• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla Serrata Di Desa Ujung Alang, Cilacap Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla Serrata Di Desa Ujung Alang, Cilacap Sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT ALAMI KEPITING BAKAU

Scylla serrata

DI DESA UJUNG ALANG, CILACAP SEBAGAI ACUAN KEGIATAN

AQUASILVICULTURE

VERONIKA ERI FEBRIANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla serrata di desa Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Veronika Eri Febriani

(4)

ABSTRAK

VERONIKA ERI FEBRIANI. Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla serrata di desa Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan YUNI PUJI HASTUTI.

Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebagian besar produksi kepiting bakau di Indonesia berasal dari kegiatan penangkapan dan produksi dari budidaya belum optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan produksi budidaya adalah melalui aquasilviculture. Supaya dapat mencapai keberhasilan dalam kegiatan

aquasilviculture, perlu diperhatikan beberapa hal, salah satunya adalah kondisi lingkungan habitat alami. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik habitat alami kepiting bakau Scylla serrata di Desa Ujung Alang, Cilacap sebagai acuan kegiatan aquasilviculture. Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas air, vegetasi mangrove, kelimpahan serasah, dan analisis makrozoobentos, dapat disimpulkan bahwa Stasiun 2 memiliki karakteristik habitat alami yang paling baik untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau. Kata kunci: aquasilviculture, karakteristik, kepiting bakau

ABSTRACT

VERONIKA ERI FEBRIANI. The Characteristic of Natural Habitat of Mud Crab

Scylla serrata in Ujung Alang Village, Cilacap as a Reference of Aquasilviculture Activity. Supervised by KUKUH NIRMALA and YUNI PUJI HASTUTI.

Mud crab is fisheries commodity having high economic value. Most of its production in Indonesia are derived from catching activities and the production from aquaculture has not been optimal. One of efforts which can probably be done to optimize the production of aquaculture is through aquasilviculture. In order to achieve success in aquasilviculture activities, it should be noted a number of things, one of them was environmental conditions of natural habitats. This research aimed to analyze the characteristic of natural habitat of mud crab Scylla serrata in Ujung Alang Village, Cilacap as a reference of aquasilviculture activity. Based on the analysis of water quality, mangrove vegetation, abundance of litter, and analysis of macrozoobenthos, can be concluded that Station 2 having the best natural habitat characteristic for mud crab aquasilviculture activity.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

KARAKTERISTIK HABITAT ALAMI KEPITING BAKAU

Scylla serrata

DI DESA UJUNG ALANG, CILACAP SEBAGAI ACUAN KEGIATAN

AQUASILVICULTURE

VERONIKA ERI FEBRIANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berujudul “Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla serrata di desa Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Ibu Yuni Puji Hastuti, SPi MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan nasihat;

2. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku Dosen Penguji Tamu;

3. Ibu Dr Dinamella Wahjuningrum, SSi MSi selaku Wakil Komisi Pendidikan Departemen Budidaya Perairan;

4. Bapak Dr Ir Sukenda MSc selaku Ketua Departemen Budidaya Perairan; 5. Ayahanda Robertus Suryadi dan Ibunda Yustina Murdiyem atas segala

kasih, semangat, dukungan, doa, dan nasihat yang telah diberikan, serta kakak-kakak yang terkasih Lusia Ernawati, Florencius Erwantoko, dan Bernadetta Tri Widi Hartini;

6. Bapak Jajang, Kang Abe, Bapak Wasjan, Mba Retno, Bang Aris, Bapak Marjanta, Mba Yuli, serta semua staf Departemen Budidaya Perairan; 7. Bapak Wahyono dan keluarga, Departemen Kelautan dan Perikanan

(DKP) Cilacap, Badan Pengembangan dan Pengelolaan Daerah (BAPPEDA) Cilacap, serta semua pihak yang membantu selama jalannya penelitian di lapang;

8. Rekan penelitian Iyen Suryani dan Heri Kiswanto yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian ini berlangsung;

9. Kakak-kakak dan teman-teman tercinta mahasiswa lingkungan (Kak Kurnia, Kak Wildan, Nurul, Dessy, Bianingrum, Dwi Septarini, Alit, Sukri, Zul, Angga, Idris, Udin, Torong, Kak Dea, Bang Kahfi) yang telah memberikan bantuan dan semangat;

10. Ermianus Samalei, SPi atas kebersamaan, semangat, dukungan, doa, dan bantuan;

11. Maria Nangke, Wulan, Kewel, dan Mulya atas kebersamaan selama ini. 12. Kakak-kakak dan teman-teman Keluarga Mahasiswa Katolik IPB

(KeMaKi) angkatan 45, 46, 47, dan 48;

13. Teman-teman di Wisma Ananda yang telah memberikan semangat dan dukungan;

14. Keluarga besar BDP 48 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan yang tak akan pernah terlupakan;

15. Kakak-kakak BDP 45, 46, 47 dan adik-adik BDP 49 dan 50 yang telah memberikan banyak pengalaman tak terlupakan;

16. Teman-teman sekalian yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

METODE ... 2

Waktu dan Tempat ... 2

Prosedur Penelitian ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5

Hasil ... 5

Pembahasan ... 10

KESIMPULAN DAN SARAN ... 17

Kesimpulan ... 18

Saran ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 18

LAMPIRAN ... 23

(11)

DAFTAR TABEL

1 Parameter yang dianalisis dan satuan, alat atau metode pengukuran, dan

tempat pengukuran ... 3

2 Pengukuran parameter fisika perairan di masing-masing stasiun penelitian ... 5

3 Pengukuran parameter kimia perairan di masing-masing stasiun penelitian ... 5

4 Kelimpahan dan dominansi plankton di masing-masing stasiun penelitian ... 6

5 Jenis dan kelimpahan mangrove di masing-masing stasiun penelitian ... 7

6 Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian ... 8

7 Pengukuran bahan organik di substrat pada masing-masing stasiun penelitian ... 8

8 Jenis dan kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian ... 8

9 Hasil pengukuran mikroklimat di masing-masing stasiun penelitian ... 9

DAFTAR LAMPIRAN

1 Skema peran penelitian dalam ruang lingkup industri perikanan budidaya ... 23

2 Peta lokasi stasiun penelitian ... 23

3 Kondisi masing-masing stasiun penelitian ... 24

4 Pengukuran kualitas air secara in-situ di lokasi penelitian ... 25

5 Analisis jenis dan kelimpahan mangrove ... 25

6 Pengukuran kelimpahan serasah ... 25

7 Pengukuran kelimpahan makrozoobentos ... 26

8 Pengukuran mikroklimat ... 26

9 Pengumpulan informasi data produksi kepiting bakau di Desa Ujung Alang ... 26

10 Jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian ... 27

11 Data curah hujan bulanan tahun 2014 di daerah Cilacap ... 29

12 Ringkasan data masing-masing parameter ... 30

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dengan harga berkisar antara Rp 100.000-150.000/kilogram (Samudro 2015). Selain itu, kepiting bakau merupakan salah satu komoditas ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan (Direktorat Jenderal Perikanan 1990). Kepiting bakau merupakan sumber nutrisi penting (Truong et al. 2008). Menurut Moosa et al. (1985), kepiting bakau memiliki telur dan daging dengan kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu 65,7% dan 82,6% bobot kering, serta kandungan lemak yang cukup rendah yaitu 0,9% dan 8,2% bobot kering. Selain kepiting bakau jenis Scylla serrata, terdapat pula jenis kepiting bakau lainnya, yaitu S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea

(FAO 2015). Sedangkan di Indonesia, jenis kepiting bakau yang banyak diperdagangkan adalah Scylla serrata (KKP 2009).

Produksi kepiting bakau di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan kegiatan penangkapan, seperti yang terjadi di Desa Ujung Alang, padahal jika dilakukan kegiatan budidaya dalam lingkungan terkontrol akan menghasilkan output yang lebih optimal. Pemeliharaan dalam lingkungan terkontrol sangat erat hubungannya dengan keterlibatan pembudidaya. Keterlibatan tersebut antara lain dalam pengelolaan kualitas air dan pakan serta pencegahan hama.

Salah satu metode budidaya yang dapat diterapkan adalah budidaya di kawasan hutan mangrove. Budidaya di kawasan hutan mangrove merupakan budidaya yang ramah lingkungan dan hal ini dapat menjadi salah satu solusi untuk menanggapi adanya isu global mengenai permintaan konsumen akan produk akuakultur organik. Akuakultur organik merupakan budidaya yang ramah lingkungan tanpa adanya penggunaan bahan kimia, antibiotik, dan hormon dalam proses produksi. Isu utama dalam akuakultur organik adalah keamanan pangan, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Akuakultur organik memiliki kelebihan selain ramah lingkungan juga memiliki nilai jual produk yang lebih tinggi. Salah satu contohnya adalah udang windu organik memiliki harga jual yang lebih tinggi 1 US$ per kilogram dibandingkan udang windu tanpa sistem budidaya organik.

Salah satu metode budidaya di kawasan hutan mangrove yang dapat diterapkan adalah aquasilviculture. Aquasilviculture merupakan sistem produksi multi tujuan yang memungkinkan budidaya ikan dalam kawasan hutan mangrove (Romeo & Florida 2014). Supaya dapat mencapai keberhasilan dalam kegiatan

(14)

2

Hutan mangrove dalam aquasilviculture memiliki peran yang sangat penting karena akan menyediakan iklim mikro dan mendukung ketersediaan pakan alami bagi kepiting bakau. Salah satu hutan mangrove yang terluas di Pulau Jawa adalah kawasan Segara Anakan, Cilacap (Pribadi et al. 2009) dengan luas kawasan pada tahun 2014 sebesar 6.716 ha (DKP2SKSA 2015). Salah satu daerah penghasil kepiting bakau di Segara Anakan adalah Desa Ujung Alang. Dengan adanya hasil tangkapan kepiting bakau di Desa Ujung Alang, maka diduga lingkungan kawasan tersebut sesuai untuk kepiting bakau. Oleh karena itu dilakukan kajian karakteristik lingkungan di hutan mangrove Desa Ujung Alang untuk mengetahui karakteristik lingkungan yang optimal untuk kepiting bakau. Selanjutnya hasil dari kajian tersebut dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk kegiatan aquasilviculture.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik habitat alami kepiting bakau Scylla serrata di Desa Ujung Alang, Cilacap sebagai acuan kegiatan aquasilviculture.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2015. Lokasi penelitian terletak di Desa Ujung Alang, Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan kawasan tangkapan kepiting bakau paling tinggi di daerah Segara Anakan.

Prosedur Penelitian

Penentuan Stasiun Penelitian

Penentuan titik atau stasiun penelitian berdasarkan perbedaan kerapatan mangrove dan lokasi tersebut merupakan daerah penangkapan kepiting bakau. Terdapat empat stasiun penelitian (Lampiran 2) antara lain:

Stasiun 1 : Hutan mangrove di Dusun Bondan Barat (Lampiran 3) Stasiun 2 : Hutan mangrove di dekat Sungai Kalibener (Lampiran 3)

Stasiun 3 : Perairan depan hutan mangrove gundul di daerah Sungai Kalibener (Lampiran 3)

(15)

3

Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Parameter yang dianalisis, alat/metode pengukuran, satuan, dan tempat analisis disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Parameter yang dianalisis dan satuan, alat atau metode pengukuran, dan tempat analisis

No Parameter Alat/Metode Pengukuran Satuan Tempat

1. Kualitas Air

Fisika perairan

Salinitas Hand refractometera ‰ In-situ

Suhu DO meterb ºC In-situ

Kimia perairan

pH pH meterb - In-situ

DO DO meterb g/L In-situ

TAN Metode Phenatec mg/L Ex-situ

Nitrit Metode Sulfanilamidec mg/L Ex-situ

Nitrat Metode Bruchinec mg/L Ex-situ

TOM Metode Oksidimetric mg/L Ex-situ

Biologi perairan

Kelimpahan plankton Plankton net, mikroskop, buku identifikasid,e

sel/m3 Ex-situ

Identifikasi jenis plankton Mikroskop, buku identifikasid,e

individu Ex-situ

2. Vegetasi mangrove

Kelimpahan mangrove Petak pengamatan 10 x 10 mg ind/100 m2

In-situ

Identifikasi jenis Petak pengamatan 10 x 10 mf individu In-situ

3. Kelimpahan serasah Petak pengamatan 1 x 1 m dan

timbangan digitalfg

g/m2 Ex-situ

4. Bahan organik di substrat

TOM substrat Metode gravimetric % Ex-situ

C-organik Metode Walkley and Blackc % Ex-situ

5. Analisis makrozoobentos

Kelimpahan makrozoobentos Petak pengamatan 1 x 1 mg ind/m2 Ex-situ

Identifikasi jenis makrozoobentos Buku identifikasi individu Ex-situ

6. Kondisi mikroklimat

Intensitas cahaya Lux meterh lux In-situ

Suhu udara Lux meterh ºC In-situ

Kelembaban Lux meterh %RH In-situ

a

APHA (1998), bAPHA (1999), cBalai Penelitian Tanah (2009), dMizuko (1979), eYamaji (1979),

f

Giesen et al. (2007), gNazar (2002), hHafsah et al. (2009).

Pengukuran Kualitas Air

(16)

4

dihomogenisasi dan dianalisis di laboratorium. Pengukuran parameter in-situ

dilakukan pada titik tengah di petak pengamatan. Pengambilan sampel air dilakukan pada pagi dan sore dalam satu hari pengamatan. Pengambilan sampel pada pagi hari dilakukan pada pukul 08.00 WIB dengan kedalaman air 50 cm. Pengambilan sampel pada sore hari dilakukan pada pukul 16.00 dengan kedalaman air 90 cm.

Analisis Vegetasi Mangrove

Analisis vegetasi mangrove meliputi identifikasi jenis dan kelimpahan mangrove (Lampiran 5). Identifikasi jenis mangrove dilakukan dengan menggunakan bantuan website wetland.or.id. Sedangkan pengukuran kelimpahan mangrove dengan membuat petak pengamatan berukuran 10 x 10 m, dengan menghitung jumlah mangrove kategori pohon (diameter > 10 cm) dan kategori anakan (diameter < 10 cm) (Nazar 2002). Pada masing-masing stasiun terdapat satu petak pengamatan.

Pengukuran Kelimpahan Serasah

Pengukuran kelimpahan serasah dilakukan pada petak pengamatan berukuran 1 x 1 m (Lampiran 6) di masing-masing stasiun penelitian (Nazar 2002). Kemudian serasah dioven di laboratorium dan ditimbang bobot kering.

Pengukuran Bahan Organik di Substrat

Pengukuran bahan organik di substrat meliputi pengukuran terhadap nilai bahan organik total (Total Organic Matter; TOM) dan C-organik. Substrat pada masing-masing stasiun diambil pada petak pengamatan 10 x 10 m. Substrat diambil pada tiga titik yang ditarik secara diagonal pada petak pengamatan. Substrat dari ketiga titik tersebut kemudian dihomogenisasi dan dianalisis di laboratorium.

Analisis Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos

Analisis jenis dan kelimpahan makrozoobentos dilakukan pada petak pengamatan 1 x 1 m pada masing-masing stasiun penelitian (Nazar 2002). Jenis makrozoobentos dianalisis menggunakan buku identifikasi. Kelimpahan makrozoobentos dihitung pada petak pengamatan berukuran 1 x 1 m (Lampiran 7).

Pengukuran Mikroklimat

Pengukuran mikroklimat pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan secara in-situ (Lampiran 8). Pengukuran intensitas cahaya, suhu udara, dan kelembaban udara dilakukan di bawah naungan mangrove.

Pengumpulan Data Produksi Kepiting Bakau

(17)

5

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Analisis secara deskriptif dilakukan dengan cara menyajikan, menyusun serta mengukur nilai-nilai data yang terkumpul sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan mudah dimengerti (Saleh 1986).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan terhadap parameter fisika, kimia, dan biologi. Parameter fisika perairan yang diukur meliputi suhu dan salinitas. Parameter kimia perairan yang diukur meliputi pH, Dissolved Oxygen (DO), Total Amonia Nitrogen (TAN), nitrit, nitrat, dan Total Organic Matter (TOM). Parameter biologi perairan yang dianalisis meliputi jenis dan kelimpahan plankton. Hasil pengukuran parameter fisika perairan disajikan pada Tabel 2, hasil pengukuran parameter kimia perairan disajikan pada Tabel 3, dan hasil analisis terhadap parameter biologi perairan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 2 Pengukuran parameter fisika perairan di masing-masing stasiun penelitian

Salinitas perairan pada masing-masing stasiun ketika pagi dan sore berkisar antara 0,0-0,5‰. Suhu perairan pada masing-masing stasiun ketika pagi berkisar antara 31,0-34,0°C. Suhu terendah pada Stasiun 2 dan 3 yaitu 31,0oC. Suhu tertinggi pada Stasiun 4 yaitu 34,0oC. Suhu perairan pada masing-masing stasiun ketika sore berkisar antara 29,9-33,9 oC. Suhu terendah pada Stasiun 4 yaitu 29,91oC dan suhu tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 33,9oC.

(18)

6

Keterangan:

St. = Stasiun, P = Pagi, S = Sore

Nilai pH perairan ketika pagi berkisar antara 6,34-7,22. Nilai pH terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 6,34 dan pH tertinggi pada Stasiun 3 yaitu 7,22. Nilai pH perairan ketika sore berkisar antara 6,11-6,29. Nilai pH terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 2 yaitu 6,11 dan pH tertinggi pada Stasiun 3 yaitu 6,29.

Nilai Dissolved Oxygen (DO) perairan ketika pagi berkisar antara 2,4-4,8 mg/L. Nilai DO terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 2 yaitu 2,4 mg/L dan DO tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 4,8 mg/L. Nilai DO perairan ketika sore berkisar antara 3,3-5,6 mg/L. Nilai DO terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 1 dan 2 yaitu 3,3 mg/L dan DO tertinggi pada Stasiun 4 yaitu 5,6 mg/L.

Nilai Total Amonia Nitrogen (TAN) perairan ketika pagi berkisar antara 0,01-0,16 mg/L. Nilai TAN terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 0,01 mg/L dan nilai TAN tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 0,16 mg/L. Nilai TAN perairan ketika sore berkisar antara 0,02-0,18 mg/L. Nilai TAN terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 4 yaitu 0,02 mg/L dan nilai TAN tertinggi pada Stasiun 1 dan 2 yaitu 0,18 mg/L.

Nilai nitrit perairan ketika pagi berkisar antara 0,05-0,10 mg/L. Nilai nitrit terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 1, 3, dan 4 yaitu 0,05 mg/L dan nilai nitrit tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 0,10 mg/L. Nilai nitrit perairan ketika sore berkisar antara 0,11-1,26 mg/L. Nilai nitrit terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 4 yaitu 0,11 mg/L dan nilai nitrit tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 1,26 mg/L. Nilai nitrat perairan ketika pagi berkisar antara 0,38-0,60 mg/L. Nilai nitrat terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 0,38 mg/L dan nilai nitrat tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 0,60 mg/L. Nilai nitrat perairan ketika sore berkisar antara 0,40-0,58 mg/L. Nilai nitrat terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 3 yaitu 0,40 mg/L dan nilai nitrat tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 0,58 mg/L.

Nilai Total Organic Matter (TOM) perairan ketika pagi berkisar antara 45,79-56,16 mg/L. Nilai TOM terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 2 yaitu 45,79 mg/L dan nilai TOM tertinggi pada Stasiun 3 yaitu 56,16 mg/L. Nilai TOM perairan ketika sore berkisar antara 31,97-44,06 mg/L. Nilai TOM terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 1 yaitu 31,97 mg/L dan nilai TOM tertinggi pada Stasiun 2 yaitu 44,06 mg/L.

Tabel 4 Kelimpahan dan dominansi plankton di masing-masing stasiun penelitian

Lokasi Kelimpahan (sel/m3) Dominansi

St. 1 207.870 Pediastrum sp.

St. 2 486.115 Coscinodiscus sp.

St. 3 827.068 Oscillatoria sp.

St. 4 637.594 Oscillatoria sp.

Keterangan: St. = Stasiun

(19)

7

Analisis Vegetasi Mangrove

Pengamatan vegetasi dan kelimpahan mangrove bertujuan untuk mengetahui perbedaan kerapatan serta keragaman mangrove yang terdapat pada masing-masing stasiun penelitian. Jenis dan kelimpahan mangrove yang terdapat pada masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan kelimpahan mangrove di masing-masing stasiun penelitian

Lokasi Jenis mangrove Keterangan Jumlah Kelimpahan

(ind/100 m2)

St. 1 Sonneratia caseolaris pohon 16 25

Avicennia marina pohon 3

Nypa fruticans anakan 6

St. 2 Aegiceras corniculatum anakan 22 50

Aegiceras floridum anakan 1

Rhizophora mucronata anakan 4

Rhizophora apiculata anakan 19

Nypa fruticans anakan 3

Sonneratia caseolaris anakan 1

St. 3 Nypa fruticans anakan 1 1

St. 4 Bruguiera gymnorrhiza pohon 1 17

Bruguiera gymnorrhiza anakan 1

Rhizophora mucronata pohon 3

Rhizophora mucronata anakan 12

Keterangan: St. = Stasiun

Dominansi jenis mangrove di masing-masing stasiun penelitian berbeda, seperti yang disajikan pada Tabel 5. Pada Stasiun 1, jenis mangrove didominansi oleh Sonneratia caseolaris kategori pohon dengan kelimpahan 16 individu/100 m2. Pada Stasiun 2, jenis mangrove didominansi oleh Aegiceras corniculatum

kategori anakan dengan kelimpahan 22 individu/100 m2. Pada Stasiun 3, hanya terdapat satu jenis mangrove yaitu Nypa fruticans kategori anakan dengan kelimpahan 1 individu/100 m2. Pada Stasiun 4, jenis mangrove didominansi oleh

Rhizophora mucronata kategori anakan dengan kelimpahan 12 individu/100 m2 (Lampiran 10).

Pengukuran Kelimpahan Serasah

Pengukuran kelimpahan serasah dilakukan untuk menganalisis ketersediaan pakan alami kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian.

Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian

Lokasi Kelimpahan serasah (BK) (g/m2) Kadar Air (%)

St. 1 21,00 79,30

St. 2 44,25 68,90

St. 3 10,57 80,94

St. 4 6,70 78,00

Keterangan: St. = Stasiun, BK = Bobot kering

(20)

8

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa kelimpahan serasah tertinggi pada Stasiun 2, yaitu 44,25 gram bobot kering dengan kadar air sebesar 68,90%. Sedangkan kelimpahan serasah terendah terdapat pada Stasiun 4, yaitu 6,70 gram bobot kering dengan kadar air sebesar 78,00%.

Pengukuran Bahan Organik di Substrat

Pengukuran bahan organik di substrat meliputi pengukuran terhadap parameter Total Organic Matter (TOM) dan C-organik substrat. Hasil pengukuran bahan organik di substrat disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengukuran bahan organik di substrat pada masing-masing stasiun penelitian

Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa nilai TOM di masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 64,19-75,51%, dengan nilai TOM terendah pada Stasiun 2 yaitu 64,19% dan nilai TOM tertinggi pada Stasiun 1 yaitu 75,51%. Nilai C-organik di masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 2,15-11,18%, dengan nilai C-organik terendah pada Stasiun 2 yaitu 2,15% dan nilai C-organik tertinggi pada Stasiun 3 yaitu 11,18%.

Analisis Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos

Analisis jenis dan kelimpahan makrozoobentos dilakukan untuk menganalisis ketersediaan pakan alami kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian. Jenis dan kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Jenis dan kelimpahan makrozoobentos di masing-masing stasiun penelitian

(21)

9

sebanyak 3 ind/m2. Sedangkan pada Stasiun 4, jenis makrozoobentos yang mendominasi adalah Epitonium sp. sebanyak 3 ind/m2.

Pengukuran Mikroklimat

Pengukuran mikroklimat bertujuan untuk mengetahui gambaran mikroklimat pada masing-masing stasiun, yang meliputi intensitas cahaya, suhu udara, dan kelembaban udara. Hasil pengukuran mikroklimat di masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Pengukuran mikroklimat di masing-masing stasiun penelitian

Keterangan: St = Stasiun

Intensitas cahaya ketika pagi berkisar antara 1.800-8.800 lux. Intensitas cahaya terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 1.800 lux dan intensitas cahaya tertinggi terdapat pada Stasiun 3 yaitu 8.800 lux. Intensitas cahaya ketika sore berkisar antara 428-3.470 lux. Intensitas cahaya terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 4 yaitu 1.800 lux dan intensitas cahaya tertinggi terdapat pada Stasiun 3 yaitu 8.800 lux.

Suhu udara ketika pagi berkisar antara 35,3-42,0oC. Suhu udara terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 35,3 oC dan suhu udara tertinggi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 42,0oC. Suhu udara ketika sore berkisar antara 30,1-37,3oC. Suhu udara terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 3 yaitu 30,1 oC dan suhu udara tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 37,3 oC.

Kelembaban udara ketika pagi berkisar antara 55,8-71,9%RH. Kelembaban udara terendah ketika pagi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 55,8% dan kelembaban udara tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 71,9%RH. Kelembaban udara ketika sore berkisar antara 63,7-84,5%RH. Kelembaban udara terendah ketika sore terdapat pada Stasiun 1 yaitu 63,7%RH dan kelembaban udara tertinggi terdapat pada Stasiun 4 yaitu 84,5%RH.

Produksi Kepiting Bakau

(22)

10

Sumber: Wawancara langsung dengan nelayan dan pengepul kepiting bakau di Desa Ujung Alang

Gambar 1 Data Produksi kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian pada tahun 2014

Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa produksi kepiting bakau tertinggi pada musim kemarau adalah pada Stasiun 2 yaitu sebesar 84 kg. Sedangkan pada musim hujan, produksi pada masing-masing stasiun adalah sama yaitu 0 kg.

Pembahasan

Produksi kepiting bakau sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan pakan. Analisis kondisi lingkungan di daerah mangrove Desa Ujung Alang dilakukan terhadap parameter fisika perairan, kimia perairan, biologi perairan, dan kondisi mikroklimat. Analisis ketersediaan pakan dilakukan dengan mengamati jenis dan kelimpahan mangrove, kelimpahan serasah, kandungan bahan organik di substrat, dan kelimpahan makrozoobentos.

Berdasarkan analisis terhadap kondisi lingkungan di daerah mangrove Desa Ujung Alang, diperoleh hasil bahwa salinitas air pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,0-0,5‰ (Tabel 2). Salinitas tersebut merupakan nilai yang rendah. Rendahnya salinitas tersebut diduga disebabkan oleh tingginya masukan air tawar dari tiga sungai yang berada di sekitar stasiun penelitian, yaitu Sungai Citanduy, Cibereum, dan Cikonde. Air tawar dari ketiga sungai tersebut diduga jumlahnya lebih banyak dibandingkan air laut, sehingga menyebabkan salinitas rendah. Berdasarkan hasil wawancara dan data curah hujan (Lampiran 11), waktu ketika dilakukan penelitian termasuk dalam musim hujan di perairan Segara Anakan. Adapun musim hujan adalah pada bulan November-Juli dengan jumlah curah hujan bulanan berkisar antara 182-659 mm (Lampiran 11) (BMKG 2015). Musim kemarau adalah pada bulan Agustus-Oktober dengan jumlah curah hujan bulanan berkisar antara 4-91 mm (Lampiran 11) (BMKG 2015).

(23)

11

Nybakken (1988), perubahan salinitas musiman di estuaria biasanya merupakan akibat perubahan penguapan musiman dan/ atau perubahan aliran air tawar musiman. Dengan mulainya kenaikan aliran air tawar, gradien salinitas digeser ke arah mulut estuaria. Oleh karena itu pada berbagai musim, suatu titik tertentu di estuaria dapat mengalami salinitas yang berbeda-beda (Nybakken 1988).

Salinitas yang sangat rendah tersebut kurang sesuai dengan kehidupan kepiting bakau. Hal ini didukung oleh data FAO (2011) yang menyatakan bahwa salinitas optimal untuk S. serrata adalah 10-25‰ dan berdasarkan penelitian Safrina (2013), salinitas optimal untuk S. serrata adalah 25‰. Selain itu, menurut Paital & Chainy (2012), S. serrata menyukai hutan mangrove dengan dasar berlumpur dan salinitas yang berfluktuasi. Salinitas di daerah Ujung Alang sangat rendah jika dibandingkan dengan salinitas di habitat S. serrata di daerah mangrove Kosrae, Micronesia yang berkisar antara 26,8-30,1‰ (Amanda et al.

2008). Salinitas yang rendah dapat merusak protein dan lipid pada jaringan insang kepiting bakau (Kong et al. 2008). Selain itu menurut McGaw (2006), salinitas lingkungan yang rendah pada kepiting bakau akan mengakibatkan takikardia atau denyut jantung yang cepat, ditambah dengan peningkatan tingkat ventilasi dan pengambilan oksigen.

Suhu perairan mangrove di Stasiun 1 berkisar antara 31,2-33,9ºC, suhu perairan di Stasiun 2 berkisar antara 30,0-31,0ºC, suhu perairan di Stasiun 3 berkisar antara 30,1-31,0ºC, dan suhu perairan di Stasiun 4 berkisar antara 29,9-34,0ºC (Tabel 2). Kisaran suhu pada masing-masing stasiun tersebut sesuai untuk kepiting bakau, terutama pada Stasiun 2. Hal ini didukung oleh data FAO (2011) yang menyatakan bahwa pertumbuhan optimal untuk S. serrata adalah pada suhu 30ºC, dan pertumbuhan yang baik pada suhu 25-35ºC. Berdasarkan penelitian Millaty (2014), suhu yang optimal untuk S. serrata adalah 29ºC. Menurut Paital & Chainy (2012), faktor lingkungan untuk Scylla di India dapat berubah-ubah dengan kisaran suhu yang luas yaitu 18-31ºC. Sedangkan suhu perairan di daerah mangrove Kosrae, Micronesia dalam penelitian Amanda et al. (2008) berkisar antara 28,7-31,8ºC.

Nilai pH perairan di Stasiun 1 berkisar antara 6,17-6,34, pH perairan di Stasiun 2 berkisar antara 6,11-7,01, pH perairan di Stasiun 3 berkisar antara 6,29-7,22, dan pH perairan di Stasiun 4 berkisar antara 6,12-6,42 (Tabel 3). Nilai tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan data FAO (2011) yang menyatakan bahwa pH untuk pemeliharaan S. serrata adalah pada kisaran 7,5-8,5. Sedangkan menurut penelitian Nadeak (2014), pH yang optimum untuk S. serrata

(24)

12

organik. Nilai pH perairan yang mendekati nilai optimum untuk kepiting bakau terdapat di Stasiun 2 dan 3.

Kisaran nilai Dissolved Oxygen (DO) pada Stasiun 1 adalah 3,3-4,8 mg/L, pada Stasiun 2 adalah 2,4-3,3 mg/L, pada Stasiun 3 adalah 4,1-4,3 mg/L, dan pada Stasiun 4 adalah 4,6-5,6 mg/L (Tabel 3). Nilai DO tersebut cukup rendah jika dibandingkan kisaran DO pada habitat alami S. serrata di perairan India, yang berkisar antara 4-10 mg/L (Paital & Chainy 2012). Namun kisaran DO pada Stasiun 4 lebih baik dibandingkan stasiun lainnya. Secara umum, DO yang diperoleh pada masing-masing stasiun masih sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa kadar oksigen di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L. Kisaran DO yang cukup rendah di perairan alami bukanlah suatu permasalahan, hal ini karena di perairan alami terjadi flushing (pergantian air). Rendahnya nilai DO ketika pagi pada Stasiun 2, yaitu sebesar 2,4 mg/L diduga karena Stasiun 2 merupakan stasiun dengan kerapatan mangrove paling tinggi. Kerapatan mangrove yang tinggi akan menghasilkan jumlah serasah yang tinggi pula dan serasah yang jatuh ke air akan didekomposisi oleh bakteri pengurai. Proses dekomposisi serasah oleh bakteri pengurai memerlukan oksigen. Hal tersebut menyebabkan kadar oksigen terlarut di perairan berkurang. Rendahnya nilai DO dapat pula dipengaruhi oleh naiknya suhu perairan (Nybakken 1988).

Nilai Total Amonia Nitrogen (TAN) perairan yang diperoleh di Stasiun 1 berkisar antara 0,16-0,18 mg/L, pada Stasiun 2 berkisar antara 0,12-0,18 mg/L, pada Stasiun 3 berkisar antara 0,14-0,15 mg/L, dan pada Stasiun 4 berkisar antara 0,01-0,02 mg/L (Tabel 3). Berdasarkan hasil penelitian di lapang, nilai TAN yang diperoleh pada masing-masing stasiun berada dalam kisaran yang sesuai untuk kepiting bakau, terutama pada Stasiun 4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepmen-LH (2004) yang menyatakan bahwa nilai amonia total di perairan untuk biota air laut adalah 0,3 mg/L. Nilai TAN yang rendah sangat baik dalam kegiatan budidaya, karena menurut Neil et al. (2005), amonia akan memberikan efek pada larva S. serrata meskipun dalam jumlah yang sedikit (0-0,5 mg/L).

Nilai nitrit perairan di Stasiun 1 berkisar antara 0,05-1,26 mg/L, nilai di Stasiun 2 berkisar antara 0,10-0,17 mg/L, nilai di Stasiun 3 berkisar antara 0,05-0,16 mg/L, dan nilai di Stasiun 4 berkisar antara 0,05-0,11 mg/L (Tabel 3). Nillai nitrit terendah terdapat pada Stasiun 4 dan nilai nitrit sebesar 1,26 mg/L pada stasiun 1 ketika sore merupakan nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai nitrit pada pemeliharaan S. serrata di Filipina yaitu 0,0-0,19 mg/L (Millamena & Banggaya 2001). Namun nilai nitrit yang cukup tinggi tersebut tidaklah menjadi masalah dalam aquasilviculture apabila di daerah tersebut terjadi

flushing (pergantian air). Dengan adanya flushing, maka bahan organik akan terbawa dan tidak menyebabkan terjadinya pengendapan, sehingga tidak akan membahayakan organisme budidaya. Nitrit dalam kegiatan budidaya harus diupayakan seminimal mungkin, hal ini karena nitrit di dalam darah ikan dapat bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin (Boyd 2000). Methemoglobin tersebut tidak dapat berikatan dengan oksigen seperti hemoglobin, sehingga proses respirasi organisme akan terganggu jika terdapat nitrit dalam jumlah yang tinggi. Darah yang mengandung methemoglobin akan berwarna coklat, sehingga nama umum untuk keracunan nitrit pada ikan adalah

(25)

13

darah untuk menurunkan kemampuan darah dalam mengikat oksigen (Boyd 2000).

Nilai nitrat perairan di Stasiun 1 berkisar antara 0,45-0,55 mg/L, nilai di Stasiun 2 berkisar antara 0,58-0,60 mg/L, nilai di Stasiun 3 berkisar antara 0,05-0,16 mg/L, dan nilai di Stasiun 4 berkisar antara 0,40-0,57 mg/L (Tabel 3). Berdasarkan penelitian Hartoko et al. (2013), nilai nitrat pada masing-masing stasiun di daerah mangrove Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa berkisar antara 0,71-6,27 mg/L. Dapat diketahui bahwa nilai nitrat yang diperoleh pada masing-masing stasiun di daerah mangrove Desa Ujung Alang cukup rendah dan mengindikasikan bahwa perairan memiliki kriteria kesuburan sedang menurut Vollenweider (1968). Kandungan nitrat sebesar <0,227 mg/L tergolong perairan kurang subur, kandungan nitrat sebesar 0,227-1,129 tergolong perairan dengan kesuburan sedang, dan kandungan nitrat sebesar 1,130-11,250 mg/L tergolong perairan dengan kesuburan tinggi (Vollenweider 1968). Berdasarkan hasil identifikasi di lapang, dapat diketahui bahwa nilai nitrat tertinggi terdapat pada Stasiun 2 yang berkisar antara 0,58-0,60 mg/L. Nilai nitrat yang tinggi pada Stasiun 2 diduga disebabkan oleh kerapatan mangrove yang paling tinggi pada daerah tersebut yaitu 50 ind/100 m2. Selain itu, nilai nitrat yang tinggi dapat disebabkan oleh perairan tersebut kaya akan zat hara, baik yang berasal dari dekomposisi sedimen maupun senyawa-senyawa organik yang berasal dari jasad flora dan fauna yang mati (Edward & Tarigan 2003).

Bahan Organik Total (Total Organic Matter; TOM) perairan di stasiun 1 berkisar antara 31,97-47,52 mg/L, nilai TOM di Stasiun 2 berkisar antara 44,06-45,79 mg/L, nilai TOM di Stasiun 3 berkisar antara 42,34-56,16 mg/L, dan nilai TOM di Stasiun 4 berkisar antara 34,56-46,66 mg/L (Tabel 3). Menurut Reid (1961), perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah tergolong perairan yang subur. Berdasarkan pernyataan tersebut, perairan pada masing-masing stasiun tergolong perairan yang subur, terutama pada Stasiun 3 yang memiliki kisaran TOM paling tinggi yaitu 42,34-56,16 mg/L.

Berdasarkan hasil penelitian, kelimpahan plankton pada masing-masing stasiun berkisar antara 207.870-827.068 sel/m3 (Tabel 4). Nilai tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kelimpahan plankton di ekosistem perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat, yaitu sebesar 4.428-1.716.224 sel/m3 (Thoha 2007). Jenis plankton yang mendominasi pada masing-masing stasiun adalah Pediastrum sp., Coscinodiscus sp., dan Oscillatoria sp. Jenis tersebut kurang sesuai dengan pendapat Nybakken (1988), yang menyatakan bahwa genera diatom yang dominan di daerah estuaria adalah Skeletonema, Asterionella, Chaetoceros, Nitzchia, Thalassionema, dan Melosira. Sedangkan genera dinoflagelata yang melimpah adalah Gymnodinium, Gonyaulax, Peridinium, dan

Ceratium. Sedangkan berdasarkan penelitian Thoha (2004), plankton yang mendominasi di perairan Bangka-Belitung adalah Skeletonema, Chaetoceros,

(26)

14

adalah berasal dari genus Coscinodiscus. Dengan demikian, jenis fitoplankton yang terdapat di Stasiun 2 yaitu Coscinodiscus sp. sesuai untuk kepiting bakau.

Analisis ketersediaan pakan di daerah mangrove Desa Ujung Alang dilakukan dengan mengamati beberapa parameter antara lain vegetasi mangrove, kelimpahan serasah, kandungan bahan organik (TOM dan C-organik) di substrat, dan kelimpahan makrozoobentos. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa jenis mangrove yang mendominasi pada masing-masing stasiun adalah berbeda. Pada Stasiun 1, jenis mangrove yang mendominasi adalah Sonneratia caseolaris. Pada Stasiun 2, jenis mangrove yang mendominasi adalah Aegiceras corniculatum dan Rhizophora apiculata. Pada Stasiun 3, jenis mangrove yang mendominasi adalah Nypa fruticans. Pada Stasiun 4, jenis mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora mucronata. Jenis mangrove yang terdapat di Ujung Alang cukup beragam, hal ini diduga disebabkan oleh curah hujan yang tinggi atau sungai-sungai memberikan air tawar yang cukup untuk mencegah perkembangan kondisi hipersalin, sehingga perkembangan hutan bakau dapat maksimal (Nybakken 1988). Menurut Nybakken (1988), daerah yang menghadap ke arah laut, sebagian besar didominasi oleh satu atau lebih spesies Avicennia. Pada daerah tersebut terdapat pula pohon-pohon dari genus Sonneratia, yang tumbuh pada daerah yang senantiasa basah. Selanjutnya di belakang Avicennia

terdapat zona Rhizophora. Zona selanjutnya adalah Bruguiera, dan yang terakhir adalah zona Ceriops, yaitu suatu asosiasi dari semak yang kecil-kecil (Nybakken 1988). Namun menurut Nybakken (1988), tidak semua hutan bakau memiliki zonasi seperti itu. Menurut Nugroho (2009), jenis mangrove yang ditanam untuk menjadi habitat alami kepiting bakau hendaknya jenis yang cocok untuk daerah tersebut. Nugroho (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa jenis mangrove yang ditanam di Desa Dabong, kecamatan Kubu, Kalimantan Barat adalah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Dengan demikian, jenis mangrove yang dominan di Stasiun 2 sesuai untuk habitat alami kepiting bakau.

Kelimpahan mangrove pada masing-masing stasiun berkisar antara 1-50 ind/100 m2 (Tabel 5). Nilai tersebut cukup tinggi kecuali pada Stasiun 3 yaitu sebesar 1 ind/100 m2. Menurut Nazar (2002), kelimpahan mangrove di perairan Karang Anyar, Segara Anakan berkisar antara 13-30 ind/100 m2. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan mangrove pada Stasiun 1, 2, dan 4 cukup tinggi terutama pada Stasiun 2 yang memiliki kelimpahan mangrove sebesar 50 ind/100 m2. Hal ini mengindikasikan bahwa pada stasiun penelitian tersebut dapat mendukung ketersediaan pakan alami bagi kepiting bakau, terutama pada Stasiun 2.

(27)

15

yang jika masuk ke dalam tanah akan mengalami dekomposisi menjadi humus, yang berperan sebagai sumber hara. Serasah merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi kandungan bahan organik di substrat.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa peningkatan kerapatan mangrove tidak menyebabkan peningkatan nilai bahan organik total (Total Organic Matter; TOM) substrat. Hal ini disebabkan bahan organik bersumber pula dari selain tumbuhan, yaitu bangkai hewan dan mikroorganisme, hasil ekskresi/sekresi tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme (Wulan et al. 2007). Nilai TOM substrat pada masing-masing stasiun berkisar antara 64,19-75,51 mg/L (Tabel 7). Nilai tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai TOM pada tanah mangrove di Teluk Hooker, Pulau San Andreas, Colombia, yaitu sebesar 22,89% (Moreno & Jairo 2011). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan bahan organik berupa TOM substrat di masing-masing stasiun penelitian cukup tinggi, terutama pada Stasiun 1 yaitu sebesar 75,51%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada masing-masing stasiun penelitian, ditinjau dari ketersediaan bahan organik di substrat, pakan alami akan tersedia dengan baik pula.

Nilai TOM substrat yang tinggi pada masing-masing stasiun pengamatan dapat disebabkan oleh tingginya vegetasi mangrove yang menyebabkan kelimpahan serasah tinggi (Aisyah & Sugiarti 2010). Selain itu dapat pula disebabkan oleh perbedaan tipe substrat pada masing-masing stasiun. Menurut Marganof (2007), sedimen dengan ukuran partikel yang lebih halus umumnya memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran partikel yang lebih besar. Kondisi tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Astuti et al. 2008).

Berdasarkan hasil analisis TOM substrat, diketahui bahwa pada lokasi dengan kelimpahan mangrove tertinggi, yaitu pada Stasiun 2 tidak menghasilkan nilai TOM yang tertinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh serasah yang terdapat di Stasiun 2 belum terdekomposisi, sehingga nilai TOM substrat yang terukur rendah. Pada stasiun 1 dengan kelimpahan serasah sebesar 21,00 g/m2 diperoleh nilai TOM substrat yang paling tinggi sebesar 75,51%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh tingginya sumber bahan organik selain serasah di lokasi tersebut. Menurut Wulan et al. (2007), nilai TOM atau keberadaan bahan organik di tanah bersumber dari tumbuhan, bangkai hewan dan mikroorganisme, dan dari hasil sekresi/ekskresi tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme.

(28)

16

Bahan organik di substrat akan mempengaruhi keberadaan makrozoobentos. Menurut Wood (1987), bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme benthik, sehingga jumlah dan laju pertambahan bahan organik dalam sedimen akan mempengaruhi populasi organisme dasar. Kelimpahan makrozoobentos pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 5-17 ind/m2, dengan kelimpahan tertinggi pada Stasiun 2 yaitu sebesar 17 ind/m2 (Tabel 8). Jumlah tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kelimpahan makrozoobentos di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, yaitu sebesar 6-67 ind/m2 (Nazar 2002). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan makrozoobentos di masing-masing stasiun khususnya Stasiun 2 dapat mendukung kelangsungan hidup kepiting bakau di daerah tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian di lapang, diketahui bahwa jenis makrozoobentos yang mendominasi pada masing-masing stasiun cenderung sama. Pada Stasiun 1 dan 2, jenis makrozoobentos yang mendominasi adalah Velutina

sp. Pada Stasiun 3, jenis makrozoobentos yang mendominasi adalah Velutina sp. dan Epitonium sp. Pada Stasiun 4, jenis makrozoobentos yang mendominasi adalah Epitonium sp. Jenis tersebut berbeda dengan jenis makrozoobentos yang mendominasi perairan Karang Anyar, Segara Anakan, yaitu Melanoides sp.,

Brotia sp., Ostrea sp., dan Syncera sp. (Nazar 2002). Velutina sp. dan Epitonium

sp. merupakan spesies dari kelas gastropoda. Menurut Opnai (1986), isi lambung kepiting bakau di daerah mangrove Papua New Guinea adalah 89% bivalvia, gastropoda, dan moluska lainnya, serta 11% sisanya adalah krustasea yang sulit diidentifikasi. Dengan demikian jenis makrozobentos yang dominan pada masing-masing stasiun dapat menjadi pakan alami bagi kepiting bakau.

Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi lingkungan (fisika, kimia, biologi perairan) (Lampiran 12), secara umum Stasiun 2 memiliki karakteristik lingkungan yang paling baik untuk kegiatan aquasilviculture kepiting bakau. Karakteristik lingkungan di Stasiun 2 antara lain suhu perairan berkisar antara 30,0-31,0°C, pH berkisar antara 6,11-7,01, DO berkisar antara 2,4-3,3 mg/L, TAN berkisar antara 0,12-0,18 mg/L, nitrit berkisar antara 0,10-0,17 mg/L, nitrat berkisar antara 0,58-0,60 mg/L, dan TOM perairan berkisar antara 44,06-45,79 mg/L. Meskipun pada Stasiun 2 terdapat beberapa parameter yang bukan merupakan nilai terbaik di antara ke-empat stasiun, namun Stasiun 2 memiliki karakteristik lingkungan perairan yang cenderung lebih baik dibandingkan stasiun lainnya.

(29)

17

mangrove yang mendominasi di Stasiun 2 yaitu Rhizhophora apiculata memiliki akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan dari bagian bawah. Dengan akar tunjang tersebut, diduga kepiting bakau akan merasa lebih aman berada di sekitar mangrove karena memiliki tempat untuk berlindung dari serangan predator.

Berdasarkan analisis lingkungan yang dilakukan pada bulan Maret (termasuk musim hujan di daerah Cilacap pada tahun 2014), diperoleh salinitas yang sangat rendah yaitu 0-0,5‰. Salinitas yang rendah tersebut mempengaruhi produksi kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan pengepul kepiting bakau, diketahui bahwa produksi kepiting bakau pada musim kemarau (Agustus-Oktober) pada Stasiun 1 adalah 20 kg/bulan, pada Stasiun 2 adalah 28 kg/bulan, pada Stasiun 3 adalah 6 kg/bulan, dan pada Stasiun 4 adalah 10 kg/bulan (Lampiran 13). Sedangkan ketika musim hujan, produksi kepiting bakau pada masing-masing stasiun adalah 0 kg (Lampiran 13). Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun pakan alami tersedia dengan baik di alam, namun ketika kondisi lingkungan tidak optimal (salinitas rendah), maka produksi kepiting bakau akan menjadi rendah pula.

Rendahnya produksi kepiting bakau ketika musim hujan berkaitan dengan ketidaksesuaian kepiting bakau dengan salinitas yang rendah. Ketidaksesuaian kepiting bakau dengan salinitas yang rendah sangat berhubungan dengan kemampuan osmoregulasi dari hewan tersebut. Menurut Nybakken (1988) osmoregulasi merupakan kemampuan untuk mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal. Lignot et al. (2000) menyatakan bahwa perubahan salinitas dapat mengganggu keseimbangan osmotik krustasea, dan dalam menyesuaikan kembali konsentrasi osmotik, krustasea harus mengeluarkan energi dalam jumlah besar.

Ketika musim hujan di daerah Ujung Alang dengan salinitas yang sangat rendah bahkan mencapai 0‰, diduga kepiting bakau akan beruaya ke daerah yang memiliki salinitas lebih tinggi. Apabila tidak beruaya dan tetap berada di lingkungan dengan salinitas yang rendah, maka kepiting bakau akan mengalami stres, sehingga dapat menurunkan nafsu makan dan aktivitas, dan akhirnya kepiting bakau dapat mengalami kematian.

Kematian kepiting bakau pada salinitas yang rendah diduga disebabkan oleh kondisi tubuh yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Rangka & Sulaeman (2010). Pada kondisi yang hiperosmotik, kepiting memerlukan energi yang besar untuk mencapai kondisi yang isoosmotik. Akibatnya, pada kondisi yang tidak isoosmotik, akan terjadi peningkatan konsumsi oksigen, penurunan aktivitas makan, dan aktivitas rutinitas (Kumlu et al. 2001).

Salinitas perairan di Ujung Alang yang mencapai 0‰, merupakan nilai yang sangat jauh dari kisaran salinitas yang sesuai untuk kepiting bakau. Menurut Setyadi et al. (1997), semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara badan dan lingkungannya, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimiliki kepiting bakau.

(30)

18

menggambarkan kemampuan untuk melakukan transpor ion (Lantu (2010). Sel epithelial pada insang meyediakan ATP serta fosfagen yang menjadi energi dalam proses transpor ion (Lantu 2010). Terdapat dua macam enzim yang membantu proses transpor ion melewati insang krustasea, yaitu enzim karbonat anhidrase dan arginin kinase. Enzim karbonat anhidrase berperan dalam menyediakan ion H+ dan HCO3- sebagai lawan dari ion Na+ dan Cl- untuk pertukaran dengan mengkatalis hidrasi CO2 di dalam sel insang (Lantu 2010). Ketika kepiting berpindah tempat dari salinitas yang tinggi ke salinitas yang rendah, maka aktivitas enzim karbonat anhidrase akan meningkat secara drastis, dimana enzim tersebut akan menyediakan ion yang akan melawan ion Na+ dan Cl- pada proses penyerapan. Sedangkan enzim arginin kinase berperan dalam mengatur penggunaan ATP dalam proses transpor ion. Ketika kepiting berpindah dari salinitas tinggi ke salinitas yang rendah, maka aktivitas enzim arginin kinase dalam insang akan meningkat dua kali (Lantu 2010).

Berdasarkan analisis kondisi lingkungan dan ketersediaan pakan alami pada masing-masing stasiun penelitian, secara umum Stasiun 2 memiliki karakteristik yang paling baik untuk kegiatan aquasilviculture namun harus diperhatikan pula salinitas di daerah tersebut. Salinitas di lokasi kegiatan

aquasilviculture harus diupayakan seoptimal mungkin mendekati kisaran optimal yang dinyatakan oleh FAO (2011) yaitu 10-25‰.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas air, vegetasi mangrove, kelimpahan serasah, dan analisis makrozoobentos, dapat disimpulkan bahwa Stasiun 2 memiliki karakteristik habitat alami yang paling baik untuk kegiatan

aquasilviculture kepiting bakau.

Saran

Dalam kegiatan aquasilviculture, harus memperhatikan pemilihan lokasi yang tepat berdasarkan karakteristik habitat alami yang optimal untuk menghasilkan produksi kepiting bakau yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

(31)

19

Amanda WJD, Nicole C, Katherine CE, Brian F. 2008. Use of multiple tracers to define habitat; use of Indo-Pacific mangrove crab, Scylla serrata

(Decapoda: Portunidae). Estuaries and Coasts 31: 371-381.

American Public Health Association (APHA). 1998. Standard methods for examination of water and wastewater. 20th ed. Washington DC.

. 1999. Standard methods for examination of water and wastewater. 20th ed. Washington DC.

Astuti IR, Lucy M, Tri HP. 2008. Studi kandungan fosfor pada limbah organik di dasar perairan yang dipengaruhi aktivitas karamba jaring apung di Waduk Cirata Jawa Barat. Prosiding Teknologi Perikanan Budidaya, Pusat Riset Perikanan Budidaya 363-370.

Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2015. Jumlah curah hujan bulanan lokasi stasiun meteorologi Cilacap. Jakarta (ID): BMKG. Bouillon S, Tom M, Nico K, Farid DG, Willy B, Frank D. 2004. Variability in the

origin of carbon substrates for bacterial communities in mangrove sediments. Microbiology Ecology 49: 171-179.

Boyd CE. 2000. Water Quality An Introduction. New York: Kluwer Academic Publishers.

. 2009. Carbon:nitrogen ratio management. Global Aquaculture Advocate 82-84.

Chandrasekar JS, Babu KL, Somashekar RK. 2003. Impact of urbanization on Bellandur Lake, Bengalore; a case study. Environmental Biology 24: 223-227.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Statistik Perikanan Indonesia. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

[DKP2SKSA] Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan. 2015. Laguna Segara Anakan. Cilacap (ID): DKP2SKSA. Edward, Tarigan MS. 2003. Pengaruh musim terhadap fluktuasi kadar fosfat dan

nitrat di Laut Banda. Makara Sains 7: 82-89.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta (ID): Kanisius.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Mud Crab Aquaculture. Rome (IT): FAO.

. 2015. Species fact sheet Scylla

serrata. Rome (IT): FAO.

Giesen W, Stephan W, Max Z, Liesbeth S. 2007. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. Thailand (TH): Dharmasarn Co. Ltd.

Gross WJ, Robert CL, Michael D, Paul R. 1966. Salt and water balance in selected crabs of Madagaskar. Comparative Biochemistry and Physiology

17: 641-660.

Hafsah, Tri Y, Kustono, Djuwantoko. 2009. Karakteristik tanah dan mikroklimat habitat burung maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Manusia dan Lingkungan 16: 75-80

(32)

20

di Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Management of Aquatic Resources 2: 28-37.

Kaul V, Handoo JK. 1980. Physicochemical characteristic of Nilang-a high altitude forest Lake of Kashmir and its comparison with valley lakes.

Prosiding Indian National Science 528-541.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistik perikanan budidaya tambak. Jakarta (ID): KKP.

Kong X, Guizhong W, Shaojing L. 2008. Seasonal variations of ATPase activity and antioxidant defense in gills of the mud crab Scylla serrata (Crustacea, Decapoda). Marine Biology 154: 269-276.

Kumlu M, Eroldogan OT, Saglamtimur B. 2001. The effect of salinity and added substrates on growth and survival of Metapenaeus monoceros (Decapoda: Penaeidae) post-larvae. Aquaculture 196: 177-188.

Lantu S. 2010. Osmoregulasi pada hewan akuatik. Perikanan dan Kelautan 6: 46-50.

Lignot JH, Pierrot CS, Charmantier G. 2000. Osmoregulatory capacity as a tool in monitoring the physiological condition and the effect of stress in crustaceans. Aquaculture 191: 209-245.

Marganof. 2007. Model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

McGaw IJ. 2006. Feeding and digestion in low salinity in an osmoconforming crab, Cancer gracilis I. cardiovascular and respiratory response.

Experimental Biology 209: 3.766-3.776.

Millamena OM, Banggaya JP. 2001. Reproductive performance and larval quality of pond-raised Scylla serrata females fed various broodstock diets. Asian Fisheries Science 14: 153-159.

Millaty R. 2014. Penentuan suhu optimum untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih kepiting bakau Scylla serrata (Forskal) pada media dengan sistem resirkulasi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mizuko T. 1979. Illustration of The Freshwater Plankton of Japan. Jepang (JP): Hoikusha Publishing.

Moreno ANM, Jairo HMC. 2011. Quantification of organic matter and physical-chemical characterization of mangrove soil at hooker bay, San Andreas Island-Colombia. Prosiding Global Conference on Global Warming 1-8. Moosa MK, Aswandi I, Kasry A. 1985. Kepiting bakau, Scylla serrata (Forskal,

1775) dari perairan Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nadeak H. 2014. Penentuan pH optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau

Scylla serrata dalam wadah terkontrol. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(33)

21

Nofrita. 2001. Habitat dan kelimpahan serta ketersediaan makanan kepiting bakau (Scylla serrata Forskal) di perairan estuari Pantai Gasan Kabupaten Padang Pariaman. [tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas.

Nugroho TS. 2009. Kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): PT Gramedia.

Opnai LJ. 1986. Some aspect of the biology and ecology of mud crab, Scylla serrata (Crustacea: Decapoda) in the mangrove system of the Purari and Arid Deltas. 117-124. In Rep. Of the Workshop on Mangrove Ecosystem Dynamic. UNDP/UNESCO Res. Pil. Prog. On Mangrove Ecosystem of Asia and Hosted by the University of Papua New Guinea. Port Moresby. Paital B, Chainy GBN. 2012. Biology and conservation of the genus Scylla in

India subcontinent. Environmental Biology 33: 871-879.

Pribadi R, Retno H, Chrisna AS. 2009. Komposisi jenis dan distribusi gastropoda di kawasan hutan mangrove Segara Anakan Cilacap. Ilmu Kelautan 14: 102-111.

Rangka NA, Sulaeman. 2010. Pemacuan pergantian kulit kepiting bakau (Scylla serrata) melalui manipulasi lingkungan untuk menghasilkan kepiting lunak. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 179-185.

Reid GK. 1961. Ecology of Inland Waters and Estuaries. New York (US): Reinhold.

Romeo, Florida. 2014. The Philippine national aquasilviculture program. National Brackishwater Fisheries Technology Center. Quezon (PH): Bureau of Fisheries and Aquatic Resources.

Safrina MD. 2013. Penentuan salinitas optimum untuk pertumbuhan benih kepiting bakau Scylla serrata dalam sistem resirkulasi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. pakan buatan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla serrata. Penelitian Perikanan Indonesia 4: 73-77.

Thoha H. 2004. Kelimpahan plankton di perairan Bangka-Belitung dan Laut Cina Selatan, Sumatera, Mei-Juni 2002. Makara Sains 8: 96-102.

. 2007. Kelimpahan plankton di ekosistem perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat. Makara Sains 11: 44-48.

Truong, Phuong and Anderson, Alexander and Mather, Peter and Paterson, Brian and Richardson, Neil A. 2008. Effect of selected feed meals and starches on diet digestibility in the mud crab, Scylla serrata. Aquaculture Research

(34)

22

Vollenweider RA. 1968. Scientific Fundamentals of the Eutrophication of Lakes and Flowing Waters, with Particular Reference to Nitrogen and Phosphorus as Factors in Eutrophication. Paris, Rep. Organization for Economic Cooperation and Development, DAS/CSI/68.27, 192 pp.: Annex, 21 pp.; Bibliography, 61 pp.

Wood GAR. 1987. From harvest to store. In Cocoa Fourth Edition. Longman Scientific and Technical. Copublished in The United State with John Willey and Sons. Inc, New York.

Wulan PPDK, Misri G, Berly A, Bustomy A. 2007. Penentuan rasio optimum C:N:P sebagai nutrisi pada proses biodegradasi benzene-toluena dan scale up kolom bioregenerator. Tugas akhir teknik kimia. Depok (ID): Universitas Indonesia.

(35)

23

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema peran penelitian dalam ruang lingkup industri perikanan

budidaya

(36)

24

Lampiran 2. Peta lokasi stasiun penelitian (Lanjutan)

Lampiran 3. Kondisi masing-masing stasiun penelitian

Stasiun 1. Hutan mangrove di Dusun Bondan Barat

Stasiun 2. Hutan mangrove di dekat Sungai Kalibener

Stasiun 3. Perairan depan hutan mangrove gundul di daerah Sungai

Kalibener

Stasiun 4. Perairan depan hutan mangrove jarang di daerah Sungai

(37)

25

Lampiran 4. Pengukuran kualitas air secara in-situ di lokasi penelitian

Pengukuran suhu dan DO menggunakan DO meter

Pengukuran salinitas menggunakan

hand refractometer

Pengukuran pH menggunakan pH meter

Lampiran 5. Analisis jenis dan kelimpahan mangrove

Analisis jenis dan kelimpahan mangrove

Lampiran 6. Pengukuran kelimpahan serasah

(38)

26

Lampiran 7. Pengukuran kelimpahan makrozoobentos

Pengambilan sampel makrozoobentos

Lampiran 8. Pengukuran mikroklimat

Pengukuran mikroklimat (intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara) menggunakan lux meter

Lampiran 9. Pengumpulan informasi data produksi kepiting bakau di Desa

Ujung Alang

Wawancara dengan pengepul dan nelayan kepiting bakau di Desa Ujung

Alang

(39)

27

Lampiran 10. Jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian

Sonneratia caseolaris

Avicennia marina

Nypa fruticans

(40)

28

Lampiran 10. Jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian (Lanjutan)

Bruguiera gymnorrhiza

Rhizophora mucronata

(41)

29

Lampiran 11. Data curah hujan bulanan tahun 2014 di daerah Cilacap

(42)

30

Lampiran 12. Ringkasan data masing-masing parameter

Keterangan:

 Bagian yang berwarna kuning adalah nilai terbaik di antara empat stasiun atau merupakan nilai yang optimal bagi kepiting bakau berdasarkan perbandingan dengan literatur.

(43)

31

Lampiran 13. Data Produksi kepiting bakau di masing-masing stasiun penelitian

pada tahun 2014

Stasiun

Ʃ kepiting/ penangkapan

(ekor)

Frek. Penangkapan/

bulan (kali)

Ʃ kepiting/ Bulan (ekor)

Bobot rata-

rata (g)

Produksi/ Bulan

(kg)

Produksi/ tahun

(kg)

K H K H K H K H K H K H

1 10 0 10 6 100 0 200 200 20 0 60 0

2 14 0 10 6 140 0 200 200 28 0 84 0

3 3 0 10 6 30 0 200 200 6 0 18 0

4 5 0 10 6 50 0 200 200 10 0 30 0

Keterangan:

K = Musim kemarau

H = Musim hujan

(44)

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 04 Februari 1993, dan merupakan putri ke-4 dari empat bersaudara (Lusia Ernawaty, Florencius Erwantoko, dan Bernadetta Tri Widi Hartini) dari keluarga Bapak Robertus Suryadi dan Ibu Yustina Murdiyem. Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu SD N 1 Way Dadi Bandar Lampung, SMP N 29 Bandar Lampung, dan SMA Negeri 5 Bandar Lampung. Pada tahun 2011, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjalani masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar-Dasar Akuakultur pada tahun ajaran 2013/2014 dan pada tahun ajaran 2014/2015, Manajemen Kualitas Air pada tahun ajaran 2014/2015, dan Fisika Kimia Perairan pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Praktik Lapang Akuakultur (PLA) di PT Surya Windu Kartika (SWK) Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 2014 dengan komoditas udang vaname (Litopenaues vannamei). Penulis juga aktif dalam kepengurusan Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KeMaKI) pada tahun 2012/2013 dan 2013/2014 sebagai anggota divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) dan aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) pada tahun 2013/2014 sebagai bendahara divisi Pengembangan Bidang Olahraga dan Seni (PBOS). Tugas akhir dalam pendidikan perguruan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi berjudul „Karakteristik Habitat Alami Kepiting Bakau Scylla serrata di desa Ujung Alang, Cilacap sebagai Acuan Kegiatan Aquasilviculture

Gambar

Tabel 1 Parameter yang dianalisis dan satuan, alat atau metode pengukuran, dan tempat analisis
Tabel 2 Pengukuran parameter fisika perairan di masing-masing stasiun penelitian
Tabel 4 Kelimpahan dan dominansi plankton di masing-masing stasiun penelitian
Tabel 6 Kelimpahan serasah di masing-masing stasiun penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “pengaruh aliran kas bebas dan keputusan pendanaan terhadap nilai pemegang saham dengan

Hasil uji diatas menunjukkan nilai T hitung pada variabel total pembiayaan sebesar 3,548&gt; 1,661 (T tabel)dengan nilai signifikansi 0,001 lebih kecil dari 0,05.

Dari hasil turunan Brand Core Value, gaya voice yang ingin dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu voice fungsional dan voice persuasif. Fungsional berarti membantu, yang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi dan kepribadian pegawai Kantor Kecamatan Srandakan terhadap organizational citizenship behavior dengan

Sedangkan teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling (sample tujuan) artinya anggota sample yang dipilih secara khusus

Tabel 1 menunjukkan bahwa sikap responden yang kurang baik, lebih banyak memiliki kebiasaan sebesar 58,07%, karena kebiasaan merokok responden yang dipengaruhi

Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan arus pada perairan Sei Carang yang memiliki kisaran sebesar 0,1 m/s sampai 0,26 m/s dapat disimpulkan juga terdapat

Berdasarkan gambar 3.1 didapat nilai R Square sebesar 0,754 yang berarti bahwa kontribusi yang diberikan oleh Nilai Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi sebesar 75,4% dan