• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan penggunaan Antibiotik Oleh Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU Periode september 2013 – maret 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Pengetahuan penggunaan Antibiotik Oleh Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU Periode september 2013 – maret 2014"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

OLEH MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN BEDAH MULUT RSGM-P FKG USU

PERIODE SEPTEMBER 2013 – MARET 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RIZKI PUSPITA SYUKRINAWATI NIM: 100600101

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2014

Rizki Puspita Syukrinawati

Tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014. xi + 48 halaman

(3)

(44,0%). Maka dapat disimpulkan pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik sudah tergolong cukup. Namun, dalam hal efek samping dan resistensi terhadap antibiotik masih termasuk kategori kurang.

(4)

TINGKAT PENGETAHUAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

OLEH MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN BEDAH MULUT RSGM-P FKG USU

PERIODE SEPTEMBER 2013 – MARET 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RIZKI PUSPITA SYUKRINAWATI NIM: 100600101

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, Maret 2014

Pembimbing: Tanda Tangan

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini dipertahankan di hadapan penguji pada tanggal 17 Maret 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM ANGGOTA : 1. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini selesai disusun dalam rangka memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM selaku ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan, arahan, dan waktu dalam membimbing penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Pitu Wulandary, drg., Sp.Perio., S.Psi., selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua orangtua penulis Ayahanda Hardi Prayitno, drg. dan Ibunda dra. Siti Rahimah yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan segala bantuan baik brupa moril maupun materil yang tidak terbatas untuk penulis.

(8)

8. Tak lupa terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dosen FKM USU Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes yang telah bersedia memberikan masukan dan arahan pada penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman terbaikku, Jessica Forsythia Fa, Natrya Mychanesya, Rafika H. Khatimah, Siti Amaliyah, Mayrida Vita S yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial, Rizky Annisa A Lbs, Ghina Addina, Erwinda Lina A, Chintya Pratiwi P, Venty Trinanda, dan teman-teman lain serta seluruh teman stambuk 2010 atas dukungan, saran, dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini masih perlu perbaikan, saran dan kritik untuk kedepannya sehingga menjadi lebih baik. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat digunakan dan memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, 17 Maret 2014 Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan umum ... 3

1.3.2 Tujuan khusus ... 3

1.4 Manfaat penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik ... 5

2.1.1 Definisi antibiotik ... 5

2.1.2 Prinsip kerja obat antibiotik ... 6

2.1.3 Aktivitas dan spektrum kerja antibiotik ... 8

2.1.4 Klasifikasi antibiotik ... 9

2.1.4.1 Antibiotik β-laktam ... 10

2.1.4.2 Antibiotik makrolida ... 12

2.1.4.3 Linkomisin ... 13

2.1.4.4 Antibiotik aminoglikosida ... 13

2.1.4.5 Kuinolon ... 13

2.1.4.6 Metronidazole ... 14

(10)

2.1.5.1 Penggunaan dosis antibiotik pada peradangan odontogenik ... 14

2.1.5.2 Penggunaan dosis antibiotik sebagai profilaksis antibiotik ... 15

2.1.6 Indikasi penggunaan antibiotik di bidang kedokteran gigi ... 15

2.2 Resistensi terhadap antibiotik ... 19

2.3 Efek Samping ... 21

2.4 Pengetahuan ... 23

2.5 Kerangka teori ... 25

2.6 Kerangka Konsep ... 26

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 27

4.2 Pengetahuan responden tentang penggunaan antibiotik secara umum 32 4.3 Pengetahuan responden tentang definisi dan klasifikasi antibiotik . 33

4.4 Pengetahuan responden tentang dosis antibiotik ... 34

4.5 Pengetahuan responden tentang indikasi penggunaan antibiotik ... 35

4.6 Pengetahuan responden tentang efek samping penggunaan antibiotik 36 4.7 Pengetahuan responden tentang resistensi terhadap antibiotik ... 37

BAB 5 PEMBAHASAN ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 44

6.2 Saran ... 45

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Antibiotik yang umum digunakan untuk kasus infeksi odontogenik pada

pasien dewasa ... 14

2. Profilaksis antibiotik pada endokarditis bakterial pada prosedur oral ... 15

3. Indikasi penggunaan antibiotik di kedokteran gigi ... 18

4. Variabel dan definisi operasional ... 28

5. Kategorik nilai pengetahuan ... 31

6. Karakteristik responden mahasiswa kepaniteraan klinik ... 32

7. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang definisi dan klasifikasi antibiotik ... 33

8. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang dosis antibiotik ... 34

9. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang indikasi penggunaan antibiotik ... 35

10. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang efek samping penggunaan antibiotik ... 36

(12)

DAFTAR GRAFIK

Grafik

1. Distribusi frekuensi tentang pengetahuan penggunaan antibiotik secara umum ... 32 2. Kategori pengetahuan responden tentang definisi dan klasifikasi antibiotik 34 3. Kategori pengetahuan responden tentang dosis antibiotik ... 35 4. Kategori pengetahuan responden tentang indikasi penggunaan antibiotik .. 36 5. Kategori pengetahuan responden tentang efek samping penggunaan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar Riwayat Hidup

2. Pengetahuan Penggunaan Antibiotik secara Umum

3. Pengetahuan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Definisi dan Klasifikasi 4. Pengetahuan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Dosis Penggunaan 5. Pengetahuan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Indikasi

6. Pengetahuan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Efek Samping

7. Pengetahuan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Resistensi terhadap Antibiotik 8. Kuesioner Tingkat Pengetahuan Penggunaan Antibiotik oleh Mahasiswa

(14)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2014

Rizki Puspita Syukrinawati

Tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014. xi + 48 halaman

(15)

(44,0%). Maka dapat disimpulkan pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik sudah tergolong cukup. Namun, dalam hal efek samping dan resistensi terhadap antibiotik masih termasuk kategori kurang.

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Antibiotik sampai sekarang masih menjadi obat andalan yang digunakan untuk kasus-kasus peradangan, oleh karena itu sering digunakan di praktek kedokteran gigi.1,2 Penggunaan antibiotik secara sistemik di kedokteran gigi masih dibatasi, sejak banyak penyakit periodontal dan gigi dapat dikelola dengan intervensi operatif dan tindakan menjaga kebersihan rongga mulut.3 Antibiotik di kedokteran gigi diindikasikan sebagai pengobatan pada kasus peradangan dan sebagai profilaksis pada pasien yang berisiko terhadap peradangan fokal ataupun peradangan lokal.2

Sekarang ini penggunaan antibiotik mengalami peningkatan yang cukup besar, baik di Indonesia maupun di negara-negara maju lain seperti Amerika Serikat. Antibiotik dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, yaitu topikal, oral, maupun intravena.1 Hasil penelitian yang dilakukan Al-Haroni dan Skaug di Norwegia, dari 268.834 resep yang ditulis oleh 4765 dokter gigi, menunjukkan bahwa resep dokter gigi berkontribusi sebesar 8% total konsumsi nasional dari 11 antibiotik, dan secara berturut-turut 13,5%, 2,8% dan 1,2% dari penggunaan penisilin β-laktam, makrolida dan linkosamida serta tetrasiklin. Kontribusi dokter gigi untuk konsumsi fenoksimetilpenisilin, spiramisin dan metronidazol jauh lebih tinggi (≥13,2%)

dibandingkan antibiotik lain yang diresepkan (≤8,6%).4 Hasil penelitian Akram et.al. di Malaysia yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi tingkat akhir tentang contoh pengobatan pada pulpitis bahwa amoksisilin merupakan jenis antibiotik yang paling umum diresepkan (57,7%) dan disusul oleh metronidazol (40,4%). Sementara jenis antibiotik lain hanya 1,9%.5

(17)

pembengkakan setempat, 45 peresepan (3,9%) untuk fraktur gigi. Peresepan pada kasus trauma wajah/dental, lepasnya tambalan, dan perdarahan gingiva, secara berturut-turut, yaitu 0,6%, 0,6% dan 0,9% dari jumlah total peresepan antibiotik. Pasien yang tidak memiliki keluhan atau yang hanya melakukan pemeriksaan kesehatan gigi biasa tetapi sesudahnya diberi resep antibiotik, berjumlah 211 peresepan (18,2%).6

Hasil penelitan Palmer et al tentang pengetahuan peresepan antibiotik pada 1544 dokter gigi di Inggris dan 672 dokter gigi di Skotlandia dengan usia 21-61 tahun menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki pemahaman yang kurang tentang penggunaan antibiotik dalam praktek kedokteran gigi.7 Begitu pula, penelitian yang dilakukan Ahmadi-Motamayel et al tentang pengetahuan mahasiswa tingkat akhir dan dokter gigi di Iran tentang profilaksis endokarditis infektif yaitu secara berturut-turut 65% dan 56%. Hal ini disebabkan oleh sebanyak 93% mahasiswa dan hanya 56% dokter gigi menggunakan buku sebagai sumber informasi.Dokter gigi dan mahasiswa di Iran tersebut mengetahui bahwa pasien dengan riwayat infektif endokarditis dan menggunakan katup jantung buatan merupakan kasus yang memerlukan profilaksis antibiotik.8

Antibiotik memberikan manfaat yang tidak perlu diragukan lagi. Namun bila dipakai atau diresepkan secara tidak tepat dapat menimbulkan banyak kerugian. Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92% masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotik secara tepat (Utami, 2012).1

(18)

Hal ini menjadi masalah di dunia kesehatan di seluruh dunia. Hingga pada tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global

Spread. Oleh karena penelitian dan penemuan antibiotik jenis baru lebih lambat

dibanding resistensi terhadap antibiotik, maka sekarang sedang digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional, baik pengobatan, dosis, durasi atau lamanya penggunaan serta biaya yang tepat.1 Meningkatnya masalah resistensi terhadap antibiotik menegaskan kebutuhan terhadap rasionalisasi penggunaan antibiotik. Sangat sedikit informasi yang diketahui dan dipahami oleh dokter gigi umum mengenai penggunaan antibiotik di praktek klinis sehari-hari.7

Oleh karena itu, penelitian mengenai tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik perlu dilakukan di RSGM-P FKG USU dengan mengambil sampel mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut di RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014. Alasan untuk memilih subjek ini adalah karena mahasiswa kepaniteraan klinik nantinya akan menjadi dokter gigi yang dalam praktek sehari-hari akan meresepkan antibiotik kepada pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014.

1.3.2 Tujuan khusus

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

Pada dasarnya, antibiotik diresepkan berdasarkan pengalaman dengan kata lain dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan terjadinya peradangan, karena kultur pus (nanah) atau eksudat tidak umum dibuat. Oleh karena itu, antibiotik spektrum luas yang umum diresepkan.2

Rongga mulut manusia mengandung berbagai mikroorganisme. Namun demikian, tidak semua mikroorganisme berpotensi patogen pada manusia, beberapa jenis bakteri yang berhubungan dengan peradangan oral di antaranya bakteri kokus, basil, organisme gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob.2

2.1.1 Definisi antibiotik

Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba atau jasad renik yang tidak termasuk parasit, khususnya mikroba yang merugikan manusia.9 Sedangkan antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme.10 Dalam praktek sehari-hari, antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik.9

(20)

2.1.2 Prinsip kerja obat antibiotik

Idealnya, antibiotik memperlihatkan toksisitas secara selektif. Toksisitas selektif bersifat relatif daripada absolut yang berarti bahwa suatu obat dapat merusak bakteri dalam konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh inang atau hospes.Toksisitas selektif bergantung pada proses hambatan biokimia yang terdapat di dalam atau esensial untuk parasit tetapi bukan untuk inang.11 Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik umumnya dibagi menjadi lima kelompok yaitu:

1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel

Bakteri memiliki dinding sel, yang mengelilingi sitoplasma membran sel, yang lebih kaku bila dibandingkan dengan sel hewan.11 Tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi daripada di luar sel, maka kerusakan dinding sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka. Dinding sel mengandung polipeptidoglikan.9,11 Lapisan peptidoglikan jauh lebih tebal pada dinding sel bakteri gram positif daripada dinding sel bakteri gram negatif.11 Antibiotik yang memiliki mekanisme kerja ini secara berturut-turut dari yang paling dini menghambat sampai yang kurang menghambat yaitu sikloserin, basitrasin, vankomisin, penisilin dan sefalosporin. 9,11

2. Antibiotik yang menghambat permeabilitas atau fungsi membran sel

(21)

3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba

Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA.9 Perbedaan tipe ribosom, komposisi kimiawi, dan spesivitas fungsional antara sel bakteri dan sel mamalia berbeda sehingga dapat menerangkan antibiotik dapat menghambat sintesis protein di ribosom bakteri tanpa menunjukkan efek nyata pada ribosom mamalia.11 Aminoglikosida, tetrasiklin, makrolida atau eritromisin, kloramfenikol, dan linkomisin terbukti dapat menghambat sintesis protein melalui kerja pada ribosom bakteri. 9,11

Streptomisin dan tetrasiklin berikatan dengan komponen ribosom 30S menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein sehingga akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba. Gentamisin, kanamisin, dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama tetapi potensinya berbeda. Eritromisin, likomisin, dan kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru.9

4. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba

Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamida, trimetoprim,

p-aminosalisilat acid (PAS) dan sulfon. Antibiotik ini bekerja dengan efek

bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.9 Bakteri patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari para amino benzoic acid

(22)

5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

Kebanyakan antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat digunakan sebagai obat antikanker ataupun sebagai antivirus karena sifat sitotoksisitasnya. Oleh karena itu, obat antibiotik yang akan dipaparkan yaitu rifampisin, dan golongan kuinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase-RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada bakteri yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga dapat muat dalam sel bakteri yang kecil.9

2.1.3 Aktivitas dan spektrum kerja antibiotik

a. Berdasarkan toksisitas selektif

Berdasarkan toksisitas selektif, antibiotik dibagi menjadi dua jenis yaitu antibiotik yang mempengaruhi pembentukan dinding sel atau permeabilitas yang membunuh mikroorganisme (bakterisidal) dan yang hanya menghambat pertumbuhan mikroorganisme (bakteriostatik).1,9,11 Antibiotik yang termasuk golongan bakterisid antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (jika digunakan dalam dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain.1 Antibiotik yang bersifat bakterisidal dibutuhkan untuk penyembuhan pada kasus peradangan yang tidak dapat dihilangkan oleh mekanisme inang (misalnya endokarditis infektif). Kasus peradangan seperti ini juga tidak dapat diobati dengan menggunakan antibiotik bakteriostatik, dimana penyakit akan kambuh kembali setelah penggunaan antibiotik dihentikan.11

(23)

b. Berdasarkan spektrum kerja

Sifat antibiotik dapat berbeda satu dengan lainnya. Misalnya, Penisilin G bersifat aktif terhadap bakteri Gram-Positif, sedangkan Gram-negatif pada umumnya resisten terhadap Penisilin G. Streptomisin memiliki sifat berbanding terbalik dengan Penisilin G, sedangkan tetrasiklin aktif terhadap berbagai bakteri Gram-positif dan Gram-negatif.9

Berdasarkan perbedaan sifat spektrum kerjanya, antibiotik dibagi atas dua yaitu spektrum sempit dan spektrum luas. Antibiotik yang termasuk dalam golongan spektrum sempit di antaranya Penisilin G (benzil penisilin) dan streptomisin. Sedangkan antibiotik yang termasuk dalam golongan spektrum luas di antaranya tetrasiklin9, kloramfenikol9, dan karbapenem10.

Walaupun suatu antibiotik berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya karena efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk peradangan yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain.Antibiotik berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh bakteri atau jamur yang resisten. Di lain pihak, pada septikemia yang penyebabnya belum diketahui diperlukan antibiotik yang berspektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik.9

2.1.4 Klasifikasi antibiotik

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibedakan atas beberapa kelompok

yaitu (1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; (2) Antibiotik makrolida dan ketolida; (3) Linkosamida; (4) Metronidazole; (5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin; (7) Golongan kuinolon/fluoro-kuinolon; (8) Golongan aminoglikosida; (9) Vankomisin; (10) Streptogramin; (11) Oksasolidinon; (12) Sulfonamida; dan (13) Kloramfenikol.13

Di praktek kedokteran gigi, tidak semua jenis antibiotik digunakan, hanya

(24)

azitromisin, eritromisin), kuinolon/fluorokuinolon (seperti siprofloksasin), aminoglikosida (seperti gentamisin), dan metronidazole.2

2.1.4.1 Antibiotik β-laktam

Antibiotik β-laktam menjadi antibiotik yang banyak digunakan karena aktivitas spektrumnya luas dan toksisitasnya yang relatif kurang walaupun insiden terhadap alergi relatif tinggi. Antibiotik jenis ini terdiri dari lima kelompok yang memiliki

nukleus β-laktam berbeda, yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan karbasefem. Penisilin dan sefalosporin adalah antibiotik yang paling penting, diikuti dengan karbapenem, monobaktam, dan karbasefem yang menjadi cadangan pada kasus peradangan serius seperti peradangan nosokomial (yang didapat dari

rumah sakit). β-laktam memiliki aktivitas antibiotik dengan spektrum yang terluas, kecuali antibiotik dengan spektrum yang sangat sempit (seperti β-laktamase-resistant

penicillin) dan spektrum yang sangat luas (seperti imipenem dan beberapa

sefalosporin).13

Mekanisme kerja antibiotik β-laktam dapat diringkas dengan urutan sebagai berikut: (1) Obat bergabung dengan penicillin-binding proteins (PBPs) pada bakteri; kemudian (2) Terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transeptidasi antar rantai peptidoglikan terganggu; lalu (3) Terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.14

1. Penisilin

Penisilin adalah istilah generik untuk kelompok antibiotik yang sama-sama memiliki nukleus cincin β-laktam.13 Obat ini efektif melawan sebagian besar bakteri

gram positif tetapi tidak aktif jika cincin β-laktamnya dipecah oleh β-laktamase.12 Modifikasi penisilin dapat terjadi karena struktur dasarnya (asam 6-amminopenisilanat) memungkinkan untuk penambahan berbagai rantai β-laktam dan cincin tiazolidin. Atas dasar modifikasi ini, penisilin dapat dibagi menjadi penisilin G

dan derivatnya, penisilin resisten β-laktamase, penisilin spektrum yang diperluas

(Extended-Spectrum Penicillin), dan penisilin spektrum yang diperluas ditambah

(25)

Penisilin memiliki efek bakterisid dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Di antara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktivitas terbaik terhadap mikroba Gram-positif yang sensitif. Walaupun kelompok ampisilin memiliki spektrum antibiotik yang lebar, tetapi aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positif tidak sekuat penisilin G. Namun demikian, kelompok ampisilin efektif terhadap beberapa mikroba Gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral.14 Kombinasi penisilin dengan asam klavulanat menjadi salah satu pilihan karena kerja antibiotiknya sangat lemah, tetapi dapat menghambat penisilinase dari streptokokus dan β-laktamase berbagai mikroba Gram-negatif dengan mengikat pusat aktif enzim tersebut. Karena

itu asam klavulanat digunakan dalam kombinasi bersama antibiotik β-laktam yang tak

stabil terhadap β-laktamase.10

Pemberian antibiotik per oral lebih disukai pada perawatan pasien kedokteran gigi karena lebih aman, paling tepat, dan cara yang paling murah. Sekarang ini, penisilin V adalah antibiotik yang paling sering diresepkan yang ditujukan untuk terapi peradangan yang berasal dari gigi,13 tetapi amoksisilin lebih unggul karena diabsoribsi lebih baik, frekuensi dosis yang lebih sedikit (3 kali sehari bila dibandingkan dengan ampisilin dan penisilin V yang 4 kali sehari), dan penyerapannya tidak dihalangi oleh makanan.15 Pemberian penisilin G secara parenteral digunakan untuk peradangan berat pada pasien atau situasi dimana pemberian melalui oral tidak dapat dilakukan (seperti pada sindroma malabsorpsi dan muntah).13 Penisilin digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk semua peradangan yang mikrobanya peka dan selama tidak ada alergi terhadap penisilin karena toksisitasnya yang hampir tidak ada dan kerjanya bersifat bakterisidal.10

2. Sefalosporin

(26)

sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.14

Berdasarkan aktivitas antibiotiknya, sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi yaitu generasi pertama, generasi kedua, generasi ketiga, dan generasi keempat. Sefalosporin memiliki aktivitas yang baik untuk melawan patogen orofasial, tetapi terbatas dalam melawan bakteri anaerob. Secara in vitro, sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spektrum antibiotik yang aktif terhadap bakteri Gram-positif. Keunggulannya dibanding penisilin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Staphylococcus aureus dan Streptococcus termasuk Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridans,

Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus anaerob, Clostridium perfringens,

Listeria monocytogenes, dan Corynebacterium diphteriae.14 Sefadroksil, sefaleksin, dan sefazolin merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama, sedangkan seftriakson termasuk generasi ketiga.14,16

2.1.4.2 Antibiotik makrolida

Senyawa ini didapat dari jenis Streptomyces, mempunyai sifat glikosida dan mengandung cincin lakton makrosiklik, gula amino basa dan gula netral. Mekanisme kerja yang diketahui yaitu antibiotik makrolida menghambat sintesis protein pada fase pemanjangan dengan mempengaruhi translokasi.10

(27)

2.1.4.3 Linkomisin

Yang termasuk kelompok linkomisin adalah linkomisin yang diisolasi dari

Streptomyces lincolnensis dan senyawa sintesis parsial turunannya yaitu klindamisin. Kelompok linkomisin mempunyai spektrum kerja yang mirip antara yang satu dengan yang lain, mekanisme kerjanya sama dengan antibiotik makrolida, sedangkan kerja klindamisin 2-10 kali lebih besar dari intesitas kerja linkomisin. Yang penting adalah kemampuan difusinya yang baik dalam tulang. Linkomisin dan klindamisin digunakan untuk peradangan karena staphylokokus jika antibiotik lain tidak dapat digunakan dan berguna pada peradangan karena bakteri anaerob.10 Selain itu, klindamisin digunakan untuk pasien yang alergi dengan penisilin atau terjadi kegagalan pengobatan dengan penisilin.16

2.1.4.4 Antibiotik aminoglikosida

Yang termasuk antibiotik golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomisin. Senyawa ini merupakan senyawa dengan struktur yang terdiri atas tri atau tetrasakarida, yang mengandung streptamin atau turunannya sebagai rumus umum, terutama 2-desoksistreptamin. Semua senyawa ini memiliki spektrum kerja yang luas dan kerjanya adalah bakterisidal. Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis Mikromonospora, yang merupakan campuran dari 3 antibiotik spektrum luas gentamisin C1, C1a, dan C2. Secara klinis gentamisin sangat berarti terutama karena peranannya terhadap mikroba Gram-negatif penyebab peradangan tersebut.10

2.1.4.5 Kuinolon

(28)

fluorokuinolon memiliki atom fluor pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibiotik fluorokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama. Kelompok obat ini diserap secara baik pada pemberian oral, dan derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral yang digunakan untuk penanggulangan peradangan berat, khususnya yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, sedangkan terhadap bakteri Gram-positif daya bakterinya relatif lemah. Yang termasuk golongan ini adalah siprofloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan sebagainya.18

2.1.4.6 Metronidazole

Metronidazole adalah nitroimidazole buatan yang dibuat atau diisolasi dari Streptomyces sp yang berguna dalam mengatasi berbagai peradangan akibat protozoa.13 Obat ini juga efektif melawan bakteri anaerob yang bekerja dengan mengganggu DNA bakteri sehingga menghambat sintesis asam nukleat.16 Spektrum metronidazole terbatas pada bakteri anaerob obligat dan beberapa bakteri mikroaerofilik,19 dan paling efektif melawan bakteri anaerob gram negatif yang bertanggung jawab pada peradangan orofasial akut dan periodontitis kronis.13 Kombinasi metronidazole dengan antibiotik betalaktam pada peradangan oral diindikasikan untuk peradangan orofasial akut yang serious dan pada penatalaksanaan periodontitis agresif.13

2.1.5 Dosis antibiotik di bidang kedokteran gigi

2.1.5.1 Penggunaan dosis antibiotik pada peradangan odontogenik

Tabel 1. Dosis antibiotik yang umum digunakan untuk kasus peradangan odontogenik pada pasien dewasa 2, 16, 19-21

Substansi Obat Jalur Pemberian Dosis

Amoksisilin po* 500 mg/8 jam

Amoksisilin-Asam Klavulanat

(29)

Substansi Obat Jalur Pemberian Dosis

berat: 300-450 mg/6 jam Azitromisin po 500 mg/24 jam 3 hari berurutan Siprofloksasin po 500 mg/12 jam

Metronidazol po 500-750 mg/8 jam Sefadroksil po 500-1000 mg/12 jam

Eritromisin po 250 mg/6 jam atau 500 mg/12 jam Gentamisin Im*** atau iv 240 mg/24 jam

Penisilin im atau iv 1,2-2,4 juta IU/24 jam*** hingga 24 juta IU/24 jam**

Keterangan: *po: pemberian per oral; **iv: pemberian melalui intravena; ***im: pemberian melalui intramuskular.

2.1.5.2 Penggunaan dosis antibiotik sebagai profilaksis antibiotik

Tabel 2. Dosis profilaksis antibiotik pada endokarditis bakterial pada prosedur oral 2, 21, 22

Antibiotik Dosis Pemilihan Waktu

Amoksisilin 2 g po ½-1 jam sebelum

Ampisilin 2 g im atau iv ½ jam sebelum

Klindamisin 600 mg po 1 jam sebelum

600 mg po atau iv ½ jam sebelum Sefaleksin atau Sefadroksil 2 g po 1 jam sebelum Azitromisin atau Klaritromisin 500 mg po 1 jam sebelum

Eritromisin 500 mg po 1 jam sebelum

Sefazolin 1 g im atau iv ½ jam sebelum

Seftriakson 1 g im atau iv 1 jam sebelum

Keterangan: po: pemberian per oral; iv: pemberian melalui intravena; im: pemberian melalui intramuskular.

2.1.6 Indikasi penggunaan antibiotik di bidang kedokteran gigi

(30)

oral terlokalisir yang diindikasikan pemberian antibiotik yaitu abses periodontal, gingivitis ulseratif nekrose akut, perikoronitis dan osteomyelitis.3,13 Selain itu, antibiotik juga digunakan sebagai profilaksis.15

Umumnya, antibiotik digunakan di kedokteran gigi untuk dua tujuan yaitu sebagai profilaksis antibiotik dan sebagai pengobatan kasus peradangan.2

1. Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik

Pemberian antibiotik tidak terbatas pada kasus peradangan odontogenik saja, melainkan juga pada kasus non-odontogenik. Untuk kasus peradangan odontogenik sendiri, tidak ada kriteria tertentu dalam pemberian antibiotik. Pengobatan diberikan dalam beberapa situasi peradangan odontogenik akut yang berasal dari pulpa misalnya sebagai pendukung dalam perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis ulseratif akut, abses periapikal, periodontitis agresif, abses periodontal, dan osteomyelitis.2,13 Pemberian antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis.2 Perluasan inflamasi cepat dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik, sementara inflamasi yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan, maka pemberian antibiotik tidak perlu.15

Abses peridontal sering dirawat dengan insisi dan drainase tanpa pemberian antibiotik karena abses periodontal jarang disertai demam, malaise, limfadenopati, dan tanda-tanda sistemik lainnya. Tetapi, abses periodontal perlu diberikan terapi antibiotik ketika disertai tanda dan gejala sistemik, atau ketika insisi dan drainase tidak dapat dilakukan. Hal ini berbeda pada terapi antibiotik untuk peradangan yang berasal dari pulpa atau periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih cenderung meluas ke permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses periodontal diberikan dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan osteomyelitis yaitu berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan keanekaragaman bakteri penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera mungkin menjadi penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.13

(31)

diresepkan. Penisilin dan amoksisilin dapat menjadi pilihan pertama. Amoksisilin-klavulanat lebih disukai, karena spektrum kerja yang luas, sifat farmakokinetik, toleransi, dan dosis yang khas. Klindamisin juga menjadi obat pilihan karena penyerapannya yang baik, kemungkinan bakteri menjadi resistensi rendah, dan konsentrasi antibiotik yang dicapai dalam tulang lebih tinggi.2

Peradangan non-odontogenik yang termasuk peradangan spesifik dari rongga mulut (TBC, sifilis, lepra), dan peradangan nonspesifik membran mukosa, otot dan wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses ini membutuhkan perawatan yang panjang, dan obat yang digunakan biasanya termasuk klindamisin dan flurokuinolon (seperti siprofloksasin, norfloksasin, dan moksifloksasin).2

2. Sebagai profilaksis antibiotik

Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis telah diterima secara luas dan umum digunakan di kedokteran gigi. Tujuan pengobatan ini yaitu sebagai pencegahan endokarditis infektif yang diindikasikan pada pasien yang berisiko dalam hal prosedur invasif dalam rongga mulut.2 Pasien yang menggunakan katup jantung buatan, memiliki riwayat endokarditis, memiliki penyakit jantung kongenital seperti penyakit jantung kongenital sianosis, menggunakan bahan atau alat jantung buatan yang kurang dari 6 bulan, ataupun yang memiliki efek sisa pada tempat atau sekitar tempat dipasangnya bahan atau alat buatan, serta penerima transplantasi jantung, maka pada pasien tersebut diindikasikan pemberian profilaksis antibiotik untuk prosedur dental.22 Pasien yang memiliki riwayat peradangan prostesis sendi dan pada pasien yang menggunakan sendi buatan kurang dari dua tahun disertai defisiensi imun, maka pasien tersebut beresiko tinggi terhadap prosedur invasif dalam rongga mulut sehingga diperlukan pemberian profilaksis antibiotik.2

(32)

atau sistemik–termasuk pasien onkologi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik seperti diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi–antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum melakukan prosedur invasif.2

Namun, profilaksis antibiotik tidak direkomendasikan pada prosedur dental atau keadaan berikut yaitu anestesi topikal pada jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penggunaan gigitiruan lepasan atau alat ortodontik, penyesuaian alat ortodontik, penempatan braket ortodontik, dan pencabutan gigi desidui serta perdarahan karena trauma di bibir dan mukosa.22

Tabel 3. Indikasi penggunaan antibiotik di kedokteran gigi 15, 21, 22

Keadaan Pilihan obat Obat alternatif

Penyakit periodontal •Abses periodontal •Penisilin V •Tetrasiklin

Localized juvenile •Periodontitis pada dewasa •Tidak indikasi

antibiotik •Osteomyelitis •Penisilin V

•Amoksisilin

• Klindamisin • Sefalosporin • Siprofloksasin • Eritromisin Peradangan campuran yang tidak sensitif terhadap penisilin •Peradangan akibat bakteri

aerob

(33)

Keadaan Pilihan obat Obat alternatif • Pada pasien dengan penyakit

sistemik (pasien onkologi,

Keterangan: PO: per oral; IV: intravena; IM: intramuskular

2.2 Resistensi terhadap Antibiotik

(34)

1. Berdasarkan mekanisme terjadinya resistensi terhadap antibiotik

a. Obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba. Pada bakteri Gram-negatif, molekul antibiotik kecil dan polar dapat menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang kecil yang disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi, maka masuknya antibiotik ini akan terhambat. Mekanisme lain adalah bakteri mengurangi mekanisme transpor aktif yang memasukkan antibiotik ke dalam sel (misalnya gentamisin). Selain itu, mikroba dapat mengaktifkan pompa efluks untuk membuang keluar antibiotik yang ada di dalam sel (misalnya tetrasiklin).9

b. Inaktivasi obat. Mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan golongan β-laktam karena mikroba mampu membuat enzim yang merusak kedua golongan antibiotik tersebut.9

c. Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik. Mekanisme ini terlihat pada Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) yang mengubah Penicillin Binding Protein (PBP) 2a atau PBP 2’ sehingga afinitasnya

menurun terhadap metisilin dan antibiotik β-laktam lain.9,23 Resistensi terhadap penisilin dapat timbul akibat adanya mutasi sehingga menghasilkan produksi PBP yang berbeda sehingga bakteri membutuhkan gen-gen PBP yang baru.23

2. Berdasarkan sumber terjadinya resistensi antibiotik

a. Resistensi bawaan. Resistensi bawaan atau resistensi primer yaitu resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme dapat menguraikan antibiotik. Contohnya Staphylococcus dan bakteri lainnya yang mempunyai enzim penisilinase yang dapat menguraikan penisilin dan sefalosporin. Selain itu, resistensi bawaan dapat terjadi pada bakteri yang memiliki struktur pelindung khusus dari paparan antibiotik, seperti

Mycobacterium tuberculosa yang memiliki kapsul pada dinding sel sehingga

resistensi terhadap obat-obat antibiotik.23

(35)

dalam waktu yang cukup lama dengan frekuensi yang tinggi, sehingga terjadi mutasi pada mikroorganisme; (2) terjadi akibat mekanisme adaptasi atau penyesuaian aktivitas metabolisme mikroorganisme untuk melawan efek obat; dan (3) bakteri memperkuat dinding sel mikroorganisme sehingga menjadi tidak dapat ditembus (impermeabel) oleh obat dan perubahan sisi perlekatan pada dinding sel. Proses terjadinya mutan yang resistensi terhadap antibiotik dapat terjadi secara cepat (resistensi satu tingkat) dan dapat pula terjadi dalam waktu yang lama (resistensi multi tingkat). Contoh resistensi satu tingkat adalah resistensi pada streptomisin, dan rifampisin; dan contoh resistensi multitingkat adalah resistensi pada penisilin, eritromisin, dan tetrasiklin.23

c. Resistensi episomal. Resistensi episomal disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom (episom = plasmid  di luar kromosom). Beberapa bakteri memiliki faktor R pada plasmidnya yang dapat menular pada bakteri lain yang memiliki kaitan spesies melalui kontak sel secara konjugasi maupun transduksi.23

3. Berdasarkan penyebab klinis terjadinya resistensi terhadap antibiotik

Resistensi terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh keadaan klinis sebagai berikut: (1) Penggunaan antibiotik yang terlalu sering; (2) Penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi; (3) Durasi penggunaan antibiotik terlalu pendek atau lama; dan (4) Penundaan pemberian antibiotik pada pasien dengan penyakit kritis.9,24

2.3 Efek Samping

1. Reaksi Alergi

(36)

alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan kembali penisilin.9 Bentuk reaksi alergi pada penisilin paling sering yaitu reaksi urtikaria pada kulit atau maculopapular rash. Penisilin juga dapat menyebabkan reaksi syok anafilaktik.13

2. Reaksi Toksik

Antibiotik pada umumnya bersifat toksisitas selektif, tetapi sifat ini relatif. Penisilin merupakan golongan antibiotik yang mungkin dianggap paling tidak toksik sampai saat ini. Dalam menimbulkan efek toksik, masing-masing antibiotik dapat menyerang organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Beberapa contoh reaksi toksik penggunaan antibiotik seperti pada golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap Nervus Vestibulokoklear (N.VIII). Golongan tetrasiklin dapat menggangu pertumbuhan jaringan tulang dan gigi akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.9

3. Perubahan Biologik dan Metabolik

Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang meradang, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antibiotik, terutama spektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen.9 Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu peradangan baru yang disebabkan oleh proliferasi mikroba berbeda dari penyebab peradangan primer yang terjadi akibat terapi peradangan primer dengan suatu antibiotik.9,15 Mikroba penyebab superinfeksi biasanya jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhannya akibat penggunaan antibiotik terutama spektrum luas, misalnya penggunaan tetrasiklin dapat menyebabkan kandidiasis.9

(37)

digunakan, melakukan biakan (kultur) mikroba penyebab superinfeksi, dan memberikan suatu antibiotik yang efektif terhadap mikroba tersebut.9

2.4 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, baik indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.25 Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).25,26 Pengetahuan dapat diperoleh secara alami maupun terencana yaitu melalui proses pendidikan.26

Pengetahuan merupakan ranah kognitif yang mempunyai tingkatan, yaitu24,26: 1. Tahu, diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, misalnya mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau terhadap suatu rangsangan tertentu.

2. Memahami, diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi, diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

(38)

5. Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori yang telah ada.

6. Evaluasi, berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada, misalnya dapat membandingkan, menanggapi, menafsirkan, dan sebagainya.

(39)

2.5 Kerangka Teori

Antibiotik

Definisi Prinsip Klasifikasi

Kerja

Aktivitas dan Spektrum

Dosis Resistensi terhadap Antibiotik

Efek Samping Penggunaan

Antibiotik

(40)

2.6 Kerangka Konsep

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah

Mulut

- Definisi dan klasifikasi - Indikasi

- Dosis

- Efek Samping - Resistensi

(41)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei deskriptif, maksudnya adalah suatu penelitian yang tujuan utamanya mendeskripsikan atau menggambarkan tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU Jalan Alumni no. 2 USU, Medan. Alasan peneliti melakukan penelitian di Departemen Bedah Mulut karena peresepan antibiotik banyak diberikan oleh mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut, baik sebagai antibiotik profilaksis dan terapi kasus peradangan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2013 sampai selesai.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU.

3.3.2 Sampel Penelitian

Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total

(42)

seluruh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 sebanyak 50 orang yaitu pada periode 16 September-23 November 2013 berjumlah 12 orang, periode 7 Oktober-14 Desember 2013 berjumlah 12 orang, periode 2 Desember 2013-8 Februari 2014 berjumlah 12 orang, dan periode 6 Januari-15 Maret 2014 berjumlah 16 orang.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 4. Variabel dan Definisi Operasional

No. Variabel Defenisi Operasional

1. Pengetahuan Pengetahuan responden tentang penggunaan antibiotik dalam hal defenisi antibiotik, klasifikasi antibiotik, dosis penggunaan secara empiris, indikasi penggunaan antibiotik, efek samping penggunaan antibiotik, dan resistensi terhadap antibiotik.

2. Definisi Antibiotik

Zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme.

(1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam;

(2) Antibiotik makrolida dan ketolida misalnya eritromisin dan derivatnya, azitromisin, dan sebagainya;

(3) Linkosamida, terdiri atas klindamisin dan linkomisin; (4) Metronidazole;

(5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin;

(7) Golongan kuinolon/fluoro-kuinolon seperti sinoksasin, siprofloksasin, dan sebagainya;

(43)

No. Variabel Defenisi Operasional

Antibiotik yang mempengaruhi pembentukan dinding sel atau permeabilitas yang membunuh mikroorganisme, misalnya: penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (jika digunakan dalam dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain.

Antibiotik yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme, misalnya sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain.

5. Dosis Antibiotik

Jumlah antibiotik yang disarankan.

a. Dosis antibiotik untuk peradangan odontogenik - Amoksisilin = 500 mg/8 jam po

- Amoksisilin-asam klavulanat:

250 mg amoksisilin+125 mg klavulanat/8 jam po 500 mg amoksisilin + 125 mg klavulanat/8 jam po - Klindamisin:

ringan-sedang: 150-300 mg/6 jam po berat: 300-450 mg/6 jam po

- Azitromisin = 500 mg/24 jam po; 3 hari berturut-turut - Siprofloksasin = 500 mg/12 jam po

- Metronidazole = 500mg/8 jam po - Gentamisin = 240 mg/24 jam im atau iv

- Penisilin= 1,2-2,4 juta IU/24 jam im atau 24 juta IU/24 jam iv b. Dosis antibiotik sebagai profilaksis antibiotik untuk pasien dewasa - Amoksisilin = 2 g po; ½-1 jam sebelum

- Ampisilin = 2 g im atau iv; ½ jam sebelum

- Klindamisin = 600 mg po atau iv; ½ atau 1 jam sebelum - Sefaleksin atau sefadroksil = 2 g po; 1 jam sebelum

- Azitromisin atau klaritromisin = 500 mg po oral; 1 jam sebelum - Eritromisin = 500 mg po; 1 jam sebelum

- Sefazolin = 1 g im atau iv; ½ jam sebelum - Seftriakson = 1 g im atau iv; 1 jam sebelum 6. Indikasi

Penggunaan

(44)

No. Variabel Defenisi Operasional

Antibiotik keyakinan bahwa pemberian antibiotik kepada pasien diperlukan pada keadaan tertentu. Keadaan yang memerlukan terapi antibiotik yaitu:

a. Sebagai pengobatan pada kasus peradangan

− Penyakit periodontal : GUNA (gingivitis ulseratif nekrose akut), abses periodontal, localized juvenile periodontitis, periodontitis pada dewasa, dan periodontitis agresif.

− Peradangan oral: peradangan jaringan lunak (abses, selulitis fasial, pasca-bedah, periokoronitis), dan osteomyelitis.

− Peradangan campuran yang tidak sensitif terhadap penisilin: peradangan karena bakteri aerob, dan peradangan karena bakteri anaerob dan kronis.

b. Sebagai profilaksis untuk pasien yang berisiko terhadap peradangan fokal ataupun peradangan lokal

− Pasien dengan penyakit jantung reumatik dan katup jantung buatan − Pasien yang memiliki riwayat endokarditis infektif

− Pasien dengan penyakit jantung bawaan(misalnya penyakit jantung sianotik)

− Penerima cangkok jantung pada penderita valvulopati 7. Efek Samping

Antibiotik

Suatu reaksi yang tidak diharapkan dan berbahaya yang diakibatkan oleh penggunaan antibiotik, yaitu reaksi alergi, reaksi toksik, dan perubahan biologik dan metabolik.

8. Resistensi terhadap Antibiotik

Kemampuan mikroorganisme menjadi kebal atau dapat melawan efek agen antibiotik, baik yang didapat mikroorganisme atau secara alami. Berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi resistensi primer (bawaan), resistensi sekunder (dapatan), dan resistensi episomal. Resistensi dapat terjadi karena:

(1) Penggunaan antibiotik yang terlalu sering; (2) Penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi;

(3) Durasi penggunaan antibiotik terlalu pendek atau lama;

(4) Penundaan pemberian antibiotik pada pasien dengan penyakit kritis.

(45)

3.5 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dan diisi secara langsung oleh responden.

3.6 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual dengan membuat tabulasi dan grafik.

3.7 Hasil Ukur dan Skala Pengukuran

Pengetahuan responden terhadap penggunaan antibiotik diukur dengan kuesioner berjumlah 24 pertanyaan. Jawaban yang benar diberi nilai 1; dan jawaban salah diberi nilai 0. Maka jumlah skor benar untuk seluruh pertanyaan yang diberikan adalah 24. Kemudian jumlah skor setiap responden dihitung dengan rumus:27

� =�/�× 100% P = Persentase

F = Jumlah jawaban yang benar N = Jumlah soal

Karena skala pengukuran yang digunakan adalah skala kategorik, maka hasil persentase skor setiap responden dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 5. Kategorik Nilai Pengetahuan Menurut Irham Mahfoedz (2009)27

Baik Bila responden mampu menjawab dengan benar 76%-100% dari seluruh pertanyaan.

Cukup Bila responden mampu menjawab dengan benar 56%-75% dari seluruh pertanyaan.

(46)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Responden

Dari tabel 6, responden berjumlah 50 orang yang terdiri dari laki-laki orang dan perempuan orang .

Tabel 6. Karakteristik Responden Mahasiswa Kepaniteraan Klinik

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 11 22

Perempuan 39 78

Jumlah 50 100

4.2 Pengetahuan Responden tentang Penggunaan Antibiotik secara Umum

Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU dalam hal definisi antibiotik, klasifikasi antibiotik, dosis antibiotik, indikasi antibiotik, efek samping penggunaan antibiotik, dan resistensi terhadap antibiotik secara umum termasuk kategori baik (76-100%) sebanyak 12%, cukup (56-75%) sebanyak 56%, dan kurang (0-55%) sebanyak 32% (Grafik 1).

Grafik 1. Distribusi Frekuensi tentang Pengetahuan Penggunaan Antibiotik secara Umum

12,0% 56,0%

32,0%

(47)

4.3 Pengetahuan Responden tentang Definisi dan Klasifikasi Antibiotik

Pengetahuan responden tentang definisi dan klasifikasi antibiotik termasuk kategori baik dalam hal definisi antibiotik, definisi bakterisidal, dan definisi bakteriostatik. Sementara dalam hal antibiotik golongan betalaktam dan antibiotik spektrum sempit termasuk kategori cukup. Pengetahuan responden dalam hal antibiotik yang bersifat bakterisidal, antibiotik yang bersifat bakteriostatik, dan antibiotik spektrum luas masih tergolong dalam kategori kurang (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Definisi dan Klasifikasi Antibiotik

Pengetahuan Tahu Tidak Tahu

Jumlah % Jumlah %

Definisi antibiotik 44 88 6 12

Antibiotik golongan betalaktam 33 66 17 34 Definisi antibiotik bersifat bakterisidal 35 70 15 30 Jenis antibiotik yang bersifat bakterisidal 20 40 30 60 Definisi antibiotik bersifat bakteriostatik 39 78 11 22 Jenis antibiotik yang bersifat bakteriostatik 23 46 27 54 Jenis antibiotik spektrum sempit 28 56 22 44 Jenis antibiotik spektrum luas 24 48 26 52

(48)

Grafik 2. Kategori Pengetahuan Responden tentang Definisi dan Klasifikasi Antibiotik

4.4 Pengetahuan Responden tentang Dosis Antibiotik

Pengetahuan responden tentang dosis antibiotik termasuk kategori baik dalam hal dosis amoksisilin untuk peradangan odontogenik, sedangkan pengetahuan responden termasuk kategori cukup dalam hal dosis metronidazole untuk peradangan odontogenik, dosis amoksisilin sebagai profilaksis antibiotik, dan dosis sefadroksil sebagai profilaksis antibiotik (Tabel 8).

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Dosis Antibiotik

Pertanyaan Tahu Tidak Tahu

Jumlah % Jumlah % Dosis amoksisilin untuk kasus peradangan

odontogenik 46 92 4 8

Dosis metronidazole untuk kasus peradangan

odontogenik 30 60 20 40

Dosis amoksisilin sebagai profilaksis

antibiotik 28 56 22 44

Dosis sefadroksil sebagai profilaksis

antibiotik 23 46 27 54

Dalam hal dosis antibiotik, sebanyak 10% responden termasuk kategori berpengetahuan baik, 48% responden termasuk kategori berpengetahuan cukup, dan 42% responden termasuk kategori berpengetahuan kurang (Grafik 3).

18,0%

44,0% 38,0%

(49)

Grafik 3. Kategori Pengetahuan Responden tentang Dosis Antibiotik

4.5 Pengetahuan Responden tentang Indikasi Penggunaan Antibiotik

Pengetahuan responden tentang indikasi penggunaan antibiotik dalam hal tujuan penggunaan antibiotik dan indikasi antibiotik pada abses periodontal termasuk kategori baik. Sedangkan pengetahuan responden dalam hal indikasi antibiotik untuk infekesi odontogenik dan indikasi antibiotik sebagai profilaksis termasuk dalam kategori cukup (Tabel 9).

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Indikasi Penggunaan Antibiotik

Pengetahuan Tahu Tidak Tahu

Jumlah % Jumlah %

Tujuan penggunaan antibiotik 43 86 7 14

Indikasi antibiotik untuk peradangan

odontogenik 37 74 13 26

Indikasi antibiotik pada abses periodontal 40 80 10 20 Indikasi antibiotik sebagai profilaksis 23 46 27 54

Hasil penelitian tentang pengetahuan penggunaan antibiotik dalam hal indikasi penggunaan antibiotik, didapati hasil tertinggi sebanyak 44% responden memiliki pengetahuan yang termasuk dalam kategori cukup. Sedangkan 26% responden termasuk ke dalam kategori baik dan 30% responden termasuk ke dalam kategori kurang (Grafik 4).

10,0% 48,0%

42,0%

(50)

Grafik 4. Kategori Pengetahuan Responden tentang Indikasi Penggunaan Antibiotik

4.6 Pengetahuan Responden tentang Efek Samping Penggunaan

Antibiotik

Pengetahuan responden tentang efek samping penggunaan antibiotik dalam hal jenis efek samping antibiotik termasuk ke dalam kategori baik dan dalam hal efek samping penggunaan penisilin termasuk ke dalam kategori cukup. Sedangkan pengetahuan responden dalam hal antibiotik yang paling tidak toksik dan penyebab superinfeksi termasuk ke dalam kategori rendah (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Efek Samping Penggunaan Antibioti

Pertanyaan Tahu Tidak Tahu

Jumlah % Jumlah %

Jenis efek samping antibiotik 39 78 11 22

Efek samping penggunaan penisilin 39 78 11 22 Antibiotik yang paling tidak toksik 21 42 29 58

Penyebab superinfeksi 20 40 30 60

Dari hasil penelitian tentang pengetahuan responden dalam hal efek samping penggunaan antibiotik, hanya 8% responden yang memiliki pengetahuan dalam kategori baik sementara 38% responden termasuk ke dalam kategori cukup dan 54% responden termasuk ke dalam kategori kurang (Grafik 5).

26,0%

44,0% 30,0%

(51)

Grafik 5. Kategori Pengetahuan Responden tentang Efek Samping Penggunaan Antibiotik

4.7 Pengetahuan Responden tentang Resistensi terhadap Antibiotik

Pengetahuan responden tentang definisi resistensi terhadap antibiotik dan penyebab klinis resistensi terhadap antibiotik termasuk kategori cukup. Sedangkan pengetahuan responden tentang klasifikasi resistensi terhadap antibiotik dan penyebab resistensi terhadap antibiotik masih termasuk kategori kurang (Tabel 11).

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Resistensi terhadap Antibiotik

Pengetahuan Tahu Tidak Tahu

Jumlah % Jumlah % Definisi resistensi terhadap antibiotik 43 86 7 14 Klasifikasi resistensi terhadap antibiotik 25 50 25 50 Penyebab resistensi terhadap antibiotik 26 52 24 48 Penyebab klinis resistensi terhadap antibiotik 40 80 10 20

Hasil penelitian tentang pengetahuan resistensi terhadap antibiotik didapati persentase tertinggi pada kategori cukup yaitu 42%, sedangkan 14% responden termasuk kategori berpengetahuan baik, dan 44% responden termasuk kategori berpengetahuan kurang (Grafik 6).

8,0%

38,0% 54,0%

(52)

Grafik 6. Kategori Pengetahuan Responden tentang Resistensi terhadap Antibiotik

14,0% 42,0%

44,0%

(53)

BAB 5

PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014 menunjukkan bahwa secara umum responden memiliki pengetahuan kategori cukup dalam hal definisi antibiotik, klasifikasi antibiotik, dosis antibiotik, indikasi antibiotik, efek samping penggunaan antibiotik, dan resistensi terhadap antibiotik yaitu sebanyak 56%. Namun, hanya terdapat 12% responden yang memiliki pengetahuan kategori baik, sedangkan 32% masih memiliki pengetahuan kategori kurang. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan Palmer et al tentang pengetahuan antibiotik pada 1544 dokter gigi di Inggris dan 672 dokter gigi di Skotlandia menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki pemahaman yang kurang tentang penggunaan antibiotik dalam praktek kedokteran gigi. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena adanya perbedaan responden, dimana pada penelitian ini menggunakan mahasiswa kepaniteraan klinik sebagai responden sedangkan penelitain Palmer et al menggunakan dokter gigi dengan rentang usia 21-61 tahun. Sebagian besar responden menyatakan masih kurang memahami tentang materi farmakologi terutama tentang antibiotik walaupun materi ini sudah diajarkan sejak responden masih di masa perkuliahan.

(54)

antibiotik golongan betalaktam, definisi antibiotik yang bersifat bakterisidal, dan definisi antibiotik yang berifat bakteriostatik.

Dari empat pertanyaan yang diajukan kepada responden dalam hal dosis antibiotik, hampir semua responden (92%) mengetahui dosis penggunaan amoksisilin dalam mengatasi kasus peradangan odontogenik. Jumlah responden yang mengetahui dalam hal ini cukup banyak, karena amoksisilin merupakan jenis antibiotik yang digunakan di klinik sebagai premedikasi dan pasca pencabutan tanpa komplikasi. Hasil penelitian Akram et.al. di Malaysia yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi tingkat akhir tentang contoh pengobatan pada pulpitis bahwa amoksisilin merupakan jenis antibiotik yang paling umum diresepkan (57,7%) dan disusul oleh metronidazol (40,4%). Sementara jenis antibiotik lain hanya 1,9%.5 Amoksisilin yang merupakan golongan antibiotik betalaktam diabsorbsi lebih baik, frekuensi dosis yang lebih sedikit (3 kali sehari bila dibandingkan dengan ampisilin dan penisilin V yang 4 kali sehari), dan penyerapannya tidak dihalangi oleh makanan.15 Namun, tidak demikian dengan pertanyaan lain yaitu dosis metronidazol untuk kasus peradangan, dosis amoksisilin sebagai profilaksis antibiotik dan dosis sefadroksil sebagai profilaksis antibiotik dengan jumlah responden yang mengetahui masing-masing adalah 60%, 56%, dan 48%. Metronidazole bekerja dengan mengganggu DNA bakteri anaerob gram negatif sehingga menghambat sintesis asam nukleat.13,16 Oleh karena itu, metronidazol sering digunakan dalam perawatan peradangan yang disebabkan bakteri anaerob. Al-Haroni dan Skaug di Norwegia telah meneliti tentang penggunaan fenoksimetilpenisilin, spiramisin dan metronidazole yang tinggi (≥13,2%) dengan total peresepan 268.834 resep.4 Amoksisilin merupakan profilaksis antibiotik yang paling disarankan oleh AHA, namun jika pasien alergi terhadap golongan penisilin atau ampisilin ataupun pasien yang tidak dapat diberikan per oral, maka dapat diberikan golongan sefalosporin, seperti sefazolin, seftriakson, sefadroksil, ataupun klindamisin, dan azitromisin.22

(55)

jumlah mahasiswa yang memiliki pengetahuan kategori baik dalam hal dosis antibiotik disebabkan karena mahasiswa kurang memahami materi terutama tentang profilaksis antibiotik yang sudah pernah diajarkan sebelumnya.

Hasil penelitian tentang pengetahuan penggunaan antibiotik dalam hal tujuan penggunaan antibiotik menunjukkan 86% responden mengetahui bahwa tujuan utama penggunaan antibiotik adalah sebagai pengobatan kasus peradangan dan sebagai profilaksis. Hal ini tergolong baik karena sebagai mahasiswa kepaniteraan klinik, responden harus sudah mengetahui tujuan utama pemberian antibiotik kepada pasien. Namun masih terdapat responden yang menggunakan antibiotik dengan tujuan hanya sebagai penatalaksanaan peradangan saja. Sebanyak 74% responden mengetahui indikasi antibiotik untuk peradangan odontogenik, 80% responden mengetahui indikasi antibiotik pada abses periodontal, dan 46% responden cukup mengetahui tentang indikasi antibiotik sebagai profilaksis. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ahmadi-Motamayel et al tentang pengetahuan mahasiswa tingkat akhir dan dokter gigi di Iran mengenai profilaksis endokarditis infektif yaitu secara berturut-turut 65% dan 56%. Pada penelitian Ahmadi-Motamayel et al, mahasiswa memiliki pengetahuan lebih baik daripada dokter gigi karena sebanyak 93% mahasiswa dan hanya 56% dokter gigi menggunakan buku sebagai sumber informasi.8 Dokter gigi dan mahasiswa di Iran tersebut mengetahui bahwa pasien dengan riwayat infektif endokarditis dan menggunakan katup jantung buatan merupakan kasus yang memerlukan profilaksis antibiotik.8 Sebagian besar responden memiliki pengetahuan kategori cukup dalam hal indikasi penggunaan antibiotik yaitu sebanyak 44% dan sebanyak 26% termasuk pengetahuan kategori baik. Masih terdapat 30% responden yang memiliki pengetahuan kategori kurang tentang indikasi penggunaan antibiotik dikarenakan mahasiswa belum pernah mengerjakan pasien dengan kompromis medis yang membutuhkan profilaksis antibiotik. Selain itu sebagian besar responden juga kurang paham tentang materi profilaksis antibiotik.

(56)

diakibatkan oleh penggunaan antibiotik. Dari tiga jenis efek samping, yang paling sering muncul adalah reaksi alergi. Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh. Reaksi urtikaria pada kulit yang paling sering muncul akibat alergi terhadap penisilin.9,13 Jumlah responden yang mengetahui efek samping penggunaan penisilin sebanyak 78%. Jumlah responden yang mengetahui tentang antibiotik yang paling tidak toksik masih tergolong sedikit yaitu 42%. Responden yang tidak menjawab antibiotik yang paling tidak toksik adalah penisilin, banyak memilih golongan aminoglikosida dan hanya sedikit memilih tetrasiklin. Padahal golongan aminoglikosida bersifat toksik terutama terhadap Nervus Vestibulokoklear (N.VIII), sedangkan tetrasiklin bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan wanita hamil, dan dapat mengganggu pertumbuhan tulang dan gigi.9 Responden yang mengetahui tentang superinfeksi masih tergolong kurang yaitu 40%. Responden menyatakan belum pernah membaca bahwa penggunaan antibiotik dapat menyebabkan superinfeksi. Beberapa responden mengetahui superinfeksi tetapi tidak mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya infeksi baru tersebut. Sebagai mahasiswa kepaniteraan, responden harus mengetahui jenis antibiotik dan efek samping yang dapat ditimbulkannya.

(57)
(58)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 tentang penggunaan antibiotik secara umum termasuk kategori cukup yaitu 56%.

2. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 dalam hal definisi dan klasifikasi antibiotik termasuk kategori cukup yaitu 44%.

3. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 dalam hal dosis antibiotik termasuk kategori cukup yaitu 48%.

4. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 dalam hal indikasi penggunaan antibiotik termasuk kategori cukup yaitu 44%.

5. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 dalam hal efek samping penggunaan antibiotik termasuk kategori kurang yaitu 54%.

6. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013 – Maret 2014 dalam hal resistensi terhadap antibiotik termasuk kategori kurang yaitu 44%.

(59)

6.2 Saran

1. Diharapkan kepada Departemen untuk menekankan teori tentang penggunaan antibiotik terutama di bidang kedokteran gigi terhadap mahasiswa kepaniteraan klinik.

2. Diharapkan kepada Departemen untuk memberikan himbauan kepada mahasiswa kepaniteraan klinik yang akan memasuki klinik tentang pentingnya pengetahuan tentang penggunaan antibiotik dan mahasiswa diminta untuk sering mengulangi materi tentang antibiotik.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

1. Utami ER. Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi. Saintis 2012: 1 (1): 124-38.

2. Roda RP, Bagán JV, Bielsa JMS, Pastor EC. Antibiotic use in dental practice. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2007; 12: E186-92.

3. Dar-Odeh NS, Abu-Hammad OA, Al-Omiri MK, et al. Antibiotic prescribing practices by dentist: a review. Therapeutics and Clinical Risk Management 2010; 6: 301-2.

4. Al-Haroni M, Skaug N. Incidence of antibiotic prescribing in dental practice in Norway and its contribution to national consumption. J Antimicrob Chemotherapy 2007; 59: 1161.

5. Akram A, Mohamad N, Salam A, et al. Perception of final year dental students on pattern of medication for pulpitis. Dentistry 2012; S8: 1-3.

6. Sundarajah DR, Chong JKH, Lim KLH. Antibiotic and analgesic prescribing practice in the Klinik Rawatan Utama and Departemen of Oral Maxillofacial Surgery, Faculty of Dentistry, Universiti Kebangsaan Malaysia (retrospective and prospective studies). Malay Dent J 2003; 24 (1): 42.

7. Palmer NOA, Martin MV, Pealing R, et al. Antibiotic prescribing knowledge of National Health Service general dental practitioners in England and Scotland. J Antimicrob Chemother 2001; 47: 233-7.

8. Ahmadi-Motamayel F, Vaziri S, Roshanaei G. Knowledge of general dentists and senior dental students in iran about prevention of infective endocarditis. Chonnam Med J 2012;48:15-20.

9. Setiabudy R. Antimikroba. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2009: 585-9.

10. Mutschler E. Dinamika obat. Ed 5. Alih Bahasa. Widianto MB, Ranti AS Bandung: Penerbit ITB, 1991: 608-56.

(61)

12. Olson J. Belajar mudah farmakologi. Alih bahasa. Chandranata L. Jakarta: EGC, 1995: 127, 138.

13. Yagiela JA, Dowd FJ, Johnson BS, et al. Pharmacology and theraupetic for dentistry. 6th ed. Missouri: Elsevier, 2011: 604-33.

14. Istiantoro YH, Gan VHS. Penisilin, sefalosporin, dan antibiotik betalaktam lainnya. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2009: 664-85.

15. Haveles EB. Applied pharmacology for the dental hygienist. 5th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2007: 123-35.

16. Gregoire C. How are odontogenic infections best managed?. J Can Dent Assoc 2010; 76 (2): 114-6.

17. Setiabudy R. Antimikroba lain. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2009: 723, 726.

18. Setiabudy R. Golongan kuinolon dan fluorokuinolon. Dalam: Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2009: 718.

19. Hauser AR. Antibiotic basic for clinicians. Philadelphia: Lippincott, 2008: 257-61.

20. Pramudianto A, Evaria, eds. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed 11. Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2011: 181-244.

21. Ulbricht C, Seamon E. Mosby’s dental drug. 8th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2008: 23-5.

22. Heart Association. Prevention of infective (bacterial) endocarditis. 2008.

www.heart.orgidcgroupsheart-public@wcm@hcmdocumentsdownloadableucm_307684.pdf. (27 Januari 2014).

23. Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008: 165-8. 24. Dryden M, Johnson AP, Ashiru-Oredope D, Sharland M. Using antibiotics

Gambar

Tabel
Tabel 1. Dosis antibiotik yang umum digunakan untuk kasus peradangan odontogenik pada pasien dewasa 2, 16, 19-21
Tabel 2. Dosis profilaksis antibiotik pada endokarditis bakterial pada prosedur oral 2, 21, 22
Tabel 3. Indikasi penggunaan antibiotik di kedokteran gigi 15, 21, 22
+7

Referensi

Dokumen terkait

4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 83 ayat 1 huruf h, yang berbunyi:. “K elompok

[r]

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

​ Conclusion: ​ Obesity and prolonged shock were risk factors of dengue hemorrhagic fever death in children.. Improve education to parents about high risk of shock syndrome

Khusus program kemitraan pupuk sinergi, Dewan Komisaris memberikan arahan agar fokus penyaluran pinjaman ditujukan pada sektor yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari total 5 sampel feses yang sudah dinyatakan positif sebelumnya oleh instalasi laboratorium klinik yang kemudian diuji

[r]

Tingginya mobilitas di kota-kota besar, seperti Jakarta dan keterbatasan waktu belajar di ruang kelas yang dimiliki oleh Mahasiswa maupun Pengajar menyebabkan Mahasiswa