PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR SEPARATIS
TERHADAP TINDAKAN-TINDAKAN DALAM PERIODE
KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM KEPAILITAN
TESIS
OLEH:
JULITA BR SAGALA
087011143/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR SEPARATIS
TERHADAP TINDAKAN-TINDAKAN DALAM PERIODE
KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM KEPAILITAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
JULITA BR SAGALA
087011143/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL TESIS: : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR
SEPARATIS TERHADAP TINDAKAN- TINDAKAN DALAM PERIODE KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM KEPAILITAN
NAMA MAHASISWA : JULITA BR SAGALA
NIM : 087011143
PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Ketua
(Syahril Sofyan, SH, MKn) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada: Tanggal
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. SUNARMI, SH, M.Hum
Anggota : SYAHRIL SOFYAN, SH, MKn
Prof. Dr. MUHAMMAD YAMIN, SH, MS, CN CHAIRANI BUSTAMI, SH, SpN, MKn
RIWAYAT HIDUP
A. Keterangan Pribadi
1. Nama : JULITA BR SAGALA
2. Tempat/Tanggal Lahir : Kuala, 31 Juli 1972
3. Status Perkawinan : Menikah
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Pekerjaan : Wiraswasta
6. Agama : Kristen
B. Keterangan Keluarga
1. Nama Orang Tua
a. Ayah : Alm. BINUS SANTER SAGALA
b. Ibu : Alm. TIARMA BR PANGGABEAN
2. Nama Suami : Ir. JENDANGENA, MSP
3. Nama Anak : RAY WILLIAM
DAVID LEON
STEVEN ANDRES
C. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 050601 Kuala Lulus Tahun 1985
2. SMP St. THOMAS 2 Binjai Lulus Tahun 1988
3. SMA Negeri 1 Binjai Lulus Tahun 1991
4. Akademi Keuangan dan Perbankkan Tri Karya Medan Lulus Tahun 1994
5. Sarjana Hukum Universitas Darma Agung Medan Lulus Tahun 2008
6. Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Hukum kepailitan, untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, baik debitor maupun kreditor harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan-persyaratan yang menjadi unsur-unsur pengajuan permohonan kepailitan, yaitu: debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Apabila debitor terbukti telah memenuhi unsur-unsur tersebut, maka hakim Pengadilan Niaga dapat memberikan putusan pernyataan pailit kepada debitor. Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditor pemegang hak jaminan tersebut menyebutkan setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan hak pihak ketiga untuk menuntut haknya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator ditangguhkan karena menganut ketentuan mengenai berlakunya keadaan diam, dengan kata lain memberlakukan keadaan diam atau standstill, sejak pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka timbul permasalahan Bagaimana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan Indonesia, Bagaimanakah pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan, Apakah peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor separatis.
Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian berada di Balai Harta Peninggalan Medan. Sumber data berasal dari data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan didukung wawancara dengan para informan yang berhubungan dengan judul tesis. Metode pengumpulan data adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
dari para kreditor pemegang hak jaminan. Standstill juga memungkinkan bagi debitor untuk menyusun rencana pelunasan atau rencana restrukturisasi utang, atau untuk lepas dari tekanan-tekanan keuangan yang telah mengakibatkan debitor mengalami keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya. Standstill yaitu keadaan status quo bagi debitor dan para kreditor terhadap harta kekayaan (asset) debitor maupun terhadap utang debitor dengan demikian maka tagihan-tagihan dan harta kekayaan debitor dapat ditangani secara tertib sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijakan kepailitan. Dalam hal Pemberesan harta pailit jika dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi. Semua benda harus dijual di muka umum, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan ijin Hakim Pengawas.
Kata Kunci : Kepailitan
Kreditor Separatis
ABSTRACT
Bankruptcy law, to file bankruptcy, both debtors and creditors must comply with these requirements prior to the submission of the elements of the bankruptcy petition, ie debtors who had two or more creditors and did not pay off at least one debt which has been falling time and collectible, declared bankrupt by court decision, whether the petition itself or at the request of one or more creditors. If the debtor has been proven to meet these elements, then the Commercial Court can give notice of the decision of the bankruptcy to the debtor. Settlement of debts to creditors' rights holders such guarantee pawnee mention any creditor, fiduciary transfer, mortgage, mortgages or collateral rights on other material, can execute their rights as if no bankruptcy occurs. Execution creditor rights referred to in these provisions and the rights of third parties to demand the rights that the debtor is in bankruptcy or receivership mastery suspended because adopt provisions regarding the entry into force at rest, in other words a state of quiet or a standstill, since the bankruptcy declaration was decided in court. Relative to this cause the problem how is silent ("standstill") arranged in Indonesian bankruptcy law, How the implementation is at rest (standstill) in the management and settlement bankruptcy property in Heritage Hall (BHP) of Medan, Are regulations on the state of rest (standstill) in Law Number 37 Year 2004 has provided legal protection for creditors separatists.
This thesis research is a normative legal research, analytical and descriptive, using qualitative approaches. Research location in Heritage Hall (BHP) of Medan. Source of data derived from secondary data is data that is collected through study of the literature supported the document on interviews with informants related to the title of the thesis. Methods of data collection is with library research (library research) and field research (field research).
handled in an orderly manner in accordance with the principles and policies of bankruptcy. In the case of bankruptcy assets clearance verification If the meeting does not offer a plan of peace, the peace plan offered is not accepted, or rejected ratification of the peace, for the sake of the bankruptcy property law in a state of insolvency. All items must be sold in public, selling under the hand can be done with the permission of the Supervisory Judge.
Keywords: Bankruptcy
Separatist-Creditors
ABSTRAK
Hukum kepailitan, untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, baik debitor maupun kreditor harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan-persyaratan yang menjadi unsur-unsur pengajuan permohonan kepailitan, yaitu: debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Apabila debitor terbukti telah memenuhi unsur-unsur tersebut, maka hakim Pengadilan Niaga dapat memberikan putusan pernyataan pailit kepada debitor. Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditor pemegang hak jaminan tersebut menyebutkan setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan hak pihak ketiga untuk menuntut haknya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator ditangguhkan karena menganut ketentuan mengenai berlakunya keadaan diam, dengan kata lain memberlakukan keadaan diam atau standstill, sejak pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka timbul permasalahan Bagaimana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan Indonesia, Bagaimanakah pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan, Apakah peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor separatis.
Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian berada di Balai Harta Peninggalan Medan. Sumber data berasal dari data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan didukung wawancara dengan para informan yang berhubungan dengan judul tesis. Metode pengumpulan data adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
dari para kreditor pemegang hak jaminan. Standstill juga memungkinkan bagi debitor untuk menyusun rencana pelunasan atau rencana restrukturisasi utang, atau untuk lepas dari tekanan-tekanan keuangan yang telah mengakibatkan debitor mengalami keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya. Standstill yaitu keadaan status quo bagi debitor dan para kreditor terhadap harta kekayaan (asset) debitor maupun terhadap utang debitor dengan demikian maka tagihan-tagihan dan harta kekayaan debitor dapat ditangani secara tertib sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijakan kepailitan. Dalam hal Pemberesan harta pailit jika dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi. Semua benda harus dijual di muka umum, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan ijin Hakim Pengawas.
Kata Kunci : Kepailitan
Kreditor Separatis
ABSTRACT
Bankruptcy law, to file bankruptcy, both debtors and creditors must comply with these requirements prior to the submission of the elements of the bankruptcy petition, ie debtors who had two or more creditors and did not pay off at least one debt which has been falling time and collectible, declared bankrupt by court decision, whether the petition itself or at the request of one or more creditors. If the debtor has been proven to meet these elements, then the Commercial Court can give notice of the decision of the bankruptcy to the debtor. Settlement of debts to creditors' rights holders such guarantee pawnee mention any creditor, fiduciary transfer, mortgage, mortgages or collateral rights on other material, can execute their rights as if no bankruptcy occurs. Execution creditor rights referred to in these provisions and the rights of third parties to demand the rights that the debtor is in bankruptcy or receivership mastery suspended because adopt provisions regarding the entry into force at rest, in other words a state of quiet or a standstill, since the bankruptcy declaration was decided in court. Relative to this cause the problem how is silent ("standstill") arranged in Indonesian bankruptcy law, How the implementation is at rest (standstill) in the management and settlement bankruptcy property in Heritage Hall (BHP) of Medan, Are regulations on the state of rest (standstill) in Law Number 37 Year 2004 has provided legal protection for creditors separatists.
This thesis research is a normative legal research, analytical and descriptive, using qualitative approaches. Research location in Heritage Hall (BHP) of Medan. Source of data derived from secondary data is data that is collected through study of the literature supported the document on interviews with informants related to the title of the thesis. Methods of data collection is with library research (library research) and field research (field research).
handled in an orderly manner in accordance with the principles and policies of bankruptcy. In the case of bankruptcy assets clearance verification If the meeting does not offer a plan of peace, the peace plan offered is not accepted, or rejected ratification of the peace, for the sake of the bankruptcy property law in a state of insolvency. All items must be sold in public, selling under the hand can be done with the permission of the Supervisory Judge.
Keywords: Bankruptcy
Separatist-Creditors
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya berjalan normal sejak dilanda
krisis pada tahun 1998. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian
diperburuk lagi dengan krisis politik yang mengakibatkan mundurnya Soeharto
sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan melemahnya nilai tukar
mata uang rupiah terhadap mata uang dollar yang menimbulkan dampak yang tidak
menguntungkan terhadap perekonomian dan perdagangan nasional.
Gejolak moneter pada tahun 1997, mengakibatkan dampak yang sangat luas
terhadap perkembangan bisnis di Indonesia, nilai tukar dollar terhadap rupiah sangat
tinggi, sehingga mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia menjadi
membengkak luar biasa. ”Banyak perusahaan di Indonesia tidak lagi mampu
membayar utang yang umumnya dilakukan dalam bentuk dollar”.1 Kenyataan
menunjukkan salah satu masalah yang menyebabkan krisis ekonomi yang dihadapi
oleh Indonesia adalah masalah utang-piutang perusahaan-perusahaan swasta.
Krisis moneter menyebabkan daya beli masyarakat semakin lemah, sehingga
mengakibatkan pendapatan perusahaan menurun. Akibatnya perusahaan mengalami
kesulitan keuangan karena pendapatan yang menurun sementara pengeluaran semakin
tinggi. Krisis tersebut telah menimbulkan kesulitan keuangan perusahaan yang pada
1
akhirnya mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
pembayaran utang kepada kreditor. Selain beban pembayaran utang-utang kepada
kreditor yang semakin terasa berat, perusahaan-perusahaan ini secara umum
mengalami kesulitan besar di dalam melakukan operasionalnya.
Untuk menyehatkan kembali perusahaan, berbagai strategi dan kebijakan
dilakukan dalam mempertahankan jalannya perusahaan seperti efesiensi di segala
bidang, yaitu dengan perampingan manajemen perusahaan, penurunan produksi atau
melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja, dan dengan mencari sumber-sumber
suntikan dana dalam bentuk pinjaman dari lembaga keuangan ataupun dari
perorangan.
Suatu hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan perusahaan adalah
tersedianya permodalan. Perusahaan melakukan pinjaman untuk mengembangkan
kembali usahanya, suntikan dana segar dalam bentuk pinjaman ini diharapkan dapat
menjadi stimulus yang akan membuat perusahaan menjadi bangkit dan berjalan lebih
baik lagi.
Pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh kreditor antara lain dapat berupa
kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank, atau pinjaman dari orang
perorangan (pribadi) berdasarkan perjanjian kredit, atau perjanjian meminjam uang
yang harus dibayar kembali pada waktu yang telah disepakati antara kreditor dan
masyarakat bisnis. ”Bagi para pengusaha, pengambilan kredit merupakan faktor yang
tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan bisnis”.2
Pada waktu mengajukan pinjaman tersebut, debitor harus mempunyai itikad
baik dan harus dapat meyakinkan kreditor bahwa debitor akan mampu
mengembalikan pinjaman tersebut. “Tanpa ada kepercayaan (trust) dari kreditor
kepada debitor, maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman
tersebut.”3 Tanpa adanya kepercayaan kreditor kepada debitor, tidak mungkin timbul
hubungan hukum formal yang terwujud dalam suatu perjanjian yang dibuat antara
kreditor dan debitor, karena pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditor kepada
debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan
pinjaman itu pada waktunya.
Hubungan hukum antara kreditor dan debitor terjadi ketika kedua belah pihak
menandatangani perjanjian utang piutang. Dengan ditandatanganinya perjanjian utang
piutang maka kedua belah pihak telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan
dengan demikian berlaku asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi
juga terhadap unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta
moral, sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan mengikat para pihak.
Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk
2
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah Pembanding Dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 2000, hlm. 2.
3
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun
selanjutnya disebut KUH Perdata) menentukan bahwa segera setelah terjadi
kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, yang pada saat yang bersamaan juga
menerbitkan perikatan diantara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji
tersebut.4
Kreditor dalam memberikan kredit atau fasilitas pembiayaan kepada debitor
akan memastikan bahwa kredit atau fasilitas pembiayaan itu dapat dilunasi pada
waktunya, baik untuk pokok maupun bunganya. Kreditor harus memperoleh
keyakinan bahwa kegiatan usaha atau bisnis debitor tersebut dapat menghasilkan
pendapatan yang cukup untuk melunasi kredit atau fasilitas pembiayaan tersebut.
Sebelum pendapatan itu dipakai untuk melunasi utang perusahaan, terlebih dahulu
pendapatan itu harus dapat menutupi kebutuhan perusahaan dalam rangka pemupukan
cadangan perusahaan dan menutupi biaya-biaya perusahaan.
Apabila ternyata perusahaan mengalami kesulitan dalam usahanya sehingga
perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup
untuk membayar utang-utangnya, maka para kreditor harus memperoleh kepastian
bahwa hasil penjualan agunan atau likuidasi atas harta kekayaan perusahaan melalui
putusan pailit dari pengadilan dapat diandalkan sebagai sumber pelunasan alternatif.
Untuk menjamin pengembalian kredit yang diberikan, diadakan perjanjian
jaminan. Perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian yang bersifat asesor,
4
di mana adanya jaminan ini merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian
pokok, dalam hal ini perjanjian kredit.
Retnowulan Sutantio memberikan pengertian jaminan sebagai berikut:
”Jaminan kredit adalah suatu jaminan baik berupa benda atau orang yang diberikan
oleh debitor kepada kreditor, yang diperlukan untuk menjamin agar kreditor tidak
dirugikan, apabila debitor ingkar janji atau tidak mampu mengembalikan
pinjamannya tepat waktunya”.5
Kreditor lebih menyukai perjanjian jaminan yang bersifat kebendaan
dibandingkan dengan perjanjian jaminan perorangan. Oleh karena perjanjian jaminan
kebendaan dengan jelas ditentukan benda tertentu yang diikat dalam perjanjian dan
benda tersebut disediakan untuk menjaga terjadinya kredit macet, sehingga hal ini
dapat menimbulkan rasa aman kepada kreditor dan lebih memberikan kepastian
dengan ditentukan bendanya yang diikat dalam perjanjian sebagai jaminan. Jaminan
kebendaan merupakan jaminan yang objeknya terdiri dari benda yang mengandung
asas-asas sebagai berikut:
1. Memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap kreditor lainnya.
2. Bersifat asesor terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut.
3. Memberikan hak separatis bagi kreditor pemegang hak jaminan. Artinya benda yang dibebani hak jaminan bukan merupakan harta pailit dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan.
4. Merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan akan selalu melekat di atas benda tersebut (droit de suite) kepada siapapun juga benda tersebut beralih kepemilikannya.
5
5. Kreditor pemegang hak jaminan mempunyai wewenang penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya.
6. Berlaku bagi pihak ketiga, dimana berlaku pula asas publisitas. Artinya hak jaminan tersebut harus didaftarkan.6
Jaminan kebendaan dalam jaminan kredit merupakan upaya guna
memperkecil resiko. ”Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditor
yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi
oleh debitor atau oleh penjamin debitor”.7 Salah satu perlindungan hukum yang
diberikan oleh undang-undang kepada kreditor pemegang hak jaminan untuk
mengambil pelunasan atau piutangnya terhadap debitor yang cidera janji adalah
kreditor pemegang hak kebendaan dapat menuntut haknya dengan cara menjual
barang milik debitor tersebut serta mengambil pelunasan dari penjualan tersebut.
Untuk definisi tentang jaminan dalam KUH Perdata ternyata tidak
dirumuskan secara tegas, KUH Perdata hanya memberikan perumusan jaminan secara
umum yang diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata, yang mengatakan segala
kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan. Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dapat diketahui
bahwa hak untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak
istimewa, dari hak gadai dan dari hak hipotik. Berkaitan dengan Pasal 1131 KUH
Perdata, Djuhaendah Hasan menyatakan bahwa :
6
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Op. Cit, hlm. 281.
7
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dari undang-undang. Di sini undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang sama atau di sini berlaku asas paritas creditorum, dimana pembayaran atau pelunasan utang kepada para kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren bersaing dalam pemenuhan piutangnya kecuali apabila ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) kepada para kreditor tersebut.8
Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan
yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian
utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti
substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati
batas-batas negara. “Hubungan antara sektor ekonomi dengan sektor hukum tidak
hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian melainkan juga
bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum.”9Perjanjian jaminan
kebendaan memberikan kedudukan yang istimewa kepada para kreditor yang
memiliki hak preferen yaitu hak untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya dalam
pengambilan pelunasan piutang dari benda yang menjadi objek jaminan. Hak
istimewa menurut Pasal 1134 KUH Perdata adalah hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari orang
berpiutang lainnya.
8
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang
Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 234.
9
Tingkat kedudukan kreditor berdasarkan pelunasan piutangnya dari debitor
dapat dikatagorikan, sebagai berikut :
1. Kreditor Preferen (istimewa atau privilege) yang terdiri atas :
a. Kreditor preferen karena undang-undang,
Yaitu kreditor yang oleh undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi
dari pada kreditor lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang yang diatur
dalam Pasal 1139 KUH Perdata dan Pasal 1149 KUH Perdata.
b. Kreditor separatis (secured creditor),
Yaitu kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan, artinya para kreditor
separatis tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya
dinyatakan pailit.
2. Kreditor Konkuren (unsecured creditor)
Yang disebut juga kreditor bersaing, karena tidak memiliki jaminan secara khusus
dan tidak memiliki hak istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor
tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas creditorium.
Jaminan kebendaan yang dapat diikat Hak Tanggungan yang diatur didalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, agar kedudukan kreditor sebagai
pemegang jaminan menjadi kuat secara yuridis, maka atas jaminan yang diperoleh
kreditor harus dilakukan pengikatan dengan cara pembebanan Hak Tanggungan yang
kemudian didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat di mana objek
Lembaga Hak Tanggungan telah memberikan kedudukan yang didahulukan kepada
kreditor pemegang hak jaminan (droit de preference), yaitu kepada kreditornya
sebagaimana tercantum dalam kalimat terakhir Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan, yaitu :
”...memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.”
Dalam hukum jaminan Indonesia kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
yang berkedudukan sebagai kreditor separatis adalah atas Hak Tanggungan, hipotik,
gadai dan fidusia. Dengan demikian, kreditor pemegang hak jaminan mempunyai hak
separatis. Hak separatis juga terdapat pada gadai, hipotik dan jaminan fidusia yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
Hak separatis yang dimiliki pemegang hak jaminan tersebut (kreditor
separatis) memiliki kedudukan untuk dapat mengeksekusi barang jaminan yang
dimilikinya. Kreditor separatis tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan
eksekusi atas hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak
jaminan tersebut. Kreditor separatis memiliki hak didahulukan untuk mengeksekusi
barang jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang apabila
debitor cedera janji (wanprestasi) sebagaimana tercantum pada Pasal 6
Undang-Undang Hak Tangggungan :
Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.
Pasal tersebut memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk
melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu
memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi juga tidak perlu
meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas
Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitor dalam hal debitor cedera janji.
Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan juga disebutkan bahwa
dalam peristiwa kepailitan dari pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang untuk
melaksanakan segala hak yang dipunyainya berdasarkan UUHT. Kreditor dapat
melaksanakan haknya berdasarkan UUHT seakan-akan tidak ada kepailitan atau
seakan akan tagihan kreditor ada di luar kepailitan, di luar sitaan umum. Berarti
bahwa sesuai hal tersebut maka putusan pernyataan pailit oleh hakim tidak
mempunyai pengaruh terhadap pemegang Hak Tanggungan. Dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) tersebut, maka setiap
kreditor yang memegang Hak Tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan.
Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Keistimewaan hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan juga dijamin
melalui ketentuan pasal 21 UUHT, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan
pailit, kreditor tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut
UUHT. Objek Hak Tanggungan tidak termasuk dalam budel kepailitan pemberi Hak
Tanggungan, sebelum pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan. Budel adalah harta kekayaan yang belum
dibagi.
Peristiwa kepailitan dari pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak
Tanggungan tetap berwenang untuk melaksanakan segala hak dipunyainya
berdasarkan UUHT. Kreditor dapat melaksanakan hak-haknya berdasarkan UUHT
seakan-akan tidak ada kepailitan atau seakan-akan tagihan kreditor ada di luar
kepailitan, diluar sitaan umum. “Karenanya kreditor seperti itu disebut kreditor
separatis”.10
Perkara permohonan kepailitan adalah perkara yang diajukan pada Pengadilan
Niaga. Apabila permohonan diterima oleh Pengadilan maka akan ditetapkan siapa
Hakim pengawas yang bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta
pailit serta untuk mengeluarkan ketetapan yang diperlukan dalam proses pasca
kepailitan. Juga ditetapkannya seorang kurator untuk melaksanakan pemberesan harta
10
pailit termasuk menuntut penyerahan objek Hak Tanggungan untuk dijual di muka
umum/lelang dengan seijin Hakim Pengawas apabila kreditor separatis tidak dapat
melaksanakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut melalui penjualan
lelang di muka umum atau lelang dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak
dinyatakannya harta pailit telah insolven atau setelah masa penangguhan 90
(sembilan puluh) hari. “Setelah upaya hukum tidak ada lagi di mana budel pailit harus
dijual untuk membayar utang kepada kreditor, fase insolven adalah fase paling akhir
dimana harta pailit harus dijual.”11
Saat ini dunia usaha di Indonesia sudah berskala Internasional, modal para
pengusaha berasal dari berbagai sumber, sebahagian besar dari bank-bank swasta
dalam dan luar negeri, sehingga peraturan kepailitan mutlak harus disesuaikan dengan
keadaan tersebut.12 Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum
kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam
penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi
ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian
menyebar melewati batas-batas negara. “Hubungan antara sektor ekonomi dengan
sektor hukum tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian
melainkan juga bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum.”13
11
Hasil Wawancara dengan Sunarmi, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 8 Juli 2010.
12
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, edisi 2, PT. Sofmadia, Jakarta, hlm. 5.
13
Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
secara materil dan spiritual, serta merupakan upaya yang berkesinambungan. Dalam
rangka memelihara dan meneruskan pembangunan nasional yang berkesinambungan
tersebut diperlukan pembangunan dalam bidang hukum. Sejalan dengan hal tersebut,
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa ”Hukum merupakan sarana
pembaharuan masyarakat yang didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan
atau ketertiban dan kepastian hukum dalam usaha pembangunan atau pembaharuan
merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu”.14
Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Faillissement verordening,
Pemerintah dalam hal ini memberikan 2 (dua) alasan utama :15
Pertama, adanya kebutuhan yang besar dan sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil dan terbuka, dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian Nasional. Kedua, dalam kerangka penyelesaian akibat-akibat gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya terhadap masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu di bidang perekonomian.
Pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998, Peraturan mengenai kepailitan
yang ada adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang
Kepailitan, dirasakan sebagian besar materinya tidak sesuai dengan perkembangan
14
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 13.
15
dan kebutuhan hukum masyarakat karena sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan
perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan
masalah utang piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan
terhadap peraturan perundangan-undangan. Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun
1998 tentang Undang Kepailitan (UUK) disempurnakan menjadi
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UUKPKPU). ”Penyempurnaan hukum kepailitan hanyalah satu
upaya pemerintah di samping pengembangan kebijakan lain yang harus
diperhitungkan dalam mengkaji upaya pemulihan perekonomian nasional”.16
Sehubungan dengan kondisi debitor yang insolven, maka baik debitor maupun
kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pada UUKPKPU. Secara umum dalam
hukum kepailitan, debitor baru dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada
dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Persyaratan ini karena didasarkan
karena adanya krisis finasial yang dialami debitor (liquidity crisis) untuk membayar
seluruh utang-utangnya dan dengan adanya keadaan tersebut kepentingan kreditor
secara keseluruhan harus dilindungi.
Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar namun dalam hal ini
tidak dijelaskan secara terperinci apabila keadaan tersebut karena keadaan ketidak
16
mampuan membayar atau disebabkan alasan tertentu. Menurut Friedman, insolvensi
(insolvency) diartikan sebagai :17
a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu
seperti layaknya dalam bisnis, atau
b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asset dalam waktu tertentu.
Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut, baik debitor
maupun kreditor harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan-persyaratan yang
menjadi unsur-unsur pengajuan permohonan kepailitan yang diatur dalam Pasal 2
ayat (1) UUKPKPU, yaitu:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Unsur-unsur kepailitan tersebut merupakan persyaratan yang sangat pokok
dan mendasar sebagai dasar hukum dalam mengajukan permohonan pernyataan
pailit, oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara kepailitan, para praktisi hukum,
khususnya hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara tidak boleh
mengesampingkan unsur-unsur kepailitan tersebut.
Apabila debitor terbukti telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal
2 ayat (1) UUKPKPU tersebut, maka hakim Pengadilan Niaga dapat memberikan
17
putusan pernyataan pailit kepada debitor. Penyelesaian utang-piutang terhadap
kreditor pemegang hak jaminan tersebut di dalam ketentuan UUKPKPU Pasal 55 ayat
(1), menyebutkan bahwa ”setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak
Tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan
hak pihak ketiga untuk menuntut haknya yang berada dalam penguasaan debitor pailit
atau kurator ditangguhkan karena UUKPKPU menganut ketentuan mengenai
berlakunya keadaan diam, dengan kata lain memberlakukan atau standstill, sejak
pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan. UUKPKPU memungkinkan adanya masa
penundaan hak eksekusi (standstill), termasuk hak pihak ketiga atas hartanya yang
ada pada debitor untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak penetapan pailit
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU, yakni :
Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
UUKPKPU dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam
penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan.
”Selama berlangsungnya keadaan diam (standstill), debitor tidak
diperbolehkan untuk melakukan negosiasi dengan kreditor tertentu, tidak boleh
itu debitor tidak pula diperkenankan untuk memperoleh pinjaman baru”.18 Dengan
adanya ketentuan, bahwa keadaan diam diberlakukan dengan jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, maka
dalam masa ini debitor dapat saja melakukan tindakan-tindakan yang dapat
merugikan kreditor terhadap barang-barang jaminan pada saat keadaan diam
diberlakukan, karena dalam masa ini terdapat jangka waktu yang dapat dipergunakan
oleh debitor untuk melakukan tindakan curang kepada para kreditornya.
Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditor dilakukan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan
perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor kecuali dapat dibuktikan sebaliknya,
debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui
atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian
bagi kreditor. Dalam Pasal 41 ayat 1 UUKPKPU menyatakan :
Untuk kepentingan harta pailit kepada Pengadilan dapat diminta
pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit
yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan
pailit diucapkan.
Adanya penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor
dinyatakan pailit dan apabila jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut telah
lewat maka hak eksekusi kreditor pemegang hak jaminan dihidupkan kembali untuk
jangka waktu 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolven atau harta kekayaan
18
debitor berada dalam keadaan tidak mampu membayar. Lewatnya jangka waktu
dihidupkannya kembali hak kreditor untuk mengeksekusi agunan menyebabkan dapat
menuntut diserahkannya barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual
dimuka umum dengan mendapat ijin dari Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak
pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.
UUKPKPU ternyata tidak menjunjung tinggi hak separatis dari para kreditor
pemegang hak jaminan, ketentuan yang diberikan oleh UUKPKPU tersebut bukan
saja menegaskan dan memperjelaskan sikap UUKPKPU yang tidak mengakui hak
separatis dan dari kreditor pemegang hak jaminan, karena memasukkan benda-benda
yang dibebani hak jaminan sebagai harta pailit, dan juga tidak mengakui hak kreditor
pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi sendiri hak jaminannya yaitu
dengan cara menjual benda-benda yang telah dibebani hak jaminan itu setelah debitor
cidera janji.
Sesungguhnya lembaga hak jaminan haruslah dihormati oleh UUKPKPU
karena pemegang hak jaminan mempunyai hak separatis yaitu hak yang diberikan
oleh hukum kepada kreditor pamegang hak jaminan berhak untuk melakukan
eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri. Sehubungan dengan berlakunya hak
separatis tersebut maka pemegang hak jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk
melakukan eksekusi hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani
proses kepailitan merupakan sendi-sendi yang penting sekali dari sistem perkreditan
suatu negara”.19
Melihat hal-hal tersebut di atas maka akan timbul masalah yang akan dihadapi
oleh kreditor separatis yang kedudukannya secara tegas telah dijamin oleh UUHT
sebagai kreditor yang dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan
berdasarkan kekuasaannya sendiri tanpa memerlukan ijin dari pengadilan. Akan
tetapi dalam kepailitan hak tersebut telah ditangguhkan untuk jangka waktu 90
(sembilan puluh) hari, dan apabila selama 90 (sembilan puluh) hari tersebut harta
pailit dalam keadaan insolven artinya bahwa kreditor separatis tidak dapat menjual
objek hak jaminan atas kekuasaan sendiri, karena masa penangguhan adalah masa
untuk berhenti secara otomatis untuk kreditor tidak melakukan eksekusi terhadap
objek Hak Tanggungan. Dalam hal ini kreditor separatis akan kehilangan haknya
untuk mengeksekusi sendiri objek Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang si
debitor pailit sampai masa standstill/penangguhan berakhir.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di dalam latar belakang penelitian di atas, terdapat
beberapa pokok-pokok permasalahan yang dapat didefenisikan untuk diteliti dan
dapat dirumuskan, sebagai berikut :
1. Bagaimana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan Indonesia?
19
2. Bagaimanakah pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan?
3. Apakah peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor
separatis?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum
kepailitan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan
pemberesan harta paillit di Balai Harta Peninggalan Medan.
3. Untuk mengetahui peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 apakah telah memberikan perlindungan hukum
kepada kreditor separatis.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diharapkan penelitian ini akan
1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini dapat berupa :
a. Membantu akan memberi masukan dan telaahan bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya dalam aktivitas hukum kepailitan.
b. Memberikan masukan kepada pihak yang terkait, pada saat keadaan diam
dalam proses kepailitan, yang berkaitan dengan perlindungan kreditor.
2. Secara praktis, kegunaan penelitian ini berupa :
a. Dipergunakan sebagai kerangka acuan oleh para praktisi hukum dalam
menyelesaikan kasus hukum perlindungan kreditor.
b. Dapat dipergunakan sebagai acuan bagi pengambil keputusan yang
berhubungan dengan kepailitan di Pengadilan Niaga agar tidak menyimpang
dari sistem hukum di Indonesia sehingga dapat diterapkan terhadap kenyataan
yang terjadi di dalam masyarakat serta demi terciptanya kepastian hukum.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi maupun data yang ada
dan penelusuran pendahuluan yang dilakukan pada kepustakaan khususnya pada
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara terhadap judul ini
belum ada dilakukan penelitian sebelumnya. Namun ada beberapa judul yang
Adapun Judul-judul penelitian terdahulu yang membahas tentang hukum
kepailitan antara lain :
1. Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Perkara Kepailitan oleh Elyta Ras Ginting,
NIM 992105040.
2. Kedudukan Kreditor Separatis Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan
Dikaitkan Dengan Undang-Undang Hak Tanggungan oleh Herlina Sihombing
NIM 047011029.
3. Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum
Kepailitan oleh Zulfikar NIM 077011075.
Pembahasan ataupun penulisan tesis ini dengan judul ”PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI KREDITOR SEPARATIS TERHADAP TINDAKAN-TINDAKAN DALAM PERIODE KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM KEPAILITAN”, belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan dengan
demikian penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual maka penelitian ini dapat
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
”Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.20 Kerangka
Teori yang dimaksud adalah ”suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan
perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang
dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.21
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah ”untuk memberikan
arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati”.22 Teori
yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah teori keadilan, di mana teori
keadilan tersebut untuk melindungi kreditor separatis dalam perkara kepailitan yang
dikaitkan dengan UUKPKPU.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka UUKPKPU harus sejalan dengan tujuan
pembangunan hukum, yaitu dapat melindungi kreditor. Hal tersebut sebagaimana
teori etis yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang tujuan hukum, yang dikutip dari
Van Apeldoorn bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan23.
20
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 6.
21
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
22
Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 35.
23
Tujuannya adalah memberikan tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya. Keadilan
tidak boleh dipandang sebagai penyamarataan. ”Keadilan bukan berarti bahwa
tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama”.24 Hukum yang tidak adil dan tidak dapat
diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai
hukum, tetapi hukum yang menyimpang.
Keadilan yang demikian ini dinamakan keadilan distributif, yaitu keadilan
yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut
supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan
melainkan sesuai/sebanding. Keadilan tersebut harus memberikan kepastian hukum
dan untuk mencapainya harus memiliki itikad baik karena salah satu tujuan hukum
bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia, karena
meniadakan keadilan berarti menyamakan hukum dengan kekuasaan.
Asas keadilan dan kepastian hukum harus mendapatkan perlindungan karena
perjanjian tersebut sifatnya mengikat kepada para pihak yang mengadakan perikatan.
Hal tersebut sebagaimana ajaran Hugo De Groot, yang dikutip dari Mariam Darus
Badrulzaman, mengemukakan bahwa ”asas hukum alam menentukan janji itu
mengikat (pacta sunt servanda)”.25
Kaidah kesamaan perlindungan dalam kepailitan dibuat guna melaksanakan
dua tugas yang sangat berlainan. ”Misinya yang paling sempit adalah mendesakkan
24
Ibid.
25
suatu kebutuhan akan generalitas hukum atas nama persetujuan terbatas perlindungan
individual. Kebutuhan paling sederhana yang diberlakukan dapat terpuasi dengan
setiap generalitas terpercaya dalam kategori yang digunakan hukum”. 26
Suatu hubungan hukum dalam lalu lintas hukum khususnya hukum perjanjian
setidak-tidaknya melibatkan 2 (dua) pihak yang terikat oleh hubungan tersebut, yaitu
kreditor dan debitor. ”Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang
lahir dari hubungan hukum itu berupa prestasi dan kontra prestasi yang dapat
berbentuk memberi, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu”.27 Sumber munculnya hak
dan kewajiban antara kreditor dan debitornya tersebut adalah adanya perikatan
sebagaimana pasal 1233 KUH Perdata, yang berbunyi : ”Tiap-tiap perikatan
dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”.
Dari pasal tersebut suatu perjanjian yang mengikat para pihak (kreditor dan
debitor) yang mempunyai kebiasaan untuk mengadakan segala jenis perikatan asal
tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu:
1. Tidak dilarang oleh undang-undang;
2. Tidak berlawanan dengan kesusilaan;
3. Tidak mengganggu ketertiban umum.
26
Unger, Roberto Mangabeira, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, 1999, hlm. 54.
27
UUKPKPU memberikan defenisi kreditor, debitor, dan utang yang tidak
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan yang
selama ini menimbulkan berbagai interprestasi. Kreditor menurut UUKPKPU adalah
orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau karena undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor menurut
UUKPKPU adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.
Tujuan kepailitan pada hakekatnya adalah untuk menyelesaikan utang piutang
antara debitor kepada lebih dari satu kreditor. Seorang debitor hanya mempunyai satu
kreditor dan debitor tidak membayar utangnya, maka seorang kreditor akan
menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang tanpa
melalui kepailitan dengan alasan wanprestasi dan seluruh harta debitor menjadi
sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Selanjutnya apabila dalam hal
debitor memiliki lebih dari satu kreditor tidak cukup untuk membayar lunas semua
utang-utangnya, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik halal
maupun tidak untuk mendapatkan pelunasan utangnya terlebih dahulu.
Bentuk perlindungan bagi kreditor sebagaimana tersebut di atas telah diatur
dalam ketentuan UUKPKPU antara lain :
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren atau unsecured
creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing
kreditor tersebut);
3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor;
4. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan;
5. Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitor.28
Selain itu dalam UUKPKPU juga diatur mengenai bagaimana cara
menentukan kebenaran mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan) seorang
kreditor, mengenai sahnya piutang (tagihan) tersebut, mengenai jumlah yang pasti
dari piutang (tagihan) tersebut atau bagaimana tata cara melakukan
pencocokan/verifikasi.
Kepailitan menurut Siti Soemarti Hartono adalah ”suatu lembaga yang
merupakan realisasi dari 2 (dua) asas pokok yang tercantum dalam Pasal 1131 dan
Pasal 1132 KUH Perdata”.29 Menurut Pasal 1131 KUH Perdata semua benda
bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada maupun
28
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan..., Op. Cit, hlm. 45.
29
yang akan diperolehnya menjadi jaminan atas segala perikatannya, sedangkan Pasal
1132 KUH Perdata menyatakan bahwa benda-benda itu menjadi jaminan bagi semua
kreditornya secara bersama-sama, hasil penjualan benda-benda itu dibagi secara
seimbang menurut perbandingan tagihan-tagihan masing-masing kreditor, kecuali di
antara para kreditor terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditor
lain.
Berkaitan dengan ketentuan dan asas yang terkandung dalam Pasal 1131 KUH
Perdata, Djuhaendah Hasan menyatakan bahwa: ”Pemegang jaminan fidusia, Hak
Tanggungan, hipotek, kreditor preferen atau kreditor dengan hak istimewa adalah
kreditor seperti yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata.”30 ”Adapun kreditor
yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain sama”.31
Berkaitan dengan Hukum Kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan:
Apabila seorang debitor memiliki lebih dari seorang kreditor, lebih-lebih apabila jumlah kreditor itu banyak sekali, dan di antara kreditor- kreditor itu terdapat pula satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor preferen, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan asset debitor di antara para kreditor itu. Cara pembagian itu diatur dalam Hukum Kepailitan (Bankrupcy law atau insolvency law). Pengaturan tersebut diperlukan demi ketertiban dan kepastian.32
30
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebandaan..., Op.Cit, hlm. 234.
31
Iman S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 127.
32
Dalam ilmu hukum perdata, seorang pemegang hak jaminan (hak agunan)
memiliki hak yang disebut sebagai hak separatis. Hak separatis adalah hak-hak yang
diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang hak jaminan bahwa hak jaminan
(agunan) yang dibebani dengan hak jaminan tidak termasuk harta pailit, dan kreditor
berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri yang diberikan
oleh undang-undang sebagai perwujudan dari hak kreditor pemegang hak jaminan
untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya.
Sehubungan dengan berlakunya hak separatis tersebut, maka pemegang hak
jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya
atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan itu. Dalam
UUKPKPU ternyata tidak menjunjung tinggi hak separatis dari para kreditor
pemegang hak jaminan sebagaimana dilihat dari diberlakukannya ketentuan Pasal 56
ayat (1) UUKPKPU.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, UUKPKPU ini ternyata tidak konsisten. Di
satu pihak ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU tersebut mengakui hak dari
kreditor, tetapi di pihak lain ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU justru
mengingkari hak separatis itu karena menentukan bahwa benda yang dibebani hak
jaminan merupakan harta pailit.
Jaminan kebendaan yang dapat diikat Hak Tanggungan tersebut diatur
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Agar kedudukan kreditor
sebagai pemegang jaminan menjadi kuat secara yuridis, maka untuk memberikan
perlindungan kepada kreditor separatis dalam UUHT Pasal 21 ditentukan bahwa :
”Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan
tetap berwewenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut
Undang-Undang ini”. ”Di dalam keadaan diam (standstill) hal ini tidak dimungkinkan
terhadap harta kekayaan debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, dibebani sita.
Juga tidak dimungkinkan para pemegang hak jaminan untuk melakukan eksekusi atas
hak jaminannya”.33
Sikap UUKPKPU yang tidak menempatkan harta debitor yang telah dibebani
dengan hak jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan
sendi-sendi sistem hukum hak jaminan. Hal ini telah membuat Lembaga Hak Jaminan
menjadi tidak ada artinya serta membuat konsep dan tujuan Lembaga Hak Jaminan
menjadi tidak jelas. ”Padahal menurut Peraturan Kepailitan yang lama
(Faillissements verordening), kreditor separatis dapat melaksanakan haknya
sekalipun tidak ada kepailitan, artinya masa penundaan selama 90 (sembilan puluh)
hari tidak ada, artinya hak separatis dari kreditor preferen benar-benar dihormati”.34
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dapat diketahui bahwa syarat
seorang debitor dinyatakan pailit adalah apabila debitor tersebut mempunyai dua atau
33
Ibid, hlm. 54. 34
lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih. Kemudian Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU berbunyi :
”Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
terpenuhi.”
Permohonan pernyataaan pailit harus dikabulkan bahkan secara harafiah
permohonan pailit tidak dapat ditolak apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.
Fakta atau keadaan yang dimaksud adalah fakta bahwa debitor mempunyai 2 (dua)
atau lebih kreditor dan fakta bahwa debitor tidak membayar utangnya yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih.
2. Konsepsi
Dalam rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Actio Pauliana adalah untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan
yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pailit
diucapkan.35
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-
undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.36
Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan.37
Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan
pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.38
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas.39
Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.40
35
Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
36
Pasal 1 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
37
Pasal 1 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
38
Pasal 1 ayat (8) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
39
Pasal 1ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang.
Kreditor Separatis adalah kreditor yang memegang hak untuk melakukan
eksekusi terhadap jaminan.41
Kreditor istimewa adalah kreditor pemegang suatu hak yang diberikan oleh
undang-undang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditor lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya.42
Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di
bawah Pengawasan Hakim Pengawas.43
Pailit adalah keadaan debitor yang tidak mampu lagi membayar
utang-utangnya kepada para kreditornya yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan yang
berwenang untuk itu.44
Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum.45
Standstill adalah keadaan diam dari debitor dengan tidak melakukan
perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan.46
41
Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
42
Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
43
Pasal 1 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
44
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan…, Loc.Cit, hlm. 23.
45
Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk dapat pemenuhannya dari harta
kekayaan debitor.47
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian adalah ”usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang
dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta
sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan
atau menjawab problemnya”.48
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.49
47
Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
48
Joko P, Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 2.
49
Berdasarkan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan
dengan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu ”menggambarkan dan menganalisa
masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatan
yuridis normatif”.50
”Pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud untuk
mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori”.51
”Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti
sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian
terhadap asas-asas hukum”,52 sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan
yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan
dibahas.
50
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13. 51
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Gramedia Indonesia, 1990), hlm. 11.
52
2. Pendekatan Penelitian
Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang diartikan
sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yaitu meneliti terhadap
bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian ini meliputi penelitian terhadap
asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, buku-buku dan
literatur lain mengenai saat keadaan diam (standstill), mengkaji aspek hukum yang
ada, dan dengan peraturan yang ada, bagaimana pelaksanaannya, apakah peraturan
tersebut cukup menaungi fenomena yang ada dan atau diperlukan suatu peraturan
yang lebih kompleks.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan pada Kantor Balai Harta Peninggalan
Medan, Jalan Listrik Nomor 10 Medan.
4. Alat Pengumpulan Data
”Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data
sekunder”,53 oleh karena itu ”alat pengumpulan data yang dipergunakan di dalam
penelitian ini adalah sebagai Library Research (Studi Kepustakaan)”.54
53
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 121.
54
Studi Kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis. Selanjutnya lihat Soerjono Soekanto, Pengantar
Metode ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, menafsirkan dan
mentransfer dari sumber atau bahan-bahan tertulis sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan peraturan
perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, Surat Edaran Mahkamah Agung dan peraturan yang ada kaitannya
dengan kepailitan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan hukum primer yaitu karangan ilmiah, buku-buku referensi dan
informasi, kepailitan, penundaan pembayaran utang dan keadaan standstill dari
kreditor dan putusan kepailitan yang ada di Balai Harta Peninggalan (BHP)
Medan.
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan
penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yakni kamus umum, kamus hukum,
jurnal, artikel, majalah dan lain sebagainya.
Wawancara (interview), yaitu melakukan wawancara dengan para informan
atau nara sumber dari Balai Harta Peninggalan selaku kurator yang ditunjuk oleh
pihak pemerintah dan para praktisi serta akademisi yang mengetahui tentang masalah
kepailitan, dengan menggunakan pedoman wawancara bebas agar data diperoleh
langsung dari sumbernya dan lebih mendalam yaitu dengan :
1. Bapak Amri Marjunin, selaku Mantan Ketua BHP di Medan.
3. Bapak Syahril Sofyan, selaku Mantan Ketua BHP di Makasar.
4. Bapak Sueb Soeparno, selaku Mantan Ketua BHP di Jakarta.
5. Bapak Mukhlis Adlin, selaku Mantan Ketua BHP di Jakarta.
6. Bapak Thamsir Halik, selaku Sekretaris BHP di Jakarta.
7. Bapak Tan Kamello, selaku Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Sumatera
Utara.
8. Ibu Sunarmi, selaku Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak Basril, selaku Legal Division pada PT. Bank Mandiri Medan.
10. Bapak Iwan Setiawan, selaku Legal Division pada PT. Bank CIMB Niaga
Medan.
5. Analisa Data
Dalam suatu penelitian sangatlah diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. ”Setelah
pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan dan dengan wawancara
maka data tersebut dianalisa secara kualitatif”55 yakni dengan ”mengadakan
pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan
ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti
dengan logika induktif” 56 yaitu berpikir dari hal yang khusus menuju hal yang lebih
55
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 10.
56