dutch-Indies novels causes mimicry and hybridity problem to the Dutch and Indonesian. Mimicry in lifestyle which is accepted in Dutch-Indie, such as forming ambivalent personality of colonized nation (Indonesia) and colonial nation (Dutch). The mimicry and the ambivalence place structural and cultural hybridity focused on model and form of leadership. Leadership hybridity causes religious syncretism between Christian Western people and Eastern people who have various religions. The mimicry and hybridity problem in fiction reality and historical reality of Dutch-Indie’s novels are the focus of this post-colonialism research so that it can give a clear description to the roof of the problem of Indonesian nationality which puts forward its local genius in facing the global era.

(15)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.

Disertasi ini penulis beri judul “Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme”. Disertasi ini membicarakan teks dan konteks novel Hindia Belanda, yakni novel yang terbit pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, sejak penerbitan novel Max Havelaar karya Multatuli (1860), Berpacu

Nasib di Kebun Karet karya M.H. Székely-Lulofs (1931), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito (1940), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1948). Pemunculan novel ini dikaitkan dengan keberadaan teori poskolonialisme dan teori struktur naratif sebagai bagian postrukturalisme dalam penelitian ini.

Di dalam penyelesaian disertasi ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan disertasi ini.

Medan, Agustus 2012 Penulis,

(16)

UCAPAN TERIMA KASIH

Di dalam perkuliahan dan penyelesaikan disertasi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU serta Direktur I dan II beserta Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Promotor yang telah mengajarkan banyak hal tentang sastra, mitra berdiskusi selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini, serta bersedia meminjamkan buku-bukunya.

5. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. selaku Ko-Promotor dan Mantan Kepala Balai Bahasa Medan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian disertasi ini serta memberikan dorongan dan motivasi untuk terus melanjutkan pendidikan. 6. Prof. Mana Sikana, Ph.D. selaku Ko-Promotor yang telah mengajarkan banyak

(17)

7. Prof. Dr. Mahsun, M.S. dan Dra. Yeyen Maryani, M.Hum selaku Kepala dan Sekertaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang telah melegalisasi pemberian beasiswa selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan. 8. Dr. T. Syarfina, M.Hum. selaku Kepala Balai Bahasa Medan yang telah

memotivasi penulis untuk melanjutkan pendidikan.

9. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan pertimbangan akademik dalam menyelesaikan perkuliahan.

10.Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. dan Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. sebagai Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan pertimbangan akademik dalam penyempurnaan disertasi ini.

11.Orang tua penulis, Ayahanda Parnak dan Ibunda Giyah yang dengan tulus mengalirkan doa dan kasih sayangnya.

12.Mertua penulis, Ayahanda Mohammad Yasin dan Ibunda Sarimpi yang selalu sabar dan pengertian saat penulis menempuh pendidikan.

(18)

14.Keluarga besar penulis, yaitu Kakanda Harianum, A.Md., Abangda Supriadi, Adinda Wardianto, S.Kom., Adinda Juliani, S.Pd., serta adik-adik ipar Suyatini, Suhendra, Muhammad Sofyan, Agus Wahyudi, S.T. beserta kemanakan penulis yang banyak memberikan motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan. 15.Keluarga dr. Marza’i Amirsjah, SpPD. (alm.) atas motivasi, perhatian dan kasih

sayangnya.

16.Sahabat mahasiswa Program Doktor Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU Angkatan 2009/2010, khususnya mahasiswa yang memilih Konsentrasi Kajian Sastra sebagai spesialisasi akademiknya.

17.Teman seprofesi penulis di Balai Bahasa Medan serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.

18.Semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.

Medan, Agustus 2012

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Identifikasi Masalah ... 11

1.3Batasan Masalah ... 13

1.4Rumusan Masalah ... 14

1.5Tujuan Penelitian ... 15

1.6Manfaat Penelitian ... 16

1.6.1 Manfaat Teoretis ... 16

1.6.2 Manfaat Praktis ... 17

1.7Definisi Istilah ... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK ... 21

(20)

2.2Kajian Pustaka ... 22

2.2.1 Sastra Hindia Belanda ... 22

2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial ... 28

2.2.3 Bahasa Masyarakat Poskolonial ... 35

2.3Kerangka Teoretik ... 37

2.3.1 Teori Struktur Naratif ... 38

2.3.2 Teori Poskolonialisme ... 47

2.3.2.1Keberadaan Teori Poskolonialisme ... 47

2.3.2.2Mimikri dan Hibriditas ... 55

2.3.2.2.1 Mimikri ... 55

2.3.2.2.2 Hibriditas ... 59

2.3.2.3Model Kajian Poskolonialisme ... 63

2.4Penelitian Terdahulu ... 67

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 75

3.1Paradigma dan Metode Penelitian ... 75

3.2Kerangka Berpikir ... 77

3.3Data dan Sumber Data ... 81

3.4Prosedur Pengumpulan Data ... 83

3.5Teknik Analisis Data ... 86

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ... 89

4.1Pengantar Paparan ... 89

(21)

4.2.1 Deskripsi dan Analisis Realitas Fiksi ... 91

4.2.1.1Data I: Novel Max Havelaar Karya Multatuli ... 91

4.2.1.1.1 Struktur Plot ... 91

4.2.1.1.2 Struktur, Fisik, Ras, dan Relasi Gender 102 4.2.1.1.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 114

4.2.1.1.4 Struktur Transmisi Narasi ... 118

4.2.1.2Data II: Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H. Székely-Lulofs ... 125

4.2.1.2.1 Struktur Plot ... 125

4.2.1.2.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender 132 4.2.1.2.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 141

4.2.1.2.4 Struktur Transmisi Narasi ... 147

4.2.1.3Data III: Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito ... 152

4.2.1.3.1 Struktur Plot ... 152

4.2.1.3.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender 159 4.2.1.3.3 Struktur Ruang dan Waktu ... 163

4.2.1.3.4 Struktur Transmisi Narasi ... 167

4.2.1.4Data IV: Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse ... 168

4.2.1.4.1 Struktur Plot ... 168

(22)

4.2.1.4.4 Struktur Transmisi Narasi ... 183 4.2.2 Deskripsi dan Analisis Realitas Historis ... 185 4.2.2.1Novel Max Havelaar Karya Multatuli ... 186 4.2.2.1.1 Riwayat Hidup Eduard Douwes Dekker 186 4.2.2.1.2 Elite Birokrasi Pemerintahan ... 194 4.2.2.1.3 Perlawanan Rakyat ... 203 4.2.2.2Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H.

Székely-Lulofs ... 206 4.2.2.2.1 Riwayat Hidup M.H. Székely-Lulofs . 206 4.2.2.2.2 Elite Birokrasi Perkebunan Karet Deli 210 4.2.2.2.3 Perempuan: Istri, Nyai, dan Pembantu 224 4.2.2.3Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih

(23)

4.3.2 Wacana Poskolonial Novel Hindia Belanda ... 252

BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN ... 256

5.1Pengantar Pembahasan ... 256 5.2Struktur Penceritaan Novel Hindia Belanda ... 259 5.2.1 Novel Max Havelaar Karya Multatuli ... 260 5.2.2 Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet Karya M.H.

(24)

5.5.3 Local Genius Hibriditas ... 323 5.5.4 Pola Hibriditas ... 328 5.6Sinkretisme dalam Novel Hindia Belanda ... 329 5.6.1 Proses Pembentukan Sinkretisme ... 329 5.6.2 Dampak Sinkretisme ... 330 5.6.3 Local Genius Sinkretisme ... 336 5.6.4 Pola Sinkretisme ... 340 5.7Kontekstualitas Pembahasan ... 341

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 344

5.1Simpulan ... 344 5.2Saran ... 346

DAFTAR PUSTAKA ... 347

Lampiran:

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1: Kronologi Peristiwa Penting dalam Pekerjaan Multatuli

di Hindia Belanda ... 190 Tabel 4.2: Elite Birokrasi Pemerintahan dalam Novel Max Havelaar Karya

Multatuli Menurut Nama dalam Realitas Fiksi, Nama dalam

Realitas Historis, dan Jabatan di Hindia Belanda ... 196 Tabel 4.3: Perbandingan Isi Surat dari/untuk Multatuli pada Realitas Fiksi dan Eduard Douwes Dekker pada Realitas Historis ... 197 Tabel 5.1: Struktur Waktu Realitas Fiksi dan Realitas Historis Novel

Max Havelaar Karya Multatuli ... 264 Tabel 5.3: Perbandingan Jumlah Kuli Laki-laki dan Perempuan di Sumatera

(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1: Diagram Teori Struktur Naratif ... 40 Gambar 2.2: Kuardipartiti Bentuk-Substansi dengan Ungkapan-Isi dalam Teori Struktur Naratif ... 41 Gambar 3.1: Kerangka Berpikir Penelitian Mimikri dan Hibriditas dalam

Novel Hindia Belanda ... 78 Gambar 4.1: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Max Havelaar Karya

Multatuli ... 121 Gambar 4.2: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Berpacu Nasib di Kebun

Karet Karya M.H. Székely-Lulofs ... 149 Gambar 4.3: Grafik Perkembangan Jumlah “Koeli Kontrak” Menurut

Suku/Bangsa di Sumatera Timur ... 214 Gambar 4.4: Grafik Penyerangan “Koeli Kontrak” terhadap Asisten Kebun

Belanda Menurut Jumlah Penyerangan dan Korban Tewas

(27)

DAFTAR SINGKATAN

AMS Algemeene Middelbare School

AVROS Algemeene Vereniging Rubberplanters Dost kust Van Sumatra BB Binnenlandsch Bestuur

BNdKK Berpacu Nasib di Kebun Karet

BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat DKJ Dewan Kesenian Jakarta

H.B. Hans Bague

HBS Hogare Burgere School

HIS Hollansch-Inlandsche School H.N.A.

IKAPI Ikatan Penerbit Indonesia Hasan Noel Arifin Ind. Indonesia

Ir. Insinyur

KKN Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme LBH Lembaga Bantuan Hukum

MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs MoU Memorandum of Understanding Oe Oeroeg

PID

PKI Partai Komunis Indonesia Politieke Intelichtingen Dienst

PNI Partai Nasional Indonesia

PPPI Perhimpoenan Peladjar Peladjar Indonesia RI Republik Indonesia

(28)

ABSTRAK

MIMIKRI DAN HIBRIDITAS NOVEL HINDIA BELANDA: KAJIAN POSKOLONIALISME, Rosliani, Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

Disertasi ini berjudul “Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme”. Novel yang dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1918-2011). Hasil identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas hibridisasi Barat dan Timur.

Di dalam penganalisisan digunakan teori poskolonialisme dan teori struktur naratif dengan paradigma konstruktivisme. Penggunaan teori dan metodologi penelitian ini untuk mengungkap gaya hidup Hindia Belanda sebagai realitas fiksi dan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya sebagai realitas historis. Untuk itu, penelitian ini menggunakan uji teks dan uji pustaka dalam membenarkan deskripsi dan komparasi realitas fiksi dan realitas historis kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda.

Secara struktur naratif, realitas fiksi novel Hindia Belanda dideskripsikan secara kronologis berdasarkan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Realitas fiksi ini diikuti pendeskripsian realitas historis dengan fokus pada riwayat hidup pengarang dan masalah yang dihadapi elite birokrasi, baik pemerintahan, pendidikan, maupun perkebunan. Hasilnya, realitas fiksi dalam novel didasarkan pada realitas historis, seperti praktik KKN dan pembaratan, baik sesuai konteks historisnya maupun konteks historis yang dipindahkan dan disamarkan lokasi serta nama pelakunya.

Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi.

(29)

ABSTRACT

THE MIMICRY AND HYBRIDITY OF DUTCH EAST INDIES NOVEL: POST-COLONIALSM STUDIES, Rosliani, S3 Doctoral Linguistics Program, Literature Studies Concentration Post-graduate School of the University of North Sumatra

The title of the dissertation is “Mimicry and Hybridity of Dutch Indies Novels: A Post-colonialism Study”. The materials of the research are taken from Max Havelaar written by Multatuli (1839-1887), Berpacu Nasib di Kebun Karet written by M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Manusia Bebas written by Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), and Oeroeg written by Hella S. Haasse (1918-2011). The results of the identification are problems relating to the structure of the narratation, mimicry, ambivalence, hybridity, and syncretism. Of the five problems, ambivalence occurs due to the infirmness of mimicry and syncretism occurs due to the flexibility of Western and Eastern hybridization.

Post-colonialism theory and narrative structure theory are used in the analysis by using constructivism paradigm. The aim of using the theories and methodology is to reveal Dutch Indie’s lifestyle as fiction reality and historical event underlying it as a historical reality. For that reason, the study uses text study and library research in justifying description and comparative reality of the fiction and historical reality of colonial nation’s life and colonized country in Dutch-Indie.

Based on the narrative structure, fiction reality of Dutch-Indies novels are chronologically described based on plot, physical structure, race and gender relation, space and time structure, and narration transmission structure. The description of historical reality is focused on the author and the problem faced by bureaucratic elite such as the government, education, and plantation. Fiction reality in the novel is based on the historical reality, such as the practice of corruption, nepotism and Westernization, in accordance to the historical context or the historical context which has moved or disguised the locations and the names of the actors.

The appearance of western and eastern civilization clash in Dutch-Indies novels causes mimicry and hybridity problem to the Dutch and Indonesian. Mimicry in lifestyle which is accepted in Dutch-Indie, such as forming ambivalent personality of colonized nation (Indonesia) and colonial nation (Dutch). The mimicry and the ambivalence place structural and cultural hybridity focused on model and form of leadership. Leadership hybridity causes religious syncretism between Christian Western people and Eastern people who have various religions. The mimicry and hybridity problem in fiction reality and historical reality of Dutch-Indie’s novels are the focus of this post-colonialism research so that it can give a clear description to the roof of the problem of Indonesian nationality which puts forward its local genius in facing the global era.

(30)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Keberadaan novel Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak dapat diabaikan begitu saja. Indonesia yang bernama Hindia Belanda pada masa penjajahan Belanda memiliki tradisi bersastra tulis berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu. Novel-novel tersebut terbagi atas dua kategori, yakni yang ditulis oleh orang-orang asing, terutama Belanda dan Tionghoa, dan yang ditulis oleh penduduk asli Indonesia, terutama penduduk asli Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Novel yang terbit pada masa penjajahan tersebut memberi kontribusi yang signifikan dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Perjuangan tersebut dilakukan dalam wacana poskolonialisme.

Penggunaan bahasa Melayu dalam penulisan novel pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejalan dengan pengakuan Kerajaan Belanda terhadap bahasa Melayu. Pengakuan tersebut direalisasikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen, melalui peraturan (Ind. Stb. No. 34 pada 25 Maret 1819) yang mengharuskan lulusan Sekolah Militer Semarang menjalankan tugas tanpa penerjemah. Menurut Simbolon (2006:112), “Sesudah itu, semua asisten residen, sekretarisnya, dan opziner atau penilik, harus sudah menguasai bahasa Melayu dan Jawa; kalau tidak, gaji mereka dikurangi sampai 25%.”

(31)

(2006:112-135) terbukti bahwa, pada 1825, peraturan ini menjadi persyaratan bagi calon pegawai yang diambil langsung dari Kerajaan Belanda. Mereka, terutama yang ingin mencapai pangkat asisten residen, harus memiliki sertifikat kemampuan dasar berbahasa Melayu, di samping kemampuan berbahasa Jawa dan bahasa daerah lain di Hindia Belanda. Bahkan, Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens (1836-1840) mengeluarkan Keputusan No. 30 dan dimuat dalam Ind. Stb. No. 23/1837 yang menetapkan kepemilikan ijazah bahasa Melayu dan salah satu bahasa daerah sebagai syarat naik pangkat bagi pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Keberterimaan berbahasa ini membuat relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam studi orientalis semakin meluas dan berpemahaman, baik dalam pandangan Belanda maupun Indonesia.

Relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang tereduksi dalam novel Hindia Belanda menjadi bagian integral dalam novel berbahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya: (i) Novel Max Havelaar (MH) karya Multatuli (1839-1887) terbit pada 1860 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama pada 1972; (ii)Novel Rubber karya M.H. Székely-Lulofs (1899-1958) terbit pada 1931 dan diterjemahkan dengan judul Berpacu Nasib

di Kebun Karet (BNdKK) pada 1985; (iii) Novel Buiten het Gareel karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977) terbit pada 1940 dan diterjemahkannya dengan judul

(32)

Novel MH, BNdKK, dan Oe ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda sedangkan novel MB ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Indonesia. Novel-novel tersebut mengisahkan benturan peradaban bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagai representasi Barat dan Timur dalam kolonialisasi Belanda di Indonesia.

Novel MH karya Multatuli merupakan novel yang menggambarkan kolonialisme Belanda dari dua sisi, yakni sisi kebelandaan dan keindonesiaan. Pemunculan novel yang mengambil latar kekejaman elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan penderitaan rakyat Lebak ini telah mengejutkan politisi dan pejabat Kerajaan Belanda. Kekejaman dan penderitaan tersebut berlangsung dalam sebuah konspirasi kepemimpinan elite politik dan pejabat kolonial. Konspirasi elite politik dan pejabat kolonial ini melanggengkan praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Konspirasi inilah yang dibongkar oleh Multatuli dan ditentang oleh elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, mulai dari tingkat Demang sampai Gubernur Jenderal. Penentangan tersebut tidak semata-mata karena dugaan pembiaraan KKN yang menyengsarakan rakyat, melainkan juga gugatan terhadap model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan kolonialisme Belanda di Indonesia.

(33)

pejabat itu melibatkan dirinya sendiri dalam KKN, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konspirasi elite politik dan pejabat dalam praktik KKN seperti ini melampaui realitas fiksi karena terjadi dalam realitas historis sistem pemerintahan Indonesia. Bahkan, perang terhadap KKN menjadi agenda reformasi yang sulit direalisasikan secara murni dan konsekuen dengan keterlibatan pejabat tinggi selevel bupati, walikota, gubernur, dan menteri, yang berkoalisi dengan anggota DPR, hakim, jaksa, dan pengusaha dalam praktik korupsi. Kondisi ini mengingatkan bangsa Indonesia akan pentingnya mengkaji ulang relevansi novel MH dan novel sejenis dengan kehidupan Indonesia, terutama untuk menumbuhkembangkan semangat memberantas korupsi dalam sistem pemerintahan Indonesia.

(34)

Superioritas Barat sebagai bangsa penjajah yang tercitra dalam pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tidak hanya menjadi sorotan Multatuli. Seorang istri elite birokrasi perkebunan Belanda, Székely-Lulofs mendeskripsikan dampak kolonialisasi Belanda di sektor perkebunan karet dalam novel BNdKK. Novel yang ditulis di Telok Dalam (Kabupaten Asahan, Indonesia) dan Budapest (Hongaria) sejak Desember 1929 sampai Juni 1931 ini mengejutkan masyarakat Belanda karena keberaniannya mengungkapkan kekejaman pejabat perkebunan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda berdasarkan pengalaman hidup pengarang di Hindia Belanda. Székely-Lulofs itu sendiri adalah bangsa Belanda yang lahir di Surabaya dan mengikuti suaminya sebagai pejabat berpangkat tuan kebun (planter) Belanda di Sumatera Timur. Oleh karena itu, Székely-Lulofs memperoleh dua gelar yang bertentangan, yakni dianggap sebagai pengkhianat karena menceritakan kekejaman pejabat sementara suaminya termasuk pejabat itu sendiri, namun ia dijuluki “Multatuli Wanita” karena keberaniannya mengungkap kekejaman Belanda sebagaimana pernah dilakukan oleh Multatuli.

Di samping novel MH dan BNdKK terdapat novel berjudul Oe karya Hella S. Haasse. Novel ini terpilih sebagai Buku Hadiah 2009: dibagi-bagikan, didiskusikan, dan dirayakan di Belanda. Di Indonesia, peluncuran buku ini merupakan bagian kampanye Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia dalam rangka The Nederland

(35)

Di antara novel MH, BNdKK, dan Oe terdapat novel MB karya Suwarsih Djojopuspito. Suwarsih sebagai pengarang dan intelektual Hindia Belanda berasal dari masyarakat jajahan Belanda yang fasih berbahasa Belanda. Dia menuliskan novel dalam bahasa Belanda dan menerbitkan novel itu di Negeri Belanda, tempat tinggal bangsa yang menjajah bangsanya sendiri. Novel MB terbit di Negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel. Novel ini berisi peristiwa tahun 1930-an di masa pergerakan sedang hangat-hangatnya dan semangat kebangsaan mulai membangkitkan perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Akibatnya, intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai “sekolah liar” sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, pendiri dan guru-gurunya tidak takut meski harus ditangkap, hidup serba melarat, dan selalu diawasi oleh pejabat Hindia Belanda.

(36)

agama, ras, dan antargolongan.1

Sapardi Djoko Damono (dalam Satoto dan Zainuddin Fanani, 2000:iii-iv), mengklasifikasi pelarangan karya sastra Indonesia dalam empat pernyataan: (i) pelarangan dan pembatasan atas sastra dan sastrawan oleh pemerintah atau penguasa merupakan pengakuan bahwa sastra dan sastrawan memiliki fungsi yang jelas, penting, dan setidaknya ‘ditakuti’ karena mempunyai kemungkinan melanggar ideologi negara yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan dan kekuasan; (ii) suatu pengakuan bahwa sastra bisa mempunyai pengaruh yang luas terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat terhadap ideologi, politik, dan kekuasaan; (iii) kita harus berani mengakui kenyataan bahwa pelarangan dan pembatasan sastrawan dan sastra tidak jarang malah menyebabkan kita memusatkan perhatian terhadapnya; dan, (iv) kita harus bisa memahami sebaik-baiknya bahwa salah satu cara untuk mengetahui kedewasaan suatu masyarakat (termasuk penguasa, sastrawan, publik, dan penerbit) adalah dengan mengukur sejauh mana kebebasan dan keterbukaan terhadap gagasan, harapan, dan aspirasi manusia seperti tersirat dan tersurat dalam karya sastra.

Pemasungan kreativitas juga bisa terjadi pada sastrawan kritis yang dianggap tidak mau loyal atau menjadikan karyanya sebagai corong pemerintah atau partai pemerintah yang berkuasa, atau karena karyanya memuat kritikan yang keras terhadap kebijakan pemerintah.

1 Lihat, Sapardi Djoko Damono,

Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),

(37)

Karya sastra yang dilarang beredar di Indonesia terjadi akibat karya sastra itu dianggap berisi ideologi yang berbeda dari pemerintah yang berkuasa, dicurigai dapat mengasut masyarakat, melecehkan salah satu agama yang ada di Indonesia sehingga akan menimbulkan keresahan masyarakat. Karya sastra yang baik menurut pandangan estetis belum tentu baik menurut penguasa. Pelarangan sastra di Indonesia tersebut ternyata memiliki sejarah yang panjang sehingga harus ditelusuri sampai masa pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Muhammad (2001:12), pada bulan September 1919, harian Benih Merdeka yang terbit di Medan menerbitkan sebuah pantun berjudul “Nasibnya Hindia” karya penulis yang menggunakan nama samaran Van Aarde, sehingga membuat pemerintah Hindia Belanda merasa sangat terpukul. Pantun itu antara lain tertulis, “Hindia bukan tanah wakaf/Hindia bukan nasi bungkus/Hindia bukan rumah komedi.” Muhammad Yunus sebagai pemimpin redaksi ditangkap karena anggapan adanya pelanggaran kode etik pers Hindia Belanda. “Tetapi delik tersebut kandas di tengah jalan, karena kalimat-kalimat tersebut itu tidak melanggar hukum, tegasnya tidak dapat dihukum (net

vervolgbaar).”

Kebijakan politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah menyuburkan penerbitan novel, baik yang dilakukan oleh Balai Pustaka maupun penerbit independen. Novel tersebut menggambarkan benturan peradaban Barat dan Timur, baik dalam hegemoni politik maupun identitas kultural. Novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, dan

(38)

budaya yang menggambarkan dampak psikologis kolonialisme Belanda di Indonesia. Novel tersebut merupakan novel yang terbit dalam legitimasi pemerintah Hindia Belanda melalui penerbit Balai Pustaka.

Novel yang lain memiliki sudut pandang yang berbeda dengan novel terbitan Balai Pustaka. Novel tersebut merupakan novel berbahasa Melayu rendah dan novel berbahasa Belanda yang tidak ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda. Novel tersebut adalah Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, Studen Hijo karya Marco Kartodikromo, Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang, dan Buiten het Gareel karya Suwarsih Djojopuspito. Novel tersebut menjadi objek poskolonialisme dalam sastra Indonesia masa pemerintahan Hindia Belanda. Novel tersebut terbit secara independen, sehingga memberi pencitraan yang lebih bebas dalam menggambarkan penderitaan bangsa Indonesia dalam penjajahan Belanda.

Novel Hindia Belanda di atas mewakili struktur ruang dan waktu tersendiri, antara lain dapat dimasukkan pada kategori novel terjemahan dari bahasa Belanda (MH, BNdKK, MB, dan Oe), novel berbahasa Melayu rendah (Hikayat Siti Mariah,

(39)

Perilaku elite birokrasi pemerintahan yang mengakibatkan penderitaan rakyat dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda memberi ruang mimikri dan hibriditas. Mimikri yang terjadi dalam relasi bangsa pejajah dan bangsa terjajah memunculkan sikap ambivalensi kepribadian manusia Indonesia. Sikap ambivalen tersebut terjadi akibat penyesuaian etika dan kategori ideal yang tidak berterima. Demikian pula hibriditas, dalam prosesnya memunculkan sinkretisme akibat benturan peradaban Barat dan Timur. Hal ini diungkapkan oleh Multatuli, Székely-Lulofs, dan Hella S. Haasse dari sudut pandang bangsa Belanda dan diungkapkan oleh Suwarsih Djojopuspito dari sudut pandang bangsa Indonesia dalam novel-novelnya. Sudut pandang kebangsaan yang berbeda tersebut mendapat kesamaan dalam pengalaman langsung sastrawan dengan peristiwa kehidupan pada masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.

(40)

Berdasarkan penjelasan di atas, wacana poskolonialisme seperti mimikri yang berkepanjangan dapat mengungkapkan ambivalensi kepribadian manusia Indonesia. Sebaliknya, pembentukan hibriditas struktural meunculkan hibriditas kultural yang dapat membongkar praktik sinkretisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menghadapi proses mimikri dan hibriditas tersebut, bangsa Indonesia masa Hindia Belanda memunculkan kekuatan local genius yang mampu menghadapi penetrasi Barat yang mendapat dukungan politik kolonial Belanda. Oleh karena itu, pengungkapan realitas fiksi dan realitas historis dalam teks dan konteks poskolonial novel Hindia Belanda menjadi demikian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Kondisi tersebut menjadi daya tarik penelitian ini, sehingga peneliti menjadikan keempat novel tersebut sebagai fokus penelitian poskolonialisme. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan model terapan teori poskolonial dan model hibriditas kultural yang layak direvitalisasi dalam kehidupan modern bangsa Indonesia.

1.2Identifikasi Masalah

Setelah melakukan observasi yang saksama terhadap bahan penelitian ini dapat diidentifikasi lima masalah. Kelima masalah yang diidentifikasi dalam novel Hindia Belanda tersebut adalah:

(41)

mengungkapkan hal yang sama? Bahkan, keberpihakan penjajah terhadap rakyat jajahan atau rakyat jajahan terhadap penjajah menimbulkan pro dan kontra dalam kehidupan rakyat Hindia Belanda. Kondisi ini menimbulkan kesulitan bagi pengarang untuk memunculkan struktur penceritaan novel yang tepat pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.

(2) Ada masalah dalam proses mimikri berwujud bentuk-bentuk peniruan atau penyesuaian etika. Masalahnya, proses mimikri harus berdasarkan etika ideal Eropa atau etika ideal Asia dalam karakteristik bangsa Belanda dan Indonesia. Bentuk peniruan atau penyesuaian etika yang menjadi sumber data penelitian menimbulkan pro dan kontra dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda.

(3) Ada masalah dalam proses mimikri sehingga memunculkan ambivalensi dalam kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dijajah dan kepribadian bangsa Belanda sebagai bangsa yang menjajah bangsa Indonesia dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda.

(42)

(5) Ada masalah dalam pemunculan hibriditas dari dua budaya –Indonesia dan Belanda- yang mengarah pada sinkretisme. Sinkretisme sebagai sebuah hibriditas memiliki arti kekuatan local genius manusia Indonesia dalam menghadapi budaya asing. Masalahnya, novel Hindia Belanda memberi ruang dan waktu pemunculan hibriditas dengan sinkretisme dan hibriditas tanpa sinkretisme sehingga harus diidentifikasi, dideskripsikan, dan dianalisis dengan cermat serta saksama pemunculan hibriditas dan sinkretisme, baik realitas fiksi maupun realitas historis.

1.3Batasan Masalah

Masalah penelitian ini dideskripsikan dan dianalisis sesuai dengan realitas fiksi dan realitas historis yang terdapat dalam novel Hindia Belanda. Novel tersebut adalah MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse. Keempat novel tersebut dijadikan sumber data pengungkapan realitas fiksi dan realitas historis.

Realitas fiksi dalam keempat novel sumber data penelitian ini dideskripsikan berdasarkan bentuk dan substansi isi cerita dan wacana. Bentuk dan substansi isi cerita terdiri dari struktur alur, struktur ruang dan waktu, serta struktur fisik, ras, dan relasi gender, sedangkan bentuk dan subtansi isi wacana terdiri dari struktur transmisi narasi. Sebaliknya, realitas historis dideskripsikan dari peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku dalam realitas fiksi yang relevan dengan realitas historisnya.

(43)

dampaknya sehingga diketahui ambivalensi dan sinkretismenya. Pemunculan ambivalensi sebagai dampak mimikri dan pemunculan sinkretisme sebagai faktor pengontrol hibriditas dianalisis dalam konteks realitas fiksi dan realitas historis yang melatarbelakangi tindakan, kejadian, karakter, serta latar kehidupan dalam novel Hindia Belanda.

1.4Rumusan Masalah

Penelitian ini dilaksanakan dengan didasarkan pada lima rumusan masalah berikut ini.

(1) Bagaimanakah struktur penceritaan novel Hindia Belanda dalam mengungkapkan kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda, baik berdasarkan realitas fiksi maupun realitas historis?

(2) Bagaimanakah mimikri berwujud bentuk peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda?

(3) Bagaimanakah ambivalensi kepribadian bangsa penjajah (Belanda) dan bangsa terjajah (Indonesia) menghadapi proses penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda?

(44)

(5) Bagaimanakah sinkretisme dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda menghadapi transformasi budaya Barat di Hindia Belanda?

1.5Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan kondisi bangsa Indonesia dalam benturan peradaban bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagai representasi Barat dan Timur. Untuk mengungkapkan kondisi tersebut maka peneliti menetapkan lima tujuan sebagai lima tahapan pencapaian maksud penelitian novel Hindia Belanda ini. Kelima tujuan penelitian tersebut adalah:

(1) Menganalisis struktur penceritaan novel Hindia Belanda sebagai cara pengarang mengungkapkan kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda, baik berdasarkan realitas fiksi maupun realitas historis.

(2) Menganalisis mimikri berwujud bentuk peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda.

(3) Menganalisis ambivalensi kepribadian bangsa penjajah dan bangsa terjajah menghadapi proses penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda.

(45)

(5) Menganalisis sinkretisme dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda menghadapi transformasi budaya Barat di Hindia Belanda.

1.6Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis hasil penelitian poskolonial terhadap novel Hindia Belanda meliputi tiga hal berikut ini.

(1) Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah kajian poskolonialisme terhadap novel yang terbit pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Secara teoretik, kajian poskolonialisme ini mendeteksi realitas fiksi dan realitas historis dalam novel Hindia Belanda berdasarkan teori struktur naratif dan menganalisisnya dari sudut pandang teori poskolonial.

(2) Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori poskolonialisme untuk mengungkapkan dampak penjajahan Belanda di Indonesia. Apakah penjajahan tersebut memberi dampak mimikri yang membentuk ambivalensi kepribadian, bahkan, memunculkan hibriditas yang menentukan sinkretisme dapat diuji oleh posisi strategis local genius bangsa Indonesia dalam globalisasi budaya semesta. (3) Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian yang lain, baik

(46)

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat diwujudkan pada dua aspek berikut ini.

(1) Hasil penelitian ini memberikan model penelitian poskolonial terhadap wacana mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda, terutama untuk memahami perilaku bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagaimana terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.

(2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan alat proyeksi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, sehingga pembangunan kebangsaan Indonesia dapat menghindarkan diri dari model penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia yang kemungkinan dilakukan oleh bangsa Indonesia kepada bangsanya sendiri. (3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan model persahabatan Indonesia-Belanda yang

bermartabat, terutama untuk penguatan local genius yang telah diuji oleh proses mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme.

1.7Definisi Istilah

Istilah-istilah penting dalam penelitian ini meliputi istilah yang digunakan para teoretikus poskolonial. Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(47)

perasaan tidak sadar saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Wacana mimikri yang membentuk sikap ambivalensi dalam penelitian ini untuk menjelaskan keragaman pilihan dalam pembentukan identitas, baik identitas kepribadian maupun identitas kebangsaan bagi bangsa yang terjajah dan bangsa yang penjajah.

(2) Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan dan dijadikan bahasa nasional oleh bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia dalam konteks penelitian ini memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa nasional suatu bangsa, seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, atau bahasa Arab. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dijadikan kerangka dan atau diangkat sebagai bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda Indonesia tetap ditempatkan setara dengan bahasa etnik/bahasa daerah.

(3) Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat bersuku Melayu yang dijadikan lingua franca di Nusantara, terutama sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa ini memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa suku atau bahasa etnik lainnya, seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak.

(4) Barat secara harfiah menunjuk pada arah, lawan timur. Secara geografis, dalam kajian ini istilah Barat merujuk pada negara-negara Eropa, termasuk Amerika. Menurut Ratna (2008:442), “Secara luas berarti kebudayaan dengan ciri-ciri hegemoni kekuasaan yang berkembang sejak zaman pencerahan.”

(48)

menjaga stabilitas keamanan, elite budaya yang mengedepankan keaslian, serta elite birokrasi yang memokuskan loyalitas dan keaslian.

(6) Elite birokrasi adalah pejabat yang memimpin suatu institusi kenegaraan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurut Ratna (2008:445), elite birokrasi di Indonesia –terutama Jawa- terbagi dua macam, yaitu elite birokrasi tradisional (bangsawan) dan elite birokrasi modern (priyayi). Elite birokrasi pemerintahan dalam penelitian novel Hindia Belanda ini disebut juga pangreh praja pribumi (Inlandsch Bestuur) yang berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah kolonial Belanda, seperti Regen dan Demang. Sebaliknya, elite birokrasi perkebunan dalam penelitian ini adalah manajer, asisten, dan mereka yang menyandang penyebutan tuan-tuan kebun di perkebunan karet di Sumatera Timur dan perkebunan teh di Jawa Barat.

(7) Hibriditas adalah istilah ilmu hewan dan tumbuh-tumbuhan yang bermakna turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan. Menurut Ratna (2008: 447), hibriditas dalam humaniora berarti hubungan dua kebudayaan dengan identitas berbeda. Dalam era poskolonial, budaya dan bahasa terjajah tidak dapat disajikan secara murni.

(8) Local genius merupakan kemampuan (berbakat) luar biasa dalam berpikir dan mencipta yang berasal dari masyarakat suatu daerah dalam menghadapi budaya asing atau kebudayaan global.

(49)

(10) Novel Hindia Belanda novel yang berisi kejadian-kejadian di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Novel ini ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda dan Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

(11) Realitas adalah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan, baik realitas fiksi, realitas historismaupun penggabungan realitas fiksi dan realitas historis.

(12) Realitas fiksi adalah kenyataan hidup yang terjadi dalam karya sastra, dalam hal ini novel, yang dapat diidentifikasi dari struktur penceritaannya, baik struktur plot, struktur ruang dan waktu, struktur fisik, ras, dan relasi gender, maupun struktur transmisi narasi.

(13) Realitas historis adalah kenyataan hidup yang terjadi pada masa yang lampau sebagai hasil rekonstruksi sejarah.

(14) Sinkretisme bermakna sutu paham yang mencampuradukkan unsur-unsur yang saling bertentangan. Hal itu terjadi karena masyarakat mengadopsi kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama.

(50)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

2.1Pengantar Teoretik

Kajian pustaka dan kerangka teoretik ini merupakan bagian disertasi yang menjelaskan dasar filosofis penelitian. Bab ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (i) kajian pustaka, (ii) kerangka teoretik, dan, (iii) penelitian terdahulu. Pertama, kajian pustaka berkaitan dengan konsep-konsep dasar penamaan Sastra Hindia Belanda, kedudukan novel dalam penelitian yang menggunakan teori poskolonial, dan kedudukan bahasa dalam masyarakat poskolonial. Masyarakat poskolonial dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berlatar belakang bangsa terjajah dan bangsa penjajah.

Kedua, kerangka teoretik berkaitan dengan konsep dan pengembangan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Teori tersebut dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (i) teori poskolonial (ii) teori struktur naratif. Teori poskolonial dijelaskan secara terpisah dalam tiga aspek, yaitu (i) keberadaan teori poskolonial, (ii) mimikri dan hibriditas yang masing-masing dipecah menjadi dua bagian: mimikri dan ambivalensi serta hibriditas dan sinkretisme, dan (iii) model kajian poskolonial.

(51)

poskolonial. Ketiga, penelitian terdahulu diposisikan sebagai hasil pelacakan jejak hasil penelitian yang didasarkan pada teori poskolonial dan struktur naratif. Dengan demikian, bab ini berisi penjelasan filosofis dan aplikatif terhadap teori poskolonial dan teori struktur naratif yang relevan dengan penelitian mimikri dan ambivalensi dalam novel Hindia Belanda.

2.2Kajian Pustaka

2.2.1 Sastra Hindia Belanda

Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya sastra Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan penamaan wilayah Indonesia pada masa penjajajah Belanda. Hindia Belanda yang dikenal sebagai Nederlands(ch)-Indië

ini diakui secara hukum

Ratu/Raja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh, yakni seorang geografis dengan negara tetangga. Perbatasan Hindia Belanda denga tetangganya tersebut ditentukan dengan perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan

Belanda dengaThe

White Rajah

Selatan).

(52)

dengan perkembangan wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda.2

Secara umum, jajahan Belanda ini bermula dari penguasaan

Perkembangan wilayah ini disesuaikan oleh perluasan wilayah, baik sebagai akibat penaklukan, peperangan, maupun penyerahan pengawasan dan kedaulatan kerajaan oleh pemimpin atau raja-raja di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, wilayah geografis Hindia Belanda sebagai wilayah hukum Kerajaan Belanda mengalami perkembangan hingga proklamasi kemerdekaan RI.

VOC) yang antara lain memiliki

beberapa daerah lain semenjak menguasai Hindia Belanda pada 1610-1799 yang kemudian diserahkan pada Kerajaan Belanda yang justru dalam penguasaan Perancis (1800-1811). Setelah Hindia Belanda berada dalam kekuasaan Inggris (1811-1816), barulah Hindia Belanda kembali dalam kekuasaan Belanda (1816-1949). Penguasaan terakhir ini berimplikasi pada pendudukan Jepang (1942-1945), kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan dari berbagai bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan

2 Di dalam Wikipedia dinyatakan bahwa “Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam

(53)

Indonesia. Karya sastra yang muncul pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini pada umumnya berbahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda. Karya-karya tersebut menceritakan keadaan Hindia Belanda dalam hubungannya dengan peradaban Barat yang dibawa oleh Belanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Sastrowardoyo (1990:11) berikut ini.

Yang dimaksudkan dengan sastra Hindia Belanda di sini adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangssa Eropah lainnya. Ada juga barang dua-tiga penulis Indonesia yang karangannya dapat dimasukkan ke dalam sastra Hindia Belanda, seperti Soewarsih Djojopuspito dan Noto Soeroto, tetapi karya-karya mereka tidak berada di tengah arus pokok perkembangan sastra itu, sehingga bisa diabaikan dalam hubungan karangan ini.

Pendapat Sastrowardoyo di atas bertolak belakang dengan pendapat Hellwig dan Nieuwenhuys. Hal ini dapat dipahami oleh karena Sastrowardojo berfokus pada analisis karya sastra Hindia Belanda yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda. Padahal, realitas historis menunjukkan bahwa, ketertarikan sastrawan mancanegara untuk menuliskan keadaan Indonesia dalam karya sastra berbahasa Belanda menjadikan sastra Hindia Belanda sebagai bagian yang menyatu dengan sastra Belanda. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Indonesia harus ditempatkan setara dengan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda.

(54)

seluruh aktivitas dan kreativitas warga negara dalam bersastra sebagai hasil karya sastra Kerajaan Belanda. Hal ini diakui oleh Hellwig (2007:49) dalam pernyataannya, bahwa, “Karya sastra Hindia Belanda tak pelak lagi merupakan bagian dari tradisi sastra Belanda dan dari perkembangannya.” Bahkan, Nieuwenhuys yang menyusun sejarah sastra Belanda tetap menempatkan sastrawan berkebangsaan Belanda sejajar dengan sastrawan berkebangsaan Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa Belanda sebagai bagian yang menyatu dalam sastra Belanda. Bahkan, Nieuwenhuys (1978:49) menyatakan bahwa sastra Hindia Belanda memiliki tempat tersendiri yang tidak terpisahkan dari sastra Belanda meskipun tidak mempunyai tradisi dan iklim kesusastraan.

Pemunculan karya sastra Hindia Belanda dalam khasanah sastra Belanda tidak terbatas pada karya sastra berbahasa Belanda. Hal ini disebabkan oleh kehadiran Balai Pustaka dan penerbit independen yang memberikan ruang pada sastrawan berkebangsaan Indonesia untuk mempublikasikan karya sastranya. Merari Siregar dengan novel Azab dan Sengsara dan Marah Rusli dengan novel Sitti Nurbaya merupakan sastrawan yang menerbitkan novel-novelnya melalui Balai Pustaka. Bahkan, terdapat karya-karya yang ditulis oleh sastrawan Tionghoa berbahasa Melayu dan sastrawan Jawa berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh penerbit independen atau yang diistilahkan Belanda sebagai “penerbit liar”.

(55)

Joseph Conrad (Inggris kelahiran Polandia). Salgari yang ingin menjadi pelaut dan bertualang mengarungi lautan luas tertarik pada buku The Malay Archipelago karya Wallace dan buku-buku tentang kehidupan Oceania. Salgari menulis roman dengan latar Kalimantan Utara, yaitu Le Tigri di Mompracem yang terbit sebagai cerita bersambung tahun 1883-1884 dan I Pirati della Malesia (1894). Sebaliknya, Conrad yang berprofesi sebagai perwira kapal dagang berkesempatan mengunjungi Muntok-Pulau Bangka (1883) dan antara 1887-1888 kembali melakukan perjalanan di Nusantara antara Jawa dan Sumatera serta Sulawesi dan Kalimantan. Pengalaman dan pembacaannya terhadap karya Wallace serta penulis yang menggambarkan eksotisme Nusantara melahirkan roman Almayer’s Folly (1895) dengan latar Pulau Kalimantan dan Lord Jim (1899) yang diduga berlatar pedalaman Nangroe Aceh Darussalam.

Siklus kedua, dapat dinamakan sebagai “siklus Jawa” yang berpusat di Batavia dan perkebunan-perkebunan di pedalaman. Karya sastra Hindia Belanda dalam “siklus Jawa” tampil dengan sumber inspirasi yang beragam dengan kebanyakan mencerminkan ketegangan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Pada siklus ini terdapat roman berbahasa Perancis Le planteur de Java karya Henri Guénot (1860) dan Felix Batel ou La Hollande à Java karya Jules Bubat (1869) serta roman berbahasa Belanda MH karya Multatuli (1860), Goena-goena karya P.A. Daum (1889) dan De Stille Kracht karya Louis Couperus (1900).

(56)

mengisahkan perkembangan perkebunan karet di Sumatera Timur. Pengarang lain yang mengenalkan eksotisme Hindia Belanda, antara lain, Maria Dermoût (1888-1962) menulis cerita pendek berdasarkan kehidupannya di Maluku dan menerbitkan dalam kumpulan cerita pendek De tieduizen dingen (1955) dan Vicki Baum (1888-1960) menulis novel Liebe und Tod auf Bali (1937) dengan latar mitos Bali.

Pemunculan karya sastra berbahasa Belanda menimbulkan heboh sastra di Negeri Belanda, khususnya dengan pemunculan novel MH karya Multatuli. Pemunculan novel ini disusul oleh novel lain yang kemudian muncul novel-novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs. Pemunculan novel karya Székely-Lulofs memberikan gelar “Multatuli Wanita” pada pengarang ini. Hal ini disebabkan keberaniannya mengungkapkan penderitaan kuli di perkebunan yang justru sebagai lokasi pengabdiannya sebagai istri pemimpin kebun di Sumatera Utara.

Kekacauan manajemen dan penderitaan rakyat Hindia Belanda yang diungkapkan oleh para sastrawan Hindia Belanda memberi kekuatan moral para politisi Kerajaan Belanda. Mereka menuntut perbaikan yang “nyata” dalam sistem kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Hal ini mendorong Ratu Belanda untuk menyetujui “politik etis” di Hindia Belanda. Politik etis ini dijelaskan oleh End dan J. Weitjens (2008:7) sebagai-berikut:

(57)

Jadi, tujuan kaum pengajar “Ethische Politiek” bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan yang setaraf dalam rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung dengan negara Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang berpoikir lebih jauh, yaitu yang mencita-citakan suatu Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka.

Berdasarkan penjelasan di atas, sastra Hindia Belanda memiliki peranan penting dalam melaporkan keadaan yang sebenarnya dari kondisi masyarakat Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia tersebut dituliskan oleh para sastrawan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan di Kerajaan Belanda dan berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Para sastrawan Hindia Belanda tersebut terdiri atas beragam bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan Indonesia.

2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial

Kajian poskolonialisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya sastra, kehidupan masyarakat, dan dampak kultural kolonialisasi. Bahkan, Alfonso (2001:55) mengatakan, “This is why Said proposes to regard the literary text as

(58)

Bonald. Menurut Wellek dan Austin Warren (1989:110), frase tersebut menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.”

Sejalan dengan pernyataan De Bonald, karya sastra mendapatkan tempatnya sebagai dokumen sosial dan pemodelan masyarakat. Genre sastra yang berpotensi besar sebagai dokumen sosial dan pemodelan itu adalah novel. Menurut Jonathan Culler sebagaimana dikutip oleh Teeuw (2003:187-188), “...the novel serves as the

model by which society conceives of itself, the discourse in and through which it

articulates the world....”3 (...novel bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya dunia...” Lebih lanjut dijelaskannya, “Our identity depens on the novel, what others

thinks of us, what we think of ourselves .... How do others see us if not as a character

from a novel?”4

3 Prof. A. Teeuw menerjemahkan ‘novel’ dengan ‘roman’. Lihat juga, Faruk,

Pengantar Sosiologi Sastra: dari strukturalisme genetik sampai post-modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), p.

47. Faruk menerjemahkan pendapat Culler yang dikutip Teeuw dari kutipan Philippe Sollers dengan kalimat, “...novel berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahami dirinya. Novel merupakan wacana yang di dalam dan lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia.”

(Identitas kita tergantung pada novel, apa yang orang lain pikirkan tentang kita, apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Bagaimana orang lain memandang kita kalau bukan sebagai tokoh dalam sebuah novel?). Dengan demikian, novel sebagai ungkapan perasaan masyarakat berfungsi sebagai model kehidupan, baik sebagai model pemahaman kehidupan maupun model aplikasi kehidupan masyarakat.

4 Lebih lanjut dijelaskan oleh Faruk, “Di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui

(59)

Di samping fungsi novel sebagai model kehidupan masyarakat, pemilihan novel untuk kajian poskolonial ini didasarkan pada kelengkapan cerita dalam novel dibandingkan genre sastra yang lain. Menurut Ratna (2004:336-337), “Novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas.” Dengan demikian, novel memenuhi karakteristik sastra yang baik sebagaimana diungkapkan oleh Richard Hoggart (Teeuw, 2003:195), “Sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial dunia yang sarat objek.”

Secara lebih spesifik, novel memiliki kedudukan penting dalam mengungkapkan realitas kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Menurut Ratna (2004:136), “Novel jelas merupakan objek karya sastra terpenting. Pertama, pertimbangan dari segi medium yang cukup luas dan kaya, apabila dibandingkan dengan genre lain. Kedua, dalam novel terkandung isi, pesan, dan amanat, bahkan juga konsep-konsep yang beraneka ragam.” Dengan demikian, novel memiliki potensi besar untuk mengungkapkan realitas historis sehingga memberi konstruksi kehidupan sesuai dengan peradaban manusia yang melatarbelakangi pemunculan novel tersebut.

(60)

novel dalam konteks poskolonial berkaitan erat dengan realitas historis imperialisme sebagai bagian yang menyatu dengan kolonialisme Barat. Hal ini sesuai pernyataan Said (1994:84) berikut ini.

I am not trying to say that the novel –or the culture in the broad sense- ‘caused’ imperialism, but that the novel, as a cultural artifact of bourgeois society, and imperialism are unthinkable without each other. Of all the major literary forms, the novel is the most recent, its emergence the most datable, its occurrence the most Western, its normative pattern of social authority the most structures; imperialism and the novel fortified each other to such a degree that it is impossible, I would argue, to read one without in some way dealing with the other.

(Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa novel –atau budaya dalam arti luas- 'disebabkan' imperialisme, tetapi novel, sebagai artefak budaya masyarakat borjuis, dan imperialisme yang tanpa terpikirkan satu sama lain. Dari semua bentuk tulisan utama, novel adalah yang paling baru, yang datanya yang paling Barat, yang paling normatif pola otoritas struktur sosialnya; imperialisme dan novel mungkin saling memperkaya, saya berpendapat, untuk membaca karya sastra sudah barang tentu berhubungan dengan karya yang lain.)

(61)

Realitas historis dalam realitas fiksi sastra poskolonial sarat dengan masalah mimikri dan hibriditas. Bahkan, masalah mimikri dan hibriditas dalam kajian poskolonial memunculkan masalah lain yang tidak kalah penting, yakni ambivalensi, dan sinkretisme. Oleh karena itu, sastra poskolonial menjadi media pengungkapan relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang signifikan. Menurut Ratna (2008:134), pemilihan karya sastra sebagai media yang paling tepat untuk melukiskan masalah tersebut didasarkan atas tiga pertimbangan. Pertama, karya sastra adalah sistem bahasa, tanda, sehingga sangat tepat untuk melukiskan perasaan. Kedua, karya sastra bukan objektivitas itu sendiri. Masalah yang diungkapkan dalam karya sastra bukan kolonialisme melainkan apa yang dibuat oleh kolonialisme. Ketiga, sastra adalah refleksi sekaligus refraksi, inovasi sekaligus negasi dan afirmasi.

Hubungan karya sastra dengan poskolonialisme menjadikan sebuah novel tidak otonom. Sebuah novel memiliki struktur naratif tersendiri sekaligus memiliki sesuatu yang-Lain. Di dalam hal ini, karya sastra yang muncul atau mengisahkan kehidupan masa kolonial memiliki sisi-sisi ideologis, terutama dalam kaitan untuk mendukung dan mengembangkan kepentingan imperialisme Barat dan mengabaikan identitas Timur. Di dalam hal ini, Said (1994:49) menegaskan, “There is no way of

dodging the truth that the present ideological and political moment is a difficult one

Gambar

Gambar 2.1: Diagram Teori Struktur Naratif
Gambar 3.1: Kerangka Berpikir Penelitian Mimikri dan Hibriditas
Gambar 4.1: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Max Havelaar Karya
Gambar 4.2: Skema Struktur Transmisi Narasi Novel Berpacu Nasib di Kebun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu pada dokumen Anggaran Dasar Gereja Katolik Bebas di Indonesia, tercantum bahwa peresmian GKB di Hindia Belanda adalah pada tahun 1929, sesuai dengan

Skripsi dengan judul “Objek-Objek Pariwisata di Hindia Belanda, Suatu Kajian Deskriptif terhadap foto-foto Pariwisata Alphons Hustinx)” ini disusun untuk melengkapi

Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa gambaran persoalan sosial yang muncul dalam novel ini merupakan realitas yang sebenarnya dari kondisi masyarakat Cilacap khususnya, dan

Walau tidak menutupi adanya saluran lain atas arus informasi dari luar yang masuk ke Hindia Belanda, namun media massalah -dalam hal ini media cetak berupa

Meninjau Praktik Kebijakan Tanam Paksa di Hindia Belanda 1830-1870 | 132 rakyat mengenal teknologi baru yang digunakan dalam pertanian, dan rakyat juga dapat mengenal

Sehingga diperlukan kajian historis untuk mengetahui perkembangan Freemasonry sebagai organisasi rahasia pada masa Hindia Belanda dan bagaimana gerakan tersebut

Pada tahun 1831 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch mengunjungi Banyumas dan mengusulkan untuk mengembangkan Pelabuhan Cilacap guna membantu mengekspor

Tujuan teoretis penelitian ini adalah mengaplikasikan teori poskolonial untuk mengungkapkan stereotip tokoh Belanda dan tokoh pribumi dalam novel Malaikat Lereng Tidar