• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekayasa suplemen protein pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekayasa suplemen protein pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

JERAMI DAN DEDAK PADI

BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2008

(3)

Engineering in Rice Straw and Bran Based Ration for Beef Cattle. Under direction of SURYAHADI, TOTO TOHARMAT,and RIZAL SYARIEF.

Three experiments were conducted to formulate the best protein supplement (SPN) composed of CASREA and SOYXYL in rice straw and bran based ration offered to beef cattle. The first experiment was designed to formulate and evaluate a protein supplement of CASREA characterised by the slow released degradable protein for stimulating rumen microbial protein. The treatments were kinds of Casrea and incubation time allocated in a completely randomize design in a 4x3 factorial pattern. The kinds of Casrea were: Casrea1 (based on non extruded 32% urea and 58% cassava), Casrea2 (based on extruded 22% urea and 68% cassava), Casrea3 (based on extruded 27% urea and 63% cassava), Casrea4 (based on extruded 32% urea and 58% cassava). The incubation time was: 2, 4, and 6 hours. CASREA engineering with extrusion was proven effective in decreasing (p<0.05) the rate of rumen NH3 release, but increasing (p<0.05) microbial protein synthesis

(MPS) and protein digestibility (PD). CASREA engineering with the extrusion of 22% urea and 68% cassava had the highest MPS and PD.

The second experiment was designed to formulate and evaluate a protein supplement called SOYXYL which has high biological value for bypass proteins. The treatments were temperature extrusion and xylose black liquor (BL) concentration allocated in a completely randomize design in a 3x4 factorial pattern. The temperature extrusion levels were 120, 150, and 180oC, whereas the BL concentrations were 0, 3, 6, and 9 % of soybean meal (SBM) dry matter. The protein supplement composed of extruded SBM-xylose BL was proven effective in increasing (p<0.05) rumen undegradable protein (RUP). SOYXYL engineering by protection of SBM with xylose BL 3% and extrusion at 150oC had the highest RUP.

The third experiment was designed to formulate and evaluate the best protein supplement composed of CASREA (the best treatment of experiment 1) and SOYXYL (the best treatment of experiment 2) for improving productivity of beef cattle fed on rice straw and bran based ration. Sixteen dairy cattle bulls aged 12-15 months were divided into 4 groups in a randomize block design, to receive one of the following treatments: R0= control (rice straw and bran), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, R3= R0 + SPN C. SPN A, B, and C composed of CASREA: SOYXYL in ratio of 20:80, 50:50, and 80:20, respectively. SPN increased (p<0.05) dry matter, organic matter and protein intake and their digestibility, ration efficiency, and daily gain. The highest daily gain (0.85 kg.d-1), ration efficiency (11%), and income over feed cost (Rp 7500 head-1.d-1) were observed in treatment R3. The R3 treatment had lower methane energy (1.40 MJ.kgDMI-1.d-1) compare to R0 (1.47 MJ.kgDMI-1.d-1). In conclusion, the protein supplements composed of CASREA and SOYXYL were proven effective in increasing both MPS and RUP. Rice straw and bran based ration supplemented with SPN C improved the performance of cattle.

(4)

Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Dibimbing oleh SURYAHADI, TOTO TOHARMATdan RIZAL SYARIEF.

Potensi jerami padi di Indonesia melimpah, namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi masih rendah, karena adanya keterbatasan input teknologi yang aplikatif. Peternak di daerah sekitar lahan persawahan pada umumnya hanya menggunakan pakan tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal kedua bahan utama ini memiliki kualitas protein yang rendah, sehingga akan mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan kurang efisien penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan aplikatif adalah melalui suplementasi protein pada kedua bahan utama tersebut.

Tiga percobaan telah dilakukan yang bertujuan untuk memformulasi suplemen protein terbaik (SPN) melalui kombinasi CASREA dan SOYXYL pada ransum berbasis jerami dan dedak padi untuk sapi pedaging. Percobaan 1 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen protein CASREA yang memiliki karakteristik terdegradasi di rumen dengan laju diperlambat untuk menstimulasi pertumbuhan mikrobial rumen. Perlakuan dalam percobaan terdiri dari macam Casrea dan waktu inkubasi (batch culture method) yang dirancang dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4x3. Macam Casrea adalah: Casrea1 (berbasis 32% urea dan 58% ubi kayu, tanpa ekstrusi), Casrea2 (berbasis 22% urea dan 68% ubi kayu, terekstrusi), Casrea3 (berbasis 27% urea dan 63% ubi kayu, terekstrusi), dan Casrea4 (berbasis 32% urea dan 58% ubi kayu, terekstrusi) dan waktu inkubasi adalah: 2, 4, dan 6 jam. Rekayasa CASREA dengan ekstrusi terbukti efektif menurunkan (p<0.05) laju pelepasan NH3 rumen,

tetapi meningkatkan sintesis protein mikrobial rumen (MPS) dan kecernaan protein (PD). Rekayasa CASREA melalui ekstrusi 22% urea dan 68% ubi kayu menghasilkan MPS dan PD tertinggi.

Percobaan 2 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen protein SOYXYL yang memiliki nilai biologis tinggi untuk bypass protein. Perlakuan dalam percobaan terdiri dari suhu ekstrusi dan kadar xylosa black liquor (BL) yang dirancang dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3x4. Level suhu ekstrusi adalah 120, 150, dan 180oC, dan kadar BL adalah: 0, 3, 6, dan 9% dari bahan kering kedelai. Suplemen protein SOYXYL yang direkayasa melalui ekstrusi campuran kedelai dengan xylosa BL efektif meningkatkan (p<0.05) protein yang lolos degradasi rumen (RUP). Rekayasa suplemen protein SOYXYL dari kedelai yang dicampur xylosa BL 3% dan diekstrusi pada 150oC menghasilkan RUP tertinggi.

(5)

dan income over feed cost (Rp7500 ekor-1.hr-1) dicapai R3. R3 menghasilkan energi methan terendah (1.40 MJ.kgKBK-1.hr-1) dibanding R0 (1.47 MJ.kgKBK-1. hr-1).

Disimpulkan bahwa suplemen protein dari kombinasi CASREA dan SOYXYL efektif untuk meningkatkan MPS dan RUP. Ransum berbasis jerami dan dedak padi yang disuplementasi dengan SPN C dapat meningkatkan penampilan produksi sapi.

Kata kunci : jerami padi, dedak padi, ubi kayu, urea, tepung kedelai, ekstrusi

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah ini, dalam bentuk apa pun, tanpa izin tertulis dari IPB

(7)

REKAYASA SUPLEMEN PROTEIN PADA

RANSUM SAPI PEDAGING BERBASIS

JERAMI DAN DEDAK PADI

BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

NIM : D061030031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suryahadi, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Jajat Jachja

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Pof. Dr. Syamsul Bahri, MS.

(Sekditjen Peternakan DEPTAN RI)

2. Dr. Ir. Bachtar Bakrie, MSc. (BPTP Jakarta)

(10)

Nya sehingga telah tersusun disertasi yang berjudul Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Perekayasaan suplemen protein ini dilandasi oleh kaidah keilmuan tentang utilisasi protein pada ruminansia dengan mempertimbangkan kondisi lokal.

Penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas pengarahan serta bimbingan dari Tim Komisi Pembimbing. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih dan hormat kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA sebagai ketua komisi, Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr.Ir.Toto Toharmat, M.AgrSc., serta Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan, MSc. (Almarhumah), atas pengarahan dan bimbingan yang sangat berharga.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan penulis mengikuti studi program Doktor. Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Peternakan UNDIP disampaikan terima kasih atas ijin melanjutkan studi Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ditjen Dikti yang telah memberikan beasiswa studi pascasarjana di IPB.

Terima kasih juga disampaikan kepada pemilik Peternakan Sapi “Luwes” Karang anyar Jawa Tengah dan Pimpinan Pabrik Kertas Padalarang Jawa Barat yang telah membantu berbagai fasilitas materi penelitian, serta semua pihak yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terwujud. Kepada isteri tercinta Sri Handayani, ananda tercinta Pandu Prashanantyo dan Yui Prashandika, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan atas pengertian dan doa restunya. Juga ucapan terima kasih yang paling dalam kepada yang tercinta Almarhum Ayahnda Suprodjo dan Almarhumah Ibunda Sriyati Al Musriyati, atas doa restunya pada saat sebelum dipanggil Allah SWT, semoga amal kebaikan beliau mendapat imbalan yang berlebih dari Allah SWT.

Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, April 2008

(11)

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 2 November 1963 sebagai putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan ayah Alm. Suprodjo dan Ibu Almh. Sriyati Al Musriyati. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (UNDIP), lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1990, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1992 dengan mendapat gelar Magister Sains. Pada tanggal 5 April 1999, penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Ryukyus Jepang dan memperoleh gelar Master of Agriculture dalam bidang Fisiologi Hewan, pada tanggal 23 Maret 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2003.

Penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Peternakan UNDIP Semarang sejak 1989, dan sampai saat ini aktif di Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Penulis juga sebagai anggota Komisi Pakan Nasional Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI.

Karya ilmiah telah diterbitkan pada Desember 2007, dengan judul Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi, pada jurnal Media Peternakan Vol. 30 No.3: 207-217. Karya ilmiah lain berjudul Rekayasa Casrea Berbasis Ubi kayu-urea Terekstrusi sebagai Suplemen Protein untuk Perlambatan Pelepasan Ammonia dalam Rumen In Vitro, pada jurnal Animal Production Vol.10. No.1: 34-41, Januari 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penelitian yang terkait sebelumnya, juga telah dilakukan penulis dengan judul Pengaruh Tingkat Penggunaan Urea dan Waktu Pengukusan Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Terhadap Biosintesis Protein Mikrobia Rumen. Penggalian informasi ilmiah dari hasil penelitian tersebut juga sangat mendukung kegiatan penulis sehari-hari sebagai praktisi dan konsultan pakan sapi di Indonesia.

(12)

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ……….…... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….…….. xiv

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………. 1

Tujuan ………... 2

Hipotesis ……… 3

Manfaat ……….………... 3

TINJAUAN PUSTAKA Peran Suplemen Protein ………... 4

Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk Optimalisasi Biosintesis Protein Mikrobial Rumen ………... 8

Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen ………... 17

Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging ……….. 20

Komposisi Tubuh ………. 21

BAHAN DAN METODE Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi ………... 24

Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa BL. 25 Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL ……….. 26

Pengukuran Peubah ………... 28

Analisis Data ……… 39

HASIL DAN PEMBAHASAN Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi ………….. 40

Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa BL. 47 Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL ……….. 52

Aspek Ekonomis Suplementasi Protein ………... 65

Analisis Komprehensif Manfaat Suplementasi Protein …………... 65

Implementasi Pengembangan Program Suplementasi Protein ………. 68

KESIMPULAN DAN SARAN ………...………. 71

DAFTAR PUSTAKA ………. 72

(13)

Halaman 1 Populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia ……. 6

2 Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein ……… 12

3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein ……… 18

4 Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot

badan Sapi ………... 20

5 Komposisi bahan dan proses pembuatan Casrea ……… 25

6 Kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan pada Sapi percobaan 27

7 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dicobakan ………. 27 8 Komposisi larutan penyangga ……… 29

9 Larutan standar untuk analisis kadar ammonia plasma darah ……… 37 10 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi

VFA ……..………... 41

11 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi

NH3 ………. 43

12 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein

endapan ……….. 46

13 Nilai rataan konsentrasi VFA selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro ……….. 49

14 Nilai rataan konsentrasi NH3 selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro ………. 49

15 Nilai rataan bobot protein endapan selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro ………. 51

16 Nilai rataan kecernaan protein pada fermentasi In vitro ……… 51

(14)

18 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan nutrien,dan sintesis

N mikrobial rumen ……… 60

19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan ……... 63

20 Pengaruh SPN dalam ransum terhadap IOFC (Income Over Feed

Cost) ………... 65

(15)

1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia ……… 10

2 Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan

granula pati ……… 15

3 Spektrum Infra Merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b) ………….. 44

4 Pengaruh macam CASREA terhadap Kecernaan Protein ………….. 47

5 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan ….. 53

6 Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi nutrien …………... 54

7 Pengaruh ransum perlakuan terhadap komposisi tubuh …………... 59

(16)

1 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3(mM)

dan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada percobaan 1... 82

2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan

uji DMRT pada percobaan 1 ……… 83

3 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji DMRT pada percobaan 1 ……….. ……... 84

4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan

uji DMRT pada percobaan 1………... 85

5 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM) dan

uji DMRT pada percobaan 2 ……… 86

6 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan

uji DMRT pada percobaan 2 ……… 87

7 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji DMRT pada percobaan 2 ………. 88

8 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan

uji DMRT pada percobaan 2 ………... 89

9 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot

badan harian (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……… 90

10 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap deposisi protein

(g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 91

11 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi tercerna

(MJ.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………. 92

12 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BK

(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………. 93

13 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BO

(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………. 94

14 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi PK (g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 95

15 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BK (%)

(17)

16 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BO (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……… 97

17 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan PK (%)

dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 98

18 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 99

19 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 0 jam

(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 100

20 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 0 jam

(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 101

21 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 3 jam

(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 102

22 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 3 jam

(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………... 103

23 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Sintesis mikroba

(gN.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………. 104

24 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi methan

(MJ.kgKBK-1.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……….. 105

25 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap protein tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………

106

26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……… 107

27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………. 108

28 Hasil analisis xylosa black liquor ………... 109

(18)

Latar Belakang

Konsumsi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan, dari 330 300 ton pada tahun 2002 menjadi 389 300 ton pada tahun 2006. Sebaliknya populasi ternak sapi pedaging cenderung mengalami penurunan dari 11 297 625 ekor pada tahun 2002 menjadi 10 835 686 ekor pada tahun 2006 (DITJENAK 2006). Permasalahan utamanya adalah produksi sapi pedaging masih rendah, sehingga secara nasional kesenjangan terjadi antara permintaan dan penawaran (supply-demand) semakin lama semakin lebar. Salah satu upaya adalah melalui perbaikan kualitas pakan.

Potensi jerami padi di Indonesia melimpah yaitu 60 135 501 ton (BPS 2004), namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi masih rendah, karena teknologi yang tersedia kurang aplikatif apabila diterapkan dalam skala besar, sehingga sulit diadopsi oleh peternak di daerah sekitar persawahan padi. Peternak di daerah sekitar lahan persawahan padi, umumnya hanya menggunakan pakan tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal kedua bahan utama ini memiliki kualitas protein yang rendah, yaitu kandungan protein kasar jerami dan dedak padi masing-masing 5.06% dan 8.56% (Hasil Analisis Laboratorium 2006), sehingga akan mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan kurang efisien penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan aplikatif adalah melalui program suplementasi protein pada kedua bahan utama tersebut. Program suplementasi protein ini dipandang strategis karena (1) suplemen memiliki kualitas yang tinggi; (2) dosis pemberiannya rendah; (3) mampu mengatasi masalah defisiensi nutrisi; (4) meningkatkan kapasitas cerna melalui perbaikan metabolisme dan kemampuan mikrobial rumen; (5) praktis dalam penyajiannya, yaitu efisiensi waktu dan mengurangi beban tenaga kerja; (6) berbahan baku lokal dan mampu mendukung usaha pemanfaatan hasil samping (by product) pertanian yang kontinyu; (7) mudah diterapkan dan dapat diproduksi dalam skala pabrik pakan mini ditingkat kelompok petani dan peternak.

(19)

terobosan rekayasa suplemen protein (SPN) dalam upaya mengefisienkan penggunaan bahan pakan sumber protein dalam ransum yang memiliki daya guna tinggi terhadap ternak sapi pedaging.

Penggunaan urea di Indonesia sebagai sumber nitrogen bukan protein dalam ransum sapi pedaging sampai saat ini masih belum maksimal dan belum memberikan rasa aman untuk digunakan oleh ternak. Disamping itu, penggunaan bahan pakan sumber protein yang lolos degradasi rumen (bypass protein) juga belum maksimal. Hal ini karena teknologi pemrosesan urea dan bypass protein yang sesuai dengan kondisi pemberian pakan di Indonesia belum diketahui dengan seksama.

Guna mengatasi permasalahan tersebut, maka serangkaian penelitian telah dilakukan yaitu: (1) merekayasa suplemen protein berbasis ubi kayu-urea terekstrusi (selanjutnya disebut CASREA) yang mempunyai karakteristik dapat terdegradasi di rumen, namun dengan laju yang diperlambat (ditandai pelepasan amonia yang diperlambat/slow release of ammonia =SRA), sehingga terjadi peningkatan sintesis protein mikrobial rumen, (2) merekayasa suplemen protein yang memiliki nilai biologis tinggi dan tahan terhadap degradasi di rumen dalam bentuk protein kedelai yang telah diproteksi sebelumnya oleh xylosa black liquor melalui ekstrusi (selanjutnya disebut SOYXYL), sehingga pasokan protein bermutu tinggi ke organ pasca rumen meningkat, (3) merekayasa kombinasi CASREA dan SOYXYL yang optimal sebagai suplemen protein ideal untuk ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Suplemen protein ini diujicobakan pada ransum sapi menggunakan bahan baku utama jerami dan dedak padi.

Tujuan

1. Mengkaji manfaat ekstrusi ubi kayu-urea untuk perlambatan pelepasan ammonia dan biosintesis protein mikrobial rumen

2. Menguji potensi xylosa black liquor sebagai protektor degradasi protein kedelai 3. Menguji manfaat biologis suplemen protein pada ransum sapi pedaging

(20)

4. Menghasilkan teknologi pembuatan suplemen protein untuk meningkatkan produktivitas sapi pedaging, yang memiliki ciri mampu mendukung pertumbuhan mikrobial rumen, meningkatkan kapasitas cerna & memasok protein pasca rumen berkualitas tinggi.

Hipotesis

1. CASREA berbahan utama ubi kayu-urea terekstrusi mampu meningkatkan biosintesis protein mikrobial rumen

2. Xylosa black liquor (limbah pabrik kertas) dapat memproteksi protein kedelai dari degradasi dalam rumen

3. Suplemen protein berbahan dasar kombinasi CASREA dan SOYXYL dapat meningkatkan produksi ternak sapi pedaging.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan: (1) basis ilmiah rekayasa suplemen protein yang bersifat terdegradasi secara lambat dalam rumen (Slow Release of Ammonia = SRA) , (2) basis ilmiah proteksi protein dari degradasi dalam rumen, (3) teknologi pembuatan dan penyajian suplemen protein berbahan baku lokal.

(21)

Ternak sapi membutuhkan protein untuk membangun dan menjaga protein jaringan dan organ tubuh yang normal, serta untuk meningkatkan produksi yang optimal. Bahan suplemen protein untuk ransum sapi relatif mahal, oleh karena itu diperlukan seleksi yang tepat dan penggunaan suplemen protein yang efisien agar dapat mengurangi biaya produksi. Beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan suplemen protein antara lain: palatibilitas, degradasi protein rumen, kualitas protein, absorbsi asam amino di usus halus, biaya per unit protein, ketersediaan dan konsistensi produk, dan dampaknya terhadap penampilan produksi ternak (Stern et al. 2006). Suatu model nutrisi baru untuk sistem pemberian protein pakan ternak sapi perah di Amerika telah berkembang dari sistem yang berbasis protein kasar (NRC 1978), ke sistem yang lebih kompleks berbasis degradabilitas protein rumen (Rumen Degradable Protein= RDP), protein tidak terdegradasi di rumen (Rumen Undegradable Protein=RUP) dan RUP tercerna di usus halus (NRC 2001). Jadi, model nutrisi baru ini lebih unggul dari pada sistem sebelumnya, karena dirancang guna memenuhi kebutuhan protein bagi mikrobial rumen dan juga pasokan protein yang lolos degradasi rumen, tetapi tercerna dalam usus halus.

(22)

yang pada akhirnya dapat menurunkan kecernaan dan konsumsi pakan, utamanya pakan berserat misalnya jerami padi.

Jerami padi telah dikenal sebagai salah satu makanan pokok untuk ruminansia di Indonesia, dan sudah biasa diberikan pada ternak sapi, terutama didaerah persawahan padi. Kebiasaan ini mengingat penyediaan hijauan makanan ternak semakin berkurang seiring dengan menyempitnya kepemilikan lahan sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk. Produksi jerami padi sangat berlimpah seiring dengan meningkatnya produksi padi di Indonesia. Data produksi jerami padi di Indonesia menunjukkan potensi cukup besar yaitu 60 135 501 ton bahan kering (BPS 2004). Disisi lain, sebaran populasi ternak sapi pedaging di Indonesia tidak merata dan populasinya masih rendah yaitu 10 726 347ekor pada tahun 2004 (DITJENAK 2004). Pada Tabel 1 disajikan data tentang populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa jerami padi di Indonesia sebagai produk samping hasil pertanian di daerah persawahan padi, tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Disisi lain, sebaran jumlah sapi di berbagai propinsi di Indonesia masih rendah, sehingga terdapat kesenjangan antara ketersediaan jerami padi dengan populasi sapi pedaging. Dengan demikian, jerami padi di daerah persawahan padi banyak yang tidak termanfaatkan sebagai pakan sapi. Akibatnya, masih banyak terlihat adanya pembakaran jerami padi di daerah persawahan padi.

(23)

Tabel 1. Populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia

No. Propinsi Jerami padi (ton bh. kering)a

Sapi pedaging (ekor)b 1 NAD 1 860 233 702 689 2 Sumut 4 157 211 248 971 3 Sumbar 2 134 039 623 520 4 Riau 725 917 116 035 5 Jambi 790 487 150 220 6 Sumatera selatan 3 155 720 506 203 7 Bengkulu 560 191 79 122 8 Lampung 2 502 371 388 977 9 Kep Bangka Belitung 37 380 20 831 10 DKI Jakarta 14 852 0 11 Jawa Barat 9 494 717 227 504 12 Jawa Tengah 8 261 406 1 346 955 13 DI Yogyakarta 670 963 226 489 14 Jawa Timur 8 570 537 2 517 227 15 Banten 1 841 841 10 432 16 Nusa Tenggara Barat 1 646 219 427 960 17 Nusa Tenggara Timur 908 046 523 036 18 Kalimantan Barat 1 843 664 160 500 19 Kalimantan Tengah 1 156 465 45 530 20 Kalimantan Selatan 2 239 715 175 790 21 Kalimantan Timur 722 165 57 268 22 Sulawesi Utara 466 817 126 026 23 Sulawesi Tengah 888 946 196 040 24 Sulawesi Selatan 3 906 119 751 283 25 Sulawesi Tenggara 428 684 214 470 26 Gorontalo 190 592 168 267 27 Maluku 56 358 64 047 28 Papua 76 841 71 346 29 Maluku Utara 98 091 35 132 INDONESIA 60 135 501 10 726 347

(24)

amoniasi), perlakuan biologi (fermentasi dengan berbagai jenis mikroorganisme erob maupun anerob), dan perlakuan fisik (penggilingan, pembuatan pellet, dan pemanasan pada tekanan tinggi). Metode-metode tersebut sudah banyak dikaji dan telah memperlihatkan hasil cukup baik. Tetapi, penerapan metode-metode tersebut masih menghadapi banyak kendala apabila dalam skala yang besar, sehingga sulit diadopsi oleh peternak di Indonesia.

Berbagai jenis tanaman leguminosa yang memiliki kandungan protein tinggi juga telah banyak dicobakan ke ternak ruminansia sebagai suplemen. Hasil penelitian Manurung (1989) menunjukkan bahwa suplementasi hijauan lamtoro (Leucaena leucocephala) pada ransum berbasis jerami padi mendapatkan pertambahan bobot badan sapi jantan peranakan ongol sebesar 394 g/ekor/hari. Penerapan penggunaan suplementasi hijauan lamtoro juga sulit, karena produksi hijauan leguminosa ini terbatas dan ketersediaannya tidak kontinyu akibat semakin menyempitnya lahan penanaman hijauan pakan.

Suplemen urea dapat dikombinasikan dengan sumber energi yang siap tersedia (Readily available energy sources) misalnya molases, dengan cara disemprot pada pakan berserat berkualitas rendah, seperti jerami padi (Preston & Leng 1987). Namun demikian menurut Sahoo et al. (2004) berbagai upaya untuk mempopulerkan campuran urea molasses di tingkat petani di India tidaklah berhasil karena sering terjadi insiden kelebihan urea (overdosage) atau campurannya yang tidak homogen dengan pakan berserat, sehingga menimbulkan keracunan bagi ternak ruminansia. Hasil penelitian Sahoo et al. (2004) tentang suplementasi urea-molases pada ransum kerbau jantan berbasis jerami gandum menunjukkan pertambahan bobot badan yang nyata dibanding ransum kontrol atau tanpa suplemen (kontrol=213 g/ekor/hari dan dengan suplemen= 356 g/ekor/hari). Lebih lanjut juga disebutkan bahwa difisit protein pada pakan serat berkualitas rendah dapat dilakukan dengan memberikan tambahan protein pakan yang tidak tercerna dalam rumen (RUP) dan campuran urea-molases serta mineral dalam ransum ternak ruminansia.

(25)

halus, sehingga akan meningkatkan jumlah asam amino pakan yang mudah diserap; (2) optimalisasi fermentasi rumen untuk meningkatkan jumlah protein mikrobial, sehingga akan meningkatkan asam amino mikrobial yang mudah diserap; (3) enkapsulasi spesifik asam amino (atau asam amino analog) menggunakan agen proteksi degradasi mikrobial rumen. Stern et al. (2006) menegaskan bahwa setelah memaksimalkan sintesis protein mikrobial, jumlah substansi protein tidak terdegradasi di rumen (RUP) dari suplemen protein harus diinkoporasi kedalam pakan ruminansia yang berproduksi tinggi. Protein mikrobial rumen merupakan protein berkualitas tinggi untuk ruminansia, yaitu memiliki kecernaan yang tinggi didalam usus halus. Mengingat laju pertumbuhan mikrobial rumen mempengaruhi pasokan asam amino ternak ruminansia, maka penting untuk memaksimalkan sintesis protein mikrobial dalam rumen. Sintesis protein mikrobial dalam rumen memberikan sejumlah besar protein yang disuplai ke usus halus ruminansia, yaitu sampai 50-80% dari total protein yang dapat diserap. Jumlah protein mikrobial yang masuk ke usus halus tergantung pada ketersediaan nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien oleh bakteri rumen. Menurut Brunetti (2004) sekitar 60% protein murni didegradasi menjadi ammonia dalam rumen yang digunakan sebagai makanan mikrobial, selanjutnya akan menjadi protein mikrobial bagi ternak ruminansia, sedangkan yang 40% lagi lolos degradasi ke organ pasca rumen untuk diserap dalam usus halus. Disisi lain 100% Nitrogen bukan protein (NBP) dalam makanan didegradasi menjadi ammonia rumen, dan jika ammonia tersebut tidak dimetabolismekan oleh mikrobial, akan diserap oleh dinding rumen, yang pada akhirnya akan kembali menjadi nitrogen darah yang berasal dari urea. Oleh karena itu, berbagai alasan ini oleh para ahli gizi ternak ruminansia pada jaman sekarang ingin mengetahui seberapa banyak protein terlarut (protein soluble) dan bypass dalam ransum.

Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk Optimalisasi Biosintesis Protein Mikrobial Rumen

(26)

dikonsumsi sapi didegradasi dalam rumen menjadi peptide, asam amino, dan ammonia oleh aksi enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme-mikroorganisme tersebut. Selain itu, senyawa NBP, misalnya urea (NH2)2C=O

juga didegradasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3) didalam

rumen. Mikroorganisme-mikroorganisme rumen akan menggunakan ammonia yang dilepas dari degradasi protein dan NBP untuk dikonversi menjadi protein mikrobial (Sewell 1993; Rossi & Silcox 2007). Urea mudah larut dalam rumen dan mikroorganisme rumen akan cepat mendekomposisi menjadi NH3 dan CO2.

Menurut Perry (1980), nasib NH3 yang dilepas dari urea kemudian melewati

dua jalur (Gambar 1), yaitu 1) digunakan untuk sintesis protein mikrobial, dan 2) diabsorbsi melalui dinding rumen masuk pembuluh darah yang membawanya sampai ke hati. Hati akan mendetoxifikasi ammonia, dengan mengkonversi ammonia menjadi urea, untuk selanjutnya diekskresi ke urin. Tetapi, sebagian urea ini juga masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen (dengan melalui saluran darah) masuk kedalam cairan rumen. Namun demikian, bila NH3 yang terlepas dari rumen terlalu cepat, kapasitas NH3

di hati akan berlebihan, dan akan meluap ke sistem pembuluh darah. Level NH3

yang tinggi dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan keracunan dan bahkan kematian. Fenomena ini menunjukkan bahwa, urea akan efektif menjadi sumber protein sapi, bila kondisi didalam rumen menguntungkan bagi mikroorganisme untuk menggunakan ammonia dari urea sebelum NH3 lepas dari rumen.

(27)

PAKAN PROTEIN NBP UREA SALIVA

UREA

NH3

AS.AMINO PROTEIN NBP

PEPTIDA

ASAM AMINO

NH3

PROTEIN MIKROBIAL

Gambar 1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia (Perry 1980).

Hoover & Stokes (1991) bahwa bila jumlah bahan organik yang terfermentasi dalam rumen meningkat maka sintesis protein mikrobial juga meningkat. Beberapa percobaan in vitro (Stern et al. 1978) dan in vivo (Casper & Schingoethe 1989; Cameron et al. 1991) telah dilakukan bahwa infusi peningkatan sejumlah karbohidrat yang mudah terfermentasi dapat menurunkan konsentrasi N-ammonia, karena meningkatnya konsumsi N oleh mikrobial rumen. Ditemukan pula bahwa bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat, maka sejumlah besar N dapat hilang sebagai ammonia, dan sebaliknya bila laju fermentasi karbohidrat melebihi laju degradasi protein, maka sintesis protein mikrobial dapat

RUMEN

HATI

UREA

N- ENDOGEN

URIN NH3

PROTEIN

ASAM AMINO ABOMASUM

& USUS HALUS

N- PAKAN TIDAK TERCERNA

N- METABOLIC FECES

JARINGAN FECES

(28)

menurun (Nocek & Russel 1988). Ditegaskan oleh Jouany (1991) mikrobial rumen selain membutuhkan N (NH3, oligopeptida untuk bakteri, peptida untuk

protozoa), juga rantai karbon (VFA rantai cabang) dan ATP sebagai sumber energi untuk sintesis protein mikrobial.

Berbagai metoda digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikrobial rumen antara lain marker mikrobial ribonucleic acid (RNA) dan di-amino-pimilic acid (DAPA), serta isotop (35S, 15N, 32P), namun demikian proses penggunaan marker-marker atau isotop tersebut sangat komplex dan sulit diterapkan di kondisi lapang (Singh et al. 2007). Metode lain yang dapat digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikrobial adalah melalui derivate purin yang diekskresikan melalui urin. Purin (hasil degradasi asam nukleat dalam rumen) yang diabsorbsi dikonversikan menjadi derivate purin yaitu berupa asam urat dan allantoin. Purin yang diekskresikan per hari mempunyai korelasi linier dengan jumlah purin mikrobial yang diabsorbsi. Dengan asumsi rasio protein dan purin konstan dalam populasi mikrobial, maka ekskresi derivate purin digunakan sebagai index untuk menentukan protein mikrobial (Chen et al. 1990; Singh et al. 2007).

Prioritas utama dalam pemberian pakan ruminansia adalah menjamin tidak ada defisiensi nutrien dalam pakan yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobial. Lebih lanjut Galo et al. (2003) menegaskan bahwa NBP dalam pakan sapi pedaging dan sapi perah, dapat digunakan secara efektif sebagai sumber nitrogen untuk mikrobial rumen. Urea sebagai suplemen ransum ruminansia sering dipakai di beberapa negara, terutama yang memiliki keterbatasan tersedianya protein pakan dan secara ekonomi penggunaannya menguntungkan. Menurut Kowalczyk (1976) senyawa-senyawa NBP yang dapat digunakan sebagai pengganti protein untuk ruminansia harus tidak mahal, digunakan mikrobial rumen dengan baik, dan tidak berpengaruh negatip terhadap kesehatan ternak. Dibandingkan dengan senyawa NBP yang lain (Tabel 2), harga urea tidak mahal untuk setiap unit protein ekuivalen (N x 6.25), sehingga memungkinkan untuk menyusun ransum dengan harga yang relatif murah (Rossi & Silcox 2007). Disamping itu urea sudah dikenal dan secara luas digunakan petani di Indonesia.

(29)

ruminansia, tetapi penggunaannya dalam praktek pakan adalah terbatas karena harganya mahal. Biuret, relatif tahan hidrolisis dalam rumen, tetapi perlu adaptasi yang lama untuk penggunaannya oleh mikrobial rumen secara efisien. Kondisi

Tabel 2. Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein

Senyawa Rumus kimia Kandungan N

%

Protein ekuivalen (Nx6.25)

%

Urea (NH2)2CO 46.7 292

Ammonium lactate

CH3CHOHCO2NH4 13 81

Ammonium acetate

CH3CO2NH4 18 112

Acetamide CH3CONH2 23.7 148

Glutamine NH2CO(CH2)2CHNH2C

OOH

19 119

Biuret (pure)

NH(CONH2)2 40 252

Sumber: Kowalczyk (1976)

penggunaan ini dan tingkat penggunaan biuret untuk ternak ruminansia masih kontroversi (Fonnesbeck et al. 1975).

Penggunaan urea memiliki keterbatasan yaitu terlalu cepatnya urea melepaskan ammonia begitu kontak dengan enzim urease di dalam cairan rumen (Coppock et al. 1976; Visek 1984). Bloomfield et al. (1960) mendapatkan bahwa kecepatan pelepasan ammonia dari hidrolisis urea dapat mencapai 4 kali lebih cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikrobial rumen.

(30)

fermentasi urea dalam rumen. Lebih lanjut, Kowalczyk (1976) menegaskan bahwa pakan yang mengandung gula (molasses, gula tebu) dan pati (biji-bijian, umbi-umbian) sangat baik dan cocok untuk suplementasi dengan urea.

Hasil penelitian Prasetiyono (1992) menunjukkan bahwa sinkronisasi kecepatan pelepasan amonia asal urea dengan sumber energi asal ubi jalar yang dikukus telah mampu memacu pertumbuhan mikrobial rumen. Namun demikian kenyataannya sulit diterapkan karena membutuhkan bahan sumber energi yang terlalu banyak dan energi bahan bakar untuk pengukusan yang relatif kurang praktis. Hasil penelitian Chanjula et al. (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi penggunaan urea dengan pati yang berasal dari ubi kayu dan jagung dalam ransum sapi perah memberikan respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi sapi perah, namun menghasilkan income over feed cost yang lebih tinggi pada pati asal ubi kayu (54.0 US$/bulan vs 51.40 US$/bulan). Fenomena ini menunjukkan bahwa ubi kayu dapat dijadikan bahan sumber energi yang potensial sebagai pakan ruminansia.

Nampaknya berbagai cara telah dilakukan dalam upaya untuk menekan biaya penggunaan protein alami dengan menggunakan pengganti nitrogen bukan protein, seperti urea. Teknik perlambatan pelepasan amonia di rumen (slow release of ammonia=SRA) dari hidrolisis urea telah banyak diminati pada akhir-akhir ini, karena dipandang lebih efisien dan praktis dalam penerapannya. Galo et al. (2003) menemukan bahwa SRA terbuat dari urea yang dilapisi (coated urea=CU) terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan Nitrogen oleh mikrobial rumen. Selanjutnya, Antonelli et al. (2004) menemukan bahwa 20% urea yang diekstrusi dengan 80% pati jagung dapat mencegah keracunan ammonia dari hidrolisis urea dalam rumen. Menurut Stanton & Whittier (2006) keracunan urea ditandai dengan tremor, salivasi yang berlebihan, bernapas terengah-engah, kembung, dan tetani. Disebutkan pula bahwa ternak sapi biasanya mati bila level ammonia darahnya mencapai 5 mg%. Lebih lanjut disebutkan bahwa penggunaan bahan sumber energi akan memperbaiki penggunaan urea dalam ransum.

(31)

sebesar 70% dapat menurunkan konsentrasi amonia rumen dibandingkan kontrol yang menggunakan urea dalam formula konsentrat sapi perah laktasi.

Penelitian Helmer et al. (1970) mengungkapkan bahwa produk pemasakan ekstrusi campuran pati jagung dan urea, dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ammonia untuk dapat dikonversi menjadi protein mikrobial rumen, dibandingkan tanpa ekstrusi. Hal ini karena adanya gelatinisasi pati pada proses ekstrusi dapat menyediakan energi yang lebih besar, sehingga dapat meningkatkan penggunaan amonia oleh mikrobial rumen. Produk ekstrusi ini dengan kadar protein kasar 34% menghasilkan efisiensi yang tinggi dalam penggunan nitrogen oleh mikrobial rumen. Disebutkan pula bahwa kompleks pati-urea tersebut juga merupakan sumber energi yang baik serta memungkinkan sebagai substitusi protein untuk ruminansia.

Proses ekstrusi sering digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan dan bahan yang dipakai kebanyakan merupakan sumber karbohidrat. Menurut Muchtadi et al. (1988) proses ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana bahan tersebut dipaksa mengalir dibawah satu atau lebih kondisi operasi seperti pencampuran, pemanasan dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelombang kering (puff-dry). Alat untuk melakukan ekstrusi adalah ekstruder. Lebih lanjut disebutkan bahwa, ada dua jenis ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang dipergunakan dalam proses ekstrusi yaitu ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Mesin ekstruder banyak digunakan dalam pengembangan produk-produk baru seperti makanan ringan, makanan ternak atau produk modifikasi pati lainnya. Pada proses pemasakan ekstrusi digunakan aplikasi suhu tinggi dengan waktu olah yang singkat. Temperatur optimum proses ekstrusi kurang lebih 180oC dan kecepatan ulir sekitar 300 rpm dalam waktu kurang lebih 10 detik. Disebutkan pula, bahwa melalui aplikasi suhu tinggi bersaat olah singkat, maka kerusakan termal senyawa-senyawa gizi dapat diusahakan seminimal mungkin, terutama untuk protein dan vitamin, sekaligus berkemampuan merusak senyawa-senyawa anti-nutrisi dan senyawa-senyawa toksik.

(32)

pati dapat mengakibatkan ikatan pati menjadi lebih longgar (Gambar 2) sehingga terjadi pembebasan amilosa yang akan menyebabkan daya kelarutan meningkat. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Sofyan (1983) bahwa ubi kayu yang dimasak dengan pengukusan dapat mempengaruhi kelarutan pati. Sedangkan Szylit et al. (1978) menyebutkan bahwa proses pemasakan pati diantaranya bertujuan untuk mempercepat pemecahan pati oleh mikrobial rumen sehingga pelepasan energinya akan sejalan dengan pelepasan ammonia dari senyawa nitrogen bukan protein yang mudah dihidrolisis seperti urea dan akibatnya ammonia dapat digunakan lebih efisien dalam rumen.

Gambar 2 Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan granula pati

Pati terdiri dari suatu rantai unit-unit D-glucopyranosil dan memiliki rumus umum (C6H10O5)n dengan n = 250 sampai diatas 1000. Ada 2 komponen utama

pada molekul pati yaitu amylopektin (75-80% ) yang bentuknya merupakan suatu rantai bercabang dan sisanya adalah amylosa yang berbentuk linear (Austin 1986).

(33)

Menurut Gerpacio et al. (1979) ubi kayu merupakan sumber karbohidrat yang relatif murah dibanding jagung dan memiliki kandungan pati yang lebih tinggi (48.49%) dari pada jagung (45.35%). Disamping itu, ubi kayu mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi dari pada jagung (Sommart et al. 2000; Chanjula et al. 2003). Namun demikian, ubi kayu memiliki kandungan protein yang rendah (Kiyothong & Wanapat 2004; Wanapat & Khampa 2007). Rendahnya protein ini dapat di perbaiki dengan bahan aditif protein lainnya (Balagopalan 2002). Selain memanfaatkan umbinya, daun ubi kayu dapat digunakan sebagai sumber asam amino. Suryahadi & Amrullah (1989) menemukan bahwa daun tanaman ubi kayu dapat digunakan sebagai sumber asam amino leusin, phenilalanin dan valin, berturut-turut: 10.5, 3.6 dan 6.8% dari protein total daun ubi kayu. Penambahan asam-asam amino ini sangat tepat dalam ransum yang mengandung nitrogen bukan protein dan dapat meningkatkan produksi ternak.

Menurut Huber & Kung (1981) pada ransum yang mengandung NBP, kerangka karbon bercabang sangat potensial untuk menjadi faktor pembatas pertumbuhan mikrobial rumen. Asam-asam amino rantai cabang (branced-chain amino acids = BCAA), seperti valin, leusin, dan isoleusin di dalam rumen akan mengalami proses dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam-asam lemak rantai cabang. Asam isobutirat, asam 2-metilbutirat, dan asam isovalerat berturut-turut berasal dari asam amino valin, isoleusin, dan leusin. Asam-asam lemak rantai cabang ini juga mendukung dalam sintesis mikrobial rumen. Proses deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino rantai cabang dapat disederhanakan pada reaksi seperti berikut (Andries et al. 1987):

R-CH(NH2)COOH + H2O Æ RCOCOOH + NH3 + 2H+

RCOCOOH + H2O Æ RCOOH + CO2 + 2H+

R = (CH3)2CH-(valin)

= (CH3)2CHCH2-(leusin)

= CH3CH2CH(CH3)-(isoleusin)

(34)

Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen

Perbaikan nutrisi protein ternak ruminansia dapat ditempuh melalui peningkatan pasokan protein asal mikrobial (protein mikrobial) dan protein asal pakan yang lolos degradasi. Suatu sumber protein tidak tahan terhadap degradasi mungkin hanya akan memberikan masukan protein berupa protein mikrobial saja kepada hewan induk semang. Sebaliknya pemberian protein yang tahan degradasi, disamping protein mikrobial, hewan induk semang juga akan mendapat protein asal pakan yang lolos degradasi, sehingga persediaan asam amino bagi penyerapan usus menjadi lebih banyak (Stern et al. 2006).

Menurut Stern et al. (2006), degradasi protein dalam rumen yang berasal dari protein pakan yang terkonsumsi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi suplai asam amino dalam usus halus ruminansia. Proteolisis menentukan ketersediaan N-amonia, asam amino, peptide, VFA rantai cabang, yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikrobial dalam rumen. Laju dan tingkat proteolisis dalam rumen tidak hanya mempengaruhi sintesis protein mikrobial, tetapi juga jumlah dan kualitas protein pakan yang tidak terdegradasi yang masuk dalam duodenum. Meskipun protein mikrobial sendiri mungkin mampu mencukupi kebutuhan ruminansia yang berproduksi rendah, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan ruminansia yang berproduksi tinggi, terutama untuk pertumbuhan, produksi wool, dan produksi susu. Oleh karena itu, untuk ruminansia berproduksi tinggi, disamping pemberian suplemen protein pakan yang terdegradasi dalam rumen untuk memaksimalkan protein mikrobial rumen, perlu penambahan suplemen protein pakan yang lolos degradasi rumen (Rumen Undegradable Protein= RUP) karena akan memperbaiki suplai asam amino ke ternak ruminansia (Stern et al. 2006).

(35)

Solubilitas protein merupakan faktor kunci dalam menentukan kerentanan terhadap enzim protease mikrobial dan degradabilitasnya, misalnya: prolamin dan glutelin tidak larut dan lambat terdegradasi, sedangkan globulin larut dan mudah terdegradasi dalam rumen (Stern et al. 2006). Selain itu, struktur protein juga penting, misalnya: beberapa albumin dapat larut, tetapi mengandung ikatan disulfide sehingga menyebabkan lambat terdegradasi dalam rumen.

Tabel 3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein.

No. Sumber protein RUP

(% PK)

ID (% RUP)

IADP (%PK)

1. Bungkil biji kapuk 55 80 43

2. Tepung kedelai 25 90 22

3. Tepung kedelai terekstrusi 66 88 58

4. Ampas bir 57 77 44

5. Tepung darah 88 63 55

6. Tepung bulu 76 67 51

7. Tepung ikan 65 80 52

8. Tepung tulang &daging (MBM) 59 55 33

Sumber: Stern et al. (2006).

Menurut Kopecny & Wallace (1982) pH optimal untuk enzim proteolitik berkisar antara 5.5 – 7.0; tetapi degradasi protein berkurang pada pH rumen yang rendah. Selain degradasi protein terjadi karena aktivitas enzim proteolitik, juga dapat disebabkan oleh aktivitas enzim lain.

(36)

Kedelai merupakan suplemen protein untuk ternak ruminansia yang sudah banyak digunakan terutama di luar negeri seperti Amerika digunakan sebagai suplemen protein untuk ternak sapi pedaging dan sapi perah. Protein asal kedelai memiliki keunggulan tersendiri dalam kandungan asam aminonya, terutama kaya akan lysine, tetapi memiliki asam-asam amino pembatas pertama, kedua, dan ketiga masing-masing adalah methionine, valine dan isoleucine (Schingoethe 1996). Oleh karena itu, bila kedelai dikombinasikan dengan jagung (yang memiliki asam amino pembatas lysine) akan menghasilkan imbangan protein yang baik. Namun demikian, kedelai memiliki efisiensi protein yang relatif rendah, karena masih terdegradasi dalam rumen. Jumlah protein kedelai yang lolos dari fermentasi rumen adalah 25% (Stern et al. 2006). Sehingga dalam aplikasinya sebagai suplemen protein ruminansia masih perlu diproteksi agar dapat meningkatkan kemampuan lolos dari degradasi rumen yang sangat penting memberikan kontribusi bagi industri peternakan sapi pedaging dan sapi perah, serta perkembangan industri kedelai.

Upaya untuk proteksi sumber protein pakan dari degradasi dalam rumen sudah banyak dilakukan, yaitu dengan cara pemanasan bahan makanan, pemberian air minum yang banyak, dan perlakuan kimiawi serta pembungkusan protein dengan kapsul (Chalupa 1974). Orskov (2002) mencoba melindungi protein dengan asam tannin. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa asam tannin dapat meningkatkan penyerapan N dalam saluran pencernaan pasca rumen dibandingkan penggunaan kapsul dan tanpa perlindungan. Peneliti lain ada yang menggunakan formaldehid sebagai protektor (Kanjanapruthipong et al. 2002; Sahoo et al. 2004; Abdullah & Awawdeh 2004). Namun demikian, penggunaan protektor tersebut kurang ekonomis dan sulit penerapannya, karena formaldehid sebagai bahan protektor memiliki potensi karsinogenik (carcinogenic effect), sehingga kurang aman bagi ternak (Leng 1991).

(37)

Dijelaskan pula bahwa xylosa lebih cepat bereaksi dengan asam amino melalui reaksi pencoklatan (browning reaction) dibandingkan gula pereduksi lainnya. Temuan ini juga didukung oleh Can & Yilmaz (2002), bahwa xylosa dapat digunakan sebagai protektor protein kedelai dari degradasi rumen, melalui reaksi Mailard (non-enzimatic browning reaction) dan aman dikonsumsi ternak.

Menurut Harper et al. (1979) xylosa termasuk karbohidrat dari grup monosakarida yang memiliki lima atom karbon (pentose: C5H10O5). Hasil

penelitian Lewis et al., (1988) yang disitasi oleh Leng (1991) tentang pengaruh suplementasi pakan sapi berbahan dasar hijauan dan protein tepung kedelai yang disemprot dengan xylosa (berbahan asal cairan sulfite) dan dipanaskan pada suhu 200 oF selama 2 jam menghasilkan bobot badan harian sapi seperti yang tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot badan Sapi

Perlakuan Pertambahan bobot hidup (g/hari)

Tanpa suplemen + 7 % tepung kedelai

+ 9 % tepung kedelai + 10 % sulfite liquor + 8 % tepung kedelai + 5 % sulfite liquor

591 673 823 841

Sumber: Lewis et al. (1988) yang disitasi oleh Leng (1991).

Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging

Pakan ternak sapi pedaging terdiri dari pakan kasar dan konsentrat (Perry 1980). Pakan kasar atau hijauan memiliki kandungan serat kasar 18% atau lebih, sedangkan konsentrat memiliki kandungan serat kasar yang rendah atau kurang dari 18% (Ensminger 1990). Bahan konsentrat yang diberikan ke sapi sebagai sumber energi antara lain: bekatul, gandum, dedak gandum, sorghum, tepung ubi kayu, sedangkan yang merupakan sumber protein antara lain: tepung kedelai, bungkil kapuk, bungkil wijen, bungkil kelapa (Perry 1980).

(38)

nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan mikroflora rumen dan memperbaiki ekosistem rumen, 2) mengoptimalkan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme melalui suplementasi bypass protein, karbohidrat dan lemak, 3) meningkatkan palatibilitas dan kecernaan, 4) mengoptimalkan kebutuhan mineral (Gurnadi 1993).

Menurut Frisch (1978) teknologi pakan yang digunakan untuk usaha penggemukan sapi sistem feedlot sebaiknya dengan “Grainfed” , dengan komposisi konsentrat 80 s/d 85% dan pakan kasar atau hijauan 15%. Disebutkan pula bahwa pemberian konsentrat diatas 85% dapat mengakibatkan acidosis atau asam lambung. Pakan kasar yang ditambahkan tersebut dapat menstimulasi proses ruminansi dan mencegah kemungkinan adanya gangguan pencernaan. Menurut Jesse et al. (1976) penggunaan konsentrat tinggi (lebih dari 70%) pada usaha penggemukan sapi, akan meningkatkan konsumsi pakan, laju pertumbuhan, efisiensi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak, serta dapat menurunkan alokasi biaya pakan untuk setiap unit pertambahan berat badan. Disebutkan pula bahwa sapi pedaging mampu mengkonsumsi bahan kering pakan sebanyak 2.5 – 3% dari berat badan untuk setiap hari. Pemeliharaan sapi yang selalu dikandangkan secara feedlot dengan pakan yang dominan adalah biji-bijian, sering mengalami kekurangan vitamin A dan D, sehingga kedalam ransumnya perlu adanya penambahan vitamin A dan D (Preston & Willis 1974). Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik antara lain: sifat fisik atau kimia pakan, permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan kapasitas saluran pencernaan, bobot hidup yang berhubungan dengan perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga mampu menampung bahan kering dalam jumlah yang banyak (Parakkasi 1999).

Komposisi Tubuh

(39)

komposisi tubuh, yaitu persentase air tubuh mengalami penurunan, persentase lemak meningkat, proporsi tulang menurun, sedangkan persentase protein tubuh relatif konstan. Sebaliknya, penurunan bobot badan menyebabkan peningkatan proporsi tulang, sedangkan proporsi otot sedikit menurun dan proporsi lemak tidak mengalami perubahan yang berarti (Soeparno 1992; Parakkasi 1999). Menurut Berg & Butterfield (1976) komposisi tubuh dari bobot kosong pada ternak sapi adalah air 39.8-77.6%, protein 12.4-20.6%, lemak 1.8-44.6%, dan abu 3.0-6.1%.

Beberapa metoda pendugaan komposisi tubuh telah banyak dilakukan, yaitu metode langsung dan tidak langsung. Pendugaan komposisi tubuh dengan metode langsung dapat dilakukan dengan pemotongan pada ternak. Pengukuran komposisi tubuh dengan pemotongan ternak memiliki hasil yang cukup akurat, tetapi biayanya cukup mahal. Sapi yang telah dipotong kemudian dilakukan pemisahan daging, lemak dan tulang, kemudian diambil sampel untuk analisis proksimat, sehingga dapat diketahui kadar air, lemak, protein, karbohidrat, dan mineral ternak tersebut (Astuti dan Sastradipradja 1999).

Pendugaan komposisi tubuh dengan metode tidak langsung dapat dilakukan dengan cara menginjeksikan perunut (tracer) atau dilution techniques ( McDonald et al. 1988). Beberapa syarat yang harus digunakan pada metode dilution techniques, antara lain: 1) mudah larut dan terbawa keseluruh tubuh, 2) tidak bersifat racun dan tidak berpengaruh secara fisiologis, 3) tidak disekresi dan tidak ikut dalam metabolisme tubuh, 4) konsentrasi dalam darah dapat diukur dengan mudah. Beberapa perunut yang dapat digunakan untuk menduga komposisi tubuh antara lain tritium (T2O), deuterium (D2O), potassium (40K), dan urea (Berg &

Butterfield 1976; Andrew et al. 1995).

(40)
(41)

Penelitian telah dilakukan mulai bulan Pebruari 2006 sampai dengan

Desember 2006, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (1) rekayasa CASREA

berbasis ubi kayu-urea terekstrusi, (2) rekayasa SOYXYL dari proteksi protein

kedelai dengan xylosa black liquor, (3) rekayasa suplemen protein sebagai

stimulan pertumbuhan sapi pedaging melalui kombinasi CASREA dan SOYXYL.

Pelaksanaan percobaan 1 dan 2 yaitu dengan uji fermentasi in vitro di

Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UNDIP, sedangkan percobaan 3 yaitu

uji SPN pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi (feeding trial)

di perusahaan peternakan sapi “LUWES” Karang anyar, Jawa Tengah. Uji

fermentasi in vitro dilakukan dengan metode batch culture (GLP 1966), dengan

menggunakan cairan rumen sebagai sumber inokulum yang diperoleh dari satu

sapi berfistula rumen, dan pada percobaan in vivo (feeding trial) digunakan 16

sapi perah jantan untuk tujuan sebagai sapi pedaging.

Jerami dan dedak padi berasal dari varitas IR 64 dan merupakan pakan

utama yang sudah biasa diberikan di perusahaan peternakan sapi “LUWES”. Ubi

kayu (cassava) yang digunakan dalam percobaan 1 adalah ubi kayu lokal asal

Klaten Jawa Tengah dari varitas Cemani, sedangkan urea yang digunakan

diproduksi oleh Pabrik Pupuk Kaltim. Kedelai yang digunakan dalam percobaan 2

adalah kedelai lokal varitas Malabar asal Grobogan Jawa Tengah, sedangkan

xylosa black liquor berasal dari limbah pabrik kertas Padalarang Jawa Barat.

Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi

Guna memperoleh suplemen protein (SPN) yang dapat didegradasi dalam

rumen dan mampu mendukung pertumbuhan mikrobial rumen, maka dalam

percobaan ini diformulasikan dan dibuat SPN berbahan utama cassava dan urea

(selanjutnya disebut Casrea). Dalam percobaan ini dibandingkan 4 (empat)

macam Casrea yang berbeda dalam komposisi bahan dan proses pembuatannya

(Tabel 5).

Percobaan ini dibagi dalam 2 kajian, yaitu kajian 1: analisis konsentrasi

(42)

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial

4X3 dengan 3 kali ulangan pada tiap kombinasi perlakuan. Faktor A adalah

macam CASREA: Casrea1 (dibuat tanpa melalui ekstrusi sebelumnya); Casrea2

(diekstrusi sebelumnya), Casrea3 (diekstrusi sebelumnya), dan Casrea4 (diekstrusi

sebelumnya). Faktor B adalah waktu inkubasi: 2, 4, dan 6 jam. Ekstrusi dilakukan

pada suhu (180oC) dan tekanan sama (3000 kg/cm2) pada semua perlakuan

(Helmer et al. 1970) dengan menggunakan mesin ektruder merk Toshiba. Kajian

2: analisis kecernaan protein kasar (Tilley & Terry 1969) menggunakan RAL

dengan perlakuan 4 macam CASREA (sama dengan kajian 1) dan 3 kali ulangan.

Tabel 5 Komposisi bahan dan proses pembuatan Casrea

Bahan (%) Macam Casrea

Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4

tanpa ekstrusi ekstrusi

Urea 32 22 27 32

Ubi kayu 58 68 63 58

Tepung daun ubi kayu 5 5 5 5

Ca CO3 2 2 2 2

Garam 1 1 1 1

Mineral & Vitamin

(Merk Starvit)

2 2 2 2

Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa Black Liquor

Guna memperoleh SPN bernilai hayati tinggi (SOYXYL) yang dapat

dimanfaatkan oleh organ pasca rumen, maka protein kedelai diproteksi dengan

xylosa Black Liquor (BL) melalui proses ekstrusi. BL diperoleh dari by product

olahan pabrik kertas Padalarang dengan bahan baku merang padi, melalui proses

hidrolisis basa. Berdasarkan hasil analisis dengan metode High Performance

Liquid Chromatography (HPLC), konsentrasi xylosa pada BL yang telah

(43)

dirancang dengan RAL pola faktorial (3x4), 3 ulangan. Faktor A adalah suhu

ekstrusi: 120, 150, dan 180oC, dan faktor B adalah kadar BL: 0, 3, 6 dan 9% dari

bahan kering tepung kedelai yang diuji. Waktu inkubasi batch culture dilakukan

selama 4 jam untuk pengukuran NH3, VFA, dan protein endapan, sedangkan

metode untuk pengukuran kecernaan protein kasar sama dengan percobaan 1.

Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL

Guna memperoleh suplemen protein sebagai stimulan pertumbuhan sapi

pedaging diperlukan kombinasi yang ideal dari CASREA (SPN terdegradasi

dengan laju yang diperlambat, sebagaimana hasil percobaan 1 yang terbaik)

dengan SOYXYL (SPN tahan degradasi, sebagaimana hasil percobaan 2 yang

terbaik). Suplementasi dari kombinasi kedua bahan tersebut diberikan pada

ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Ternak yang digunakan

adalah 16 sapi perah jantan Peranakan Frisian Holstein (PFH) periode

pertumbuhan berumur antara 12-15 bulan. Semua sapi dilengkapi dengan

peralatan harness untuk koleksi feces dan urin. Percobaan menggunakan

rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Pengelompokkan

berdasarkan bobot badan awal penelitian, yaitu kelompok 1, 2, 3 dan 4

masing-masing berkisar 160-201, 225-229, 239-271, dan 274-320 kg. Perlakuan terdiri

atas 4 macam ransum, yaitu R0= kontrol (sapi hanya diberi jerami dan dedak padi

tanpa suplementasi), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, dan R3= R0 + SPN C.

SPN A, B, dan C dengan rasio CASREA/SOYXYL masing-masing 20/80, 50/50,

dan 80/20. Sebelum pelaksanaan penelitian semua sapi tersebut diberi obat

cacing agar terbebas dari kontaminasi cacing dan secara fisiologis dinyatakan

sehat. Injeksi vitamin juga diberikan sebelum dilakukan penelitian yaitu vitamin

B1, A, D, dan E.

Percobaan dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pendahuluan

(preliminary period) yang berlangsung selama 14 hari untuk menstabilkan dan membiasakan konsumsi. Selama periode pendahuluan, pakan yang diberikan

sudah disesuaikan dengan kebutuhan bahan kering (BK), yang dihitung 3% dari

(44)

(collecting period) selama 44 hari. Kandungan nutrien bahan pakan yang diberikan pada sapi percobaan berupa jerami padi, dedak padi, dan suplemen

protein (SPN A, SPN B, dan SPN C), disajikan pada Tabel 6, sedangkan

kandungan nutrien ransum perlakuan pada Tabel 7.

Tabel 6 Kandungan nutrien bahan pakan yang diberikan pada sapi percobaan.

Bahan BK

Tabel 7 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dicobakan.

Perlakuan Nutrien (%)

R0 R1 R2 R3

Bahan kering 86.86 88.51 88.44 88.28

Bahan organic 78.69 79.94 79.83 79.75

Protein kasar 7.51 11.41 12.00 13.00

TDN 60.50 65.00 64.00 63.00

Lemak kasar 6.00 6.22 6.17 6.20

Serat kasar 34.98 33.09 33.08 32.73

Ca 0.18 0.74 1.05 1.40

P 1.06 1.75 1.57 1.40

Perubahan konsumsi pakan secara periodik diamati dengan penimbangan

bobot badan setiap 10 hari sekali dengan menggunakan timbangan sapi digital

kapasitas 1000 kg merk RUDDWEIGH electronic weighing system. Jerami padi

dan air minum diberikan ad libitum. Dedak padi diberikan sebanyak 70% dari

kebutuhan BK (3% bobot badan) atau setara dengan 2.1% dari masing-masing

bobot badan sapi. Suplemen protein (SPN) diberikan sebanyak 10% dari

kebutuhan BK (3% bobot badan) atau setara dengan 0.3% dari masing-masing

bobot badan sapi.

Peubah yang diamati pada percobaan 3 adalah pertambahan bobot badan

harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien (bahan

(45)

ammonia darah sebelum dan 3 jam setelah diberi ransum, protein mikrobial

rumen, komposisi tubuh, dan energi methan. Pendugaan protein mikrobial rumen

dilakukan melalui analisis derivate purine urine (Pimpa et al. 2001), pendugaan

komposisi tubuh dengan teknik urea space (Astuti & Sastradipradja 1999), dan

pendugaan energi methan melalui metode Kurihara et al. (1999), pengukuran

konsentrasi urea dan ammonia darah masing-masing dengan metode Berthelot dan

metode Raneff (Chaney & Marbach 1962).

Pengukuran Peubah Teknik Fermentasi in vitro

Teknik fermentasi in vitro yang dipakai adalah metode batch culture (GLP

1966). Sebanyak 3 gram sampel suplemen protein dimasukkan kedalam tabung

reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum (yang berasal dari rumen

sapi berfistula) dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok. Larutan

penyangga McDougall tersebut memiliki komposisi seperti disajikan pada Tabel

8, dan sebelumnya dijenuhkan dengan CO2, sehingga pH-nya berkisar 6.8-6.9.

Sebelum difermentasikan isi fermentor juga dialiri CO2 untuk menciptakan

suasana anaerob dan selanjutnya fermentor ditutup rapat dengan tutup karet

berventilasi. Kemudian diinkubasikan kedalam Shaker bath pada temperature

40oC. Proses fermentasi dihentikan dengan menggunakan 0.2 ml HgCl2 jenuh.

Kemudian diambil sampel cairan rumen hasil fermentasi tersebut untuk dianalisis

konsentrasi VFA, NH3, dan protein endapan.

Pengukuran Konsentrasi VFA

Konsentrasi VFA diukur dengan menggunakan metode “steam destilation

(GLP 1966). Sebanyak 5 ml supernatan (cairan rumen) dimasukkan kedalam

tabung destilasi kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Tabung secepatnya

ditutup dengan sumbat karet yang telah dihubungkan dengan pipa destilasi

berdiameter ± 0.5 cm. Kemudian ujung pipa yang lain dihubungkan dengan alat

pendingin Leibig. Tabung destilasi dimasukkan kedalam labu destilasi yang telah

(46)

Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 500 ml yang telah diisi 5 ml

NaOH 0.5 N. Destilasi selesai pada saat jumlah destilat yang tertampung

mencapai 300 ml. Destilat yang tertampung ditambahkan indikator

phenolphthalein (pp) sebanyak 2-3 tetes lalu dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai

terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna (bening).

Kadar VFA total dapat dihitung sebagai berikut:

VFA total (mM)=(ml HCl – ml blanko) x N HCl x 1000/5

Tabel 8 Komposisi larutan penyangga

Bahan Kimia Konsentrasi (g/6 liter)

NaHCO3 58.8

Na2HPO4.7H2O 42.0

KCl 3.42 NaCl 2.82

MgSO4. 7H2O 0.72

CaCl2 0.24

Sumber: GLP (1966).

Pengukuran Konsentrasi NH3 Rumen

Teknik pengukuran NH3 ini menggunakan metode micro difusi conway

(GLP 1966). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan dalam salah satu sekat cawan

conway. Pada sisi yang lain diletakkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Pada cawan

kecil dibagian tengah diisi dengan asam borat berindikator merah metil dan brom

kresol hijau sebanyak 1 ml. Kemudian cawan conway ditutup rapat dengan tutup

bervaselin lalu digoyang-goyangkan supaya supernatan bercampur dengan

Na2CO3. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. NH3 yang terikat

asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N, sampai titik awal perubahan warna

dari biru menjadi kemerah-merahan. Konsentrasi NH3 dihitung menggunakan

rumus berikut:

NH3 (mM)=(ml H2SO4-ml H2SO4blanko) x N H2SO4x 1000

Pengukuran Bobot Protein Endapan

Pengukuran bobot protein endapan menggunakan metode Shultz & Shultz

(1969). Sebanyak 8 ml cairan rumen dicampur dengan 2 ml larutan TS (10%

(47)

diaduk merata dan didiamkan 10 menit, lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000

rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang, endapan ditambahkan lagi 1 ml larutan

TS dan ditambahkan aquades sampai volumenya 8 ml, kemudian disentrifuse lagi.

Endapan yang diperoleh dianalisis konsentrasi protein kasar (PK) dengan metode

Kjeldahl.

Metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi, dan

titrasi. Tahap destruksi adalah sebagai berikut: ditimbang sekitar 0.3 gram sampel

secara teliti dan dicatat sebagai X, kemudian dimasukkan kedalam labu destruksi.

Kemudian ditambahkan 1 gram katalis campuran selen serta 20 ml H2SO4 pekat

teknis dan dihomogenkan. Campuran dipanaskan dengan alat destruksi,

mula-mula pada posisi “low” sekitar 10 menit, kemudian pada posisi “mid” selama 5

menit, dan pada posisi “high” sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau,

proses ini berlangsung dalam ruang asam.

Selanjutnya tahapan destilasi, labu destruksi tadi didinginkan kemudian

larutan tersebut dimasukkan kedalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300

ml air bebas N. Setelah itu ditambahkan 5 butir batu didih dan larutan dijadikan

basa dengan menambahkan 300 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling

dipasang dengan cepat diatas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan

hingga semua N tertangkap oleh H2SO4 yang ada didalam Erlenmeyer, atau

setelah dua pertiga larutan dalam labu penyuling telah menguap.

Proses terakhir adalah titrasi. Labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan

tadi diambil, kemudian kedalam H2SO4 ditambahkan indikator pp dan kemudian

dititar dengan menggunakan NaOH 0.3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi

perubahan warna dari merah jambu menjadi biru. Volume NaOH dicatat sebagai

Z ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko Y ml. Bobot protein endapan

(gram) dihitung berdasarkan rumus berikut:

%PK = (Y-Z) x (14g/1000ml) x N NaOH x 6.25 x 100%

g Sampel (X)

Gambar

Gambar 1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia (Perry 1980).
Tabel  2.  Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein
Gambar  2  Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan                     granula pati
Tabel 4  Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot badan                Sapi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Modal manusia, karyawan yang memiliki potensi yang berkontribusi positif bagi organisasi; disertai dengan modal struktural, sistem pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan

Hasil penelitian ini menunjukkan, (1) tingkat penerapan Standard Operating Procedure-Good Agriculture Practice (SOP-GAP) pada usahatani padi organik di Kabupaten Bantul cukup

Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh kualitas pelayanan terhadap loyalitas pelanggan pada restoran cepat saji Solaria Istana Plaza Bandung. Untuk mengetahui besar pengaruh

Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat efektivitas komunikasi orang tua pada remaja tentang seksualitas remaja di wilayah kerja

Ayah dan ibu saya, sujud kupersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayah dan Ibu yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang, nasehat,

Pandangan inferior terhadap wanita, atau kesalah pahaman terhadap asal penciptaan wanita dari tulang rusuk pria berkonotasi bahwa wanita diciptakan dari dalam

sehari­hari 3.2 Memahami  hakekat Yajňa  yang  terkandung  dalam   Mahābhārata 4.2  Menyajikan   pelaksanaan  Yajňa menurut  Mahābhārata  dalam  kehidupan Yajña

BAB II METODE PELAKSANAAN Untuk penyelesaikan permasalahan mitra, maka dilakukan penerapan iptek dalam bentuk penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan terhadap Mitra,