• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK TANAH DAN VEGETASI

DI HUTAN KERANGAS DAN LAHAN PASCA TAMBANG

TIMAH DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR

DINA OKTAVIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Dina Oktavia

(4)

RINGKASAN

DINA OKTAVIA. Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur. Dibimbing oleh YADI SETIADI dan IWAN HILWAN.

Pulau Belitung yang dikenal sebagai pulau penghasil timah terbesar kedua di Indonesia, terancam kelestarian ekosistem hutannya akibat kegiatan penambangan timah yang tidak ramah lingkungan. Hutan kerangas merupakan salah satu tipe ekosistem di Belitung yang sangat rentan terhadap gangguan. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data dan informasi mengenai karakteristik tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah. Sampel tanah diambil secara komposit di hutan sekunder tua (Rimba), hutan sekunder muda (Bebak), vegetasi padang (Padang) dan dua lokasi lahan pasca tambang timah umur kurang dari 100 tahun dan lebih dari 100 tahun yang kemudian terbagi lagi menjadi beberapa cluster berdasarkan umur tailing. Vegetasi dianalisis dengan menggunakan modifikasi teknik kuadrat Oosting 1942. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah tailing umur 3, 5, 15 dan 50 tahun masih mengandung pasir diatas 80%, sedangkan kandungan pasir pada tanah tailing umur 130 tahun sudah menurun dan mendekati tekstur tanah di hutan. Kandungan bahan organik yang rendah (< 2%) serta nilai KTK sangat rendah di tailing 3, 5, 15 dan 50 tahun menyebabkan pertumbuhan vegetasi menjadi sangat lambat. Kondisi ini juga didukung oleh komposisi mineral liat yang dominan yaitu kaolinit. Konsentrasi logam berat yang diukur masih dibawah ambang pencemaran lingkungan.

Hasil analisis vegetasi diperoleh nilai keanekaragaman tertinggi tingkat semai di Bebak, untuk pancang dan pohon yaitu di Rimba, sedangkan tingkat tumbuhan bawah di lahan pasca tambang kurang dari 100 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada lahan pasca tambang masih dalam tahap suskesi di tingkat tumbuhan bawah, khususnya herba dan semak. Kesamaan komunitas antara dua lokasi lahan pasca tambang paling tinggi yaitu pada tingkat pancang (41.38%), sedangkan nilai IS tertinggi yaitu pada tingkat pancang di Rimba dan Bebak sebesar 54.54%. Beberapa spesies pionir yang berpotensi sebagai anakan alami untuk kegiatan restorasi, termasuk dalam famili Myrtaceae.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah karakteristik tanah di lahan pasca tambang timah bertekstur pasir, rendah unsur hara dan pertumbuhan vegetasi yang sangat lambat. Keanekaragaman tumbuhan di lahan pasca tambang lebih rendah dibandingkan di hutan. Penambahan bahan organik dan penanaman jenis pionir lokal yang bersifat katalitik perlu dilakukan pada kegiatan restorasi untuk mendukung suksesi alami.

(5)

SUMMARY

DINA OKTAVIA. The Characteristic of Soil and Vegetation on Heath Forest and Post Tin Mined Land in East Belitung District. Supervised by YADI SETIADI and IWAN HILWAN.

Belitung Island known as the second biggest tin producer in Indonesia, the forest ecosystem is now under immense of tin mining activity. Heath forest (kerangas forest) is one of forest ecosystem in Belitung which very fragile and vulnerable. The objectives of this research are to obtain the characteristic of soil properties and vegetation in heath forest and post tin minedland. Compossite soil sample was collected from old secondary heath forest (Rimba), young secondary heath forest (Bebak), padang vegetation (Padang), and two post tin minedlands (less than 100 years and more than 100 years) which devided into clusteres based on tailing age. Vegetation was analyzed by modification of square method Oosting 1942. The results show that in tailing 3, 5, 15 and 50 years still containt high amount of sand (>80%), meanwhile sand fraction in the tailing 130 years is quite decline and approaching to soil texture in the forest. The organic matter content and cation exchange capacity in tailing 3, 5, 15 and 50 years were very low which hindered the plant growth. This condition also supported from kaolinite as the dominant mineral composition. The concentration of heavy metal show the low amount and still less than ecological hazardous threshold.

The results vegetation analysis obtained the highest species diversity index for seedling is in Bebak, sapling and tree are in Rimba, meanwhile for herbs is in post tin minedland less than 100 years. It shows that in the minedland is still under early succession stage which covered by herbs and shrubs. The highest similarity index among locations each others is between Rimba and Bebak for sapling (54.54%), between two post tin minedland also on sapling (41.38%). Some potential pioneers species were found as natural seedlings for restoration are Myrtaceae.

The soil characteristic in post tin minedlands are sandy texture, low nutrient and slow rate of plant growth. The species diversity in post tin minedlands were lower than forest. Adding organic material and selecting native pioneer catalitic species would be better to improve the post tin minedland through restoration activity by natural succession approach.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

KARAKTERISTIK TANAH DAN VEGETASI

DI HUTAN KERANGAS DAN LAHAN PASCA TAMBANG

TIMAH DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur

Nama : Dina Oktavia NIM : E451124021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Yadi Setiadi, MSc Ketua

Dr Ir Iwan Hilwan, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2 Silvikultur Tropika

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah restorasi hutan kerangas, dengan judul Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yadi Setiadi dan Bapak Dr Ir Iwan Hilwan selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof Shinya Funakawa, Assc Prof Hitoshi Shinjo dan Asst Prof Tetsuhiro Watanabe dari Laboratory of Soil Science dan Laboratory of Terrestrial Ecosystem Management, Universitas Kyoto Jepang, yang telah mendukung selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan rekan-rekan atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 2

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Bahan 5

Prosedur Penelitian 5

Prosedur Analisis Data 7

3 HASIL 10

Deskripsi Lokasi Penelitian 10

Sifat Fisika Tanah 13

Sifat Kimia Tanah 13

Komposisi dan Struktur Vegetasi 16

4. PEMBAHASAN 22

Karakteristik Tanah 22

Komposisi dan Struktur Vegetasi 30

Vegetasi Pionir Lokal Potensial 34

Teknik Pembenahan Tanah Lahan Pasca Tambang Timah 41

4 SIMPULAN DAN SARAN 43

Simpulan 43

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 48

(12)

DAFTAR TABEL

1. Lokasi penelitian 4

2. Metode modifikasi BCR dengan tiga tahapan ekstraksi bertingkat 6

3. Kriteria kondisi tanah 7

4. Kriteria kondisi tanah bermasalah 7

5. Batas minimum konsentrasi logam berat terhadap lingkungan

ekologi 8

6. Tekstur tanah di setiap lokasi pengambilan contoh tanah 13

7. Hasil analisis beberapa sifat kimia tanah 14

8. Hasil analisis kandungan logam berat 14

9. Hasil analisis mineral liat di setiap lokasi 15 10.Potensi mikoriza di beberapa spesies di lokasi penelitian 15 11.Kerapatan individu di setiap lokasi penelitian 16

12.Indeks nilai penting tumbuhan di Rimba 17

13.Indeks nilai penting tumbuhan di Bebak 18

14.Indeks nilai penting tumbuhan di Padang 19

15.Indeks nilai penting tumbuhan di LPT < 100 tahun 19 16.Indeks nilai penting tumbuhan di LPT > 100 tahun 20 17.Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas 22

DAFTAR GAMBAR

1. Peta lokasi penelitian. 5

2. Ekosistem Rimba. 10

3. Ekosistem Bebak. 11

4. Ekosistem Padang. 11

5. Lahan pasca tambang < 100 tahun. 12

6. Lahan pasca tambang > 100 tahun. 12

7. Jumlah spesies tumbuhan di setiap lokasi penelitian. 16 8. Nilai H' setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di setiap

11.Lapisan tanah warna hitam sebagai mineral augit. 29 12.Akar M. leucadendron yang tumbuh di atas permukaan tanah. 29

13.Beruta (D. linearis). 35

14.Keremuntingan (R. tomentosa) 36

15.Keletaan (M. malabathricum). 36

16.Gelam (M. leucadendron). 37

17.Sekudong pelandok (S. buxifolium). 38

18.Sapu padang (B. frutescens). 38

19.Arang-arang (S. napiforme). 39

20.Batang kayu pelawan (T. obovata). 39

(13)

22.Batang pohon seru (S. wallichii). 40

DAFTAR LAMPIRAN

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Kabupaten Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten pemekaran yang terbentuk pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Tengah, Bangka Barat dan Belitung Timur di Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara geografis terletak antara 107°45’ BT – 108°18’ BT dan 02°30’ LS – 03°15’ LS. Luas Kabupaten Belitung Timur yaitu 2.506,91 km2 atau berkisar 250.691 hektar, terdiri dari 39 desa dari 7 kecamatan dengan jumlah penduduk 110.315 jiwa. Mayoritas masyarakat lokal bermata pencaharian di sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan (BAPPEDAL 2011).

Pulau Belitung merupakan salah satu pulau penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Pulau Bangka. Kedua pulau ini berada di jalur timah dunia (Van Bemmelen 1970). Deposit timah di Bangka dan Belitung merupakan deposit timah terbaik di dunia (Hess & Hess 1912) dengan deposit timah primer terbanyak yaitu di Pulau Belitung (Marheni 2008). Sejarah pertambangan timah di Pulau Belitung sudah dimulai sejak tahun 1800-an oleh pemerintah Belanda dengan teknik eksplorasi open tin mining. Lapisan tanah digali terlebih dahulu, kemudian pengupasan menggunakan pompa semprot bertenaga listrik dan bijih timah akan terendapkan karena perbedaan berat jenis. Pemisahan antara tailing dan bijih timah dilakukan dengan menggunakan sakhan (Widhiyatna et al. 2006).

Penambangan timah dengan teknik tersebut berdampak pada lingkungan dan kelestarian ekosistem, diantaranya perubahan bentang alam, penurunan keanekaragaman hayati, pencemaran air dan sedimentasi. Cerukan-cerukan berisi air (kolong) bekas penambangan timah berpotensi mengandung kontaminan logam berat (Henny 2011). Tailing pasir pada lahan bekas tambang timah juga berpotensi meradiasikan unsur-unsur radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Wahyudi 2003). Menurut Pratiwi (2010) berdasarkan analisis satuan kemampuan lahan kesuburan tanah di Belitung Timur, yaitu seluas 218.101 hektar lahan di Belitung Timur dalam kondisi buruk. Hal ini disebabkan oleh kegiatan penambangan timah yang tidak ramah lingkungan. Di sisi lain, kegiatan tersebut juga akan mengancam kelestarian 224 spesies tumbuhan di hutan kerangas yang 101 diantaranya berkhasiat sebagai obat (Oktavia 2012).

Di sisi lain, masyarakat Melayu Belitung memiliki suatu sistem lansekap tradisional dalam mengelola ekosistem. Menurut Fakhrurrazi (2001), terdapat beberapa tipe ekosistem berdasarkan kearifan tradisional mereka antara lain ekosistem alami (Rimba, Padang, Ai’), ekosistem suksesi (Bebak, Bebak usang,

Kelekak, Kelekak usang). Masyarakat juga membagi beberapa ekosistem yang

dilarang untuk diolah karena berbahaya bagi keseimbangan ekosistem. Selain lansekap, masyarakat lokal juga membagi kondisi tanah ke dalam beberapa tipe seperti tana teraja (tanah podsolik yang banyak mengandung kuarsa), tana darat

(tanah podsolik merah-kuning), tana amau (lahan basah, rawa atau daerah tepian sungai), tana kepo (tanah peralihan antara tana amau dan tana darat berwarna cokelat pucat), dan tana malangen (tanah peralihan yang berbatasan dengan tana teraja).

(16)

2

podsol, tanah pasir kuarsa miskin hara dan memiliki pH rendah (Brunig 1974; Whitmore 1984; Whitten et al. 1984; MacKinnon et al. 1992), dalam jumlah yang cukup luas dapat dijumpai di Pulau Bangka dan Belitung (Whitten et al. 1984). Konsorsium Revisi High Conservation Value (HCV) Toolkit Indonesia (2008) menegaskan bahwa hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alami dengan ditambah zona penyangga minimal satu kilometer, dimana kegiatan pemanfaatan harus seminimal mungkin dilakukan. Peran hutan kerangas sebagai kawasan hutan lindung dinilai dari jenis tanahnya dan fungsinya sebagai resapan air perlu dipertahankan sesuai dengan Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung.

Hutan kerangas sebagai suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan ini, membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun dalam suksesi alami mendekati kondisi ekosistem semula (Whitten et al. 1984). Elfis (1998) diacu dalam Nurtjahya (2008) meyebutkan bahwa diperlukan waktu 150 tahun bagi lahan pasca tambang timah untuk kembali menjadi hutan kerangas. Oleh karena itu perlu adanya campur tangan manusia dalam mengembalikan komposisi vegetasi hutan kerangas dan fungsi ekosistem hutan kerangas melalui kegiatan restorasi. Pendekatan suksesi alami dalam restorasi dapat meningkatkan keanekargaman hayati dan memperbaiki kualitas tanah serta mendukung keberlanjutan ekosistem (Bradshaw 1997; Aronson & Alexander 2013). Setiadi (2012) menjelaskan bahwa dalam restorasi perlu mempertimbangkan aspek tanah dan vegetasi sebagai suatu informasi dasar dalam menentukan teknik pembenahan tanah yang tepat dan memilih spesies pionir yang menjadi katalisator dalam kolonisasi alami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerangkan kondisi tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah sehingga dapat merumuskan teknik rehabilitasi lahan pasca tambang timah dengan pendekatan suksesi berdasarkan data lapangan.

Latar Belakang

Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten pemekaran yang masih banyak membutuhkan ruang untuk pembangunan infrastruktur dan lahan-lahan untuk perkembangan sektor pertanian/ perkebunan dan pertambangan untuk menggerakkan perekonomian daerah. Ekosistem hutan kerangas di Belitung Timur terancam oleh beberapa intervensi manusia membangun perkebunan kelapa sawit, karet dan juga pertambangan timah, pasir kuarsa, bijih besi, dan kaolin. Pertambangan timah merupakan salah satu bentuk intervensi manusia yang sudah berlangsung ratusan tahun dengan mengeksploitasi sumberdaya timah di daratan.

(17)

3 Interaksi masyarakat Desa Kelubi dengan ekosistem hutan dapat dilihat dari pemanfaatan tumbuhan obat tradisional yang berasal dari dalam hutan. Ketua adat atau dukun kampung dan beberapa peramu obat tradisional khususnya memiliki interaksi yang erat terhadap ekosistem hutan. Namun kerusakan hutan akibat kegiatan penambangan timah telah menyisakan beberapa lahan marginal yang tidak produktif serta berkurangnya sumberdaya hutan. Untuk mendukung kelestarian eksosistem hutan kerangas yang merupakan salah satu ekosistem hutan dalam status rawan (vulnerable) di dunia (WWF 2014) dan mendukung interaksi masyarakat terhadap sumberdaya hutan, maka perlu adanya upaya restorasi hutan kerangas di lahan pasca tambang timah. Informasi mengenai kondisi tanah dan vegetasi merupakan dua aspek penting dalam menentukan teknik restorasi yang tepat, sehingga penting dilakukan sebuah penelitian dasar tentang karakteristik tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya terkait percobaan tanam untuk tujuan restorasi di lahan pasca tambang timah.

Perumusan Masalah

Kondisi lahan pasca tambang timah di Bangka dan Singkep yang berumur kurang dari 100 tahun yang dibiarkan mengalami suksesi alami tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam beberapa aspek fisika maupun kimia tanah dan juga kondisi vegetasinya (Badri 2004; Nurtjahya 2008). Penelitian ini mengambil dua lokasi lahan pasca tambang yang berumur kurang dari 100 tahun dan lebih dari 100 tahun. Perbedaan lokasi diduga dapat menjadi sebuah kemungkinan terjadinya perbedaan kondisi sifat tanah dan vegetasi meskipun memiliki permasalahan yang sama akibat kegiatan penambangan timah, sehingga perlu dilakukan kajian terkait karakteristik tanah di lahan pasca tambang timah di Belitung.

(18)

4

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan karakteristik tanah di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 2) mengidentifikasi komposisi vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 3) mengidentifikasi spesies pionir potensial dan 4) merekomendasikan teknik pembenahan tanah yang dapat dilakukan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan acuan dalam mengambil tindakan teknik restorasi yang tepat di lahan pasca tambang timah di kabupaten Belitung Timur. Selain itu juga menjadi informasi dasar dalam menentukan teknik rehabilitasi atau revegetasi di lahan pasca tambang timah baik untuk tujuan konservasi maupun produksi.

2

METODE

Penelitian ini bersifat survei lapangan yang dirancang untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan setiap lokasi berdasarkan kriteria yang ditentukan. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan menetapkan konsep suksesi alami dan restorasi sebagai pendekatan dalam pembahasan kondisi tanah dan vegetasi di lokasi penelitian.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 – Agustus 2014. Pengambilan sampel tanah dan analisis vegetasi dilakukan di Desa Kelubi Kecamatan Manggar Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dipilih lima lokasi, antara lain: 1) hutan kerangas sekunder tua (Rimba), 2) hutan kerangas sekunder muda (Bebak), 3) vegetasi padang (Padang), 4) lahan pasca tambang timah (LPT) kurang dari 100 tahun (area KP PT Timah) dan 5) lahan pasca tambang timah (LPT) lebih dari 100 tahun (area Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)). Semua lokasi berada dalam status area penggunaan lain (APL) (Tabel 1). Daerah penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tabel 1 Lokasi penelitian

No Lokasi Posisi Geografis Status

1 Rimba 02º48’1,60” LS dan 108º08’16,5” BT APL

2 Bebak 02º50’10,9” LS dan 108º09’20,8” BT APL

3 Padang 02º52’53,0” LS dan 108º09’52,9” BT APL

4 KP PT Timah (LPT<100 th) 02º49’20,1” LS dan 108º11’35,3” BT APL

(19)

5

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan vegetasi di lapangan meliputi: 1) peralatan pengambilan sampel tanah komposit (bor tanah, plastik sampel, label, spidol), 2) peralatan analisis vegetasi dan pembuatan herbarium (meteran 20 m, meteran jahit, tali rafia, parang, plastik sampel herbarium, label, spidol, alkohol) dan 3) peralatan dokumentasi (Global Position

System (GPS), kamera, buku catatan dan alat tulis). Peralatan untuk analisis logam

berat dilakukan dengan menggunakan mesin Inductively Coupled PlasmaAtomic

Emission Spectrometry (ICP-AES) ICPE-9000. Analisis mineral liat dilakukan

dengan menggunakan mesin X-Ray Diffraction MiniFlex 600.

Prosedur Penelitian Pengambilan sampel tanah komposit

Contoh tanah komposit diambil dengan menggunakan teknik cluster

sampling (Suganda et al. 2006). Contoh cluster dipilih secara purposive,

dikarenakan kondisi lahan di setiap lokasi lahan pasca tambang tidak homogen, maka pada setiap LPT dibagi ke dalam beberapa cluster. Adanya penambangan ulang di lokasi lahan pasca tambang, sehingga memengaruhi umur suksesi setiap

cluster. Pembagian cluster berdasarkan tutupan vegetasi dominan di atasnya. Di LPT < 100 tahun dibagi menjadi dua cluster yaitu pasir (tailing 5 tahun) dan semak (tailing 50 tahun). Pada LPT > 100 tahun dibagi menjadi tiga cluster yaitu pasir (tailing 3 tahun), semak (tailing 15 tahun) dan hutan (tailing 130 tahun). Pada lokasi Rimba, Bebak dan Padang hanya terdapat satu cluster karena relatif homogen dalam satu hamparan. Contoh tanah berupa contoh tanah komposit seberat 600 gram yang diambil dari lima sub contoh tanah di setiap cluster di

(20)

6

setiap lokasi. Kedalaman pengambilan sampel tanah yaitu 0–20 cm (1) dan 20–40 cm (2).

Pengambilan contoh akar dan rizosfir

Pengambilan contoh akar untuk megetahui ada tidaknya asosiasi antara fungi mikoriza arbuskula (FMA) dengan akar tumbuhan. Contoh tanah yang berada di sekitar rambut akar (rizosfer) diambil untuk dianalisis potensi FMA di sekitar vegetasi tersebut. Contoh akar diambil dari tiga vegetasi dominan di dalam plot analisis vegetasi pada kedalaman 0–20 cm. Total panjang akar yang diambil yaitu 10–20 cm setiap jenisnya. Contoh tanah komposit dari sekitar akar tiga vegetasi dominan dan 4 titik rizosfir. Jumlah tanah yang diambil sebanyak 300– 500 g setelah dikompositkan.

Analisis tanah

Analisis tanah meliputi tekstur tanah (proporsi pasir, debu dan liat), pH, C organik (Walkley & Black), N total (Kjeldhal), P tersedia (Bray l), P total (HCl 25%), Kapasitas Tukar Kation (KTK), Ca, Mg, Na,K (N NH4OAc pH 7,0), Kejenuhan Basa (KB), Al, H (N KCl), Fe, Mn (0.05 N HCl) dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Analisis logam berat (Cd, Cr, Cu, Ni, Pb, Zn) dan analisis mineral liat dilakukan di Laboratory of Soil Science, Kyoto University.

Analisis logam berat dan mineral liat menggunakan sampel tanah 0–20 cm. Analisis logam berat dilakukan dengan metode modifikasi BCR tiga tahapan ekstraksi bertingkat (Rauret et al. 1999) (Tabel 2). Analisis mineral liat dilakukan dengan teknik X-Ray Diffraction (Whittig & Allardice 1986).

Analisis kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) menggunakan metode

Wet Sieving Decanting atau penyaringan basah (Brundrett et al. 1996) yang telah

dimodifikasi. Taksonomi genus FMA dilakukan berdasar performa morfologi spora dan merujuk http:invam.caf.wvu.edu. Analisis FMA dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan PPSHB IPB.

Pengambilan data vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan di lima lokasi (Rimba, Bebak dan Padang, LPT < 100 tahun dan LPT > 100 tahun) dengan menggunakan modifikasi teknik pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1942 (Soerianegara & Indrawan 2008) dengan ukuran petak contoh 10 m × 10 m sebanyak 20 petak contoh (Nurtjahya 2008) dan jarak antar petak contoh 20 m. Perisalahan komposisi vegetasi

Tabel 2 Metode modifikasi BCR dengan tiga tahapan ekstraksi bertingkat

Step Fraksi Target Pelarut

2 Dapat tereduksi Besi oksida dan Mangan oksida Hydroxylammonium

Chloride 0.5 M

3 Dapat teroksidasi Bahan organik dan sulfida Hydrogen Peroxyde 8.8

M dikuti oleh

(21)

7 dilakukan terhadap tiga fase pertumbuhan (semai, pancang dan pohon) dan habitus tumbuhan bawah (herba, semak, perdu, liana) dengan kriteria sebagai berikut;

a. Petak ukur semai 1 m × 1 m, yaitu anakan dengan tinggi ≤ 1.5 m semai dan tumbuhan bawah (herba, semak, perdu, liana).

b. Petak ukur pancang 5 m × 5 m, yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter setinggi dada < 10 cm.

c. Petak ukur pohon 10 m × 10 m, batang berdiameter ≥ 10 cm.

Prosedur Analisis Data Tanah

Hasil analisis tanah dinilai berdasarkan kriteria kondisi tanah (Landon 1986) (Tabel 3). Permasalahan tanah dinilai menurut kriteria penilaian tanah bermasalah (Setiadi 2012) (Tabel 4). Kandungan logam berat dinilai berdasarkan standar

Ecological Investigation Level yang disajikan pada Tabel 5 (DEC 2010).

Tabel 4 Kriteria kondisi tanah bermasalah

Parameter Kriteria Efek terhadap pertumbuhan

pH < 3 Asam, keracunan Al dan Fe

Kekompakan tanah Debu dan liat >70% Stagnasi, perkembangan akar terhambat

Al > 60% / > 3 mek 100 g-1 Akar keriting, stagnasi

Fe 12000 ppm Gangguan akar, stagnasi

KTK <16 mek 100 g-1 Stagnasi

KB < 20% Pertumbuhan lambat

Ca dan Mg Ca < Mg Stagnasi

Pasir Pasir > 80 % Stagnasi

Tabel 3 Kriteria kondisi tanah

Komponen Satuan Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

(22)

8

Komposisi dan Struktur Vegetasi

Data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi akan dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung Indeks Nilai Penting setiap spesies yang ditemukan.

 Indeks Nilai Penting (INP) :

INP = KR + FR (untuk semai dan pancang) INP = KR + FR + DR (untuk pohon)

Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif, yang berkisar antara 0 dan 300 (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Untuk tingkat pertumbuhan sapihan dan semai merupakan penjumlahan kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sehingga maksimum nilai penting adalah 200.

Keanekaragaman spesies tumbuhan ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Ludwig & Reynolds 1988) dengan rumus:

∑pi ln pi

i 1

dimana pi niN

Keterangan:

’ Indek eanekaragaman pe ie ni = Nilai penting spesies ke-i

N = Total nilai penting semua spesies

Makin e ar ’ at komunitas maka semakin mantap pula komunitas tersebut. H’ maksimal bila semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama

(23)

9 dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna (Ludwig & Reynolds 1988).

Kekayaan spesies diukur dengan menggunakan Indeks Margalef (1958) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988), yaitu:

ln N S 1

Keterangan:

R : Indeks kekayaan spesies S : Jumlah spesies

N : Jumlah individu

Kemerataan spesies digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Evennes (Ludwig & Reynolds 1988). Nilai E yang mendekati satu menunjukkan distribusi jumlah individu setiap spesies hampir sama.

ln S

Keterangan

E : Indeks kemerataan spesies ’ : Indeks keanekaragaman spesies S : Jumlah spesies

Indeks kesamaan komunitas dihitung untuk membandingkan keanekaragaman spesies antara dua komunitas yang berbeda. Nilai IS teringgi 100% dan terendah 0%, semakin mendekati 100% komunitas tumbuhan yang dibandingkan semakin identik (Odum 1993).

IS a 2 100

Keterangan:

IS = Index of Similarity atau Indeks Kesamaan Komunitas (%) C = Jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas

a = Jumlah spesies di dalam komunitas A b = Jumlah spesies di dalam komunitas B

Identifikasi Spesies Pionir Potensial

Kriteria penentuan spesies pionir potensial dilihat dari tingkat adaptability

di lapangan, jenis pionir cepat tumbuh, ketersediaan bahan tanaman, bersimbiosis dengan mikroba potensial dan bersifat pionir katalitik (Setiadi 2014).

Teknik Restorasi

(24)

10

Gambar 2 Ekosistem Rimba.

Hasil analisis tanah dan pengolahan data vegetasi disajikan dalam tabel, diagram dan gambar. Data dan informasi dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

3

HASIL

Deskripsi Lokasi Penelitian Hutan kerangas sekunder tua (Rimba)

Rimba merupakan ekosistem hutan kerangas sekunder tua yang tumbuh di kaki Gunung Bolong, Desa Kelubi dan berbatasan dengan lahan perkebunan kelapa sawit (Gambar 2). Secara geologi, kawasan Rimba termasuk dalam formasi Granodiorit Burung Mandi. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan granodiorit (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, Rimba berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. Rimba termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai hutan lahan kering dengan > 75% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori tidak kritis (Distanhut 2012).

Hutan kerangas sekunder muda (Bebak)

(25)

11

Vegetasi padang (Padang)

Padang merupakan ekosistem hutan kerangas yang mengalami disklimaks, sehingga berupa hamparan padang rumput yang sulit untuk tumbuh menjadi hutan kembali (Gambar 4). Lokasi padang berbatasan dengan lahan perkebunan karet dan kelapa sawit. Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Kelapa Kampit. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan batupasir kuarsa (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, Padang beradapada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. Padang termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai semak belukar dengan 26–50% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori agak kritis (Distanhut 2012).

Lahan pasca tambang timah kurang dari 100 tahun (LPT < 100 tahun)

Pada lokasi LPT < 100 tahun terdapat dua cluster tanah dilihat dari tingkat suksesinya antara lain cluster pasir (tailing umur 5 tahun) dan cluster vegetasi semak (tailing umur 50 tahun) (Gambar 5). Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Diorit Kuarsa Batubesi. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan diorit kuarsa batubesi (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, LPT < 100 tahun berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. LPT <

(26)

12

100 tahun termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai lahan terbuka dengan 0% penutupan vegetasi dan dalam kategori kritis (Distanhut 2012).

Lahan pasca tambang timah lebih dari 100 tahun (LPT > 100 th)

Pada lokasi LPT > 100 tahun terdapat tiga cluster tanah dilihat dari tingkat suksesinya antara lain cluster pasir (tailing umur 3 tahun), cluster vegetasi semak (tailing umur 15 tahun) dan cluster vegetasi hutan (tailing umur 130 tahun) (Gambar 6). Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Kelapa Kampit. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan batupasir (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, LPT > 100 tahun berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. LPT > 100 tahun termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai lahan terbuka dengan 0% penutupan vegetasi dan dalam kategori kritis (Distanhut 2012).

(27)

13 Sifat Fisika Tanah

Tekstur tanah

Hasil analisis tekstur tanah di setiap cluster tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6. Tekstur tanah di tailing 130 th yaitu lempung berpasir (0– 20 cm) dan lempung liat berpasir (20–40 cm). Perkembangan tanah telah terjadi sehingga menghasilkan jumlah liat yang lebih tinggi dibandingkan tailing lainnya. Tekstur tanah di tailing 130 tahun (20–40 cm) sama dengan tekstur tanah di hutan (0–20 cm) yaitu lempung liat berpasir.

Sifat Kimia Tanah

Hasil analisis sifat kimia tanah di setiap cluster tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7. Secara umum, nilai pH dalam kisaran 4–6.3, kandungan Kandungan logam berat tertinggi dari semua lokasi yaitu unsur Cr (3.615 mg/kg) di Rimba. Unsur Cd tidak terukur pada sampel tanah, sedangkan unsur Pb hanya terukur pada lokasi Padang. Hasil analisis komposisi mineral liat disajikan pada Tabel 9. Mineral kaolinit mendominasi di antara mineral lainnya di setiap lokasi. Pada lokasi Padang tidak dapat dilakukan pengambilan contoh liat sehingga tidak dilakukan analisis mineral liat.

Tabel 6 Tekstur tanah di setiap lokasi pengambilan contoh tanah Cluster Kedalaman (cm) Fraksi (%)

(28)

14

Tabel 8 Hasil analisis kandungan logam berat

Lokasi Konsentrasi (mg kg (2) : terukur pada step 2 (fraksi oksida) (3) : terukur pada step 3 (fraksi organik)

Tabel 7 Hasil analisis beberapa sifat kimia tanah

L

(29)

15

Potensi fungi mikoriza arbuskula (FMA)

Hasil analisis fungi mikoriza arbuskula pada beberapa tumbuhan pionir yang dominan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10. Kolonisasi FMA pada sampel akar hanya ditemukan di beberapa spesies antara lain pada B. frutescens di Padang terdapat 29.1% kolonisasi Glomus sp.3, pada Fimbristylis sp. di Padang terdapat 25.8% kolonisasi Glomus sp.2 dan Glomus sp.5 dan pada Rhodamnia

cinerea di Bebak terdapat 60% kolonisasi Glomus sp.6.

Tabel 9 Hasil analisis mineral liat di setiap lokasi

Lokasi Mineral

Kuarsa Ortoklas Microkline Vermikulit Illit Kaolinit Gibsit

Hutan - - - + + ++ ++

Tabel 10 Potensi mikoriza di beberapa spesies di lokasi penelitian

No Nama ilmiah Rimba Bebak Padang LPT<100 tahun LPT>100 tahun

(30)

16

Komposisi dan Struktur Vegetasi

Jumlah spesies

Jumlah spesies tumbuhan yang teridentifikasi disajikan pada Gambar 7. Jumlah spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu di LPT < 100 tahun (17 spesies). Jumlah spesies semai tertinggi yaitu di Bebak (29 spesies). Jumlah spesies pancang tertinggi yaitu di Rimba dan Bebak (42 spesies). Jumlah spesies pohon tertinggi yaitu di Rimba (24 spesies).

Kerapatan individu

Nilai kerapatan individu tumbuhan di setiap lokasi disajikan pada Tabel 10. Ekosistem Rimba relatif lebih rapat dibandingkan ekosistem lainnya, sehingga kehadiran tumbuhan bawah tidak sebanyak di ekosistem yang relatif terbuka.

Tabel 11 Kerapatan individu di setiap lokasi penelitian

Lokasi Kerapatan individu (ind/ha)

Tumbuhan bawah Semai Pancang Pohon

Hutan 31.000 288.000 18.900 470

Bebak 57.000 165.000 21.880 340

Padang 462.500 93.000 1.400 10

LPT < 100 tahun 256.000 30.500 1.680 30

LPT > 100 tahun 205.500 45.600 4.600 0

Gambar 7 Jumlah spesies tumbuhan di setiap lokasi penelitian. 8

Rimba Bebak Padang LPT < 100 th LPT > 100 th

(31)

17 Dominansi spesies

Rimba

Indeks nilai penting (INP) tumbuhan bawah tertinggi yaitu Syzygium buxifolium (57.53%) dari habitus semak, kemudian diikuti oleh tiga jenis liana yaitu Uvaria hirsuta, Ancistrocladus tectorius dan Salacia korthalsiana. Lima INP tertinggi tumbuhan bawah, tingkat semai, pancang dan pohon disajikan pada Tabel 11. Famili yang mendominasi yaitu Myrtaceae dan dari genus Syzygium.

Bebak

Pada ekosistem Bebak, tingkat pertumbuhan pancang lebih dominan dibandingkan ekosistem lainnya. Nilai INP tertinggi yaitu Calophyllum lanigerum (18.2%). Tumbuhan bawah masih lebih tinggi jumlah dan kerapatannya dibandingkan Rimba, dengan jenis tumbuhan bawah yang paling dominan yaitu

Alpinia oxymitra (64.11%). Nilai INP tumbuhan bawah dan setiap tingkat

pertumbuhan pohon disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Indeks nilai penting tumbuhan di Rimba Habitus/ tingkat

pertumbuhan No Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah

1 Sekudong pelandok Syzygium buxifolium 57.53

2 Akar larak Uvaria hirsuta 36.02

3 Akar terong bulus Ancistrocladus tectorius 30.47

4 Akar mencirian Salacia korthalsiana 27.24

5 Lepang Alpinia oxymitra 20.79

Semai 1 Betor padi Calophyllum depressinervosum 55.97

2 Samak Syzygium lepidocarpa 39.80

3 Betor belulang Calophyllum lanigerum 21.57

4 Kelinsutan Syzygium decipiens 16.52

5 Sisilan Syzygium rostratum 6.43

Pancang 1 Samak Syzygium lepidocarpa 25.03

2 Betor belulang Calophyllum lanigerum 23.60

3 Meleman Psychotria malayana 21.27

4 Kelebantuian Syzygium eunera 13.65

5 Jemang Rhodamnia cinerea 12.70

Pohon 1 Samak Syzygium lepidocarpa 61.07

2 Seru Schima wallichii 58.24

3 Subalan Elaeocarpus petiolatus 25.01

4 Betor padi Calophyllum depressinervosum 21.34

(32)

18

Padang

Pada ekosistem Padang sangat didominasi oleh tumbuhan bawah, khususnya dari habitus herba (rumput-rumputan) dan hanya ditemukan satu spesies tingkat pohon. Selain rumput-rumputan juga ditemukan dua insektivora yang umum dijumpai di padang kerangas yaitu Nepenthes gracilis dan Drosera burmanni. Nilai INP tertinggi tumbuhan dan setiap tingkat pertumbuhan disajikan pada Tabel 13.

Lahan pasca tambang < 100 tahun

Pada ekosistem LPT < 100 tahun, jenis tumbuhan bawah yang mendominasi yaitu Fimbristylis sp (48.86%). Pada tingkat pancang jenis pionir Mallotus

barbatus termasuk dalam lima INP tertinggi (Tabel 14).

Tabel 13 Indeks nilai penting tumbuhan di Bebak Habitus/ tingkat

pertumbuhan No Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah 1 Lepang Alpinia oxymitra 64.11

2 Sengkelut Lycopodium cernuum 34.66

3 Keremuntingan Rhodomyrtus tomentosa 23.71

4 Sekudong pelandok Syzygium buxifolium 18.22

5 Akar ijau Hypserpa sp. 12.96

Semai 1 Pulas Guioa pleuropteris 32.95

2 Kelebantuian Syzygium eunera 23.68

3 Samak Syzygium lepidocarpa 18.05

4 Tenam Psychotria viridiflora 16.84

5 Seru Schima wallichii 11.39

Pancang 1 Betor belulang Calophyllum lanigerum 18.20

2 Jemang Rhodamnia cinerea 16.26

3 Sesalah Eurya nitida 14.46

4 Kiras Garcinia hombroniana 13.72

5 Samak Syzygium lepidocarpa 12.05

Pohon 1 Seru Schima wallichii 115.41

2 Samak Syzygium lepidocarpa 49.88

3 Kabal Lithocarpus blumeanus 27.96

4 Pelawan kiring Tristaniopsis obovata 23.53

(33)

19

Tabel 15 Indeks nilai penting tumbuhan di LPT < 100 tahun Habitus/ tingkat

pertumbuhan pohon No Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah

1 Kucai Padang Fimbristylis sp. 48.86

2 Kerembun Paspalum vaginatum 32.51

3 Keletaan Melastoma malabathricum 27.94

4 Beruta Dicranopteris linearis 8.96

5 Mensayat Scleria multifoliata 9.51

Semai

1 Gelam Malaleuca leucadendron 18.18

2 Bali adap Melodinus sp. 18.18

3 Sesalah Eurya nitida 9.09

4 Kelebantuian Syzygium eunera 9.09

5 Abu-abu Syzygium palembanicum. 9.09

Pancang

1 Gelam Malaleuca leucadendron 42.14

2 Akasia Acacia mangium 35.48

3 Menteno Commersonia bartramia 24.52

4 Balik angin Mallotus barbatus 19.52

5 Bebeti Syzygium zeylanicum 19.52

Pohon 1 Mentepongan Vernonia arborea 80.90

2 Akasia Acacia mangium 78.50

3 Jambu mete Anacardium occidentale 140.61

Tabel 14 Indeks nilai penting tumbuhan di Padang Habitus/ tingkat

pertumbuhan pohon No Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah

1 Kerembun Paspalum vaginatum 41.84

2 Kucai Padang Fimbristylis sp. 40.12

3 Akar segendai Coptosapelta tomentosa 22.21

4 Sapu padang Baeckea frutescens 21.13

5 Kembang taru Bromheadia finlaysoniana 18.33

Semai

1 Arang-arang Syzygium napiforme 86.44

2 Betor belulang Calophyllum lanigerum 61.35

3 Bebeti Syzygium zeylanicum 35.66

4 Pelawan kiring Tristaniopsis obovata 11.77

5 Gelam Malaleuca leucadendron 4.78

Pancang 1 Pelawan kiring Tristaniopsis obovata 146.43

2 Gelam Malaleuca leucadendron 53.57

(34)

20

Lahan pasca tambang > 100 tahun

Pada ekosistem LPT > 100 tahun, jenis tumbuhan bawah yang mendominasi yaitu semak Melastoma malabathricum (54.82%), kemudian jenis paku-pakuan

Dicranopteris linearis (30.05%). Malaleuca leucadendron mendominasi di

tingkat semai dan tingkat pancang (Tabel 15).

Indeks keanekaragaman spesies (H’)

Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu di LPT < 100 tahun. Pada tingkat semai yaitu LPT > 100 tahun, tingkat pancang di Bebak dan tingkat pohon di Rimba (Gambar 8).

Tabel 16 Indeks nilai penting tumbuhan di LPT > 100 tahun Habitus/ tingkat

pertumbuhan pohon No Nama Lokal Nama Ilmiah INP (%)

Tumbuhan bawah

1 Keletaan Melastoma malabathricum 54.82

2 Beruta Dicranopteris linearis 30.05

3 Kerembun Paspalum vaginatum 28.42

4 Kucai Padang Fimbristylis sp. 25.15

5 Sengkelut Lycopodium cernuum 13.41

Semai

1 Gelam Malaleuca leucadendron 51.58

2 Pelawan kiring Tristaniopsis obovata 33.42

3 Renggadaian Ploiarium alternifolium 27.37

4 Simpor bini Dillenia suffruticosa 12.32

5 Arang-arang Syzygium napiforme 11.45

Pancang

1 Gelam Malaleuca leucadendron 50.82

2 Pelawan kiring Tristaniopsis obovata 32.90

3 Renggadaian Ploiarium alternifolium 27.05

4 Simpor bini Dillenia suffruticosa 12.10

5 Arang-arang Syzygium napiforme 11.23

Pohon Tidak ada data

Gambar 8 Nilai H' setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di setiap lokasi.

(35)

21 Indeks kekayaan spesies (R)

Indeks kekayaan spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu di LPT < 100 tahun. Pada tingkat semai yaitu di Bebak, sedangkan tingkat pancang dan pohon yaitu Rimba (Gambar 9).

Indeks kemerataan spesies (E)

Indeks kemerataan spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu Rimba. Pada tingkat semai dan pohon yaitu di LPT < 100 tahun masing-masing 0.82 dan 1, sedangkan tingkat pancang yaitu di Padang. Nilai E tingkat pohon di padang dan LPT > 100 tahun tidak dapat dihitung karena di padang hanya dijumpai satu spesies dan satu individu, sedangkan di LPT > 100 tahun dikarenakan oleh tidak adanya data tingkat pohon. Seluruh nilai E disajikan pada Gambar 10.

Indeks kesamaan spesies (IS)

Tabel 16 menunjukkan nilai IS dari setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di satu lokasi terhadap lokasi lainnya. Nilai IS tumbuhan bawah tertinggi yaitu antara Bebak dan LPT < 100 tahun sebesar 34.48%. Nilai IS tertinggi tingkat semai, pancang dan pohon yaitu antara Rimba dan Bebak.

Gambar 9 Nilai R setiap habitus dan tingkat pertumbuhan pohon di setiap lokasi. 1.7

(36)

22 setiap tailing menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan vegetasi. Di sisi lain, pori-pori tanah dapat berperan dalam mendukung aerasi tanah (Hakim et al. 1986). Menurut Setiadi (2012) pada kondisi persentase pasir di atas 80% maka akan menyebabkan pertumbuhan vegetasi menjadi stagnan. Permasalahan yang sama juga terjadi di lahan pasca tambang timah di Singkep (Badri 2004).

Tekstur tanah di TL 130 tahun (20–40 cm) sama dengan tekstur tanah di hutan (0–20 cm) dan Bebak (20–40) yaitu lempung liat berpasir, sedangkan tekstur tanah di TL 130 tahun (0–20 cm) sama dengan tekstur tanah di Bebak (0– 20 cm). Perkembangan tanah di TL 130 tahun telah terjadi sehingga menghasilkan jumlah liat yang lebih tinggi dibandingkan tailing lainnya. Menurut Nurtjahya

Tabel 17 Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas

(37)

23 (2008) tekstur tanah di hutan yang dijadikan lokasi perbandingan dengan tailing timah juga memiliki tekstur lempung liat berpasir.

Dalam hal kesuburan tanah, komponen terpenting dalam tekstur tanah yaitu keberadaan fraksi liat serta kandungan mineralnya sebagai penyerap dan mempertukarkan ion-ion dalam tanah sehingga dapat menyediakan unsur hara bagi tumbuhan (Hakim et al. 1986). Pada ketiga tipe ekosistem hutan kerangas sekunder, Rimba mengandung komposisi liat yang paling tinggi di antara seluruh lokasi penelitian pada kedua lapisan tanah yaitu 36.87% (0–20 cm) dan 49.99% (20–40 cm). Tekstur lempung berpasir dan lempung liat berpasir ini menjadi indikator bahwa tanah Rimba relatif lebih subur dan mudah diolah dibandingkan lokasi lainnya. Keberadaan vegetasi hutan telah mendukung proses pembentukan tanah baik sebagai penyedia organisme, iklim mikro yang kondusif untuk pelapukan sehingga dapat mempercepat waktu pelapukan batuan. Adanya beberapa strata tajuk dan tingkat pertumbuhan pohon juga dapat mengurangi terjadinya tumbukan air hujan yang berlebihan ke permukaan tanah, sehingga permukaan tanah tidak mudah tercuci.

Pada ekosistem Bebak, kandungan liat juga relatif tinggi dibandingkan lokasi lainnya namun masih di bawah Rimba yaitu 17.78% (0–20 cm) dan 22.45% (20–40 cm). Kandungan liat yang lebih rendah dari Rimba dapat disebabkan oleh perbedaan penggunaan lahannya. Bebak merupakan lahan olahan bagi masyarakat sekitar (ladang berpindah), sehingga proses pembentukan tanahnya tidak seintensif di Rimba. Di ekosistem Padang, kandungan liatnya hanya 3.84% (0–20 cm) dan 6.18% (20–40 cm). Hal ini menunjukkan bahwa tanah di Padang relatif kurang subur dan juga sulit diolah karena tingginya kadar pasir (>90%). Keterbatasan kondisi fisik ekosistem padang ini menjadi ciri khas hutan kerangas yang telah mengalami gangguan yang sulit untuk suksesi menjadi hutan kembali (Whitten et al. 1984).

Tekstur tanah sangat penting dalam pertumbuhan vegetasi dan menjadi dasar dalam memilih perlakuan pengolahan lahan yang tepat khususnya untuk masalah tanah berpasir (> 80%) dan tanah yang kompak (akumulasi debu dan liat > 65%) (Setiadi 2012). Upaya perbaikan tekstur tanah sangat penting untuk mendukung proses reaksi kimia tanah yang membutuhkan air dan udara yang cukup di dalam tanah. Penambahan bahan organik dapat menjadi teknik pembenahan tanah untuk memperbaiki tekstur tanah berpasir (Setiadi 2012). Dengan demikian, dapat meningkatkan jumlah koloid organik yang berperan dalam penyerapan air dan hara.

Reaksi tanah (pH)

Nilai pH tanah pada tiap lokasi didapatkan berkisar antara 4.0 – 6.3. Secara umum nilai pH pada tiap lokasi kurang dari 5.5. Nilai pH yang paling rendah dijumpai pada TL 130 yaitu 4.0. Nilai pH di bawah 5.5 akan menurunkan aktivitas bakteri, namun akan mendukung aktivitas jamur dan pelapukan (Landon 1984; Hakim et al. 1986). Nurtjahya (2008) melaporkan adanya potensi fungi mikoriza arbuskula pada kisaran pH 4.5 – 5.1 di tailing 0 tahun, 7 tahun, 11 tahun 38 tahun dan hutan.

(38)

24

tahun yang bahan organik dan kandungan liatnya lebih tinggi dibandingkan di lokasi lainnya. Pada pH yang rendah di kedua lokasi tersebut, pertumbuhan vegetasi dapat didukung oleh ketersediaan unsur hara dan liat meskipun dengan performa pertumbuhan yang kurus. Hal ini juga menjadi ciri dan indikator bahwa ekosistem hutan kerangas tumbuh pada kondisi pH yang rendah dan terlihat pada pertumbuhan vegetasi yang kerdil dan kurus di hutan kerangas (Brunig 1974; Whitmore 1984; Whitten et al. 1984; MacKinnon et al. 1996). Pada lokasi lainnya, yang tanpa penutupan vegetasi, kondisi tanah menjadi kurus dan miskin bahan organik sehingga pertumbuhan vegetasi menjadi stagnan.

Upaya pembenahan tanah dengan pH rendah perlu mempertimbangkan peningkatan pH terlebih dahulu sebelum melakukan pemupukan kation. Pada pH rendah ion H+ banyak yang terikat dengan anion-anion lain, sehingga tidak dapat mendukung reaksi pertukaran kation lainnya. Penambahan unsur hara tidak akan efektif karena akan hilang akibat pencucian (Hakim et al. 1986), sehingga perlu dilakukan perbaikan kondisi pH terlebih dahulu, misalnya dengan pengapuran. C organik dan N total

Kandungan bahan organik tertinggi yaitu di Rimba sebesar 1.11% hingga 2%. Kandungan bahan organik menurun drastis pada TL 3 tahun, 5 tahun, 15 tahun dan 50 tahun yaitu berkisar 0.1% hingga 0.4% dan meningkat pada TL 130 tahun menjadi 1.2% dan 1.8%. Hal ini menunjukkan bahwa proses suksesi alami tidak dapat meningkatkan bahan organik dalam waktu yang singkat. Pada lahan bekas tambang timah di Bangka dan Singkep umur 0 tahun, 7 tahun, 11 tahun, 13 tahun, 26 tahun, 38 tahun dan lebih dari 40 tahun, kandungan bahan organik masih di bawah 1% (Badri 2004; Nurtjahya 2008).

Secara umum kandungan bahan organik di suatu lokasi dapat dilihat secara visual dari warna tanah khususnya bagian top soil. Warna tanah yang lebih gelap umumnya menunjukkan kandungan bahan organik yang lebih tinggi, meskipun tidak selalu demikian. Bahan organik tanah merupakan sumber nutrisi bagi tanah yang berasal dari hasil pelapukan serasah-serasah tumbuhan maupun bangkai binatang atau fauna tanah (Hakim et al. 1986). Bahan organik di Bebak sudah di atas 1%, sedangkan bahan organik di Padang masih sangat rendah 0.4% (0–20 cm) dan 0.1% (20–40 cm). Aktivitas pengolahan lahan di Bebak dengan melakukan pembakaran untuk membuka hutan dapat mendukung ketersediaan bahan organik di dalam tanah. Pada TL 130 tahun, proses suksesi yang berlangsung lebih dari 100 tahun dan adanya vegetasi hutan mendukung ketersediaan serasah dan kondisi iklim mikro untuk proses dekomposisi bahan organik. Kandungan bahan organik juga sangat ditentukan dengan kondisi tekstur tanah, semakin banyak liat maka semakin banyak pula bahan organik yang tesimpan.

Pada TL 15 tahun, TL 50 tahun dan Padang, kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan TL 3 tahun dan TL 5 tahun yang hampir tidak dijumpai vegetasi. Pada TL 15 tahun dan TL 50 tahun sudah ditumbuhi oleh beberapa spesies pionir dan tumbuhan khas hutan kerangas seperti Tristaniopsis obovata,

Baeckea frutescens, Ploiarium alternifolium, Dillenia suffruticosa, Rhodomyrtus

tometosa, Melastoma malabathricum dan Syzygium buxifolium, sedangkan di

(39)

25 khas hutan kerangas seperti Nepenthes gracilis, Drosera burmanni dan

Tristaniopsis obovata.

Ketersediaan bahan organik akan memengaruhi kandungan N dalam tanah. Rendahnya bahan organik berdampak pada rendahnya ketersediaan N. Kandungan nitrogen tertinggi yaitu di Rimba dan TL 130 tahun sebesar 0.2%. Menurut Landon (1984) nilai ini masih dalam kategori sedang (0.2%–0.5%). Namun, nitrogen dalam bentuk unsur belum dapat diserap oleh tumbuhan sehingga perlu adanya aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik tersebut dan menguraikannya menjadi nitrit, nitrat atau amonium sehingga dapat diserap oleh tumbuhan. Ketersediaan N dalam tanah sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme tanah dalam melakukan proses dekomposisi. Selain memerlukan peran aktivitas mikroorganisme, proses dekomposisi bahan organik ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik seperti terbatasnya air dan temperatur tinggi pada saat musim panas, khususnya di lahan pasca tambang hingga mencapai 40 ºC. Dengan demikian, kondisi ini kurang menguntungkan bagi aktivitas mikroorganisme khususnya bakteri yang berperan dalam proses nitrifikasi dan amonifikasi. Di Rimba, Bebak dan TL 130 tahun telah terdapat tutupan vegetasi yang cukup rapat sehingga relatif lebih lembab dan dapat mendukung aktivitas mikroorganisme merombak bahan organik.

Rendahnya kandungan bahan organik yang telah dijelaskan sebelumnya mengakibatkan ketersediaan unsur N dalam tanah pun juga rendah di semua lokasi. Nisbah antara kandungan bahan organik dan nitrogen (C/N rasio) yang baik untuk pertumbuhan vegetasi yaitu di bawah 15. Secara umum C/N rasio di semua lokasi di bawah 15, hal ini menunjukkan bahan organik sudah terdekomposisi. Meskipun demikian, kandungan N di hampir semua lokasi tergolong rendah yaitu di bawah 0.2% (Landon 1984).

P tersedia dan P total

Kandungan fosfor di setiap lokasi penelitian dalam rentang kekurangan yaitu antara 4.3–9.5 ppm (Landon 1984). Tumbuhan yang kekurangan P akan menunjukkan gejala seperti pertumbuhan terhambat (kerdil) dan daun-daun menjadi ungu atau coklat yang dimulai dari bagian ujung daun (Hakim et al. 1986). Kondisi ini terlihat pada performa vegetasi yang tumbuh di lokasi penelitian yang kerdil dan kurus serta menjadi salah satu ciri ekosistem hutan kerangas, dimana vegetasi dapat bertahan hidup dalam kondisi yang kekurangan unsur hara.

Ketersediaan fosfor dipengaruhi oleh kelarutan unsur Ca, Al dan Fe yang dapat membentuk persenyawaan dengan fosfat (Hakim et al. 1986). Pada TL 5 tahun, kandungan fosfor tersedia yang rendah diduga karena tingginya kelarutan Fe hingga 50 ppm. Sebaliknya, pada TL 3 tahun, TL 15 tahun dan TL 50 tahun memiliki kandungan P tersedia yang tinggi karena kelarutan Fe yang rendah. Selain itu, kandungan P juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik. Seluruh kandungan fosfor pada lapisan 0–20 cm lebih tinggi dibandingkan pada lapisan 20–40 cm. Menurut Hakim et al. (1986) kandungan fosfat organik pada

top soil lebih tinggi dibandingkan dengan sub soil.

(40)

26

dalam perkembangan akar, membentuk batang yang kokoh dan untuk pembentukan bunga dan biji. Dalam hukum minimum Liebig 1840 (Odum 1993) menyebutkan bahwa pertumbuhan suatu tanaman tergantung pada jumlah nutrisi yang disediakan baginya dalam jumlah minimum. Pada kondisi unsur hara yang rendah tersebut, beberapa tumbuhan dapat tumbuh disana dengan performa morfologi yang beragam, ada yang memiliki batang kurus-kerdil, daun yang kecil-tebal, lebar-agak berbulu, tebal-agak berair dan lainnya. Hal ini merupakan bentuk adaptasi setiap tumbuhan terhadap kondisi lingkungannya.

Unsur hara makro (Ca, Mg, K dan Na)

Hasil analisis unsur hara menunjukkan ketersediaan unsur Ca, Mg, K dan Na dalam jumlah yang rendah yaitu di 0.0–0.5 me/100 g (Landon 1984). Kandungan unsur hara sangat tergantung hasil pelapukan batuan. Unsur Ca banyak dihasilkan dari mineral-mineral primer plagioklas, karbonat CaCO3

(kalsit), CaMg(CO3)2 (dolomit). Ketersediaan Ca sangat penting dalam

pertumbuhan vegetasi yaitu sebagai penyusun dinding sel dan berperan dalam pembelahan sel (Hardjowigeno 2010). Unsur Mg bersumber dari mineral kelam (biotit, augit, hornblende, amfibol). Pada LPT < 100 tahun terdapat mineral augit dengan ciri pada tanah berwarna hitam (Pratiwi SD 2013, komunikasi pribadi). Ketersediaan Mg dalam tanah berperan dalam pembentukan klorofil pada tumbuhan, gejala kekurangan Mg yaitu daun menguning (Hardjowigeno 1986). Unsur K dalam tanah dihasilkan dari mineral-mineral primer (feldspar), karena kandungan mineral feldspar sedikit maka sedkit pula kandungan K. Ketersediaan K berperan dalam perkembangan akar, mempertinggi daya tahan tumbuhan terhadap kekeringan (Hardjowigeno 2010). Pada TL 3 tahun, 5 tahun kandungan K di bawah 0,1 me/100 g sehingga menyebabkan tumbuhan tidak dapat tumbuh pada kondisi tersebut. Kandungan Ca menyebabkan pertumbuhan vegetasi di lokasi menjadi kerdil karena kurangnya Ca, rendahnya Mg tidak signifikan menyebabkan daun menjadi kekuningan. Nilai Ca masih lebih tinggi dibandingkan Mg. Hal ini menunjukkan pertumbuhan masih bisa berlangsung meskipun lambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemupukan kation.

Unsur mikro (Al, Fe, Mn, Zn)

(41)

27 Kapasitas tukar kation (KTK)

Nilai kapasitas tukar kation (KTK) di setiap lokasi tergolong rendah dan sangat rendah, berkisar antara 0.6–8.05 me/100 g (Landon 1984). Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan yang stagnan bagi tumbuhan (Setiadi 2012). Besarnya nilai KTK dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah liat, bahan organik dan pH. Pada lokasi yang memiliki kandungan liat dan bahan organik yang sedikit maka akan rendah pula kemampuan koloid-koloid yang akan mempertukarkan ion-ion dalam tanah sehingga nilai KTK nya menjadi rendah.

Nilai KTK tertinggi yaitu pada lapisan tanah 20–40 cm di Bebak. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas perladangan berpindah yang dilakukan secara disini sehingga memperbaiki kondisi tanah setempat. Umumnya kegiatan perladangan dilakukan dengan rotasi 8 tahun sekali untuk di lokasi yang sama. Hal ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat melayu Belitung dalam mengolah tanah. Pada masa tersebut area bekas ladang telah menjadi hutan kecil dan siap untuk diusahakan kembali, karena unsur hara tanah sudah dianggap cukup. Metode yang digunakan dalam membuka lahan yaitu dengan penebasan dan pembakaran secara terkendali. Pembakaran bahan organik dapat meningkatkan nilai pH dan ketersediaan bahan organik tanah serta KTK tanah.

Pada TL 3 tahun, TL 5 tahun, TL 15 tahun dan TL 50 tahun nilai KTK sangat rendah sehingga menyebabkan unsur hara akan mudah tercuci bila terjadi hujan. Hal ini juga didukung oleh kondisi tekstur tanah yang berpasir sehingga memiliki porositas yang tinggi. Tanah dengan KTK yang rendah akan sia-sia jika dilakukan pemupukan kation (Hakim et al. 1984). Upaya perbaikan tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik untuk merangsang aktivitas mikroorganisme tanah (Hakim et al. 1986). Penambahan bahan organik berperan dalam meningkatkan kandungan koloid organik tanah sebagai fasilitas dalam pertukaran ion-ion dan mendukung perbaikan tekstur tanah berpasir serta meningkatkan nilai KTK.

Kejenuhan basa

Kejenuhan basa di lokasi penelitian tergolong dalam kondisi tinggi (> 60%), sedang (20–60%) dan rendah (< 20%) (Landon 1984). Persentase KB tertinggi yaitu di TL 3 tahun sebesar 71.7%. Kondisi ini tidak didukung oleh nilai KTK yang tinggi, yaitu hanya 0.6 me/100 g. Kation basa yang ada dalam tanah tidak dapat dijerap oleh koloid-koloid dalam pertukaran kation. Basa-basa akan dengan mudah tercuci bersama air hujan. Sebaliknya, nilai KB di Bebak paling rendah di antara lokasi lainnya yaitu 8.07%, namun memiliki nilai KTK yang paling tinggi yaitu 8.05 me/100 g. Kondisi ini juga tidak mendukung proses pertukaran hara yang baik bagi tumbuhan.

Kandungan logam berat

(42)

28

Hasil analisis menunjukkan unsur Cd tidak terukur di semua lokasi. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi Cd sangat rendah dalam tanah dan Cd sebagai mineral minor dalam beberapa unsur sulfida seperti ZnS, PbS dan CuFeS2

(Setiawan I 2014, komunikasi pribadi). Selain Cd, unsur Pb juga hampir tidak terukur di semua lokasi, hanya terdapat di Padang sebesar 0.988 mg/kg. Konsentrasi logam berat tertinggi yaitu Cr di Rimba sebesar 3.615 mg/kg dalam fraksi organik, fraksi ini tidak mudah larut dan tercuci. Konsentrasi Cu tertinggi juga di Rimba sebesar 2.728 mg/kg dalam fraksi oksida kemudian di TL 3 tahun sebesar 2.524 mg/kg dalam fraksi oksida. Pada beberapa lokasi, konsentrasi Cu juga terukur di fraksi mobile. Pada fraksi organik, Cu tidak terukur lagi. Hal ini diduga terjadikarena Cu telah habis terurai pada step 1 dan step 2. Kondisi ini menunjukkan bahwa Cu di lokasi penelitian berpotensi untuk lebih mudah tercuci dan masuk ke dalam badan air di tanah. Konsentrasi Ni terukur dalam fraksi

mobile di semua lokasi. Kehadiran unsur Ni diduga hasil dari pelapukan batuan ultramafic yang mengandung unsur feromagnesium dan bersifat basa, seperti basalt, gabro dan peridotit. Pada formasi Kelapa Kampit terdapat potensi adanya batuan tersebut. Konsentrasi Zn terukur pada fraksi mobile dan organik. Konsentrasi Zn tertinggi yaitu di Rimba (1.616 mg/kg) dalam fraksi mobile

kemudian di Bebak (0.83 mg/kg) dalam fraksi organik.

Potensi konsentrasi logam berat di Rimba relatif lebih tinggi dibandingkan di lokasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Rimba berperan sebagai penyimpan cadangan mineral dalam tanah khususnya dalam fraksi organik. Kegiatan penambangan secara terbuka yang dilakukan dengan membuka hutan dapat mengakibatkan beberapa mineral yang mengikat unsur logam berat mengalami oksidasi dan tercuci.

Komposisi mineral liat

Secara umum, mineral yang dominan di setiap lokasi yaitu kaolinit. Hal ini menunjukkan bahwa nilai KTK yang rendah, nilai KTK mineral kaolinit yaitu 3– 15 cmol/kg (Millar & Turk 1990). Batuan induk granodiorit (batuan beku) pada ekosistem Rimba mengandung mineral kuarsa > 70%, tingginya kandungan kuarsa menunjukkan tanah bersifat asam. Pelapukan dari batuan ini mengandung Na, Ca, Si dan Al yang dibutuhkan bagi tumbuhan.

Dari hasil analisis komposisi mineral liat, diperoleh mineral kaolinit dan gibsit sebagai mineral yang dominan dan sedikit dijumpai vermikulit dan illit. Kehadiran mineral sekunder ini menunjukkan tanah telah mengalami pelapukan lanjutan dan hanya sedikit mengandung unsur hara karena mineral-mineral primer telah terdekomposisi (Hakim et al. 1984). Pada ekosistem Padang tidak ada data komposisi mineral disebabkan oleh fraksi liat yang sangat sedikit tidak dapat diambil sebagai contoh preparat untuk dianalisis.

(43)

29 kuarsa menunjukkan tanah yang miskin hara dan belum mengalami pelapukan lanjutan. Terdapatnya mineral gelap augit di lokasi ini yang ditunjukkan pada Gambar 11, menandakan tanah tersebut akan mudah lapuk. Sepintas warna gelapnya seperti menunjukkan tanah yang banyak mengandung pelapukan bahan organik. Menurut Hardjowigeno (2010), mineral kelam seperti augit banyak mengandung unsur Mg yang dapat mendukung pembentukan klorofil daun.

Pada lokasi LPT > 100 tahun dengan batuan induk batupasir kuarsa (batuan sedimen). Pelapukan batuan ini menghasilkan persentase mineral kuarsa yang tinggi, sedikit lempung dan tanah bersifat sangat asam (Pratiwi 2010). Hasil analisis komposisi mineral liat, diperoleh kaolinit, illit, vermikulit, gibsit, mikrokline, ortoklas dan kuarsa. Khususnya pada TL 130 tahun yang telah mengalami suksesi, ditemukan mineral feldspar (mikrokline dan ortoklas) yang merupakan sumber unsur K yang berfungsi dalam perkembangan akar (Hardjowigeno 2010). Pertumbuhan akar vegetasi di lokasi ini bahkan hingga di atas permukaan tanah (Gambar 12).

Selain di TL 130 tahun, ortoklas dan mikrokline juga terdapat di TL 3 tahun yang berupa cluster pasir. Mineral feldspar merupakan mineral yang mudah tercuci sehingga apabila tidak didukung oleh tekstur tanah sifat kimia tanah lainnya, maka unsur hara yang terdapat di mineral feldspar akan mudah hilang tercuci air hujan. Adanya kegiatan penambangan ulang di lokasi penelitian juga dapat menghambat proses pelapukan mineral feldspar, sehingga tidak dapat menyediakan unsur hara dalam tanah.

(44)

30

Potensi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Tanah yang kekurangan bahan organik akan membutuhkan pupuk yang cukup banyak untuk mendukung pertumbuhan vegetasi. Pada kondisi yang kurang menguntungkan ini aktivitas mikroorganisme yang memungkinkan yaitu Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Dalam Nurtjahya (2008) ditemukan beberapa genus FMA di lahan pasca tambang timah antara lain Glomus, Gigaspora, Scutellospora

dan Acaulospora. Dari hasil penelitian juga diperoleh beberapa spesies dari

Glomus, Gigaspora dan Acaulospora. Pada beberapa spesies tumbuhan. Jumlah

spora yang diperoleh relatif sedikit (1–6 spora/ 25 g). Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di alam yang sudah teranggu dan bukan merupakan hasil inokulasi. Namun demikian, kehadirannya akan berkontribusi pada siklus nutrisi tanah dan membentuk struktur tanah serta berperan dalam penyedia nitrogen tanah dengan menyerap nitrogen dalam bentuk amonium kemudian diteruskan ke tumbuhan (Hakim et al. 1986; Miller & Jastrow 1992).

Komposisi dan Struktur Vegetasi Komposisi tumbuhan bawah

Komposisi tumbuhan bawah yang paling tinggi yaitu di LPT < 100 tahun sebanyak 17 spesies. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekosistem yang masih dalam tahap suksesi pasca kegiatan penambangan. Kondisi lingkungan yang relatif terbuka memberikan ruang penyebaran biji-bijian yang dibawa oleh burung kemudian jatuh di permukaan tanah. Pada eksosistem suksesi jumlah spesies tumbuhan bawah relatif lebih tinggi daripada pada ekosistem klimaks. Beberapa spesies pionir yang toleran hadir pada ekosistem suksesi karena perkembangan ekosistem akan melewati tahap rumput-rumputan terlebih dahulu kemudian semak. Tiga spesies yang mendominasi yaitu Fimbristylis sp. (herba), Paspalum

vaginatum (herba) dan Melastoma malabathricum (semak/perdu).

Ekosistem Rimba hanya terdapat 8 spesies tumbuhan bawah karena kondisi lingkungan sudah ternaungi, sementara sebagian besar tumbuhan bawah membutuhkan banyak cahaya. Jumlah spesies dan individu tumbuhan bawah di hutan yaitu paling sedikit dibandingkan ekosistem lainnya. Tiga spesies yang dominan yaitu Syzygium buxifolium (semak/perdu), Uvaria hirsuta (liana), dan

Ancistracladus tectorius (liana). Hal ini disebabkan oleh kondisi hutan yang

relatif sudah ternaungi dibandingkan lokasi lainnya. Cahaya matahari menjadi faktor pembatas pertumbuhan tumbuhan bawah, semak/perdu dan liana. Umumnya habitus tumbuhan bawah, semak/perdu banyak terdapat di ekosistem suksesi, sedangkan liana terdapat di ekosistem suksesi dan ekosistem klimaks.

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian.
Tabel 3  Kriteria kondisi tanah
Gambar 2  Ekosistem Rimba.
Gambar 3  Ekosistem Bebak.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi Lahan dan Jenis Tumbuhan Teradaptasi Lahan Pasca Tambang 4 Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Lahan Pasca Tambang 6 Status Mineral N, P dan Sn Pada Jaringan Tumbuhan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan struktur dan komposisi vegetasi, tanah serta menduga cadangan karbon di atas permukaan tanah pada lahan

enam bulan, di kawasan hutan Cagar Alarn Serbajadi dan sekitarnya (Kabupaten Aceh Timur) dan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser wilayah Sikundur- Besitang

Petani gambir di Nagari Simpang Kapuak masih menggunakan cara tradisional yang sederhana untuk membuka lahan hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan, yaitu dengan cara

Kelimpahan spesies dan indeks diversitas spesies serangga tanah tertinggi ditemukan pada hutan primer, sedangkan yang terendah pada lahan perkebunan dan hutan

Tujuan penelitian ini ialah untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada lahan bekas tambang timah yang

Informasi tentang lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama ini masih jarang didapatkan, karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan

Hasil identifikasi di semua lokasi penelitian baik di lahan tidak terganggu, terganggu underground dan juga PETI, ditemukan jenis tanaman IAS lainnya pada fase