LAMPIRAN A
Gambar Bahan dan Alat1. Bahan
2. Alat
Serbuk BaCO3 Murni (p.a)
Serbuk Fe2O3 Murni (p.a)
Spatula Neraca Digital Saringan
Serbuk Fe2O3 Mill scale
Beaker glass 500 ml
Cawan Keramik Jangka Sorong Digital
Beaker glass 25 ml
Hand Mortar
Ball Mill
High Energy Milling (HEM) Ball Mill
Hydraulic Press Magnetic Field Press
LAMPIRAN B
MagnetizerData Pengujian Densitas, Susut Bakar dan Porositas
A. Perhitungan Densitas 1. True Density
= �3−�1
�2−�1 − �4−�3 � ��
Dimana:
ρ : True density
m1 : Massa piknometer (gr)
m2 : Massa aquades + Massa piknometer (gr)
m3 : Massa serbuk + Massa piknometer (gr)
m4 : Massa aquades + Massa serbik + Massa piknometer (gr)
Jenis Sampel m1 (gr)
m2 (gr)
m3 (gr)
m4 (gr)
ρair (gr/cm3)
ρs (gr/cm3)
A 14.09 23.81 14.60 24.17 1 3.40
LAMPIRAN C
Data Pengujian VSM (Vibrating Sample Magnetometer)
Sampel Remanence
σr (emu/g) Koersifitas Hc (kOe)
Magnet Saturasi σs (emu/g)
A 17.80 1.488 38.45
LAMPIRAN D
DAFTAR PUSTAKA
Afza, E. 2011. Pembuatan Magnet Permanent Ba-Hexa Ferrite (Bao.6Fe2O3)
Dengan Metode Koopresipitasi Dan Karakterisasinya. Medan: Universitas
Sumatera Utara. Program Sarjana S-1.Jurusan FMIPA Fisika.
Bahadur D.S.R and Ankit Kumar. 2006. Influence of Fuel Ratios on Auto
Combustion Synthesis of Barium Ferrite Nano Particles. J. Chem. Sci. Vol.
118 No. 1.
Cahyanigrum, dkk. 2010. Kajian Variasi Suhu Sintering Pada Pembentukan
Kristal Nano Magnetit Fe3O4 Dengan Menggunakan Metode High Energy
Milling (HEM) 1-4.
Chauhan, Pooja. 2010. Preparation And Characterization Of Barium Hexaferrite
By Barium Monoferrite. (In Materials and Metalulurgical Engineering
School of physics and Material Science). Punjab: Thapal University
Patiala.
Darminto, dkk. 2011. Sintesis Serbuk Barium Heksaferit Dengan Metode
Kopresipitasi. Surabaya : ISBN.
German, R.M. 1994. Powder metalurgy Science. Metal Powder Industries
Federation. Princeton, New Jersey.
Ginting, Delovita. 2014. Efek Penambahan Boron Terhadap Mikrostruktur, Sifat
Fisis, Dan Magnet Barium Hexaferite. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Habibi, Taufik. 2006. Pembuatan Magnet Komposit Berbasis Karet Alam dan
Serbuk Magnet Barium Ferrite. Semarang: UniversitasNegeri Semarang.
Jiles.D.1998. Introduction Ti magnetism and magnectic material, 2nd Ed. London
and New York: chapman and hall.
Kim, Seong H.2013. Characterization Of Crystalline Cellulose In Biomass: Basic
Principles, Applications, And Limitations Of XRD, NMR, IR, Raman,
And SFG. Korean Journal of Chemical Engineering 30.12 2127-2141.
Klar, E. Coordinator. 1993. ASM Handbook Powder Metallurgy vol. 7. ASM
Mayasari, Ika. 2012. Pengaruh Temperatur Sinter Terhadap Sifat Fisis Dan Sifat
Magnet Pada magnet Permanen Stronsium Heksaferit. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Moulson A.J and J.M. Herbert. 1985. Electroceramics: Materials, Properties and
Application. New York: Chapman and Hall London
Muhajir, Arif.M. 2013. Sintesis dan Karakterisasi Bahan Magnet Barium
Hexaferit (BaFe12O19) Menggunakan Bahan Dasar Barium Karbonat
(BaCO3) dan Pasir Besi Dari Daerah Pesisir Selatan Pandeglang-Banten.
Bandar Lampung: Universitas Lampung. Program Sarjana S-1.
Mujiman. 2004. Sintesis Dan Karekterisasi Keramik Alumina (Al2O3) Terhadap
Aditif Titania (TiO2) Heksaferit. Lampung: Universitas Lampung Bandar
Lampung.
Ningsih, Henni S. 2015. Pengaruh Komposisi Fe2O3 Terhadap Sifat Fisis,
Mikrostruktur dari Barium Hrxaferit. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Noer Af’idah, dkk. 2011. Sintesis Barium M-Heksaferit BaFe12O19 Dengan
Variasi Temperatur Kalsinasi. Surabaya : ISBN.
Priyono dan Musni. A. 2010. Sintesis Barium Hexaferit Yang Disubsitusi Ion
Mn-Co Melalui Reaksi Padat dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Struktur
Dan Sifat Magnetik. Depok: Universitas Indonesia.
Rusianto, Toto. 2009. Hot Pressing Metalurgi Serbuk Aluminium Dengan Variasi
Suhu Pemanasan. Jurnal Teknologi 89 Volume 2 Nomor 1. Yogyakarta:
Institu Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
Vlack, Lawrence H. Van. 2004. Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Fisika (PPF) Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini di mulai pada 1 Februari 2016 sampai dengan 2 Mei 2016.
3.2
Bahan dan Alat: 3.2.1 BahanBahan – bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Serbuk BaCO3
Sebagai bahan baku untuk membuat magnet permanen
b. Serbuk Fe2O3
Sebagai bahan baku untuk membuat magnet permanen
c. Perekat polimer Celuna WE-518
Berfungsi sebagai perekat.
d. Aquades (H2O)
Berfungsi sebagai medium pencampur larutan dengan kualitas standar air
minum.
3.2.2 Alat
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Peralatan Proses
a. Spatula
Untuk mengambil sampel yang berbentuk serbuk dan untuk mengaduk
sampel serbuk Barium Heksaferit dengan perekat seluna (WE-518)
agar tecampur secara homogen
Untuk menimbang massasampel
c. Beaker Glass (500 ml/25 ml)
Untuk mengukur volume aquades dan sebagai wadah
menghomogenkan serbuk Barium heksaferit dengan binder
d. Ball Mill
Untuk mencampur bahan baku agar lebih homogen
e. Bola – bola besi
Untuk penghalus bahan pada saat proses milling agar menghasilkan
diameter kecil
f. Oven pengering
Untuk mengeringkan sampel
g. Tungku Thermolyne
Untuk mengkalsinasi dan mensintering dengan temperatur maksimal
1300oC.
h. Hand Mortar
Sebagai alat bantu penghancuran serbuk stelah proses kalsinasi
sehingga menjadi butiran
i. High Energy Milling (HEM)
Untuk menghaluskan/meratakan campuran bahan dan membentuk
paduan dari unsur yang dimasukkan.
j. Cetakan sample terbuat dari besi
Sebagai tempat untuk mencetak berupa sampel uji silinder, dengan
dimensi diameter 10 mm.
k. Hydraulic press (Hydraulic Jack).
Untuk menekan pada proses cold compaction sampel yang telah
dimasukan kedalam cetakan dengan kekuatan tekanan 8 ton
l. Magnetic Fild Press
Sebagai cetakan yang memiliki medan magnet dengan tekanan 50-80
kgf/cm3 dan arus 10 Ampere serta tegangan 100 Volt
m. Cawan keramik
Sebagai tempat sampel saat proses kalsinasi dan sintering.
Untuk memberikan medan magnetik pada sampel (magnetisasi)
o. jangka Sorong Digital
Untuk mengukur diameter dan tebal sampel.
p. Stopwatch
Sebagai penghitung waktu saat proses kalsinasi, milling dan sintering
2. Peralatan Pengujian
a. Pengujian Densitas dan Porositas
- Densitas dengan metode perhitungan langsung
- Porositas dengan sistem penyerapan air
b. Sifat Magnet
- Gaussmeter
Untuk mengukur besar medan magnet pada bahan (Fluks magnetik)
- VSM (Vibrating Sample Magnetometer)
Untuk mengetahui nilai remanence, koersifitas dan magnet saturasi
c. XRD (X-Ray Diffraction).
Untuk mengetahui struktur kristal dari sampel.
3.3Variabel Eksperimen 3.3.1 Variabel Penelitian
Variabel dari penelitian ini adalah suhu sintering yang mulai dari suhu
1150, 1200, 1250 dan 1300oC dengan waktu tahan (holding time) selama 1
jam.
3.3.2 Variabel percobaan yang akan di uji
Variabel yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah :
- VSM (Vibrating Sample Magnetometer)
Kalsinasi (1100oC selama 1 jam)
Serbuk BaO.6Fe2O3 dengan waktu penahanan 1 jam
Magnetisasi
3.5Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan magnet permanen Barium
Heksaferit (BaFe12O19) dengan metode metalurgi serbuk dan karakterisasinya
dimulai dengan pencampuran bahan baku, proses pengeringan, proses
kalsinasi, proses milling, pembuatan sampel uji, sintering, dan pengujian.
3.5.1 Pencampuran bahan baku
Tahapan preparasi bahan baku serbuk Barium Heksaferit dilakukan dengan
menggunakan bahan baku serbuk Barium Carbonate (BaCO3) dan serbuk Iron
Oxide (Fe2O3). Serbuk tersebut ditimbang sesuai dengan massa yang di
butuhkan yaitu dengan perbandingan 1 : 6 sesuai dengan persamaan:
BaCO3+ 6Fe2O3→ BaO.6Fe2O3 + CO2 (3.1)
Proses pencampuran yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan proses
kimia basah (wet chemical process).
Dalam percobaan ini bahan baku serbuk barium karbonat dan besi
oksida disiapkan dengan perbedaan kualitas bahan baku pembentuk magnet
berbeda seperti dalam Tabel 3.1
Tabel 3.1 Komposisi bahan baku magnet Barium Ferrite
Bahan Baku
Kode Sampel
A B
BaCO3 Murni 11.955 gr Murni 11.955 gr
Fe2O3 Murni 58.045 gr Mill Scale 58.045 gr
Massa Setelah Pencampuran 70 gr 70 gr
Dimana: Sampel A adalah Barium Heksaferit yang dihasilkan dari Fe2O3 murni
Sampel B adalah Barium Heksaferit yang dihasilkan dari Fe2O3 mill scale
Barium Karbonat dan Besi Oksida dicampur dengan media aquades
sesuai dengan yang dibutuhkan dengan menggunakan Ball Mill selama 24 jam
hingga larut sempurna. Kemudian larutan dibiarkan hingga benar-benar
mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian disaring dan dikeringkan di
3.5.2 Proses Pengeringan
Tahap selanjutnya adalah pengeringan yang bertujuan untuk mendapatkan
campuran hematite dan barium carbonat berbentuk solid untuk selanjutnya
dikalsinasi. Pengeringan dilakukan pada temperatur 100oC selama 24 jam dengan
menggunakan oven.
3.5.3 Proses Kalsinasi
Setelah proses pengeringan, sampel yang berbentuk serbuk kemudian
dikalsinasi dengan suhu 1100oC selama 1 jam. Proses kalsinasi ini dilakukan
untuk mendapatkan serbuk keramik yang dengan ukuran yang optimum serta
menguraikan senyawa-senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi
oksida, membentuk fase Kristal.
3.5.4 Milling dengan menggunakan High Energy Milling (HEM)
Setelah proses kalsinasi, sampel yang berbentuk serbuk akan dihancurkan
menggunakan high energy milling (HEM) dengan waktu selama 60 menit agar
memperoleh serbuk yang lebih halus. Dalam proses penggilingan, HEM
bekerja dengan cara menghancurkan campuran serbuk melalui mekanisme
pembenturan bola-bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya
yang berbentuk elips tiga dimensi inilah yang memungkinkan pembentukan
partikel-pertikel serbuk berskala nanometer akibat tingginya frekuensi
tumbukan. Tingginya frekuensi tumbukan yang terjadi antara campuran serbuk
dengan bola-bola giling disebabkan karena wadah yang berputar dengan
kecepatan tinggi, yaitu mencapai 500 rpm. Prinsip kerja HEM tampak pada
gambar berikut ini.
3.5.5 Pembuatan Sampel Uji
Serbuk yang telah dihaluskan dengan proses HEM kemudian dicetak dan diberi
perekat polimer Celuna WE-518 sebanyak 3%. Pembuatan sampel uji dilakukan
dengan proses isotropis (tanpa pengaruh medan luar) dan anisotropis (pengaruh
medan luar) dengan tekanan sekitar 50-80 kgf/cm2 dengan cetakan die compact
menggunakan hydraulic press (isotropis) dan magnetic fild press (an-isotropis).
Serbuk campuran diletakkan dalam cetakan berdiameter 10 mm. Untuk serbuk
sempel A dan B pada pencetakan isotropi deperlukan gaya sebesar 8 ton
dengan waktu penahanan kompaksi selama 2 menit untuk memperoleh sampel
dengan kekuatan yang mencukupi agar mudah dikeluarkan dari cetakan dan
tidak hancur pada saat dipegang. Sedangkan untuk sampel A dan B pada
pencetakan anisotropi diperlukan gaya sebesar 50-80 kgf dengan waktu
penahanan kompaksi 1 menit. Hasil pencetakannya berupa pellet yang diameter
10 mm
3.5.6 Sintering
Sintering merupakan tahapan penting dalam memproses suatu bahan padat,
baik pada bahan unsur, paduan, komposit, hingga keramik. Dalam sintering
akan terjadi fenomena penyusutan (shrinkage) yaitu proses eliminasi dan
porositas pada saat pemadatan belum mencapai kejenuhan, setelah itu akan
terjadi fenomena pertumbuhan butir pada saat pemadatan mencapai kejenuhan.
Fenomena yang terjadi pada proses sintering dipengaruhi oleh siklus yang
melibatkan temperatur, kecepatan pemanasan, waktu penahanan (holding
time), kecepatan pendinginan dan tekanan. Proses sintering pada magnet
keramik BaFe12O19 dilakukan dengan cara pemanasan sampel dalam tungku
listrik (furnace) dengan variasi suhu 1150, 1200,1250 dan 1300oC yang ditahan
3.6Pengujian 3.6.1 Sifat fisis
3.6.1.1Densitas, Susut Bakar dan Porositas
Tujuan dilakukannya pengujian densitas dan Porositas adalah untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.
a. Densitas dan Susut Bakar
Nilai densitas suatu sampel adalah ukuran kepadatan dari suatu sampel.
Sedangkan Susut bakar merupakan penyusutan dari sampel sebelum dilakukan
sintering dan setelah dilakukan sintering. Penyusutan terjadi karena adanya
reaksi pembakaran yaitu pelepasan CO2 dan difusi partikel. Pengkuran densitas
dan susut bakar dilakukan dengan metode perhitungan langsung sebagai
berikut:
a. Sampel yang telah di cetak diukur diameternya sebagai diameter awal (Do)
dengan menggunakan jangka sorong
b. Sampel disinterring dengan temperature yang telah ditentukan
c. Sampel yang telah disintering diukur kembali diameter dan tebalnya
sebagai diameter kedua (D) dan tebal (t)
d. Timbang massa sampel (m)
e. Dihitung volume (�) sampel, dengan persamaan:
�= 4�
2
f. Dihitung massa jenis sampel, dengan persamaan:
=�
�
g. Dihitung penyusutan yang terjadi dengan persamaan: �0− �
�0 � 100%
b. Porositas
Porositas didefenisikan sebagai banyaknya lubang atau pori yang terdapat
dalam suatu sampel yang telah selesai dibuat. Pengujian porositas dilakukan
dengan sistem penyerapan air. Prosedur kerja untuk menentukan besarnya
porositas suatu bahan sebagai berikut:
b. Tuangkan aquades kedalam beaker glas kira-kira ¾ dari volume beaker
glas.
c. Masukkan sampel yang telah ditimbang kedalam beaker glas yang berisi
aquades, rendam selama 24 jam
d.
Sampel di timbang sebagai massa basah (m2)e. Sampel dikeringkan dalam oven dengan temperature 100oC selama 2 jam
f. Dihitung porositas sampel dengan persamaan:
�� � � � = �2−�1
�1 �
100% (3.3)
3.6.2 Sifat Magnet
Sifat-sifat magnet permanen berdasarkan kurva histerisis adalah sebagai
berikut: Sulit dimagnetisasi dan didemagnetisasi, Koersivitas tinggi (Hc),
dengan Hc yang tinggi maka dapat mempertahankan orientasi momen
magnetiknya untuk waktu yang lama, sebagai sumber gaya gerak magnet
dalam kumparan magnetik, remanensi tinggi (Br), histeris loss besar, permeabilitas (μ) kecil.
Untuk mengukur sifat-sifat magnet tersebut alat yang digunakan yaitu
Vibrating Sample Magnetometer (VSM). Alat VSM merupakan salah satu jenis
peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan. Dengan
alat ini akan diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik
sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva
histerisis.
Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam
medan magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai
magnetisasi. Secara prinsip ada dua metode mengukur besar magnetisasi
tersebut, yaitu metode induksi (induction method) dan metode gaya (force
method). Pada metode induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang
ditimbulkan/diinduksikan oleh cuplikan yang bergetar dalam lingkungan
medan magnet pada sepasang kumparan. Sedangkan pada metode gaya
pengukuran dilakukan pada besarnya gaya yang ditimbulkan pada cuplikan
yang berada dalam gradient medan magnet. VSM adalah salah satu alat ulur
Pada metode ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang
pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan
medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi secara permanen ataupun
sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini akan
mengakibatkan perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan
menginduksi/menimbulkan suatu sinyal tegangan AC pada kumparan
pengambil (pick-up atau sense coil) yang ditempatkan secara tepat dalam
sistem medan magnet ini.
Selanjutnya sinyal AC ini akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan
Lock-in amplifier. Frekuensi dari Lock-in amplifier diset sama dengan
frekuensi getaran sinyal referensidari pengontrol getaran cuplikan. Lock-in
amplifier ini akan membaca sinyal tegangandari kumparan yang sefasa dengan
sinyal referensi. Kumparan pengambil biasanya dirangkai berpasangan dengan
kondisi lilitan yang berlawanan. Hal ini untuk menghindari terbacanya sinyal
yang berasal dari selain cuplikan, misalnya dari akibat adanya perubahan
medan magnet luar itu sendiri. selanjutnya dalam proses pengukuran, medan
magnet luar yang diberikan, suhu cuplikan, sudut dan interval waktu
pengukuran dapat divariasikan melalui kendali komputer. Komputer akan
merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi medan magnet luar, suhu,
sudut ataupun waktu.
3.6.3 Difraksi Sinar-X (X-Ray Diffraction)
X-Ray Diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data
difraksidan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2) dari suatu
bahan. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk
mengetahui perubahan fase struktur bahan dan mengetahui fase-fase apa saja
yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji. Tahap pertama yang
dilakukan dalam analisa sinar-X adalah melakukan analisa pemeriksaan terhadap
sampel x yang belum diketahui strukturya. Sampel ditempatkan pada titik fokus
hamburan sinar-X yaitu tepat ditengah-tengah plate yangdigunakan sebagai
tempat yaitu sebuah plat tipis yang berlubang ditengah berukuran sesuai dengan
Gambar 3.2 Prinsip Kerja XRD
Secara umum prinsip kerja XRD ditunjukkan oleh gambar 3.3 berikut:
1. Generator tegangan tinggi (A) berfungsi sebagai catu daya sumber sinar-X
(B).
2. Sampel berbentuk pellet (C) diletakkan diatas tatakan (D) yang dapat diatur.
3. Berkas sinar-X didifraksikan oleh sampel dan difokuskan melewati celah
(E),kemudian masuk ke alat pencacah (F). Apabila sampel berputar sebesar
2θ maka alat pencacah berputar sebesar θ.
4. Intensitas difraksi sinar-X direkam dalam bentuk kurva terhadap jarak
antara bidang d.
Untuk mengetahui fasa dan struktur material yang diamati dapat
dilakukan dengancara sederhana, yaitu dengan cara membandingkan nilai d yang
terukur dengan nilai d pada data standar. Data standar dapat diperoleh melalui
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Karakterisasi Struktur Kristal Dengan Menggunakan XRD
(X-Ray Difraction)
Untuk mengetahui dan mengidentifikasi fasa-fasa yang terdapat pada sample uji,
maka dilakukan pengujian difraksi sinar-X (XRD) dengan menggunakan alat
X-ray diffractometer yang kemudian dianalisis secara kuantitatif. Proses analisa
tersebut dilakukan dengan cara mencocokkan data hasil pengukuran difraksi yang
didapat dari sampel dengan data hasil difraksi sinar-X yang terdapat pada database
ICDD (International Center for Diffraction Data). Adapun hasil pengujian dari
masing-masing sampel adalah sebagai berikut:
4.1.1 Sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan
Hasil pengukuran pola difraksi sinar-X yang bertujuan untuk mengetahui fasa-fasa
yang terbentuk setelah proses pemanasan 1100oC dengan menggunakan X-ray
diffractometer pada sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni diperlihatkan pada
gambar 4.1.
Gambar 4.1 Pola Difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan
Hasil identifikasi fasa sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni menunjukkan
bahwa sampel memiliki dua fasa berdasarkan percocokan pola difraksi sinar-X
menurut hasil penelitian BaFe12O19 seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Identifikasi fasa pola difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan
Sedangkan data puncak-puncak difraksi sinar-X sampel BaFe12O19 dari
Fe2O3 murni disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Puncak-puncak difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 murni yang dihasilkan
Barium Iron Oxide, Ba Fe12 O19, 04-008-0274
2-theta (deg)
20 40 60 80
9 54.07 13 3 0 2 Barium Heksaferit
tertinggi yang memiliki dua fasa yaitu Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan
Hematit (Fe2O3) dimana fasa mayor adalah Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan
minor adalah Hematit (Fe2O3). Hal ini sesuai dengan hasil data standar ICDD No
04-008-0274 untuk BaFe12O19 yang memiliki struktur kristal hexagonal dengan
parameter kisi a=b= 5.887 Å, c = 23.224 Å, serta volume cell-nya 697. Å3 dan
ICDD No 01-089-0596 untuk Fe2O3 yang memiliki struktur kristal rhombohedral
dengan parameter kisi a=b= 5.0425 Å, c = 13.767 Å, serta volume cell-nya 303.1
Å3.
4.1.2 Sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan
Hasil pengukuran pola difraksi sinar-X yang bertujuan untuk mengetahui fasa-fasa
yang terbentuk setelah proses pemanasan 1100oC dengan menggunakan X-ray
diffractometer pada sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale diperlihatkan pada
gambar 4.3.
Hasil identifikasi fasa sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale
menunjukkan bahwa sampel memiliki dua fasa berdasarkan percocokan pola
difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaFe12O19 seperti yang diperlihatkan
pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Identifikasi fasa pola difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan
Sedangkan data puncak-puncak difraksi sinar-X sampel BaFe12O19 dari
Fe2O3 mill scale disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Puncak-puncak difraksi sampel BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale yang dihasilkan
Barium Iron Oxide, Ba Fe12 O19, 00-043-0002
2-theta (deg)
20 40 60 80
8 40.295 33 2 0 5 Barium Heksaferit
9 42.413 58 2 0 8 Barium Heksaferit
10 46.4206 108 1 0 11 Barium Heksaferit
11 49.2857 53 0 2 4 Iron Oxide
12 55.095 43 2 1 7 Barium Heksaferit
13 56.58 28 2 0 11 Barium Heksaferit
14 63.09 24 3 0 10 Barium Heksaferit
15 72.59 14 3 1 7 Barium Heksaferit
Pola difraksi pada gambar 4.3 memperlihatkan bahwa terdapat 15 peak
tertinggi yang memiliki dua fasa yaitu Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan
Hematit (Fe2O3) dimana fasa mayor adalah Barium Heksaferit (BaFe12O19) dan
minor adalah Hematit (Fe2O3). Hal ini sesuai dengan hasil data standar ICDD No
00-043-0002 untuk BaFe12O19 yang memiliki struktur kristal hexagonal dengan
parameter kisi a=b= 5.8946 Å, c = 23.220 Å, serta volume cell-nya 698.7 Å3 dan
ICDD No 00-001-1053 untuk Fe2O3 yang memiliki struktur kristal rhombohedral
dengan parameter kisi a=b= 5.0381 Å, c = 13.815Å, dan volume cell-nya 303.68
Å3
Dari kedua gambar diatas dapat diliht bahwa struktur kristal dari bahan
mill scale lebih teratur dibandingkan dengan bahan murni serta puncak intensitas
dari mill scale lebih tinggi dibandingkan yang murni, semakin tinggi puncak
intensitas dan semakin sempit sudut 2θ maka struktur kristalnya dikatakan
sempurna.
4.2 Hasil Analisa Magnetik Dengan Menggunakan VSM (Vibrating Sample
Magnetometer)
Vibrating sample magnetometer dalah salah satu peralatan yang digunakan untuk
mempelajari sifat magnet dari sutu bahan. Dengan alat ini akan diperoleh
besaran-besaran sifat magnet dipengaruhi akibat perubahan medan magnet luar yang
sifat magnet diperlihatkan pada tabel 4.3 dan digambarkan pada kurva histerisis
berikut ini:
Tabel 4.3 Nilai perbandingan uji VSM BaFe12O19 dari Fe2O3 murni dengan Fe2O3 mill scale yang dihasilkan
Sampel Remanence σr (emu/g)
Koersifitas Hc (kOe)
Magnet Saturasi σs (emu/g)
Bhmax
(MGOe)
A 17.80 1.488 38.45 0.101
B 20.78 1.993 45.16 0.178
Gambar 4.5 Kurva histerisis BaFe12O19 dari Fe2O3 murni dan mill scale yang dihasilkan
Karakterisasi menggunkan VSM menghasilkan kurva histerisis yang memberikan informasi besar nilai remanen (σr), magnetisasi saturasi (σs) dan medan koersifitas (Hc). Remanensi menunjukkan nilai yang tersisa akibat reduksi
medan magnet menjadi nol. Pada persamaan H = 0 maka pada persamaan tersebut
hanya terdapat magnetisasi M. Hal ini berarti induksi remanen merupakan medan
yang timbul akibat magnetisasi spontan pada suatu metrial (Athesia, 2014). Pola
histerisis terjadi karena proses magnetisasi dan demagnetisasi pada material Emu/g (Fe2O3 murni)
magnet. Grafik kurva histerisi menunjukan medan magnet eksternal (H) terhadap magnetisasi (σ). Kurva histerisis terdiri dari Magnetization saturation (σs),
remanence (σr) dan coercivity (Hc). Magnetization saturation (σs) adalah keadaan
dimana material tidak dapat menyerap medan magnet yang lebih kuat sehingga
peningkatan gaya magnetisasi tidak akan mengubah secara signifikan magnetic
flux density. Remanence (σr) memperlihatkan magnetisasi berada di sebelah kiri
dalam magnet permanen setelah medan magnet eksternal dihilangkan. Coercivity
juga disebut coercive force material yang sama dengan gaya demagnetisasi yang
dibutuhkan pada pengurangan induksi sisa terhadap nilai nol dalam medan magnet
setelah magnetisasi ke saturasi.
Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.5 di atas dapat dianalisis bahwa kurva
histerisis sampel tersebut bersifat material magnetic lunak (soft magnetic
material) dan memiliki lebar kurva yang sempit. Sifat material magnetic lunak
yang diharapkan terjadi adalah terjadinya penurunan nilai koersivitas (Hc) dan peningkatan magnetisasi saturasi (σs). Untuk magnet permanen semakin lebar kurva akan semakin baik karena gaya koersifitas akan semakin besar. Adanya
penyempitan lebar kurva disebabkan pada sampel tersebut struktur kristalnya
tidak hanya Barium Heksaferit tetapi terdapat Fe2O3, dimana fasa Fe2O3 bersifat
non magnetik dan cenderung soft magnetik oleh karena itu lebar kurva
menyempit.
4.3 Hasil Karakterisasi Sifat Fisis
Sifat fisis yang diamati dalam penelitian pembuatan Barium Heksaferit dengan
metode metalurgi serbuk yang berbahan dasar BaCO3 (murni) dan Fe2O3 (murni
dan mill scale) berbentuk powder meliputi densitas dan porositas.
4.3.1 True Density (ρ)
Pengukuran true density dari serbuk yang digiling selama 24 jam, menggunakan
prinsip piknometer dengan cairan pembanding yaitu aquades. Hasil pengukuran
true density serbuk Barium Hekseferit dari Fe2O3 murni lebih kecil di bandingkan
murni dan 3.57g/cm3 untuk bahan mill scale. Sedangkan secara nilai teori true
density untuk barium heksaferite yaitu 5.3 – 5.6 g/cm3, nilai hasil secara praktek
lebih kecil dibandingkan dengan teori.
4.3.2 Bulk Density (ρ)
Pengukuran bulk density magnet permanen Barium Heksaferit yang telah disinter
pada suhu: 1150, 1200, 1250, dan 1300 oC, masing-masing ditahanselama 1 jam
dilakukan dengan metode pengukuran langsung. Secara teori nilai bulk densitas
berkisar 4 g/cm3. Dibawah ini adalah hasil dari pengukuran densitas magnet
barium heksaferit.
4.3.2.1 Sampel BaFe12O19yang dicetak secara isotropi
Data hasil pengujian densitas sampel BaFe12O19yang dicetak secara isotropi
ditunjukkan pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Nilai densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering
Sampel
Densitas (ρ = gr/cm3)
1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC
A 4.35 4.48 4.22 4.51
B 3.24 3.41 3.56 3.83
Dari Tabel 4.4 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai densitas dengan
Gambar 4.6 Kurva densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara
Isotropi dengan variasi suhu sintering
4.3.2.2 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi
Data hasil pengujian densitas sampel BaFe12O19yang dicetak secara anisotropi
ditunjukkan pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Nilai densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropi dengan variasi suhu sintering
perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:
3
1100 1150 1200 1250 1300 1350
Gambar 4.7 Kurva densitas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara
Anisotropi dengan variasi suhu sintering
Dari gambar 4.6 dan 4.7 dapat dilihat bahwa nilai densitas meningkat dengan
naiknya suhu sintering karena selama proses sintering berlangsung terjadi proses
difusi, dan suhu sintering ditingkatkan dapat mengakibatkan adanya pertumbuhan
butir sehingga pori – pori diantara butir dapat berkurang semakin banyak (Ristic,
1989). Densitas merupakan perbandingan massa dengan volume benda, dimana
setelah proses sintering terjadi penyusutan yang semakin besar dengan naiknya
suhu sintering, sehingga volume benda semkin berkurang, maka nilai densitasnya
cenderung meningkat.
Nilai densitas maksimum untuk kedua sampel terdapat pada suhu 1300oC.
Sedangkan pada suhu 1250oC untuk sampel dengan bahan murni mengalami
penurunan, hal ini mungkin disebabkan karena tingkat kemurnian bahan baku.
Pada saat proses pencampuran dimungkinkan masuknya pengotor dalam bahan
baku. Karena pengotor dan bahan secara mikro tidak dapat bersatu, sehingga
mengakibatkan terjadinya jarak atom (terjadinya rongga) antara bahan dan
pengotor, akibatnya volume bahan menjadi bertambah. Bertambahnya volume
mengakibatkan turunnya nilai densitas (Billah, 2006).
3
1100 1150 1200 1250 1300 1350
4.3.3 Susut Bakar
4.3.3.1 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
Data hasil pengujian susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
ditunjukkan pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Nilai Susut Bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan variasi suhu sintering
perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.8 Kurva susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropi dengan variasi suhu sintering
4.3.3.2 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi
Data hasil pengujian susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
1100 1150 1200 1250 1300 1350
Tabel 4.7 Nilai Susut Bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi
perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.9 Kurva susut bakar sampel BaFe12O19 yang dicetak secara
Anisotropi dengan variasi suhu sintering
Dari gambar 4.8 dan 4.9 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu sintering,
penyusutan yang terjadi juga cenderung semakin besar. Hal ini karena pada proses
sintering terjadi pemadatan akibat difusi atom pada bagian titik kontak partikel.
Pada saat pemberian energi panas di dalam furnace sama artinya dengan memberi
energy aktivasi pada atom penyusun bahan tersebut, sehingga dengan adanya
energi aktivasi menyebabkan atom penyusun bahan akan bervibrasi kemudian
melepaskan ikatannya dan bergerak ke posisi baru atau berpindah ke kisi yang
lain, proses tersebut sering disebut dengan proses difusi. Sehingga semakin tinggi
suhu sintering, semakin banyak atom-atom yang mempunyai energi yang sama
atau melebihi energi aktivasi untuk dapat tersebar dari posisinya dan bergerak
0
1100 1150 1200 1250 1300 1350
menuju ke tempat-tempat kekosongan (Vacant Site) yang menyebabkan proses
pemadatan dan penghilangan pori semakin cepat (Efendi dkk, 2003).
4.3.4 Porositas
4.3.4.1 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
Data hasil pengujian porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.10 Kurva Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Isotropis dengan variasi suhu sintering
4.3.4.2 Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi
Data hasil pengujian porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
1100 1150 1200 1250 1300 1350
Tabel 4.9 Nilai Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan
perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.11 Kurva Porositas sampel BaFe12O19 yang dicetak secara Anisotropis dengan variasi suhu sintering
Dari gambar 4.10 dan 4.11 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu sintering,
nilai porositas cenderung menurun. Pada gambar 4.10 dan 4.11 nilai porositas
terendah terdapat pada suhu 1300oC untuk sampel dari bahan murni sedangkan
untuk nilai tertinggi terdapat pada suhu 1150oC untuk sampel dari bahan mill
scale dengan proses pencetakan isotropis dan an-isotropis. Hal ini sesuai dengan
mekanisme proses sintering yaitu terjadi proses pemadatan akibat pengaruh
sintering yang menyebabkan rongga-rongga semakin kecil. Kejadian ini
menyebabkan butiran-butiran partikel bersebelahan bereaksi dan berikatan,
artinya sudah mulai melebur dan menutup sebagian pori-pori. Temperatur
sintering yang semakin meningkat menyebabkan ukuran butiran lebih merata dan
sampel memiliki sedikit pori. (Priyo Sardjono dkk, 2012). Pada suhu 1250oC
1100 1150 1200 1250 1300 1350
untuk sampel murni yang dicetak secara isotropis mengalami kenaikan hal ini
mungkin disebabkan adanya pengotor pada sampel sehingga terjadi perbesaran
rongga pada saat proses sintering. Butiran bersebelahan tidak dapat beraksi dan
berikatan dan memungkinkan terjadinya rongga dan perbesaran butir sehingga
tidak menutup pori yang ada pada sampel.
4.4 Hasil Karakterisasi Sifat Magnet
4.4.1 Fluks Magnetik
Sifat magnet suatu bahan dapat diketahui melalui pengukuran kuat medan magnet
(fluks density) dengan menggunakan alat gaussmeter. Hasil pengukuran
Gaussmeter (kuat medan magnet) untuk proses pencetakan isotropi dan anisotropi
dapat dilihat pada:
4.4.1.1Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi
Data hasil pengujian fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara
isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.10
Tabel 4.10 Nilai Fluks Magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara isotropi dengan variasi suhu sintering
Sampel
Fluks Magnetik (Gauss)
1150 oC 1200 oC 1250 oC 1300 oC
A 381.1 361.6 358.7 332.5
B 349.1 344.5 342.1 348.0
Dari Tabel 4.10 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai fluks magnetik dengan
Gambar 4.12 Kurva Fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak dengan isotropi dengan variasi suhu sintering
Berdasarkan hasil pengukuran nilai kuat medan magnet pada Tabel 4.10 diatas
terlihat bahwa pada suhu sintering 1150°C diperoleh nilai fluks magnetik tertinggi
yaitu 381.1 Gauss untuk sampel dari bahan murni dan 349.1 Gauss untuk bahan
mill scale yang dicetak secara isotropi. Sedangkan nilai fluks magnetik terendah
pada bahan murni yaitu 332.5 gauss pada suhu 1300oC dan 342.1 gauss untuk
bahan mill scale dengan suhu sintering 1250oC. Nilai fluks magnetik dengan
naiknya suhu cenderung menurun. Hal ini disebabkan pada saat proses sintering
tidak hanya terjadi pengurangan pori, tetapi juga terjadinya perbesaran butir,
dimana bila ukuran butir tumbuh besar melebihi ukuran butir yang ideal yaitu 1-2
µm untuk ukuran ideal magnet ferrite maka kekuatan magnetnya juga akan turun.
(Kharismayanti, 2013)
4.4.1.2Sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi
Data hasil pengujian fluks magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara
isotropi ditunjukkan pada Tabel 4.11
330
1100 1150 1200 1250 1300 1350
Tabel 4.11 Nilai Fluks Magnetik sampel BaFe12O19 yang dicetak secara anisotropi
Dari Tabel 4.11 dapat dibuat grafik hubungan antara nilai fluks magnetik dengan
perubahan suhu sintering seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.14 Kurva Fluks magnetik sampel BaFe12O19yang dicetak secara
Anisotropi dengan variasi suhu sintering
Berdasarkan hasil pengukuran nilai kuat medan magnet pada Tabel 4.11 diatas
terlihat bahwa pada suhu sintering 1200°C diperoleh nilai fluks magnetik tertinggi
yaitu 319.9 Gauss untuk sampel dari bahan murni dan 342.6 gauss untuk bahan
mill scale. Sedangkan nilai fluks magnetik terendah pada suhu 1300oC yaitu 311.0
gauss untuk bahan murni dan 318.1 untuk bahan mill scale.
Dari hasil proses pencetakan tersebut dapat dilihat bahwa nilai fluks
magnetik pada proses isotropi jauh lebih besar dari pada anisotropi. Sampel yang
diproses dengan cara anisotropi pada pembentukkan dilakukan didalam medan
magnet sehingga arah domain magnet partikel-partikelnya mengarah pada satu
arah tertentu. Sedangkan proses pembentukan yang dilakukan dengan cara
isotropi yaitu dimana pada proses pembentukkan arah domain magnet
partikel-305
1100 1150 1200 1250 1300 1350
partikelnya masih acak. Magnet permanen isotropi memiliki sifat magnet atau
remanensi magnet yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan magnet permanen
anisotropi. [Moulson A.J, et all., 1985]. Akan tetapi pada prakteknya nilai fluks
magnetik pada pencetakan isotropi lebih besar dibandingkan dengan pencetakan
anisotropi. Hal ini dikarenakan waktu kompaksi pada anisotropi lebih rendah
dibandingkan dengan isotropi yaitu 1 menit. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Novrita dan Dedi (2003) menyatakan bahwa semakin lama waktu yang
diterapkan pada saat megnetisasi ketika proses kompaksi berlangsung,
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Dari hasil penelitian pembuatan magnet permanen Barium Hexaferite
BaFe12O19 dengen metode metalurgi serbuk dan karakterisasinya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1. Hasil uji XRD menunjukkan terdapat dua fasa yang terbentuk yaitu, fasa
BaFe12O19 dan Fe2O3. Dimana yang menjadi fasa mayor adalah BaFe12O19
dan fasa minor Fe2O3, hal ini diakibatkan karena BaFe12O19 dapat
menghasilkan fasa pengotor yaitu hematite (Fe2O3).
2. Hasil uji VSM BaFe12O19 dari Fe2O3 mill scale memiliki kurva yang lebih
sempit dibandingkan BaFe12O19 dari Fe2O3 murni, semakin lebar kurva
maka gaya koersifitas akan semakin besar.
3. Suhu sintering optimum diperoleh pada suhu 1300oC untuk sampel dari
bahan murni yang dicetak secara isotropi yaitu memiliki sifat-sifat sebagai
berikut: sifat fisis dengan nilai bulk density yaitu 4.51 g/cm3, susut bakar
12.75% dan porositas sebesar 0.52%. Sifat magnet dengan nilai fluks
magnetik yaitu 332.5 Gauss.
5.2Saran
1. Sebaiknya memperhatikan tingkat kemurnian bahan baku
2. Sebaiknya meningkatkan waktu kompaksi untuk pencetakan anisotropi
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Magnet
Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet.
Asal kata magnet diduga dari kata magnesia yaitu nama suatu daerah di Asia
kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan
sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi atau baja atau campuran
logam lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut
magnet.
Di dalam kehidupan sehari-hari kata “magnet” sudah namun sering juga
berpikir bahwa jika mendengar kata magnet selalu berkonotasi menarik
benda.Untuk bisa mengambil suatu barang dari logam (contoh obeng besi) hanya
dengan sebuah magnet, misalkan pada peralatan perbengkelan biasanya
dilengkapi dengan sifat magnet sehingga memudahkan untuk mengambil benda
yang jatuh di tempat yang sulit dijangkau oleh tangan secara langsung. Bahkan
banyak peralatan yang sering digunakan, antara lain bel listrik, telepon, dinamo,
alat-alat ukur listrik, kompas yang semuanya menggunakan bahan magnet.
(Anonim, 2014).
Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta
telah banyak dimanfaatkan untuk industri otomotif dan lainnya. Sebuah magnet
terdiri atas magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun
teratur), magnet-magnet kecil ini disebut magnet elementer. Pada logam yang
bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak
teratur) sehingga efeknya saling meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya
kutub-kutub magnet pada ujung logam. Setiap magnet memiliki dua kutub,
yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada
ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada
kutub-kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik
lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam
contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan
oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh
magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional
(SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1
weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Anonim,
2014).
2.2 Macam-macam magnet
Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
a. Magnet permanen.
Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan
magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut
magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet
permanen dibuat orang dalam berbagai bentuk dan dapat dibedakan
menurut bentuknya menjadi :
- Magnet batang
- Magnet ladam (sepatu kuda)
- Magnet jarum
- Magnet silinder
- Magnet lingkaran
b.Magnet remanen
Magnet remanen adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan
magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan
cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam.
Bila suatu bahan pengantar dialiri arus listrik, besarnya medan magnet yang
dihasilkan tergantung pada besar arus listrik yang dialirkan. Medan magnet
remanen yang digunakan dalam praktek kebanyakan dihasilkan oleh arus
dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet yang dihasilkan
cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi dan sistem
ini dinamakan electromagnet. Keuntungan electromagnet adalah bahwa
dialirkan. Dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus
listriknya. (Erni, 2011)
2.3 Sifat – Sifat Magnet Permanen
Sifat – sifat kemagnetan permanen magnet (hard ferrite)dipengaruhi oleh
kemurnian bahan, ukuran bulir (grain size), dan orientasi kristal. Parameter
kemagnetan juga dipengaruhi oleh temperatur. Koersivitas dan remenensi akan
berkurang apabila temperaturnya mendekati temperatur curie (Tc) dan akan
kehilangan sifat kemagnetannya (Taufik, 2006).
2.3.1 Koersivitas
Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet.
Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya.
Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya.
Tinggi koersivitas, juga disebut medan koersif, dari bahan feromagnetik.
Koersivitas biasanya diukur dalam Oersted atau ampere / meter dan
dilambangkan Hc (Pooja, 2010).
2.3.2 Remanen
Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses
magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi
pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B
menunjukkan harga tertentu. Bagaimanapun juga koersivitas sangat
dipengaruhi oleh nilai remanensinya. Oleh karena itu besar nilai remanensi
yang dikombinasikan dengan besar koersivitas pada magnet permanen
menjadi sangat penting (Jiles, 1996).
2.3.3 Temperatur Currie
Temperature Currie c dapat didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana
fase magnetik bertransisi dari konfigurasi struktur magnetik yang teratur
menjadi tidak teratur.
Takanori, 2011 menganalisa sifat magnet dan pengaruhnya terhadap
temperatur Curriedengan pensubsitusian ion TI dan Co. Dari hasil
penelitiannya padakomposisi x = 2,5, sifat ferrimagnetikberubah menjadi
subsitusi Ti dan Co. Dimana untuk x = 2,5 temperatur currienya adalah 692
o
Csedangkan pada x=5 temperatur Currienya 730oC. Hal tersebut juga
mempengaruhi penurunan nilai remanensinya.
2.3.4 Medan anisotropi (HA)
Medan anisotropi (HA), juga merupakan nilai instrinsik yang sangat penting
dari magnet permanen karena nilai ini dapat di definisikan sebagai koersivitas
maksimum yang menunjukkan besar medan magnet luar yang diberikan
dengan arah berlawanan untuk menghilangkan medan magnet permanen.
Anisotropi magnet dapat muncul dari berbagai sebab seperti bentuk magnet,
struktur kristal, efek stress, dan lain sebagainya (konsorsium magnet).
2.4 Sifat Kemagnetan Bahan
Sifat – sifat kemagnetan bahan pada material magnet dapat diklasifikasikan
antara lain diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik, antiferromagnetik dan
ferrimagnetik.
2.4.1 Ferromagnetik
Ferromagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas
magnetikpositif yang sangat tinggi. Dalam bahan ini sejumlah kecil medan
magnetik luar dapat menyebabkanderajat penyearahan yang tinggi pada
momen dipol magnetik atomnya. Dalam beberapa kasus, penyearahan ini
dapat bertahan sekalipun medan kemagnetannya telah hilang. Hal ini terjadi
karena momen dipol magnetik atom dari bahan – bahan ferromagnetik ini
mengarahkan gaya – gaya yang kuat pada atom disebelahnya.Sehingga dalam
daerah ruang yang sempit, momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun
medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen dipol magnetik
yang disearahkan ini disebut daerah magnetik. Dalam daerah ini, semua
momen magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahnya beragam dari daerah
sehingga momen magnetik total dari kepingan mikroskopi bahan
ferromagnetik ini adalah nol dalam keadaan normal (Tipler, 2001).
2.4.2 Ferrimagnetik
Pada bahan yang bersifat dipol yang berdekatan memiliki arah yang
berlawanan tetapi momen magnetiknya tidak sama besar. Bahan
ferrimagnetik memiliki nilai susepbilitas tinggi tetapi lebih rendah dari bahan
ferromagnetik, beberapa contoh dari bahan ferrimagnetik adalah ferrite dan
magnetite (Mujiman, 2004).
Gambar 2.2 Momen Magnetik Dari Sifat Ferrimagnetik
2.4.3 Paramagnetik
Bahan paramagnetik adalah bahan – bahan yang memiliki suseptibilitas
magnetik Xm yang positif dan sangat kecil. Paramagnetik muncul dalam
bahan yang atom – atomnya memiliki momen magnetik hermanen yang
berinteraksi satu sama lain secara sangat lemah. Apabila tidak terdapat Medan
magnetik luar, momen magnetik ini akan berorientasi acak. Dengan adanya
medan magnetik luar, momen magnetik ini arahnya cenderung sejajar dengan
medannya, tetapi ini dilawan oleh kecenderungan momen untuk berorientasi
acak akibat gerakan termalnya. Perbandingan momen yang menyearahkan
dengan medan ini bergantung pada kekuatan medan dan pada temperaturnya.
Pada medan magnetik luar yang kuat pada temperatur yang sangat rendah,
hampir seluruh momen akan disearahkan dengan medannya (Tipler, 2001).
Gambar 2.3 Momen Magnetik Dari Sifat Paramagnetik
Karakteristik dari bahan yang bersifat paramagnetik adalah memiliki
momen magnetik permanen yang akan cenderung menyearahkan diri sejajar
dengan arah medan magnet dan harga suseptibilitas magnetiknya berbanding
terbalik terbalik dengan suhu T adalah merupakan hukum Currie (Tipler,
2001).
2.3.4 Diamagnetik
Bahan diamagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas
tahun 1846 ketika sekeping bismuth ditolak oleh kedua kutub magnet, hal ini
memperlihatkan bahwa medan induksi dari magnet tersebut menginduksi
momen magnetik pada bismuth pada arah berlawan dengan medan induksi
pada magnet (Tipler, 2001).
2.5 Kurva Histerisis
Kurva histerisis pada bahan merupakan bentuk disipasi energi yang terjadi selama
proses pembentukan kurva B-H. Besarnya energi yang didisipasikan pada
frekuensi rendah umumnya dipengaruhi oleh porositas, ukuran grain dan
impuritasBentuk umum kurva medan magnetB sebagai fungsi intensitas magnet H
terlihat pada gambar 2.4 kurva B (H) seperti ini disebut kurva induksi normal.
Gambar 2.4 Kurva Induksi Normal
Pada gambar di atas tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus
sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan
kenaikan harga H, mula-mula B turut naik cukup besar, tetapi mulai dari nilai H
tertentuterjadi kenaikan nilai B yang kecildan menuju nilai B yang konstan. Harga
medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet
saturasi. Saturasi magnetisasi merupakan keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai
medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan
terus. (Ika Mayasari, 2012).
Gambar 2.5 Kurva Histerisis
Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai
H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H = 0,
pada kurva histerisis pada gambar 2.5. Harga Br ini disebut dengan induksi
remanen atau remanensi bahan. Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan
magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau
remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan
magnet B menunjukkan harga tertentu.
Setelah harga intensitas magnet H = 0 atau dibuat negatif (dengan
membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc.
Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B = 0 atau
menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas
bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet.
Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan
dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya (Ika
Mayasari, 2012).
Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H
yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai
saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada
harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu
lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai
koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik
untuk membuat magnet permanen (Ika Mayasari, 2012).
Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua yaitu material magnetik
lemah atau soft magnetik materials maupun material magnetik kuat atau hard
magnetic materials.
Gambar 2.6 Histeris material magnet (a) lunak, (b) keras
Bahan magnetik lunak (soft magnetic) dapat dengan mudah
termagnetisasi dan mengalami demagnetisasi. Magnet lunak (soft magnetic)
menunjukkan histerisis loop yang sempit. Magnet lunak (soft magnetic)
digunakan untuk meningkatkan fluks, yang dihasilkan oleh arus listrik
didalamnya. Faktor kualitas dari bahan magnetik lunak adalah untuk mengukur
permeabilitas yang sehubungan dengan medan magnet yang diterapkan.
Parameter utama lainnya adalah koersivitas, magnetisasi saturasi dan
konduktivitas listrik. Bahan magnetik lunak ideal akan memiliki koersivitas
rendah (Hc), saturasi yang sangat besar (Ms), remanen (Br) nol, hysterisis loss
dan permeabilitas yang sangat besar. Beberapa bahan penting magnetik lunak
diantaranya Fe, paduan Fe-Si, Ferit lunak (MnZnFe2O4), besi silikon dll (Poja
Chauhan, 2010)
Bahan magnet keras (hard magnetic) juga disebut sebagai magnet
permanen yang digunakan untuk menghasilkan medan yang kuat tanpa
menerapkan arus ke koil. Magnet permanen memerlukan koersivitas tinggi, yang
membutuhkan koersivitas tinggi. Dalam bahan magnet keras (hard magnetic)
anisotropi diperlukan magnetik uniaksial dan sifat magnetik berikut :
1. Koersivitas tinggi (high coersivity) : koersivitas, juga disebut medan
magnet koersif. Koersivitas biasanya diukur dalam satuan oersted atau
ampere / meter dan dilambangkan Hc. Bahan dengan koersivitas tinggi
disebut bahan ferromagnetik keras dan digunakan untuk membuat
magnet permanen.
2. Magnetisasi besar (large magnetization) : proses pembuatan substansi
sementara atau magnet permanen, dengan memasukkan bahan medan
magnet.
2.6Barium Heksaferit
Heksaferit tergolong dalam ferimagnetik, Ferimagnetik memiliki arah
atom-magnetik yang berlawanan, tetapi tidak seimbang, jadi magnet ini memiliki
suatu magnetisasi total. Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya,
Barium Heksaferit merupakan tipe-M. Tipe-M yang lebih dikenal dengan
sebutan barium heksagonal ferit (BaM) merupakan oksida keramik yang paling
banyak dimanfaatkan secara komersial dan hingga kini telah banyak penelitian
yang dilakukan untuk mengembangkan material tersebut baik dari segi
Barium M-heksaferit atau dikenal dengan sebutan BaM memiliki rumus
kimia BaO.6Fe2O3 (BaFe12O19) dan struktur heksagonal yang sesuai dengan
space group P 63/mmc. Sel komplek BaM tersusun atas 2 sistem kristal yaitu
struktur kubus-pusat-sisi (face-centered-cubic) dan heksagonal mampat
(hexagonal-close-packed) seperti terlihat pada gambar 2.7. Keduanya tersusun
dengan lapisan atom yang sama, satu lapisan di atas lapisan yang lain, dalam
setiap lapisan, atom terletak di pusat jaringan.
Gambar 2.7 Struktur kristal BaO.6Fe2O3
Sel satuan BaM berisi 2 molekul, atau totalnya 2 x 32 = 64 atom. Inilah
yang membuat strukturnya sangat panjang ke arah sumbu z dengan c = 23,2 Ao
dan a = 5,88Ao. Ion-ion Ba2+ dan O2- memiliki ukuran yang besar, hampir sama
dan bersifat non magnetik. Keduanya tersusun dalam model close packed
(tertutup). Ion Fe3+ menempati posisi interstisi.
Dalam sel satuan BaM, terdapat 10 lapisan dari ion-ion besar (Ba2+ dan
O2), dengan 4 ion di setiap lapisannya. Delapan dari lapisan-lapisan tersebut
adalah oksigen, sedangkan 2 lainnya berisi masing-masing satu ion barium.
Seluruh blok dari 10 lapisan tersusun atas 4 blok, 2 blok kubus dan 2 blok
heksagonal. Dalam blok kubus tersusun atas ion-ion oksigen yang memenuhi
struktur tetrahedral dan oktahedral. Dalam setiap blok heksagonal, ion barium
mengganti ion oksigen den letaknya di lapisan tengah.
Ion yang bersifat magnet dalam barium ferit hanyalah ion Fe3+, tiap-tiap
ion dengan nilai momen magnetik 5 μB kristalografi yang berbeda jenisnya yaitu
tetrahedral, oktahedral dan heksahedral. Ion - ion Fe3+ searah dengan bidang
lapisan oksigen, yang bisa sejajar atau tegak lurus dengan sumbu-z dalam
tetrahedral, oktahedral dan 2 ion dalam heksahedral. Terdapat 16 ion dengan
spin searah dan 8 ion dengan spin berlawanan.
Barium heksaferit merupakan material magnetik dengan medan
anisotropik yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan pada frekuensi yang lebih
tinggi dari pada ferit spinel atau garnet (di atas 30 GHz). Kristal magnet
anisotropik berasal dari strukturk kristal dengan anisotropik yang tinggi.
Pertumbuhan butir struktur kristal tersebut juga bersifat anisotropik, dengan
bentuk morfologi seperti bidang heksagonal yang memberikan peningkatan sisi
anisotropiknya. Akibatnya, BaM menghasilkan koersifitas tinggi. Syarat itulah
yang mestinya harus dimiliki oleh magnet. (Noer A’idah, dkk, 2011)
2.7 Karakterisasi Magnet Permanen 2.7.1 Densitas dan Porositas
Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Pengukuran
densitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah true density dan bulk
density. True density densitas nyata dari partikel atau kepadatan sebenarnya
dari partikel padat atau serbuk (powder) berbeda dengan bulk density, yang
mengukur kepadatan rata-rata volume terbesar dari serbuk yang sudah
dipadatkan. Pada pengujian true density menggunakan piknometer. Bulk
density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel
termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk
megukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun
yang tidak beraturan. Pada pengujian Bulk density menggunakan metode
Archimedes.
Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah
volume lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong)
dengan jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas
pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari
suatu rongga yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada
suatu material bervariasi mulai dari 0% sampai dengan 90% tergantung dari
jenis dan aplikasi material tersebut. Ada dua jenis porositas yaitu porositas
untuk ditentukan karena pori tersebut merupakan rongga yang terjebak di
dalam padatan dan serta tidak ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori
terbuka masih ada akses ke permukaan luar, walaupun ronga tersebut ada
ditengah-tengah padatan. (Delovita, 2014)
2.7.2 Uji Difraksi Sinar-X (XRD)
Uji difraksi sinar-X (XRD) dilakukan untuk menentukan fasa yang
terbentuk setelah serbuk mengalami proses kalsinasi. Dari data yang akan
dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk dengan bantuan software
X-powder. Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi
sinar-X yang muncul. Makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan maka
makin kecil ukuran kristal serbuk.
Gambar 2.8 Geometri sebuah Difraktometer sinar –X Ada 3 komponen dasar suatu difraktometer sinar X yaitu:
1. Sumber Sinar X
2. Spesimen (Bahan Uji)
3. Detektor sinar X
Ketiganya terletak pada keliling sebuah lingkaran yang disebut
lingkaran pemfokus. Sudut antara permukaan bidang spesimen dan sumber
sinar X adalah sudut Bragg (Ө). Sudut antara projeksi sumber sinar X dan
detektor adalah 2Ө. Atas dasar ini pola difraksi sinar X yang dihasilkan
dengan geometri ini sering dikenal sebagai penyidikan (scans) Ө- 2Ө
(theta-dua theta). Pada geometri Ө-2Ө sumber sinar X-nya tetap, dan detektor
bergerak melalui suatu jangkauan (range) sudut. Jejari (radius) lingkaran
pemfokus tidak konstan tetapi bertambah besar bila 2Өberkurang. Range
pengukuran 2Ө biasanya dari 0o hingga sekitar 170o. Pada eksperimen tidak
pada struktur kristal material (jika dikenal) dan waktu yang diperlukan untuk
memperoleh pola difraksinya. Geometri Ө - 2Ө umumnya digunakan,
walaupun masih ada geometri yang lain seperti geometri Ө- Ө(theta-theta)
dimana detektor dan sumber sinar-X keduanya bergerak pada bidang vertikal
dalam arah yang berlawanan di atas pusat spesimennya. Pada beberapa
bentuk analisis difraksi sinar-X sampel dapat dimiringkan dan dirotasikan
sekitar suatu sumbu (psi).
Lingkaran difraktometer pada gambar 2.8 berbeda dari lingkaran
pemfokusnya. Lingkaran difraktometer berpusat pada specimen dan detektor
dengan sumber sinar-X keduanya berada pada keliling lingkarannya. Jejari
lingkaran difraktometer adalah tetap. Lingkaran difraktometer juga
dinyatakan sebagai lingkaran goniometer. Goniometer adalah komponen
sentral dari suatu difraktometer sinar-X dan mengandung pemegang sampel
(sample holder). Pada kebanyakan difraktometer serbuk goniometernya
adalah vertical (Kim S, 2013).
2.7.3
Vibrating Sampel Magnetometer (VSM)a. Vibrating Sampel Magnetometer (VSM)
Vibrating sampel magnetometer merupakan perangkat yang bekerja untuk
menganalisis sifat kemagnetan suatu bahan. Alat ini ditemukan oleh Simon Foner
pada tahun 1955 di Laboratorium Lincoln MIT.
b. Komponen Vibrating Sampel Magnetometer
Vibrating sampel magnetometer mempunyai komponen yang dapat dibedakan
berdasarkan fungsi dan sifat fisinya. Komponen-komponen tersebut tersusun
membentuk satu set perangkat VSM yang menjalankan fungsinya masing-masing.
Gambar 2.9 Komponen vibrating sampel magnetometer (VSM).
Berdasarkan gambar 5 dapat diuraikan beberapa komponen dari vibrating sampel
magnetometer (VSM), yaitu:
1. Kepala generator: Sebagai tempat melekatnya osilasi sampel yang
dipindahkan oleh transduser piezoelectric.
2. Elektromagnet atau kumparan hemholtz
Berfungsi untuk menghasilkan medan magnet untuk memagnetisasi
sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik. Resonansi sampel oleh
transduser piezoelectric juga dilairkan kebagian ini dengan capaian
frekuensi sama dengan 75 Hz.
4. Pick-up coil: Berfungsi untuk mengirim sinyal listrik ke amplifier. Sinyal
yang telah diinduksi akan ditransfer oleh pickup coil ke input diferensial
dari lock-in amplifier. Sinyal dari pick-up koil terdeteksi oleh lock-in
amplifier diukur sebagai fungsi dari medan magnet dan memungkinkan
kita untuk mendapatkan loop histeresis dari sampel diperiksa. Untuk
osilasi harmonik dari sampel, sinyal (e) induksi di pick-up coil sebanding
dengan amplitudo osilasi (K), frekuensi osilasi sampel ( ) dan momen
magnet (m) dari sampel yang akan diukur pada vibrating sampel
magnetometer (VSM).
5. Sensor hall Digunakan untuk mengubah dan mentransdusi energi dalam
medan magnet menjadi tegangan (voltase) yang akan menghasilkan arus
listrik. Sensor hall juga digunakan untuk mengukur arus tanpa
mengganggu alur arus yang ada pada konduktor. Pengukuran arus ini akan
menghubungkan sensor hall dengan teslameter.
6. Sensor kapasitas Berfungsi memberikan sinyal sebanding dengan