BIOSENSOR OPTIK GAS RUMAH KACA
BERBASIS EFEK GASOCHROMIC PADA MATERIAL
KOMPOSIT CHITOSAN-TUNGSTEN TRIOKSIDA (WO
3)
FERALIANA AUDIA UTAMI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada Material Komposit Chitosan– Tungsten Trioksida (WO3) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
ABSTRAK
FERALIANA AUDIA UTAMI. Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada Material Komposit Chitosan-Tungsten Trioksida (WO3).
Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan AKHIRUDDIN MADDU.
Seiring dengan perkembangan teknologi sensor, film berbasis material gasochromic mulai banyak menarik perhatian dikarenakan potensi aplikasi yang cukup luas. Penggunaan tungsten trioksida (WO3) yang tergolong material
anorganik dalam pembuatan gasochromic thin film mulai dikombinasikan dengan penggunaan material organik agar didapatkan hasil dalam wujud biosensor. Chitosan dengan gugus hidroksil dan amina bebas yang sangat reaktif memudahkan terjadinya pertukaran ion. Penelitian ini bertujuan untuk membuat serta mengkarakterisasi biosensor optik gas rumah kaca berbasis efek gasochromic pada material komposit chitosan–tungsten Trioksida (WO3).
Tungsten trioksida diperoleh melalui proses presipitasi dengan asam kuat sedangkan metode coating digunakan dalam pembuatan thin film. Kristal WO3
yang terbentuk berada pada fasa monoklinik. Gugus spesifik yang terdeteksi adalah OH, NH, CH, CO, dan WO. Morfologi sampel yang dihasilkan menunjukan bentuk partikel yang beragregat dan memiliki pori. Interaksi antara chitosan dan tungsten trioksida mempengaruhi komponen atom penyusun sampel. Penambahan chitosan sebanyak 3% (kode C3) pada sampel thin film tungsten trioksida memiliki tingkat sensitivitas tertinggi dengan limit detection terbaik pada paparan gas H2S.
Kata kunci: biosensor optik, chitosan, gasochromic, tungsten trioksida
FERALIANA AUDIA UTAMI. Optical Biosensor Greenhouse Gases based on Gasochromic effect on Material Composite Chitosan–Tungsten Trioxide (WO3).
Supervised by BAMBANG RIYANTO and AKHIRUDDIN MADDU.
Over the development of sensor technology, film based material gasochromic began to attract much attention due to the high potential applications. The use of tungsten trioxide (WO3) which classified as inorganic materials in the
manufacture of thin film gasochromic start combined with organic materials to get the form of biosensors. Chitosan with a hydroxyl group and a highly reactive free amine will facilitate the exchange of ions. This study aims to create and characterize optical biosensors greenhouse gases based on gasochromic effect on composite material chitosan-tungsten trioxide (WO3). Tungsten trioxide obtained
by precipitation with strong acids while the coating method used in the manufacture of thin film. WO3 crystals are formed in the monoclinic phase.
Specific clusters were detected is OH, NH, CH, CO, and WO. Morphology of the samples showed an aggregate particle shape and has a pore. Interaction between chitosan and tungsten trioxide constituent atoms affect the components of the sample. The addition of 3% chitosan (C3) on a sample of tungsten trioxide thin film has a highest sensitivity, indicated the best limit detection on H2S exposure.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
BIOSENSOR OPTIK GAS RUMAH KACA
BERBASIS EFEK GASOCHROMIC PADA MATERIAL
KOMPOSIT CHITOSAN-TUNGSTEN TRIOKSIDA (WO
3)
FERALIANA AUDIA UTAMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi :Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada Material Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3)
Nama :Feraliana Audia Utami
NIM :C34100005
Program Studi :Teknologi Hasil Perairan
Disetujui oleh
Bambang Riyanto, SPi, MSi Pembimbing I
Dr Akhiruddin Maddu Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua Departemen
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul Biosensor Optik Gas Rumah Kaca Berbasis Efek Gasochromic pada Material Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3) ini dapat diselesaikan.
Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Bambang Riyanto, SPi, MSi dan Bapak Dr Akhiruddin Maddu selaku dosen pembimbing.
2. Bapak Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc selaku dosen penguji 3. Ibu Dr Desniar Spi, Msi selaku perwakilan dari Program Studi 4. Ibu Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi
5. Ka Sugi, Mba Ida, Ka Anti, Ka Farli, Ka Kakhim (Fisika IPB), yang sudah membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam proses pengujian selama penelitian.
6. Kepada Nurrahman, terima kasih untuk semangat, perhatian, kesabarannya serta motivasinya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik
7. Kepada Ibu dan Ayah, adik-adik ku tersayang Yoga dan Yogi, terima kasih atas doa, kasih sayang dan dukungannya
8. Kepada Yulia, Prisca, Ela, Sonya, Reza F, dan Risvan terimakasih untuk kebersamaanya beserta keluarga THP 47, THP 46 dan THP 48.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.
Bogor, 10 Februari 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
METODE PENELITIAN ... 2
Bahan ... 3
Alat ... 3
Prosedur Penelitian ... 3
Prosedur Analisis ... 7
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8
Karakteristik Serbuk Tungsten Trioksida (WO3) ... 8
Karakteristik Thin Film Komposit Chitosan-Tungsten Trioksida (WO3) ... 10
Karakteristik Makroskopik Thin Film ... 10
Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 10
Analisis Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) ... 12
Analisis Energy Dispersive X-Ray (EDX) ... 14
Karakteristik Sifat Optik dan Tingkat Sensitivitas Sensor ... 16
KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
Kesimpulan ... 20
Saran ... 20
DAFTAR PUSTAKA ... 20
LAMPIRAN ... 25
DAFTAR TABEL
1 Formulasi pembuatan gas H2S untuk pengujian respon sensor ... 5
2 Bilangan gelombang masing-masing ikatan spesifik ... 14
3 Hasil EDX WO3 thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (%) ... 14
DAFTAR GAMBAR
1 Model rancangan chamber pengujian respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 52 Skema pengujian respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida pada berbagai konsentrasi gas H2S ... 6
3 Serbuk tungsten trioksida (WO3) hasil presipitasi ... 8
4 Pola difraksi sinar-x serbuk tungsten trioksida ... 9
5 Karakteristik makroskopik thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 10
6 Morfologi thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 11
7 Ketebalan thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 12
8 Spektrum FTIR thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 13
9 Komposisi atom penyusun thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 15
10 Sifat optik sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 16
11 Respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 17
12 Sensitivitas sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida ... 19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suhu udara dunia dalam rentang 10 tahun terakhir menunjukan kenaikan hingga mencapai 3 °C (Cruz et al. 2007). Sebelumnya, Hulme dan Sheared (1999) menyampaikan bahwa Indonesia telah mengalami fenomena kenaikan suhu udara sejak tahun 1990 yang mencapai 0,3 °C. Perubahan iklim global ini didukung pula dari tingginya kadar 9 (sembilan) jenis gas emisi (MNLH 2007), yakni: sulfur-dioksida (SO2) (900 ug/Nm3), karbon monoksida (CO) (30000 ug/Nm3),
nitrogen-dioksida (NO2) (400 ug/Nm3), ozon (O3) (235 ug/Nm3), hidrokarbon (HC)
(53 ug/Nm3), PM10(6,25 ug/Nm3), PM2,5 (2,7 ug/Nm3), TSP (debu) (9,5 ug/Nm3),
Pb (timah hitam) (0,08 ug/Nm3), dan dustfall (debu jatuh) (0,0125 ton/km2) terhitung setiap jamnya.
Pendeteksian gas dan tingkat emisi udara menjadi penting untuk dilakukan karena pengaruhnya besar terhadap perubahan iklim global (Cruz et al. 2007). Berbagai penelitian yang telah dilakukan antara lain menggunakan mass spectrometry (Gleitman et al. 1976), gas kromatografi (Berezkin et al. 1991), atomic absorption spectrometry (AAS) (Ibeto et al. 2012), sensor emisi gas kendaraan bermotor terintegrasi microcontroller (Yuwono et al. 2012) serta kristal fotonik (Rahmat 2013). Metode-metode tersebut umumnya membutuhkan biaya yang besar dan memiliki tingkat kerumitan tinggi.
Korotchenkov (2013) menyampaikan kecenderungan material baru yang mengalami perubahan akibat gangguan, yang dikelompokkan menjadi electrochromism, thermochromism, piezochromism dan photochromism. Material-material baru ini menunjukan adanya perubahan spektrum warna yang reversible pada rentang cahaya tampak saat terjadinya pertukaran ion, pemanasan pada suhu tinggi, pemberian tekanan serta paparan radiasi. Selanjutnya Muresan et al. (2008) menyampaikan bahwa kelompok material ini disebut chromogenic material atau chromogenic thin film ketika telah mengalami proses coating.
Chromogenic thin film dalam pengaplikasiannya sebagian besar memanfaatkan material inorganik seperti vanadium oksida (V2O5) yang
diaplikasikan untuk electrochromic (Talleda dan Granqvist 1995), titanium oksida (TiO2) untuk melihat pengaruh gasochromic (Domaradzki et al. 2009), tungsten
trioksida untuk mengetahui karakteristik electrochromic (Jiao et al. 2010). Tingkat penggunaan terbesar dimiliki oleh tungsten trioksida, dimana pada aplikasinya dalam pembuatan amorphous dan polycrystalline thin film menunjukkan sifat electrochromism (Hasan et al. 2012).
Seiring dengan perkembangan teknologi dan aplikasi sensor yang cukup luas, thin film berbasis material gasochromic mulai menarik perhatian. Beberapa kajian telah dilakukan, antara lain: sensor thin film hydrogen oxide berbasis gasochromic (Hyeonsik 2005), sensor hidrogen berkonsentrasi rendah dengan thin film Pd/WO3 dan Pt/WO3 (Yaacob et al. 2009) serta lapisan nanokristalin TiO2
2
treatment (Gerand et al. 1979), electron beam evaporation (Lampert 1982), anodic oxidation (Quarto et al. 1985), serta sol-gel (Sharbatdaran et al. 2006).
Penggunaan tungsten trioksida (WO3) yang tergolong material inorganik
mulai dikombinasikan dengan penggunaan material organik, agar didapatkan hasil dalam wujud biosensor. Pawlicka et al. (2004) menyatakan bahwa polimer alam seperti pati dan selulosa dapat diaplikasikan dalam pembuatan sensor untuk aplikasi electrochromic. Menurut Huguenin et al. (2012) berbagai jenis bahan organik lain belum dilakukan, dan bahan lain yang diduga memiliki potensi biosensor thin film adalah chitosan. Penggunaan chitosan sebagai campuran dalam pembuatan biosensor thin film didasarkan pada kajian Schauer et al. (2003), dimana ikatan gugus hidroksil dan amin pada rantai polimer αβ (14) 2-amino-2-deoxy-α-D-glucopyranose dari chitosan memiliki kemampuan dalam menyerap ion logam pada suatu larutan. Modifikasi dari rantai gugus chitosan dan variasi dari tautan silang akan mempertinggi tingkat sensitivitas biosensor yang dihasilkan dalam hal perubahan warna pada berbagai analisis yang dilakukan. Lebih lanjut lagi, No dan Meyers (1995) menyebutkan bahwa gugus hidroksil dan amin pada chitosan memiliki sifat yang sangat reaktif terutama dalam hal penyerapan ion.
Berdasarkan permasalahan perubahan iklim global dan berbagai perkembangan kajian aplikasi sensor thin film maka kombinasi inovatif material gasochromic antara tungsten trioksida dan chitosan berpotensi sangat besar untuk dijadikan biosensor thin film, terutama untuk pendeteksi cepat gas rumah kaca.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Pembuatan dan karakterisasi biosensor optik gas rumah kaca berbasis efek gasochromic pada material komposit chitosan-tungsten trioksida (WO3).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2013. Pembuatan larutan chitosan dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Sintesis dan karakterisasi serbuk tungsten trioksida dilakukan di Laboratorium Biofisika Material, sedangkan pembuatan thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (WO3) dilakukan di Laboratorium Fisika Material; pembuatan model rancangan
chamber dan gas H2S, karakterisasi sifat optik sensor thin film komposit
chitosan-tungsten trioksida (WO3), serta karakterisasi gasochromic behavior thin film
komposit chitosan-tungsten trioksida (WO3) dilakukan di Laboratorium
3 Microscopy dan energy dispersive x-ray dilakukan di Laboratorium Geologi Kuarter, Puslitbang Geologi Laut Bandung.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah chitosan berbahan baku karapas udang, diperoleh dari PT Biotech Surindo, Cirebon dengan spesifikasi derajat deasetilisasi sebesar 87,5% dan kadar abu sebesar 0,6%. Bahan lain yang digunakan antara lain sodium tungstat (Na2WO4) (Mr=329,86 g/mol, pH=9-11,5,
nomor CAS: 10213-10-2), ITO glass (Indium Thin Oxide) (rotary magnetron 10 Kw/m, coating thickness 145 nm RT), asam asetat 98%, HCl 37%, ethanol 95%, H2O2 50%, aquabidest dan aquadest.
Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan thin film antara lain magnetic stirer (MSH-200, Wise Stirer), furnace (Naberthem, suhu maksimum 1100 °C), spin coater (Simple Variable Spin Coating, kecepatan maksimum 8000 rpm) dan timbangan analitik (O-Hauss, pan size 90 mm, bobot maksimum 210 gram). Alat yang digunakan untuk analisis morfologi dan EDX (Energy Dispersive X-ray) adalah SEM (Scanning Electron Microscopy) (JEOL JSM-6510LA) (perbesaran 10.000 kali, tegangan 20 kV, sumber elektron berupa tungsten filament cathode), analisis XRD dilakukan menggunakan GBC eMMA (Enhanced Mini-Materials Analyzer, 2θ=20-70°) X-ray diffractometers, alat untuk analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) adalah spektrofotometer merk ABB MB 300 dengan software Horizon Mb (rentang spektrum 7500-370 cm-1, dengan standar KBr beam splitter). Alat yang digunakan untuk pengujian karakteristik sifat optik dan respon bisensor adalah USB 2000 Vis-NIR spectrophotometer dengan software komputer yang digunakan Spectra Suite, range antara 380°-1100° μm dengan alat lain berupa fiber optic probe, probe holder, dan light source.
Prosedur Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi sintesis dan karakterisasi serbuk tungsten trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010), pembuatan larutan chitosan
(Liang et al. 2009), pembuatan dan karakterisasi thin film komposit chitosan– WO3 (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi pada suhu pemanasan), pembuatan
model rancangan chamber dan gas H2S (Adia 2009 dengan modifikasi pada
dimensi chamber dan konsentrasi gas), karakteristiasi sifat optik sensor thin film komposit chitosan-WO3 (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi rentang panjang
gelombang yang digunakan), serta karakterisasi gasochromic behavior thin film komposit chitosan–WO3 (Hyeonsik et al. 2005 dengan modifikasi pada jenis
4
Sintesis dan Karakterisasi Serbuk Tungsten Trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010)
Presipitasi serbuk tungsten trioksida (WO3) dilakukan dengan
mencampurkan sodium tungstat 1 gram ke dalam aquabidest 15 ml, kemudian dihomogenisasi menggunakan magnetic stirer selama 5 menit (350 rpm). Selanjutnya, ditambahkan larutan HCl 5% sebanyak 15 ml hingga terbentuk presipitat. Reaksi kimia yang terjadi adalah:
Na2WO4 + 2HCl H2WO4 + 2NaCl
Setelah dihasilkan peroxytungsten acid (H2WO4), dilakukan proses
pencucian dengan menggunakan aquabidest sebanyak 8 kali dalam ice bath (kondisi lingkungan dipertahankan di bawah suhu ruang).
Setelah pencucian, dilakukan proses dekantasi selama 1 malam hingga terbentuk endapan yang sempurna dengan pH=3. Kemudian dilakukan pemisahan antara endapan dengan filtrat yang terbentuk. Endapan yang terbentuk berwarna hijau kekuningan dan merupakan benih tungsten trioksida (WO3 seed).
Karakteristik visual dan kristalinitas serbuk tungsten trioksida sebelum dan sesudah pemanasan suhu 400 °C diuji XRD yang mengacu Jiao et al. (2010). Endapan ini selanjutnya digunakan pada proses pembuatan thin film.
Pembuatan Larutan Chitosan (Liang et al. 2009)
Konsentrasi larutan chitosan yang digunakan sebagai perlakuan adalah 0%, 1%, 2%, dan 3% yang selanjutnya disebut sebagai C0, C1, C2, dan C3. Besaran ini mengacu pada perlakuan terbaik konsentrasi chitosan dalam pembuatan film yang dilakukan oleh Liang et al. (2009). Pembuatan larutan chitosan dimulai dengan mengencerkan larutan asam asetat stock (98%) 5 ml ke dalam 500 ml aquadest sehingga diperoleh asam asetat encer dengan konsentrasi 1%. Selanjutnya masing-masing serbuk chitosan sebanyak 2 gram, 4 gram, dan 6 gram dilarutkan ke dalam 198 ml, 196 ml, dan 194 ml larutan asam asetat 1% dan dihomogenisasikan menggunakan magnetic stirer (350 rpm) selama 1 jam. Larutan chitosan yang telah terbentuk baik diindikasikan dengan warna bening kekuningan dan tidak adanya lagi serbuk chitosan yang tertinggal (sudah mencapai kondisi lewat jenuh) (No dan Meyers 1995). Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam chamber kaca yang tertutup rapat dan disimpan pada suhu ruang (25-27 ˚C) yang mengacu pada kondisi penyimpanan larutan chitosan yang dilakukan oleh Liang et al. (2009).
Pembuatan dan Karakterisasi Thin Film Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi suhu pemanasan)
Tungsten trioksida yang dihasilkan dari proses presipitasi selanjutnya ditambahkan larutan H2O2 (50%) sebanyak 2 ml dan dihomogenisasi
menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 400 rpm, suhu 60 °C selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan stabilitas larutan WO3 yang telah
terbentuk. Larutan tersebut kemudian di-coating di atas ITO-glass (bertindak sebagai substrat yang bersifat konduktif) yang sebelumnya dibersihkan menggunakan etanol 95% dan aquabidest.
Proses ini dimulai dengan meneteskan secara merata larutan chitosan 1%, 2%, dan 3% ke atas ITO-glass untuk selanjutnya di-coating (30 detik, 3000 rpm) dan dipanaskan di atas hot plate (60 °C, 30 menit) (Jiao et al. 2010). Larutan WO3
5 kembali dilakukan proses coating (30 detik, 3000 rpm). Hasil tersebut kemudian dipanaskan di atas hot plate (suhu 150 °C, selama 30 menit), proses coating WO3
ini dilakukan sebanyak 6 kali. Reaksi kimia yang terjadi selama proses berlangsung sebagai berikut:
H2WO4 + xH2O2WO3 .xH2O2 . H2O
2WO3.xH2O2. H2O 2WO3 (nucleus) + 2(x+1) H2O + xO2
WO3 (nucleus) WO3 (nanoplate)
Terjadinya reaksi kimia tersebut ditandai dengan terbentuknya pori pada analisis SEM dan kenampakan transparan pada sampel (Jiao et al. 2010). Thin film yang telah terbentuk kemudian dilakukan proses pengujian yang meliputi uji SEM, uji FTIR, uji EDX serta karakterisasi sifat optik dan tingkat sensitivitas sensor.
Pembuatan Model Rancangan Chamber dan Gas (Adia 2009 dengan modifikasi pada dimensi chamber dan konsentrasi gas)
Chamber yang digunakan berupa transparant glass berbentuk balok tanpa tutup dengan ukuran 1,25 x 1,25 x 4,50 cm. Bagian penutup chamber didesain khusus dari bahan karet dengan ketebalan 0,5 cm. Penutup tersebut terbuat dari bahan karet untuk memudahkan penyuntikan gas. Sensor dengan ukuran 1 x 1 cm dimasukan ke dalam chamber dengan bantuan selotip dan diatur ketinggiannya sesuai dengan sinar pantulan sumber cahaya (2 cm dari dasar chamber). Sekeliling penutup chamber dilapisi selotip untuk mencegah terjadinya kebocoran gas. Rancangan chamber mengacu Adia (2009) yang dimodifikasi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Model rancangan chamber pengujian respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.
Gas H2S diperoleh dari reaksi kimia asam klorida (HCl) dengan besi
sulfida (FeS). Reaksi yang berlangsung selama proses adalah: FeS + 2HCl FeCl2 + H2S
Proses dilakukan dengan memasukan 0,05 gram FeS, dilarutkan dalam 1,2 ml HCl (1M) untuk menghasilkan H2S konsentrasi 1 ppm. Formulasi pembuatan
H2S disajikan pada Tabel 1. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 1 Formulasi pembuatan gas H2S untuk pengujian respon sensor
6
Karakteristiasi Sifat Optik Sensor Thin Film Komposit Chitosan–Tungsten Trioksida (WO3) (Jiao et al. 2010 dengan modifikasi rentang panjang gelombang yang digunakan)
Karakteristik sifat optik sensor yang dilakukan mengacu pada Jiao et al. (2010) yang dimodifikasi. Spectrophotometer yang digunakan adalah USB 2000 Vis-NIR spectrophotometer. Alat ini bekerja dengan metode refleksi cahaya. Ujung probe serat optik yang telah dilengkapi konektor dihubungkan ke ujung bundel serat optik bifurkasi, sedangkan ujung lainnya dihubungkan elemen sensor yang telah dimasukkan ke dalam chamber.
Kedua ujung serat optik dihubungkan dengan sumber cahaya berupa lampu halogen dan spektofotometer. Cahaya dari lampu disalurkan menuju probe fiber optik dan selanjutnya ditembakkan ke sensor. Cahaya yang datang (transmisi) sebagian diserap (absorb) oleh sensor dan sisanya dipantulkan (refleksi) kembali ke probe. Cahaya diteruskan probe menuju spektrofotometer dan diolah. Data olahan dikirim ke komputer (Ocean Optic 2012).
Grafik spektrum yang ditampilkan dapat berupa transmisi, absorbans, dan refleksi. Sebelum sensor diukur, dilakukan dahulu pengukuran spektrum blanko berupa kaca ITO tanpa sensor (bening). Pengukuran transmitansi dilakukan untuk masing-masing sampel sebelum sampel terpapar gas (Jiao et al. 2010). Data dari spektrofotometer diolah menggunakan microsoft excell untuk dibuat grafik transmitansi cahaya dengan panjang gelombang 250 nm hingga 901 nm sehingga dapat dilihat sifat optik thin film pendeteksi gas rumah kaca berbahan dasar chitosan-tungsten trioksida (WO3) sebelum diuji. Selanjutnya dibuat grafik persen
transmitan spektrum sensor respon sensor yang ada.
Karakterisasi gasochromic behavior thin film komposit chitosan–tungsten trioksida (WO3) (Hyeonsik et al. 2005 dengan modifikasi pada jenis respon yang dihasilkan)
Pengujian respon sensor dilakukan dengan memasukan sensor ke dalam test chamber (Hyeonsik et al. 2005), ujung probe serat optik yang telah dilengkapi dengan konektor dihubungkan ke ujung bundel serat optik bifurkasi, sedangkan ujung lainnya dihubungkan elemen sensor yang telah dimasukkan ke dalam chamber. Kedua ujung serat optik dihubungkan sumber cahaya lampu halogen dan spektofotometer (Ocean Optic 2012).
7 kondisi yang stabil, kembali disuntikkan gas dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan berulang hingga seluruh data tercatat. Skema pengujian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Skema pengujian respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida pada berbagai konsentrasi gas H2S.
Prosedur Analisis
Analisis X-Ray diffraction (National Bureau Standard 1966)
Analisis XRD dilakukan untuk melihat karakteristik kristal yang dibentuk oleh sampel WO3. Analisis ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa sintesis
WO3 yang dilakukan dengan menggunakan sodium tungstat (Na2WO4) telah
berhasil dilakukan. Sampel disiapkan sebanyak 2 mg ditempatkan di dalam holder yang berukuran 2 x 2 cm2 pada difraktometer. Tegangan yang digunakan adalah 40 kV dan arus generatornya sebesar 30 mA. Sudut awal diambil pada 20° dan sudut akhir pada 70° dengan kecepatan baca 2°/menit. Hasilnya berupa grafik fasa yang teridentifikasi berdasarkan intensitas dan sudut 2 theta yang terbentuk. Penentuan fasa yang muncul mengacu pada Joint Committee on Powder Diffraction Standard.
Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (ASTM E1252 2002)
Spektroskopi FTIR dilakukan untuk mengetahui struktur kimia dari thin film dan kemungkinan interaksi diantara komponen-komponennya. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 4000-1900 cm-1 dengan spektrofotometer model Bruker Tensor 27. Sampel thin film berukuran 1 x 1 cm. Hasil yang didapat berupa spektrum yang muncul pada komputer yang tersambung dengan alat spektrofotometer. Spektrum ini terdiri dari bilangan gelombang dan nilai absorbansi dimana bilangan gelombang menjadi tolak ukur keberadaan gugus fungsi spesifik chitosan dan tungsten trioksida.
Analisis Scanning Electron Microscopy (MEE 2001)
Analisis SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dari thin film yang telah dibuat. Sampel diperkecil ukurannya hingga 1 x 1 cm. Hasil yang didapat berupa gambar dari morfologi sampel yang dilihat menggunakan alat JEOL JSM-6510LA Philips (perbesaran 10000 kali, tegangan 20 kV, sumber elektron berupa tungsten filament cathode).
Analisis Energy Dispersive X-ray (MEE 2001)
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Serbuk Tungsten Trioksida (WO3)
Zhuang et al. (2003) menyebutkan bahwa metode presipitasi dilakukan karena prosesnya mudah dan menghasilkan sampel dalam jumlah cukup besar. Presipitat awal yang terbentuk dari penambahan asam klorida (HCl) adalah peroxytungsten acid (H2WO4) yang berwarna hijau kekuningan (Gambar 3a),
kemudian setelah dilakukan pemanasan dengan suhu 400 ˚C dihasilkan serbuk tungsten trioksida (WO3) yang berwarna kuning (Gambar 3b). Chung et al. (2002)
menyebutkan bahwa pemanasan peroxytungsten acid (H2WO4) pada suhu
300-400 ˚C dapat menghilangkan kandungan air di dalamnya yang mengindikasikan terbentuknya tungsten trioksida (WO3).
(a) (b)
Gambar 3 Serbuk tungsten trioksida (WO3) hasil presipitasi
(a)Sebelum pemanasan, (b) Setelah pemanasan 400 ˚C. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 4a diketahui bahwa puncak dominan yang terdeteksi adalah peroxytungsten acid (H2WO4). Hasil ini
dicocokkan dengan JCPDS 18-1420. Puncak yang terdeteksi pada sampel sebelum pemanasan terlihat cenderung lebar dan menjadi tajam setelah sampel dipanaskan pada suhu 400 ˚C. Hal ini didukung oleh Samarasekara (2009) yang menyebutkan bahwa pemanasan sampel pada suhu tinggi akan menghasilkan puncak tajam yang mengindikasikan terbentuknya kristal pada sampel.
Pola difraksi menggunakan sinar-x, sampel serbuk tungsten trioksida menunjukkan puncak-puncak pola XRD didiominasi oleh fasa tungsten trioksida.
Puncak tertinggi yang terdeteksi muncul pada sudut 2θ 23,08°. Puncak lain yang
juga terdeteksi sebagai fasa WO3 berada pada sudut 2θ 34,08°, 41,72°, 54,88°,
dan 61° (JCPDS 83-0950). Hal ini senada dengan Jiao et al. (2010) yakni puncak tertinggi fasa WO3 yang dihasilkan oleh nanostruktur WO3 dengan perlakuan
hidrotermal terdeteksi pada sudut 2θ 24,367°. Soliman et al. (2012) menyebutkan bahwa puncak tertinggi untuk fasa WO3 yang terbentuk dari thin film tungsten
9
(a)
(b)
Gambar 4 Pola difraksi sinar-x serbuk tungsten trioksida
(a) sebelum pemanasan, (b) setelah pemanasan 400 °C. keterangan: = H2WO4
=WO3
= tidak teridentifikasi
Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa puncak fasa WO3 yang
dihasilkan tajam, hal ini mengindikasikan sampel memiliki derajat kristalinitas yang tinggi. Jiao et al. (2010) menyatakan, semakin tajam puncak yang terbentuk maka semakin tinggi tingkat kristalinitas dari sampel. Samarasekara (2009) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan proses kristalisasi pada WO3 thin film
pada suhu 250 hingga 450 °C. Mekanisme peningkatan kristalisasi melalui proses pemanasan berkaitan erat dengan pengisian atom oksigen pada ruang kosong kisi kristal. Chung (2002) menyatakan bahwa WO3 diketahui akan stabil pada pH 0,0
dan 4,0. Apabila pH WO3 diatas 4,0 maka akan menjadi tidak stabil terutama
dalam proses kristalisasi.
Fasa WO3 dapat berupa tetragonal, orthochrombic, monoklinik dan
10
monoklinik. Menurut Enesca et al. (2007) thin film WO3 yang menunjukkan
struktur monoklinik diduga memiliki beberapa strain dislokasi berpusat di tepi bidang geser dalam ruang kristal yang bisa meningkatkan reaktivitas kimia.
Karakteristik Thin Film Komposit Chitosan-Tungsten Trioksida (WO3) Karakteristik Makroskopik Thin Film
Warna thin film yang dihasilkan cenderung keruh (Gambar 5). Tingkat kekeruhan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi chitosan. Dallan et al. (2007) yang menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi chitosan dalam larutan akan membuat warna larutan semakin keruh, sehingga berpengaruh terhadap penurunan nilai transmitansi sampel. Jiao et al. (2010) menyatakan bahwa semakin keruh sampel thin film yang dihasilkan, nilai transmitansi yang terukur akan semakin kecil.
Gambar 5 Karakteristik makroskopik thin film komposit chitosan-tungsten trioksida
Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan metode yang digunakan untuk melihat pencitraan permukaan sampel dengan resolusi yang tinggi (MEE 2001). Pengamatan dengan SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dari thin film komposit Chitosan-WO3 lebih detail sekaligus tingkat porositas dan
ukuran partikelnya. Hasil Pengamatan SEM sampel dengan kode C0, C1, C2, dan C3 dapat dilihat pada Gambar 6.
Kode C0 menunjukkan pencitraan permukaan yang cenderung homogen, berpori serta terbentuk struktur seperti jaring. Hal ini sejalan dengan penelitian Muresan et al. (2008) yang menyatakan bahwa hasil SEM thin film WO3 memiliki
bentuk yang relatif homogen, memiliki celah pada ukuran nano serta terdapat partikel yang lebih besar di beberapa tempat. Lebih jauh lagi, Zhuang et al. (2003) menyatakan bahwa WO3 thin film yang dipanaskan pada suhu 250 ˚C memiliki
struktur yang lebih lembut dibandingkan dengan yang tidak dipanaskan (suhu ruang). Struktur yang terbentuk menyerupai jaring dan memiliki banyak pori. Sedangkan WO3yang dipanaskan pada suhu 360 ˚C memiliki struktur yang lebih
kompak, permukaan sangat kasar dan terdapat banyak butiran kristal kecil. Suhu tinggi akan menyebabkan jumlah pori berkurang karena pori-pori akan tertutup akibat perlakuan pemanasan.
Sampel dengan kode C1, C2, dan C3 mendapatkan penambahan chitosan dengan konsentrasi yang meningkat yakni 1%, 2%, dan 3%. Menurut Bhuvaneshwari et al. (2010) morfologi dari film chitosan murni memiliki struktur tidak berpori dan tekstur polos tanpa pori-pori. Kode C1 menunjukkan morfologi yang memiliki banyak pori dan membentuk agregat. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Nugroho (2011) yang mengindikasikan bahwa partikel-partikel WO3
11 masing-masing cluster terdiri dari 8-20 partikel. Lebih lanjut lagi Wang (2003) menyebutkan bahwa perlakuan pemanasan akan meningkatkan ukuran partikel WO3 yang terbentuk.
Gambar 6 Morfologi thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (perbesaran 10.000x).
Penambahan chitosan sebanyak 2% dan 3% pada kode C2 dan C3 membuat morfologi tampak seperti granular dengan beberapa pola celah yang terbentuk menyerupai retakan. Hal ini diduga terjadi karena pemanasan dengan
suhu 150 ˚C pada penambahan chitosan dengan konsentrasi yang lebih pekat. Dugaan ini diperkuat oleh pernyataan Bhuvaneshwari et al. (2010) bahwa pemanasan pada suhu tinggi menyebabkan permukaan film chitosan menunjukkan ruang mikro yang terdistribusi secara acak dan tampak seperti celah (retakan).
Berdasarkan citraan thin film (Gambar 7), diketahui bahwa ketebalan yang dimiliki oleh sensor C0, C1, C2 dan C3 masing-masing 17,8 µm, 18,4 µm, 24,0 µm, dan 24,6 µm. Ketebalan yang hampir seragam diperoleh sebagai hasil proses coating sebanyak 6 kali. Chan et al. (2011) menyebutkan bahwa jumlah layer (coating) yang dimiliki oleh thin film akan mempengaruhi besarnya respon yang dimiliki dengan jumlah layer sebanyak 5-7 akan memberikan respon terbaik pada gangguan spesifik.
12
dalam pendeteksian gas. Thin film WO3 banyak digunakan karena bentuk
nanokristalnya memungkinkan dalam pembentukan pori yang memudahkan proses difusi gas.
Gambar 7 Ketebalan thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (perbesaran 3.700x).
Analisis Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektrum untuk sampel thin film tanpa penambahan chitosan terlihat tidak terdeteksi adanya gugus hidroksil (OH) sedangkan sampel dengan penambahan chitosan 1% mengindikasikan adanya ikatan O=H yang ditandai dengan munculnya pita absorpsi pada bilangan gelombang 3441 cm-1. Data ini tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Silverstein et al. (1981) yang menyatakan spektra dari gugus OH berada pada bilangan gelombang 3439 cm-1. Munculnya pita absorpsi ikatan O=H juga terlihat pada spektrum sampel dengan penambahan chitosan 2% dan 3% masing-masing pada bilangan gelombang 3240, 3333, serta 3441 cm-1 dan 3258, 3340, 3387, serta 3441 cm-1. Hal ini diduga disebabkan oleh semakin tinggi konsentrasi chitosan yang digunakan, ikatan O=H yang terdeteksi akan semakin banyak. Pernyataan ini didukung penelitian Liang et al. (2009) yang menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi chitosan akan berpengaruh pada jumlah ikatan kovalen yang terbentuk.
Pita serapan gugus NH berdasarkan hasil penelitian (chitosan 1%, 2%, dan 3%) dapat dideteksi pada kisaran bilangan gelombang 3258-3300 cm-1. Ikatan spesifik yang dibentuk oleh molekul chitosan secara jelas disebutkan Liang et al. (2009), dimana pita serapan gugus OH dan NH2 terlihat jelas pada bilangan
13 dapat terlihat pada bilangan gelombang 2921 cm-1 dan ikatan spesifik untuk ikatan O=C=O terdeteksi pada bilangan gelombang 2291 cm-1. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa gugus CH terdeteksi pada bilangan gelombang 2360 cm-1, 2947 cm-1, 3124 cm-1, sedangkan ikatan spesifik O=C=O terdeteksi pada bilangan gelombang 2063 cm-1, 2075 cm-1, 2106 cm-1, 2114cm-1, 2145 cm-1, 2183 cm-1. El-Hefian et al. (2010) menyebutkan bahwa interaksi kimia yang terjadi antara dua material atau lebih dapat menyebabkan adanya perubahan pada puncak spektrum yang terdeteksi.
14
Pita absorpsi ikatan W=O ditunjukkan oleh vibrasi bending pada kisaran bilangan gelombang 1952-2183 cm-1. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Reyes at al. (2008) yang menyatakan bahwa vibrasi dari ikatan W=O yang terbentuk sebagai hasil pemanasan thin film WO3 pada suhu 300 °C terjadi
pada kisaran bilangan gelombang 600-1453 cm-1. Vibrasi yang terbentuk pada bilangan gelombang ini merupakan bentuk vibrasi stertching, bending, dan lattices mode. Muresan et al. (2008) menyatakan bahwa gugus fungsi yang terdeteksi menunjukkan ikatan spesifiknya pada variasi bilangan gelombang yakni 2800-3500 cm-1 untuk υ (HOH) dan υ (OH), 1600-1650 cm-1 untuk δ H2O, 970-1000 cm-1 untuk υ (W=O), serta 600-800 cm-1untuk υ (W-O-W).
Tabel 2 Bilangan gelombang masing-masing ikatan spesifik
Ikatan spesifik Bilangan gelombang (cm-1)
O=H 3240, 3258, 3333, 3340, 3387, 3441
NH 3258 – 3300
CH 2360, 2947, 3124
O=C=O 2063, 2075, 2106, 2114, 2145, 2183
W=O 1952-2183
Thin film transparan yang dihasilkan melalui perlakuan panas dan pelapisan berulang menunjukkan kehadiran gugus OH pada bilangan gelombang 3370 cm-1 (vibrasi stertching) dan 1670 cm-1 (vibrasi bending). Indikasi adanya komposisi WO3 pada sampel ditandai dengan munculnya puncak serapan pada
bilangan gelombang 741 cm-1 dan 672 cm-1 (Badilescu dan Ashrit 2003). Daniel et al. (1987) menyebutkan bahwa ikatan spesifik W=O dengan vibrasi stretching pada pita serapan yang lebih tinggi (741 cm-1) dimiliki oleh kristal WO3,
sedangkan pita serapan yang lebih rendah (672 cm-1) menunjukkan bahwa material yang terbentuk masih bersifat amorf. Peregangan ikatan W=O beregeser dari bilangan gelombang 642 cm-1 ke 650 cm-1 setelah peningkatan perlakuan thermal. Substrat berupa kaca konduktor yang dilapisi tungsten trioksida akan membentuk sturktur amorf pada pemanasan 100-350 °C.
Analisis Energy Dispersive X-Ray (EDX)
Proporsi konsentrasi masing-masing atom penyusun sampel memperlihatkan bahwa kode C0 memiliki konsentrasi atom W sebesar 67,2% dan atom O sebesar 32,8%. Ratio atom W/O pada kode C0 adalah 2,05. Hasil ini tidak sejalan dengan Blackman dan Parkin (2005) yang melaporkan bahwa hasil stioichiometry monoklinik tungsten trioksida yang dipreparasikan pada SiCO dengan coating soda lime glass memiliki ratio atom sebesar 3,3 dan Sivakumar et al. (2006) yang menyebutkan bahwa konsentrasi atom film tungsten trioksida monoklinik yang dicoating pada FTO (fluorin thin oxide) memiliki nilai ratio atom sebesar 3,72. Hal ini diduga disebabkan karena penggunaan H2O2
dalam proses pembuatan thin film menyumbangkan konsentrasi atom O pada sampel.
15 Tabel 3 Hasil EDX WO3 thin film komposit chitosan-tungsten trioksida (%)
Sampel Tungsten Oxygen Carbon Nitrogen Silicon
(W) (O) (C) (N) (Si)
WO3 + Chitosan 0% (C0) 67,2 32,8 - - -
WO3 + Chitosan 1% (C1) 30,7 54,9 4,2 3,6 6,6
WO3 + Chitosan 2% (C2) 36,9 48,9 2,4 1,9 9,9
WO3 + Chitosan 3% (C3) 36,5 51,3 4,1 3,9 4,2
Keterangan: - tidak terdeteksi
Gambar 9 Komposisi atom penyusun thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.
Ratio atom W/O pada ketiga sampel ini juga tidak menunjukkan angka 1:3. Fenomena ini diduga terjadi karena kandungan oksigen terdeteksi dipengaruhi oleh atom O yang terdapat pada substrat kaca. Hal ini didukung oleh pernyataan Hasan et al. (2012) yakni adanya kandungan puncak silikon (Si) yang terdeteksi mengindikasikan bahwa kandungan oksigen pada uji EDX dipengaruhi oleh substrat kaca yang digunakan. Proporsi atom yang terdeteksi pada sampel dipengaruhi oleh metode pembuatan thin film yang digunakan. Metode coating yang digunakan dalam pembuatan thin film hanya akan memberikan pengaruh pada interaksi gugus aktif pada sampel di permukaan material semikonduktor (Muresan et al. 2008).
16
sampel. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Qian dan Zhang (2010) yang menyebutkan bahwa analisis EDX sampel chitosan menunjukkan konsentrasi tertinggi dimiliki oleh atom C dan O.
Karakteristik Sifat Optik dan Tingkat Sensitivitas Sensor
Karakteristik chromic yang dimiliki oleh material ini dapat dilihat dari pantulan cahaya biru yang terjadi setelah thin film mengalami perlakuan thermal 250 °C dan terlihat transparan saat suhu kembali normal. Sifat chromic pada tungsten trioksida dapat distimulir dengan adanya penambahan asam kuat, hal ini dikarenakan kehadiran asam kuat dapat menyumbangkan proton pada permukaan material (Badilescu dan Ashrit 2003). Proses pertukaran proton lebih lanjut digambarkan Kuo et al. (2012) melalui reaksi protonisasi. Material tungsten trioksida akan mendapat donor proton dari asam kuat sehingga terjadi kenaikan bilangan oksidasi pada WO3 yang ditandai dengan warna kebiruan pada sampel.
Gambar 10 Sifat optik sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida. Berdasarkan sifat optik sensor (Gambar 10) dapat diketahui bahwa nilai transmitan kode C0, C1, C2, dan C3 pada daerah serapan yakni masing-masing 53,326 %, 66,678%, 64.529%, 58,744%. Pada penambahan chitosan sebesar 1%, 2%, dan 3% terjadi penurunan nilai transmitan. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya pengaruh konsentrasi chitosan pada tingkat kekeruhan sampel yang dihasilkan. Dallan et al. (2007) yang menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi chitosan dalam larutan akan membuat warna larutan semakin keruh. Hal ini juga berpengaruh pada tingkat kekeruhan sampel yang ditandai dengan penurunan nilai transmitansi sampel. Jiao et al. (2010) menyatakan bahwa semakin keruh sampel thin film yang dihasilkan, nilai transmitansi yang terukur akan semakin kecil.
Respon sensor terhadap kehadiran gas H2S dengan variasi konsentrasi
17 transmitan pada kondisi terpapar gas H2S. Daerah serapan yang terbentuk sebagai
respon kode C0 pada keadaan tanpa gas ditunjukkan dengan nilai transmitan sebesar 53,326%. Nilai ini mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi gas H2S yang diberikan yakni 52,399% untuk 1 ppm, 51,356% untuk
2 ppm, dan 50,906% untuk 3 ppm.
Gambar 11 Respon sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.
Hal serupa terjadi pula pada kode C1 dengan nilai transmitan awal sebesar 66,898% dan mengalami perubahan berturut-turut menjadi 64,894%, 63,256%, dan 61,423%. Daerah serapan kode C2 berada pada nilai transmitan 65,007 % dan menurun dengan adanya paparan gas H2S masing-masing 59,498% (1 ppm),
58,161% (2 ppm), dan 55,879% (3 ppm). Perubahan yang terlihat pada kode C3 dimulai dengan nilai transmitan sebesar 59,286% dan menurun menjadi 48,164% (1 ppm), 44,338% (2 ppm), dan 42,115% (3 ppm).
Kecenderungan penurunan nilai transmitan pada sampel setelah pemaparan gas 1 ppm berbanding lurus dengan konsentrasi chitosan yang digunakan. Rentang penurunan daerah serapan yang terbesar terjadi pada kode C3 dibandingkan kode lainnya (C0, C1, C2) dengan penambahan konsentrasi gas yang sama. Hal ini diduga terjadi karena besarnya konsentrasi chitosan mempengaruhi pengikatan elektron yang menyebabkan turunnya nilai transmitan dengan rentang yang berbeda. Gugus NH3 yang sangat reaktif pada chitosan akan
18
merupakan salah satu semikonduktor dengan band gap (celah energi) yang besar (2,6 eV-3,7 eV) (Watanabe et al. 2013). Lebih lanjut lagi, Ali (2008) menyebutkan bahwa absorbansi menggambarkan proses abrsorbsi foton pada celah energi. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa saat sensor terpapar gas, celah energi yang lebar akan memungkinkan terjadinya absorbsi foton yang menyebabkan perubahan pada nilai transmitan terukur. Pada kasus sensor gas berbasis CuO, Chen (2010) menggambarkan bahwa pertukaran elektron yang terjadi pada semikonduktor (CuO) pendeteksi gas H2S dapat berlangsung karena
adanya ikatan kovalen antara singlet oksigen dengan gas H2S yang terjadi melalui
reaksi:
H2S + 3O- H2O + SO2 + 3e-
Hal tersebut memungkinkan elektron untuk melewati permukaan semikonduktor dan menyebabkan perubahan dengan rentang cukup besar pada nilai absorbansi yang terukur. Namun, pada paparan gas H2S yang berikutnya
transportasi elektron melewati permukaan semikonduktor akan terhambat akibat adanya interaksi antara permukaan dengan sulfida membentuk lapisan CuS. Lapisan ini akan menyaring jumlah elektron yang masuk sehingga pada penambahan gas H2S berikutnya hanya akan terjadi perubahan nilai absorbansi
dengan rentang yang kecil. Sejalan dengan hal tersebut, pada penelitian ini diduga mengalami proses yang sama. Paparan gas H2S pertama kali akan menemukan
singlet oksigen dari WO3, reaksi antara H2S dengan O- dari WO3 akan melepaskan
elektron. Pori yang dimiliki oleh material tungsten trioksida mempermudah transportasi elektron yang terjadi, elektron akan ditangkap oleh gugus NH3 reaktif
dari chitosan dan pada akhirnya menyebabkan perubahan nilai transmitansi terukur dimana hubungan transmitansi dan absorbansi adalah A= -log%T.
Respon yang ditunjukkan oleh sensor diperkuat dengan nilai sensitivitasnya. Nilai sensitivitas diartikan sebagai kemampuan suatu sensor untuk memberikan respon terhadap variasi terendah gangguan yang diberikan (Wang et al. 2003). Kurva sensitivitas dapat dilihat pada Gambar 12. Tingkat sensitivitas sensor digambarkan melalui gradien garis dari nilai transmitan yang terukur pada panjang gelombang 459,36 nm. Perhitungan nilai ini dilakukan untuk menduga sensor dengan tingkat sensitivitas terbaik, dimana nilai sensitivitas dirumuskan sebagai:
Keterangan: S = Sensitivitas sensor
T = Perubahan nilai transmitansi (%)
C = Perbedaan konsentrasi (ppm)
Sensor dengan kode C0 menunjukkan perubahan nilai transmitan sebesar 0,83% setiap penambahan satu satuan ppm gas H2S. Kode C1 menunjukkan
perubahan nilai transmitan sebesar 1,81% setiap penambahan satu satuan ppm gas H2S. Perhitungan serupa dilakukan pula pada kode lainnya, perubahan nilai
transmitan sebesar 2,87% dan 5,53% setiap penambahan satu satuan ppm gas H2Smasing-masing dimiliki oleh sensor C2 dan C3.
19 perubahan yang stabil pada penambahan gas berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sensor dengan kode C2 dan C3 memiliki limit detection terbaik. Limit detection diartikan sebagai kemampuan suatu sensor untuk merespon konsentrasi terendah dari suatu gangguan (Sakai et al. 2001).
Hal ini bertolak belakang dengan yang dialami oleh kode C1, meskipun respon yang ditunjukan stabil akan tetapi penambahan 1 ppm gas H2S hanya
mengakibatkan perubahan dengan rentang yang kecil. Fenomena ini mengindikaskan bahwa sensor dengan kode C0 dan C1 memiliki sensitivitas yang rendah pada konsentrasi kecil.
Gambar 12 Sensitivitas sensor thin film komposit chitosan-tungsten trioksida.
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Thin film berbasis efek gasochromic pada material komposir chitosan-tungsten trioksida (WO3) sebagai biosensor gas rumah kaca dapat dihasilkan
melalui proses coating dan pemanasan berulang pada suhu 150 °C. Kristal WO3
yang terbentuk berada pada fasa monoklinik dengan gugus fungsi spesifik yang terdeteksi yakni OH, NH, CH, CO dan WO. Morfologi sampel yang dihasilkan menunjukan bentuk partikel yang beragregat dan memiliki pori. Berdasarkan pengujian respon dan tingkat sensitivitas sensor, diketahui bahwa penambahan chitosan sebanyak 3% memiliki tingkat sensitivitas tertinggi yang ditandai dengan limit detection terbaik pada paparan gas H2S.
Saran
Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan gas rumah kaca lainnya seperti karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) untuk
mengetahui respon dan sensitivitas sensor. Selain itu, diperlukan adanya kajian lebih lanjut mengenai metode pencampuran (blended) antara chitosan dan tungsten trioksida dalam aplikasinya sebagai pendeteksi gas, agar interaksi antara kedua material tersebut dapat lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adia L. 2009. Pembuatan sensor serat optik dengan cladding dye methyl violet untuk mendeteksi gas H2S[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Ali M. 2008. Wide band gap materials and devices for NOx, H2, and O2 gas
sensing applications[dissertation]. Ilmenau: University of Ilmenau.
[ASTM] American Society for Testing Material. 2002. ASTM E1252: Standard Practice for General Techniques for Obtaining Infrared Spectra for Qualitaitve Analysis. Amerika: American Society for Testing Material. Badilescu S, Ashrit PV. 2003. Study of sol-gel prepared nanostructured WO3 thin
films and composites for electrochromic applications. Journal Solid State Ionics 158(81):187-197.
Berezkin VG, Topchiev AV, Drugov, Gubkin IM. 1991. Gas chromatography in air pollution analysis. Journal of Chromatography Library 5(2):15-19. Bhuvaneshwari S, Sruthi D, Sivasubramanian V, Kalyani N, Sugunabai J. 2010.
21 Blackman CS, Parkin IP. 2005. Atmosphere pressure chemical vapor deposition of crystalline monoclinic WO3 and WO3-x thin films from reaction of
WCL6 with O-containing solvent and their photochromic and
electrochromic properties. Journal Chemistry of Materials 17(1):1583-1590.
Chan CC, Hsu WC, Chang CC, Hsu CS. 2011. Hydrogen incorporation in gasochromic coloration of sol gel WO3 thin films. Sensors and Actuators
B 157:504-509.
Chen J. 2010. Highly sensitive and selective gas sensor based on vertically aligned metal oxide nanowire arrays[dissertation]. New Orleans: University of New Orleans (USA).
Chung WY. 2002. Tungsten oxide thin films prepared for NO2 sensors by using
hydrothermal method and dip coating. Journal of Korean Physical Society 41(2):181-183.
Cruz RV, Harasawa, Lal M, Wu S, Anokhin Y, Punsalmaa B, Honda Y, Jafari M, Li C, Ninh NH. 2007: Asia. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Parry ML, Canziani OF, Palutikof JP, van der Linden PJ, Hanson CE. Cambridge: Cambridge University Press (UK), 469-506.
Dallan PRM, Moreira PL, Petinari L, Malmonge SM, Beppu MM, Genari SC, Moraes AM. 2007. Effects of chitosan solution concentration and incorporation of chitin and glycerol on dense chitosan membrane properties. Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials 80(2):394-405. Gasochromic effect in nanocrystalline TiO2 thin films doped with Ta and
Pd. Proceedings of the III National Conference on Nanotechnology 116(1):126-128.
El-Hefian EA, Nasef MM, Yahaya AH. 2010. The preparation and characterization of chitosan/poly (vinyl alcohol) blended films. Electronic Journal of Chemistry 7(4):1212-1219.
Enesca A, Andronic L, Duta A, Manolache S. 2007. Optical properties and chemichal stability of WO3 and TiO2 thin films photocatalysts. Romanian
Journal of Information Science and Technology 10(3):269-277.
Gerand B, Nowogrocki G, Guenot J, Figlarz M. 1979. Structural study of a new hexagonal form of tungsten trioxide. Journal of Solid State Chemistry 29 (3):429-434.
Gleitman Y, Lifshitz C, Yinon T. 1976. Air pollution monitoring by negative ion mass spectometry. Journal of Environmental Pollution 26(4):163-166. Hasan MM, Haseeb ASMA, Masjuki HH. 2012. Structural and mechanical
22 oxide thin films. Journal of the Korean Physical Society 46:121-124. Ibeto C, Okoye C, Ofoefule A, Uzodinma E. 2012. Analysis of environmental
pollutants by atomic absorption spectrophotometry. Physical and Theoretical Chemistry Journal 1(2):26-49.
Jiao Z, Sun XW, Wang J, Ke L, Demir HV. 2010. Hydrothermally grown nanostructured WO3 films and their electrochromic characteristics.
Journal of Physics D: Applied Physics 43(10):1-6.
Jiao Z, Wang J, Ke L, Sun XW, Demir HV. 2011. Morphology-Trailored synthesis of tungsten trioxide (hydrate) thin films and their photocatalytic properties. Journal American Chemical Society: Applied Material & Interfaces 10(3):229-236.
Korotchenkov G. 2013. Handbook of Gas Sensor Materials: Properties Adventages and Shortcomings for ApplicationsVolume 1. New York (NY): Springer Publishing.
Kuo CG, Chou CY, Tung YC, Chen JH. 2012. Experimental study of the electrochromic properties of WO3 thin films derived by electrochemical
method. Journal of Marine Science and technology 20(4):365-368.
Lampert CM. 1982. Optical coating for energy efficiency and solar applications. Society of Photo Optical Instrumentatio Engineering Proceeding: The International Society for Optical Engineering 324:206-406.
Liang S, Liu L, Huang Q, Kit LY. 2009. Preparation of single or double-network chitosan/poly(vinyl alcohol) gel films through selectively cross-linking method. Carbohydrate Polymers 77:718-724.
Muresan L, Popovici EJ, Tomsa AR, Dumitrescu LS, Tudoran LB, Indrea E. 2008. Preparation by dip coating method and characterization of WO3 thin films.
Journal of Optoelectronics and Advanced Materials 10(9):2261-2264. [MEE] Materials Evaluation and Engineering. 2001. Handbook of Analytical
Method for Materials. Plymouth (UK): Materials Evaluation Engineering, Inc.
[MNLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2007. Memprakirakan Dampak Lingkungan: Kualitas Udara. Jakarta: Deputi Bidang Tata Lingkungan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Nasution TI, Nainggolan I, Hutagalung SD, Ahmad KKR, Ahmad ZA. 2013. The sensing mechanism and detection of low concentration acetone using chitosan-based sensors. Journal Sensors and Actuators B 177:522-528. National Bureau of Standards. 1966. Standard X-Ray Diffraction Powder Patterns.
Arizona (AZ): U.S Department of Commerce.
No HK, Meyers SP. 1995. Preparation and characterization of chitin and chitosan
– a review. Journal of Aquatic Product Technology 4(2): 27-52.
23 Ocean Optics. 2012. USB-ISS-UV/VIS: Integrated Sampling System Instalation
and Operation Instructon. Dunedin (FL): Halma Group Company.
Pawlicka A, Dragunski DC, Guimaraes KV. 2004. Electrochromic devices with solid electrolytes based on natural polymers. Journal Molecular Crystals and Liquid Crystals (416):105-112.
Qian L dan Zhang H. 2010. Green synthesis of chitosan-based nanofibers and their applications. Journal Green Chemistry (12):1207-1214.
Quarto FDI, PaolaADI, Piazza S, Sunseri C. 1985. Influence of thermal treatment on the photoelectrochemical behavior of WO3 photoanodes
electrochemically grown. Journal of Solar Energy Material 11(5-6):419-433.
Rahmat M. 2013. Pengembangan sistem pengukuran indeks standar pencemar udara berbasis sensor kristal fotonik[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Reyes JD, Garcia VD, Benitez AP, Lopez JAB. 2008. Obtaining of films of tungsten trioxide (WO3) by resistive heating of tungsten filament. Journal
Superficies y Vacio 21(2):12-17.
Sakai G, Matsunaga N, Shimance K, Yamazoe N. 2001. Theory of gas diffusion controlled sensitivity for thin film semiconductor gas sensor. Journal of Sensors and Actuators 80(2):125-131.
Samarasekara P. 2009. Gas sensing properties of tungsten oxide thin films in methane and nitric oxide gases. Georgian Electronic Scientific Journal 2(2):44-50.
Schauer CL. 2003. Chitosan thin films as an optical biosensor platform. Journal of Material Science and Enginering 17(4):45-49.
Sharbatdaran, Masoomeh, Novirooz, Abdoljavad, Hassan N. 2006. Preparation and characterization of WO3 electrochromic films obtained by the sol-gel
process. Iranian Journal of Chemistry and Chemical Engineering 25(2):25-29.
Silverstein RM, Bassler GC, Morrill TC. 1981. Spectrometric Identification of Organic Compounds. New York (NY): John Wiley and Sons, Inc.
Sivakumar R, Gopalakrishnan R, jayachandran M, Sanjeeviraja C. 2006. Investigation of x-ray photoelectron spectroscopic (xps). Cyclic voltametric analyses of WO3 films and their electrochromic response in
FTO/WO3/electrolyte/FTO cells. Journal Smart Materials and Structures
15(3):877-888.
Soliman HMA, Kashyout AB, Nouby MSE, Abosehly AM. 2012. Effect of hydrogen peroxide and oxalic acid on electrochromic nanostructured tungsten oxide thin films. International Journal of Electrochemical Science (7):258-271.
Talledo A, Granqvist CG. 1995. Electrochromic vanadium-pentoxide-based films: structural, electrochemical, and optical properties. Journal Apllied Physics 77(9):4655-4666.
Wang Sh, Chou TC, Liu CC. 2003. Nano-crystalline tungsten oxide NO2 sensor.
Jounal Sensors and Actuators B 94:343-351.
24
Yaacob MH, Breedon, Kalantar, Wlodarski W. 2009. Comparative study of the gasochromic performance of Pd/WO3 and Pt/WO3 nanotextured thin films
for low concentration hydrogen sensing. Journal of Electrical Computer Engineering 9(1):304-307.
Yurugi T, Ito S Numata Y, Sykes K. 2001. SEM/EDX-Integrated Analysis System (SEMEDX Series). [feature article]. Hitachi Science System Ltd dan Oxford Instruments plc.
Yuwono IA, Ramdhani M, Sumaryono S. 2012. Prototype pendeteksi emisi kendaraan bermotor. Jurnal Elektronika 6(2):1-5.
Zhuang L, Xu X, Shen H. 2003. A study on the gasochromic properties of WO3
25
26
Lampiran 1 Perhitungan pembuatan gas H2S
FeS + 2HCl FeCl2 + H2S 0,0006 mol 0,0012 mol 0,0006 mol 0,0006 mol
Berdasarkan hukum kesetimbangan reaksi untuk gas, diketahui bahwa pada T dan P yang sama, 1 mol gas tertentu sama dengan 20 L.
1 ppm H2S = 1 mg/L
= 20 mg/20 L M = gram/Mr
= 2x10-2/34
= 0,00058 ~ 0,0006 mol Bobot FeS yang diperlukan M = n x Mr
= 0,0006 mol x 88 gram/mol = 0,0528 gram ~ 0,05 gram Volume HCl 1 M yang diperlukan V = n x M
= 0,0012 mol x 1 L/mol = 0,0012 L
27
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1992. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai di SDN Mekar Jaya 11 pada tahun 1998 hingga tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun yang sama di SMPN 3 Depok hingga tahun 2007. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 38 Jakarta pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2010. Selama perkuliahan, penulis juga aktif sebagai asisten seperti asisten praktikum pada mata kuliah Ekologi Perairan tahun 2012-2013 dan asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan tahun 2013.