• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Jual Beli Rumah Dalam Proses Kredit (Studi Pada PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Jual Beli Rumah Dalam Proses Kredit (Studi Pada PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar)"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM JUAL BELI RUMAH DALAM PROSES KREDIT

(Studi Pada PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SARTIKA M F PURBA

NIM : 080200075

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan

karunia-Nya sehingga skripsi ini telah selesai disusun untuk memenuhi kewajiban penulis

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum.

Dalam Penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, bantuan,

dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

Kedua orangtua Penulis Bapak B.Purba, S.H. dan Ibu R.Siburian yang

telah memberikan kasih sayang, doa dan dukungan kepada saya serta kepada

saudara-saudara penulis Winny Aditya Geovrelina Purba, Reynold Jacky Purba,

Okrina Purba dan Saputra Alexsander Purba yang telah mendukung dan

memotivasi saya dalam penulisan skripsi ini.

Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung,SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh

mahasiswa / i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di

lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,

M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas

(4)

Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak

membantu penulis.

3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I

penulis dan Ketua Departemen Hukum Keperdataan. Terimakasih yang

sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak atas bimbingan Bapak

selama ini dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Rabiatul

Syahriah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan.

4. Ibu Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis

yang telah memberikan banyak bantuan dan arahan untuk membimbing

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Windha, SH.M.Hum selaku Dosen Wali penulis yang telah banyak

memberikan bantuan dan arahan kepada penulis selama perkuliahan di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Asep Sabarudin selaku Sub Branch Head PT Bank Tabungan

Negara Cabang Pematangsiantar yang telah banyak memberikan bantuan

dalam penyusunan skripsi ini.

7. Seluruh pegawai pada PT Bank Tabungan Negara Cabang

Pematangsiantar yang telah membantu penulis pada saat penyusunan

skripsi ini.

8. Seluruh pegawai bagian pendidikan, pegawai perpustakaan yang telah

(5)

9. Teman-teman seperjuangan penulis Chili, Bonita, Monika, Juni, Berlian,

Lusi yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis

serta teman-teman 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

10.Teman-teman SMA penulis yang banyak memberikan masukan dan

motivasi kepada penulis.

11.Teman-teman penulis di ‘UNAM’ ka meita, ka peni, yanti, meli, tika, fitri

yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari semua pihak. Penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat

memberikan sumbangan pikiran bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, 21 Desember 2011

(6)

ABSTRAK

HASIM PURBA1

ROSNIDAR SEMBIRING**

SARTIKA M F PURBA***

1

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Kredit Pemilikan Rumah merupakan salah satu cara yang dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan rumah. Bank Tabungan Negara merupakan salah satu yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan program kredit perumahan dimana masyarakat membeli rumah dengan cara mengangsur. Namun terdapat permasalahan didalamnya, khususnya dalam Kredit Pemilikan Rumah Subsidi yaitu adanya perbuatan masyarakat yang menjual rumah tersebut kepada pihak ketiga secara di bawah tangan. Masyarakat yang tidak begitu mengerti tentang hukum melakukan suatu perbuatan yang ia tidak mengerti apa akibatnya di masa yang akan datang. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana perjanjian kredit pemilikan rumah antara Bank Tabugan Negara Cabang Pematangsiantar dengan debitur, Bagaimana akibat hukum terjadinya jual beli di bawah tangan antara debitur dengan pihak ketiga serta bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga akibat terjadinya jual beli di bawah tangan tersebut.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif empiris yang menggunakan data sekunder yaitu yang menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Alat pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan ( field research ) dan penelitian kepustakaan ( library research ). Studi lapangan penulis lakukan di Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar. Kemudian data-data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis dengan analisis kualitatif.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan pihak ketiga dalam melakukan jual beli rumah di bawah tangan tersebut sangatlah lemah. Oleh sebab itu keinginan untuk membeli rumah yang masih dalam proses kredit hendaknya dihentikan. Pembelian rumah dapat dilakukan dengan melunaskan cicilan rumah tersebut terlebih dahulu kemudian melakukan balik nama atas pihak ketiga sehingga terwujud kepastian hukum.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI ... 14

A. Pengertian Perjanjian Jual Beli... 14

B. Asas-asas dan Syarat Perjanjian Jual Beli ... 16

C. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli ... 24

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli ... 26

E. Bentuk-bentuk Perjanjian Jual Beli ... 29

F. Resiko dalam Perjanjian Jual Beli ... 31

BAB III PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ... 34

A. Pengertian Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ... 34

B. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ... 37

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ... 38

D. Syarat-syarat dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ... 44

(8)

F. Larangan-larangan yang Diatur Dalam Kredit Pemilikan Rumah

... 54

G. Wanprestasi Dalam Kredit Pemilikan Rumah ... 56

BAB IV TINJAUAN HUKUM JUAL BELI RUMAH DALAM PROSES KREDIT ... 59

A. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah antara Debitur dengan pihak Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar Menurut Perundang-undangan ... 59

B. Akibat Hukum Terjadinya Jual Beli di Bawah Tangan Antara Debitur Dengan Pihak Ketiga ... 67

C. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga yang Melakukan Jual Beli di Bawah Tangan dengan Debitur ... 72

BAB V PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(9)

ABSTRAK

HASIM PURBA1

ROSNIDAR SEMBIRING**

SARTIKA M F PURBA***

1

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Kredit Pemilikan Rumah merupakan salah satu cara yang dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan rumah. Bank Tabungan Negara merupakan salah satu yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan program kredit perumahan dimana masyarakat membeli rumah dengan cara mengangsur. Namun terdapat permasalahan didalamnya, khususnya dalam Kredit Pemilikan Rumah Subsidi yaitu adanya perbuatan masyarakat yang menjual rumah tersebut kepada pihak ketiga secara di bawah tangan. Masyarakat yang tidak begitu mengerti tentang hukum melakukan suatu perbuatan yang ia tidak mengerti apa akibatnya di masa yang akan datang. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana perjanjian kredit pemilikan rumah antara Bank Tabugan Negara Cabang Pematangsiantar dengan debitur, Bagaimana akibat hukum terjadinya jual beli di bawah tangan antara debitur dengan pihak ketiga serta bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga akibat terjadinya jual beli di bawah tangan tersebut.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif empiris yang menggunakan data sekunder yaitu yang menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Alat pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan ( field research ) dan penelitian kepustakaan ( library research ). Studi lapangan penulis lakukan di Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar. Kemudian data-data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis dengan analisis kualitatif.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan pihak ketiga dalam melakukan jual beli rumah di bawah tangan tersebut sangatlah lemah. Oleh sebab itu keinginan untuk membeli rumah yang masih dalam proses kredit hendaknya dihentikan. Pembelian rumah dapat dilakukan dengan melunaskan cicilan rumah tersebut terlebih dahulu kemudian melakukan balik nama atas pihak ketiga sehingga terwujud kepastian hukum.

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah merupakan kebutuhan dasar dan

mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi,

masih banyak anggota masyarakat yang belum memiliki rumah khususnya bagi

masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dalam memenuhi kebutuhan terhadap

rumah, masyarakat yang berpenghasilan rendah sangat sulit memiliki rumah

secara tunai. Oleh sebab itu, pemerintah menyediakan suatu program untuk

memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan rumah yaitu dengan

adanya program Kredit Pemilikan Rumah.2

Di Indonesia terdapat dua jenis Kredit Pemilikan Rumah yaitu Kredit

Pemilikan Rumah Subsidi dan Non Subsidi. Kredit Pemilikan Rumah Subsidi

merupakan kredit yang diperuntukan kepada masyarakat berpenghasilan

menengah ke bawah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan atau

perbaikan rumah yang telah dimiliki.3

2

Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hal 94

3

http://www.marketingsakti.com/seputar-kpr/pengertian-kpr.html diakses pada tanggal 13 februari 2012 pukul 11.21

Sedangkan Kredit Pemilikan Rumah Non

Subsidi adalah suatu KPR yang diperuntukan bagi seluruh masyarakat, artinya

Kredit Pemilikan Rumah Non Subsidi adalah kredit bagi seluruh masyarakat

(11)

Meskipun Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi dapat membantu

mengatasi permasalahan kebutuhan perumahan akan tetapi di dalam praktek juga

memiliki permasalahan hukum yang perlu dicermati dan dikaji lebih lanjut, salah

satunya adalah terjadinya peralihan kepemilikan rumah yang masih dalam masa

KPR kepada pihak lain oleh debitur. Pengalihan kredit dapat dilakukan dengan

cara : .4

1. Proses Resmi melalui Bank

Pada proses ini, pihak ketiga dan debitur menghubungi pihak bank untuk

melakukan proses over kredit. Pihak bank akan melakukan analisa

terhadap kemampuan financial dari pihak ketiga untuk meneruskan

angsuran pinjaman tersebut. Analisanya mirip dengan analisa pemberian

kredit pada umumnya. Jadi ada kemungkinan permohonan pihak ketiga

akan ditolak oleh bank apabila hasil analisa bank menunjukkan pihak

ketiga tidak cukup mampu dan kredibel untuk meneruskan angsuran

dimaksud.

Apabila aplikasi pihak ketiga disetujui, bank akan mengenakan biaya over

kredit dan biaya lainnya yang diperlukan, misalnya biaya notaris dan

asuransi. Pihak ketiga kemudian akan bertindak sebagai Debitur baru

menggantikan posisi penjual sebagai Debitur lama. Pihak ketiga kemudian

akan menanda-tangani Perjanjian Kredit baru atas nama dirinya, berikut

akta jual beli dan pengikatan jaminan (SKMHT). Proses ini merupakan

proses yang paling terjamin secara hukum. Namun pada saat ini, Proses

4

(12)

over kredit tidak dibenarkan lagi oleh pihak Bank Tabungan Negara

dengan alasan agar subsidi tepat sasaran. Jadi hal ini berlaku hanya pada

KPR bersubsidi sebaliknya dalam KPR non subsidi hal ini tidak berlaku

atau over kredit masih dapat dilakukan.

2. Proses Melalui Notaris

Pada proses ini, Debitur dan Pihak Ketiga menghubungi notaris dan

menyampaikan maksud Anda untuk melakukan over kredit atas rumah

penjual. debitur dan pihak ketiga diwajibkan menyertakan dokumen

pendukung antara lain :

• Fotokopi Perjanjian Kredit

• Fotokopi Sertifikat yang ada stempel bank-nya

• Fotokopi IMB

• Fotokopi PBB yang sudah dibayar

• Fotokopi bukti pembayaran angsuran

• Asli buku tabungan bernomor rekening untuk pembayaran angsuran

• Data penjual dan pembeli, misalnya KTP, Kartu Keluarga, Buku

nikah dan sebagianya.

Notaris kemudian membuat Akta Pengikatan Jual beli atas pengalihan hak

atas tanah dan bangunan yang dimaksud berikut Surat Kuasa untuk

melunasi sisa angsuran dan kuasa untuk mengambil sertifikat. Kemudian

Debitur membuat Surat Pernyatan/Pemberitahuan bahwa telah terjadi alih

kewajiban dan hak atas kredit dan agunan dimaksud. Surat pernyataan ini

(13)

sertifikat masih atas nama penjual, tapi karena haknya sudah beralih maka

Debitur tidak berhak lagi untuk melunasi sendiri dan mengambil asli

sertifikat yang berkenaan pada bank. Kemudian dilakukan pembuatan

Pengikatan Perjanjian Jual Beli oleh Notaris dan selanjutnya Debitur dan

Pihak Ketiga mendatangi Bank pemberi KPR dan menyerahkan dokumen

yang diperoleh dari Notaris. Pada proses ini transaksi yang terjadi

cenderung aman secara hukum karena dilaksanakan di depan pejabat

Negara yang berwenang yaitu notaris.

3. Proses Dibawah Tangan

Debitur melakukan jual beli rumah dengan pihak ketiga hanya dengan

bukti kuitansi saja. Selanjutnya pihak ketiga mengangsur rumah itu

sebagaimana yang dilakukan oleh debitur sebelumnya atas nama debitur

itu sendiri. Biayanya memang relatif murah karena hanya berupa biaya

materai untuk kuitansi.

Ketiga cara pengalihan kredit diatas dapat dilakukan oleh debitur dalam

melakukan pengalihan rumah KPR Subsidi tersebut. Akan tetapi, pada saat ini

Bank Tabungan Negara telah mengeluarkan suatu kebijakan yaitu debitur tdak

diperbolehkan untuk mengalihkan kredit baik dalam bentuk apapun.5

5

Wawancara dengan Asep Sabarudin, Sub Branch Head PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar pada tanggal 28 November 2011

Hal tersebut

mengakibatkan masyarakat banyak melakukan penjualan rumah KPR secara di

bawah tangan. Penjualan rumah KPR di bawah tangan oleh debitur yang belum

(14)

Subsidi.6

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit

dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak. “

Penjualan rumah KPR Subsidi di bawah tangan oleh debitur tidak

merghapuskan kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya kepada bank.

Program kredit pemilikan rumah ini dilaksanakan oleh Bank. Bank

mempunyai fungsi utama menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan

dana kepada masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,

yang berbunyi :

7

Bank Tabungan Negara adalah salah satu Bank yang ditunjuk untuk

melaksanakan program kredit perumahan. Pemerintah menentukan suatu sistem

penjualan rumah dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah melalui Bank

Tabungan Negara atau yang dikenal dengan Kredit Pemilikan Rumah Bank

Tabungan Negara (KPR-BTN). Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar

adalah salah satu cabang Bank Tabungan Negara yang terdapat dalam wilayah

Sumatera Utara. Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar mempunyai

6

Pasal 14 ayat 5 Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah antara PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar dengan Debitur

7

(15)

visi menjadi Bank terkemuka dalam pembiayaan perumahan.8 Adapun misi dari

Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar adalah sebagai berikut :9

a. Memberikan pelayanan unggul dalam pembiayaan perumahan dan

industri terkait, pembiayaan konsumsi dan usaha kecil menengah.

b. Meningkatkan keunggulan kompetitif melalui inovasi pengembangan

produk, jasa dan jaringan strategis berbasis teknologi terkini.

c. Menyiapkan dan mengembangkan Human Capital yang berkualitas,

profesional dan memiliki integritas tinggi.

d. Melaksanakan manajemen perbankan yang sesuai dengan prinsip

kehati-hatian dan good corporate governance untuk meningkatkan Shareholder

Value

e. Mempedulikan kepentingan masyarakat dan lingkungannya.

Berdasarkan yang terjadi di masyarakat, Bank Tabungan Negara Cabang

Pematangsiantar yang dalam menjalankan program Kredit Pemilikan Rumah

Subsidi sering mendapati bahwa ada debitur yang menjual rumahnya secara di

bawah tangan dengan pihak ketiga artinya bahwa Bank tersebut tidak mengetahui

telah terjadi peralihan rumah yang menjadi agunan KPR tersebut.

Perbuatan hukum pengalihan kepemilikan rumah ini sering kali ditemui

dalam prakteknya tanpa persetujuan atau sepengetahuan pihak Bank, sehingga

banyak akibat hukum yang dapat terjadi karena adanya perbuatan tersebut serta

aspek kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang membeli rumah

8

http://www.btn.co.id/Tentang-Kami/Visi---Misi.aspx diakses pada tanggal 3 januari 2012 pukul 14.00

9

(16)

tersebut perlu mendapat perhatian, mengingat rumah KPR Subsidi tersebut

merupakan suatu obyek jaminan yang sah kepada pihak bank yang menyalurkan

kredit perumahan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji hal

tersebut lebih dalam dengan melakukan penelitian untuk penulisan skripsi dengan

judul “ Tinjauan Hukum Jual Beli Rumah dalam Proses Kredit ( Studi pada PT.

Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar ) “

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan rumusan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Subsidi antara Debitur

dengan pihak Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar

menurut perundang-undangan ?

2. Bagaimana Akibat Hukum terjadinya jual beli di bawah tangan antara

Debitur dengan pihak ketiga ?

3. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi pihak ketiga yang telah

melakukan jual beli di bawah tangan dengan Debitur?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat

(17)

1. Untuk mengetahui Perjanjian Kredit Perumahan antara Debitur dengan

pihak Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar menurut

Peraturan Perundang-undangan.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terjadinya jual beli di bawah tangan

antara Debitur dengan pihak ketiga.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak pembeli dan Bank

BTN Cabang Pematangsiantar sebagai pihak kreditur.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan

dengan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah.

b. Memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan bagi

perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata,

khususnya dalam bidang hukum perbankan dan bidang

perkreditan yaitu Kredit Pemilikan Rumah.

c. Hasil Penelitian ini dapat menambah referensi sebagai bahan

acuan bagi penelitian yang akan datang.

2. Manfaat secara Praktis

a. Memberi jawaban terhadap permasalahan yang diteliti

b. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat pada

(18)

E. Keaslian Penulisan

Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh

penulis dari berbagai sumber, selain dari bacaan, juga berdasarkan hasil

wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Tinjauan

Hukum Jual Beli Rumah dalam Proses Kredit dengan studi pada PT. Bank

Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar belum pernah diteliti sebelumnya dan

ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian penulisan

dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Metode Penelitian

Untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya maka harus didukung dengan fakta-fakta atau dalil-dalil yang

akurat yang diperoleh melalui penelitian. Penelitian pada dasarnya merupakan

suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap

sesuatu objek yang mudah terpegang di tangan.10 Pada dasarnya sesuatu yang

dicari itu tidak lain adalah pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan

yangbenar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk

menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.11

Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha untuk mengumpulkan

informasi dan data-data yang diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan

skripsi ini. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan tersebut haruslah mempunyai

10

Bambang Soenggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 1997, hlm 27.

11

(19)

hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam

penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian non doktrinal, yaitu

penelitian berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai

proses terjadinya dan mengenai bekerjanya hukum dalam

masyarakat.12 Soerjono Soekanto menyebut penelitian ini sebagai

penelitian hukum empiris.13

2. Data dan Sumber data

Pada Umumnya data dibagi dalam dua jenis yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh

peneliti langsung dari masyarakat.14 Data sekunder adalah data yang

terdiri dari :15

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan

yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang.

Dalam tulisan ini, yang digunakan adalah Undang-Undang no 10

tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

tahun 1992 tentang Perbankan dan beberapa peraturan

perundang-undangan yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu berupa

12

Ibid.

13

Ibid. hlm 42

14

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 2009, hlm. 12

15

(20)

bahan yang berhubungan dengan topik penulisan skripsi ini

buku-buku karangan para sarjana, hasil penelitian, maupun situs internet.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Alat Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan

dengan cara :

a. Penelitian lapangan (field research) yakni dengan mengadakan

wawancara kepada staf PT.Bank Tabungan negara Cabang

Pematangsiantar serta mengadakan studi dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan topik skripsi ini.

b. Penelitian Kepustakaan (library research) yakni dengan

mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet

yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah

yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan

menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.16

4. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis

kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara

sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai

16

(21)

kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan

dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pada Bab I, penulis menguraikan tentang hal-hal umum yang

mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang,

permasalahan, manfaat dan tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran umum tentang

perjanjian yang dimulai dengan defenisi perjanjian jual beli, asas dan

syarat perjanjian jual beli, subjek dan objek perjanjian jual beli, Hak dan

kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli, bentuk-bentuk perjanjian

jual beli, dan resiko dalam perjanjian jual beli.

BAB III : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran mengenai

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah yang dimulai dari defenisi perjanjian

kredit pemilikan rumah, subjek dan objek perjanjian kredit pemilikan

rumah, Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan

rumah, syarat-syarat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, prose

pengajuan kredit pemilikan rumah, larangan-larangan yang diatur dalam

perjanjian kredit pemilikan rumah, dan Wanprestasi dalam perjanjian

kredit pemilikan rumah.

BAB IV : Dalam Bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari

(22)

dalam proses kredit yang terdiri atas perjanjian kredit pemilikan rumah

antara debitur dengan pihak bank tabungan negara cabang pematangsiantar

menurut perundang-undangan, perlindungan hukum bagi pihak ketiga

yang melakukan jual beli di bawah tangan dengan debitur, akibat hukum

terjadinya jual beli di bawah tangan antara debitur dengan pihak ketiga.

BAB V : Dalam Bab terakhir ini, penulis memberikan kesimpulan dan

saran-saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang

(23)

BAB II

PERJANJIAN JUAL BELI A. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya

undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian

bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun

Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang

Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak

penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang

bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.

Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual

beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu : 17

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli.

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli

kepada penjual.

Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli adalah Suatu

Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.18

17

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hlm. 181.

18

Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49.

Di dalam

(24)

beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli

berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek

tersebut.19

a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli

Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :

b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga

c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli

Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana

antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda

yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila

kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari

perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual

beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka

mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum

diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.20

Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal

lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual

beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para

pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan

para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap

berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual

19

Ibid.

20

(25)

beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur

naturalia.21

Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan,

namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti

proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya

yaitu :

22

1. Benda Bergerak

Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan

kunci atas benda tersebut.

2. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh

Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya

dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.

3. Benda tidak bergerak

Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan

pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan

Hipotek.

B. Asas-asas dan syarat Perjanjian Jual Beli

Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam

perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara

umum asas perjanjian ada lima yaitu : 23

1. Asas Kebebasan Berkontrak

21

Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 127.

22

Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49.

23

(26)

Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 24

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam

perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi

manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang bagi

perkembangan hukum perjanjian.

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa

salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari

kedua belah pihak.25

24

Ibid, hlm. 9.

25

Ibid, hlm. 10.

Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa

suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan

cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan

merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah

(27)

3. Asas mengikatnya suatu perjanjian

Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia

terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut

mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat

para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

4. Asas iktikad baik (Goede Trouw)

Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu : 26

a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si

A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka

diganti cap semut oleh si B.

b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si

A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan

preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga

sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang

halal atau barang tidak legal.

26

(28)

5. Asas Kepribadian

Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali

untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.

Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas perjanjian, yaitu : 27

1. Kebebasan mengadakan perjanjian 2. Konsensualisme

3. Kepercayaan 4. Kekuatan Mengikat 5. Persamaan Hukum 6. Keseimbangan 7. Kepastian Hukum 8. Moral

9. Kepatutan 10.Kebiasaan

Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli

dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya

perjanjian adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu

kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan

kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam

perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan

kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga

dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama

27

(29)

sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang

diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang

sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak,

yaitu dengan :28

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis

b. Bahasa yang sempurna secara lisan

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan

dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak

lawannya.

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya

kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis . Seseorang yang

melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta

otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta

yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang

membuat akta. Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau

dihadapan pejabat yang berwenang.

Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat

tidak didasarkan atas kemauan bebas / tidak sempurna apabila didasarkan :

a. Kekhilafan (dwaling)

28

(30)

b. Paksaan (geveld)

c. Penipuan (bedrog)

Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan

mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan

hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan

hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum.

Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang

sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai

dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal

1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan

perbuatan hukum adalah :

a. Orang yang belum dewasa

b. Orang yang dibawah pengampuan

c. Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui

Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,

orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak

cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan

atau izin suaminya.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian

(31)

maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek

Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :29

a. memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.

b. berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak,

membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.

c. tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan

suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang

tertentu.

Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat : 30

a. Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau

sedikitnya dapat ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras

kepada B 1 kwintal.

b. Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.

Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.

Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan).

Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak

boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A

menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain.

Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A

dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.

29

Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 69.

30

(32)

c. Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum.

d. Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

4. Suatu sebab yang halal

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak

dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab

yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan

dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat

objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama

dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta

pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak

yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak

bebas.31

31

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982, hlm. 20.

Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi,

maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya

perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para

pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian

(33)

C. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli

Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari

perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan

badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum

dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli,

dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun

secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan

perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini : 32

1. Jual beli Suami istri

Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri

adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi

pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian

kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:33

a. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada

isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan

untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut

hukum.

b. Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya,

juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang

sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah

dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu

dikecualikan dari persatuan.

32

Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 50.

33

(34)

c. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk

melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya

sebagai harta perkawinan.

2. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan

Notaris. Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya

terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu

tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan

untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.

3. Pegawai yang memangku jabatan umum

Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri

terhadap barang yang dilelang.

Objek jual Beli

Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak

dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan

timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk

diperjualbelikan adalah : 34

a. Benda atau barang orang lain

b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat

terlarang

c. Bertentangan dengan ketertiban, dan

d. Kesusilaan yang baik

34

(35)

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak

untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal

499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak

yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan

dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas

suatu barang yang bukan hak milik.

D. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian Jual Beli

Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak

pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.

Sedangkan Kewajiban Penjual adalah sebagai berikut :

1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda

yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh

maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku

untuk masing-masing barang tersebut yaitu :35

• Penyerahan Benda Bergerak

Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh

dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh

35

(36)

atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari

bangunan dalam mana kebendaan itu berada.

• Penyerahan Benda Tidak Bergerak

Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal

616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan

bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik

nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang

lain dilakukan dengan akta notaris.

• Penyerahan Benda Tidak Bertubuh

Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan

penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris

atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur

secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap

piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu,

penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan

penyerahan surat disertai dengan endosemen.

2. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan

menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.

Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on Contract

for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pokok dari

penjual yaitu sebagai berikut :36

36

(37)

1. Menyerahkan barang

2. Menyerahterimakan dokumen

3. Memindahkan Hak Milik

Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara

nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Penjualan barang-barang Internasional (United Nations

Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah diatur

tentang kewajiban antara penjual dan pembeli.37 Pasal 53 sampai 60 United

Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods

mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok pembeli

yaitu:38

a. Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual

b. Membayar harga barang sesuai dengan kontrak

c. Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak

Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan

mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang

mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk

memungkinkan pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat

yang disepakati kedua belah pihak.

Kewajiban Pihak Pembeli adalah :

a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah

(38)

b. Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos

antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak pembeli adalah

merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari Pihak

Penjual adalah merupakan hak bagi pihak Pembeli.

E. Bentuk bentuk Perjanjian Jual Beli

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat

dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila

terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang

menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti

maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya

semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk

adanya perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas

harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :

1. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak

bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli

yang dilakukan secara lisan.

2. Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya

dilakukan dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.

Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk yang

(39)

umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.39

1. Akta Pejabat (acte amtelijke)

Mengenai

Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu :

Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi

wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa

yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak

berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu.

Contohnya Akta Kelahiran.

2. Akta Para Pihak (acte partij)

Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di

hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian namun

tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.40

39

Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm. 10.

40

Ibid, hlm 10

Akta di bawah tangan

mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang

membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat

dipersamakan dengan akta autentik sepanjang para pembuat akta dibawah tangan

mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain

akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan

hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatanganinya

(40)

pelegalisasian oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat

seperti akta autentik.

Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah

karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu

dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik

selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya.41

F. Risiko dalam perjanjian jual beli

Maksudnya adalah bahwa

jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di

bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan

tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta

otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang

menyangkali yang harus membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu.

Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian

sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian kepalsuan.

Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer.

Resicoleer adalah suatu ajaran , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian,

jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda

yang menjadi objek perjanjian. 42

Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang

diperjualbelikan, yaitu apakah :43

41

Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 15.

42

Salim H.S., op.cit., hlm 103

43

(41)

a. Barang telah ditentukan

Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam

pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang

harus dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut. Yang

dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu

perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.44

b. Barang tumpukan

Mengenai barang

seperti itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan

bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli

meskipun barangnya belum diserahkan.

Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak adil dimana

pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia

sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si

pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan

terhadap si pembeli. Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko

yang dapat terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya.

Ketentuan pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan

dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963.

Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut

merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk

membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai

pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.

44

(42)

Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula

dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari

semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. 45

c. Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.

Oleh sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena

barang-barang tersebut telah terpisah

Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur

sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru

dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan

penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Setelah dilakukannya

penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang

terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si

pembeli. Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan

penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada

pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak penjual. Hal ini

diatur dalam pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

45

(43)

BAB III

PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH A. Pengertian Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Sebelum membahas mengenai Pengertian Perjanjian Kredit Pemilikan

Rumah, ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai Pengertian Perjanjian

Kredit. Perjanjian Kredit diartikan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan

antara kreditur dan debitur dalam hal penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan pihak lain (khususnya debitur) untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga kepada

kreditur (sesuai kesepakatan) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.46

Menurut Sentosa Sembiring, di dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun

1998 tentang Perbankan tidak dicantumkan secara tegas tentang dasar hukum

perjanjian kredit.47 Akan tetapi dengan melihat pengertian dari Perjanjian Kredit

tersebut maka dapat dilihat bahwa perjanjian kredit didasarkan kepada Perjanjian

Pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab ke XIII khususnya pasal

1754-1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.48

46

Handri Rahardjo, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm. 6.

47

Ibid.

48

Ibid, hal 7

Dengan demikian pembuatan

suatu Perjanjian Kredit selain dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang

ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga dapat pula berdasarkan

kesepakatan diantara para pihak, artinya dalam hal ketentuan memaksa

(44)

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut (misalnya tentang syarat sahnya

perjanjian), sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan

kepada para pihak.49

Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian baik oleh bank sebagai kreditur

maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi

yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit

tersebut. Menurut CH Gatot Wardoyo, Perjanjian Kredit mempunyai beberapa

fungsi yaitu :50

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian

kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal, atau tidak batalnya

perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan

jaminan.

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak

dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit

Perjanjian Kredit yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Perjanjian Kredit

Pemilikan Rumah antara PT. Bank Tabungan Negara selaku kreditur dengan

Debiturnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 29/KMK.01/1996, tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan

Rakyat-Bank Tabungan Negara (KPR-BTN), Pada Pasal 1 ayat (1), Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 29/KMK.01/1996, menyebutkan

49

R. Subekti, Hukum Perjanjian , Jakarta : Intermesa, 1987, hlm. 13-14.

50

(45)

yang dimaksud, dengan Kredit Pemilikan Rumah – Bank Tabungan Negara

(KPR-BTN) adalah Kredit Pemilikan Rumah yang diberikan oleh Bank Tabungan

Negara untuk membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah rumah,

berikut tanahnya untuk dimiliki dan dihuni sendiri.

Selanjutnya Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 340/KM/.01/2000, tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan

Bank Tabungan Negara (KP-BTN), dalam Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Kredit

Perumahan Bank Tabungan Negara selanjutnya disebut KPR-BTN adalah kredit

yang diberikan oleh PT. Bank Tabungan Negara (persero) untuk membantu

anggota masyarakat, guna membeli sebuah rumah/bangunan berikut tanahnya

untuk dimiliki atau dihuni sendiri, mambangun rumah/bangunan di atas tanah

sendiri, memperbaiki/ meningkatkan nilai tambah sendiri dan kredit lainnya

dengan agunan berupa rumah/bangunan dan atau tanah yang dimiliki pemohon.

Melihat pengertian-pengertian diatas maka penulis mencoba untuk

memberikan pengertian mengenai Kredit Pemilikan Rumah. Kredit Pemilikan

Rumah dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan antara kreditur

dan debitur dalam hal penyediaan dana untuk membantu debitur guna membeli

sebuah rumah berikut tanahnya untuk dimiliki dan dihuni sendiri dengan agunan

berupa rumah / bangunan dan atau tanah yang menjadi objek dalam kesepakatan

tersebut. Di Indonesia, saat ini dikenal ada 2 jenis KPR:51

a. KPR Subsidi, yaitu suatu kredit yang diperuntukan kepada

masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dalam rangka

51

(46)

memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang telah

dimiliki. Bentuk subsidi yang diberikan berupa subsidi

meringankan kredit dan subsidi menambah dana pembangunan

atau perbaikan rumah. Kredit subsidi ini diatur tersendiri oleh

Pemerintah, sehingga tidak setiap masyarakat yang mengajukan

kredit dapat diberikan fasilitas ini. Secara umum batasan yang

ditetapkan oleh Pemerintah dalam memberikan subsidi adalah

penghasilan pemohon dan maksimum kredit yang diberikan.

b. KPR Non Subsidi, yaitu suatu KPR yang diperuntukan bagi

seluruh masyarakat. Ketentuan KPR ditetapkan oleh bank,

sehingga penentuan besarnya kredit maupun suku bunga dilakukan

sesuai kebijakan bank yang bersangkutan.

B. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Subjek atau para pihak dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada

Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar adalah :

1. Bank Tabungan Negara sebagai Kreditur

Kreditur adalah pihak yang berhak atas prestasi yang kemudian lazim

disebut sebagai pemberi pinjaman atau kredit.

2. Konsumen atau Pembeli sebagai Debitur

Debitur adalah pihak yang berkewajiban berprestasi yang kemudian

(47)

Dengan adanya pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

perjanjian kredit pemilikan rumah mencakup dua pihak yaitu pihak yang

memberi dan pihak yang menerima.

Objek dari Perjanjian Kredit pemilikan Rumah dapat dikatakan sebagai

prestasi dari perjanjian tersebut. Prestasi adalah segala sesuatu yang menjadi

hak kreditur dan merupakan kewajiban bagi si debitur. Menurut pasal 1234

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi dapat berupa :

1. Memberi Sesuatu

2. Berbuat Sesuatu

3. Tidak berbuat Sesuatu

Sedangkan segala sesuatu yang dilakukan oleh pihak yang berhutang di masa

yang akan datang dalam rangka untuk melunasi hutangnya merupakan

kotraprestasi. Yang menjadi prestasi atau Objek dari Perjanjian Kredit Pemilikan

Rumah ini adalah berupa utang yang dipinjam oleh debitur kepada kreditur.

C.Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah

Pihak dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah terdiri dari :

1. Bank Tabungan Negara sebagai Kreditur

Hak dari Pihak Bank Tabungan Negara atau kreditur adalah mendapat

pelunasan kredit dari pihak konsumen atau pembeli dengan jaminan

(48)

lainnya sehubungan dengan pembuatan akad kredit tersebut.52

Kewajiban utama dari Bank Tabungan Negara sebagai kreditur

atau Penyedia Dana adalah membayar lunas harga rumah dan tanah

pertapakannya sesuai dengan yang diperjanjikan, kepada pihak penjual

(developer).

Dengan

adanya pembayaran yang dilakukan oleh pihak Bank Tabungan Negara

kepada pihak penjual, maka si pembeli berkewajiban untuk mencicil

kreditnya sebagaimana ditentukan sebelumnyakepada pihak Bank Tabungan

Negara.

53

2. Konsumen atau Debitur

Dalam hal ini Pihak Bank Tabungan Negara sebagai kreditur

atau penyedia dana bertindak sebagai wakil dari pihak pembeli untuk

membayar harga rumah dan tanah tersebut.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa terjadi

hubungan hutang piutang dengan jaminan antara pihak Bank Tabungan

Negara dengan pihak pembeli atau konsumen. Apabila pembeli atau

konsumen tidak dapat melunasi hutangnya maka pihak Bank Tabungan

Negara dapat menyita rumah dan tanah yang telah dijaminkan yang

selanjutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku akan

dilelang untuk menutupi kredit dari nasabah yang bersangkutan.

Kewajiban dari pihak pembeli atau debitur tertuang dalam Perjanjian Kredit

Pemilikan Rumah yaitu sebagai berikut :

52

Wawancara dengan Asep Sabaruddin, Sub Branch Head PT Bank Tabungan Negara Cabang Pematangsiantar pada tanggal 28 November 2011

53

(49)

a. Pasal 6

Debitur wajib membayar provisi seperti yang ditentukan pada pasal 1

huruf f Perjanjian Kredit ini selambat-lambatnya pada saat

penandatanganan perjanjian kredit ini.

b. Pasal 7

Debitur wajib membayar bunga kepada Bank dengan suku bunga

sebagaimana tercantum pada pasal 1 huruf g perjanjian kredit ini.

c. Pasal 8

Debitur wajib melakukan pembayaran kembali kredit secara angsuran

sebesar sebagaimana tercantum pada pasal 1 huruf i perjanjian kredit ini

sampai dengan seluruh utang debitur lunas.

1) Agunan Kredit dan Pengikatannya (Pasal 11)

a) Ayat 1 : Guna menjamin kembali pembayaran kembali

pokok kredit, bunga, denda, dan pembayaran lainnya dalam

rangka pelunasan kredit, DEBITUR menyetujui untuk

menyerahkan barang agunan sebagaimana tercantum pada

pasal 1 huruf n yang terletak sebagaimana sebagaimana

tercantum pada pasal 1 huruf o serta menyerahkan

bukti-bukti kepemilikan agunan yang asli dan sah sebagaimana

tercantum pada pasal 1 huruf p perjanjian kredit ini untuk

diikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

(50)

b) Ayat 2 : Debitur menyetujui dan berkewajiban serta

mengikatkan diri untuk memberikan bantuan sepenuhnya

guna memungkinkan Bank melaksanakan pengikatan

barang agunan kredit menurut cara dan pada saat yang

dianggap baik oleh Bank sampai seluruh jumlah kredit

dilunasi.

c) Ayat 3 : Seluruh biaya yang diperlukan dalam pengikatan

barang agunan termasuk di dalamnya biaya-biaya notaris,

PPAT, Pungutan-pungutan pemerintah seperti bea materai,

bea pendaftaran / pencatatan di Kantor Pertanahan dan lain

sebagainya menjadi tanggungan DEBITUR dan dalam hal

Bank telah membayarkannya terlebih dahulu, seketika

stelah menerima penagihan pertama dari Bank, DEBITUR

harus langsung dan sekaligus lunas membayarkannya

kembali kepada Bank.

d) Ayat 4 : DEBITUR menyetujui dan berkewajiban serta

mengikatkan diri untuk memberikan keterangan-keterangan

secara benar atas pertanyaan-pertanyaan pihak Bank dalam

rangka pengawasan dan pemeriksaaan barang agunan.

2) Agunan Tambahan (Pasal 12)

a) Ayat 1 : Apabila Bank berpendapat bahwa dari segala

sesuatu yang tersebut pada ayat (1) pasal 11 Perjanjian

(51)

kredit, maka debitur menyetujui dan berkewajiban serta

mengikatkan diri untuk atas permintaan pertama dari bank :

1. Membayar kepada Bank sejumlah uang untuk menutupi

kekurangan agunan kredit tersebut.

2. Menambah barang-barang / benda-benda tertentu

lainnya untuk dijadikan agunan tambahan.

3. Menunjuk dan menghadirkan pihak ketiga untuk ikut

menjamin pelunasan DEBITUR (Borgtocht / jaminan

perorangan). Pengikatan agunan perorangan seperti

dimaksud akan dibuat perjanjian tersendiri dan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan

Perjanjian Kredit ini.

b) Ayat 2 : Selama DEBITUR belum melunasi seluruh

utangnya yang timbul dari perjanjian ini, maka Bank

berhak setiap saat yang dianggap layak oleh Bank,

melakukan pemeriksaan dan meminta

keterangan-keterangan setempat yang diperlukan.

3) Asuransi Barang Agunan (Pasal 13)

a) Ayat 1 : Selama jangka waktu kredit atau seluruh utang belum

dilunasi, DEBITUR setuju untuk mengasuransikan barang

agunan seperti yang ditentukan dalam pasal 11 dan pasal 12

Perjanjian Kredit ini dan premi asuransinya menjadi beban

(52)

kepada perusahaan asuransi yang ditentukan dan disetujui serta

untuk nilsi dan jeis risiko kebakaran dan perluasannya (tanah

longsor, gempa bumi, banjir) jika dipandang perlu yang

ditentukan oleh Bank.

b) Ayat 2 : Bank berwenang untuk mendapatkan penutupan

asuransi yang dianggap cukup oleh Bank, oleh dan atas nama

DEBITUR atas setiap dan / atau seluruh harta DEBITUR yang

dijadikan agunan kepada Bank, dengan biaya yang sepenuhnya

menjadi beban debitur.

4) Pasal 14 ayat (4)

Debitur menyetujui dan berkewajiban serta mengikatkan diri untuk:

a) Menempati rumah tersebut secara layak

b) Memelihara dengan baik atas biaya sendiri

c) Memperbaiki atas beban sendiri segala kerusakan yang terjadi

atas rumah tersebut

d) Membayar berbagai kewajiban atas berbagai fasilitas atau jasa

yang diberikan pihak lain seperti antara lain langganan listrik,

langganan air bersih dan sebagainya secara tertib dan teratur

e) Membayar Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak, retribusi

maupun pungutan-pungutan lain dari instansi berwenang yang

lazim dikenakan terhadap pemilik / penghuni rumah secara tepat

(53)

f) Memperpanjang jangka waktu hak atas tanah yang diagunkan

kepada Bank terhitung dua tahun sebelum berakhirnya jangka

waktu hak tersebut.

D. Syarat-syarat Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Syarat-syarat dalam Perjanjian Kredit pemilikan Rumah dibagi dalam dua

jenis yaitu Syarat Umum dan Syarat Khusus.54 Syarat Umum berlaku

terhadap semua calon debitur baik itu pegawai, pengusaha atau

profesional.55

1. Syarat Umum, terdiri dari :

Sedangkan syarat khusus berlaku bagi masing-masing calon

debitur yang berbeda antara pegawai, pengusaha atau profesional.

56

a. Tidak termasuk Daftar Kredit Macet / daftar hitam Bank Indonesia

b. Cakap Hukum dengan usia minimal 21 tahun atau sudah menikah

sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun ada

Bank yang sudah memperbolehkan usia 18 tahun karena definisi

dewasa menurut umur sesuai aturan kenotariatan minimal 18

tahun. Lebih baik menanyakan ketentuan ini kepada bank yang

bersangkutan jika usia belum mencapai 21 tahun dan belum

menikah.

54

Slamet Ristanto, Mudah Meraih Dana KPR, Yogyakarta : Pustaka Grhatama, 2008, hlm. 43.

55

Ibid.

56

(54)

c. Maksimal berusia 55 tahun pada saat Kredit Pemilikan Rumah

tersebut jatuh tempo untuk calon debitur berpenghasilan tetap /

pegawai.

d. Maksimal berusia 60 tahun pada saat Kredit Pemilikan Rumah

tersebut jatuh tempo untuk guru / guru besar / profesor / haki

Referensi

Dokumen terkait

Sangat fleksibel dalam pembuatan koding program, karena sudah menggunakan konsep OOP dimana pemrograman dapat dimulai dari objek yang diinginkan tanpa harus

Hasil yang diperoleh dari perhitungan penulis dengan menggunakan bantuan program SPSS penelitian menunjukan persebaran angket serta pengolahan data-data yang

Tuntunan Praktis Belajar Database Mengguankan MySQL, C.. Pemrograman Web Dinamis menggunakan PHP dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan manajemen waktu menurut Hoffer (2007), seperti pengaturan diri, motivasi dan pencapaian tujuan sesuai dengan aktivitas

Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada ibu yang tinggal di Kelurahan Tiga Balata memiliki sikap tidak baik yaitu tentang ketepatan pemberian MP-ASI, seperti masih banyak ibu

• Perjanjian Kerja sama antara Dirjen Binfar dan Alkes dengan Dinkes Kota Pekalongan nomor HK.05.01/05/1048/2013 nomor 842.2/2761 tentang Pelaksanaan Pembangunan Pusat Ekstrak

Memberi komentar kebaikan atau kelemahan benda atau alat secara objektif dengan bahasa yang komunikatif dari kata.. 3 6.2.Mendiskripsikan

Dengan tahapan kerja yang terdiri atas kegiatan menginput data dari faktor-faktor yang diketahui, menampilkan hasil keluaran/output dalam bentuk tabel listview yang terurut