• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor di Kota Medan"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KOHESIVITAS DENGAN PERILAKU AGRESI PADA

ANGGOTA GENG MOTOR DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

BERIYANTI SUNITA

061301014

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa

skripsi saya yang berjudul :

Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi

pada Anggota Geng Motor di Kota Medan

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil

karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,

kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya

bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2010

(3)

Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor

di Kota Medan

Beriyanti Sunita dan Rika Eliana

ABSTRAK

Beberapa tahun belakangan ini kekerasan yang dilakukan oleh anggota komunitas motor yang menyebut dirinya geng motor sangat dekat dengan istilah perilaku agresi. Tindakan yang mereka timbulkan berakibat pada kerusakan atau terlukanya pihak lain. Salah satu faktor penyebab perilaku agresi adalah adanya pengaruh kelompok. Adanya desakan dan provokasi dari kelompok dapat menyebabkan seseorang melakukan periaku agresi. Anggota-anggota kelompok dapat bebas saling mempengaruhi satu sama lain salah satunya jika terdapat kohesivitas dalam kelompok tersebut.

Jenis penelitian ini adalah korelasional, dengan tujuan untuk melihat hubungan dan sumbangan efektif kohesivitas terhadap perilaku agresi anggota geng motor di Kota Medan. Penelitian ini melibatkan 93 anggota geng motor di Kota Medan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik sampling insidental. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisia regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala kohesivitas dengan realibilitas 0,894 dan skala perilaku agresi dengan reliabilitas 0.937. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy = 0.893, R square 0.79 (p<0.05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara kohesivitas dengan perilaku agresi anggota geng motor di Kota Medan, dengan sumbangan efektif variabel kohesivitas terhadap perilaku agresi adalah 79%. Hasil penelitian juga menunjukkan mayoritas subjek penelitian memiliki kohesivitas dan perilaku agresi yang tergolong tinggi.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah Bapa di Sorga karena atas berkat, kasih

dan penyertaan-Nya saya dapat merampungkan skripsi ini. Saya menyadari, skripsi yang

saya tulis ini bukan merupakan sesuatu yang instant. Ini buah dari suatu proses yang

relatifpanjang, menyita segenap tenaga dan fikiran. Yang pasti, tanpa segenap motivasi,

kesabaran, kerja keras dan doa – mustahil saya sanggup untuk menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik saya di Psikologi USU, 4 (empat) tahun lamanya.

Dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih yang tak terhingga, wajib saya

berikan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara..

2. Ibu Rika Eliana, M.psi, psikolog, selaku ketua Departemen Psikologi Sosial dan

dosen pembimbing saya, yang telah berkenan membimbing saya dalam penulisan

skripsi ini. Betapa kesabaran, arahan, petunjuk, dan bimbingan dari beliau telah

menyadarkan saya akan pentingnya penguasaan konsep, teori, dan metode dalam

sebuah penelitian ilmiah.

3. Ibu Lili Garliah, M.Si., psi., selaku dosen PA (Pembimbing Akademik) yang

selama 4 (empat) tahun lamanya menjadi motivator saya menjalani kehidupan

akademis yang baik di Fakultas Psikologi.

4. Segenap staf pengajar di Fakultas Psikologi USU – yang sangat berjasa dalam menggembleng saya, terutama dalam menanamkan pemahaman atas pelbagai

(5)

5. Kedua Orang tua saya Bapak M. Simanjuntak dan Ibu H.Sitorus yang telah

membesarkan dan mendidik saya. Saya merasa sangat berterima kasih kepada

mereka, karena doa, ketulusan, kesabaran, kasih sayang, dan motivasi merekalah

yang membuat saya tetap bertahan melanjutkan pendidikan hingga perguruan

tinggi dan tetap melangkah menuju cita-cita saya. Saya juga meminta maaf untuk

semua perbuatan saya yang sering membuat mereka resah, khawatir ataupun

kecewa, dan saya tahu keberhasilan seperti apapun yang akan saya peroleh tidak

akan pernah sebanding dengan pengorbanan mereka demi membesarkan saya.

Semoga Allah Bapa senantiasa memberi kesehatan dan perlindungan bagi mereka.

6. Kepada Abang, Kakak, dan Adik saya: Heri Bertoni, Herniyati Metaria, dan

Arfianda, saya juga mengucapkan banyak terima kasih. Dukungan mereka yang

senantiasa memotivasi saya untuk menyelesaikan pendidikan saya di perguruan

tinggi. Dan disetiap suka duka yang saya alami selama menyelesaikan skripsi ini,

saya tahu mereka selalu ada untuk saya.

7. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada Eko Martana

Siahaan setia menemani saya menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas cinta

dan kesabarannya mendengarkan keluh kesah, memberi motivasi, membantu saya

kembali bangkit ketika saya terpuruk dan merasa tidak mampu menyelesaikan

skripsi ini, menemani saya, memberi doa, perhatian, semangat dan dukungan

kepada saya. Saya sadar begitu besar bantuan yang diberikan kepada saya, mulai

dari mencari sumber-sumber pustaka, menyebarkan dan mengumpulkan skala.

(6)

yang merupakan anggota geng motor, maka saya tidak akan pernah tahu kemana

harus mencari subjek penelitian saya.

8. Sahabat terbaik saya di Psikologi Usu: Retnata Ofelia dan Olivia M Siagian,

terima kasih karena selalu ada untuk saya. Memotivasi, membantu dan menemani

saya menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk doa-doa kalian yang membuat

saya kembali bangkit menyelesaikan skripsi ini, dan terima kasih untuk canda

tawa yang selalu membuat saya bersemangat kembali.

9. Teman-teman D8: Tisa Muharrani, Rena Elvira, Fitri Andriani, Novalina Tiur,

Puteri Aulia Rahman, dan Alrendia Syafrizka yang selalu menjadi sahabat saya

dan bersama-sama berjuang di kampus psikologi Usu dari semester awal hingga

semester akhir. Terima kasih untuk kebersamaan dan kekompakan kita selama ini.

Semoga kebersamaan ini dapat terus berlanjut hingga selamanya.

10.Sahabat-sahabat terbaik saya dari SMA bahkan SMP: Erika Emnina (sahabat dari

SMP), Ella Christy, Retnata Ofelia, Sri Masvita, dan Dewi Febrina, terima kasih

karena telah mengajarkan saya arti persahabatan yang sebenarnya serta arti

berjuang dan berkorban untuk orang-orang yang kita sayangi. Doa, saran dan

kritik mereka membuat saya tetap bersemangat menyelesaikan skripsi ini. Semoga

persahabatan ini tetap terjalin selamanya.

11.Tidak Lupa saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk teman-teman

anggota geng motor terutama RnR, Ezto, dan TIB, yang telah bersedia dengan

sukarela menyediakan waktunya untuk membantu saya menyelesaikan skripsi ini

(7)

12.Semua pihak yang tidak bisa saya ucapkan satu persatu atas kebaikan mereka

selama ini kepada saya. Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka.

Semoga skripsi yang amat sederhana ini membawa manfaat dan menjadi awal dari

produktivitas pribadi saya di masa-masa mendatang agar lebih dewasa dalam bersikap,

termasuk kewajiban berbakti kepada agama, bangsa, negara serta keluarga saya tercinta.

Amin.

Dengan segala kerendahan hati, saya meminta maaf jika saya dipersepsikan secara

salah/keliru/tidak pada tempatnya dalam bersikap serta membawakan diri selama ini.

Medan, November 2010

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Agresi 1. Definisi Perilaku Agresi ... 13

2. Teori-Teori Perilaku Agresi ... 14

(9)

4. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresi ... 23

B. Kohesivitas 1. Definisi Kohesivitas ... 25

2. Faktor Yang Mempengaruhi Kohesivitas ... 27

3. Dimensi Kohesivitas Kelompok ... 28

C. Geng Motor ... 29

D. Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor ... 29

C. Hipotesa Penelitian ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Perilaku Agresi ... 36

2. Kohesivitas ... 38

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel ... 40

2. Metode Pengambilan Sampel ... 40

D. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Perilaku Agresi ... 41

2. Skala Kohesivitas ... 43

(10)

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 46

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur 1. Hasil Uji Coba Alat Ukur Skala Perilaku Agresi ... 47

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur Skala Kohesivitas ... 49

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan penelitian ... 50

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 52

3. Tahap pengolahan data penelitian ... 52

H. Metoda Analisa Data ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran subjek penelitian 1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 54

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Nama Geng Motor ... 55

B. Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas Sebaran ... 56

2. Uji Linearitas Hubungan ... 56

3. Hasil Utama Penelitian ... 56

C. Deskrpsi Data Penelitian 1. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kohesivitas ... 59

2. Nilai Empirik Dan Nilai Hipotetik Perilaku Agresi ... 60

3. Kategorisasi Kohesivitas ... 61

(11)

5. Kategorisasi Kohesivitas dan Perilaku Agresi ... 64

D. Pembahasan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ...69

B. Saran

1. Saran Metodologis ... ...70

2. Saran Praktis ... ...70

DAFTAR PUSTAKA ... ...73

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue print Skala Perilaku Agresi...42

Tabel 2 Blue print Skala Kohesivitas...43

Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Perilaku Agresi Setelah Uji Coba ...47

Tabel 4 Distribusi Aitem Skala Perilaku Agresi Untuk Penelitian...48

Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Kohesivitas Setelah Uji Coba...49

Tabel 6 Distribusi Aitem Skala Kohesivitas Untuk Penelitian...50

Tabel 7 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia...54

Tabel 8 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Nama Geng Motor...55

Tabel 9 Hasil Uji Normalitas...56

Tabel 10 Hasil Uji Linearitas...57

Tabel 11 Hasil Analisis Korelasi...58

Tabel 12 Hasil Analisis Varians...58

Tabel 13 Koefisien b0 dan b1...59

Tabel 14 Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Kohesivitas...60

Tabel 15 Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Perilaku Agresi ...61

Tabel 16 Norma Kategorisasi...62

Tabel 17 Kategorisasi Kohesivitas...62

Tabel 18 Kategorisasi Perilaku Agresi...63

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A Data Mentah Skor dan Hasil Reliabilitas Try Out ... 76

Lampiran B Skala Penelitian ... 93

Lampiran C Data Mentah Penelitian ... 103

(14)

Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor

di Kota Medan

Beriyanti Sunita dan Rika Eliana

ABSTRAK

Beberapa tahun belakangan ini kekerasan yang dilakukan oleh anggota komunitas motor yang menyebut dirinya geng motor sangat dekat dengan istilah perilaku agresi. Tindakan yang mereka timbulkan berakibat pada kerusakan atau terlukanya pihak lain. Salah satu faktor penyebab perilaku agresi adalah adanya pengaruh kelompok. Adanya desakan dan provokasi dari kelompok dapat menyebabkan seseorang melakukan periaku agresi. Anggota-anggota kelompok dapat bebas saling mempengaruhi satu sama lain salah satunya jika terdapat kohesivitas dalam kelompok tersebut.

Jenis penelitian ini adalah korelasional, dengan tujuan untuk melihat hubungan dan sumbangan efektif kohesivitas terhadap perilaku agresi anggota geng motor di Kota Medan. Penelitian ini melibatkan 93 anggota geng motor di Kota Medan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah teknik sampling insidental. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisia regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala kohesivitas dengan realibilitas 0,894 dan skala perilaku agresi dengan reliabilitas 0.937. Dari hasil penelitian ini diperoleh rxy = 0.893, R square 0.79 (p<0.05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara kohesivitas dengan perilaku agresi anggota geng motor di Kota Medan, dengan sumbangan efektif variabel kohesivitas terhadap perilaku agresi adalah 79%. Hasil penelitian juga menunjukkan mayoritas subjek penelitian memiliki kohesivitas dan perilaku agresi yang tergolong tinggi.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia sering mendengar ataupun membaca dari media massa

mengenai kemunculan geng-geng yang perilaku para anggotanya sangat meresahkan

masyarakat karena sering melakukan tindakan diluar batas-batas norma yang berlaku

baik agama maupun sosial (Satrya , 2006). Misalnya saja, kemunculan geng pelajar atau

geng nero yaitu sekelompok anak perempuan yang melakukan kekerasan terhadap adik

kelasnya dan sering menggencet orang-orang yang tidak mereka sukai. Salah satunya

adalah geng nero Juwana yang beranggotakan empat remaja putri di Juwana, sebuah kota

kecil di Kabupaten Pati, sekitar 75 kilometer di sisi timur Semarang. Mereka sering

melakukan pelecehan, menampar atau meludahi korbannya yang dianggap lebih lemah

dari mereka (Herdjoko, 2007). Kelompok serupa yaitu Geng Gazper diadukan ke pihak

polisi oleh salah seorang murid SMA 34 ke Polsek Cilandak. Korbannya Muhammad

Fadhil Harkasaputra yang terluka dan patah tulang karena dipaksa berkelahi dengan

orang yang lebih tua di Geng Gazper.

Banyak lagi geng-geng lain yang bermunculan seperti yang terjadi di daerah

Bandung. Mereka sering melakukan kekerasan terhadap korbannya yang lebih lemah

seperti geng Antimo (Anak Timoho), Brised (Brigade Senang Damai),

Bazooka(Baziingan Azoo Kabeh), Bose(Bocah Serangan), Gali (Gabungan Anak Liar),

(16)

(Jomblo-jomblo Bahagia), Kansas(KAmi Anak Nakal Suatu Saat Akan Sadar),

Lapendoz (Lelaki penuh dosa), PSIM, dan lain-lain (Sastro, 2007).

Geng memiliki pengertian suatu kelompok yang memiliki kesamaan

karakteristik seperti penampilan, tindakan, konflik dan perencanaan. Namun karena hasil

dari evolusi, kelompok ini akhirnya menjadi suatu bentuk gengster yang sering

melakukan aktivitas yang becorak anti sosial ( Thrasher, 1963). Geng sangat jelas identik

dengan kehidupan berkelompok, hanya saja geng memang memiliki makna yang

sedemikian negatif. Geng bukan sekadar kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng

adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang

lebih moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara

bersama-sama dan seringkali menyebabkan keributan (Triyono Lukmantoro, 2007). Geng

seringkali mengadopsi fitur-fitur tertentu yang dapat dilihat dengan jelas seperti cara

berpakaian, potongan rambut, atau lambang tertentu yang berfungsi memperkuat

kohesivitas dalam geng dan mewakili citra kelompok koheren di mata

kelompok-kelompok lain.

Pada fenomena dan realitas keberadaan geng sekarang ini pola terbentuknya

sebuah geng, dimulai dari sebuah ikatan kebersamaan dan emosional dari sebuah

komunitas tertentu, misalnya komunitas sekolah atau komunitas otomotif (Muliyani

Hasan, 2007) . Salah satu bentuk geng yang awalnya dimulai dari komunitas otomotif

adalah geng motor. Geng motor merupakan kumpulan orang pencinta motor yang

menyukai kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor yang dikendarai, semua

(17)

Sebelum muncul geng motor, ada beberapa geng yang terbentuk di kalangan

siswa SMP, seperti gengTuji (anak-anak SMP di daerah Medan Barat), GBR (anak-anak

SMP di sekitar Jln. L.L.R.E. Martadinata Bandung), Neo Nazi (anak-anak SMP daerah

Buahbatu ke atas dan bawah, Ciwastra,Cirebon dan sekitarnya), serta STRG (anak-anak

SMP di sekitar Gegerkalong, Semarang).

Geng-geng itu bubar ketika lulus SMP, namun beberapa beberapa geng, seperti

GBR (Bandung) dan STRG (Semarang) tetap memiliki penerus dan mengubah gengnya

menjadi geng-geng baru, salah satunya adalah Geng Moonraker (M2R) (Satrya, 2007).

Anggota M2R berasal dari berbagai sekolah, khususnya SMA. Kebanyakan anggota

memakai sepeda motor Yamaha RX-King. Nama Moonraker diambil dari judul film agen

007 James Bond pada dekade 1980-an.

Geng-geng motor lainnya bermunculan yaitu XTC di daerah Guruminda

Semarang dan Brigez di SMAN 7 Bandung. Pemilihan nama-nama geng itu memiliki

cerita masing-masing. Nama XTC misalnya, merupakan kepanjangan dari "Exalt to

Coitus" yang bisa diartikan menyenangi segala sesuatu yang berbau seks. Geng Motor

Brigez didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap Sakas (Satuan Keamanan

Sekolah),anggotanya siswa SMAN 7 Bandung, oleh karena itu disebut disebut Brigez

alias Brigade Seven, kemudian meluas menjadi beberapa versi yaitu Brigade Setan atau

Brigade Gestapu. Jumlah anggota geng motor tersebut kini mencapai ribuan. Geng XTC

dan Brigez berani mengklaim bahwa anggotanya juga ada yang tercatat di Sumatra,

Kalimantan, dan Bali (Satrya, 2007).

Menurut observasi yang dilakukan oleh peneliti di lapangan maka ada beberapa

(18)

negatif, seperti tawuran antar geng atau pemukulan dan perkelahian dengan orang-orang

di luar geng mereka yang tidak mereka senangi. Geng-geng itu diantaranya adalah geng

motor RnR, Simple life, TIB dan geng-geng motor lainnya.

Tindakan yang dilakukan geng motor belakangan ini kian meresahkan warga.

Geng motor kini memang menjadi salah satu perhatian utama pihak berwenang karena

tindakan mereka kian berani, seperti salah satu wacana di surat kabar harian Pikiran

Rakyat yang menyatakan bahwa perilaku geng motor di beberapa kota di Indonesia

akhir-akhir ini bisa dianggap sudah sangat meresahkan masyarakat, sehingga dapat

dikategorikan sebagai kondisi patologi sosial atau penyakit masyarakat yang perlu segera

diobati (Pikiran Rakyat, Juni, 2008)

Banyak pemberitaan di media massa, terjadinya tawuran, dan perkelahian antar

geng motor dipicu oleh hal-hal yang kurang rasional dan perilaku agresi yang dilakukan

oleh anggota geng motor menimbulkan banyak kerugian yang mesti ditanggung oleh

masyarakat. Seperti yang diberitakan di Surat Kabar Harian Kompas (November, 2007)

tentang penyerbuan dan pengerusakan markas polisi di Jakarta timur yang diduga

dilakukan oleh oknum komunitas motor. Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan

kerugian materiil yang cukup besar karena banyak kaca-kaca bangunan yang pecah, serta

beberapa kendaraan patroli polisi yang juga menjadi obyek pelemparan batu oleh

mereka.Tindakan yang dilakukan oleh oknum ini terjadi karena telah terjadi penangkapan

terhadap salah seorang anggota sebuah geng motor oleh polisi saat mereka terlibat dalam

kegiatan balap liar beberapa hari sebelumnya. (Wiryo, dalam Kompas, November, 2007).

Menurut Inspektur Polisi Wadi Sa’bani, Kepala Unit Reserse Kriminal Polisi

(19)

belakangan ini jenis kejahatannya beragam, mulai pengrusakan tempat

umum,kebut-kebutan di jalan umum, pencurian, tawuran antar geng motor, perampokan dengan

kekerasan. Banyak dari mereka yang membawa senjata tajam, Samurai, jenis golok

berukuran panjang yang biasa digunakan oleh kelompok Ninja di Jepang, menjadi senjata

(Pikiran Rakyat. 27 November 2007).

Hal serupa juga terjadi di Kota Medan ,banyak bentuk-bentuk kekerasan yang

dilakukan oleh anggota geng motor seperti perkelahian antar geng motor, pemukulan

yang dilakukan pada anggota geng motor lain yang tidak disukai, pemalakan atau

pemerasan yang dilakukan terhadap anak-anak sekolah, perkelahian dengan anak sekolah,

mencaci maki orang-orang yang tidak disukai terutama yang berasal dari kelompok atau

geng lain (Reno Nugraha, 2009).

Bahkan beberapa dari anggota geng motor pernah dipenjarakan akibat melakukan

pengeroyokan dan pemukulan terhadap siswa SMA (Adam, dalam Lagi, Anggota Geng

Motor Berulah, 2009). Muliyani mengatakan bahwa perkelahian, kebut-kebutan, tawuran

dan perilaku kriminal lainnya adalah upaya anggota geng motor menunjukkan dari geng

motor mana mereka berasal dan ingin membuat geng motor mereka menjadi yang terbaik

dari geng motor lainnya (Muliyani, 2007).

Hal ini sejalan dengan hasil wawancara informal yang dilakukan peneliti kepada

Rimo (bukan nama sebenarnya), salah seorang anggota geng motor RnR di Kota Medan:

”Aku udah pernah dipenjara Kak karena mukulin anak orang. Dia anggota geng laen. Dendam aku sama dia Kak, karena dah pernah dijelek-jelekinnya geng kami.

Katanya kami kebanyakan gaya aja, pengecut semua. Ya ku pukulkan lah dia”

(20)

Psikolog sosial Ratna Djuwita (2007) berpendapat bahwa perilaku-perilaku

kekerasan yang dilakukan oleh geng motor bisa disebut sebagai perilaku agresi, yang

dapat menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Triyono (dalam Geng, Distorsi dalam

Komunikasi) menambahkan lagi anggota-anggota geng memiliki preferensi untuk

memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti

kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk

menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan.

Menurut Myers (1996), perilaku agresi merupakan perilaku fisik atau lisan yang

disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Begitu juga

dengan Atkinson dan Hilgard (1999) yang menyatakan bahwa perilaku agresi adalah

perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain secara fisik atau verbal atau

merusak harta benda.

Secara umum menurut Myers (1996) ada dua jenis agresi, yaitu agresi rasa benci

atau agresi emosi (hostile aggression) dan agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan

lain (instrumental agrgression). Agresi rasa benci atau agresi emosi, merupakan ungkapan

kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku jenis ini disebut juga dengan

agresi jenis panas. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang

tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada

manfaat. Lain halnya dengan agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain, yang pada

umumnya tidak disertai emosi bahkan antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada

hubungan pribadi, jadi tujuannya adalah untuk mencapai tujuan lain.

Avin Faddilah (1998) menambahkan bahwa perilaku agresi juga sering kali

(21)

tawuran antara dua geng motor. Konflik antar kelompok sering dipicu oleh perasaan

in-group versus out in-group sehingga anggota kelompok diwarnai prasangka. Menurut salah

satu teori prasangka yaitu Realistic Conflict Theory, prasangka berakar dari kompetisi

antar kelompok terhadap sejumlah komoditi atau peluang. Jika kompetisi ini berlanjut

maka akan memunculkan rasa permusuhan terhadap anggota kelompok lain yang memicu

perilaku agresi.

Decker dan vin Winkle (1996) menjelaskan dinamika yang mendasari tindakan

kekerasan geng berdasarkan signifikansi konstruk ancaman. Menurut pandangan ini, geng

seringkali lahir untuk merespons ancaman (menurut persepsi yang bersangkutan atau

yang sungguh-sungguh ada) yang berasal dari individu-individu atau kelompok lain yang

berada diluar kelompoknya. Ancaman bisa diarahkan, atau dipersepsi diarahkan pada

keselamatan fisik, wilayah kekuasaan, atau identitas psikologis para anggotanya. Bila

geng lawan mengadopsi persepsi yang sama mengenai ancaman dan mencoba

mendahului menyerang maka kekerasaan geng berpotensi kuat untuk bereskalasi.

Salah satu faktor yang menyebabkan perilaku agresi adalah adanya pengaruh

kelompok (Sarwono, 1999). Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh kelompok dalam

melakukan perilaku agresi. Pengaruh kelompok dalam perilaku agresi antara lain adalah

menurunkan kendali moral. Adanya provokasi secara langsung dari pihak lain dalam

kelompok merupakan pendorong terjadi perilaku agresi. Seseorang akan mudah

terpengaruh melakukan perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara langsung

dari kelompoknya. Selain itu adanya desakan dari kelompok dan identitas kelompok

(kalau tidak ikut melakukan dianggap bukan anggota kelompok) dapat menyebabkan

(22)

Menurut Forsyth (1999) anggota-anggota dalam satu kelompok bisa bebas saling

mempengaruhi satu sama lain jika terdapat kohesivitas dalam kelompok tersebut. Selain

itu anggota kelompok yang kohesif akan lebih menyadari identitasnya sebagai bagian dari

kelompok. Forsyth (1999) menyatakan bahwa kelompok yang kohesif memiliki ciri-ciri

antara lain, masing-masing anggota timbul keterdekatan, sehingga bisa mempengaruhi

satu sama lain, rasa toleran, saling membagi, saling mendukung terutama dalam

menghadapi masalah, keeratan hubungan, saling tergantung untuk tetap tinggal dalam

kelompoknya. rasa saling percaya, timbul suasana yang nyaman (merasa aman dalam

bekerja, untuk mengungkapkan pendapat & berinteraksi, saling pengertian) dan adanya

kesadaran sebagai bagian dari kelompok. Forsyth (1999) menambahkan bahwa

kohesivitas merupakan derajat kekuatan ikatan dalam suatu kelompok yang mana

masing-masing anggotanya saling tarik-menarik, saling tergantung dan saling

bekerjasama secara kompak, sehingga akan membentuk suatu “konformitas” yang akan

meningkatkan kapasitas kelompok untuk mempertahankan keanggotaan para anggotanya

dalam mencapai tujuannya.

Mc Shane dan Glinow (2003) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok

merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan memotivasi mereka

untuk tetap bersama kelompok, dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam

keberhasilan kelompok. Gibson (2003) mengungkapkan juga bahwa kohesivitas

kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya daripada

kelompok lain. mengikuti kelompoknya akan memberikan rasa kebersamaan dan rasa

(23)

Walgito (2007) juga menjelaskan mengenai adanya peran kohesivitas dalam

mempengaruhi perilaku-perilaku anggota-anggota kelompok. Anggota kelompok yang

kohesif akan memberikan respon positif terhadap para anggota dalam kelompok. Secara

teoritis, kelompok yang kohesif akan terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma

kelompok dan merespon positif terhadap perilaku anggota kelompok yang lain. Hal ini di

dukung dengan penemuan Festinger, Schacter, dan Black (dalam Shaw 1979) yang

mendapati bahwa anggota kelompok yang kohesif mempunyai opini yang seragam dan

umumnya dalam tindakan menyesuaikan diri dengan standar atau keinginan kelompok.

Jadi pressure atau tekanan terhadap keseragaman naik searah atau sejajar dengan

naiknya kohesi kelompok. Dalam hal ini kohesivitas dalam suatu kelompok menjadikan

anggotanya bersedia melakukan norma-norma atau perilaku yang diinginkan kelompok,

termasuk perilaku agresi terhadap kelompok lain.

Oleh karena itu berdasakan uraian di atas peneliti berasumsi bahwa kohesivitas

kelompok dalam hal ini geng motor akan berhubungan dengan perilaku agresi anggota

geng motor terhadap orang lain ataupun anggota geng motor lain untuk mempertahankan

dan melindungi kelompoknya. Pada penelitian ini peneliti tertarik untuk melihat apakah

terdapat hubungan antara kohesivitas geng motor dengan perilaku agresi

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara kohesivitas geng motor dengan

(24)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung mengenai

hubungan antara kohesivitas geng motor dengan perilaku agresi anggotanya. Data yang

diperoleh nantinya akan digunakan dan diolah untuk menguji hipotesa yang diajukan

dalam penelitian ini. Berdasakan penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kohesivitas geng motor dengan perilaku

agresi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dalam bidang

psikologi, khususnya psikologi sosial, mengenai kohesivitas dan perilaku agresi , serta

memberi sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya .

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini kita dapat mengetahui mengenai perilaku agresi yang

dilakukan oleh geng motor sehingga masyarakat ataupun pemerintah diharapkan dapat

membuat program-program prevensi ataupun intervensi untuk mengurangi

berkembangnya perilaku agresi yang dilakukan oleh geng motor tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

(25)

Berisikan mengenai latar belakang masalah yang hendak dibahas, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Berisikan mengenai tinjauan kritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

tentang geng motor, kohesivitas dan perilaku agresi

Bab III: Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi

variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang

digunakan dan metode analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini akan menguraikan tentang analisa data dan pembahasannya yang

dikaitkan dengan teori yang ada

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang

diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Agresi

1. Definisi Perilaku Agresi

J.S Badudu dalam bukunya Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa

Indonesia (dalam Nadeak, 2003) mengatakan bahwa agresi adalah tindakan atau

perbuatan yang bersifat kekerasan atau kasar terhadap yang lain

Sementara ahli-ahli psikologi sosial seperti Baron dan Richardson (1994)

mendefiniskan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti

atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu.

Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan Myers (1996), yang menyebutkan

bahwa perilaku agresi merupakan perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud

untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Atkinson dan Hilgard (1999) menyatakan

bahwa perilaku agresi adalah perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain secara

fisik atau verbal atau merusak harta benda.

Menurut Buss (dalam Morgan, 1989), yang terkenal dalam penelitiannya

mengenai agresi, menyatakan secara lebih spesifik mengenai perilaku agresi. Buss (1989)

mendefenisikan perilaku agresi sebagai suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti,

mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi

(27)

Jika menelaah beberapa defenisi yang ditampilkan maka penelitian dalam hal ini

akan menggunakan konsep perilaku agresi menurut Buss dengan asumi defenisi ini cukup

lengkap dan detil dalam menjelaskan perilaku agresi.

2. Teori-Teori Perilaku Agresi

a. Teori Genetik dan Biologis

Sejumlah teori mempostulasikan bahwa agresi berhubungan dengan faktor

genetik dan biologis. Teori-teori genetik berargumen bahwa agresivitas merupakan

warisan genetik yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Freud (Moeller,

2001) mengganggap bahwa agresi berakar dari biologis. Ia percaya bahwa manusia

dilahirkan dengan dorongan yang disebut Thanatos yaitu dorongan mencari akhir dari

kehidupan (kematian). Meskipun mungkin dorongan ini secara langsung melukai diri

sendiri, namun bisa juga dilepaskan ke orang lain. Freud juga memperkenalkan ide

katarsis (pelepasan energi), yang menekankan bahwa jika kekuatan dari dorongan agresi

mulai timbul dari dalam diri, sesuatu harus dilakukan untuk melepaskan enerhi tersebut

sebelum menjadi sangat kuat. Menurut hipotesis katarsis, tekanan yang berhubungan

dengan dorongan agresi dikurangi dengan perilaku agresi, termasuk melakukan respon

displacement dari dorongan agresi tersebut (Moeller, 2001).

b. Teori Instinctual Behaviour

Teori ini dikemukakan oleh Lorenz (1966;1974). Ia mengemukakan perspektif

evolusi dari agresi, dengan pandangannya mengenai sifat manusia yang hampir sama

dengan pandangan Freud (Lorenz 1966; Baron dan Ricardshon, 1994). Salah satu

(28)

lahir, insting kematian yang bisa dilepaskan dan mengalihkannya ke orang lain (Brain,

dalam Lorenz 1966). Sama halnya dengan Freud, Lorenz percaya bahwa agresi tidak

dapat dihindarkan, merupakan penerusan secara luas dari dorongan lahiriah.

Lorenz (1966) mengemukakan salah satu teori etologis mengenai insting yang

sangat berpengaruh penting. Lorenz berpandangan bahwa beberapa pola perilaku

individu merupakan warisan keturunan, dan perlu beberapa dorongan untuk

memunculkan perilaku tersebut. Ia menjelaskan bahwa perilaku agresi tidak hanya

sebuah reaksi terhadap stimulus dari luar, melainkan juga hasil dari dorongan agresi atau

rangsangan dari dalam diri yang harus diekspresikan atau dikeluarkan tanpa

menghiraukan ada tidaknya objek pelepasan (Lorenz 1996). Brain (1986) menambahkan

bahwa agresi berasal dari insting menyerang yang dibawa sejak lahir dan umum ada pada

semua manusia.

c. Teori Frustasi Agresi

Dalam hipotesi frustasi-agresi yang awal (Dollard dkk., 1939), agresi dijelaskan

sebagai hasil dari suatu dorongan yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan

devprivasi, sedangkan frustasi disefenisikan sebagai interferensi eksternal terhadap

perilaku yang diarahkan pada tujuan. Jadi, pengalaman frustasi mengaktifkan keinginan

bertindak agresi terhadap sumber frustasi yang, sebagai akibatnya, mencetuskan perilaku

agresi. Tetapi tidak semua frustasi menimbulkan respon agresi. Individu mungkin akan

menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Selain itu tidak semua tindakan agresi

merupakanhasil dari frustasi yang dialami sebelumnya. Miller (1941) menyatakan bahwa

frustasi menyebabkan sejumlah respon yang berbeda. Salah satu diantaranya adalah

(29)

bergantung pada pengaruh variabel-variabel moderator. Takut akan hukuman atas

tindakan agresi atau ketiadaan penyebab frustasi merupakan variabel moderator yang

menghambat agresi.

d. Teori Agressive-Cue

Teori ini dikemukakan oleh Berkowitz (1962). Ia berargumen bahwa frustasi

adalah satu dari sejumlah stimulus tidak menyenangkan yang mungkin memancing reaksi

agresi. Stimulus tidak menyenangkan ini mungkin tidak secara langsung mengasilkan

perilaku agresi, tetapi dapat menciptakan kesiapan untuk melakukan tindakan agresi. Hal

ini dapat meningkat jika ada stimulus dari lingkungan yang diasosiasikan dengan

kemarahan pada saat itu atau sebelumnya.

Berkowitz pada tahun 1993 merevisi teori lamanya dengan teori cognitive

neoassociation model. Pada teori ini ia menekankan bahwa frustasi atau stimulus tidak

menyenangkan lain dapat memancing agresi jika tercipta perasaan (affect) negatif.

Respon hanya ditentukan oleh interpretasi individu terhadap perasaan negatifnya.

Singkatnya, adanya hambatan dalam mencapai tujuan tidak akan menciptakan agresi jika

individu tidak merasakan hal tersebut sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan.

Berkowitz (1993) berargumen bahwa rintangan atau hambatan dapat meinmbulkan agresi

ketika individu mengalami perasaan negatif.

e. Teori Social Learning

Teori social learning perspective (e.g., Bandura, dalam Lorenz 1966) berawal

dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresi tetapi

(30)

experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson &

Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan

pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu

mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat

untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4)

situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresi.

Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa

kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresi tergantung pada banyak faktor

situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan

dengan tindakan agresi pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang

membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresi.

Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresi adalah:

1) Classical conditioning. Perilaku agresi terjadi karena adanya proses mengasosiasikan

suatu stimulus dengan stimulus lainnya, 2) Opera nt Conditioning. Perilaku agresi terjadi

akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresi tersebut. Reward

tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani

oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut), 3) Modelling

(meniru). Perilaku agresi terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi, 4)

Observational Learning. Perilaku agresi terjadi karena seseorang mengobservasi individu

lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung, 5) Social Comparison.

Perilaku agresi terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau

orang lain yang disukai, 5) Learning by Experience. Perilaku agresi terjadi karena

(31)

f. Teori Agresi Buss

Teori ini dikemukakan oleh Arnold.H.Buss tahun 1961. ia mengaplikasikan teori

instrumental learning dari Thorndike dan Skinner terhadap perilaku agresi. Menurut

Buss, perilaku agresi dipelajari seperti perilaku intrumental lainnya melalui reward dan

punishment. Buss berpendapat perilaku menjadi agresi ketika individu menyalurkan

stimulus berbahaya ke orang lain. Ia berpendapat bahwa agresi instrumental adalah agresi

yang lebih penting dan digambarkan dalam agresi fisik dan verbal, agresi aktif dan pasif,

dan agresi langsung dan tidak langsung..

Buss (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) menyebutkan, menjelaskan dan

memperluas penjelasan dari bentuk perilaku tersebut:

1) Agresi Fisik Aktif Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya

dan terjadi kontak fisik secara langsung seperti memukul, mendorong, menembak, dan

sebagainya.

2) Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan

sebagainya.

3) Agresi Fisik Pasif Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

(32)

terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam, dan

sebagainya.

4) Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi

kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh, dan sebagainya.

5) Agresi Verbal Aktif Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya,

seperti menghina, memaki, marah , mengumpat.

6) Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebgainya.

7) Agresi Verbal Pasif Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara

langsung, seperti menolak berbicara, bungkam dan sebagainya.

8) Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak

terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberikan dukungan, tidak

(33)

Walaupun Buss menerima bahwa frustasi kadang memicu agresi, namun ia juga

menyatakan bahwa individu mungkin memperlajari respon frustasi dari orang lain. Ia

menyatakan bahwa beberapa faktor berkontribusi pada perilaku agresi seperti

pengalaman yang secara spesifik berhubungan dengan frustasi dari orang lain dan dan

kepribadian dari individu. Ia menekankan bahwa pengalaman terdahulu dari individu

adalah penyebab utama dari perilaku yang ditampilkan pada saat itu.

3. Dimensi Perilaku Agresi

Buss (dalam Morgan, 1989) menyatakan bahwa tingkah laku agresi dapat

digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, dan langsung tidak

langsung. Perbedaan dimensi fisik-verbal terletak pada perbedaan antara menyakiti fisik

(tubuh) orang lain dan menyerang dengan kata-kata. Perbedaan dimensi aktif-pasif adalah

pada perbedaan antara tindakan nyata dan kegagalan untuk bertindak. Sementara agresi

langsung berarti kontak face-to-face dengan orang yang diserang, dan agresi tidak

langsung terjadi tanpa kontak dengan orang yang diserang.

Kombinasi dari ketiga dimensi ini menghasilkan suatu framework untuk

mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi (Buss, dalam Dayakisni dan Hudaniah,

2003) antara lain:

a. Agresi Fisik Aktif Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan

secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan

terjadi kontak fisik secara langsung seperti memukul, mendorong, menembak, dan

(34)

b. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul,

dan sebagainya.

c. Agresi Fisik Pasif Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak

terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam, dan

sebagainya.

d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak

berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi

kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh, dan

sebagainya.

e. Agresi Verbal Aktif Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

(35)

f. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebgainya.

g. Agresi Verbal Pasif Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal

secara langsung, seperti menolak berbicara, bungkam dan sebagainya.

h. Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan

tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberikan dukungan, tidak

menggunakan hak suara, dan sebagainya.

4. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresi

Sarwono (2002), menyatakan rangsangan atau pengaruh terhadap perilaku agresi

dapat datang dari luar diri sendiri yaitu dari kondisi lingkungan atau pengaruh kelompok

atau dari pelaku sendiri yaitu pengaruh kondisi fisik dan kepribadian.

a. Kondisi Lingkungan

Rasa sakit pada hewan dapat memicu agresi. Pada manusia, bukan hanya sakit fisik

yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit psikis. Adanya serangan juga

(36)

b. Pengaruh Kelompok

Pengaruh kelompok terhadap perilaku agresi , antara lain adalah menurunkan kendali

moral. Adanya provokasi secara langsung dari pihak lain merupakan salah satu faktor

pendorong terjadi perilaku agresi. Seseorang akan mudah terpengaruh melakukan

perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara langsung dari pihak lain dalam

kelompok, penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi

baik karena provokasi verbal maupun fisik.

Selain karena faktor ikut terpengaruh, perilaku agresi juga disebabkan karena adanya

perancuan tanggung jawab (tidak merasa ikut bertanggung jawab karena dikerjakan

beramai-ramai), ada desakan kelompok dan identitas kelompok (karena kalau tidak

ikut dianggap bukan anggota kelompok), dan ada deindividuasi (identitas sebagai

individu tidak akan dikenal).

c. Pengaruh Kepribadian dan Kondisi Fisik

Salah satu faktor kepribadian yang berpengaruh terhadap perilaku agresi adalah peran

jenis kelamin. Pria yang maskulin pada umumnya lebih agresif daripada wanita yang

feminin. Gejala ini ada hubungannya dengan faktor kebudayaan, yaitu pada umumnya

wanita diharapkan oleh norma masyarakat untuk lebih mengekang perilaku agresi.

Perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi tingkat dan bentuk perilaku agresi,

dimana laki-laki diasumsikan lebih agresif dari wanita (Nasution, 1990). Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian Bandura (dalam Nasution, 1990) yang menemukan

bahwa anak laki-laki menunjukkan perilaku agresi yang lebih dari anak perempuan.

Begitu juga dengan Rahardjo (dalam Nasution, 1990) yang mengatakan bahwa

(37)

pria lebih agresif secara fisik, demikian juga dengan Glaude (1991) yang menemukan

bahwa tingkatan yang lebih tinggi dalam agresi yang nyata atau tampak pada pria

dibandingkan dengan wanita.

Selain karena pengaruh dari faktor kepradian, perilaku agresi juga selalu saja ada

keterkaitannya dengan situasi-situasi sesaat yang merupakan indikasi bahwa perilaku

agresi lebih disebabkan oleh faktor situasi daripada faktor kepribadian. Faktor situasi

selain dapat berasal dari kondisi lingkungan dan pengaruh kelompok, dapat juga

disebabkan oleh kondisi diri atau fisik seseorang.

B. Kohesivitas

1. Definisi Kohesivitas

Menurut George & Jones (2002) kohesivitas adalah anggota kelompok yang

memiliki daya tarik satu sama lain. Kelompok yang kohesivitasnya tinggi adalah saling

tertarik pada setiap anggota, kelompok yang kohesivitasnya rendah adalah tidak saling

tertarik satu sama lain. Mcshane & Glinow (2003) mengatakan kohesivitas dalam

kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi

mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam

keberhasilan kelompok. Anggota kelompok merasa kompak adalah ketika mereka

percaya kelompok mereka membantu tujuan mereka, saling mengisi kebutuhan mereka,

atau memberikan dukungan sosial selama masa krisis.

Greenberg (2005) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah perasaan dalam

kebersamaan antar anggota kelompok. Tingginya kohesivitas kelompok berarti tiap

(38)

dan saling membantu di tiap pertemuan, dan bila kelompok tidak kompak maka tiap

anggota kelompok akan saling tidak menyukai satu sama lain dan mungkin terjadi

perbedaan pendapat. Robbins (2001) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah

sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada

dalam kelompok tersebut. Misalnya, kelompok yang telah berpengalaman dalam

menghadapi ancaman dari luar menyebabkan anggotanya lebih dekat satu sama lain.

Gibson (2003) mengungkapkan bahwa kohesivitas kelompok adalah kekuatan

ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya dari pada terhadap kelompok lain.

Mengikuti kelompok akan memberikan rasa kebersamaan dan rasa semangat dalam

bekerja. Certo, S (2003) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan memiliki

anggota yang ingin tetap tinggal dalam kelompok selama mengalami tekanan dalam

kelompok. Forsyth (1999) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan

yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu

tertentu dan di dalamnya terdapat semangat kerja yang tinggi.

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas

merupakan derajat kekuatan ikatan dalam suatu kelompok, yang mana masing-masing

anggotanya saling tarik-menarik, saling tergantung dan saling bekerjasama secara

kompak, sehingga akan membentuk suatu “konformitas” yang akan meningkatkan

kapasitas kelompok untuk mempertahankan keanggotaan para anggotanya dalam

(39)

2. Faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas

Menurut McShane & Glinow (2003) faktor yang mempengaruhi kohesivitaskelompok,

yaitu :

a. Adanya Kesamaan

Kelompok yang homogen akan lebih kohesif dari pada kelompok yang heterogen.

anggota yang berada dalam kelompok yang homogen dimana memiliki kesamaan latar

belakang, membuat mereka lebih mudah bekerja secara objektif, dan mudah

menjalankan peran dalam kelompok.

b. Ukuran kelompok

Kelompok yang berukuran kecil akan lebih kohesif dari pada kelompok yang

berukuran besar karena akan lebih mudah untuk beberapa orang untuk mendapatkan

satu tujuan dan lebih mudah untuk melakukan aktifitas.

c. Adanya interaksi

Kelompok akan lebih kohesif bila kelompok melakukan interaksi berulang antar

anggota kelompok.

d. Ketika ada masalah

Kelompok yang kohesif mau bekerja sama untuk mengatasi masalah.

e. Keberhasilan kelompok

Kohesivitas kelompok terjadi ketika kelompok telah berhasil memasuki level

keberhasilan. Anggota kelompok akan lebih mendekati keberhasilan mereka dari pada

(40)

f. Tantangan

Kelompok kohesif akan menerima tantangan dari beban kerja yang diberikan. Tiap

anggota akan bekerja sama menyelesaikan tugas yang diberikan, bukan menganggap

itu sebagai masalah melainkan tantangan.

3. Dimensi Kohesivitas Kelompok

Forsyth (1999) mengemukakan bahwa ada empat dimensi kohesivitas kelompok,

yaitu :

a. Kekuatan sosial

Keseluruhan dari dorongan yang dilakukan oleh individu dalam kelompok untuk

tetap berada dalam kelompoknya. Dorongan yang menjadikan anggota kelompok

selalu berhubungan. Kumpulan dari dorongan tersebut membuat mereka bersatu.

b. Kesatuan dalam kelompok

Perasaan saling memiliki terhadap kelompoknya dan memiliki perasaan moral yang

berhubungan dengan keanggotaannya dalam kelompok. Setiap individu dalam

kelompok merasa kelompok adalah sebuah keluarga, tim dan komunitasnya serta

memiliki perasaan kebersamaan.

c. Daya tarik

Daya tarik merupakan properti kelompok yang berasal dari jumlah dan kekuatan

sikap positif antara anggota kelompok. Individu akan lebih tertarik melihat dari segi

kelompok kerjanya sendiri daripada melihat dari anggotanya secara spesifik.

(41)

Sebuah proses yang dinamis yang direfleksikan dengan kecenderungan suatu

kelompok untuk tetap terikat bersama dan mempertahankan kesatuan dalam usaha

untuk mencapai tujuan. Individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja

sama untuk mencapai tujuan kelompok.

C. Geng Motor

Thrasher (1963), mendefenisikan geng sebagai suatu kelompok yang memiliki

kesamaan karakteristik seperti penampilan, tindakan, konflik dan perencanaan.

Sedangkan menurut Triyono Lukmantoro (2007), geng adalah sebuah kelompok

penjahat yang terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang lebih moderat, geng

merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama dan seringkali

menyebabkan keributan. Pola terbentuknya sebuah geng, dimulai dari sebuah ikatan

kebersamaan dan eemosional dari sebuah komunitas tertentu, misalnya komunitas

sekolah atau komunitas otomotif (Triyono Lukmantoro, 2007).

Geng motor merupakan suatu bentuk geng yang di dalamnya merupakan kumpulan

orang pencinta motor yang menyukai kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor

yang dikendarai (Muliyani Hasan, 2007). Ada perbedaan antara geng motor dengan

kelompok pengguna motor (club motor) yang harus dipahami oleh masyarakat luas.

Perbedaannya adalah club motor merupakan kelompok yang mengusung merek atau

spesifikasi tertentu dengan perangkat organisasi formal untuk menjadi anggotanya dan

kegiatan club motor jauh dari hal-hal yang berbau negatif. Mereka sekedar kumpul dan

konvoi. Hal ini bertolak belakang dengan berbagai jenis kegiatan geng motor yang

(42)

Di daerah Semarang, Bandung dan sekitarnya aktivitas yang dilakukan geng motor

seperti pengrusakan tempat umum,kebut-kebutan di jalan umum, pencurian, tawuran

antar geng motor, perampokan dengan kekerasan sudah sangat meresehakan. Banyak dari

mereka yang membawa senjata tajam, Samurai, jenis golok berukuran panjang yang biasa

digunakan oleh kelompok Ninja di Jepang, menjadi senjata (Pikiran Rakyat. 27

November 2007). Sementara di Medan perilaku agresi yang dilakukan anggota-anggota

geng motor antara lain yang seperti perkelahian antar geng motor, pemukulan yang

dilakukan pada anggota geng motor lain yang tidak disukai, pemalakan atau pemerasan

yang dilakukan terhadap anak-anak sekolah, perkelahian dengan anak sekolah, mencaci

maki orang-orang yang tidak disukai terutama yang berasal dari kelompok atau geng lain.

Khususnya di medan,ada beberapa geng motor seperti RnR dan TIB yang perilaku

agresinya lebih berorientasi pada tawuran atau perkelahian antar gang, hal ini berbeda

dengan geng motor di daerah lain yang sudah melakukan kekerasan terhadap publik atau

sarana publik.

D. Hubungan Kohesivitas dengan Perilaku Agresi pada Anggota Geng Motor

Decker dan vin Winkle (1996) menjelaskan dinamika yang mendasari tindakan

kekerasan geng berdasarkan signifikansi konstruk ancaman. Menurut pandangan ini, geng

seringkali lahir untuk merespons ancaman (menurut persepsi yang bersangkutan atau

yang sungguh-sungguh ada) yang berasal dari individu-individu atau kelompok lain yang

berada diluar kelompoknya. Ancaman bisa diarahkan, atau dipersepsi diarahkan pada

(43)

geng lawan mengadopsi persepi yang sama mengenai ancaman dan mencoba mendahului

menyerang maka kekerasaan geng berpotensi kuat untuk bereskalasi.

Selain itu perilaku agresi sudah menjadi perilaku khas dari anggota geng.

Perilaku-perilaku agresi ini menjadi perilaku yang dipilih anggota geng untuk melindungi

geng mereka dari ancaman geng lain. Muliyani mengatakan bahwa perkelahian,

kebut-kebutan, tawuran dan perilaku kriminal lainnya adalah upaya anggota geng motor

menunjukkan dari geng motor mana mereka berasal dan ingin membuat geng motor

mereka menjadi yang terbaik dari geng motor lainnya. Triyono (dalam Geng, Distorsi

dalam Komunikasi) menambahkan lagi anggota-anggota geng memiliki preferensi untuk

memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti

kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk

menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan.

Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku agresi adalah

adanya pengaruh kelompok (Sarwono, 1999). Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh

kelompok dalam melakukan perilaku agresi. Pengaruh kelompok dalam perilaku agresi

antara lain adalah menurunkan kendali moral. Adanya provokasi secara langsung dari

pihak lain dalam kelompok merupakan pendorong terjadi perilaku agresi. Seseorang akan

mudah terpengaruh melakukan perilaku agresi pada saat mendapat provokasi secara

langsung dari kelompoknya. Selain itu adanya desakan dari kelompok dan identitas

kelompok (kalau tidak ikut melakukan dianggap bukan anggota kelompok) dapat

menyebabkan seseorang melakukan perilaku agresi (Sarwono, 1999).

Menurut Forsyth (1999) anggota-anggota dalam satu kelompok bisa bebas saling

(44)

itu anggota kelompok yang kohesif akan lebih menyadari identitasnya sebagai bagian dari

kelompok. Forsyth (1999) menyatakan bahwa kelompok yang kohesif memiliki ciri-ciri

antara lain, masing-masing anggota timbul keterdekatan, sehingga bisa mempengaruhi

satu sama lain, rasa toleran, saling membagi, saling mendukung terutama dalam

menghadapi masalah, keeratan hubungan, saling tergantung untuk tetap tinggal dalam

kelompoknya. rasa saling percaya, timbul suasana yang nyaman (merasa aman dalam

bekerja, untuk mengungkapkan pendapat & berinteraksi, saling pengertian) dan adanya

kesadaran sebagai bagian dari kelompok. Forsyth (1999) menambahkan bahwa

kohesivitas merupakan derajat kekuatan ikatan dalam suatu kelompok yang mana

masing-masing anggotanya saling tarik-menarik, saling tergantung dan saling

bekerjasama secara kompak, sehingga akan membentuk suatu “konformitas” yang akan

meningkatkan kapasitas kelompok untuk mempertahankan keanggotaan para anggotanya

dalam mencapai tujuannya.

Mc Shane dan Glinow (2003) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok

merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan memotivasi mereka

untuk tetap bersama kelompok, dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam

keberhasilan kelompok. Gibson (2003) mengungkapkan juga bahwa kohesivitas

kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya daripada

kelompok lain. mengikuti kelompoknya akan memberikan rasa kebersamaan dan rasa

senang.

Walgito (2007) juga menjelaskan mengenai adanya peran kohesivitas dalam

mempengaruhi perilaku-perilaku anggota-anggota kelompok. Anggota kelompok yang

(45)

teoritis, kelompok yang kohesif akan terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma

kelompok dan merespon positif terhadap perilaku anggota kelompok yang lain. Hal ini di

dukung dengan penemuan Festinger, Schacter, dan Black (dalam Shaw 1979) yang

mendapati bahwa anggota kelompok yang kohesif mempunyai opini yang seragam dan

umumnya dalam tindakan menyesuaikan diri dengan standar atau keinginan kelompok.

Jadi pressure atau tekanan terhadap keseragaman naik searah atau sejajar dengan

naiknya kohesi kelompok. Dalam hal ini kohesivitas dalam suatu kelompok menjadikan

anggotanya bersedia melakukan norma-norma atau perilaku yang diinginkan kelompok,

termasuk perilaku agresi terhadap kelompok lain.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas peneliti berasumsi bahwa semakin

kohesif suatu kelompok, maka anggota-anggotanya akan semakin bebas saling

mempengaruhi perilaku anggotanya yang lain, dalam hal ini kelompok dapat

mempengaruhi atau mendesak anggota untuk melakukan perilaku agresi. Jadi semakin

kuat kohesivitas dalam kelompok, semakin tinggi perilaku agresi yang dilakukan

anggotanya.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis diatas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena

metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut

dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Tujuan

metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauhmana variasi-variasi pada

suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan

pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2002).

Permasalahan yang ingin dilihat dalam penelitian ini sesuai dengan yang

dikemukakan pada Bab I Pendahuluan adalah untuk melihat hubungan antara kohesivias

geng motor dengan perilaku agresi anggota-anggota geng motor tersebut.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diuji yakni masing-masing satu

variabel bebas dan variabel terikat. Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas (Independent Variable) : Kohesivitas

(47)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Untuk menghindari perbedaan persepsi dalam menginterpretasi masing-masing

variabe penelitian ini, maka definisi operasional dari penelitian ini dibatasi secara jelas

sebagai berikut :

1. Perilaku Agresi

Perilaku agresi adalah segala macam bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk

melukai, menyakiti, atau merugikan orang lain secara fisik atau verbal dan langsung atau

tidak langsung, ataupun merusak harta benda yang dapat menyebabkan luka fisik ataupun

psikis pada orang lain. Perilaku agresi diukur dengan menggunakan skala perilaku agresi

yang disusun berdasarkan dimensi perilaku agresi oleh Buss (dalam Dayakisni dan

Hudaniah, 2003) antara lain:

a. Agresi Fisik Aktif Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan

secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan

terjadi kontak fisik secara langsung seperti memukul, mendorong, menembak, dan

sebagainya.

b. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul,

(48)

c. Agresi Fisik Pasif Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak

terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam, dan

sebagainya.

d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung

Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak

berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi

kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh, dan

sebagainya.

e. Agresi Verbal Aktif Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya, seperti menghina, memaki, marah , mengumpat.

f. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi

targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebgainya.

g. Agresi Verbal Pasif Langsung

Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara

berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Orang yang agresi menampilkan perilaku menentang orang lain ketika marah yang diprediksikan oleh neurotiscism, namun dapat juga dipengaruhi oleh tingginya agreeableness yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan kelompok dengan tingkat kohesivitas pada penggemar idol group. Metode penelitian yang digunakan adalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan kelompok dengan tingkat kohesivitas pada penggemar idol group.. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

[r]

Yang berarti ada hubungan yang negatif dan signifikan antara keharmonisan keluarga dan perilaku antisosial anggota geng Motor K-TOK di Pati.. Kata kunci : keharmonisan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelekatan kelompok mempunyai hubungan terhadap tingkat kohesivitas suatu kelompok meskipun kohesivitas tidak hanya dipengaruhi

Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwa konfromitas pada komunitas street punk mayoritas berada pada kategori tinggi, ini ditunjukkan dengan aspek-aspek konformitas diantaranya,

Pertama, terorisme yang bersifat Personal dimana aksi-aksi terorisme dilakukan oleh individu secara perorangan.. Biasanya, dalam pengeboman bus dilakuan sendiri tanpa melibatkan banyak