• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis konflik pemanfaatan lahan wilayah pesisir (studi kasus pantai utara Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis konflik pemanfaatan lahan wilayah pesisir (studi kasus pantai utara Jakarta)"

Copied!
688
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KONFLIK

P E W F A A T A N LAHAN WILAYAH PESISIR

(STUD1 KASUS PANTAI UTARA JAKARTA)

Oleh

:

RUDIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

RUDIANTO. Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pantai Utara Jakarta). Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN sebagai ketua dan DANIEL MONINTJA dan AKHMAD FAUZI sebagai anggota.

Penelitian ini dimotivasi oleh pertanyaan yang tidak pernah berakhir mengenai konflik pemanfaatan lahan wilayah pesisir khususnya di Indonesia dan umumnya negara-negara berkembang. Squatter yang merupakan kelompok masyarakat yang tinggal didaerah kumuh, pada umumnya mendapatkan tekanan psikologi seperti intimidasi, teror, kekerasan, penculikan, penggusuran dan jarang terjadi penyelesaian terbaik dari pihak-pihak yang terkait untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan lahan. Hasilnya baik Squatter maupun pemilik lahan tidak mendapatkan manfaat sama sekali dan mereka mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi untuk memaksakan kepentingannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat menurunkan produktivitas ekonominya dan irnplikasinya adalah lunerja ekonomi kawasan pesisir menunm.

Alasan mengapa Squatter tertarik bertempat tinggal di kawasan pesisir Jakara Utara, karena harga sebidang lahan yang murah dan mudah mendapatkan mata pencaharian sebagai nelayan atau petani tambak. Alasan lainnya meliputi: (1) lokasi dekat dengan sumber daya perikanan; ( 2 ) kebutuhan tinggi terhadap tenaga buruh kasar; (3) jarak yang dekat antara rumah dan tempat pekerjaan; (4) sangat rendah biaya transportasi; ( 5 ) kebanggaan tinggal di Jakarta sebagai ibukota negara. Daya tarik kawasan pesisir Jakarta Utara bagi Squatter karena: ( I ) hak milik lahan tidak j elas batas-batasnya; ( 2 ) banyak lahan tidak bersertifikat; (3) pemindahan kepemilikan antar Squatter; ( 4 ) banyak lahan belum digarap; ( 5 ) perubahan kepemilikan lahan dari kepemilikan urnum ke pemilikan pribadi. Dengan mempertimbangkan karakteristik dari status hukum lahan kawasan pesisir yang tidak jelas, Squatter mempunyai kesempatan menyerobot lahan secara illegal dengan berbagai macam cara:

( I ) membayar lahan kepada pemilik lama di bawah harga pasar; ( 2 ) membayar uang

kepada preman; ( 3 ) mendirikan rurnah tanpa ijin. Squatter menyerobot lahan kawasan pesisir pada kawasan-kawasan sungai, rawa, lahan yang belum dimanfaatkan, lahan sepanjang jalan kereta api, lahan reklamasi, lahan konservasi, dan lahan sepanjang "Jetty".

Untuk menyelesaikan konflik lahan tersebut diperlukan pendekatan ekonomi dengan asumsi bahwa konflik adalah sebuah konsep. Sebagai sebuah konsep konflik dapat diukur dengan menggunakan variabel ekonomi yaitu manfaat (benejit) dan biaya

(cost) yang hams diperhatikan dalam penilaian sumber daya alam yaitu nilai yang mempunyai manfaat langsung (use value) dan nilai yang tidak secara langsung bermanfaat (non use value). Semua nilai tersebut dhitung sebagai Total Economic Value (TEV) dan menjumlahkan use value dan non use value. GAMS (General Algebraic Modeling System) digunakan menghitung nilai rente lahan. Hasilnya ada lahan perlu dipertahankan, perlu diperluas, dan perlu ditambah Squatternya. Kawasan yang perlu mengeluarkan sebagian squatter nya meliputi Kapuk Muara, Penjaringan, Pluit I, Ancol, Tanjung Priok dan Tugu Selatan Kawasan dipertimbangkan ditambah

squatter meliputi: Pluit 11, Kali Baru, Marunda, Kamal Muara dan Cilincing. Berdasarkan analisis GAMS, persamaan regresi dan game theory diperoleh program resolusi konflik yaitu: ( 1 ) program pulang kampung; ( 2 ) program pemberdayaan

squatter; ( 3 ) program konsolidasi lahan; ( 4 ) program pembangunan rumah susun. Program resolusi tersebut akan memberikan manfaat kepada squatter untuk mencapai rasa aman, bahagia, dan meningkatkan pendapatannya.

(3)

ABSTRACT

RUDIANTO. Conflict analysis of landuse in coastal area (case study in coastal north Jakarta). Supervised by DIETRIECH G. BENGEN as chairman with DANIEL MONINTJA and AKHMAD FAUZI as members.

This Research was motivated by a never-ending question, which arises in coastal land use conflict especially in Indonesia, and generally in the Developing Countries. Squatters, a group of people living in the slum area, generally received many physiology stress like intimidation, terror, violence, kidnapping, force Squatter to move coming from the land owner and hardly meet the best solution among parties involved how to solve coastal land conflict problems. Its results both Squatters and landowner have no benefits at all and they spend extremely costly to force their each interest. Such condition could decrease their economic productivity. As a consequence the economic performance of coastal area is becoming declining.

The reason why squatters interested living in North Jakarta Coastal Area is because of the low price a piece of land and easy to earn a living as fishermen or fishpond farmer. Other reason related include: (1) closed proximity to the fishery resources; (2) high demand for unskilled labors;(3) close distance between house and work location; (4) low transportation cost; and (5) high pride living in Jakarta as capital city. The attractiveness of North Jakarta coastal area for Squatters are due to the following: (1) no clear boundaries of land's property right; (2) many of lands uncertified; (3) transfer of ownership among Squatters; (4) many of land unexplored; (5) changing of land use ownership from public to private. By considering the unclear characteristics of juridical status of coastal land, Squatter has many opportunities to occupy the land illegally with the various following ways: (1) rent the land to the old residents under market price; (2) pay money for civilian; (3) build houses without permission. Squatter occupied Coastal land could be found in river area, swamp, unutilized land either government or private, land along the railway, reclamation land, conservation land and land along "Jetty" area.

To solve the coastal land conflicts, an economics approach is needed with assumption that conflict is a concept. As a concept, conflict could be measured by using economic variables called benefits and costs to be taken into account in natural resources. Natural resources in coastal area have two values. They are use value and non-use value. All values will be calculated as Total Economic Value (TEV) which sum a use value and non-use value. GAMS (General Algebraic Modeling Sysstem) was used to calculated the value of land rents. The result of such running model produce: the land should be maintained, should be expanded and should be added of squatters. The region considered to move out of its squatter covers Kapuk Muara, Penjaringan, Pluit I, Ancol, Priok, Tugu Selatan. Whereas the region considered moving in Squatters covers Pluit 11, Kali Baru, Marunda, Kamal Muara and Cilincing. Based on GAMS analysis, regression equations and game theory, it is prepared resolution conflict program consists of (1) back to village program; (2) Squatter empowerment program; (3) Land consolidation program and; (4) Flat housing program. Such resolution program will contribute benefit to the existence of squatter, in order to achieve safety, happiness, and increasing their income.

(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pantai

Utara Jakarta)

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

(5)

ANALISIS KONFLIK

PEMANFMTAN LAHAN WILAYAH PESISIR

(STUD1 KASUS PANTAI UTARA JAKARTA)

Oleh

:

RUDIANTO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH

PASCASARJANA

(6)

Judul Disertasi

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

: ANALISIS KONFLIK PEMANFAATAN

LAHAN WILAYAH PESISIR (Studi Kasus Pantai Utara Jakarta)

: Rudianto

: SPL.995119

: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

Prof. ~ r . Ir. Dietriech G. ~ e n g e d DEA Ketua

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintia

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi

0

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 15 Juli 1957 sebagai anak kedua dari Bapak Sersan Mayor (Purn.) Supangat Adenan, BA. (alm.) dan Ibu Supiah. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMPP Negeri Lawang pada tahun 1976 dan melanjutkan Sekolah Strata I di Fakultas Geografi Jurusan Hidrologi, Universitas Gajahmada Yogyakarta (UGM) dan selesai pada tahun 1982. Pada tahun 1991 penulis melanjutkan kuliah Program Master (Strata 2) pada Institute Of Social Studies (ISS) Den Haag - Negeri Belanda dan selesai pada tahun 1992. Selanjutnya penulis mengikuti studi pada Program Doktor (Strata 3) pada Program Perencanaan Wilayah dan Desa (PWD) IPB, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 dan selanjutnya pindah jurusan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan (SPL) IPB pada tahun 2000.

Pada tahun 1982, setelah penulis menyelesaikan studi S 1, penulis bekerja pada Stasiun Penelitian Kelautan - LIPI di Ambon, kemudian bekerja di BAPPENAS pada Deputi Sosial Budaya di Biro Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Setelah itu penulis bekerja di Direktorat Bina Program Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum selama lebih kurang 15 tahun. Pada tahun 1997 - 1998 penulis ditunjuk sebagai Kepala Seksi Bilateral Direktorat Bina Program Ditjen Cipta Karya. Pada tahun 1998-1999 penulis ditunjuk menjadi Kepala Seksi Evaluasi Bantuan Luar Negeri Direktorat Bina Program Ditjen Cipta Karya. Pada tahun 1999 penulis pindah bekerja di Lingkungan Pemerintah Kota Depok dan berturut-turut pernah menduduki jabatan Kepala Bidang Fisik dan Prasarana pada Bappeda Kota Depok tahun 1999 - 2000, kemudian menjabat Kepala Bidang Statistik dan Pelaporan Bappeda Kota Depok tahun 2000 - 200 1. Menjabat sebagai Kepala Sub Dinas Bina Marga Dinas PU Kota Depok merangkap PLH Kepala Dinas PU Kota Depok th 2001 - 2002. Kemudian ditunjuk menjabat Kepala Sub Dinas Mobilitas Penduduk pada Dinas Kependudukan Kota Depok pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis pindah kerja ke Pemerintah Kota Batu dan ditunjuk sebagai Kepala Bidang Irigasi pada Dinas Sumberdaya Air dan Energi Kota Batu dari tahun 2003 - sekarang.

Penulis menikah dengan Ir. Dwi Meinita Dewi Irawati pada tahun 1986 dan telah dikaruniai satu orang putra yaitu Lutfi Hidayat yang lahir di Jakarta pada tahun 1997.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah, wassyukurillah, disertasi yang berjudul "Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pantai Utara Jakarta)" telah selesai disusun berdasarkan hasil penelitian selama kurang lebih 6 bulan.. Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT yang telah melimpahkan semua karunia dan nikrnat-Nya kepada penulis, sehingga penulis telah berhasil menulis disertasi ini sehingga apa yang diharapkan oleh penulis dapat tercapai dengan hasil yang maksimal.

Pertama-tama penulis ingin sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada guru saya, sahabat saya Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc. atas segala bantuan dan bimbingan serta dorongan semangat selama penyusunan disertasi ini. Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc. telah memberikan motivasi baik yang bersifat substansi akademis maupun yang bersifat moral. Penulis tidak menyangka bahwa hasil yang telah dicapai dalam disertasi ini telah memberikan surnbangsih yang besar kepada dunia ilmu pengetahuan dengan diimplementasikannya teori-teori yang telah diajarkan oleh beliau seperti model GAMS (General Algebralic Modelling Systems), Game Theory yang menghasilkan temuan baru baik ditinjau

dari

segi akademik maupun dari segi kebijakan publik. Ucapan terima kasih yang tidak ternilai juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. selaku ketua komisi pembimbing yang dengan tekun dan sabar senantiasa memberikan dorongan dan masukan yang tak ternilai terhadap aspek substansi disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan sumbangan pemiluran dan pengayaan materi penelitian ini sehingga materi disertasi mencapai kualitas yang diharapkan.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Walikota Depok yang telah memberikan ijin secara prosedur birokrasi selama penulis mengikuti perkuliahan dan melakukan penelitian lapangan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Drs. H. Muhammad Imam Kabul, M.Si., Walikota Batu yang telah memberikan ijin kepada penulis selama berlangsungnya beberapa kali sidang komisi, seminar, ujian tertutup sampai dengan ujian terbuka serta dorongan semangat untuk segera menyelesaikan disertasi ini.

Pengorbanan yang luar biasa dari istri penulis tercinta Ir. Hj. Dwi Meinita Dewi Irawati yang telah dengan penuh kesabaran dan penuh pengertian senantiasa mendampingi penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB. Istri penulis telah banyak memberikan inspirasi dan motivasi yang tidak ternilai harganya dalam kehidupan penulis sehingga apa yang menjadi cita-cita penulis dapat terealisasi. Anakku Luthfi Hidayat juga telah memberikan semangat dan dorongan yang tak ternilai harganya. Kepada Bapakku Supangat Adenan, BA. (Alm.) penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingannya selama ini, juga kepada Ibuku Supiah dan Ibuku Umiyati penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Kepada adikku Satriyo Hutomo dan Murdianto penulis ucapkan terima kasih.

(9)

PRAKATA

Penelitian ini didasarkan kepada bentuk keprihatinan penulis terhadap persoalan Squatter di negara dunia ketiga pada umurnnya dan Indonesia pada khususnya. Persoalan Squatter dari jaman ke jarnan senantiasa menjadi isu sentral dan belum diketemukan kebijakan penanganannya secara tepat. Berangkat dari masalah ini penulis mencoba melakukan penelitian mengenai Squatter untuk menemukan bentuk resolusi yang tepat untuk menangani Squatter. Akar permasalahan Squatter terletak kepada konflik pemanfaatan lahan dengan pemilik lahan yang sah. Untuk lebih memfokuskan masalah Squatter ini, penulis melakukan penelitian mengenai konflik pemanfaatan lahan di kawasan pesisir di pantai utara Jakarta.

Syukur Allhamdulillah, kami panjatkan kepada Allah SWT bahwa atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penelitian ini dan menemukan sebuah kerangka pikir yang lebih komprehensif tentang bagaimana mengatasi sebuah persoalan interaksi sosial dengan menggunakan analisis ekonomi. Solusi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat merubah paradigma pengambil keputusan tentang bagaimana menangani persoalan Squatter di kawasan pesisir Jakarta Utara. Hasil penelitian ini merupakan implementasi dari analisis ekonomi terhadap permasalahan interaksi sosial yang dalam studi-studi empiris masih sangat langka. Penelitian ini dharapkan dapat juga memberikan nuansa berfikir baru dan masukan kebijakan yang lebih komprehensif dalam menangani Squatter yang lebih manusiawi, tanpa penggusuran, dan memberikan suasana win-win antara Squatter dan pemilik lahan. Penulis menyadari bahwa resolusi konflik tersebut masih memerlukan pembuktian di lapangan, namun dengan hasil analisis di dalam Qsertasi ini yang dapat menyajikan beberapa informasi penting dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan pimpinan wilayah DKI dalam menangani persoalan Squatter.

Akhirnya penulis berharap bahwa dengan penelitian ini diperoleh informasi penting dan masukan kebijakan yang komprehensif dan menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan konflik pemanfaatan lahan di kawasan pesisir. Penulis menyadari bahwa penyelesaian sebuah konflik sangat tidak mudah diselesaikan mengingat banyaknya kepentingan yang terkait baik yang berupa kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan budaya. Namun demikian berangkat dari semangat untuk kebersamaan dan keselarasan pandang dari pelbagai pihak yang terkait dengan berbasis kepada untuk "kepentingan bersama" Insya Allah masalah konflik dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.

Bogor, Maret 2004

(10)

DAFTAR IS1

Halaman PRAKATA ... 1

. . DAFTAR IS1 ... 11

DAFTAR TABEL ... v ...

DAFTAR GAMBAR x

...

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1

.

PENDAHULUAN ... 1 ...

1.1 Latar Belakang 1

...

1.2 Perumusan Masalah . . 4

...

1.3 Tujuan Penelltian 9

...

1.4 Hipotesis Penelitian 9

...

1.5 Manfaat Penelitian 9

2

.

LANDASAN TEORI ...

2.1 Nilai Pemanfaatan Lahan ...

2.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan ...

2.1.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Amerika ... ... 2.1.1.2 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Jepang

2.1 . 1.3 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Eropa ... 2.1.1.4 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Indonesia ...

...

2.1.2 Rente Lahan

...

2.2 Wilayah dan Lahan Pesisir

2.2.1 Definisi Wilayah Pesisir ... 2.2.2 Karakteristik Wilayah Pesisir ...

... 2.2.3 Lahan Wilayah Pesisir

2.3 Kajian Literatur Tentang Pemanfaatan Lahan ... ... 2.4 Konflik Pemanfaatan Lahan

2.4.1 Konflik Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Ekonomi ... 2.4.1 . 1 Efisiensi ... 2.4.1.2 Alokasi dan Distribusi ... 2.4.2 Konflik Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap

... Aspek Ruang (Spasial)

2.4.3 Konflik Pemanfaatan Lahan Yang berpengaruh Terhadap ... Aspek Sosial

2.4.4 Konfli k Pemanfaatan Lahan Yang Berpengaruh Terhadap Aspek Geo-Politik ...

2.5 Konflik Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir ...

2.6 Resolusi Konflik ...

2.6.1 Teori Permainan (Game Theory) ... ...

(11)

...

2.6.3 Kebijakan Publik Pemanfaatan Lahan

...

2.6.3.1 Redistribusi Lahan

...

2.6.3.2 Institusi Ekonomi

3

.

METODOLOGI ... 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah ...

. .

...

3.2 Ruang Lingkup Penelitlan

... 3.3 Waktu Penelitian

...

3.4 Perolehan Data

... 3.5 Teknik dan Analisis Data

... 3.6 Skenario Modeling

...

4

.

KEADAAN UMUM

...

4.1 Sejarah Terbentuknya Kotamadya Jakarta Utara

... 4.1.1 Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok

... 4.1.2 Sejarah Pola Pemukiman Kawasan Pesisir Jakarta Utara

... 4.1.3 Sejarah Wilayah Pesisir Jakarta Utara Dari Segi Fisik

... 4.2 Kondisi Fisik dan Geografis Wilayah Jakarta Utara

... 4.3 Penduduk dan Ketenagakerjaan

4.3.1 Penduduk ... ... 4.3.2 Distribusi Penduduk

...

4.3.3 Ketenagakerjaan

... 4.3.4 Pengangguran

... 4.4 Sosial Budaya

...

4.4.1 Pendidikan

... 4.4.2 Kesehatan

...

4.4.3 Agama

...

4.5 Perekonomian

... 4.5.1 Umum

...

4.5.2 Perturnbuhan Ekonomi

... 4.5.3 Pendapatan Per Kapita

...

4.5.4 Tingkat Inflasi

... 4.5.5 Sarana Perekonomian

...

4.6 Kondisi Daerah Penelitian

... 4.6.1 Obyek Penelitian

...

4.6.2 Lokasi Penelitian

... 4.6.3 Gambaran Squatters di Kecamatan Penjaringan

... 4.6.4 Gambaran Squatters Kecamatan Pademangan

...

4.6.5 Gambaran Squatters Kecamatan Tanjung Priok

... 4.6.6 Gambaran Squatters Kecamatan Koja

4.6.7 Gambaran Squatters Kecamatan Cilincing ... 5

.

HASIL DAN PEMBAHASAN ...

5.1 Kondisi Perekonomian Jakarta Utara ... 5.1.1 Pertumbuhan Ekonomi ...

5.1.1.1 Tingkat Pengangguran ... ... 5.1.1.2 Rata-rata Indeks Harga Konsumen

... 5.1 . 1.3 Produksi Lahan

(12)

... 2.6.3 Kebijakan Publik Pemanfaatan Lahan

... 2.6.3.1 Redistribusi Lahan

...

2.6.3.2 Institusi Ekonomi

3

.

METODOLOGI ...

3.1 Kerangka Pemecahan Masalah ... ...

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

... 3.3 Waktu Penelitian

...

3.4 Perolehan Data

... 3.5 Teknik dan Analisis Data

... 3.6 Skenario Modeling

... 4

.

KEADAAN UMUM

... 4.1 Sejarah Terbentuknya Kotamadya Jakarta Utara

4.1.1 Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok ...

... 4.1.2 Sej arah Pola Perrnukiman Kawasan Pesisir Jakarta Utara

... 4.1.3 Sejarah Wilayah Pesisir Jakarta Utara Dari Segi Fisik

... 4.2 Kondisi Fisik dan Geografis Wilayah Jakarta Utara

... 4.3 Penduduk dan Ketenagakerj aan

...

4.3.1 Penduduk

... 4.3.2 Distribusi Penduduk

...

4.3.3 Ketenagakerjaan

4.3.4 Pengangguran ... ... 4.4 Sosial Budaya

...

4.4.1 Pendidikan

4.4.2 Kesehatan ... 4.4.3 Agama ...

...

4.5 Perekonomian

4.5.1 Umum ... ...

4.5.2 Pertumbuhan Ekonomi

... 4.5.3 Pendapatan Per Kapita

4.5.4 Tingkat Inflasi ... ... 4.5.5 Sarana Perekonomian

...

4.6 Kondisi Daerah Penelitian

4.6.1 Obyek Penelitian ... ...

4.6.2 Lokasi Penelitian

...

4.6.3 Gambaran Squatters di Kecamatan Penjaringan

... 4.6.4 Gambaran Squatters Kecamatan Pademangan

...

4.6.5 Gambaran Squatters Kecamatan Tanjung Priok

... 4.6.6 Gambaran Squatters Kecamatan Koja

... 4.6.7 Gambaran Squatters Kecamatan Cilincing

.

...

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

...

5.1 Kondisi Perekonomian Jakarta Utara

5.1.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 5.1.1.1 Tingkat Pengangguran ...

... 5.1.1.2 Rata-rata Indeks Harga Konsumen

... 5.1.1.3 Produksi Lahan

(13)

... 5.1.2 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

... 5.1.3 Keuangan dan Perbankan

...

5.1.4 Program Pemulihan Kerusakan Lingkungan

5.2 Konflik Pemanfaatan Lahan Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta .

5.2.1 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Kamal Muara ... Kecamatan Penjaringan

5.2.2 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Kapuk Muara ... Kecamatan Penjaringan

5.2.3 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Penjaringan

...

Kecamatan Penjaringan

5.2.4 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Pluit Kecamatan ... Penj aringan

5.2.5 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Ancol ... Kecamatan Pademangan

5.2.6 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Tanjung Priok ... Kecamatan Tanjung Priok

5.2.7 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Tugu Selatan ... Kecamatan Koj a

5.2.8 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Kali Baru ... Kecamatan Cilincing

5.2.9 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Cilincing ... Kecamatan Cilincing

5.2.10 Konflik Pemanfaatan Lahan di Kelurahan Marunda ... Kecamatan Penjaringan

... 5.3 Kurva Biaya Penertiban dan Nilai Lahan Squatter

...

5.4 Kurva Biaya Penertiban dan Nilai Sewa

5.5 Kurva Biaya Penertiban , Nilai Lahan dan Nilai Sewa ... ... 5.6 Kurva Biaya Penertiban dengan Nilai Rente

5.7 Land Rent Frontier ... ... 5.8 Nilai Rent Optimal

... 5.9 Resolusi Konflik

... 5.9.1 Konsep Resolusi Konflik

... 5.9.2 Operasionalisasi Resolusi Konsep Berdasarkan GAMS

... 5.9.3 Analisis Kerugian Pemilik Lahan

...

5.9.4 Program Resolusi Konflik

... 5.9.5 Pertimbangan Ekologis

5.9.6 Implementasi Game Theory dalam Penyusunan Program ... Resolusi Konflik

6

.

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... ...

6.2 Saran

(14)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel

1 Hirarki dari Penggunaan Lahan "Central Business Distric" dan Nilai Lahan ... 29

...

Konsekwensi Pahala (PayofJ) dari Permainan Pertukaran (Jasa). 58

... Distribusi Lokasi dan Jumlah Pengambilan Sampel Squatter 77 Laju Rata-rata Perturnbuhan Penduduk di Jakarta Utara Tahun 1990- 2000 ... 96 Profil Kependudukan Kelurahan Kamal Muara Kecamatan

...

Penj aringan 1 1 6

....

Status Lahan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan 1 17 Peruntukan Lahan Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan

...

(Ha). 1 18

Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan .

.

Penjanngan ... 119 Status Lahan di Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan

...

(Ha) 1 2 1

Peruntukan Lahan Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan ...

(Ha) 122

Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan .

.

...

Penjaringan 123

Profil Kependudukan Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan

...

(Jiwa) 125

Status Lahan di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan (Ha) ... 125

... Peruntukan Lahan Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan (Ha) 127 Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Pluit, Kecamatan

...

Penj aringan 1 2 8

Profil Kependudukan Kelurahan Penjaringan, Kecamatan

...

Penjaringan (Jiwa) 130

Status Lahan di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan

...

(15)

18 Peruntukan Lahan Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan (Ha). . . 1 3 2

Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan .

.

Penjaringan.. . .

.

. . . 1 34

Profil Kependudukan Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan (Jiwa) . . . .. .. .. . . .. .. . .. .. ... . .. .. . . .. .. . .. .. . . ... . . .. ... .. .. .. . . .. . .. . . 136 Status Lahan di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan(Ha) . . . 136

Peruntukan Lahan Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan (Ha). . . 138 Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan.. . . 139

Profil Kependudukan Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok (Jiwa) . . . 14 1

Status Lahan di Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok (Ha). . . , . . . , . . . 14 1

Peruntukan Lahan Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok (Ha) . . . , . . . 142

Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok . . . 143 Profil Kependudukan Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja (Jiwa) .. .. . . 145

Status Lahan di Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja (Ha) . . . 145

(16)

37 Status Lahan di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing (Ha) ... 154

... 38 Peruntukan Lahan Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing (Ha). 155

Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing ... 155 Profil Kependudukan Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing

...

(Jiwa) 158

Status Lahan di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing (Ha). ... 1 5 8

...

Peruntukan Lahan Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing (Ha). 1 59 Bangunan Menurut Jenisnya di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing ... 160 Kategori, Jenis dan Kriteria Konflik Pemanfaatan Lahan Kawasan Pesisir ... 167

...

Pelbagai Kuwa Frontier Pemanfaatan Lahan 19 1

Penentuan Kawasan Berdasar Kategori Konflik Antara Biaya ...

Penertiban clan Nilai Lahan 192

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kurva Nash Equilibria Untuk Biaya Penertiban Rp. 250.000.000 dengan Nilai

...

Lahan 194

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kuwa Nash Equilibria Untuk Biaya Penertiban dan Nilai Lahan (Skenario Biaya

...

Penertiban Naik 28,6 %) 196

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kuwa Nash Equilibria Untuk Biaya Penertiban dan Nilai Lahan (Skenario Nilai ...

Lahan Naik 10 %). 1 97

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kurva Nash Equilibria Untuk Biaya Penertiban dan Nilai Lahan (Skenario Biaya Nilai Penertiban Naik 28,6 % dan Nilai Lahan Naik 10 %) ... 198

Summary Pelbagai Simulasi Persamaan Kurva Biaya Penertiban dan ...

Nilai Lahan Squatter 199

Penentuan Kawasan Berdasar Kategori Konflik Antara Biaya

...

Penertiban Dengan Nilai Sewa. 200

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kurva Nash

...

(17)

54 Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kurva Nash ...

Equilibria Untuk Biaya Penertiban Naik 28,6 % 202

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kurva Nash Equilibria Untuk Biaya Penertiban dan Nilai Sewa (Skenario Nilai

...

Sewa Naik 10 %). 203

Lokasi Squatter Yang Berada Didalam dan Diluar Kurva Nash Equilibria Untuk Biaya Penertiban dan Nilai Sewa (Skenario Biaya Penertiban Naik 28,6 % dan Nilai Sewa Naik 10 %) ... 204

Summary Pelbagai Simulasi Persamaan Kuwa Biaya Penertiban dan ...

Nilai Lahan Squatter 205

Perbandingan Antara Biaya Penertiban Dengan Nilai Lahan dan ...

Antara Biaya Penertiban dengan Nilai Sewa 208

...

Nilai Rente Lahan Yang Diokupasi Squatter 209

Nilai Pemanfaatan Lahan (Efisien) dengan Land Rent Frontier ... 2 14 Perhitungan Nilai Rent Optimal ... 2 18 Kepentingan Pelbagai Stakeholder. ... 22 1 Konsep Resolusi Konflik dan Optimalisasi ... 222 Pedoman Perumusan Resolusi Konflik dengan GAMS ... 223

Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Pemerintah (Model 1) ... 227 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Pemerintah (Model 2) Lahan Dinilai Dengan Harga Pasar.. ... 23 1

Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Pemerintah Dengan Asumsi Harga Pasar dan Pemerintah Memberi Kompensasi Rp. 5 Juta (Model 3) ... 234 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Pemerintah (Model 4) Dengan Asumsi Harga Pasar dan Squatter

Menerima Kompensasi Rp. 5 Juta ... 237 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Pemerintah (Model 5) Asumsi : Lahan Dinilai Mempergunakan Harga pasar dan Squatter menerima kompensasi Rp. 1 Juta dan Membelanjakan Rp. 200.000 ... 24 1

(18)

71 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Swasta ...

(Model 7) dengan mempergunakan Harga Pasar 246

72 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Swasta (Model 8) dan Squatter menerima kompensasi Sebesar Rp. 5 J u t s ... 247 73 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Swasta

(Model 9) Dengan Asumsi Harga Pasar dan Squatter Menerima Kompensasi Rp. 1 Juta ... 248 74 Solusi Optimal Konflik Pemanfaatan Lahan di Milik Lahan Swasta

(Model 10) Dengan Asumsi Harga Pasar dan Squatter Menerima Kompensasi Rp. 1 Juta dan Membelanjakan Rp. 200.000 ... 249

...

75 Bentuk Resolusi Konflik Berdasarkan GAMS 284

(19)
[image:19.568.92.490.66.818.2]

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal .

1 Hukum dan peraturan Proyek Penyesuaian Ulang Lahan ... 15

...

2 Struktur Sistem Feodal 16

...

3 Suplay dan Llemand Lahan 31

4 Perbedaan "Land Rent" Dari Tiga Luas Lahan yang berbeda Kualitas ...

Lokasi dan Jarak dari Pasar 33

5 Batas Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan yang Berlaku Sekarang dan Masa Yang akan Datang ... 35

6 Kerangka Pendekatan Resolusi Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah . .

Pes~slr ... 79 7 Pureto Optimal ... 80

...

8 "Nush Bargaining Game" 80

...

9 Nosh Equilibrium 81

...

10 Zone Konfli k dan Non Konflik 82

...

I I Land Rent Frontier 85

...

12 Model Nash Equilibrium Squatter dan Pemilik Lahan 85

...

13 Batavia Tahun 1650 91

...

.

14 Batavia Tahun 1700 1800 91

...

.

15 Batavia Tahun 1800 1900 91

...

16 Batavia Setelah Tahun 1900 91

...

17 Peta Lokasi Jakarta Utara 95

1 8 Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan Kamal Muara. Kecamatan Penjaringan. Jakarta Utara ... 1 17 1 9 Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan

...

Kamal Muara. Kecamatan Penjaringan. Jakarta Utara 1 19 20 Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan

(20)

2 1 Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan ...

Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara 122

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan ... Pluit, Kecamatan Penj aringan, Jakarta Utara

Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan ... Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan

...

Penjaringan ,Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara

Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan ... Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara..

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.. ... Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara ... Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan Tanj ung Priok, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.. ...

Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. ...

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.. ... Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara ...

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. ...

Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ...

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ... Persentase Penggunaan Lahan menurut Penggunaan Di Kelurahan Kal i baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.. ...

Persentase Penggunaan Lahan menurut Statusnya Di Kelurahan

...

Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara

(21)

38 Perbandingan Antara Lahan Eksisting dengan Target Pemanfaatan

...

Lahan Di Kelurahan Kamal Muara 170

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Kapuk Muara ...

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan

...

Lahan Di Kelurahan Penjaringan

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Pluit ...

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Ancol ...

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan

...

Lahan Di Kelurahan Tanjung Priok

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Tugu Selatan ...

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Kalibaru ...

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Cilincing ...

Perbandingan Antara Lahan Eksisting Dengan Target Pemanfaatan Lahan Di Kelurahan Marunda ... Plot Biaya Penertiban (Total = Rp . 250 juta) Dengan Nilai Lahan ...

Plot Biaya Penertiban (Total = Rp . 350 Juta) Dengan Nilai Lahan ...

Plot Biaya Penertiban (Total = Rp 250 Juta) . Nilai Lahan naik 10%

Plot Biaya Penertiban (Total = Rp.350 Juta) . Nilai Lahan naik 10% .

Overlay Untuk semua Skenario Nilai ...

Pareto Optimal Antara Biaya Penertiban dengan Nilai Lahan ... Plot Biaya Penertiban (Total = Rp . 250 Juta) Dengan Nilai sewa ...

Plot Biaya Penertiban (Total = Rp.350 juta) Dengan Nilai Sewa ...

Plot Biaya Penertiban (Total = Rp . 250 Juta) Dengan Nilai Sewa ...

Naik 10%

(22)

58 Overlay Untuk Semua Skenario (Nilai Sewa) ... 205

...

59 Pareto Optimal Antara Biaya Penertiban dengan Nilai Sewa 206 Plot Biaya Penertiban (Rp . 250 Juta) Terhadap Nilai Lahan dan Nilai Sewa ... 207

...

Plot Biaya Penertiban (Rp . 250 Juta) . Net Rent 210 . ...

Plot Biaya Penertiban (Total = Rp . 3 50 Juta) Net Rent 210 Plot Biaya Penertiban (Rp . 250 Juta ) . Net Rent (Nilai Lahan Naik

10%) ... 211 Plot Biaya Penertiban (Total = Rp 250 Juta) . Net Rent (Nilai Sewa

10%) ... 211 Plot Biaya Penertiban (Total = Rp.350 Juta) . Net Rent (NL dan NS naik 10 %) ... 212

...

Overlay Untuk semua Skenario (Net Rent) 212

Pareto Optimal Antara Nilai Rente denganBiaya Penertiban ... 213 Keterkaitan Antara Kepadatan Penduduk dengan Nilai Lahan ... 215

Keterkaitan Antara Kepadatan Penduduk dengan Nilai Sewa ... 215 Keterkaitan Antara Nilai Sewa dengan Nilai Lahan ... 216 Keterkaitan Antara Kepadatan Bangunan Dengan Nilai Lahan ... 216

Keterkaitan Antara Kepadatan Bangunan Dengan Nilai Sewa ... 217

I. and Rent Frontier ... 218 Nilai "Rent Optimar' di Masing-masing Wilayah Squatter dan Nilai Rata-rata "Rent Optimal" ... 219

...

Vantage Point Konflik Pemanfaatan Lahan 221

Penyusunan Model Berdasarkan Keterkaitan Squatter Yang Menempati Lahan Pemerintah dan Swasta ... 225

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Data Sekunder Hasil Survey

(24)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengapa kawasan pesisir atau pantai dinilai memiliki arti penting bagi sebuah Bangsa. Dahuri (2001) menyatakan bahwa sumberdaya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dan diharapkan dapat berperan penting dalam melestarikan pembangunan ekonomi melalui penyediaan lapangan kerja, peningkatan asli daerah, peningkatan devisa dan perbaikan kesejahteraan penduduk pesisir. Yang menjadi pertanyaan adalah sampai seberapa besar harapan terhadap potensi kawasan pesisir ini khususnya untuk kawasan pesisir yang terletak di daerah perkotaan di Indonesia dapat memenuhi harapan menjadi alternatif pemecahan keterpurukan ekonomi. Untuk itu perlu ditelaah arti penting kawasan pantai ditinjau secara urnum dan secara khusus di daerah penelitian yaitu: kawasan pantai utara Jakarta.

Makna penting kawasan pantai utara Jakarta adalah bahwa kawasan ini dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, khususnya yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, petani tambak dan perebusan kerang. Kawasan pantai ini memiliki akses yang sangat dekat dengan sumber mata pencaharian Squatter.

(25)

Menurut Kay and Adler (1999) bahwa pertumbuhan penduduk adalah pengemudi dibalik banyaknya masalah pantai. Skala dari pertumbuhan penduduk tersebut pada beberapa tahun belakangan ini cukup mengejutkan yaitu dengan perkiraan bahwa penduduk dunia di daerah-daerah pantai sama dengan perkiraan penduduk global secara keseluruhan pada tahun 1950-an. Pertumbuhan penduduk pantai tidak hanya terbatas untuk negara-negara berkembang saja yaitu sekitar 50% dari populasi dunia industri kini tinggal dalam wilayah berjarak 60 kilometer dari pantai. Menurut Goldberg (1994) yang diacu dalarn Kay and Adler (1999) bahwa pertumbuhan penduduk & daerah-daerah pantai terjadi karena 2 sebab utama, yaitu: adanya migrasi desa ke kota dan migrasi dari daerah-daerah pedalaman ke daerah pantai. Daerah pantai ini menawarkan banyak peluang ekonomi, sosial dan rekreasi dibandingkan dengan daerah pedalaman.

Jika dibandingkan antara daerah pedalaman (daratan) dan daerah pantai, lahan didaerah pantai harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan daerah daratan yang mempunyai core aktivitas ekonomi tinggi. Disamping itu ada kecenderungan penduduk yang bertempat tinggal didaerah pantai bermata pencaharian sebagai nelayan dan akses ke mata pencaharian tersebut memiliki akses yang mudah dan relatif biaya transportasinya sangat rendah. Sedang penduduk yang mempunyai kecenderungan bertempat tinggal didaerah daratan lebih kearah penyedia tenaga kasar dan rata-rata bekerja disektor informal seperti: pemulung, kuli bangunan, para penjaja makanan. Dengan demikian yang membedakan penduduk atau yang disebut Squatter bertempat tinggal di daerah pantai dan didaerah daratan dicirikan dengan masalah mata pencaharian dan pengalaman bekerja seperti pada daerah asal..

(26)

kemiskinan yang absolut dan tidak ada pilihan lain, serta akibat terrnarjinalnya Squatter dalam kompetisi persaingan ekonomi dengan tenaga kerja yang Skill. Lahan wilayah pesisir yang dianggap memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi karena dekat dengan akses dan kepemilikan lahannya yang tidak jelas serta dekat dengan akses perikanan membuat Squatter melakukan tekanan terhadap lahan dan sumberdaya alam. Tekanan yang berkelebihan tersebut menyebabkan wilayah pantai mendapat tekanan yang cukup berat dalarn bentuk eksploitasi yang berlebihan (over exploitation). Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumberdaya alam wilayah pesisir. Salah satu faktor yang mendorong penurunan kualitas surnberdaya tersebut adalah karena ketidaktahuan Squatter mengenai tata cara pengelolaan lingkungan. Di samping itu penyerobotan lahan menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Akibat tindakan penyerobotan lahan dan terjadinya kerusakan lingkungan menyebabkan pemanfaatan lahan wilayah pesisir yang tidak rasional.

Khusus di pantai utara Jakarta, lahan di kawasan ini menjadi pemicu datangnya para penghuni liar (Squatter) untuk menempati lahan-lahan yang bukan pemiliknya. Banyaknya Squatter menempati lahan di pantai utara Jakarta ini disebabkan oleh adalah: (I) Batas-batas kepemilikan lahan tidak jelas. Pemilik lahan dalam ha1 ini Pemerintah atau Swasta belurn secara jelas memberi batas terutarna secara fisik sampai seberapa luas lahan yang dikuasai; (2) Banyak lahan di pantai utara Jakarta ini banyak yang belum bersertifikat, sehingga menimbulkan persepsi atau image bahwa lahan tersebut tidak ada yang memiliki; (3) Lahan pantai utara Jakarta ini yang dianggap oleh Squatter tidak bertuan, telah terjadi h n s f e r of Ownership dari Squatter lama ke Squatter Baru; (4) Lahan di pantai utara Jakarta ini sangat dekat dengan akses sumberdaya perikanan, sehingga Squatter tidak memerlukan banyak biaya transport untuk mengadakan perjalanan ke tempat aktivitas; (5) Lahan di pantai utara Jakarta ini berada di wilayah administratif DKI sebagai Ibukota Negara, sehingga lahan di pantai ini menjadi pilihan alternatif untuk tinggal di Jakarta, mengingat biaya yang dibutuhkan untuk tinggal di daerah ini relatif sangat murah.

(27)

unskilled di sektor konstruksi maupun perindustrian, berusaha di sektor riil, sektor perikanan, dan di bidang jasa lingkungan. Faktor mata pencaharian sebagai nelayan dan bekerja di sektor perikanan inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara Squatter di wilayah pesisir dengan Squatter di wilayah daratan. Squatter di wilayah pesisir dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan didasari oleh pertimbangan pengalaman historis dari kampung asal. Keahlian menangkap ikan atau pengalaman bekerja sebagai buruh atau pedagang disektor perikanan membuat Squatter diwilayah pesisir Jakarta Utara semakin betah dan jumlahnya semakin banyak.

Mengingat kebutuhan lahan di pantai utara Jakarta ini makin meningkat, sementara penyediaan lahan terbatas, maka terjadi tekanan terhadap lingkungan pantai. Kawasan mangrove, kawasan bantaran sungai, waduk, pinggiran pantai, diperairan pantainya sendiri dijadikan sebagai tempat permukiman. Perubahan fungsional ke non fungsional ini yang menjadi penyebab terjadinya konflik pemanfaatan lahan. Konflik pemanfaatan lahan ini berimplikasi kepada makin buruknya kinerja perekonomian kawasan, disertai makin rusaknya kualitas lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan perurnusan resolusi konflik yang berbasis kepada kepentingan Squatter dan pemilik lahan dalam ha1 ini adalah Pemerintah dan Swasta, agar resolusi konflik dapat segera dirumuskan dan secara konsepsi diterima semua pihak.

1.2 Perumusan Masalah

(28)

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konflik pemanfaatan lahan khususnya antara Squatter dengan pemilik lahan di pantai utara Jakarta, dapat diberikan fakta-fakta sebagai berikut:

(1). Hasil penertiban bangunan liar tahun 2001, Pemerintah Kotamadya Jakarta Utara berhasil menertibkan bangunan liar sebanyak 1.725 bangunan liar dan sebanyak 1.359 gubuk liar berhasil ditertibkan. Penertiban yang dilakukan oleh aparat Trantib dan Linmas ini dikhususkan untuk bidang pelanggaran terhadap lahan-lahan yang dimanfaatkan tidak sebagaimana mustinya. Berdasarkan wawancara dilapangan hasil penertiban itu tidak berlangsung lama, karena diduga 75 % lokasi penertiban kembali seperti sediakala.

(2). Mulai terjadinya aglomerasi kawasan-kawasan kumuh di daerah-daerah permukiman mewah, seperti di kawasan Pantai Indah kapuk yang pola permukimannya berbentuk sirkular mengelilingi kawasan perurnahan mewah tersebut. Akibatnya, sering terjadi konflik pemanfaatan lahan antara developer dengan para squatter. Kawasan perurnahan Pantai Indah Kapuk sendiri berasal dari kawasan hutan bakau.

(3).Banyak lahan terbuka yang dijadikan open space dan jalur hijau berubah fungsinya menjadi kawasan permukiman kumuh.

(29)

meningkatkan konflik selanjutnya sehingga konflik semakin tajam. Kusnaka Adimihardja (2001) mengungkapkan bahwa lahan merupakan unsur yang mendominasi pemicu terjadinya konflik dipelbagai daerah. Hal ini te rjadi karena sentralisasi penanganan masalah sumber daya alam menyebabkan terjadinya kesenjangan dan ketidakpuasan dalam hubungan penguasa-rakyat. Hubungan yang bersifat sentralistik dan dikelola melalui sistem komunikasi satu arah menyebabkan te rjadnya social disfunction dalam berbagai bidang kehidupan.

Jumlah penduduk makin meningkat, sementara penyediaan lahan terbatas, maka terjadlah penekanan terhadap daya dukung lahan. Penekanan ini berupa pendirian permukiman oleh para Squatter dilahan-lahan yang bukan miliknya. Penekanan terhadap daya dukung lahan ini mengakibatkan pelbagai masalah yang salah satu diantaranya adalah konflik pemanfaatan lahan. Penyebab konflik pemanfaatan lahan dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) Batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (Ijin Mendirikan Bangunan, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai); (2) Terjad "trurzsfer of ownership"; (3) Eksklusivisme penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan dan jasa yang disebabkan oleh karena adanya "power of money"; (4) Pemerintah Daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah yang sudah menjadi produk Peraturan Daerah dan (5) lemahnya penegakan hukum (law enforcement).

(30)

Khusus untuk kawasan pantai utara Jakarta, konflik pemanfaatan lahan banyak disebabkan oleh:

(l).Pemilik lahan (Pemerintah dan Swasta) mengusir para Squatter untuk tidak bertempat tinggal dilahan yang bukan pemiliknya;

(2). Squatter beranggapan bahwa keberadaannya setelah seluan lama & kawasan pantai tersebut sudah dilegalisasi keberadaannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kepemilikan kartu KTP, penyediaan air minum dari PDAM, penyediaan listrik dari PLN, terbentuknya komunitas RT dan RW.

(3). Te rjadinya banjir, pencemaran lingkungan diduga dari adanya keberadaan

Squatter di kawasan-kawasan yang memang tidak diperuntukkan bagi kawasan permukiman, seperti: bantaran sungai, waduk, rawa, kawasan bantaran re1 kereta api, lahan-lahan kosongllahan tidw.

(4). Lemahnya penegakan hukum yang disebabkan karena keterbatasan dana

penertiban yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah termasuk keterbatasan man power.

Konflik pemanfaatan lahan tersebut bersumber kepada: 1. Paradigma Squatter yang antara lain:

a. Tingkah laku (behuviour) Squatter yang merasa bahwa tidak ada informasi sebelumnya bahwa lahan yang hduduki tersebut sudah jelas kepemilikannya, sehingga Squatter meng "Claim" bahwa permukimannya adalah sah. Disamping itu Squatter tidak yakin apakah berbuat salah, karena sudah sekian lama menempati lahan tetapi tidak ada tindakan apa- apa.

b. Squatter merasa sudah banyak pengeluaran yang diberikan kepada pemerintah termasuk pungutan pajak untuk IMB, membayar listrik, membayar rekening air melalui PDAM, ikut menata lingkungan, tetapi dalam waktu singkat harus keluar dari lahan tersebut.

c. Squatter merasa sudah membayar sejumlah uang baik untuk beli tanah maupun untuk sewa, namun diperintahkan harus pergi oleh pemilik lahan yang sah. Disadari bahwa lahan yang ditempati bukan miliknya, tetapi

(31)

2. Dari Segi Pemilik lahan (Pemerintah):

a. Dari segi pemilik lahan khususnya pemerintah beranggapan bahwa kawasan Squatter bukan kawasan permukiman, tetapi sebagai kawasan daerah pemilikan sungai, sehingga kawasan Squatter hams digusur. Pemilik lahan beranggapan bahwa pembagian ruang kota yang sudah ada dinilai sudah adil dan memadai. Akibat pandangan ini di pantai utara Jakarta Pemerintah Daerah Kodya Jakarta Utara mengeluarkan kebijakan penertiban bagi kawasan kumuh (Kawasan para Squatter);

b. Squatter (Pemukim Liar) hams ditertibkan;

c. Squatter dianggap bukan warga Jakarta dan Squatter divonis sebagai penduduk haram;

3. Dari Segi Pemilik Lahan (Swasta)

Dari segi pemilikan lahan dari Swasta bahwa semakin lama lahan dibiarkan terlantar, semakin besar nilai lahan pada masa-masa yang akan datang. Namun karena sudah lama dibiarkan terlantar, sehingga lahan-lahan tersebut dimanfaatkan oleh Squatter. Upaya untuk mengeluarkan Squatter oleh pihak swasta dilakukan dengan pelbagai macam upaya, misalnya dengan intimidasi, tuntutan ke pengadilan.

Di samping itu, konflik pemanfaatan lahan terjadi juga antara Pemerintah dengan pihak Swasta dalam rangka pembangunan permukiman mewah dan pusat perbelanjaan.

(1) Infonnasi dari Bapeko Jakarta Utara bahwa konflik pemanfaatan lahan sering terjadi di kawasan Pluit, Sunter dan Kelapa Gading yaitu berkaitan dengan pemanfaatan lahan untuk perurnahan mewah atau untuk pengendalian banjir. (2) Hilangnya rawa Rorotan seluas 50 Ha yang diumk oleh Developer untuk

dijadikan permukiman.

(32)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan antara lain :

(I). Mengkaji konflik pemanfaatan lahan antara Squatter dan pemilik lahan berdasar pendekatan lokasi permukiman Squatter;

(2). Mengkaji karakteristik dan tipologi konflik pemanfaatan lahan antara Squatter dengan pemilik lahan secara sosial ekonomi;

(3). Memformulasikan resolusi konflik pemanfaatan lahan berdasarkan optimasi lahan.

1.4 Hipotesis Penelitian

Beberapa hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(l).Diduga bahwa konflik pemanfaatan lahan antara Squatter dengan Pemilik Lahan di wilayah pesisir dapat didekati dengan Nash Equilibria.

(2). Dengan melakukan optimasi lahan, maka dapat dirurnuskan kebijakan dan program penanganan Squatter.

1.5 Manfaat Penelitian

(33)

2. LANDASAN TEORI

2.1 Nilai Pemanfaatan Lahan

(34)

(bukan optimal) sehingga menimbulkan banyak masalah pemanfaatan lahan. Permasalahan ini diakibatkan oleh sistem monokultur dan penanaman yang tidak sesuai dengan lahannya. Penderitaan manusia akibat erosi, longsor dan menurunnya unsur hara, membuat manusia mulai memunculkan suatu gerakan pelestarian lahan yang kini menjadi contoh terkenal dari suatu rencana pelestarian yang melibatkan penduduk setempat, universitas negeri, dan pemerintah. Partisipasi dari pelbagai stukeholder ini sangat diperlukan terlebih di tingkat pemerintahan lokal.

2.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan

Dalam sejarah dunia tentang pemanfaatan lahan baik yang terjadi di Amerika, Jepang, Eropa dan Indonesia menunjukkan bahwa nilai lahan makin tinggi harga sewanya sesuai dengan kebutuhan lahan yang makin meningkat. Misalnya: lahan industri harga sewanya lebih tinggi, karena nilai hasil produksinya juga lebih tinggi. Dengan demikian proses urbanisasi dan industrialisasi inilah yang menjadi faktor penting untuk mendorong kenaikan sewa dan harga lahan. Dengan berkembangnya penduduk nilai lahan akan t e n s menaik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah merupakan satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia (Mubyarto, 1979).

2.1.1.1 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Amerika

(35)
(36)

terjadi di kawasan tersebut. Banyak raja-raja Eropa menarik garis batas yang dianggap menjadi kawasan mereka dan relatif kawasan tersebut mudah untuk dikendalikan terutama keterkaitannya dengan penduduk indian. Para raja-raja Eropa banyak menghadiahkan lahannya ke para permukim dengan pelbagai macam jalur. Misalnya Massachusetts, Rhode Island dan Connecticut dihlbahkan kepada perusahaaddeveloper yang akan membangun permukiman. Sedangkan New York setelah diambil dari Belanda dan Virginia dipertimbangkan sebagai kawasan koloni para raja-raja Eropa dan hak terhadap lahan pada umumnya berasal dari tangan pertama yaitu para raja.

(37)

Pada era kemerdekaan yaitu pada abad ke sembilan belas, pembahasan mengenai penyelesaian lahan milik negara atau milik pemerintah federal menjadi fokus pembahasan utama baik secara politik maupun ekonomi. Hal tersebut juga menjadi elemen dasar dari kebudayaan bangsa. Debat di Konggres dan kampanye politik sering berfokus kepada issue lahan negara. Pada saat Amerika dideklarasikan pada tahun 1788, diperkirakan 150 juta are lahan suatu luasan yang sama dengan besarnya Texas atau Perancis dimililu oleh negara. Pada tahun 1850 luas lahan yang dimiliki oleh pemerintah meningkat menjadi 1.500 juta are. Pada gambar grafik dibawah ini terlihat perbandingan antara luas total area dan 48 negara federal yang luas wilayahnya mencakup 1.900 juta are. Tiga perempat dari total luas lahan tersebut adalah lahan milik pemerintah.

2.1.1.2 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Jepang

(38)

gedung dalam rangka perencanaan Kota Tokyo pada bulan Januari 1890 yang kemudian disempurnakan melalui undang-undang pembangunan kota pada tahun 1 9 19. Berdasarkan undang-undang tersebut disusun kembali undang-undang tentang standar bangunan pada bulan Mei 1950. Undang-undang mengenai perbaikan lahan ditetapkan pada tahun 1898 dan selanjutnya disesuaikan pada bulan pebruari 190 1 dan kemudian disempurnakan kembali pada bulan April 19 10 yang selanjutnya disesuaikan kembali pada bulan Juni 1949. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan sejarah perundang-undangan dan peraturan penyesuaian pemanfaatan lahan

1

Jepang (Dwianto,200 1).

Revis~on of the above law

City Planning Law (1919)

Regulation for Management of Land and Building in Tokyo Town Planning

(Januaw 1890)

Former Arable Land Readiustment Law (Februaaw 1910). Later on abolished

Urban Construction Law Arable Land Readjustment Law

(April 19 10). Later on abolished

Land Re?djusment I 1

I

I

Special City Planning Law Building Standard Law

Article 12 in City Planning Law

+

+

2 3

e

-

.3

Land Adjustment Law (Mav 1954) (Mav 1950)

(December 1923, for disaster damage reconstruction after Kanto Earthquake. The law was later on abolished)

(September 1946, for war damage reconstruction. The law was later on abolished)

Gambar 1 Hukum dan Peraturan Proyek Penyesuaian Ulang Lahan Sumber : Toshi Seibi Kenkyukai (191 1) yang diacu dalam Dwianto (2001)

2.1.1.3 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Eropa

[image:38.568.48.526.59.792.2]
(39)

berkisar antara tahun 10 16 - 1035, karena pada masa itu ada peraturan hukurn untuk pertama kalinya dibuat oleh raja Edward sebelum invasi bangsa Norman ke Inggris. Peraturan hukum tersebut mencakup suatu sistem dalam bingkai feodalisme, dimana pada sistem kepemilikan lahan termasuk kewajiban- kewajiban yang menyertainya merupakan jawaban atas pertanyaan dimana sebenarnya kekuasaan yang ada di Inggris sebelum periode penaklukan oleh bangsa Norman. Dalam kaitan tersebut diperlukan pemahaman mengenai hirarki sosial di antara struktur kekuasaan di Inggns. Dalarn Garnbar 2 di bawah ini akan diperlihatkan struktur hubungan antara raja sampai dengan lapisan masyarakat paling bawah.

r

EM 4 P

PE r- 0

ROR K P

1 E

-

*

N 4 1

4

G

B

A

*

R

0

N

T

KNI i

Gf ITS

N

s

4

I

PEA

-

SANT

-

S

L

I

Gambar 2 Struktur Sistem Feodal

[image:39.572.84.481.84.741.2]
(40)

kedepan masih diakui dalam sistem Bangsa Angla Saxon. Struktur kepemilikan lahan tersebut terkait dengan sistem Feodalisme.

Menurut Gabriel (1998) Feodalisme akan mencakup semua kondisi budaya dan politik dengan sistem ekonomi. Feodalisme Eropa Barat adalah budaya spesifik dan kondisi politik dimana para kaum bangsawan menempatkan posisinya sebagai "monopolis". Dengan demiluan feodalisme merupakan satu sistem politik yang bekerja untuk memelihara strata sosial. Dalam banyak hal, organisasi politik pada sistem feodalisme dipimpin oleh keluarga besar dengan sistem loyalitas politik dan aliansi. Sangat menarik hubungan antara negara feodal dengan pimpinan kerajaan.

Feodalisme adalah satu hubungan kontraktual antara kelas atas yang dipimpin oleh seorang tuan tanah (land l o r 4 kepada orang-orang bawahannya setelah kembali untuk tugas militer. Feodalisme dicirikan oleh adanya kekuatan ekonomi dan kekuatan politik lokal yang dipegang oleh tuan tanah dan pengikutnya dengan berbasis kepada istana atau kerajaan yang masing-masing dicirikan oleh adanya distrik (wilayah-wilayah). Struktur ini membentuk satu hirarki piramid. Dengan demikian istilah feodalisme melibatkan suatu pembagian kekuasaan pemerintah yang meluas meliputi pelbagai wilayah di dalam istana. Feodalisme tidak mempengaruhi hubungan sosial ekonomi antara petani dan tuan tanahnya. Feodalisme di Inggns didorong oleh para bangsawan dimana raja pada tingkat yang paling atas mengatur semua kekuasaannya.

Sejarah pemanfaatan lahan di masa feodalisme sangat terkait dengan hubungan antara struktur kekuasaan di atas yaitu raja yang mempunyai variasi yang berbeda di bangsa-bangsa Eropa. Sebagai contoh di Jerman, struktur pirarnida berakhir

1

tingkat raja yang paling bawah yaitu putra raja dengan kata lain raja-raja Jerman tidak pernah dapat mendorong pada tingkat sistem di atas yang telah dikembangkan di luar kerajaan. Di Eropa Barat (Perancis), raja menemui beberapa kesulitan dengan menggunakan posisinya untuk menjadi kekuasaan feodal.
(41)

antara tuan tanah dengan para petani merupakan suatu sistem proteksi yang sifatnya timbal balik. Namun pada tahun 1000 SM lahan-lahan dikembalikan kepemilikannya oleh pemerintah dengan mempunyai yurisdiksi yang jelas.

Pemanfaatan lahan pada sistem feodalisme sangat dipengaruhi oleh raja dan para bangsawan yang mempunyai otoritas penuh kepada lahan-lahan yang telah diberikan oleh raja, sehingga pengaruh sistem feodalisme terhadap status kepemilikan lahan sangat dominan. Feodalisme adalah sistem loyalitas dan proteksi pada pertengahan abad dlmana pada sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu pirarnid. Raja berada pada bagian atas. Setiap orang mempunyai loyalitas dan melayani raja. Tingkatan di bawah raja ada yang disebut sebagai bangsawan yang mengontrol hampir semua lahan.

Di bawah bangsawan ada para pembantu yang mempunyai loyalitas tinggi kepada para bangsawan yang berkuasa. Raja dan bangsawan memberikan lahan kepada bangsawan yang lebih rendah yang disebut dengan lahan yang dikuasai kaum feodal setelah kembali dari tugas militer. Budak belian berada pada posisi paling bawah dari bangunan piramida. Para budak tersebut bekerja pada lahan yang dimiliki oleh para bangsawan. Para budak ini diperlakukan dengan tidak baik dan kebebasan mereka sangat terkekang. Jika suatu saat para budak keluar dari sistem, maka ha1 tersebut disebut dengan pelanggaran perjanjian. Pelanggaran perjanjian berarti telah terjadi pengngkaran terhadap perjanjian. Pada saat para petani atau para pembantu gaga1 melaksanakan tugas dari para bangsawan, maka para bangsawan akan membawa ke pengadilan.

(42)

kepada bangsawan di atasnya. Baik raja maupun bangsawan memberikan kepada para pembantu sebidang lahan yang dikembalikan untuk pelayanan militer. Lahan-lahan tersebut adalah lahan yang dikuasai para bangsawan. Para pembantu yang kedudukannya di atas budak belian dapat dikatakan tidak begitu kaya. Para pembantu memberikan kepada para bangsawan ksatria untuk melindungi lahannya termasuk keselamatan para bangsawan itu sendiri.

Para pembantu bangsawan berhutang kepada bangsawannya di bidang militer. Para pembantu harus menyediakan sejumlah ksatria setiap tahun. Para pembantu adalah tuan dari para ksatria. Sewaktu-waktu pembantu bangsawan memberikan hibah kepada para ksatrianya bagian dari lahannya. Kemudian para ksatria juga pada akhirnya dapat menjadi pembantu bangsawan. Kejadian ini disebut sub-sub feodal ("subinfeudation"). Setelah beberapa waktu ada banyak lapisan feodal yang saling berhubungan dan terpisah dengan para ksatria dan raja. Di antara lapisan feodal ada banyak perbedaan tingkat bangsawan. Masing- masing dari pembantu bangsawan mempunyai kedudukan lebih tinggi. Implikasi dari sistem ini memberikan warna kepada pertumbuhan kota-kota dan industri yang mengacu kepada sistem feodal.

(43)

Dengan demikian feodalisme adalah suatu organisasi yang menganut azas desentralisasi yang timbul pada saat kewenangan yang terpusat tidak dapat melakukan fungsinya dan tidak dapat mencegah munculnya kekuatan lokal. Pada saat masa isolasi dan kerusuhan di abad ke-9 dan ke-10, para pemimpin Eropa tidak lagi berupaya untuk melakukan perbaikan pada institusi romawi, namun menyesuaikan apapun yang akan dikerjakan. Hasilnya adalah bahwa Eropa berkembang secara relatif baru dan efektif dengan seperangkat kelembagaan, menyesuaikan dengan konlsi ekonomi yang sedang menurun, transportasi yang belurn memadai termasuk fasilitas komunikasinya, pemerintah pusat yang tidak efektif dan hambatan yang konstan dari penyerangan kaum barbar seperti bangsa Viking, Magyars dan Saracens. Kelembagaan yang paling terkenal adalah apa yang disebut dengan "Manorialism" (organisasi para petani), "Monasticism" (organisasi gerej a) dan feodalisme (institusi aristokrat). Ciri ini akan mempengaruhi pemanfaatan lahan termasuk penggunaan nilai-nilai lahannya.

Proses sistem feodal ini adalah satu dari banyak cara yang berbeda dari surplus tenaga kerja yang disediakan dan didistribusikan. Hal tersebut sama dengan sistem kapitalisme yang pelakunya berasal dari surplus tenaga kerja yang akan mewujudkan surplus barang dan jasa yang berbeda dengan orang-orang yang memiliki barang dan jasa. Proses klas feodal ini dibedakan dari proses klas kapitalis dengan kekurangan terletak pada pemilihan majikan pada waktu yang lalu.

Pada feodalisme seperti yang sudah dijelaskan di atas mempunyai hak monopoli atas semua alat produksi yang diperlukan buruh untuk bekerja. Pengendalian hak monopoli ini memungkinkan raja-raja untuk menarik sewa secara monopoli dari semua tenaga kerja yang menghasilkan. Sebaliknya pada sistem kapitalisme para pekerja mempunyai pilihan untuk menentukan siapa yang menjadi majikannya. Pemilikan lahan pada sistem feodalisme pada bangsa Anglo Saxon ini dapat dicermati melalui metoda yang digunakan dalam penanganan lahan di bawah Undang-undang Inggris sebelum penaklukan oleh bangsa Norman.

(44)

"Laenland" adalah lahan yang diberikan oleh raja sebagai bantuan kepada para bangsawan (baron) atau kepada ksatria atau para serdadu militer yang dianggap mempunyai loyalitas dalam menjaga keselamatan raja. Dengan menghibahkan lahannya tersebut, Raja berharap dapat memelihara loyalitas bawahannya agar lebih "powerful/". Sistem kepemilikan lahan ini sangat ditentukan oleh faktor status perorangan yang telah ditentukan oleh Raja. Pada saat seseorang memperoleh lahan dari raja, maka raja mengharapkan memperoleh manfaat dari warga negara dari klas yang paling bawah dan bekerja pada lahan tersebut. Namun demikian, Raja hanya memperoleh kekuasaan terbatas, karena lahan yang sudah dimiliki bergeser menjadi hibah. Hal yang sangat menarik dari "Laenland' ini adalah bahwa lahan tidak dapat dihibahkan secara turun temurun. Pada saat bawahan raja meninggal maka lahan yang dihibahkan tersebut akan kembali kepada raja. Namun demikian, kondisi tersebut tergantung kepada proses generasi yang akan datang. Apakah keturunan bawahan raja tersebut masih setia kepada raja. Dengan kata lain konsep "Laenland' adalah pemilikan lahan yang didasarkan semata-mata oleh kesetiaan kepada raja dan hak mewariskan di luar yang tidak dinegoisasikan.

Jenis kedua dari sistem kepemilikan lahan adalah "bookland' yang merupakan format awal pada pemegang lahan di Anglo Saxon. Konsep "bookland" adalah bahwa setiap lahan yang dihibahkan kepada kepemilikan permanen dengan menggunakan catatan di buku, sebenarnya salah satu perubahan yang sangat besar dalam praktek pemerintahan Anglo Saxon dapat dilacak melalui "bookland" untuk mengetahui peningkatan penggunaan lahan yang tertulis.

2.1.1.4 Sejarah Pemanfaatan Lahan di Indonesia

(45)

Andrews (1986) membagi periode kebijakan lahan di Indonesia menjadi periode pada masa kolonial, periode paska kemerdekaan yaitu pada tahun 1947 - 1960 dan periode pada saat diundangkannya UUPA tahun 1960. Pada periode penjajahan yang dimulai pada abad 17, terjadi konsolidasi kekuasaan perusahaan Kompeni pada abad 17 adalah langkah awal untuk memperkenalkan sistem wajib pajak dari penguasa lokal ke penguasa asing yang secara tidak langsung menyebabkan sangat kesulitan menarik pajak kepada petani individual, yang sering meninggalkan lahan yang sudah ditanami dan berpindah ke tempat lain.

Tekanan untuk mengubah sistem tanam ini pada abad ke delapan belas, namun sampai kedatangan Raffles pada permulaan tahun abad ke sembilan belas yang dengan pengalaman sebelumnya dengan masalah-masalah lahan di India terutama di Madras. Raflles mengambil langkah awal untuk melakukan reformasi pada sistem tersebut. Raffles pada mulanya menghubungi komisi Mc Kenzie pada tahun 181 1 untuk menguji latar belakang masalah agraria dan kemuQan merekomendasikan pemerintah kolonial dengan cara terbaik untuk memaksimalkan penggunaan lahan. Setelah menemukan hasil pengujiannya mengenai lahan di Indonesia baik yang dimiliki oleh Pemerintah maupun Raja. Komisi menentukan lahan-lahan yang dapat dikenakan pajak untuk manfaat pemerintah kolonial. Hal ini yang mulai diperkenalkan oleh Raffles untuk mengenakan pajak dua perlima dari produk petani. Pajak tersebut sangat berpengaruh pada abad ke sembilan belas. Selama periode kolonial pemerintah sangat tergantung kepada para petani di pulau Jawa. Produksi yang dianggap potensial oleh pemerintah kolonial tidak hanya mencakup penanaman padi, tetapi juga tanaman untuk andalan ekspor.

Di samping itu ada kebutuhan yang tetap dari pemerintah kolonial mengenai buruh tani yang dipergunakan untuk meningkatkan produksi. kembalinya pemerintah Belanda, organisasi kolonial dari buruh setelah tahun 1830 diorganisasi dibawah sistem pananaman, dimana pada sistem ini disamping membayar sewa tanah atau pajak, petani diwajibkan juga membayar seperlima dari hasil lahannya dan petani diharuskan menanam tanaman ekspor.

(46)

pekerjaan umum dan buruh untuk mengisi kebutuhan pedesaan. Sistem ini tidak menguntungkan yang menyebabkan waktu petani sangat sedikit sekali untuk mengurus pekerjaannya sendiri dan waktu para petani lebih banyak dihabiskan untuk menanam tanaman ke

Gambar

Gambar Hal .
Gambar 1 Hukum dan Peraturan Proyek Penyesuaian Ulang Lahan
Gambar 2 Struktur Sistem Feodal
Tabel 1 Hirarki dari Penggunaan Lahan "Central Business Distric" dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran penjas melalui aktivitas permainan bagi siswa sekolah dasar khususnya kelas atas yang terintegrasi

Berdasarkan hasil analisis tentang bentuk tindak tutur narasumber pada Talk Show hitam putih periode Januari 2015 dapat disimpulkan sebagai berikut : Pada tindak tutur lokusi

Upaya Meningkatkan Motorik Kasar (Melompat) Anak Melalui Permainan Lompat Tali Pada Kelompok B.2 Di TK Dharma Wanita Sukarame Bandar Lampung. Skripsi Fakultas

Selain itu mengacu pada Tabel 4 diketahui bahwa 4 dari 10 jenis anak pohon yang memiliki urutan nilai penting tertinggi baik di petak I maupun II ternyata adalah

Sektor kehutanan di Kabupaten Kuantan Singingi memberikan kontribusi untuk Pendapatan Daerah dan Pendapatan Asli Daerah pada tahun anggaran 2008 sampai 2012 yang

Menurut TANGENDJAJA dan GUNAWAN, (1988), menyatakan bahwa janggel jagung banyak digunakan terutama untuk penggemukan sapi, dengan komposisi sebanyak 20% dari.. seluruh

b yang berbunyi ULP menyatakan pelelangan/ pemilihan langsung gagal apabila jumlah peserta yang memasukan Dokumen Penaw ar an untuk Pengadaan Bar ang/ Peker jaan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan sesuai yang tercantum dalam Dokumen Lelang, dengan terlebih dahulu melakukan registrasi