• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Pengendalian Kualitas Baja Beton Polos Dengan Metode Dmaic (Define, Measure, Analysis, Improve, Control) Dan Fmea (Failure Mode And Effects Analysis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Pengendalian Kualitas Baja Beton Polos Dengan Metode Dmaic (Define, Measure, Analysis, Improve, Control) Dan Fmea (Failure Mode And Effects Analysis)"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN : Tabel FMEA

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Bagchi, Tapan P. 1999. Multiobjective Scheduling by Genetic Algorithms. Kluwer Academic Publishers, New York.

Bames, Ralph M. 1980. Motion and Time Study and Work Measurement. New York: John Wiley & Sons Inc.

Darmawan, Irfan. 2011. Hibridisasi Genetic-Tabu Search Algorithm untuk Penjadwalan Job terhadap Beberapa Resource di Dalam Komputasi Grid. Universitas Siliwangi. Jawa Barat.

Ginting, Rosnani. 2009. Penjadwalan Mesin. GrahaIlmu, Yogyakarta.

Hakim N, Arman. 1999. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Guna Widya, Surabaya.

Kumar, Gaurav dan Shailja Singhal, 2013, Genetic Algorithm Optimization of Flow Shop Scheduling Problem with Sequence Dependent Setup Time and

Lot Splitting, India.

Modrak, Vladimir, dkk. 2010. Flow Shop Scheduling Algorithm to Minimize Completion Time for n-Jobs m-Machine Problem. Technical University of Košice. Slovakia.

Pinedo, Michael L. 2011. Scheduling, Theory, Algorithms, and System. Edisi keempat. New York, USA.

Sinulingga, Sukaria. 2011. Metodologi Penelitian. USU Press, Medan.

Sutalaksana, Iftikar Z. 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Bandung: Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung.

Werner, Frank. 2011. Genetic Algorithms for Shop Scheduling Problems: A Survey. Otto-von-Guericke-Universität. Germany.

(3)

V-1

BAB III

LANDASAN TEORI

1.3. Definisi Kualitas1

Meskipun tidak ada defenisi kualitas yang bisa diterima secara universal, dari defenisi- defenisi yang ada terdapat beberapa kesamaan yaitu dalam elemen-elemen yaitu:

2.3. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. 2.4. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.

2.5. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang).

Dengan berdasarkan elemen-elemen tersebut, Goetsch dan Davis (1994) membuat defenisi mengenai kualitas yang lebih luas cakupannya. Defenisi tersebut

adalah “Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan

produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi

harapan”.

2.3. Perspektif Kualitas

David Garvin (1994) mengidentifikasi adanya lima alternative perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu :

(4)

V-1 1

Tjiptono, Fandy.2003.Total Quality management.Yogyakarta:Penerbit Andi. Hal 2-38 1.7. Transcendental Approach

Kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit untuk didefenisikan dan dioperasionalkan. Selain itu perusahaan dapat mempromosikan produk-produknya, dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit menggunakan defenisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.

1.8. Product-Based Approach

Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat di kuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsure atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan dalam selera, kebutuhan dan preverensi individual.

1.9. User-Based Approach

Pendekatan ini didasarkan kepada pemikiran bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas tinggi. Perspektif

yang subjektif dan demand oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakan.

(5)

V-1 1.10. Manufacturing-Based Approach

Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefenisikan kualitas sebagai sama dengan persyaratannya (conformance to requirements).

Pendekatan ini berfokus kepada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang sering kali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan oleh perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.

3 Value-Based Approach

Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan memperhatikan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefenisikan

sebagai “affordable excellent”. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relative,

sehingga produk yang paling memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa yang paling tepat dibeli (best buy).

2.4.2. Pengendalian Kualitas2

Dr. Juran (1962) mendukung pendelegasian pengendalian kualitas kepada tingkat paling bawah dalam organisasi melalui penempatan karyawan ke dalam swakendali (self-control). Pengendalian kualitas melibatkan beberapa aktivitas yaitu :

(6)

V-1

2.4.3. Mengevaluasi kerja aktual (actual performace) 2.4.4. Membandingkan aktual dengan target / sasaran

2

Indranata, iskandar. 2008. Pendekatan Kualitatif untuk Pengendalian Kualitas . Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.Hal. 32-46

3. Mengambil tindakan atas perbedaan antara aktual dan target.

Pada dasarnya performansi kualitas dapat ditentukan dan diukur

berdasarkan karakteristik kualitas terdiri dari beberapa sifat atau dimensi yaitu : 2. Fisik seperti panjang, berat, diameter, tegangan, kekentalan.

3. Sensoris (berkaitan dengan panca indera) seperti rasa, penampilan, warna dan bentuk.

4. Orientasi waktu seperti keandalan, kemampuan pelayanan, kemudahan pemeliharaan, ketepatan waktu penyerahan produk.

5. Orientasi biaya seperti berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga atau ongkos dari suatu produk yang harus dibayarkan oleh konsumen.

Pada dasarnya suatu pengukuran performansi kualitas dapat dilakukan pada tiga tingkat yaitu tingkat proses, tingkat output dan tingkat outcome.

Pengendalian proses statistika dapat diterapkan pada tingkat pengukuran performansi kualitas. Bagaimanapun, pengukuran performansi kualitas yang akan dilakukan seharusnya memeprtimbangkan setiap aspek dari proses operasional yang mempengaruhi persepsi pelanggan tentang nilai kualitas. Perlu dicatat pula bahwa informasi tentang kebutuhan pelanggan yang diperoleh melalui riset pasar

(7)

V-1

harus didefenisikan dalam bentuk yang tepat dan pasti melalui atribut-atribut dan variable-variabel. Selanjutnya atribut-atribut dan variable-variabel dari produk inilah yang kemudian merupakan basis dari pengendalian proses statistika. Adapun yang menjadi pertimbangan dalam pengukuran performansi kualitas adalah :

1.5. Performansi (performance), berkaitan dengan aspek fungsional dari produk itu

1.6. Features, berkaitan dengan pilihan-pilihan dan pengembangannya

1.7. Keandalan, berkaitan dengan tingkat kegagalan dalam penggunaan produk itu 1.8. Serviceability, berkaitan dengan kemudahan dan ongkos perbaikan

1.9. Konformansi, berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan 1.10. Durability, berkaitan dengan daya tahan atau masa pakai dari produk

1.11. Estetika, berkaitan dengan desain dan kemasan dari produk itu

1.12. Kualitas yang dirasakan bersifat subjektif, berkaitan dengan perasaan pelanggan dalam mengonsumsi produk itu seperti meningkatkan gengsi, moral dan lain-lain.

2. Six sigma3

Motorola mempelajari mengenai kualitas dengan cara yang sulit. Secara terus menerus dikalahkan dipasar yang kompetitif. Di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an perusahaan menanggapi tekanan yang kompetitif. Motorola saat itu, Bob Galvin, memulai perusahaan pada jalur kualitas dan menjadi tokoh bisnis sebagian besar karena hasil yang dia capai dalam kualitas di Motorola.

(8)

V-1

3 Pyzdek, Thomas. 2002. The Six sigma Handbook, Panduan lengkap Untuk Greenbelts,Blackbelts,

dan Manajer pada Semua Tingkatan. Jakarta: Salemba Empat. Hal.1-3

Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode kualtias Six sigma Motorola dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri,karena manajemen industri frustasi terhadap system manjemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defect).setelah Morola memenangi penghargaan MBNQA (

the Malcolm Baldrige National Quality Award) pada tahun 1988, rahasia kesuksesan mereka menjadi pengetehuan public, dan pada sejak saat itu program

six sigma yang diterapkan oleh Motorola menjadi sangat terkenal diAmerika Serikat.

3.2.1. Definisi Six sigma.4

Six sigma merupakan suatu proses disiplin ilmu yang membantu kita mengembangkan dan menghantarkan produk mendekati sempurna. Six sigma

bukan semata-mata merupakan inisiatif kualitas. Six sigma merupakan inisiatif bisnis untuk mendapatkan dan menghilangkan penyebab kesalahan atau cacat pada output proses bisnis yang penting di mata pelanggan.7

Defenisi lain dari Six sigma adalah tujuan yang hampir sempurna dalam memenuhi persyaratan pelanggan. Pada dasarnya, defenisi itu juga akurat karena

istilah” Six sigma” sendiri merujuk kepada target kinerja operasi yang diukur

(9)

V-1

secara statistik dengan hanya 3,4 cacat (defect) untuk setiap juta aktivitas atau peluang. Hanya segelintir perusahaan atau yang dapat mengklaim telah meraih tujuan tersebut. Manfaat Six sigma mencakup :

4 Hendradi, Tri C.2006.Statistik Six sigma dengan Minitab.Yogyakarta: CV Andi.Hal 2

4. Pengurangan biaya

5. Peningkatan produktivitas 6. Pertumbuhan pangsa pasar 7. Retensi pelanggan

2. Pengurangan waktu siklus 3. Pengurangan defect (cacat) 4. Pengembangan produk/jasa

3.2.2. Konsep Six sigma Motorola5

Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai

sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan/atau jasa) diproses pada tingkat kualitas Six sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem

(10)

V-1

industri akan semakin baik. Sehingga 6-sigma otomatis lebih baik daripada 4-sigma, 4-sigma lebih baik dari 3-sigma. Six sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatic) di tingkat bawah.

5 Vincent Gaspersz.2005. Pedoman Implementasi Program Six sigma Terintegrasi

dengan ISO9001:2000, MBNQA, dan HACCP. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama..Hal.

9-293

Terdapat enam aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep

Six sigma, yaitu :

1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk.

3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses.

5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan semua pemborosan yang ada.

6. Tingkatkan proses secara terus menerus menuju target Six sigma.

Apabila konsep Six sigma akan ditetapkan dalam bidang manufakturing, terdapat enam aspek yang perlu diperhatikan yaitu:

7. Identifikasi karakteristik produk yang memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspetasi pelanggan).

8. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (Critical-To-Quality) individual.

(11)

V-1

9. Menentukan apakah setiap CTQ tersebut dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin proses kerja dan lain-lain.

10.Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggn (menentukan nilai UCL dan LCL dari setiap CTQ). 11.Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai

maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ ).

12. Mengubah desain produk dan/atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six sigma, yang berarti memiliki indeks kemampuan proses, Cpm minimum sama dengan dua (Cpm ≥ 2).

Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six sigma

process control) mengizinkan adanya pergesaran nilai rata-rata (mean) setiapCTQ individual dari proses industri terhadap nilai spesifikasi target (T) sebesar ± 1,5-sigma, sehingga akan menghasilkan 3,4 DPMO (defects per millionopportunities). Dengan demikian berdasarkan konsep Six sigma Motorola, berlaku toleransi penyimpangan (mean - target) = (μ - T) = ± 1,5σ, atau μ = T ± 1,5σ.

Proses Six sigma dengan distribusi normal yang mengizinkan nilai rata-rata (mean) proses bergeser 1,5σ dari nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

LSL T UCL

- 1,5σ + 1,5σ

(12)

V-1

- 6σ - 3σ - 2σ- 1σmean σ + 2σ + 3σ + 6σ Gambar 3.1. Konsep Six sigma Motorola dengan Distribusi

Normal Bergeser 1,5 -Sigma

Perlu dicatat dan dipahami sejak awal bahwa konsep Six sigma Motorola dengan pergeseran nilai rata-rata (mean) dari proses yang diizinkan sebesar 1,5σ (1,5 standar deviasi maksimum) adalah berbeda dari konsep Six sigma dalam distribusi normal yang umum dipahami selama ini yang tidak mengizinkan pergesearan dalam nilai rata-rata (mean) dari proses. Perbedaan ini ditunjukkan dalam Tabel 3.1

Tabel 3.1. Perbedaan True 6-Sigma dengan Motorola’s 6-Sigma

True 6-Sigma Process Motorola’s 6-Sigma Process

(Normal Distribution Shifted 1,5- (Normal Distribution Centered)

Sigma)

LSL – USL LSL – USL DPMO LSL – USL LSL – USL DPMO ± 1-sigma 68,27% 317.300 ± 1-sigma 30,8538% 691.462 ± 2-sigma 95,45% 45.500 ± 2-sigma 69,1462% 308.538 ± 3-sigma 99,73% 2.700 ± 3-sigma 93,3193% 66.807 ± 4-sigma 99,9937% 63 ± 4-sigma 99,3790% 6.210 ± 5-sigma 99,999943% 0,57 ± 5-sigma 99,9767% 233 ± 6-sigma 99,9999998% 0,002 ± 6-sigma 99,99966% 3,4

Sumber : Vincent Gaspersz, 2002

(13)

V-1 8 Metode Six sigma

Proyek peningkatan kualitas Six sigma digunakan untuk proses-proses inti dalam organisasi yang ingin ditingkatkan kinerjanya serta pelaksanaanya tergantung pada kebutuhan dari organisasi itu. Biasanya masa kerja (lama) proyek

Six sigma membutuhkan waktu sekitar 1-2 tahun, tergantung ruang lingkup dan ukuran organisasi. Dengan demikian, suatu proyek dibidang tertentu dapat saja berakhir, kemudian dilanjutkan dengan proyek pada bidang yang lain, sedangkan program peningkatan kualitas Six sigma tidak pernah berakhir (never-ending improvement).

Menurut Pande dan Holpp (2005), tahap-tahap implementasi peningkatan kualitas Six sigma terdiri dari lima langkah yaitu menggunakan metode DMAIC atau Define, Measure, Analyse, Improve, and Control. Dimana DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus menerus menuju target Six sigma.

DMAIC dilakukan secara sistematik berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta (systematic, scientific and fact based). Proses closed-loop ini (DMAIC) menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six sigma. DMAIC sering disebut dengan istilah “Dub May

Ick”.

1. Define

Define adalah penetapan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas Six sigma.

(14)

V-1

Tahap ini untuk mendefinisikan rencana-rencana tindakan yang harus dilakukan untuk melaksanakan peningkatan dari setiap tahap proses bisnis kunci (Gaspersz, 2005). Termasuk dalam langkah definisi ini adalah menetapkan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas Six sigma tersebut. Pada tahap ini perlu didefinisikan beberapa hal yang terkait dengan:

a. Kriteria pemilihan proyek Six sigma.

b. Peran dan tanggung jawab dari orang-orang yang terlibat dalam proyek Six sigma.

c. Kebutuhan pelatihan untuk orang-orang yang terlibat dalam proyek Six sigma.

d. Proses-proses kunci dalam proyek Six sigma beserta pelanggannya. e. Kebutuhan spesifik dari pelanggan.

f. Pernyataan tujuan proyek Six sigma. 2. Measure

Measure atau pengukuran merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six sigma. Tahap ini merupakan salah satu pembeda Six sigma dengan metoda pengendalian kualitas lainnya. Pengukuran dilakukan untuk menilai kondisi proses yang ada.Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu:

a. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas kunci atau CTQ (Critical To Quality) yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik pelanggan.

(15)

V-1

b. Mengembangkan suatu rencana pengumpulan data melalui pemgukuran yang dapat dilakukan pada tingkat proses, output, atau outcome.

c. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja pada awal proyek Six sigma.

3. Analyze

Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six sigma. Pada tahap ini perlu melakukan beberapa halyaitu :

a. Menentukan stabilitas (stability) dan kapabilitas/kemampuan (capability) dari proses.

b. Menetapkan target-target kinerja dari karakteristik kualitas kunci (CTQ) yang akan ditingkatkan pada proyek Six sigma.

c. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan.

a. Mengkonversi banyak kegagalan ke dalam biaya kegagalan kualitas (cost of poor quality).

2 Improve

Pada tahap ini dilakukan penetapan rencana tindakan (action plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six sigma. Pengembangan rencana tindakan merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam program peningkatan kualitas Six sigma. Rencana tersebut mendeskripsikan tentang alokasi sumber daya serta prioritas atau alternatif yang dilakukan.

(16)

V-1 5. Control

Control merupakan tahap opersional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas Six sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam peningkatan proses distandarisasikan dan disebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan dijadikan sebagai pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six sigma berakhir pada tahap ini.

12. Implementasi Six sigma6

Penting untuk mengembangkan strategi serta rencana sendiri untuk meluncurkan dan mengintegrasikan Six sigma. Lima langkah dasar yaitu:

1. Mengidentifkasi proses-proses inti dan para pelanggan kunci 2. Menentukan persyaratan pelanggan

3. Mengukur kinerja saat ini

4. Memprioritaskan, manganalisa dan mengimplementasi perbaikan 5. Mengelola proses-proses untuk kinerja Six sigma

3.3. Critical-to-Quality (CTQ)

(17)

V-1

Critical-to-Quality (CTQ) merupakan atribut-atribut yang sangat penting

untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.

3.4. Penentuan DPMO dan Tingkat Sigma Proses

DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas

Six sigma, yang menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six sigma Motorola sebesar 3,4 DPMO diintepretasikan sebagai dalam suatu unit produk tunggal terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan.

6 Pande, S Peter.2000. The Sig Sixma Way, Bagaimana GE, Motorola<dan Perusahaan

Terkenal lainnnya Mengasah Kinerja Mereka.Yogyakarta:penerbit ANDI Yogyakarta .

Hal.84

Besarnya kegagalan per satu juta kesempatan (DPMO) dihitung berdasarkan persamaan yaitu :

Dimana CTQ = Jumlah jenis kecacatan

Besarnya tingkat sigma dihitung menggunakan bantuan software Microsoft Excel berdasarkan formula yaitu:

3.5.Alat-Alat Perbaikan Kualitas

(18)

V-1

3.5.1. Menggunakan Data Verbal atau Kualitatif

Alat alat yang digunakan untuk mengadakan perbaikan kualitas yang menggunakan data verbal atau kualitatif antara lain diagram sebab akibat.

3.6.1.1.Diagram Sebab Akibat

Diagram sebab akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat. Diagram ini digunakan untuk menganalisis persoalan dan faktor yang menimbulkan persoalan tersebut. Dengan demikian, diagram tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab suatu persoalan. Berkaitan dengan proses statistikal, diagram sebab akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab akibat sering juga disebut Ishikawa Diagram karena pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Kaoru Ishikawa dari universitas Tokyo pada tahun 1943.

Pada dasarnya diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan seperti:

a. Untuk menyimpulkan sebab-sebab variasi dalam proses b. Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari masalah c. Membantu membangkitkan ide-ide untu solusi masalah

d. Untu memberikan petunjuk mengani macam-macam data yang dikumpulkan e. Membantu dalam penyelidikan fakta lebih lanjut

Langkah – langkah dalam pembuatan diagram sebab akibat yaitu:

(19)

V-1

a. Menentukan dahulu apa yang menjadi masalah atau penyimpangan yang penting dan mendesak untuk diselesaikan.teknik menentukan masalah bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti digram pareto, distribusi frekuensi dan peta kontrol

b. Tuliskan pernyatan masalah itu pada kepala ikan, yang merupkan akibat. Tuliskan pada sisi sebelah kanan dari kertas, kemudian gambarkan tulang belakang (anak panahdari kiri kekanan) dan tempatkan pernyataan masalah itu dalam kotak

c. Tuliskan faktor-faktor penyebab utama yang menimbulkan masalah sebagai tulang besar(yang ditulis hanyalah kemungkinan yang bersifat garis besar) d. Jabarkan secara lebih rinci (penyebab sekunder),dinyatakan sebagai

tulang-tulang berukuran sedang lalu tulang-tulang-tulang-tulang berukuran kecil sebagai penyebab-penyebab tersier.

e. Tentukan item-item yang penting dari setiap faktor dan tandailah faktor-faktor penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap masalah utama

f. Periksa apakah tiap item dalam diagram mempunyai hubungan sebab dan akibat secara signifikan.

Contoh dari Diagram Fishbone dapat dilihat pada Gambar 3.2.

(20)

V-1

Gambar 3.2. Cause and Effect Diagram

3.5.2. Menggunakan Data Numerik atau Kuantitatif9

Alat – alat yang digunakan untuk mengadakan perbaikan kualitas yang menggunakan dara numeric atau kuantitatif antara lain yaitu pareto diagram, histogram dan peta kendali (control chart).

9 Pande, S Peter.2000. The Sig Sixma Way, Bagaimana GE, Motorola<dan Perusahaan Terkenal

lainnnya Mengasah Kinerja Mereka.Yogyakarta:penerbit ANDI Yogyakarta . Hal.290

3.6.2.1.Diagram Pareto

Pareto digunakan untuk menstratifikasi data kedalam kelompok-kelompok dari yang paling besar sampai yang paling kecil. Dengan berntuknya berupa diagram batang, pareto membantu untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian atau penyebab masalah yang paling umum. Untuk menggunakan diagram pareto, perlu

(21)

V-1

dipastikan bahwa harus memiliki data diskrti atau kategori. Diagram ini tidak akan bekerja dengan ukuran-ukuran seperti berat atau temperature (data kontinus).

Analisis pareto didasarkan pada “Hukum 80/20”- bahwa 80% pengeluaran atau

kerugian didalam sebuah organisasi dibuat oleh hanya 20% masalah. Angkanya tidak selalu tepat 80 dan 20 tetapi efeknya sering kali sama. Kegunaan Diagram pareto adalah

1. Menyaring data masalah menurut wilayah dan menemukan wilayah mana yang memiliki paling banyak masalah

2. Membandingkan data defect menurut tipe dan mengetahui defect mana yang paling umum

3. Membandingkan masalah menurut hari dalam minggu (atau bulan atau waktu dalam hari) untuk mengetahui selama periode mana masalah paling sering terjadi

4. Menyaring complain pelanggan menurut tipe complain untuk mengetahui complain apa yang paling umum.

Adapun cara melakukan Analisis Pareto yaitu10 1. Tentukan klasifikasi (kategori Pareto) untuk grafik. 2. Pilih suatu interval waktu untuk analisis.

3. Tentukan kejadian total (misalnya biaya, jumlah kerusakan, dll) untuk setiap

(22)

V-1

kategori. jika ada beberapa kategori yang menyebabkan hanya bagian kecil

dari total, kelompokkan ini ke dalam kategori yang disebut “lain-lain”.

4. Hitung persentase dari setiap kategori dengan membagi kategori total dengan keseluruhan dan kalikan dengan 100.

5. Urutkan peringkat dari kejadian total terbesar sampai terkecil.

6. Hitung persentase kumulatif dengan menambah persentase untuk setiap kategori pada beberapa kategori yang terdahulu.

7. Buat bagan dengan sumbu vertikal kiri berskala dari 0 sampai sedikitnya 100%, dengan 100% pada sisi kanan sama tingginya dengan total keseluruhan pada sisi kiri.

8. Beri label sumbu horizontal dengan nama kategori. Kategori paling kiri harus terbesar, kedua terbesar berikutnya, dan seterusnya.

9. Gambar dalam batang yang mewakili jumlah setiap kategori. Tinggi batang ditentukan oleh sumbu vertikal kiri.

10. Gambar satu garis yang menunjukkan kolom persentase kumulatif dari table analisis pareto. Garis persentase kumulatif ditentukan dengan sumbu vertikal kanan.

10 Pyzdek, Thomas. 2002. The Six sigma Handbook, Panduan lengkap Untuk Greenbelts,

Blackbelts, dan Manajer pada Semua Tingkatan. Jakarta: Salemba Empat. Hal.245-246

Adapun contoh gambar diagram pareto dapat dilihat pada Gambar 3.3.

(23)

V-1

Gambar 3.3. Diagram Pareto 3.6.2.2.Histogram11

Histogram adalah alat yang digunakan untuk menunjukkan variasi data pengukuran dan variasi setiap proses. Histogram merupakan suatu potret dari proses yang menunjukkan yaitu :

a. Distribusi dari pengukuran

b. Frekuensi dari setiap pengukuran itu

Histogram ini juga menunjukkan kemampuan proses dan apabila memungkinakan histogram dapat menunjukkan hubungan dengan spesifikasi proses dan angka-angka nominal misalnya rata-rata. Dalam histogram, garis vertical menunjukkan banyaknya observasi tiap-tipa kelas, diagram ini sangat cocok untuk data yang dikelompokkan.

11 Indranata, iskandar. 2008. Pendekatan Kualitatif untuk Pengendalian Kualitas . Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.Hal. 245-246

Histogram dapat dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh antara lain tendensi sentral, frekuensi terbesar (modus), titik tengah (median), nilai rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi). Dengan demikian histogram dapat

(24)

V-1 dipergunakan sebagai suatu alatuntuk:

1. Mengomunikasikan informasi tentang informasi dalam proses

2. Membantu manajemen dalam membuat keputusan-keputusan yang berfokus kepada usaha perbaikan terus menerus (continuous improvement efforts).

Tujuan menggunakan histogram yaitu :

a. Mengatahui denga mudah penyebaran data yang ada b. Mempermudah melihat dan menginterpretasikan data

c. Sebagai alat pengendalian proses sehingga dapat mencegah timbulnya masalah. Contoh Histogram dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Gambar.3.4. Histogram

3.6.2.3.Peta Pengendali (Control Chart)12

Kontrol adalah fase mengontrol kinerja proses (X) dan menjamin cacat

(25)

V-1

tidak muncul. Alat yang paling umum digunakan adalah diagram kontrol. Fugnsi umum diagram kontrol adalah:

a. Membantu mengurangi variabilitas b. Memonitor kinerja setiap saat

c. Memungkinkan proses koreksi untuk mencegah penolakan d. Trend dan kondisi diluar kendali terdeteksi secara cepat

Secara umum digram kontrol dapat digolongkan dalam 2 kategori, yaitu: 1. Diagram kontrol variable yaitu memiliki tipe data kontinu dan datanya

diperoleh sebagai hasil pengukuran sebagai contoh, pengukuran berat, suhu, tekanan dan lain-lain, sedangkan

2. Diagram kontrol atribut yaitu memiliki tipe data diskrit dan datanya diperoleh sebahai hasil perhitungan. Sebagai contoh, menghitung jumlah cacat atau proporsi cacat produk.

12

Hendradi, Tri C.2006.Statistik Six sigma dengan Minitab.Yogyakarta: CV Andi.Hal 160-174 3.6.2.3.1.Peta p13

(26)

V-1

Peta p digunakan untuk mengamati proporsi produk cacat dibandingkan dengan keseluruhan produksi. Secara simbolis, dapat ditulis yaitu:

p

X

n

Di mana: p = proporsi produk cacat di dalam sampel atau subgrup n = jumlah semua sampel yang diambil dalam inspected

X = jumlah produk cacat di dalam sampel atau subgrup Prosedur yang umum digunakan untuk membuat Peta p:

1. Menentukan karakteristik kualitas.

2. Menentukan ukuran subgrup dan metodenya. 3. Mengumpulkan data.

4. Menghitung nilai tengah dan batas-batas kontrolnya (UCL dan LCL). Nilai tengah dihitung dengan rumus:

p

x

n

Sedangkan UCL dan LCL dapat dihitung dengan rumus:

UCL p 3 p (1 p ) LCL p 3 p (1 p )

n N

13

Pyzdek, Thomas. 2002. The Six sigma Handbook, Panduan lengkap Untuk Greenbelts,

Blackbelts, dan Manajer pada Semua Tingkatan. Jakarta: Salemba Empat. Hal. 352

Di mana: p = rata-rata proporsi produk cacat dari seluruh subgrup n = jumlah sampel yang diperiksa di dalam subgrup

(27)

V-1

5. Menghitung nilai revisi dari nilai tengah dan batas-batas kontrol.

np npd

p

new

n nd

di mana: npd = jumlah produk cacat dari subgrup yang berada di luar batas kontrol nd = jumlah subgrup yang terdapat melewati batas kontrol

p0 = p new

UCL p0 3

p0(1 p0)

LCL p0 3

p0(1 p0)

n n

3.6.2.3.2.Peta np

Grafik np dapat diterapkan kepada setiap variable dimana pengukuran kinerja yang tepat adalah hitungan suatu unit dan ukuran sub kelompok dipertahankan tetap. Perhatikan bahwa grafik np dapat dipergunakan, grafik p juga dapat digunakan.

Sebagaimana halnya semua grafik kontrol, grafik np terdiri dari tiga pedoman: garis tengah, suatu batas kontrol bawah, dan suatu batas kontrol atas. Baris tengah adalah rata-rata hitungan kerusakan sub kelompok dan dua batas kontrol ditetapkan pada kurang atau lebih 3 stadar deviasi. Jika proses adalah dalam kontrol statistik, maka sebenarnya semua hitungan subkeolmpok akan berada diantara batas kontrol, dan mereka akan berfluktuasi secara acak sekitar baris tengah. Adapun rumusnya yaitu :

Np = hitungan kerusakan sub kelompok

(28)

V-1

np

penjumlaha n dari hitungan kecaca tan subkelompo k jumlah subkelompo k

Menghitung nilai tengah dan batas-batas kontrolnya (UCL dan LCL UCL

np + 3 np (1 p ) dan LCL = np - 3 np (1 p )

3.6.Kinerja Proses dan Process Capability 3.6.1. Kinerja Proses14

Kinerja proses adalah gambaran dari seberapa baik suatu proses kerja yang dijalankan. Kinerja proses diukur berdasarkan perbandingan level kinerja proses aktual dengan level kinerja proses ideal. Dari kebanyakan pelaksanaan proses kerja, level kerja dapat tidak berlangsung konstan. Misalnya, proses sistem pembayaran produk jasa telekomunikasi, proses penagihan dan pembayaran dari pelanggan biasanya sedikit menghadapi permasalahan (error) pada bulan - bulan awal. Namun pada bulan - bulan berikutnya, error akan bertambah seiring dengan masalah - masalah kepuasan terhadap produk, pelayanan dan faktor - faktor psikologis konsumen lainnya. Kondisi ini disebut dengan Variabilitas proses (Process Variability).15

14

Anang Hidayat.2007.Strategi Six sigma Peta Pengembangan Kualitas dan Kinerja Bisnis

Jakarta:Penerbit PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.Hal. 45-62.

(29)

V-1

15 Vincent Gaspersz.2005. Pedoman Implementasi Program Six sigma Terintegrasi dengan

ISO9001:2000, MBNQA, dan HACCP. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama..Hal. 13-282

Keberhasilan implementasiprogram peningkatan kualitas Six sigma

ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Oleh karena itu,konsep perhitungan kapabilitas menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program

Six Sigma. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal 2 jenis data, yaitu:

1. Data atribut (Attributes Data) merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencacatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah ditetapkan, maka catatan itu disebut dengan “atribut”.

2. Data variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan actual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut sebagai variabel.

3.6.2. Analisis Process Capability16

Analisis kapabilitas proses adalah proses dua tahap yang menyangkut : 1. Membawa proses kedalam keadaan dari kontrol statistik untuk periode yang

masuk akal

(30)

V-1 16

Pyzdek, Thomas. 2002. The Six sigma Handbook, Panduan lengkap Untuk Greenbelts,Blackbelts,

dan Manajer pada Semua Tingkatan. Jakarta: Salemba Empat. Hal. 352

2. Membandingkan kinerja proses jangka panjang kepada persyaratan manajemen atau perekayasaan

Kapabilitas suatu proses menggambarkan seberapa uniform proses tersebut. Analisis kapabilitas proses memperbandingktu proses kinerja suatu proses dengan spesifikasinya. Kita menyetakan suatu proses memiliki kapabilitas bila semua nilai variael yang mungkin jatuh dalam batas spesifikasinya. Ada 3 kondisi kapabilitas proses yaitu:

a. Proses yang memiliki kapabilitas tinggi, yang terjadi bila rentang proses didalam rentang spesifikasinya 6σ < USL-LSL

b. Proses yang memiliki kapabilitas hamper tidak cukup, yang terjadi bila rentang proses sama dengan rentang spesifikasinya 6σ = USL – LSL

c. Proses yang tidak memiliki kapabilitas, yang terjai bila rentang proses lebih besar dibandingkan dengan rentang spesifikasinya 6σ > USL – LSL.

Adapun rumus perhitungan Process Capability adalah:

Capability Index (Cp) =

USL LSL

6 0

ZU = Spesifikas iAtas X

6

= Spesifikas iBawah

ZL X

6

CMIN = Minimum { ZL ; ZU}

(31)

V-1 CPK = Z min

3

Adapun kriteria pada Process Capability yaitu : 17 1. Jika Cp > 1,33 maka kapabilitas proses sangat baik.

8. Jika 1,00 ≤ Cp ≤ 1,33 maka kapabilitas proses baik, namun perlu pengendalian ketat apabila Cp mendekati 1,00.

9. Jika Cp < 1,00 maka kapabilitas proses rendah sehingga perlu ditingkatkan kinerja melalui peningkatan proses.

3.7.Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) 18

Failur Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan sebuah metode

sistematis untuk mengidentifikasi kegagalan potensial dengan tujuan mencegah terjadinya kegagalan dan meminimisasi probabilitas kegagalan. Dalam penggunaan FMEA, akan diidentifikasi setiap mode kegagalan potensial, efek yang ditimbulkan, tingkat keparahan dan petunjuk terjadinya. Setelah penyebab kegagalan diidentifikasi, mode kegagalan dan efeknya diminimisasi melalui tindakan perbaikan. FMEA umumnya digunakan untuk mengembangkan solusi sebuah permasalahn (problem). Umumnya FMEA digunakan pada tahap pengembangan produk ataupun proses. Penggunaan FMEA terbagi atas 2 bidang yaitu desain (FMEA Design) dan proses (FMEA Process).

(32)

V-1

17 Praveen gupta. 2004. The Six sigma Performance Handbook, A Statistikal Guide to Optimizing

Results. New York: MC. Grow Hill. Hal.235-241

18 Vincent Gaspersz.2005. Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi dengan ISO

9001:2000, MBNQA, dan HACCP. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama..Hal. 244-248

3.7.1. Penggunaan FMEA Desain

FMEA desain akan membantu menghilangkan kegagalan-kegagalan yang terkait dengan desain. Tujuan dari FMEA desain adalah menentukan apakah suatu desain produk itu tepat atau sesuai dengan aplikasi, dan mengurangi banyaknya mode kegagalan yang terkait dengan desain yang pernah dialami oleh pelanggan. Manfaat penggunaan FMEA desain dalam peningkatan kualitas Six Sigma adalah meningkatkan kepuasan pelanggan, meningkatkan reputasi dan penjualan produk, mengurangi kebutuhan untuk perubahan-perubahan rekayasa (engineering changes) sehingga menurunkan biaya dan mengurangi waktu sikluspengembangan produk. Elemen-elemen kunci dalam FMEA desain adalah

1. Ketepatan waktu (timelines) 2. Kerja sama (team work) 3. Dokumentasi (documentation)

Suatu FMEA desain harus dikerjakan atau dilakukan oleh Tim Six Sigma pada tahap awal dalam siklus pengembangan produk, setelah desain konseptual diputuskan tetapi sebelum pengadaan peralatan lainnya.

(33)

V-1 3.7.2. Penggunaan FMEA Proses

Pada dasarnya sasaran dari proses manufacturing adalah menghasilkan produk yang memenuhi semua spesifikasi sepanjang waktu. FMEA proses akan mengidetifikasi penyimpangan-penyimpangan melalui deteksi atau pencegahan perubahan dalam variabel- variabel proses seperti kondisi diluar spesifikasi yang ditetapkan misalnya ukuran yang tidak tepat, tekstur dan warna yang tidak sesuai, ketebalanyang tidak tepat danlain-lain.

Manfaat penggunaan FMEA proses dalam peningkatan kualitas Six Sigma adalah mengidentifikasi masalah-masalah potensial sebelum produk itu diperoduksi, membantu menghindari scrapdan pekerjaan ulang (rework),

mengurangi biaya kegagalan produk yang dialami oleh pelanggan sehingga akan meningkatkan kepuasan pelanggan, dan menjamin suatu start-up produksi yanglebih mulus.

Metodologi FMEA terdiri dari penilaian mode kegagalan untuk severity,

penyebab potensial untuk occurance, dan pengendalian untuk detection.

a. Rating keparahan (severity), menyangkut keseriusan dari efek kegagalan potensial pada fungsional produk atau pada saat digunakan oleh pelanggan.

Severity dapat menjadi masukan dalam mengurangi efek yang merugikanpada proses secara langsung. Rating keparahan diberi nilai pada skala satu sampai sepuluh, dengan sepuluh dinyatakan sebagai tingkat yang paling parah, dan 1 mengimplikasikan efek yang paling kecil/minimal. Adapun tabel rating keparahan (severity) dapat dilihat pada Tabel 3.2.

(34)

V-1

Tabel 3.2. Rating Severity

Efek Rank Kriteria

Berbahaya tanpa ada Dapat membahayakan konsumen

10 Tidak sesuai dengan peraturan pemerintah peringatan

Tidak ada peringatan Berbahaya dan ada

9

Dapat membahayakan konsumen

Tidak sesuai dengan peraturan pemerintah Peringatan

Ada peringatan

Mengganggu kelancaran lini produksi Sangat tinggi 8 Sebagian besar menjadi scrap, sisanya dapat

disortir (apakah sudah baik/bisa rework) Pelanggan tidak puas

Sedikit mengganggu kelancaran lini produksi Tinggi 7 Sebagian besar menjadi scrap, sisanya dapat

disortir (apakah sudah baik/bisa rework) Pelanggan tidak puas

Sedang 6 Sebagian kecil menjadi scrap, sisanya tidak perlu disortir (sudah baik)

Rendah 5 100% produk dapat di-rework

Produk pasti dikembalikan oleh konsumen Sebagian besar dapat di-rework dan sisanya Sangat rendah 4 sudah baik

Kemungkinan produk dikembalikan oleh konsumen

Hanya sebagian kecil yang dapat di-rework

Kecil 3 dan sisanya sudah baik

Rata-rata pelanggan komplain

Sangat kecil 2 Komplain hanya diberikan oleh pelanggan tertentu

Tidak ada 1 Tidak ada efek buat konsumen

(35)

V-1

Sumber : Dydem, 2003

b. Rating kejadian (occurrence) menggambarkan frekuensi terjadinya kegagalan potensial. Frekuensi terjadinya kegagalan dapat diestimasi melalui pengalaman pada proses dan data historis kinerja. Pada data historis/pengalaman, frekuensi terjadinya kegagalan dapat diestimasi dengan melihat data kegagalan pada proses yang sama. Nilai rating occurence

diberikan skala antara 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki nilai kumulatif yang tinggi atau sangat sering atau selalu terjadi, dan nilai 1 mengimplikasikan situasi yang sangat jarang atau tidak pernah terjadi. Adapun tabel rating kejadian (occurrence) dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Rating Occurrence

Kejadian Rank Kriteria

Sangat tidak mungkin 1 1 dalam 1.000.000 Jarang kemungkinan 2 1 dalam 20.000 Sangat kecil kemungkinan 3 1 dalam 15.000 Kecil kemungkinan 4 1 dalam 1.000 Cukup rendah kemungkinan 5 1 dalam 400 Sedang kemungkinan 6 1 dalam 80 Cukup tinggi kemungkinan 7 1 dalam 40 Tinggi kemungkinan 8 1 dalam 20 Sangat tinggi kemungkinan 9 1 dalam 8 Tinggi sekali kemungkinan 10 1 dalam 2

Sumber : Dydem, 2003

c. Rating deteksi (detection), menggambarkan kemungkinan relatif terjadinya kegagalan yang dapat dideteksi melalui kontrol yang tepat (seperti inspeksi, pengujian, atau pengendalian proses). Detection diberikan skala nilai dari 1

(36)

V-1

sampai 10, dimana nilai 10 mengimplikasikan kesulitan dalam pendeteksian, dan nilai 1 mengimplikasikan kepastian pendektesian. Adapun tabel rating deteksi (detection) dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Rating Detection

Deteksi Rank Kriteria

Sangat mungkin 1 Kontrol akan hampir pasti mendeteksi adanya efek Sangat tinggi

2 Kontrol memiliki probabilitas sangat tinggi untuk kemungkinan mendeteksi adanya kegagalan

Kemungkinan

3 Memiliki efektivitas tinggi untuk dideteksi Tinggi

Kemungkinan

4 Memiliki efektivitas cukup tinggi untuk dideteksi cukup tinggi

Kemungkinan

5 Memiliki efektivitas sedang untuk dideteksi sedang

Kemungkinan

6 Memiliki efektivitas cukup rendah untuk dideteksi agak rendah

Kemungkinan

7 Memiliki efektivitas rendah untuk dideteksi Rendah

Kemungkinan

8 Memiliki efektivitas sangat rendah di setiap sangat rendah kategori yang berlaku

Tabel 3.4. Rating Detection Deteksi Rank Kriteria

Hampir tidak

9 Kontrol memiliki probabilitas sangat rendah untuk

mungkin mendeteksi adanya efek

Sangat tidak

10 Kontrol akan hampir pasti tidak mendeteksi adanya

mungkin Efek

Sumber : Dydem, 2003

(37)

V-1

Penerapan FMEA dapat dilakukan dengan langkah-langkah yaitu: 1. Defenisikan / pastikan item yang diamati

2. Pastikan fungsi / kegunaan masing-masing item yang diamati 3. Identifikasi jenis kesalahan yang mungkin muncul dari tiap item 4. Tentukan penyebab kesalahan yang muncul dari tiap item

5. Identifikasi dampak dari tiap kesalahan / kegagalan yang muncul tanpa mempertimbangkan kontrol yang ada

6. Identifikasi dan buat urutan kendali untuk tiap kegagalan yang muncul

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian adalah suatu kerangka yang memuat langkah langkah yang ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci semua urutan pelaksanaan penelitian mulai dari tahap awal yaitu penentuan lokasi dan tempat penelitian sampai pada tahap akhir yaitu kesimpulan dan saran.

4.1. Lokasi dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Growth Sumatera Industry yang beralamat di Jl. K.L. Yos Sudarso Km.10, Mabar, Medan

(38)

V-1 4.2. Jenis Penelitian19.

Penelitian yang ini merupakan jenis penelitian tindakan (Action Research), dimana penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan temuan-temuan praktis atau untuk keperluan pengambilan keputusan operasional. Karena tujuannya untuk pengambilan keputusan operasional guna mengembangkan keterampilan baru atau pendekatan baru.

19

Sinulingga, Sukaria. 2011. Metode Penelitian . Edisi Pertama.USU Press. Medan. Hal 29 4.3. Objek Penelitian

Objek penelitian yang diamati adalah produk baja beton polos yang tidak memenuhi spesifikasi dan dikategorikan sebagai produk cacat (defect) dan proses produksinya.

4.4. Definisi Variabel Operasional

Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas (Independent)

a. Jumlah unit produksi, yaitu jumlah seluruh produk yang dihasilkan selama periode produksi, baik yang memenuhi spesifikasi standar maupun tidak. Nilai variabel ini diperoleh dari data historis perusahaan, tanpa melakukan

(39)

V-1 perhitungan secara langsung.

b. Jumlah produk cacat (defect), yaitu jumlah produk yang dihasilkan selama periode produksi yang berada diluar spesifikasi standar yang ditetapkan perusahaan. Nilai variabel ini diperoleh dari data historis perusahaan, tanpa melakukan perhitungan secara langsung.

c. Jumlah Critical to Quality (CTQ), yaitu atribut yang merupakan elemen dari suatu produk yang berdampak langsung pada kualitas produk dan kepuasan pelanggan.

2. Variabel Terikat (Dependent)

a. DPMO (Defect Per Million Opportunity), merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukan

kegagalan per sejuta kesempatan. Nilai variabel DPMO diperoleh dari persamaan :

b. Nilai sigma (σ), merupakan ukuran dari kinerja perusahaan yang menggambarkan kemampuan dalam menghasilkan produk bebas cacat. Nilai variabel DPMO diperoleh dari persamaan:

(40)

V-1 4.5. Kerangka Konseptual Penelitian20

Kerangka berpikir dalam penelitian adalah dasar pemikiran dari penelitian yang disintesiskan dari fakta, observasi dan telaah kepustakaan. Uraian dalam kerangka berpikir menjelaskan hubungan dan keterkaitan antar variabel penelitian secara logis. Kerangka pemikiran yang baik yaitu apabila mengidentifikasi variabel-variabel penting yang sesuai dengan permasalahan penelitian, dan secara logis mampu menjelaskan keterkaitan antar variabel tersebut.

Adapun kerangka konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.

20 Riduwan, Engkos A . Kuncoro. 2007. Analisis Jalur . Alfabeta. Bandung. Hal. 185

1.Produk tidak sesuai dengan spesifikasi perusahaan dan keinginan Costumer seperti : a. Cacat Kuping

b. Memiliki cerna c. Permukaan tidak rata d. Retak

2.Cacat produk 4,55 %

1.Produk berkualitas sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan dan keinginan Costumer

2.Cacat produk seminimal mungkin sampai 0 %

A.Six Sigma

1. Define (Pendefinisian) 2. Measure (Pengukuran) 3. Analysis (Analisis) 4. Improve (Perbaikan) 5. Control (Pengendalian)

B. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

(41)

V-1

Gambar 4.1. Kerangka Konseptual Penelitian

4.6. Prosedur Penelitian

Tahapan-tahapan dalam penelitian disebut juga dengan prosedur penelitian. Adapun prosedur penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2.

- Data Critical to Quality

(CTQ)

- Data Penyebab Kecacatan

- Sejarah Perusahaan

- Struktur Organisasi

- Data Jumlah Produksi Sep – Des 2015

- Data Jumlah Produk Cacat Baja Beton Polos Sep – Des 2015

- Data Parameter Produk Baja Beton Polos

(42)

V-1

Gambar 4.2. Blok Diagram Metodologi Penelitian 4.6.1. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan dilaksanakan untuk memperoleh masukan mengenai objek yang akan diteliti. Melalui studi ini, diharapkan dapat diperoh informasi mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian dan variabel-variabel yang terkait dengan masalah tersebut.

4.6.2. Identifikasi Masalah dan Penetapan Tujuan

Indentifikasi masalah dilakukan berdasarkan studi pendahuluan terhadap objek penelitian dan studi literatur tentang permasalahan yang dihadapi. Pengamatan di lapangan dan wawancara dengan pihak perusahaan akan diperoleh kondisi-kondisi dimana hal-hal tersebut tidak sesuai pelaksanaannya atau hasil yang diperoleh dengan kondisi yang sebenarnya diharapkan. Hal inilah yang menjadi masalah. Langkah selanjutnya adalah mendefenisikan permasalahan yaitu menentukan batasan dan asumsi masalah. Dari studi literatur akan dipilih metode

(43)

V-1

yang mungkin untuk memecahakan masalah dan dipilih yang sesuai. Indentifikasi masalah dan penetapan tujuan telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

4.6.3. Pengumpulan Data 4.6.3.1.Sumber Data

Berdasarkan sumber diperolehnya data pada penelitian ini, maka data dibagi kedalam dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: - Data Critical to Quality (CTQ)

- data jenis kecacatan dan data penyebab kecacatan

2. Data sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

– Sejarah perusahaan

– Sturuktur organisasi dan manajemen perusahaan.

– Data jumlah produk Januari- Desember 2015

– Data jumlah produk cacat Baja Beton Polos januari - Desember 2015

4.6.3.2.Metode Pengumpulan Data Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab dan diskusi secara langsung dengan

pimpinan maupun pekerja mengenai hal-hal yang berhubungan dengan topik

(44)

V-1

penelitian, untuk menunjang pembahasan masalah.

2. Dokumentasi perusahaan, yaitu mengumpulkan data yang dilakukan dengan mencatat data-data dokumentasi perusahaan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

3. Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung pada proses produksi dan jenis kecacatan produk.

4.6.4. Pengolahan Data

Teknik pengolahan data menggunakan prosedur lima langkah Six Sigma yaitu Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control.

1. Define

Pada tahapan ini dilakukan langkah-langkah:

a. Penentuan tujuan dan kriteria pelaksanaan proyek Six Sigma.

b. Pemilihan proyek Six Sigma dengan Diagram pareto untuk dijadikan prioritas masalah yang akan diselesaikan.

c. Pendefenisian karakteristik kualitas Critical to Quality (CTQ).

2. Measure

Pada tahapan ini dilakukan langkah-langkah:

a. Mengidentifikasi standar performansi perusahaan melalui perhitungan tingkat Defect Per Milion Opportunity (DPMO) dan nilai sigma (level sigma).

b. Uji kenormalan data dengan metode Kolmogorov Smirnov Test

(45)

V-1

c. Mengidentifikasi kestabilan pada proses produksi menggunakan peta kontrol atribut np. Penggunaan peta np dikarenakan jumlah sampel yang diamati pada setiap pengamatan tetap dan digunakan untuk mengevaluasi jumlah kerusakan / kecacatan.

e. Penentuan karakteristik CTQ potensial dominan untuk dijadikan prioritas dalam penyelesaian masalah.

3.Analyze

Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah:

a. Analisis CTQ potensial dengan Diagram pareto untuk memilih prioritas masalah yang akan diselesaikan

b. Analisis penyebab terjadinya cacat pada produk dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang potensial menggunakan

Cause & Effect Diagram.

c. Analisis kesamaan penyebab terjadinya cacat produk yaitu didasarkan dari uraian Cause & Effect Diagram.

d. Menggunakan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk menganalisis resiko kegagalan pada proses maupun produk yang berpengaruh/berdampak langsung terhadap tingkat kualitas produk genteng dengan menentukan nilai Risks Priority Number (RPN)

4. Improve

Pada tahap ini direncanakan tindakan perbaikan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya cacat pada produk yaitu penetapan sasaran dan alternative

(46)

V-1

untuk perbaikan dimana sebelum memulai perbaikan, terlebih dahulu ditetapkan sasaran yang ingin dicapai kemudian rekomendasi tindakan perbaikan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari fase Analyze berupa faktor-faktor potensial penyebab terjadinya produk cacat. Hasil yang diharapkan adalah menurunkan nilai DPMO dan meningkatkan level sigma.

5. Control

Merupakan tahap analisis terakhir dari proyek Six Sigma yang menekankan pada pendokumentasian dan penyebarluasan dari tindakan perbaikan yang akan dilakukan. Control dilakukan setelah rekomendasi tindakan perbaikan diimplementasikan dan memberikan peningkatan yang signifikan terhadap proses dan produk.

4.6.5. Analisis Pemecahan Masalah

Analisis pemecahan masalah dilakukan terhadap hasil yang diperoleh dari pengolahan data, yaitu dengan menganalisis kondisi aktual di lapangan berupa performansi perusahaan saat ini. Kemudian membandingkan kondisi tersebut dengan standar-standar yang ada dan kondisi ideal yang seharusnya dipenuhi.

4.6.6. Kesimpulan dan Saran

Pada tahap akhir dari penelitian ini ditarik kesimpulan yang didasarkan pada hasil pengolahan data dan analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Selanjutnya akan diberikan saran-saran yang dianggap penting dan mungkin untuk ditindaklanjuti baik untuk kepentingan praktisi, pihak perusahaan maupun untuk

(47)

V-1 penyempurnaan bagian penelitian selanjutnya.

BAB V

(48)

V-1

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

5.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data jenis kecacatan dan data penyebab kecacatan. Sedangkan data sekunder yang diperoleh dari bagian dokumentasi perusahaan berupa data jumlah produksi dan data jumlah produk cacat baja beton polos.

5.1.1. Data Jenis Kecacatan

Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh, responden I menyatakan bahwa jenis kecacatan adalah cacat kuping, cerna dan retak. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1.

(49)

V-100

II-1

Tabel 5.1. Rekapitulasi Hasil Jawaban Kuesioner Terbuka

No.

Responden Nama Umur

Jenis

Kelamin Jabatan

Jawaban Pertanyaan I Jawaban Pertanyaan II Jawaban Pertanyaan III Responden I Ramadhani Harahap 40

Tahun Laki-Laki

Factory Manager Cacat kuping/telinga, memiliki cerna, retak Proses Peleburan dan Penggilingan Material, karena ada bahan baku mengandung unsur karbon yang tinggi

Responden

II Amiruddin

49

Tahun Laki-Laki

Kepala Divisi Peleburan Produk memiliki cerna yang dalam, cacat kuping, retak Proses Peleburan dan Penggilingan Metode, manusia (karena kurang teliti), material (komposisi tidak sesuai standar) Responden III Mitra P Peranginangin 43

Tahun Laki-Laki

Kepala Divisi Penggilingan

Produk masih ada yang retak, cacat

kuping dan memiliki cerna Proses Peleburan dan Penggilingan Manusia (kurang teliti), mterial (scrap mengandung unsur karbon yang terlalu tinggi)

Sumber : Pengumpulan Data Kuesioner Terbuka

(50)

V-101

II-1 5.1.2. Data Produksi Produk Baja Beton Polos

Data produksi produk baja beton polos yang dikumpulkan dari hasil dokumentasi cacatan perusahaan selama bulan Januari sampai Desember 2015 dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.2. Data Produksi Produk Baja Beton Polos

No Periode Jumlah Produksi (Kg)

1 Januari 2015 4.402.991

2 Februari 2015 4.673.944

3 Maret 2015 4.877.159

4 April 2015 5.419.066

5 Mei 2015 5.622.281

6 Juni 2015 5.757.757

7 Juli 2015 5.960.972

8 Agustus 2015 6.773.832

9 September 2015 6.486.804

10 Oktober 2015 6.757.757

11 November 2015 6.706.094

12 Desember 2015 6.989.664

Sumber: Dokumentasi Perusahaan

5.1.3. Data Kecacatan Produk Baja Beton Polos

Data kecacatan produk baja beton polos diperoleh dari hasil dokumentasi perusahaan selama bulan Januari sampai Desember 2015 dapat dilihat pada tabel 5.2.

(51)

V-1

Tabel 5.3. Data Kecacatan Produk Baja Beton Polos

No Bulan Jenis Kecacatan Produk (Kg)

Cacat Kuping Cerna Retak Jumlah

1 Januari 2015 72.511 59.020 37098 168.629

2 Februari 2015 87.212 78.905 41530 207.647

3 Maret 2015 109.981 83.097 51325 244.403

4 April 2015 90.655 92.979 48814 232.448

5 Mei 2015 111.788 92.702 68163 272.653

6 Juni 2015 117.619 85.541 64156 267.316

7 Juli 2015 124.589 99.670 52604 276.863

8 Agustus 2015 169.383 101.629 67753 338.765

9 September 2015 112.370 88.850 60105 261.325

10 Oktober 2015 97.179 92.320 53449 242.948

11 November 2015 148.862 116.962 88608 354.432

12 Desember 2015 152.039 114.873 70951 337.863

Total 1.498.358 1.234.766 739.280 3.205.292

Sumber: Dokumentasi Perusahaan

5.2. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan metode DMAIC dan FMEA. DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve dan Control) merupakan sebuah tahapan proses yang sangat sistematis dan mengacu pada fakta yang terjadi untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus.

5.2.1. Define

5.2.1.1.Pemilihan Objek Penelitian

PT. Growth Sumatera Industry merupakan pabrik yang memproduksi berbagai jenis produk baja, pada penelitian ini fokus penelitian hanya pada jenis baja

(52)

V-1

beton polos. Tujuan dari metode DMAIC ini yaitu untuk meningkatkan kualitas produk baja beton polos dengan meminimalisasi jumlah produk cacat sampai pada tingkat terendah, dengan mengendalikan faktor-faktor yang diindikasikan sebagai penyebabnya munculnya kecacatan produk.

5.2.1.2.Mengidentifikasi Critical to Quality (CTQ)

Critical to Quality (CTQ) merupakan kriteria produk yang telah ditetapkan standarnya sebagai patokan kualitas produk yang diproduksi oleh perusahaan agar dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Sebelum suatu produk dikategorikan sebagi produk cacat, maka kriteria-kriteria tentang kegagalan atau kecacatan itu harus didefenisikan terlebih dahulu. Dalam terminologi Six Sigma, kriteria karakteristik kualitas yang mengakibatkan kecacatan disebut Critical To Quality (CTQ).

Dalam penelitian ini data jenis kecacatan yang dikelompokkan dapat dilihat pada tabel 5.3. sebagai berikut:

Tabel 5.4. CTQ Potensial Produk Baja Beton Polos

No. Critical to Quality (CTQ) Keterangan

1 Cacat Kuping Permukaan baja beton polos tidak rata dan memiliki sirip di kedua ujung

2 Cerna

Luka pada permukaan Baja Beton Polos yang terjadi akibat dari proses canai panas (Hot Rolling)

3 Retak Memiliki retakan yang dalam pada

baja beton polos

(53)

V-1 5.2.2. Measure (Tahap Pengukuran)

5.2.2.1. Perhitungan Nilai DPMO dan Nilai σ (Sigma)

DPMO (Defect Per Million Opportunity) adalah ukuran kegagalan dalam six sigma yang menunjukkan kegagalan persejuta kesempatan. Perhitungan besarnya nilai DPMO produk dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus perhitungan DPMO yang sudah baku, sebelum dilakukan perhitungan nilai DPMO, perlu diketahui dahulu oppurtinity yang mempengaruhi nilai DPMO tersebut. Oppurtinity

adalah kesempatan yang memungkinkan terjadinya cacat (defect). Nilai DPMO untuk periode bulan Januari 2015 adalah :

DPMO = Defect

Unit x Oppurtinity x 106

6 10 3 x 4.402.991 168.629 x

= 12.766

Dilakukan perhitungan untuk mencari nilai sigma (�), yang merupakan ukuran dari kinerja perusahaan yang menggambarkan kemampuan dalam menghasilkan produk bebas cacat. Nilai sigma untuk periode bulan januari 2015 adalah :

Nilai Sigma (�) = Normsinv

(

10

6-DPMO

106

)

+ 1,5

= Normsinv 1,5

10 766 . 12 10 6 6         = 3,73

(54)

V-1

Rekapitulasi perhitungan untuk nilai DPMO dan nilai sigma dapat dilihat pada tabel 5.4. sebagai berikut :

Tabel 5.5. Rekapitulasi Nilai DPMO dan Nilai Sigma (�)

No. Bulan Jumlah Produksi (Kg)

Jumlah Cacat

Jumlah CTQ

Nilai DPMO

Nilai Sigma

1 Januari 2015 4.402.991 168.629 3 12.766 3,73

2 Februari 2015 4.673.944 207.647 3 14.809 3,68

3 Maret 2015 4.877.159 244.403 3 16.704 3,63

4 April 2015 5.419.066 232.449 3 14.298 3,69

5 Mei 2015 5.622.281 272.654 3 16.165 3,64

6 Juni 2015 5.757.757 267.316 3 15.476 3,66

7 Juli 2015 5.960.972 276.863 3 15.482 3,66

8 Agustus 2015 6.773.832 338.765 3 16.670 3,63

9 September 2015 6.486.804 261.326 3 13.429 3,71 10 Oktober 2015 6.757.757 242.948 3 11.984 3,76 11 November 2015 6.706.094 354.433 3 17.617 3,61 12 Desember 2015 6.989.664 337.863 3 16.113 3,64

Proses 70.428.321 3.205.296 3 15.126 3,67

Untuk nilai DPMO dan nilai sigma (�) selama periode bulan Januari sampai Desember 2015 dapat dilihat pada gambar 5.1. dan 5.2. sebagai berikut :

(55)

V-1

Gambar 5.1. Grafik Nilai DPMO Periode Bulan Januari s.d Desember 2015

Gambar 5.2. Grafik Nilai Sigma Periode Bulan Januari s.d Desember 2015

0 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 20.000

Nilai DPMO

Nilai DPMO

3,5 3,55 3,6 3,65 3,7 3,75 3,8

Nilai Sigma

Nilai Sigma

(56)

V-1 5.2.2.2.Peta Kontrol Atribut

Peta kontrol dibuat untuk mengetahui apakah proses dalam kendali dan untuk memonitor variasi proses secara terus-menerus. Peta p menggambarkan bagian yang ditolak karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Perhitungan untuk 12 periode jenis kecacatan pada produk baja beton polos dapat dilihat pada Tabel 5.7. Berdasarkan data yang ada, didapat nilai meanp(CL) sebagai berikut:

eriode oduksiPerP Jumlah PerPeriode ca JumlahKeca np Pr tan

= 0,038 + 0,044 + 0,05 + 0,043 + 0,048 + 0,046 + 0,046 + 0,05 + 0,04 + 0,036 + 0,053 + 0,048

= 0,5445 0453 , 0 12 5445 , 0   

n np p

Batas kelas Atas (UCL) dan Batas Kelas Bawah (LCL) dapat dihitung seperti dibawah ini :

n ) p 1 ( p 3 p

UCL  

n ) p 1 ( p 3 p

LCL  

Perhitungan UCL adalah sebagai berikut :

2245 , 0 12 045 , 0 1 045 , 0 3 045 , 0 ) 1 ( 3 1 1 1        UCL UCL n p p p UCL

Perhitungan LCL adalah sebagai berikut:

(57)

V-1

1795 , 0 12 045 , 0 1 045 , 0 3 045 , 0 ) 1 ( 3 1 1 1         LCL LCL n p p p LCL 0

Nilai pada LCL yang minus dibuat menjadi 0 karena tidak ada kecacatan per produk unit yang minus jumlahnya. Minimal jumlah kecacatan per unit adalah 0 sehingga angka minus diganti dengan 0.

Tabel 5.6. Perhitungan Peta p No Jumlah

Produksi Jumlah Kecacatan P CL UCL LCL 1 4.402.991 168.629 0,038 0,045 0,2245 0 2 4.673.944 207.647 0,044 0,045 0,2245 0

3 4.877.159 244.403 0,05 0,045 0,2245 0

4 5.419.066 232.449 0,043 0,045 0,2245 0 5 5.622.281 272.654 0,048 0,045 0,2245 0 6 5.757.757 267.316 0,046 0,045 0,2245 0 7 5.960.972 276.863 0,046 0,045 0,2245 0

8 6.773.832 338.765 0,05 0,045 0,2245 0

9 6.486.804 261.326 0,04 0,045 0,2245 0

10 6.757.757 242.948 0,036 0,045 0,2245 0 11 6.706.094 354.433 0,053 0,045 0,2245 0 12 6.989.664 337.863 0,048 0,045 0,2245 0

Peta kontrol untuk produk baja beton polosdapat dilihat pada gambar 5.3.

(58)

V-1

Gambar 5.3. Peta Kontrol

5.2.3. Analyze

5.2.3.1.Pareto Diagram

Pareto Diagram digunakan untuk mengetahui jenis-jenis kecacatan yang memberikan kontribusi terhadap kecacatan dalam suatu perusahaan. Langkah awal yang dilakukan adalah mengurutkan setiap jenis kecacatan dari jumlah kecacatan terbesar hingga yang terkecil. Kemudian dilakukan perhitungan persentase kecacatan dan persentase kumulatif dari setiap jenis kecacatan. Pengurutan jenis kecacatan alas sandal dapat dilihat pada Tabel 5.7.

0,0000 0,0500 0,1000 0,1500 0,2000 0,2500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

P

CL

UCL

LCL

(59)

V-1

Tabel 5.7. Pengurutan Jenis Kecacatan Produk Baja Beton Polos No. Jenis Kecacatan Jumlah Cacat Persentase

(%)

Persentase Kumulatif (%)

1 Cacat Kuping 1.498.358 43,15 43,15

2 Cerna

Referensi

Dokumen terkait

15.. Daerah adalah Kabupaten Trenggalek. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Trenggalek. Bupati adalah Bupati Trenggalek. Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial

[r]

Entering the Academic Conversation (not final) is a brief guide for doing research and academic writing in college, which welcomes students into the exchange of scholarly ideas

Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah model pembelajaran keseimbangan gerak dalam Penjasorkes melalui pendekatan lingkungan persawahan pada siswa kelas

International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti

Tanggungan, sehingga apabila Debitor cidera janji, perbankan atau lembaga jaminan lainnya sebagai Kreditor siap untuk melakukan eksekusi seperti halnya suatu putusan

Untuk membandingkan karakteristik (vswr, return loss dan pola radiasi) antara pengukuran dan hasil simulasi, dimensi antena ditingkatkan dan frekuensi resonansi

Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat dibutuhkan bukan hanya dalam rangka menghadapi transisi dalam produksi kayu tropika