SKRIPSI
ANALISIS DETERMINAN FERTILITAS
DI KOTA PEMATANGSIANTAR
OLEH:
ESTER MARIAHTA SARAGIH
080501049
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the determinants of fertility or Total Fertility Rate in Pematangsiantar Cityrepresented by the5 mostpopulated sub urban in 2010. The independent variables in this study are the first marriage age, education level, andincome level.
Datas used in this research arethe primarydataandsecondarydata. Primary data came fromquestionnaires thathave been undertaken by the authoron 100 respondents. Meanwhile,secondarydatafromthe Central Statistics Agency(BPS) in 2007-2010and justbeas supportive datatosee the progress ofthe researchobjectin the previous year. The research method usedin this studyis theOrdinaryLeastSquared(OLS), by using Eviews5.1.
The results of the study showed that, all of the independent variables are not significant in influencing Total Fertility Rate (TFR) in Pematangsiantar City. As partial, regression result shows that only the income variabel have an influence on Total Fertility Rate in Pematangsiantar City significantly at alpha 5%.
Demographic components are important in development process of a country. So that, this components can be used as a benchmark of success in the development of that country. Fertility is one of demographic components. The others are mortality and migration.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan fertilitas atau angka kelahiran total di Kota Pematangsiantar yang diwakili oleh 5 kelurahan yang terbanyak penduduknya pada tahun 2010. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia kawin pertama, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kuisioner yang telah dijalankan oleh penulis terhadap 100 orang responden. Sementara itu data sekunder berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007-2010 dan hanya bersifat sebagai data pendukung untuk melihat perkembangan objek penelitian pada tahun sebelumnya. Metode penelitian yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least
Squared (OLS), dengan menggunakan Eviews 5.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara bersama-sama seluruh variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kelahiran total di Kota Pematangsiantar. Secara parsial, hasil regresi menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat pendidikan yang mempunyai pengaruh terhadap angka kelahiran total di Kota Pematangsiantar secara signifikan pada tingkat kepercayaan 5%.
Komponen demografi merupakan hal yang penting dalam proses pembangunan di suatu Negara. Oleh karena itu, komponen ini dapat dipergunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan di Negara tersebut. Fertilitas adalah salah satu komponen demografi, selain itu juga ada komponen demografi yang lain yaitu, mortalitas dan migrasi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus Karena
atas berkat dan kekuatanNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana dari Program Strata I Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas
Ekonomi universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini
adalah : “Analisis Determinan Fertilitas di Kota Pematangsiantar”.
Skripsi ini saya persembahkan secara khusus untuk kedua orang tua
tercinta (Rahamen Saragih, SH, M.Hum dan Henny Br. Purba) atas doa dan
dukungannya yang selama ini menyertai penulis.
Penulis menyadari adanya keterbatasan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini sehingga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec sebagai Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec dan Bapak Drs. Syahrir Hakim
Nasution, M.Si sebagai Ketua dan Sekretaris Departemen Ekonomi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapa
M.Si sebagai Ketua dan Sekretaris Program studi Ekonomi
4. Bapak Dr. Rujiman, MA sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dalam memberikan masukan, saran dan bimbingan
yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Coki. A. Syahwier, M.Sp sebagai dosen penguji I yang
telah banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak Kasyful Mahali, SE, M,Si sebagai dosen penguji II yang telah
banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Dra. T. Diana Bakti, M.Si sebagai dosen penasehat akademik
selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Ekonomi.
8. Seluruh staff administrasi dan pegawai kantor Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Pematangsiantar yang beralamat di Jl. Porsea No.5
Pematangsiantar yang telah banyak memberikan data dan informasi
yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Staf administrasi FE-USU yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan urusan-urusan administrasi selama perkuliahan.
10.Teman-teman jurusan Ekonomi Pembangunan 2008 yang namanya
tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk doa, dukungan
dan kebersamaanya selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para
pembaca serta memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Semoga rahmat dan berkatNya semakin melimpah dalam kehidupan kita.
Medan, Februari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 7
1.3 Hipotesis……… 7
1.4 Tujuan Penelitian... 8
1.5 Manfaat Penelitian... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fertilitas... 10
2.2 Transisi Demografi... 17
2.3 Teori-teori Kependudukan... 19
2.3.1 Teori Malthus………... 20
2.3.2 Teori Neo-Malthusians………. 24
2.3.3 Teori Marxist……… 26
2.3.4 Teori Fisiologis………. 27
2.3.5 Teori Psiko-Sosial………. 29
2.3.6 Teori Evolusi Sosial……….. 30
2.4 Tingkat Pendidikan………... 31
2.4.1 Angka Melek Huruf……….. 31
2.4.2 Rata-rata Lama Sekolah……… 32
2.4.3 Kaitan Tingkat Pendidikan Terhadap Fertilitas……… 32
2.5 Konsep pendapatan……….. 34
2.5.1 Pendapatan Perkapita………... 34
2.5.2 Metode Perhitungan Pendapatan Regional……… 35
2.5.3 Kaitan Pendapatan Perkapita Terhadap Fertilitas……… 37
2.6 Konsep Usia Kawin Pertama……… 39
2.6.1 Kaitan Usia Kawin Pertama Terhadap Fertolitas………... 40
2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemungkinan Hubungan Kelamin Pada Usia Reproduksi……….. 41
2.6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Selama
Kehamilan dan Kelahiran……… 42
2.7 Penelitian Terdahulu……… 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian……… 45
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data……… 49
3.5.1 Wawancara (Interview)………. 49
3.5.2 Angket (Kuisioner)……… 50
3.6 Metode Pengolahan Data……….. 50
3.7 Metode Analisis Data……… 50
3.8 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian)………. 52
3.8.1 Koefisien Determinasi (R-Square)……… 52
3.8.2 Uji t-statistik……….. 52
3.8.3 Uji f-statistik……….. 54
3.9 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik………. 56
3.9.1 Multikolinearitas (Multikolinearity)………….. 56
3.9.2 Heteroskedastisitas……… 57
3.9.3 Uji Normalitas……… 58
3.9.4 Uji Linieritas……….. 58
3.10 Defenisi Operasional……….. 59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Pematangsiantar………… 60
4.1.1 Lokasi dan Letak Geografis………. 60
4.1.2 Kondisi Iklim……… 61
4.1.3 Kondisi Demografi………... 61
4.1.3.1 Berdasarkan Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin………... 63
4.1.3.2 Berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin serta Rasio Jenis Kelamin……….. 63
4.1.3.3 Berdasarkan Rasio Ketergantungan Menurut Jenis Kelamin………. 64
4.1.4 Perkembangan Jumlah Penduduk……… 65
4.1.5 Laju Pertumbuhan Ekonomi………. 66
4.2 Perkembangan Angka Kelahiran Total (TFR) di Pematangsiantar……… 68
4.3 Perkembangan Usia Kawin Pertama………. 69
4.4 Perkembangan Tingkat Pendidikan……….. 70
4.6 Pembahasan………. 78
4.6.1 Karakteristik Responden………78
4.6.1.1 Komposisi Responden Menurut Umur………. 78
4.6.1.2 Komposisi Responden Menurut Jenis Kelamin……… 79
4.6.1.3 Komposisi Responden Menurut Usia kawin Pertama……….. 80
4.6.1.4 Komposisi Responden Menurut Tingkat Pendapatan……….. 80
4.6.1.5 Komposisi Responden Menurut Tingkat Pendidikan………... 80
4.6.1.6 Komposisi Responden Menurut Jumlah Anak………. 81
4.6.2 Pengolahan Data………. 81
4.7 Interpretasi Model……… 82
4.8 Test of Goodness of Fit……… 84
4.8.1 Koefisien Determinasi (R-Square)………... 84
4.8.2 Uji Parsial Test (t-stat)………. 84
4.8.3 Uji F-Statistik (Uji Keseluruhan)………. 87
4.9 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik………... 88
4.9.1 Multikolinieritas………... 88
4.9.2 Heteroskedastisitas……….. 88
4.9.3 Uji Normalitas………. 89
4.9.4 Uji Linieritas……… BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 82
5.2 Saran... 82 DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
The purpose of this study is to analyze the determinants of fertility or Total Fertility Rate in Pematangsiantar Cityrepresented by the5 mostpopulated sub urban in 2010. The independent variables in this study are the first marriage age, education level, andincome level.
Datas used in this research arethe primarydataandsecondarydata. Primary data came fromquestionnaires thathave been undertaken by the authoron 100 respondents. Meanwhile,secondarydatafromthe Central Statistics Agency(BPS) in 2007-2010and justbeas supportive datatosee the progress ofthe researchobjectin the previous year. The research method usedin this studyis theOrdinaryLeastSquared(OLS), by using Eviews5.1.
The results of the study showed that, all of the independent variables are not significant in influencing Total Fertility Rate (TFR) in Pematangsiantar City. As partial, regression result shows that only the income variabel have an influence on Total Fertility Rate in Pematangsiantar City significantly at alpha 5%.
Demographic components are important in development process of a country. So that, this components can be used as a benchmark of success in the development of that country. Fertility is one of demographic components. The others are mortality and migration.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan fertilitas atau angka kelahiran total di Kota Pematangsiantar yang diwakili oleh 5 kelurahan yang terbanyak penduduknya pada tahun 2010. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia kawin pertama, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kuisioner yang telah dijalankan oleh penulis terhadap 100 orang responden. Sementara itu data sekunder berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007-2010 dan hanya bersifat sebagai data pendukung untuk melihat perkembangan objek penelitian pada tahun sebelumnya. Metode penelitian yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least
Squared (OLS), dengan menggunakan Eviews 5.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara bersama-sama seluruh variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kelahiran total di Kota Pematangsiantar. Secara parsial, hasil regresi menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat pendidikan yang mempunyai pengaruh terhadap angka kelahiran total di Kota Pematangsiantar secara signifikan pada tingkat kepercayaan 5%.
Komponen demografi merupakan hal yang penting dalam proses pembangunan di suatu Negara. Oleh karena itu, komponen ini dapat dipergunakan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan di Negara tersebut. Fertilitas adalah salah satu komponen demografi, selain itu juga ada komponen demografi yang lain yaitu, mortalitas dan migrasi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kependudukan merupakan basis utama dan fokus dari segala persoalan
pembangunan. Hampir semua kegiatan pembangunan baik yang bersifat sektoral
maupun lintas sektor terarah dan terkait dengan penduduk, atau dengan kata lain
penduduk harus menjadi subjek sekaligus objek pembangunan. Kualitas
penduduk yang baik akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang baik
pula. Jumlah penduduk yang besar tetap akan berarti bila sebagian besar dari
mereka mampu berkarya dan berpartisipasi dalam pembangunan. Sebaliknya
jumlah penduduk yang besar akan menambah beban ekonomi dan pembangunan,
bila tidak dapat diberdayakan secara baik
Penduduk merupakan bagian yang paling penting dalam pembangunan.
Dalam menyelenggarakan pembangunan tetap saja memperhitungkan aspek
kependudukan baik dalam hal merumuskan kebijakan ataupun melaksanakan
program-program pembangunan yang ada. Dengan demikian, penduduk
merupakan dasar dan sasaran semua kebijakan pembangunan negara. Dalam
perencanaan pembangunan, otomatis data kependudukan memegang peranan
penting. Semakin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia maka
akan semakin mudah dan tepat rencana pembangunan itu dibuat. Oleh karena itu
mengumpulkan dan menjamin tersedianya data kependudukan yang baik bagi
pihak yang berkepentingan dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
Meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya menciptakan suatu
fenomena bahwa pengendalian kelahiran (fertilitas) merupakan isu penting di
dunia sekarang ini. Hal ini disebabkan tingginya jumlah penduduk dunia yang
mencapai 6,9 miliar jiwa pada tahun 2010. Pada tahun 2010 jumlah penduduk
Indonesia mencapai 237,641,326 jiwa. Jumlah itu mengalami peningkatan sebesar
2,7 persen bila dibandingkan dengan tahun 2009. Dengan jumlah penduduk
sebesar itu Indonesia masuk dalam peringkat keempat penduduk terbanyak di
dunia setelah Cina 1.336.718.015 jiwa, India 1.189.172.906 jiwa dan Amerika
Serikat 311.050.977 jiwa.
Sumatera Utara juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda.
Jumlah penduduk pada tahun 2007 sebesar 12.834.371 jiwa. Naik sebesar 1,6
persen pada tahun 2008 menjadi 13.042.317 jiwa. Pada tahun 2009 naik lagi
sebesar 1,6 persen sehingga menjadi 13.248.386. Namun pada tahun 2010 turun
sebesar 2,0 persen menjadi 12.982.204 (BPS : 2010).
Pematangsiantar sebagai salah satu kota di Sumatera Utara juga
mengalami hal yang sama. Jumlah penduduk pada tahun 2007 sebesar 248.825
jiwa. Mengalami kenaikan sebesar 0,40 persen dari tahun sebelumnya. Pada
tahun 2008 naik lagi sebesar 0,47 persen menjadi 249.985 jiwa. Demikian juga
pada tahun 2009 naik sebesar 0,40 persen sehingga menjadi 250.997. Namun
pada tahun 2010 menurun drastis sebesar 6,49 persen menjadi 234.698 (BPS :
Pematangsiantar merupakan salah satu kota di Sumatera Utara yang
banyak penduduknya dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun
jumlah penduduk dan Total Fertility Rate (TFR) di Kota Pematangsiantar dapat
dilihat pada tabel berikut:
TABEL 1.1
Jumlah Penduduk dan Angka Kelahiran Total (TFR) di Kota Pematangsiantar
( 2007-2010)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Dari data yang terdapat pada tabel 1.1 di atas maka dapat kita lihat bahwa
jumlah penduduk berbanding terbalik dengan Angka Kelahiran Total (TFR).
Meskipun Angka Kelahiran Total menurun di tiap tahunnya akan tetapi tidak
memberikan pengaruh terhadap berkurangnya jumlah penduduk Kota
Pematangsiantar setiap tahun. Hal ini tentunya juga tidak lepas dari pengaruh tiap
kelurahan yang ada di Kota Pematangsiantar. Dimana, setiap kelurahan pastinya
juga memiliki angka kelahiran total yang berbeda-beda sesuai dengan
karakteristik masing-masing kelurahan tersebut.
. Jumlah penduduk, komposisi umur, dan laju pertambahan atau penurunan
penduduk dipengaruhi oleh fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan
migrasi (perpindahan tempat) karena ketiga variabel tersebut merupakan
komponen–komponen yang berpengaruh terhadap perubahan penduduk (Lucas,
TAHUN JUMLAH PENDUDUK
1982:1). Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan penduduk yang meliputi
jumlah, komposisi dan distribusi penduduk harus segera diselesaikan sebagai
upaya untuk mengendalikan jumlah penduduk. Cara pengendalian jumlah
penduduk adalah dengan pengendalian fertilitas (kelahiran), mortalitas
(kematian), dan migrasi (perpindahan tempat).
Pengendalian fertilitas merupakan salah satu cara untuk mengendalikan
jumlah penduduk. Fertilitas merupakan hasil reproduksi nyata dari seorang atau
sekelompok wanita, sedangkan dalam pengertian demografi menyatakan
banyaknya bayi yang lahir hidup. Besar kecilnya jumlah kelahiran dalam suatu
penduduk, tergantung pada beberapa faktor misalnya, struktur umur, tingkat
pendidikan, umur pada waktu kawin pertama, banyaknya perkawinan, status
pekerjaan wanita, penggunaan alat kontrasepsi dan pendapatan/kekayaan
(Hatmadji,2004:57).
Fertilitas merupakan salah satu komponen demografi. Demografi menurut
Donald J. Bogue di dalam bukunya yang berjudul “ Principle of Demography”
adalah ilmu yang mempelajari secara statistik dan matematika tentang besar,
komposisi dan distribusi penduduk dan perubahan-perubahannya sepanjang masa
melalui bekerjanya 5 komponen demografi yaitu kelahiran (fertilitas), kematian
(mortalitas), perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial. Dalam melakukan
pengukuran terhadap fertilitas, terdapat beberapa variasi dan masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Pengukuran terhadap fertilitas ini
dilakukan melalui dua macam pendekatan yaitu Yearly Performance dan
penghitungan. Salah satu teknik yang termasuk dalam pendekatan Yearly
Performance adalah Total Fertility Rate (TFR) atau Angka Kelahiran Total.
Total Fertility Rate (TFR) merupakan jumlah rata-rata anak yang
dilahirkan setiap wanita. Kebaikan dari teknik ini adalah merupakan ukuran
untuk seluruh wanita usia 15-49 tahun yang dihitung berdasarkan angka
kelahiran menurut kelompok umur, berbeda dengan teknik yang lain yang
perhitungannya tidak memisahkan antara penduduk laki-laki dan perempuan
serta tingkat usia produktif bagi wanita.
Banyak faktor yang mempengaruhi Angka Kelahiran Total (TFR), di
antaranya adalah usia kawin pertama, indeks tingkat pendidikan, dan indeks
tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan dapat diwakili oleh pendapatan
perkapita. Keterkaitan pendapatan terhadap fertilitas adalah ketika pendapatan
seseorang naik akan semakin besar pengaruhnya terhadap penurunan fertilitas
yang terjadi. Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan berubah.
Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biaya (cost)
nya naik. Sedangkan kegunaannya turun sebab walaupun anak masih
memberikan kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Disamping itu
orang tua juga tidak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan
anak lebih besar daripada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan “demand”
terhadap anak menurun atau dengan kata lain fertilitas turun (Hatmadji,
2000:78).
Dalam konteks Indonesia, salah satu variabel yang sering diperhatikan
seorang wanita melakukan perkawinan, semakin panjang masa reproduksinya.
Maka dapat diasumsikan bahwa semakin cepat seseorang menikah pada usia
mudanya, semakin banyak pula anak yang dilahirkannya. Jadi hubungan antara
umur perkawinan dan fertilitas adalah negatif.
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan rata-rata umur kawin
pertama penduduk laki-laki di Indonesia sebesar 25,7 tahun dan perempuan 22,3
tahun (perhitungan Singulate Mean Age at Marriage/SMAM). Kondisi ini
semakin mendekati apa yang terjadi di negara-negara maju. Di Amerika Serikat
misalnya, pada tahun 2010 penduduk laki-laki cenderung memilih menikah pada
usia 28 tahun sedangkan wanita menikah di usia 26 tahun
(www.ekonomi.kompasiana.com).
Tingginya tingkat pendidikan cenderung mendorong wanita untuk turut
berpartisipasi dalam menopang perekonomian keluarga. Ibu-ibu yang bekerja
dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan
keluarga (Berg, 1986). Dalam hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai
ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Oleh karena itu, tingkat partisipasi
angkatan kerja wanita baik langsung ataupun tidak langsung memiliki pengaruh
terhadap fertilitas. Ibu yang bekerja cenderung membatasi jumlah anak yang
ingin dimilikinya karena berkurangnya waktu yang dimiliki untuk mengurus
rumah tangga dan dianggap dapat mengurangi kesempatan untuk
mengembangkan karir. Dengan demikian tingkat pendidikan berpengaruh negatif
Oleh karena itu diperlukan suatu analisis yang lebih lengkap berkaitan
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi angka kelahiran total tersebut, dimana
dalam kesempatan ini penulis menggunakan data primer agar memperoleh data
secara lebih akurat dan menjawab rasa penasaran penulis sendiri dengan
melakukan pendataan secara langsung kepada penduduk Kota Pematangsiantar.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan skripsi dengan judul “Analisis Determinan Fertilitas di Kota
Pematangsiantar”.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh usia kawin pertama terhadap tingkat fertilitas di
Pematangsiantar?
2. Bagaimana pengaruh tingkat pendapatan terhadap tingkat fertilitas di
Pematangsiantar?
3. Bagaimana pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat fertilitas di
Pematangsiantar?
1.3Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap perumusan masalah,
dimana tingkat kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis
1. Usia kawin pertama memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas di
Pematangsiantar, ceteris paribus.
2. Tingkat pendapatan memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas di
Pematangsiantar, ceteris paribus.
3. Tingkat pendidikan memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas di
Pematangsiantar, ceteris paribus.
1.4Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh usia kawin pertama terhadap tingkat
fertilitas di Pematangsiantar.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat pendapatan terhadap tingkat
fertilitas di Pematangsiantar.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat
fertilitas di Pematangsiantar.
1.5Manfaat Penelitian
1. Memberikan wawasan dan pengetahuan, khususnya bagi penulis sendiri untuk
memahami secara mendalam akan analisis determinan fertilitas di Kota
Pematangsiantar.
2. Sebagai bahan studi atau tambahan literatur bagi mahasiswa/i Fakultas
Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan serta sebagai bahan
referensi dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa/i yang ingin
melakukan penelitian selanjutnya.
3. Memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai analisis determinan
4. Sebagai bahan pertimbangan dalam memproyeksi dan mengambil kebijakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fertilitas
Fertilitas atau kelahiran merupakan salah satu faktor penambah jumlah
penduduk disamping migrasi masuk. Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan
sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau kelompok wanita.
Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Oleh
karena itu, istilah fertilitas adalah sama dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu
terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan ada tanda-tanda
kehidupan; misalnya berteriak, bernafas, jantung berdenyut, dan sebagainya
(Mantra, 2003:145).
Lahir hidup (live birth ) menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Organization/WHO) adalah suatu kelahiran seorang bayi tanpa
memperhitungkan lamanya di dalam kandungan, dimana si bayi menunjukkan
tanda-tanda kehidupan, misalnya: bernafas, ada denyut jantungnya atau denyut tali
pusat atau gerakan-gerakan otot. Dengan demikian, peristiwa bayi yang lahir
dalam keadaan tidak hidup/meninggal (still birth) tidak dimasukkan dalam
perhitungan jumlah kelahiran.
Di samping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas (fecundity). Berbeda
dengan fertilitas, fekunditas berkaitan dengan potensi untuk melahirkan, tanpa
memperhatikan apakah seorang wanita benar-benar melahirkan seorang anak atau
melahirkan anak-anak yang banyak, misalnya dia mengatur fertilitas dengan
abstinensi atau menggunakan alat-alat kontrasepsi. Kemampuan biologis seorang
perempuan unuk melahirkan sangat sulit untuk diukur. Ahli demografi hanya
menggunakan pengukuran terhadap kelahiran hidup (live birth).
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran
mortalitas, karena seorang perempuan hanya meninggal satu kali, tetapi ia dapat
melahirkan lebih dari seorang bayi. Di samping itu seseorang yang meninggal
pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu orang tersebut tidak
mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya seorang perempuan yang telah
melahirkan seorang anak tidak berarti resiko melahirkan dari perempuan tersebut
menurun.
Kompleksnya pengukuran fertilitas, karena kelahiran melibatkan dua
orang (suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja.
Masalah lain yang dijumpai dalam pengukuran fertilitas ialah tidak semua
perempuan mengalami resiko melahirkan karena ada kemungkinan beberapa dari
mereka tidak mendapatkan pasangan dalam berumah tangga. Juga ada dari
beberapa perempuan yang bercerai, menjanda.
Memperhatikan kompleksnya pengukuran terhadap fertilitas tersebut, maka memungkinkan pengukuran terhadap fertilitas ini dilakukan dengan dua macam pendekatan : pertama, Pengukuran Fertilitas Tahunan (Yearly Performance) dan
kedua, Pengukuran Fertilitas Kumulatif (Reproductive History).
Mencerminkan fertilitas dari suatu kelompok penduduk/berbagai
kelompok penduduk untuk jangka waktu satu tahun. Ini yang disebut current
fertility. Yearly Performance terdiri dari :
a. Angka Kelahiran Kasar atau Crude Birth Ratio (CBR)
Angka Kelahiran Kasar didefenisikan sebagai banyaknya kelahiran hidup
pada suatu tahun tertentu tiap 1.000 penduduk pada pertengahan tahun. Atau
dengan rumus dapat ditulis sebagai berikut:
CBR =
Dimana :
CBR : Crude Birth Rate atau Tingkat Kelahiran Kasar
Pm : Penduduk pertengahan tahun
K : Bilangan konstan yang biasanya 1.000
B : Jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Kebaikan dari perhitungan CBR ini adalah perhitungan ini sederhana,
karena hanya memerlukan keterangan tentang jumlah anak yang dilahirkan dan
jumlah penduduk pada pertengahan tahun. Sedangkan kelemahan dari
perhitungan CBR ini adalah tidak memisahkan penduduk laki-laki dan
perempuan yang masih kanak-kanak dan yang berumur 50 tahun ke atas. Jadi
angka yang dihasilkan sangat kasar.
b. Angka Kelahiran Umum atau General Fertility Rate (GFR)
Angka Kelahiran Umum adalah banyaknya kelahiran tiap seribu wanita
yang berumur 15-49 atau 15-44 tahun. Atau dengan rumus dapat ditulis sebagai
GFR =
Dimana :
GFR : Tingkat Fertilitas Umum
B : Jumlah kelahiran
Pf (15-49) : Jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan
tahun.
Kebaikan dari perhitungan GFR ini adalah ukuran ini lebih cermat
daripada CBR karena hanya memasukkan wanita yang berumur 15-49 tahun atau
sebagai penduduk yang exposed to risk. Sedangkan kelemahan dari perhitungan
GFR ini adalah ukuran ini tidak membedakan risiko melahirkan dari berbagai
kelompok umur, sehingga wanita yang berumur 40 tahun dianggap mempunyai
risiko melahirkan yang sama besarnya dengan wanita yang berumur 25 tahun.
c. Angka Kelahiran menurut Kelompok Umur atau Age Specific Fertility Rate
(ASFR)
Terdapat variasi mengenai besar kecilnya kelahiran antar kelompok
penduduk tertentu, karena tingkat fertilitas penduduk ini dapat pula dibedakan
menurut: jenis kelamin, umur, status perkawinan, atau kelompok-kelompok
penduduk yang lain.
Diantara kelompok perempuan usia reproduksi (15-49) terdapat variasi
kemampuan melahirkan, karena itu perlu dihitung tingkat fertilitas perempuan
pada tiap-tiap kelompok umur Age Specific Fertility Rate (ASFR). Sehingga,
ASFR dapat diartikan sebagai banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada
=
Dimana :
ASFR : Angka Kelahiran Menurut Kelompok Umur
B : Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i
P : Jumlah perempuan kelompok umur i pada pertengahan tahun
k : angka konstanta = 1.000
Kebaikan dari perhitungan ASFR ini adalah ukurannya lebih cermat dari
GFR karena sudah membagi penduduk yang exposed to risk ke dalam berbagai
kelompok umur. Dengan ASFR dimungkinkan pembuatan analisis perbedaan
fertilitas (current fertility) menurut berbagai karakteristik wanita. Dengan ASFR
dimungkinkan dilakukannya studi fertilitas menurut kohor. ASFR ini juga
merupakan dasar untuk perhitungan ukuran fertilitas dan reproduksi selanjutnya
(TFR, GRR, dan NRR).
Kelemahan dari perhitungan ASFR ini adalah membutuhkan data yang
terinci yaitu banyaknya kelahiran untuk tiap kelompok umur. Sedangkan data
tersebut belum tentu ada di tiap negara/daerah, terutama di negara yang sedang
berkembang. Jadi pada kenyataannya sukar sekali mendapatkan ukuran ASFR.
Kemudian pada perhitungan ini tidak menunjukkan ukuran fertilitas untuk
keseluruhan wanita umur 15-49 tahun.
d. Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR)
Tingkat Fertilitas Total didefenisikan sebagai jumlah kelahiran hidup
laki-laki dan perempuan tiap 1.000 penduduk yang hidup hingga akhir masa
1. Tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa
reproduksinya
2. Tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu.
Tingkat Fertilitas Total menggambarkan riwayat fertilitas dari sejumlah
perempuan hipotesis selama masa reproduksinya. Dalam praktek Tingkat
Fertilitas Total dikerjakan dengan menjumlahkan tingkat fertilitas perempuan
menurut umur, apabila umur tersebut berjenjang lima tahunan, dengan asumsi
bahwa tingkat fertilitas menurut umur tunggal sama dengan rata-rata tingkat
fertilitas kelompok umur lima tahunan. Maka rumus dari Tingkat Fertilitas Total
atau TFR adalah sebagai berikut :
TFR = 5
Dimana :
TFR : Total Fertility Rate
ASFR : Angka kelahiran menurut kelompok umur
I : Kelompok umur 5 tahunan, dimulai dari 15-19.
Kebaikan dari perhitungan TFR ini adalah TFR merupakan ukuran untuk
seluruh wanita usia 15-49 tahun, yang dihitung berdasarkan angka kelahiran
menurut kelompok umur (Hatmadji, 2004 :63).
2. Reproductive History (cummulative fertility)
a. Children Ever Born (CEB) atau jumlah anak yang pernah dilahirkan
CEB mencerminkan banyaknya kelahiran sekelompok atau beberapa
perhitungan CEB ini adalah mudah didapatkan informasinya (di sensus dan
survey) dan tidak ada referensi waktu.
Kemudian kelemahan dari perhitungan ini adalah angka paritas menurut
kelompok umur akan mengalami kesalahan karena kesalahan pelaporan umur
penduduk, terutama di negara sedang berkembang. Kemudian ada
kecenderungan semakin tua semakin besar kemungkinannya melupakan jumlah
anak yang dilahirkan. Dan kelemahannya fertilitas wanita yang telah meninggal
dianggap sama dengan yang masih hidup.
b. Child Woman Ratio (CWR)
CWR adalah hubungan dalam bentuk ratio antara jumlah anak di bawah 5
tahun dan jumlah penduduk wanita usia reproduksi. Kebaikan dari perhitungan
CWR ini adalah untuk mendapatkan data yang diperlukan tidak usah membuat
pertanyaan khusus dan berguna untuk indikasi fertilitas di daerah kecil sebab di
Negara yang registrasinya cukup baik pun, statistik kelahiran tidak ditabulasikan
untuk daerah yang kecil-kecil.
Kelemahan dari CWR ada tiga, pertama langsung dipengaruhi oleh
kekurangan pelaporan tentang anak, yang sering terjadi di Negara sedang
berkembang. Walaupun kekurangan pelaporan juga terjadi di kelompok ibunya
namun secara relatif kekurangan pelaporan pada anak-anak jauh lebih besar.
Kedua, dipengaruhi oleh tingkat mortalitas, dimana tingkat mortalitas anak,
khususnya di bawah satu tahun juga lebih besar dari orang tua, sehingga CWR
selalu lebih kecil daripada tingkat fertilitas yang seharusnya. Ketiga, tidak
Dimana hal inilah yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini,
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel lainnya seperti usia
kawin pertama, indeks tingkat pendidikan dan indeks tingkat pendapatan dapat
mempengaruhi tingkat fertilitas di Pematangsiantar.
2.2Transisi Demografi
Pada abad ke -20, nampaknya fertilitas telah turun di banyak Negara baik
di Negara maju ataupun di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Kemudian
penurunan pada fertilitas juga dibarengi dengan penurunan pada mortalitas, hal
ini mengakibatkan adanya transisi demografi, sehingga disebut dengan teori
“transisi demografi”.
Tabel 2.1
Teori Transisi Demografi
No Tahap Tingkat Kelahiran Tingkat
Kematian
Sumber : Ritonga, Abdurahman : 19
Pada dasarnya teori ini menjelaskan tentang perubahan dari suatu situasi
karena, baik tingkat fertilitas maupun mortalitas sama-sama tinggi, menjurus ke
keadaan dimana tingkat fertilitas dan mortalitas sama-sama tinggi, sehingga
pertumbuhan penduduk kembali nol atau sangat rendah.
Tahap Transisi Demografi
Bogue (1969) membuat pentahapan transisi vital menjadi tiga tahap: (Gambar 2.1)
Sumber Gambar : Mantra, Ida Bagoes :42
Dari stationer pertama (fertilitas dan mortalitas tinggi) menuju stationer
kedua (fertilitas dan mortalitas rendah) mengalami dua tahap proses, yakni tahap
kedua dan ketiga. Dan tahap inilah yang disebut dengan transisi demografi.
1. Pra-transisi (pre-transitional), dari A hingga B, dengan ciri-ciri tingkat
kelahiran dan tingkat kematian sama-sama tinggi. Angka pertumbuhan
penduduk alami sangat rendah (hamper mendekati nol).
2. Transisi (Transitional), dari B ke E, dicirikan dengan penurunan tingkat
kelahiran dan kematian, tingkat kematian lebih rendah daripada tingkat
kelahiran, mengakibatkan tingkat pertumbuhan penduduk alami sedang atau
tinggi. Fase ini dibagi lagi menjadi tiga: Tingkat Kelahiran
Tingkat Kematian
a. Permulaan Transisi (early transitional), dari B ke C, dicirikan dengan
tingkat kematian menurun, tetapi tingkat kelahiran tetap tinggi, bahkan ada
kemungkinan meningkat karena ada perbaikan kesehatan.
b. Pertengahan Transisi (mid-transitional), dari C ke D, tingkat kematian dan
tingkat kelahiran kedua-duanya menurun, tetapi tingkat kematian menurun
lebih cepat dari tingkat kelahiran.
c. Akhir Transisi (late transitional), dari D ke E, tingkat kematian rendah
dan tidak berubah atau menurun hanya sedikit, dan angka kelahiran antara
sedang dan rendah, dan berfluktuasi atau menurun. Pengetahuan tentang
kontrasepsi meluas.
3. Pasca-transisi (Post-transitional), dari E ke F, dicirikan oleh tingkat kematian
dan tingkat kelahiran kedua-duanya rendah; hamper semuanya mengetahui
cara-cara kontrasepsi dan dipraktekkan. Tingkat kelahiran dan tingkat
kematian (vital rates) mendekati keseimbangan penduduk, yang kemudian akan kembali lagi ke transisi yang pertama. Pertumbuhan penduduk alami amat rendah dalam jangka waktu yang panjang.
2.3Teori-teori Kependudukan
Penduduk dunia berkembang secara lambat sampai pertengahan abad ke
17. Pada sekitar tahun 1665 penduduk dunia diperkirakan sebesar 500 juta atau ½
Milyar. Penduduk dunia kemudian menjadi dua kali lipat dalam jangka waktu
200 tahun yaitu pada tahun 1850. Dalam jangka waktu 80 tahun kemudian
penduduk dunia menjadi dua kali lipat lagi, yaitu pada tahun 1930. Sedangkan
Pertumbuhan penduduk yang makin cepat ini dapat dimengerti apabila kita
melihat adanya penemuan Penicillin pada tahun 1930 dan program kesehatan
masyarakat yang makin meningkat sejak tahun 1960-an. Dengan perkembangan
teknologi obat-obatan maka angka kematian menurun sedangkan angka kelahiran
masih tetap tinggi sehingga membuat selisih antara kedua angka tersebut makin
besar. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk semakin cepat.
Pengaruh penemuan Penicillin dan program kesehatan masyarakat sangat
mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Sebagai contoh tahun 1850-1930, untuk
mencapai jumlah penduduk sebesar 1 Milyar, diperlukan waktu 80 tahun.
Sedangkan periode 1960-1975 hanya memerlukan waktu 15 tahun saja.
Pertumbuhan penduduk yang makin cepat tersebut, mengundang banyak
masalah sehingga teori-teori kependudukan kemudian berkembang dengan
pesatnya, pengemuka-pengemuka teori pada dasarnya bertitik tolak pada masalah
kependudukan dalam kaitannya dengan masalah ekonomi, etik, agama,
pertahanan/politik dan sebagainya (Mantra, 2003: 51).
2.3.1. Teori Malthus
Pelopor dalam pembahasan masalah kependudukan secara lebih mendalam
dan dianggap sebagai perintis ilmu pengetahuan kependudukan atau demografi
adalah Thomas Robet Malthus (1766-1834) yang menulis sebuah buku berjudul :
“ Essai on Principle of Populations as it Affect the Future Improvement of
Society, with Remarks on the Speculation of Mr. Godwin, M. Condorcet, and
Other Writers”, menyatakan bahwa penduduk (seperti juga tumbuh-tumbuhan
dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi ini (Mantra,
2003:50). Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihentikan. Disamping itu
Malthus berpendapat bahwa manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan,
sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat dibandingkan
dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan pembatasan
terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami kekurangan
bahan makanan.
Inilah sumber dari kemelaratan dan kemiskinan manusia. Hal ini jelas
diuraikan oleh Malthus sebagai berikut:
… Human species would increase as the number 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128,
256, and the substance as 1,2,3,4,5,6,7,8,9. In two centuries the population
would be to the means of subsistance as 236 to 9; in three centuries as 4096 to
13 and in two thousand years the difference would be almost incalculable…
(Mantra, 2003:51)
Seperti telah disebutkan diatas, untuk dapat keluar dari permasalahan
kekurangan pangan tersebut, pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut
Malthus pembatasan tersebut, dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu
preventive checks, dan positive checks. Preventive checks dapat dibagi menjadi
dua, yaitu: moral restraint dan vice. Moral restraint (pengekangan diri) yaitu
segala usaha untuk mengekang nafsu seksual, dan vice pengurangan kelahiran
seperti: pengguguran kandungan, penggunaan alat-alat kontrasepsi, homoseksual,
Tabel 2.2
Pembatasan Pertumbuhan Penduduk
Sumber: Mantra, Ida Bagoes: 52
Positive checks adalah pengurangan penduduk melalui proses kematian.
Apabila suatu wilayah jumlah penduduk melebihi jumlah persediaan bahan
pangan, maka tingkat kematian akan meningkat mengakibatkan terjadinya
kelaparan, wabah penyakit dan lain sebagainya. Proses ini akan terus
berlangsung sampai jumlah penduduk seimbang dengan persediaan bahan
pangan.
Positive checks dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu: vice dan misery. Vice
(kejahatan) ialah segala jenis pencabutan nyawa sesama manusia seperti
pembunuhan anak-anak (infancitide), pembunuhan orang cacat, dan
orang-orang tua. Misery (kemelaratan) ialah segala keadaan yang menyebabkan
kematian seperti berbagai jenis penyakit dan epidemic, bencana alam, kelaparan,
Pendapat Malthus banyak mendapat tanggapan para ahli dan menimbulkan
diskusi yang terus menerus. Pada umumya gagasan yang dicetuskan Malthus
dalam abad ke-18 pada masa itu dianggap sangat aneh. Asumsi yang mengatakan
bahwa dunia akan kehabisan sumber daya alam karena jumlah penduduk yang
selalu meningkat, tidak dapat diterima oleh akal sehat. Dunia baru ( Amerika,
Afrika, Australia, dan Asia) dengan sumber daya alam yang berlimpah, baru saja
terbuka untuk para migran dari dunia lama (misalnya Eropa Barat).
Mereka mempekirakan bahwa sumber daya alam di dunia baru tidak akan
dapat dihabiskan. Beberapa kritik terhadap teori Malthus adalah sebagai berikut:
1. Malthus tidak memperhitungkan kemajuan-kemajuan transportasi yang
menghubungkan daerah satu dengan yang lain sehingga pengiriman bahan
makanan ke daerah-daerah yang kekurangan pangan mudah dilaksanakan.
2. Dia tidak memperhitungkan kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi,
terutama dalam bidang pertanian. Jadi dalam produksi pertanian dapat pula
ditingkatkan secara cepat dengan mempergunakan teknologi baru.
3. Malthus tidak memperhitungkan usaha pembatasan kelahiran bagi
pasangan-pasangan yang sudah menikah. Usaha pembatasan kelahiran ini telah
dianjurkan oleh Francis Place pada tahun 1822.
4. Fertilitas akan menurun apabila terjadi perbaikan ekonomi dan standard hidup
penduduk dinaikkan. Hal ini tidak diperhitungkan oleh Malthus (Mantra,
2003:53).
Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, teori Malthus mulai
diperdebatkan lagi. Kelompok yang menyokong aliran Malthus tetapi lebih
radikal disebut dengan kelompok Neo-Malthusianism. Kelompok ini tidak
sependapat dengan Malthus bahwa mengurangi jumlah penduduk cukup dengan
moral restraint saja. untuk keluar dari perangkap Malthus, mereka menganjurkan
menggunakan semua cara-cara “preventive checks’’ misalnya dengan
penggunaaan alat-alat kontrasepsi untuk mengurangi jumlah kelahiran,
pengguguran kandungan (abortions). Paul Ehrlich mengatakan:
… the only way to avoid that scenario is to bring the birth rate
under control-perhaps even by force (Week,1992).
Menurut kelompok ini (yang dipelopori oleh Garrett Hardin dan Paul
Ehrlich). Pada abad ke-20 (pada tahun 1950-an), dunia baru yang pada jamannya
Malthus masih kosong kini sudah mulai penuh dengan manusia. Dunia baru
sudah mulai tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang selalu
bertambah. Tiap minggu lebih dari satu juta bayi lahir di dunia, ini berarti satu
juta lagi mulut yang harus diberi makan. Mungkin pada permulaan abad ke-19
orang masih dapat mengatakan apa yang diramalkan Malthus tidak mungkin
terjadi tetapi sekarang beberapa orang percaya bahwa hal itu terjadi dengan
mengatakan “it has come true: it is happening’’.
Di tahun 1960-an dan 1970-an photo-photo yang diambil dari ruang
angkasa menunjukkan bahwa bumi kita terlihat seperti sebuah kapal yang
yang terbatas. Pada suatu saat, kapal ini akan kehabisan bahan bakar dan bahan
makanan, sehingga akhirnya malapetaka menimpa kapal tersebut.
Paul Ehrlich dalam bukunya “The Population Bomb”pada tahun 1971,
menggambarkan penduduk dan lingkungan yang ada di dunia dewasa ini sebagai
berikut. Pertama, dunia ini sudah terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan
makanan sangat terbatas; ketiga, karena terlalu banyak manusia di dunia ini
lingkungan sudah banyak yang rusak dan tercemar. Pada tahun 1990 Ehrlich
bersama istrinya merevisi buku tersebut dengan judul yang baru “The Population
Explotion” yang isinya bahwa bom penduduk yang dikhawatirkan tahun 1968,
kini sewaktu-waktu akan dapat meletus. Kerusakan dan pencemaran lingkungan
yang parah karena sudah terlalu banyaknya penduduk sangat merisaukan mereka.
Selanjutnya Ehrlich menulis:
… the poor are dying of hunger, while rich and poor alike are
dying from the by-products of affluence-pollution and ecological disaster (Week,
1992).
Pandangan mereka (Ehrlich dan Hardin) tentang masa depan dunia ini
sangat suram, namun demikian isu kependudukan ini sangat penting bagi seluruh
generasi terutama bagi penduduk di negara maju (developed world).
Pada tahun 1972, Meadow menerbitkan sebuah buku dengan judul “The
Limit to Growth”. Bagi penganut Malthus, buku ini merupakan karya yang
terbaik yang pernah diterbitkan, tetapi bagi penentang teori Malthus buku ini
dapat mempengaruhi manusia dalam melihat masa depan dari dunia ini, yaitu
hubungan antara variable lingkungan yaitu: penduduk, produksi pertanian,
produksi industri, sumber daya alam dan polusi.
2.3.3 Teori Marxist
Teori ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Kedua-duanya
lahir di Jerman kemudian secara sendiri-sendiri hijrah ke Inggris. Pada waktu itu
teori Malthus sangat berpengaruh di Inggris maupun di Jerman. Marx dan Engels
sependapat dengan Malthus yang menyatakan bahwa apabila tidak diadakan
pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan kekurangan
bahan pangan. Menurut Marx tekanan penduduk yang terdapat di suatu negara
bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan penduduk
terhadap kesempatan kerja. Kemelaratan terjadi bukan disebabkan pertumbuhan
penduduk yang terlalu cepat tetapi, karena kesalahan masyarakat itu sendiri yang
terdapat di negara-negara kapitalis.
Kaum kapitalis akan mengambil sebagian pendapatan dari buruh sehingga
menyebabkan kemelaratan buruh tersebut. Semakin banyak kaum kapitalis
memotong gaji buruh tersebut semakin rendah pendapatan yang diterima oleh
buruh yang menyebabkan mereka semakin melarat.
Selanjutnya Marx berkata, kaum kapitalis membeli mesin-mesin untuk
menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh buruh. Jadi penduduk
yang melarat bukan disebabkan karena kekurangan bahan pangan, tetapi karena
kaum kapitalis mengambil sebagian dari pendapatan mereka. Jadi menurut Marx
mereka menguasai alat-alat produksi. Untuk mengatasi hal-hal tersebut maka
struktur masyarakat harus diubah dari sistim kapitalis ke sistim sosialis.
Menurut Marx dalam sistem sosialis alat-alat produksi dikuasai oleh
buruh, sehingga gaji buruh tidak akan terpotong. Buruh akan menikmati seluruh
hasil kerja mereka dan oleh karena itu masalah kemelaratan akan dihapuskan.
Selanjutnya dia berpendapat bahwa semakin banyak jumlah manusia semakin
tinggi produksi yang dihasilkan, jadi dengan demikian tidak perlu diadakan
pembatasan pertumbuhan penduduk: Marx dan Engels menentang usaha-usaha
moral restraint yang disarankan oleh Malthus (Weeks,1992).
2.3.4 Teori Fisiologis
Meskipun teori-teori dari golongan fisiologis ini berbeda-beda, namun
mempunyai suatu pendapat yang sama yang menyangkal pendapat Malthus
bahwa kemampuan untuk mempunyai keturunan dari manusia merupakan alam
yang tetap (constant magnitude).
Menurut Thomas Jarold, seorang dokter dari Inggris mengatakan bahwa
kemampuan reproduksi manusia akan berkurang apabila ia semakin banyak
menggunakan tenaganya baik fisik maupun mental. Mengingat terjadinya
perkembangan tingkat hidup dan kemajuan dari manusia yang terus menerus
akan menyebabkannya menjadi lebih sibuk maka pertambahan penduduk akan
semakin berkurang sehingga kekhawatiran akan terjadinya ketimpangan antara
jumlah penduduk dan bahan makanan tidak perlu terjadi.
Sedangkan menurut pendapat Michael Thomas Sadler, bahwa akan terjadi
berkurangnya kemampuan untuk berketurunan dan sebaliknya. Disebutkan
demikian karena ia memperhatikan pada kota-kota besar di mana banyak orang
kota dengan penghidupan yang lebih baik cenderung untuk mempunyai angka
kelahiran yang rendah. Thomas Doubleday mempertahankan teori yang
mengemukakan adanya korelasi antara tingkat kelahiran dan tingkat
kemakmuran. Menurutnya tingkat kehidupan yang sulit akan merangsang orang
untuk meningkatkan kelahiran sedangkan orang yang kehidupannya makmur
akan mengurangi kemampuan melahirkan. Keadaan ini disebut oleh Doubleday
sebagai the real and great law of human population. Ia pun berpendapat bahwa
kemampuan reproduksi manusia dipengaruhi pula oleh makanannya. Pada
penduduk yang makmur, mereka banyak memakan daging hewan dan ini akan
menurunkan kemampuan reproduksi mereka.
Herbert Spencer yang menyangkal dengan keras teori dari Malthus
menarik garis pemisah antara hewan dan manusia dalam memperkembangkan
keturunannya. Ia berpendapat bahwa manusia mengenal “Individu” dan
“Kemajuan Perseorangan”. Semakin banyak orang mempergunakan energi untuk
kemajuan dirinya, semakin berkuranglah energi yang dapat dipergunakan untuk
memperkembangkan keturunan. Karena itu, jenis hewan yang tingkat
kemajuannya rendah, daya biaknya tinggi, sebaliknya tingkat kemajuan individu
yang tinggi bersamaan dengan daya biak yang rendah. manusia adalah jenis
hewan yang paling maju dan kemampuan menurunkan keturunan adalah paling
rendah. semakin tinggi tingkat kemajuan sesuatu golongan penduduk, akan
tingkatan, dimana kemampuan menurunkan keturunan itu hanya sekedar cukup
untuk mengkompensir jumlah kematian. Selanjutnya penduduk itu akan menjadi
stasioner.
Raymond Pearl mengemukakan pendapatnya berdasarkan penyelidikan
dengan lalat, ayam dan beberapa kelompok manusia yang mengusahakan suatu
bidang tanah tertentu, bahwa overpopulation tidak akan mungkin terjadi sebab
perkembangan jumlah manusia akan mengikuti suatu pola tertentu berupa
logistic curva, yang mula-mula melengkung naik sehingga mencapai suatu titik
puncak tertentu untuk kemudian melengkung turun lagi. Terjadinya pola seperti
ini disebabkan terbatasnya ruang yang tersedia.
Faedah dari adanya teori-teori golongan fisiologis ini adalah bahwa
orang-orang tidak lagi berpegang teguh, bahwa kemapuan menurunkan keturunan
merupakan suatu daya yang tetap. Tetapi bukti-bukti daripada teori-teori itu
sukar didapat, jadi hanya merupakan suatu hipotesa belaka (Ritonga,
2003:30-32).
2.3.5 Teori Psiko-Sosial
Tokoh aliran ini adalah Nassau William Senior. Ia mengemukakan bahwa
cita-cita manusia untuk memperbaiki keadaan hidupnya sama kuat dengan
keinginan untuk mempunyai keturunan. Oleh sebab itu, menurutnya tidak
mungkin terjadi keadaan dimana pertambahan penduduk menjadi lebih tinggi dari
banyaknya bahan-bahan kebutuhan yang tersedia. Pertambahan penduduk akan
selalu sejalan dengan perkembangan kemampuan yang memungkinkan
Arsene Dumont pada tahun 1890 memperbaharui pendapat Senior dalam
bukunya Depopulation et civilization. Ia mengatakan bahwa setiap orang
mempunyai keinginan untuk memperbaiki kedudukan ekonomi dan kedudukan
sosialnya sepanjang hal itu dapat dilakukannya yang disebutnya sebagai
kapilaritas sosial. (Ritonga, 2003:31).
2.3.6 Teori Evolusi Sosial
Disamping teori-teori golongan fisiologis dan golongan psycho-sosial
dalam permulaan abad ke-20 masih terdapat teori-teori lain mengenai masalah
penduduk. Prof. Gini yang teori nya disebut orang teori evolusi-sosial meneyebut
proses dari pertumbuhan penduduk bangsa sebagai “peredaran (siklus) bangun
dan runtuhnya penduduk”. Siklus dari pertumbuhan penduduk ini menurut
pendapatnya adalah sama dengan siklus hidup individu. Ada suatu masa
permulaan, dimana orang tumbuh dengan cepat menjadi besar yang kemudian
disusul dengan masa pertumbuhan yang lambat dan menjadi tua, untuk
selanjutnya mengalami keruntuhan.
Tiap bangsa dalam usia mudanya mempunyai struktur masyarakat yang
sederhana dengan angka-angka kesuburan (kelahiran) yang tinggi. Sebagai suatu
konsekuensi daripada ini penduduk bangsa itu akan tumbuh dalam jumlah yang
besar dan sejalan dengan ini, organisasi-organisasi dalam masyarakat pun akan
tumbuh menjadi kompleks seperti terlihat dalam perkembangan kelas-kelas
sosialnya, pertumbuhan industri-industri dan aktivitas ekonominya.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, tekanan hidup akan terasa dan
orang lain. Pada akhir, kemudian akan terjadi pengurangan dalam pertumbuhan
penduduk yang disebabkan oleh kehilangan tenaga-tenaga produksif dalam
peperangan atau perpindahan. Sebab utama dari berkurangnya penduduk itu
bersifat biologi. Gini percaya bahwa faktor yang fundamental dalam berkurangya
penduduk adalah faktor biologi, yang tidak dapat ditandingi oleh faktor-faktor
sosial dan ekonomi. Permulaan pengurangan kelahiran itu akan berlaku pada
kelas-kelas sosial yang tinggi untuk selanjutnya meluas kepada kelas-kelas sosial
yang rendah. Dengan demikian penduduk akan menjadi kecil jumlahnya
(Abdurachim,1973:21).
2.4 Tingkat Pendidikan
Adalah terdiri dari dua bagian, dimana bobot dua pertiganya untuk
kemampuan baca tulis dan bobot sepertiganya adalah untuk masa bersekolah
(Todaro, 2004 :69). Hal ini dapat dirumuskan adalah :
Indeks pendidikan = (indeks kemampuan baca tulis orang dewasa) + (indeks
masa bersekolah bruto)
2.4.1 Angka Melek Huruf
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang
merata adalah dengan melihat tinggi randahnya persentase penduduk yang melek
huruf. Tingkat melek huruf atau sebaliknya tingkat buta huruf dapat dijadikan
ukuran kemajuan suatu bangsa. Adapun kemampuan membaca dan menulis yang
dimiliki akan dapat mendorong penduduk untuk berperan lebih aktif dalam proses
Masa bersekolah bruto dapat melebihi 100 persen hal ini dikarenakan
siswa yang tua dapat kembali bersekolah. Indeks Angka Melek Huruf ini dibatasi
hingga seratus persen (Todaro, 2004 :69). Rumusnya adalah:
Indeks kemampuan baca tulis orang dewasa =
2.4.2 Rata-rata lama sekolah
Rata-rata perkiraan lamanya penduduk untuk menyelesaikan pendidikan
dari yang berusia sekolah dasar, sekolah menegah, dan sekolah tingkat lanjut
terdaftar untuk belajar di sekolah yang satuannya dalam persen (Todaro, 2004
:69).
Adapun rumusnya adalah :
Indeks masa bersekolah bruto =
2.4.3 Kaitan Tingkat Pendidikan terhadap Fertilitas
New household economics berpendapat bahwa bila pendapatan dan
pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang
digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal. Sehingga hal ini
dapat mengurangi angka kelahiran (Mundiharno, 1997 :7).
Serupa dengan teori tradisional perilaku konsumen, penerapan teori
fertilitas di Negara-negara berkembang memberikan pemahaman bahwa
seandainya harga relatif atau biaya anak-anak meningkat akibat dari, misalnya,
meningkatnya kesempatan bagi kaum wanita untuk memperoleh pendidikan dan
pekerjaan, atau adanya undang-undang mengenai batas usia minimum bagi
anak-anak yang hendak bekerja, maka keluarga-keluarga akan menginginkan sedikit
Para orang tua akan tergerak untuk mementingkan kualitas daripada
kuantitas anak, atau memberi kesempatan kepada istri dan ibu untuk bekerja demi
menunjang pemeliharaan anak. Dengan demikian, salah satu cara untuk
mendorong para keluarga agar menginginkan sedikit anak adalah dengan
memperbesar kesempatan di bidang pendidikan dan membuka lapangan-lapangan
pekerjaan berpenghasilan tinggi kepada kaum wanita (Radifan, 2010:30).
Penelitian mengenai kaitan pendidikan dengan wanita dengan kesuburan
di beberapa Negara, sudah maupun kurang berkembang, mengungkapkan bahwa
adanya kaitan yang erat antara tingkat pendidikan dengan fertilitas dalam hal ini
pada tingkat kesuburan. Semakin tinggi pendidikan semakin rendah kesuburan
yang mengakibatkan penurunan pada fertilitas. Di beberapa Negara, meluasnya
kepandaian baca-tulis mengurangi anaknya kira-kira 1,5 atau kira-kira sepertiga.
Ada beberapa penjelasan yang diketengahkan mengenai peran pendidikan
dalam menurunkan besar keluarga. Pendidikan dapat mempengaruhi pandangan
hidup dan tata nilai orang sedemikian rupa sehingga ia tidak begitu saja lagi
menerima tata cara bertingkah laku tradisional orang tuanya atau tokoh orang tua
yang lain. Orang berpendidikan atau pandai baca-tulis lebih terbuka pada
pikiran-pikiran baru dan lebih banyak mempuyai kesempatan untuk bertemu muka dengan
“penyalur perubahan” seperti para perencana bidang kesehatan atau penasehat
program keluarga berencana. Pendidikan yang makan waktu lama kemungkinan
besar akan menyebabkan perkawinan tertunda dan membuka pilihan antara
bekerja dan membesarkan anak. Pendidikan yang lebih tinggi mungkin pula
yang lebih kecil. Semua penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada
kaitan yang sangat erat antara kaitan pendidikan wanita dan besar keluarga
(Brown, 1986:162).
2.5. Konsep Pendapatan
2.5.1. Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang
digunakan secara langsung sebagai ukuran tingkat pemerataan pendapatan.
Adanya peningkatan perekonomian dengan melambatnya perkembangan
pertumbuhan penduduk, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan PDRB
perkapita.
PDRB perkapita diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun disuatu
wilayah atau daerah. Statistik ini dapat digunakan sebagai salah satu indikator
kemakmuran, walaupun ukuran ini belum dapat diperoleh dari hasil bagi antara
PDRB dengan penduduk pertengahan tahun bersangkutan. Jadi besarnya PDRB
perkapita tersebut sangat dipengaruhi oleh kedua variabel di atas. Dengan
disajikannya PDRB perkapita seluruh daerah kabupaten/kota maupun antara satu
tahun dengan tahun berikutnya.
2.5.2. Metode Perhitungan Pendapatan Regional
Metode tahap pertama dapat dibagi dalam dua metode yaitu metode
langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung adalah perhitungan
dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi
langsung dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam cara, yaitu
pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran.
Metode tidak langsung adalah perhitungan dengan mengalokasikan
pendapatan nasional menjadi pendapatan regional memakai berbagai macam
indikator antara lain jumlah produksi, luas areal sebagai alokatornya.
a. Metode langsung :
1. Pendekatan produksi
Pendekatan produksi merupakan cara perhitungan nilai tambah barang dan
jasa yang diproduksi oleh suatu kegiatan ekonomi dengan cara mengurangkan
biaya antara dari total produk bruto sektor atau subsektor di suatu wilayah dalam
suatu periode tertentu, biasanya satu tahun.
Pendekatan ini banyak digunakan untuk memperkirakan nilai tambah dari
sektor produknya berbentuk fisik atau barang seperti :
a. Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan
b. Pertambangan dan penggalian
c. Industri pengolahan
d. Listrik, gas dan air bersih
e. Bangunan
f. Perdagangan, hotel dan restoran
g. Pengangkutan dan komunikasi
h. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
j. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi (output) dan nilai biaya
(intermediate cost), yaitu bahan baku dari luar yang dipakai dalam proses
produksi. Nilai tambah itu sama dengan balas jasa atas ikut sertanya berbagai
faktor produksi dalam proses produksi.
2. Pendekatan pendapatan
Dalam pendekatan pendapatan, jumlah seluruh balas jasa yang diterima
oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu
wilayah dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah,
bunga modal, keuntungan, yang semuanya belum dipotong pajak penghasilan
dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pula
komponen penyusutan dan pajak tidak langsung neto.
3. Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan dari segi pengeluaran adalah jumlah seluruh pengeluaran akhir
yang dilakukan dari suatu barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri. Kalau
dilihat dari segi penggunaan maka total penyedian produksi barang dan jasa yang
digunakan untuk :
a. Konsumsi rumah tangga
b. Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung
c. Konsumsi pemerintah
e. Perubahan stok adalah selisih antara awal tahun dengan akhir tahun dari
bahan yang ada dalam penyimpanan produsen ataupun dalam proses
produksi.
f. Ekspor netto adalah total ekspor dikurang impor. Pendekatan
pengeluaran juga menghitung apa yang diproduksi di wilayah tersebut
tetapi hanya menjadi konsumsi atau pengguna akhir.
b. Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung adalah suatu cara untuk menghitung nilai tambah
suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam
masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai
alokator yang digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat
kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.
Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada hakekatnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena metode langsung akan mendorong peningkatan kualitas data daerah, sedangkan metode tidak langsung akan merupakan koreksi dalam perbandingan bagi data mentah.
2.5.3. Kaitan Pendapatan Perkapita Terhadap Fertilitas
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak
berkurang bila pendapatan meningkat. New household economics berpendapat
bahwa (a) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi
dalam jumlah yang hanya sedikit sehingga “harga beli” meningkat; (b) bila
H. Leibenstein berpendapat bahwa anak dilihat dari 2 segi kegunaannya
(utility) dan biaya (cost). Kegunaannya ialah memberikan kepuasan, dapat
memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi
serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan.
Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai
anak tersebut. Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan berubah.
Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya
naik.
Sedangkan kegunaannya turun sebab walaupun anak masih memberikan
kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Di samping itu orang tua juga
tak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih besar
daripada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan demand terhadap anak menurun
atau dengan kata lain fertilitas turun (Mundiharno, 1997 :5).
Robinson dan Harbinson menggambarkan kerangka analisis ekonomi
terhadap fertilitas. Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait
dengan income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi
dan sebagainya. Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for
children dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao,
demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor seperti biaya
anak, pendapatan keluarga dan selera.
Selain itu, Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan
rendah permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena
permintaan “berlebihan” (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar
orang yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga.
Di pihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah
sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai
“berlebihan” (over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana
(Mundiharno, 1997 :7-8).
Gambar 2.2
Model Analisis Ekonomi tentang Fertilitas: Robinson
Sumber : Mundiharno :7
2.6Konsep Usia Kawin Pertama
Ikatan perkawinan berpengaruh terhadap fertilitas. Ikatan perkawinan ini
dianggap penting terutama karena awal mula dan berlanjutnya ikatan seksual Biaya langsung per
anak Pendapatan keluarga
Biaya tdk langsung & opportunity cost per anak
Selera terhadap anak Potensi
permintaan akan anak
Keterbatasan “supplai”
fisiologis terhadap perubahan Kompetisi cara
penggunaan sumberdaya utk mencapai manfaat yg sebanding
yang stabil merupakan sebagian variabel hubungan seks dalam analisis fertilitas.
Salah satu variabel perkawinan adalah usia kawin, terutama disini adalah
perkawinan usia muda.
Dalam masyarakat orang yang menikah memperoleh status baru, dimana
status ini merupakan status sosial yang dianggap paling penting. Usia kawin yang
dimaksud di sini adalah umur pada waktu memasuki ikatan seksual, atau dengan
istilah perkawinan, usia konsumsi perkawinan dalam arti hubungan kelamin yang
pertama kali dilakukan setelah menikah (www.scribd.com).
2.6.1 Kaitan Usia Kawin Pertama terhadap Fertilitas
Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat seseorang menikah pada usia
yang relatif lebih muda maka masa subur atau reproduksi akan lebih panjang
dilewatkan dalam ikatan perkawinan sehingga mempengaruhi peningkatan
fertilitas. Ikatan perkawinan menggambarkan setiap ikatan seksual yang stabil,
dan meliputi semua tipe ikatan perkawinan dan ikatan konsensual.
Perkawinan memiliki berbagai variabel, yaitu: (1) jenis perkawinan; (2)
usia kawin; (3) hidup selibat; (4) hidup menjanda; dan (5) perceraian dan
perpisahan (McDonald, 1990:79-91). Setiap varibel perkawinan memiliki
pengaruh, baik langsung maupun tidak, terhadap fertilitas.
David dan Blake (1956) dalam tulisannya berjudul The
Social Structure of Fertility: An Analitical Framework, menyatakan bahwa
faktor-faktor sosial mempengaruhi fertilitas melalui variabel antara. Dalam tulisan