• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Biak Di Provinsi Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Biak Di Provinsi Papua"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERTUMBUHAN KAWASAN PENGEMBANGAN

EKONOMI TERPADU (KAPET) BIAK DI PROVINSI PAPUA

JOHANIS ALFRED MSIREN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Johanis A. Msiren

(4)

RINGKASAN

JOHANIS ALFRED MSIREN. Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BABA BARUS.

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau yang disingkat KAPET adalah salah satu program pemerintah pusat untuk memacu pertumbuhan ekonomi di tiga belas wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Papua yang dikenal dengan nama Kapet Biak. Aplikasi program ini yang menggunakan sistem nodal dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kendala antara lain tidak adanya skala prioritas, rendahnya komitmen stakeholders, keterbatasan sumberdaya manusia dan infrastruktur. Kapet Biak terdiri dari lima Kabupaten yaitu Biak Numfor sebagai inti, sedangkan Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen dan Nabire sebagai

hinterland. Program ini ditetapkan oleh Keputusan Presiden (keppres) Nomor 90 tahun 1996 dan terus mengalami perubahan hingga terbitnya Keppres Nomor 150 tahun 2000.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tipologi wilayah, sektor unggulan dan potensi sumberdaya ikan sedangkan analisis yang digunakan adalah Tipologi Klassen, LQ/SSA/Kemampuan Lahan dan Tangkapan Maksimum Lestari (MSY).

Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa wilayah Kapet Biak dari aspek pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita diklasifikasikan menjadi wilayah yang belum berkembang.

Kabupaten yang memiliki sektor unggulan adalah Waropen dan Supiori yaitu sektor pertanian, industri, bangunan dan jasa, sedangkan Nabire, Kepulauan Yapen dan Biak Numfor memiliki sektor yang kompetitif atau komparatif yaitu sektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan, pengangkutan, bangunan dan listrik. Pengembangan wilayah hendaknya berbasis sektor unggulan lokal sehingga setiap kabupaten di Kapet Biak wajib mengembangkan potensi sumberdaya lokalnya. Potensi daya dukung lahan untuk sektor pertanian terluas di Kabupaten Nabire dan terkecil di Kabupaten Supiori.

Selain sumberdaya yang telah dan akan dikelola oleh setiap kabupaten di Kapet Biak terdapat pula sumberdaya bersama yang masih belum dikelola secara terintegrasi dan terpadu, sumberdaya bersama (CPRs) tersebut adalah laut. CPRs

memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensi lestarinya fluktuatif CPRs ini dapat diandalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di setiap wilayah Kapet Biak.

(5)

SUMMARY

MSIREN JOHANIS ALFRED, Growth Analysis of Integrated Economic Development Zone (KAPET) Biak in Papua Province. Supervised by SETIA HADI and BABA BARUS.

Integrated Economic Development Zone or the abbreviated KAPET was one of the central government's program to increase economic growth in thirteen regions of Indonesia. One of them in Papua province is known as Kapet Biak. Application of this program used nodal system seeing some problems. Those were low of priority scale, commitment of stakeholders, lowest of human resources and infrastructure. Kapet Biak consists of five districts, Biak Numfor is a core while Supiori, Yapen Islands, Waropen, also Nabire are hinterland. This program was regulated by Presidential Instruction Number 90, 1996 and revised by Presidential Instruction No. 150, 2000.

The purpose of this study is to analyze the typology of the region, leading sectors and the potential of fish resources. Tools of analized are Typology Klassen, LQ/SSA/Land Capability and Maximum Sustainable Yield (MSY).

The results of this studied describes that Kapet Biak from the aspect of economic growth and income per capita are classified into less develop regions.

Waropen and Supiori had leading sectors, such as agriculture, industry, construction and services, while Nabire, Yapen and Biak Islands Numfor only had competitive or comparative sectors. Regional development should on potential of local leading sector The land carrying capacity for agriculture sector in Nabire regency is the largest and in Supiori is the smallest.

Beside the resources that have been and will be managed by each districts in Biak Kapet, there is also a common pool resources (CPRs) is not yet managed integrated and unified. This CPRs is sea resources, it had fish potential and fluctuative maximum sustainable yield this regency may to growth economic and increase income per capita in each district on Kapet Biak.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS PERTUMBUHAN KAWASAN PENGEMBANGAN

EKONOMI TERPADU (KAPET) BIAK DI PROVINSI PAPUA

JOHANIS ALFRED MSIREN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencaanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua

Nama : Johanis Alfred Msiren

NRP : A156120181

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Setia Hadi, MS Dr Ir Baba Barus, MSc

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr Ir Santun R P Sitorus Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas penyertaan dan perlindunganNya sehingga tesis yang berjudul ”Analisis Pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak di Provinsi Papua” dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr Ir Setia Hadi, MS dan Dr Ir Baba Barus, MSc sebagai Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan tesis. Apresiasi dan terima kasih penulis kepada Dr Ir Ernan Rustiadi, M Agr sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi konstruktif, juga Dr Ir Dwi Poetra Tedjo Baskoro, MSc selaku moderator pada ujian tesis serta kepada Prof Dr Ir Santun R P Sitorus, MSc sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta staf pengajar atas bimbingan, arahan dan perhatiannya.

2. Bapak T. O. Dangeubun, MSi selaku Kepala Bappeda Biak Numfor dan juga sebagai atasan penulis yang selalu memberi motivasi, spirit dan dukungan finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

3. Bapak L. L. Jensenem, MSi selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Biak Numfor yang tidak pernah jemu-jemu memberikan dukungannya sehingga dapat terselesainya studi penulis.

4. Bupati Biak Numfor atas sumbangsih terhadap proses penelitian penulis dan dukungan finansial dalam penyelesian studi.

5. Bapak M. Mansnembra selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Bapak Z. Mailoa selaku Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan yang juga memberikan dukungan finansial.

6. Keluarga C. Korwa, M. Mokai, M. Sawias, S. Erbo, A. Erbo dan A. Aibekob (Almh) atas sumbangsih selama penelitian dan studi.

7. Rekan-rekan PWL’12 spesial om Wahyu, om Afri dan om Alwan atas dukungan spasial map sehingga menambah memperkaya tulisan penulis. 8. Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Papua atas kebersamaan selama in.

9. Isteriku tersayang Selfina Erbo/Msiren atas perhatian moriil dan dukungan doa, dengan setia, sabar dan rela memberikan perhatian lebih serta keempat anakku Alin Persilla Msiren, Christie Kartika Msiren, Theofilus Arend Msiren dan Jehuda Olief Msiren sabar menunggu dan belajar dalam kesendirian tetapi tetap bersemangat.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam diskusi, saran dan doa sehingga tesis ini terselesaikan dengan baik.

Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan perencanaan wilayah di Kapet Biak tetapi penulis juga sadari bahwa “tak ada gading yang tak retak” demikian pula tulisan ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak guna melengkapi tesis ini.

Bogor, Oktober 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Permasalahan 3

Tujuan Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Konsep Wilayah 6

Pembangunan Wilayah 9

Indikator Pembangunan Wilayah 10

Pendapatan Wilayah 13

Sektor Unggulan 14

Potensi Sumberdaya Ikan 16

Penelitian Terdahulu 16

3 METODE PENELITIAN 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengumpulan Data 19

Teknik Analisis Data 20

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELTIAN 27

Kondisi Fisik Wilayah 27

Penduduk dan Perekonomian 32

Infrastruktur Wilayah 38

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 44

Klasifikasi Wilayah 44

Sektor Unggulan 48

Potensi Sumberdaya Ikan 53

6 SIMPULAN DAN SARAN 63

Simpulan 63

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 67

(12)

DAFTAR TABEL

1 Hubungan antara berbagai konsep wilayah dengan manfaat

penggunaannya 7

2 Pengelompokkan Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah 12

3 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu 17

4 Administrasi Wilayah Kapet Biak di Provinsi Papua 19

5 Tujuan Penelitian, Jenis, Sumber data dan output yang diharapkan 19

6 Klasifikasi Daerah Menurut Analisis Tipologi Klassen 21

7 Pengelompokan Jenis Ikan untuk Pengkajian Stok 26

8 Perhitungan Fishing Power Index 26

9 Perhitunga Total Effort 26

10 Kalkulasi Catch Per Unit Effort 27

11 Potensi Bahan Galian di Wilayah Kapet Biak 30

12 Jumlah Industri di Wilayah Kapet Biak 37

13 Jumlah Sarana Pendidikan di Wilayah Kapet Biak 38

14 Jumlah Prasarana Kesehatan di Wilayah Kapet Biak 39

15 Jumlah Sarana Ibadah di Wilayah Kapet Biak 39

16 Jumlah Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro di Wilayah Kapet

Biak 39

17 Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah Kapet Biak 40

18 Terminal Angkutan Darat di Wilayah Kapet Biak 40

19 Jumlah Lalu Lintas Angkutan Laut di Wilayah Kapet Biak 42 20 Kondisi Prasarana Angkutan Laut di Wilayah Kapet Biak 42

21 Rute Penerbangan di Wilayah Kapet Biak 43

22 Jumlah Lalu Lintas Angkutan Udara di Wilayah Kapet Biak 43

23 Jumlah dan Kapasitas Listrik di Wilayah Kapet Biak 43

24 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kapet Biak 44

25 Pendapatan Per Kapita di Wilayah Kapet Biak 44

26 Tipologi Wilayah Kapet Biak 46

27 Hasil Analisis LQ di Wilayah Kapet Biak 48

28 Hasil Analisis Shift Share di Wilayah Kapet Biak 49

29 Potensi Sektor Unggulan di Wilayah Kapet Biak 51

30 Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan di Wilayah Kapet Biak 52

31 Kelas Kemampuan Lahan I - IV dan Faktor Penghambat 52

32 Data Effort dan CPUE di Wilayah Kapet Biak 54

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 5

2 Hubungan Fungsional antara Inti dan Hinterland dalam Wilayah Nodal 9 3 Sistematika Konsep-Konsep Indikator Kinerja Pembangunan Wilayah 11

4 Peta Administrasi Wilayah Kapet Biak 29

5 Penggunaan Lahan Kering di Wilayah Kapet Biak 32

6 Diagram Jumlah Penduduk di Wilayah Kapet Biak 32

7 Persentase Produk Domestik Regional Bruto ADHB di Wilayah Kapet

Biak 34

8 Persentase Produksi Tanaman Pangan di Wilayah Kapet Biak 34 9 Persentase Produksi Tanaman Perkebunan di Wilayah Kapet Biak 35

10 Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di Wilayah Kapet Biak 35

11 Jumlah dan Jenis Armada Perikanan Laut di Wilayah Kapet Biak 36

12 Jumlah Rumah Tangga Nelayan di Wilayah Kapet Biak 36

13 Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Papua 46

14 PDRB Per Kapita di Provinsi Papua 46

15 Peta Tipologi Wilayah Kapet Biak 50

16 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Nabire 55

17 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Kepulauan Yapen 55

18 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Waropen 56

19 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Supiori 56

20 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di Kabupaten Biak Numfor 57 21 Sketsa Sintesis Pengembangan Kapet Biak di Provinsi Papua 62

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Nabire 67

2 Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Waropen 67

3 Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Kepulauan Yapen 67

4 Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Supiori 67

5 Perhitungan PDRB Per Kapita di Kabupaten Biak Numfor 68

6 Perhitungan PDRB Per Kapita di Provinsi Papua 68

7 Perhitungan Fishing Power Index di Kabupaten Nabire Tahun 2004 -

2012 68

8 Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di

Kabupaten Nabire 70

9 Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di

Kabupaten Waropen 70

10 Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di

Kabupaten Supiori 70

11 Hasil Perhitungan Estimasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan di

Kabupaten Biak Numfor 71

(14)

14 Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Kep. Yapen 72 15 Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Supiori 72 16 Regresi Linier antara CPUE dan Effort di Kabupaten Biak Numfor 72

17 Peta Sektor Komparatif/Basis di Wilayah Kapet Biak 73

18 Peta Sektor Kompetitif di Wilayah Kapet Biak 74

19 Peta Kelas Kemampuan Lahan di Wilayah Kapet Biak 75

20 Peta Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Kapet Biak 76

21 Perhitungan Analisis Location Quotient di Wilayah Kapet Biak 77 22 Perhitungan Analisis Shift Share di Wilayah Kapet Biak 77

23 PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Nabire 79

24 PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Waropen 81 25 PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Kepulauan Yapen 83 26 PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Supiori 85 27 PDRB ADHK 2000 Tahun 2005 - 2012 di Kabupaten Biak Numfor 87

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau yang dikenal dengan singkatan KAPET, ditetapkaan dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000 yang mendefinisikan KAPET adalah suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu dengan syarat sebagai berikut : (a) memiliki potensi untuk cepat tumbuh dan atau.; (b) mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya dan atau.; (c) memiliki potensi pengembalian investasi yang besar. Konsep ini diharapkan dapat menjawab kesenjangan pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) dari Kawasan Barat Indonesia (KBI). Kronologis pembentukan Kapet di Indonesia diawali melalui Keppres No.120/1993 yang intinya membentuk Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekonomi atas sembilan Kawasan Andalan di sembilan Provinsi di KTI dan 4 Provinsi lainnya yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimatan Selatan, sehingga seluruhnya menjadi 13 Kawasan Andalan. Untuk meningkatkan keterpaduan pertumbuhan ekonomi antara masing-masing wilayah andalan dengan wilayah KTI secara menyeluruh, arah pertumbuhan ekonominya didasarkan pada potensi dan sektor unggulan di masing-masing wilayah. Dengan demikian ke 13 Kawasan Andalan tersebut di atas kemudian dikukuhkan melalui Keppres No.89 tahun 1996a, menjadi KAPET.

Kapet Biak ditetapkan melalui Keppres Nomor 90 Tahun 1996b, kemudian direvisi oleh Keppres Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penetapan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Biak dan masih mengalami penyempurnan melalui Keppres Nomor 150 tahun 2000. Adapun tugas Badan Pengelola Kapet yaitu memberi rekomendasi teknis kepada Pemerintah Daerah (pemda) yang berkaitan dengan investasi, penyederhanaan perijinan dan peraturan melalui pelayanan satu atap, pelayanan data dan informasi bagi investor, serta pengembangan konsep kegiatan ekonomi terpadu/lintas sektor. Wilayah Kapet Biak kini terdiri dari 5 (lima) kawasan yaitu Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Supiori, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Waropen, dan Kabupaten Nabire dengan luas 23,588.03 km2 atau 5.81 % dari luas wilayah Provinsi Papua.

(16)

makro yang berkorelasi dengan perekonomian di wilayah Kapet Biak. Konsep kegiatan ekonomi terpadu selayaknya memperhatikan keidentikan kondisi geobiofisik kawasan dan berbagai regulasi/kebijakan yang ditetapkan pada level pusat, provinsi dan kabupaten serta komitmen bersama antar para penentu kebijakan (political will) yang akan bermuara pada peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut.

Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa sebagian pakar ekonomi pembangunan berpendapat bahwa hakekat pembangunan secara sederhana adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pendekatan sejarah pertumbuhan negara-negara di dunia, Rostow (1960) mencetuskan suatu model tahapan pertumbuhan ekonomi (the stages of economic growth). Menurut Rostow proses pertumbuhan dapat dibedakan ke dalam lima tahap dan setiap negara atau wilayah dapat digolongkan ke dalam salah satu dari kelima tahapan tersebut. Adapun lima tahapan pertumbuhan tersebut adalah : (a). Masyarakat tradisional (the traditional society); (b). Prasyarat lepas landas (the precondition for take- off); (c). Lepas landas ( the take-off); (d). Gerakan ke arah kedewasaan (the drive to maturity); dan (e). Massa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption).

Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menegaskan bahwa Kapet merupakan kawasan strategis nasional (KSN), menurut regulasi ini KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulataan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia, yang dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Implementasi dan sinkronisasi dari kedua regulasi ini, telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Biak Numfor yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Biak Numfor tahun 2012 – 2032, yang tercantum dalam pasal 40 tentang Kawasan Strategis Kabupaten, yaitu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Biak.

Kapet Biak di provinsi Papua mempunyai wilayah terestrial tetapi di batasi pula oleh wilayah aquatic. Laut merupakan isu geografis dominan yang sangat besar potensinya tetapi belum diketahui secara tepat. Dalam praktek sehari-harinya nelayan lokal hanya menggunakan perahu dayung atau perahu yang menggunakan motor tempel (outboard) sehingga hasil tangkapan mereka relatif sedikit hanya untuk pemenuhan kebutuhan harian dan dipasarkan, jangkauan tangkapan mereka kurang lebih 4 mil dan adapula yang mendekati kawasan terdekatnya, batas laut antar Kapet Biak merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menetapkan batas laut yang dapat dikelola kabupaten/kota sebesar sepertiga dari batas laut provinsi terhitung dari batas garis pantai ke arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan sehingga masih terdapat ruang di laut yang merupakan sumber daya bersama/common pool resources (CPRs). Area yang merupakan CPRs belum dikelola secara terpadu dan lestari oleh karena itu perlu adanya komitmen bersama para stakeholders di kawasan tersebut dalam mengelola potensi laut yang tersedia.

(17)

transportasi darat, laut dan udara yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk di wilayah Kapet Biak. Laporan BPS Provinsi Papua (2013) menginformasikan bahwa panjang jalan di wilayah Kapet Biak sebesar 825,23 km, jumlah hotel sebanyak 29 unit, rumah makan/restoran 28 unit, Sekolah Dasar 462 unit, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 125 unit, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 37 unit, dan Rumah Sakit milik pemerintah sebanyak 4 unit.

Kapet Biak secara geografis terletak di bagian utara pulau Papua yang berhadapan langsung dengan samudera pasifik, dimana jika ditinjau dari skala pelayanan internasional, kawasan ini memiliki potensi/sumber daya yang dapat dikembangkan lebih jauh. Potensi yang menunjang adalah pengembangan jaringan transportasi laut dan udara internasional. Kondisi ini didukung oleh lokasi KAPET Biak yang terletak di segitiga pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu Jepang - Australia - Amerika Serikat (Tokyo - Sydney - Los Angeles). Dasar penentuan arah fungsi kota sebagai Pusat Kegiatan Nasional tersebut yaitu faktor geografis wilayah Biak Numfor serta daya dukung potensi dan karakteristik yang ada yang dapat dikembangkan bagi pertumbuhan kota Biak di masa yang akan datang.

Konsep percepatan ekonomi melalui Kapet Biak yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat di wilayah Papua tahun 1996 perlu dievaluasi dan dikaji sejauhmana pertumbuhan Kawasan Ekonomi Terpadu Biak, sehingga memberikan informasi dasar yang bermanfaat bagi para penentu kebijakan guna menindaklanjuti program ini secara tepat dan terpadu.

Rumusan Permasalahan

Kondisi Kapet Biak dewasa ini diwarnai dengan berbagai isu kesenjangan khususnya ekonomi dan sosial yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal, isu-isu ini menyebabkan miskomunikasi dan mispersepsi sehingga kurangnya rasa percaya sebahagian masyarakat terhadap kebijakan pembangunan nasional di Papua. Pemerintah Pusat dengan pendekatan Kapet terus melakukan evaluasi dan pembenahan agar tercipta kawasan yang pertumbuhan ekonominya tinggi dan berdampak terhadap wilayah di sekitar kawasan tersebut.

Badan Pengelola Kapet Biak telah menetapkan beberapa sektor perekonomian yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB kawasan tersebut antara lain sektor pariwisata, perikanan, perindustrian dan pertanian, namun sektor-sektor ini kurang memberikan dampak terhadap pertumbuhan kawasan tersebut. Menurut laporan BPS Papua (2013). laju PDRB di kawasan ini berkisar antar 4,38% hingga 12,89% dengan wilayah tertinggi di Kabupaten Waropen dan terendah di Kabupaten Kepulauan Yapen dan faktor penghambat lainnya yaitu rendahnya koordinasi, kerjasama dan penyamaan persepsi mengakibatkan program ini belum maksimal operasionalnya.

Setiap wilayah di Kapet Biak memiliki laut, sehingga isu potensi laut menjadi hal yang penting untuk diketahui dan juga laut di wilayah tersebut belum dikelola secara terpadu dengan pembagian peran dan tanggungjawab yang jelas.

(18)

Mengacu pada berbagai isu persoalan diatas maka, peneliti menyusun pertanyaan penelitian yang dapat mengarahkan peneliti yaitu :

1. Bagaimana tipologi wilayah di Kapet Biak ?

2. Sektor-sektor apa yang merupakan sektor unggulan di Kapet Biak ? 3. Bagaimana potensi sumber daya ikan (SDi) di Kapet Biak ?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tipologi wilayah di Kapet Biak.

2. Menganalisis sektor-sektor unggulan di Kapet Biak. 3. Menganalisis potensi sumber daya ikan di Kapet Biak.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Biak, sehingga menitikberatkan pada aspek ekonomi, data yang digunakan adalah data time series tahun 2005 – 2012 yang merujuk pada PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 sehingga dapat mendeskrispsikan tipologi wilayah menurut Klassen, sektor-sektor unggulan yang dapat meningkatkan PDRB dan pendapatan per kapita, serta sumberdaya bersama yang di miliki kawasan ini adalah laut, sehingga perlu untuk diketahui potensi lestari sumberdaya ikan di kawasan tersebut yang dapat dikelola untuk mengembangkan Kapet Biak.

Kerangka Pemikiran

(19)

pertumbuhan dan potensi wilayah ini sebagai informasi dasar yang dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam mengembangkan wilayah Kapet Biak di Provinsi Papua. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada dunia akademis tentang pertumbuhan Kapet Biak di Provinsi Papua dan memberikan informasi tambahan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan wilayah Kapet Biak dalam mempertimbangkan berbagai program yang akan direncanakan serta sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Pengembangan Wilayah Kondisi Eksisting

Disparitas Wilayah Sumberdaya Manusia Sumberdaya Buatan Sumberdaya Sosial Sumberdaya Alam

Kapet Biak - Papua

Nabire Waropen Kep. Yapen Supiori Biak Numfor

Pendekatan Pembangunan Tujuan Pembanguan Sumberdaya

Proses Pembangunan

Basis Ekonomi

Tipologi Wilayah Sektor Unggulan Potensi Sumberdaya Ikan

DDL

PDRB Catch/Effort

Sintesis

Rekomendasi Pengembangan Kapet Biak di Provinsi Papua IPM

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Wilayah

Di Indonesia berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasn”, “daerah”, regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah sejenis banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Ketidakkonsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering menbingungkan. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkaan dengan wilayah (region). Istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu, definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesui dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.

Secara yuridis dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, Wilayah didefinisikan ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional, sedangkan kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya, sementara pengertian daerah dimaknai sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.

(21)

Manfaat melakukan proses pewilayahan yakni: (1) sebagai alat penyederhanaan fenomena dunia nyata dan (2) sebagai alat pendeskripsian, (Johnston, 1976 dalam Rustiadi et al. 2011). Secara sederhana tersaji pada Tabel 1, relasi antar konsep wilayah dan manfaat penggunaannya.

Tabel 1. Hubungan antara Berbagai Konsep Wilayah dengan Manfaat Penggunaannya

No. Ruang/Wilayah Tujuan dan Manfaat Penggunaan Contoh 1. Wilayah

Homogen

1. Penyederhanaan dan

pendeskripsian ruang/wilayah 2. Pewilayahan pengelolaan

(zonasi kawasan fungsional)

1. Pola 2. Wilayah Nodal 1. Deskripsi hubungan nodalitas.

2. Identifikasi daerah pelayanan/pengaruh 3. Penyusunan hierarki

pelayanan

1. Pengelolaan sumberdaya wilayah berkelanjutan. 2. Identifikasi carrying capacity

kawasan.

3. Siklus alam aliran

sumberdaya, biomasa, enerji, limbah dll.

1. Percepatan Pertumbuhan Wilayah.

2. Produktifitas dan mobilisasi sumberdaya. 5. Kawasan Cepat

Tumbuh 5. Wilayah Sistem

Sosial

1. Pewilayahan menurut sistem budaya, etnik, bangsa, dll 2. Identifikasi komunitas dan

society.

3. Optimalisasi interaksi sosial. 4. Community Development.

1. Kawasn Adat 2. Perlindungan /

(22)

4. Keberimbangan, pemerataan dan keadilan.

5. Distribusi penguasaan sumberdaya.

6. Pengelolaan Konflik

Kawasan Publik Kota.

6. Wilayah Politik 1. Menjaga keutuhan/integrasi wilayah teritorial.

2. Menjaga pengaruh / kekuasaan teritorial.

3. Menjaga pemerataan (equity) antarsub-wilayah.

1. Negara 2. Provinsi 3. Kabupaten 4. Desa

7. Wilayah Administratif

Optimasi fungsi-fungsi administrasi dan pelayanan publik pemerintahan

1. Negara 2. Provinsi 3. Kabupaten 4. Kecamatan Sumber : Rustiadi etal. (2011).

Merujuk pada Tabel 1, menggambarkan bahwa Kapet Biak merupakan wilayah ekonomi tetapi menerapkan pola nodal yang terdiri dari inti dan

periphery, secara singkat wilayah nodal diteoritiskan sebagai wilayah dikotomis (terbagi atas dua bagian). Konsep ini berasumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunai hubungan fungsional.

Konsep wilayah nodal lebih berfokus pada peran pengendalian/pengaruh central atau pusat (node) serta hubungan ketergantungan pusat (nucleus) dan elemen-elemen sekelilingnya dibandingkan soal batas wilayah (Richardson. 1969

dalam Rustiadi etal. 2011).

Secara filosofis batas wilayah nodal dapat memotong garis yang memisahkan dua daerah administrasi karena adanya perbedaan orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Dalam praktiknya,tidaklah mudah mengidentifikasi batas wilayah nodal, dan biasanya jauh lebih sulit mengidentifikasi batas wilayah nodal daripada mengidentifikasi pusat-pusatnya (nodes/poles).

Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu

Hinterland berperan sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan

commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; (4) penjaga keseimbangan ekologis. Gambar 2, menjelaskan hubungan fungsional antara inti dan hinterland dalam wilayah nodal.

(23)

Gambar 2. Hubungan Fungsional antara Inti dan Hinterland dalam Wilayah Nodal Sumber : Rustiadi etal. (2011).

Pembangunan Wilayah

Todaro dalam Rustiadi et al. (2011) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Pembangunan juga harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.

Rustiadi et al. (2011) mengatakan bahwa secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada.

Hinterland

Bahan Mentah Tenaga Kerja

Inti Industri Pengolahan

Bahan Mentah

Sejumlah Uang

Barang Industri

Sejumlah Uang

Sejumlah Uang/upah

(24)

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan pada “efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan berkelanjutan (sustainability) (Anwar, 2005: Rustiadi et al.2007) dalam memberikan panduan pada alokasi segala sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, manmade maupun social), baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal.

Dalam rangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkakan kesejahteraan masyarakat, menggerakkan prakarsa dan peranserta masyarakat dalam pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan keberimbangan dapat diwujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sesuai kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (Anonim. 2014).

Menurut Pravitasari (2009) paradigma baru pembangunan menuntut adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, atau growth with equity. Strategi demikian juga merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu, yang dikenal dengan istilah tricle down effect. Strategi

tricle down effect mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru dilakukan pemerataan. Kenyataannya di banyak negara termasuk Indonesia, teori gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Sebagaiana konsep temuan Kuznets (1945): kurva U-terbalik yang mengatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, tumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan)

Indikator Pembangunan Wilayah

(25)

Gambar 3. Sistematika Konsep-Konsep Indikator Kinerja Pembangunan Wilayah Sumber : Rustiadi etal. (2011).

Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011).

Indikator Kinerja Pembangunan

Wilayah

Indikator Berdasarkan “

Tujuan Pembangunan”

Indikator Berdasarkan “

Proses Pembangunan”

Indikator Berdasarkan “

Kapasitas Sumberdaya Pembangunan”

Growth” (Produktifitas, Efisiensi dan Pertumbuhan)

Equity” (Pemerataan, Keadilan, dan Keberimbangan)

“Sustainability” (Keberlanjutan)

Sumberdaya Sosial Sumberdaya Alam

Sumberadaya Manusia

Sumberdaya Buatan

Impact Benefit Outcome

Input

Implementasi/Proses

(26)

Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompok-kelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan, tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokkan Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah Basisi/Pendekatan Kelompok Indikator-indikator Operasional

Tujuan Pembangunan

1. Produktivitas,

Efisiensi dan Pertumbuhan

(Growth)

a. Pendapatan Wilayah (1) PDRB

(2) PDRB per Kapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial/Ekonomi

(1) NPV (2) BC Ratio (3) IRR (4) BEP

c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/Kompetitif

(1) LQ

(2) Shift and Share

d. Produksi-produksi utama (tingkat produksi, produktivitas, dll)

(1) Migas

(2) Produksi Padi/Beras (3) Karet

(4) Kelapa Sawit 2. Pemerataan,

Keberimbangan dan Keadilan (Equity)

a. Distribusi Pendapatan (1) Gini Ratio

(2) Struktur (vertikal) b. Ketenaga

kerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran Terbuka (2) Pengangguran Terselubung (3) Setengah Pengangguran c. Kemiskinan

(1) Good-service Ratio

(2) % Konsumsi Makanan

(3) Garis Kemiskinan

(Pendapatan Setara beras, dll)

d. Regional Balance

(1) Spatial Balance (primacy index, entropy, index Williamson)

(2) Sentral Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance 3. Keberlanjutan a. Dimensi Lingkungan

(27)

Tabel 2 (Lanjutan).

c. Dimensi Sosial

Sumberdaya

1. Sumberdaya Manusia

a. Knowledge (Education) b. Skill (Ketrampilan) c. Competency d. Etos Kerja/Sosial

e. Pendapatan/Produktivitas f. Kesahatan

g. Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) atau Human

Development Index (HDI) 2. Sumberdaya Alam a. Tekanan (Degradasi)

b. Dampak c. Degradasi 3. Sumberdaya Buatan/

Sarana dan Prasarana

a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas Terhadap fasilitas 4. Sumberdaya Sosial

(Social Capital)

a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/ Budaya (norm)

b. Organisasi Sosial (network) c. Rasa percata (trust)

Proses Pembangunan 1. Input 2. Proses/

Implementasi 3. Output

4. Outcome 5. Benefit 6. Impact

a. Input Dasar (SDA, SDM, Infrastruktur, SDS)

b. Input Antara

c. Total Volume Produksi

Sumber : Rustiadi etal. (2011).

Pendapatan Wilayah

(28)

tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah (regional income). Namun demikian, tingginya pendapatan daerah dan PAD dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pengembangan wilayah termasuk dalam peningkatan pendapatan masyarakatnya (Rustiadi et al. 2011).

Selanjutnya dikemukakan bahwa total nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah yang telah di hilangkan unsur-unsur intermediate costnya dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Product

(GDP). PDRB dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara, tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak melakukan pengukuran PDRB. Oleh karenanya secara universal, walaupun dianggap memiliki berbagai kelemahan, PDRB di nilai sebagai tolok ukur pembangunan yang paling operasional dalam skala negara di dunia. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara atau wilayah dalam periode satu tahun. Dengan demikian PDRB mempunyai arti nilai tambah dari aktivitas manusia. Bila PDRB ini dibagi dengan jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut mencerminkan pendapatan per kapita masyarakat suatu negara/wilayah. Kenaikan/pertumbuhan ekonomi umumnya didasarkan atas dasar pertumbuhan PDRB untuk melihat perubahan (kenaikan/penurunan). Nilai PDRB dihitung berdasarkan “harga pasar” yang berlaku. Nilai PDRB sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh pada satu wilayah akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan masyarakat di wilayahnya. PDRB antar tahun yang berbeda perlu didasari dengan pemahaman mengenai adanya pengaruh faktor harga. Kenaikan penurunan riil antara dua titik tahun yang berbeda harus mempertimbangkan unsur inflasi. Inflasi terjadi akibat adanya perubahan relatif antara nilai uang dengan harga barang dan jasa secara umum.

Sektor Unggulan

Di Indonesia pembangunan ekonomi sccara umum dibagi ke dalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tersebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak cukup, maka perlu adanya penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat mendorong (push factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan menunjukkan bahwa dampak dari pertumbuhan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lain (dampak interregional) masih sangat kecil pengaruhnya dibandingkan dengan dampak intraregional. Sejalan dengan penentuan sektor unggulan, James dan Movshuk (2003) mengatakan bahwa keunggulan komparatif suatu wilayah dapat pula dipengaruhi oleh kedekatan ekonomi wilayah-wilayah tersebut.

(29)

jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.

Rustiadi et al. (2011) lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan pendapatan itu hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi.

Dan juga dipengaruhi perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari atau prasarana, dari pada ketidakseimbangan rasio modal tenaga. Dalam kerangka pemikiran ini, daerah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena kegagalan pasar, tetapi karena produktivitasnya yang rendah. Oleh karena itu investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah. Namun demikian, tidak seperti pendekatan basis ekonomi, tidak hanya terdapat studi empirik dengan menggunakan konsep kedua. Hal ini disebabkan karena kelangkaan data (terutama mengenai stok barang modal).

Metode LQ (location quotient) dan SSA (shift share analysis) merupakan dua metode yang sering dipakai sebagai indikator sektor basis. Untuk mengetahui potensi aktifitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis dapat digunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktifitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Berbagai dasar ukuran pemakaian

(30)

Shift Share Analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas. SSA mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi kedalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.

Hasil SSA juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga (3) komponen hasil analisis, yaitu : (a) komponen laju pertumbuhan (regional share) yang merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (b) komponen pergeseran proporsional (proportinal shift) yang merupakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidakunggulan suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.

Potensi Sumber Daya Ikan

Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Sedangkan sumber daya ikan yaitu potensi semua jenis ikan, sedangkan lingkungan sumberdaya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya (UU No. 45 tahun 2009). Secara operasional penangkapan, sumber daya ikan di kelompokkan menjadi pelagis kecil, pelagis besar, demersal, udang dan biota lainnya. Secara geografis laut di wilayah KAPET Biak termasuk pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 717, WPP ini meliputi teluk cenderawasih dan samudera pasifik yang berada dalam provinsi Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, yang memiliki potensi berbagai sumber daya ikan seperti diatas. Kajian terpadu yang dilakukan oleh KKP, WWF dan PKSPL-IPB menginformasikan bahwa WPP 717 tergolong dalam kategori baik. Hampir semua indikator habitat menunjukkan kondisi yang sedang sampai baik, kecuali terdapat potensi pencemaran di beberapa wilayah dimana terdapat industri besar. Selain itu tutupan lamun di wilayah ini relatif sedang (Anonim. 2011).

Penelitian Terdahulu

(31)

mana kawasan terbagi atas wilayah inti dan beberapa hinterland, konsep percepatan ekonomi melalui KAPET Biak diharapkan dapat menjawab isu disparitas wilayah antara kawasan timur dan kawasan barat yang lebih maju. Penelitian ini menggambarkan seberapa besar pertumbuhan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Biak, yang diukur melalui pendapatan wilayah khususnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), indikator PDRB akan memberikan gambaran tentang berbagai sektor unggulan (basis dan non basis), tipologi wilayah menurut Klassen, selain itu isu geografis Kapet Biak yang sangat dominan adalah wilayah laut, laut dipandang sebagai sumber daya bersama (common pool resources) yang belum di lirik secara serius sehingga harus diketahui potensi sumber daya ikannya (SDi) dan diharapkan sumber daya bersama inilah yang dapat mengikat kawasan dalam pengelolaan ekonomi secara terpadu, mengacu pada beberapa isu diatas maka akan diintegrasikan menjadi sebuah sintesis yang merupakan rekomendasi dalam pengembangan Kapet Biak secara terpadu dan sinergik. Beberapa hasil penelitian dengan topik yang berkaitan dengan penelitian ini tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

No. N a m a Tahun Judul Penelitian

1.

2.

Harrison

Agustinus Nefosjant Kairupan

2000

2001

Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir KAPET Batulicin Kotabaru Kalimantan Selatan.

Kajian Perkembangan Sapi Lokal di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batui Propinsi Sulawesi Tengah.

3. Prisma Shandya Dewi

2003 Pengembangan Perekonomian Daerah Melalui Kerjasama Perbankan Nasional Dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

Studi Kasus : Kapet Pare- Pare, Sulawesi Selaran

4. Hasnawati 2004 Kesesuaian Lahan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bukari Sulawesi Tenggara 5. Enirawan 2007 Evaluasi Kinerja dan Strategi

Pengembangan Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat

(32)

dibandingkan dengan lahan kering, begitupula dengan tingkat kematian sapi, dari segi manajemen ia menginformasikan bahwa manajemen pemeliharaan di lahan basah bersifat semi intensif dan fungsi sapi sebagai tabungan keluarga tetapi di lahan kering manajemennya bersifat tradisional dan fungsi sapi sebagai ternak kerja, informasi lainnya adalah KAPET Batui memiliki potensi dan prospek untuk pengembangan sapi potong. Hasil penelitian Dewi. (2003) menjelaskan bahwa kredit perbankan yang disalurkan di wilayah Kapet Pare-Pare belum optimal dalam mendukung kegiatan usaha yang potensial, selain itu rendahnya sinergitas dan hubungan saling menjaga kepercayaan, penyaluran kredit masih bersifat sentralistik sehingga para nasabah merasa sulit mendapat bantuan modal, belum adanya agunan atau jaminan dari para nasabah sehingga pemberi kredit masih mempertimbangkan hal tersebut dan pola perencanaan Kapet Pare-Pare belum menerapkan sistem perencanaan partisipatif. Hasnawati. (2004) dalam makalahnya menjelaskan bahwa kelas kesesuaian lahan bagi tanaman berturut-turut adalah jagung dengan kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai), S3 (sesuai marjinal) memiliki faktor penghambat kedalaman kedalaman efektif (r), kacang tanah dengan kelas kesesuaian lahan S2w,f (cukup sesuai) memiliki faktor penghambat kelembaban dan C-organik, padi sawah dengan kelas kesesuaian lahan S2wa,f (cukup sesuai) memiliki faktor penghambat ketersediaan air (wa) dan C-organik, kedelei dengan kelas kesesuaian lahan S2t,wa,f (cukup sesuai) dengan faktor penghambat suhu (t), ketersediaan air dan C-organik, ia juga memberi informasi bahwa dari empat jenis tanaman semusim, yang dapat dikembangkan hanya tiga saja yaitu jagung, kacang tanah dan kedelai. Enirawan. (2007). mengemukakan dalam tesisnya bahwa Kapet Bima memiliki beragam potensi sumber daya alam dalam pengembangan wilayah, kabupaten Bima dan Dompu memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian dan perdagangan sedangkan kota Bima dengan karakteristik sebagai kota jasa dan perdagangan, sektor yang memiliki tingkat keunggulan yang paling tinggi adalah sektor tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas, pola hubungan spasial dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial paling banayak diperoleh dari dalam kawasan dan sedikit saja yang diperoleh dari luar kawasan.

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Biak Provinsi Papua, yang terdiri dari 5 kawasan yaitu Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, dan Nabire, secara geografis terletak di 1º0’0’’ - 3º30’0’’ LS dan 134º30’0’’ - 137º30’0” BT.

(33)

Tabel 4. Administrasi Wilayah Kapet Biak di Provinsi Papua Tahun 2012 Wilayah

Kapet Biak

Ibu Kota Luas Wilayah (km²) Sumber : BPS Provinsi Papua. (2013).

Kegiatan penelitian meliputi persiapan, pengumpulan data, penelitian lapangan, analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama enam bulan dimulai pada bulan Juli hingga Desember 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yang diperoleh dari sumber tertulis seperti tertera dibawah ini :

1. Data PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000, Kabupaten Nabire, Waropen, Kepulauan Yapen, Supiori dan Biak Numfor tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 yang diperoleh dari BPS disetiap wilayah Kapet Biak dan BPS Provinsi Papua.

2. Data produksi per jenis ikan dan jumlah/jenis alat tangkap di wilayah Kapet Biak tahun 2004 hingga tahun 2012 yang berasal dari BPS Provinsi Papua. 3. RTRW Provinsi Papua diperoleh dari Bappeda Provinsi Papua.

4. Data kemampuan lahan di wilayah Kapet Biak yang bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum.

5. Sumber lain yang relevan dengan topik penelitian.

Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcGIS 9.3, Microsoft Word dan Microsoft Excel. Peralatan penunjang berupa printer, kamera digital, handy cam, dan peralatan menulis.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari buku, arsip, laporan penelitian, peta-peta serta data statistik dari beberapa instansi terkait. Tujuan penelitian, jenis, sumber data dan output yang diharapkan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tujuan penelitian, jenis dan sumber data serta output yang diharapkan

Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik

(34)

Menganalisis sektor

unggulan di wilayah Kapet Biak Provinsi Papua

Data Sekunder : PDRB sembilan sektor ekonomi Atas dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 tahun 2005 – 2012.

Peta RTRW Papua, Peta Kemampuan Lahan Wilayah Kapet Biak. Wilayah Kapet Biak Provinsi Papua

Data Sekunder : produksi per jenis ikan dan jumlah/jenis alat tangkap tahun 2004 – 2012.

Teknik Analisis Data

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka teknik analisis data yang digunakan dapat diuraikan berikut ini.

Klasifikasi Wilayah Kapet Biak

Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah tentunya berbeda. Ada wilayah yang mampu memacu kegiatan ekonominya sehingga dapat tumbuh pesat. Di sisi lain ada pula wilayah yang tak dapat berbuat banyak sehingga siklus ekonominya stagnan di satu titik atau bahkan tumbuh negatif. Untuk dapat membandingkan tingkat kemajuan suatu wilayah dengan wilayah lain dalam suatu lingkup referensi yang sama, maka dapat digunakan Tipology Klassen sebagai alat analisis. Tipology Klassen melakukan pengelompokan wilayah berdasarkan dua karakteristik yang dimiliki wilayah tersebut yaitu PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi. Sjafrizal (1997) dan Kuncoro (2004) menjelaskan bahwa dengan menggunakan alat analisis ini dapat diperoleh empat klasifikasi pertumbuhan masing-masing daerah yaitu :

1. Kuadran I yaitu daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) atau disebut juga sebagai daerah maju (rapid growth region), merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata.

2. Kuadran II yaitu daerah yang sedang berkembang (low growth but high income), merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah tetapi pendapatan perkapitanya lebih tinggi dibanding rata-rata.

3. Kuadran III yaitu daerah belum berkembang (high growth but low income), merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonominya lebih tinggi tetapi pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata.

4. Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal atau daerah tidak berkembang (low growth and low income) atau merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata.

(35)

dikelompokkan kedalam empat kelompok sehingga tiap kelompok memiliki pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Daerah Menurut Analisis Tipologi Klassen

r / y yi < y yi > y Sumber : Kuncoro. (2004).

Dimana :

Laju pertumbuhan ekonomi di wilayah Kapet Biak. PDRB perkapita di wilayah Kapet Biak

Laju pertumbuhan ekonomi di provinsi Papua. PDRB per kapita di provinsi Papua

Laju Pertumbuhan PDRB di setiap wilayah Kapet Biak diformulasikan sebagaiberikut :

ri1-5 = ((PDRBt – PDBRt-1) / (PDRBt-1) x 100%

Sedangkan Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Papua dihitung dengan rumus : r = ((PDRBt – PDBRt-1) / (PDRBt-1) x 100%

Dimana :

PDRB/PDRBt : PDRB/PDRB tahun tertentu

PDRB/PDRBt-1 : PDRB/PDRB tahun sebelumnya

Pendapatan per kapita wilayah Kapet Biak di hitung dengan cara membagi PDRB ADHK Tahun 2005 – 2012 dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama.

Analisis Location Quotient

Analisis Location Quotient untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (sektor). LQ merupakan suatu indeks yang digunakan untuk membandingkan pangsa suatu sektor tertentu (i) dalam wilayah tertentu (j) dengan pangsa total

sektor tersebut dalam total sektor di wilayah Kapet Biak. Secara sederhana, LQ

didefinisikan sebagai rasio persentase dari total sektor (i) pada sub wilayah ke-j terhadap persentase total sektor di wilayah Kapet Biak. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa; (1) kondisi geografis relatif seragam; (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam; dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Indeks LQ dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

Dimana :

LQij : rasio persentase dari total sektor pada setiap Kabupaten terhadap persentase sektor total terhadap agregat wilayah Kapet Biak,

(36)

Xi. : jumlah seluruh indikator sektor di setiap Kabupaten pada wilayah Kapet Biak,

X.j : jumlah indikator sektor ke-j di wilayah Kapet Biak, dan

X.. : penjumlahan nilai indikator seluruh sektor di wilayah Kapet Biak. Kriteria yang digunakan dari perhitungan ini adalah:

1. Jika LQ > 1 maka sektor basis artinya sektor j di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif.

2. Jika LQ = 1 maka sektor non-basis artinya sektor j di lokasi penelitian tidak memiliki keunggulan, sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah tersebut.

3. Jika LQ < 1 maka sektor non-basis artinya sektor j di lokasi penelitian tidak dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri, sehingga diperlukan pasokan dari luar daerah.

Analisis Shift Share (SSA)

SSA merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu Kabupaten di wilayah Kapet Biak, berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah Kapet Biak. Teknik analisis SSA

bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu Kabupaten untuk di pilih berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran, untuk melihat keunggulan kompetitif dan mengetahui sektor ataupun kabupaten yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan wilayah Kapet Biak.

Ada tiga sumber penyebab pergesaran yaitu :

 Komponen regional share, merupakan pertumbuhan wilayah Kapet Biak pada dua titik tahun yang menunjukkan dinamika di kawasan ini.

 Komponen proportional shift, menunjukkan pertumbuhan total

aktivitas/sektor secara relatif di wilayah Kapet Biak.

 Komponen differential shift, menunjukkan tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas/sektor di suatu kabuapaten pada wilayah Kapet Biak.

Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu kabupaten dianggap memiliki keunggulan kompetitif aktivitas/sektor tertentu karena secara fundamental masih memiliki potensi untuk terus tumbuh meskipun faktor-faktor eksternal (komponen share dan propotional shift) tidak mendukung dan jika

(37)

komponen differential shift memiliki nilai negatif maka kinerja aktivitas/sektor bersifat semu karena lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.

Identifikasi Potensi Sektor Unggulan

Analisis suatu sektor unggulan merupakan analisis untuk mengetahui sektor unggulan di wilayah Kapet Biak berdasarkan sumbangannya terhadap aktivitas ekonomi yang digambarkan oleh nilai PDRB Tahun 2005 - 2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (ADHK) dari Kabupaten Nabire, Waropen, Kepulauan Yapen, Supiori dan Biak Numfor. Analisis ini dilakukan dengan mengintegrasikan hasil analisis Location Quotient (LQ) dengan hasil Shift Share Analysis (SSA) di setiap wilayah Kapet Biak. Data yang digunakan pada analisis

LQ berupa data rerata nilai PDRB ADHK Tahun 2005 – 2012, sedangkan pada analisis SSA menggunakan data rerata nilai PDRB ADHK Tahun 2005 – 2008 dan rerata nilai PDRB ADHK Tahun 2009 – 2012.

Suatu sektor dikatakan unggul apabila memiliki sifat komparatif dan kompetitif di wilayah Kapet Biak. Komparatif merupakan kemampuan sektor untuk menjadi sektor basis tehadap sektor-sektor di wilayah Kapet Biak, sektor yang memiliki sifat komparatif ditandai dengan nilai LQ > 1. Kompetitif merupakan kemampuan suatu sektor untuk bersaing dengan sektor yang sama pada wilayah Kapet Biak. Sifat kompetitif sektor di wilayah Kapet Biak ditandai dengan nilai komponen Differential Shift (DS) pada hasil Shift Share Analysis

yang positif.

Analisis Kemampuan Lahan

Penentuan sektor unggulan di wilayah Kapet Biak yang merujuk pada nilai produktivitas PDRB ADHK dengan pendekatan LQ dan SSA, dapat pula dilakukan dengan menganalisis potensi daya dukung lahannya (carrying capacity) di setiap wilayah Kapet Biak. Analisis kemampuan lahan merujuk pada (Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2011) yang menggunakan kriteria klasifikasi menurut Kingebiel & Montgomery (1961) kedua pakar ini tidak mengemukakan kriteria yang lebih pasti untuk mengelompokkan lahan kedala kelas, sub-kelas atau unit. Istilah-istilah “lereng landai’, kedalaman tanah yang kurang ideal’ merupakan istilah-istilah yang tidak kuantitatif (tidak dinyatakan dengan angka-angka) sehingga agak sulit diinterpretasi. Arsyad (1979) mengadakan modifikasi terhadap sistem ini dan mengemukakan kriteria klasifikasi kemampuan lahan yang lebih definitif yang diharapkan dapat diterapkan untuk lahan di Indonesia. Klasifikasi lahan penciri dalam klasifikasi kemampuan lahan hasil modifikasi ini adalah faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen atau sulit dapat diubah seperti tekstur tanah, lereng permukaan,drainase, kedalaman efektif tanah, tingkat erosi yang terjadi, liat masam (cat-clay), batuan di permukaan tanah, ancaman banjir, atau genangan air yang tetap, dan iklim. Faktor-faktor tersebut digolongkan berdasarkan besarnya intensitas faktor penghambat atau ancaman (Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2011). Adapun faktor sebagaiberikut :

1.Tekstur tanah (t)

Pengelompokkan berdasarkan ukuran liat, debu, lempung atau pasir yang dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu :

(38)

t2 : agak halus : liat berpasir,lempung liat berdebu, lempung ber-

liat, pung liat berpasir

t3 : sedang : debu, lempung berdebu, lempung.

t4 : agak kasar : lempung berpasir

t5 : kasar : pasir berlempung, pasir

2.Kedalaman sampai kerikil, padas, plinthit (k) Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut : k0 : dalam : > 90 cm

k1 : sedang : 90 – 50 cm

k2 : dangkal : 50 – 25 cm

k3 : sangat dangkal : <25 cm

3.Lereng permukaan (l)

l0 (A) : 0 – 3% : datar

l1 (B) :3 – 8% : landai/berombak

l2 (C) : 8 – 15% : agar miring/bergelombang

l3 (D) : 15 – 30 : miring/berbukit

l4 (E) : 30 -45 : agak curam

l5 (F) : 45 – 65% : curam

l6 (G) : > 65% : sangat curam

4.Erosi (e)

Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut : e0 : tidak ada erosi : -

e1 : ringan : < 25% lapisan atas hilang

e2 : sedang : 25 – 75% lapisan atas hilang

e3 : berat : > 75% lapisan atas hilang, < 25% lapisan bawah

hilang

e4 : sangat berat : > 75% lapisan atas hilang, > 25% lapisan bawah

hilang

5.Permeabilitas (p)

Permeabilitas digolongkan sebagai berikut : p1 : lambat : < 0,5 cm/jam

p2 : agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam

p3 : sedang : 2,0 – 6,25 cm/jam

p4 : agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam

p5 : cepat : > 12,5 cm/jam

6.Drainase tanah (d)

Drainase tanah diklasifikasi sebagai berikut :

d0 : baik : tanah mempunyai peredaran udara

baik. Seluruh profil tanah dari atas

sampai lapisan paling bawah

berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat becak-becak.

d1 : agak baik : tanah mempunyai peredaran udara

(39)

d2 : agak buruk : lapisan tanah atas mempunyai

peredaran udara baik; tidak terdapat becak-becak berwarna kuning, coklat atau kelabu. Becak-becak terdapat pada seluruh lapisan tanah

d3 : Buruk : bagian atau lapisan atas (dekat

permukaan) terdapat warna atau becak-becak berwarna kelabu, coklat dan kekuningan

d4 : sangat buruk : seluruh lapisan permukaan tanah

berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat becak-becak kelabu, coklat dan kekuningan

Analisis Maximum Sustainable Yield

Anonim. (2011). mengatakan bahwa maximum sustainable yield adalah suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Model ini dapat diterapkan bila diketahui dengan baik tentang hasil tangkapan total berdasarkan jenis spesies dan atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Gulland (1988) menguraikan bahwa maximum sustainable yield

(MSY) adalah hasil tangkap terbanyak berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomas sediaan (stock) ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomas pada permulaan periode tertentu tersebut. MSY mencakup tiga hal penting yaitu :

a. Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan.

b. Memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapaat dipertahankan dari waktu ke waktu.

c. Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan

Selanjutnya model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan

MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan, sebagai biomas yang uniform dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tuna atau ikan lainnya. Tahapan perhitungan maximum sustainable yield sebagaiberikut :

1. Pengelompokkan jenis ikan untuk pengkajian stok

(40)

Tabel 7. Pengelompokkan Jenis Ikan untuk Pengkajian Stok

No. Kelompok SDi Jenis-Jenis Ikan

1 Cucut dan Pari

Tenggiri, alu ,,,,dst Selar, kembung,,,dst Kerapu, peperek,,,,,,dst Windu, dogol,,,dll

2. Menghitung Produksi Total Tahunan

Jika semua ikan sudah dapat dapat dikelompokkan ke dalam spesies group seperti yang tersaji pada Tabel 8 maka produksi tahunan kelompok jenis ikan tersebut dapat diperoleh melakukan penjumlahan.

3. Menghitung Fishing Power Index (FPI)

Merujuk pada produksi jenis ikan per jenis ikan alat tangkap dapat dihitung hasil tangkapan per unit alat (C/A) untuk tahun tertentu. Alat tangkap yang mempunyai C/A tertinggi dinyatakan sebagai alat tangkap standar, dimana FPI = 1,00. Nilai FPI alat tangkap lainnya dikonversi ke nilai FPI yang tertinggi tersebut atau dapat terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Perhitungan Fishing Power Index

Alat Tangkap Produksi (C)

Alat tangkap dengan

C/A tertinggi, diberi indeks FPI = 1,00. Alat lain dikonversi ke alat tangkap ini

dengan cara membagi C/A alat

lain tsb dengan C/A alat tangkap yang tertinggi.

4. Menghitung Total Upaya

Total Upaya atau Effort Total, diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai

effort dari alat tangkap yang digunakan, disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Perhitungan Total Effort

(41)

...dll

Total Effort ... ...

5. Kalkulasi Potensi Lestari Sumberdaya Ikan

Selanjutnya menghitung Catch Per Unit Effort (CPUE) atau Tangkapan Per Satuan Upaya dengan mengkomparasi Total Produksi Ikan dengan Total

Effort tahunan, seperti yang tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Kalkulasi Catch Per Unit Effort

Tahun Produksi (C) Total Effort (f) CPUE

2004 ... 2012

... ... ...

... ... ...

C/f

... ...

Langkah terakhir adalah menghitung persamaan regresi antara CPUE

tahunan dengan Total Effort tahunan dengan model linier Schaefer. Menurut model ini hubungan antara CPUE (c/f) dengan total effort mengikuti persamaan regresi : y = a – bx, dimana y = c/f, dan x = f.

Menurut model Schaefer: c/f = a-bf c =af-bf². Pada titik effort

maksimum (fmax), maka hasil tangkapan akan menjadi Nol. C =af-bf² = 0; Jika

demikian pada titik tersebut a=bf; atau f=a/b. Pada tangkapan maksimum lestari (MSY), maka tingkat effort (Fopt) berada pada setengah effort maksimum (1/2 . a/b

= a/2b). Selanjutnya nilai a/2b dimasukkan dalam persamaan regresi c =af - bf² maka cmax atau MSY = a²/4b dan fopt = a/2b. (Anonim. 2011).

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Fisik Wilayah Letak Geografis

Secara geografis, wilayah Kapet Biak letaknya di utara pulau Papua dengan posisi astronomis berada di 100’0”- 30 30’00 LS dan 1340 30’0” - 1370 30’0” BT, yang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Samudera Pasifik

2. Sebelah Selatan : Kabupaten Mimika, Kabupaten Dogiyai

3. Sebelah Timur : Kabupaten Paniai, Kabupaten Mamberamo Raya 4. Sebelah Barat : Provinsi Papua Barat

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1. Hubungan antara Berbagai Konsep Wilayah
Gambar 3. Sistematika Konsep-Konsep Indikator Kinerja Pembangunan Wilayah
Tabel 2. Pengelompokkan Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan istilah-istilah yang terdapat dalam judul, maka dapat diambil suatu pemahaman, bahwa yang dima ksud dengan “ Konsep Pemikiran Ӑ li Abdu al-

In this study will discuss the framework by integrating life cycle assessment tool and cleaner production method (CP) for improving environmental performance of

Gerakan pembebasan adalah melakukan kesadaran kritis untuk membuka kesadaran ?kaum tertindas?, maka Islam mendasarkan diri pada kesadaran untuk memahami realitas yang terjadi

Berkaitan dengan pelaksanaan peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam membantu masyarakat yang dirugikan oleh iklan produk barang atau jasa yang menyesatkan,

Mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al- Asma al-Husna (As Salaam, Al Mukmin dan Al Latiif).. Mengenal Rosul dan

Memikirkan sisws tentang cara yeng baik dan cepat menycrap apa yatrg dipelajarl tidak cukup hanya dengan uremberitahukan cara belajarny&amp; tetapi yang lebih penting

Sesuai dengan Surat Penetapan Pemenang Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi Unit Kerja Unit Pengelola dan Pusat PKB Dinas Perhubungan Provinsi

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan pada saat pembuktian kualifikasi adalah membawa kelengkapan-kelengkapan dokumen kualifikasi sesuai isian kualifikasi perusahaan