• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur Penerima Hak Jaminan Resi Gudang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur Penerima Hak Jaminan Resi Gudang"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LEMBAGA

PERBANKAN SEBAGAI KREDITUR PENERIMA HAK

JAMINAN RESI GUDANG

TESIS

Oleh

LARISA MUCHDANI BATUBARA

107005091/HK

FAKULTAS HUKUM

(2)

ABSTRAK

Perbankan umumnya kurang berminat menyalurkan kredit ke sektor agribisnis dengan alasan tingginya resiko kegagalan. Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani membutuhkan sistem pembiayaan yang dapat membantu mereka dari kesulitan permodalan dan keterbatasan jaminan kredit. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah dan DPR-RI pada tanggal 14 Juli 2006 telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan telah di perbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang perubahan UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (UUSRG), yang bertujuan untuk membantu kesulitan petani dalam memenuhi modal kerja dan memberikan perlindungan hukum bagi lembaga perbankan dalam menyalurkan kredit modal kerja melalui jaminan Resi Gudang. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang perkembangan sistem Resi Gudang dalam pemberian kredit oleh perbankan, hambatan yang dihadapi oleh bank sebagai penerima hak jaminan Resi Gudang dan perlindungan hukum bagi bank sebagai penerima hak jaminan Resi Gudang.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan hanya pada peraturan-peraturan yang terkait tentang sistem Resi Gudang dan didukung dengan wawancara kepada responden yaitu kepada Bagian Sistem Resi Gudang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan kepada bagian kredit beberapa bank seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank CIMB Niaga, Rabobank dan Bank Ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan terbatasnya peranan bank dalam memberikan kredit dengan jaminan Resi Gudang terkait dengan perkembangan dan penerapan sistem Resi Gudang di Indonesia. Pelaksanaan sistem Resi Gudang di Indonesia saat ini masih dalam tahap penyempurnaan dan pembangunan infrastruktur serta kelembagaan yang menopang berjalannya Sistem Resi Gudang tersebut. Dalam pelaksanaannya masih ada hambatan yang dihadapi oleh bank sebagai pemegang hak jaminan Resi Gudang, yaitu mengenai fluktuasi harga, kebenaran dan keabsahan komoditi pertanian dan pelaksanaan eksekusi barang jaminan melalui lembaga parate executie. UUSRG dan peraturan pelaksana lainnya telah mengatur sedemikian rupa tentang perlindungan hukum bagi pemegang hak jaminan yaitu dengan melibatkan institusi-institusi atau lembaga-lembaga penunjang pelaksanaan sistem Resi Gudang.

Sebagai saran yaitu perlunya peranan pemerintah dalam sosialisasi sistem Resi Gudang dan manfaatnya bagi pembiayaan modal kerja,melakukan pembangunan yang merata terhadap proyek sistem Resi Gudang, meningkatkan kelembagaan yang menunjang berjalannya sistem Resi Gudang. Bank perlu melakukan mitigasi resiko untuk mengatasi keraguan atas keabsahan perolehan barang, serta perlunya pemahaman yang komprehensif dari penegak hukum terhadap lembaga parate executie sebagai keistimewaan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hak jaminan kebendaan.

(3)

ABSTRACT

Banking are generally less interested in giving credit to the agribusiness sector by reason of the high risk of failure. Indonesia as a country agraris largely of residents are farmers need financing system that can help them from difficulty capital and limited credit guarantee. To solve the problem, on July 14, 2006 the Government and the House of Representatives of Indonesia has passed Undang-Undang No. 9 of 2006 about Warehouse Receipt System, have been emended became Undang-Undang No. 9 of 2011 on amendment of Undang-Undang No. 9 of 2006 about the Warehouse Receipt System (UUSRG), that the objective is to to help hard-pressed farmers in meeting working capital and provide legal protection for banking institutions in channeling credit working capital through the Warehouse Receipt Security. Therefore, carried out research on the development of Warehouse Receipt system in granting credit by banks, obstacles faced by banks as the recipient of the guarantee rights and legal protection for the bank as a guarantee of rights of recipient Warehouse Receipt.

This research is descriptive by approach in a juridical manner normative namely library research or study document conducted only on related regulations of the Warehouse Receipt system and supported with interviews to the respondent that to the Supervisory Agency Warehouse Receipt systems of Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) and to the credit of some banks, such as Bank Rakyat Indonesia (BRI), Lippo Bank, Rabobank and Bank Ekonomi.

The results showed the limited role of banks in providing loans with guarantees related to the development of Warehouse Receipt and the application of the system in the Warehouse Receipt in Indonesia. The Implementation of Warehouse Receipt system in Indonesia recently is still in level of refinement and development of infrastructure and institutional support operation of the Warehouse Receipt. At the Implementation, theres problem faced by banks as Price fluctuations ,collateral rights holders, and the object of security and guarantee execution of goods through parate executie institutions that still have potential problems in the implementation, especially about the validity of the goods and related procedures that guarantee the execution of the goods. UUSRG and other implementers have set rules to such a degree of legal protection for rights holders guarantee that is by involving institutions or institutions supporting the implementation of the Warehouse Receipt system.

The recommendation for this research is the need for government’s role in the socialization of the Warehouse Receipt Security Rights to the public and financial institutions, make equitable development in various areas of Indonesia projects Warehouse Receipt System, enhance institutional support of the Warehouse Receipt system operation. Bank have to mitigate the risk to overcome doubts about the validity of the acquisition of goods, and the need for a comprehensive understanding of the law enforcement agencies as parate executie privilage granted by law to guarantee the rights holder material.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirahim.

Assalamualaikum.Wr.Wb.

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan hidayatnya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur Penerima Hak Jaminan Resi Gudang yang

merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak” artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.

Di dalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikann begitu saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:

1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Komisi Pembimbing Pertama Penulis, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Komisi Pembimbing Kedua penulis dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga Penulis, yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini hingga bisa terselesaikan.

4. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Utari Maharani Barus, SH, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis. Terima kasih atas segala saran dan masukan yang menyempurnakan tesis ini.

5. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas ilmu yang diberikan selama menempuh studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran administrasi yang dibutuhkan.

7. Bapak Yuli Edi, bagian Sistem Resi Gudang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.

Selanjutnya tak lupa pula penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua yang penulis kasihi papa Ir. H. M. Syafii Batubara dan

(6)

yang orang tua penulis curahkan yang tidak terpudarkan masa dan tergantikan zaman. Penulis berdoa semoga Allah Swt senantiasa memberikan perlindungannya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang.

2. Adik penulis M. Rian Ramadhan Batubara, Meidina Sari Batubara dan Anggi Fitriani Batubara semoga senantiasa dalam lindungan Allah Swt dan senantiasa dimudahkan segala cita-citanya.

3. Tri Ade Sulistyo, pria yang dengan sabar dan cintanya menemani penulis. Terima kasih atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan angkatan 2010 pada Program Studi magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Semua Pihak yang tak mampu penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah kata pengantar dari penulis ini. Akhir kata dengan segala kekurangan dan segala keterbatasan penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dari tesis ini. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran dari semua pihak.

Medan, Juli 2012

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 24

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 24

2. Sumber Data ... 25

3. Teknik Pengumpulan Data ... 26

4. Analisis Data ... 27

5. Metode Penarikan Kesimpulan ... 27

(8)

A. Perjanjian Kredit Bank ... 29

1. Pengertian Perjanjian Kredit Bank... 28

2. Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit ... 33

3. Prinsip-prinsip Perjanjian Kredit Bank ... 36

B. Jaminan dalam Pemberian Kredit ... 37

1. Pengertian Jaminan Kredit ... 37

2. Fungsi Jaminan Kredit ... 41

C. Perkembangan Sistem Resi Gudang dalam Pemberian Kredit ... 43

1. Praktek Resi Gudang Sebelum ada UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang .... 43

2. Praktek Resi Gudang Setelah ada UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang ... 46

3. Perkembangan Penerapan Sistem Resi Gudang di Indonesia dalam pemberian kredit ... 51

BAB III HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH BANK (KREDITUR) SEBAGAI PEMEGANG HAK JAMINAN RESI GUDANG ... 57

A. Tinjauan Umum Tentang Sistem Resi Gudang ... 57

1. Pengertian Sistem Resi Gudang dan Resi Gudang.. 57

2. Manfaat Sistem Resi Gudang ... 60

3. Kelembagaan dalam Sistem Resi Gudang ... 62

4. Penerbitan Resi Gudang ... 68

5. Penjaminan Resi Gudang ... 71

(9)

C. Hambatan yang Dihadapi oleh Bank (Kreditur) sebagai

Pemegang Hak Jaminan Resi Gudang ... 80

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR PENERIMA HAK JAMINAN RESI GUDANG ... 89

A. Hak Jaminan Resi Gudang sebagai Jaminan Kredit pada Lembaga Perbankan ... 89

a. Pengertian Hak Jaminan Resi Gudang ... 89

b. Dasar Hukum Hak Jaminan Resi Gudan... 92

c. Objek Hak Jaminan Resi Gudang ... 94

d. Hak dan Kewajiban Pemberi Hak Jaminan Resi Gudang dan Penerima Resi Gudang ... 96

e. Hapusnya Hak Jaminan Resi Gudang... .. 99

B. Prosedur Pembebanan Hak Jaminan Resi Gudang dalam Pemberian kredit berdasarkan UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang ... 101

C. Perlindungan Hukum Terhadap Bank Sebagai Kreditur Penerima Hak Jaminan Resi Gudang ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 118

(10)

ABSTRAK

Perbankan umumnya kurang berminat menyalurkan kredit ke sektor agribisnis dengan alasan tingginya resiko kegagalan. Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani membutuhkan sistem pembiayaan yang dapat membantu mereka dari kesulitan permodalan dan keterbatasan jaminan kredit. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah dan DPR-RI pada tanggal 14 Juli 2006 telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan telah di perbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang perubahan UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (UUSRG), yang bertujuan untuk membantu kesulitan petani dalam memenuhi modal kerja dan memberikan perlindungan hukum bagi lembaga perbankan dalam menyalurkan kredit modal kerja melalui jaminan Resi Gudang. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang perkembangan sistem Resi Gudang dalam pemberian kredit oleh perbankan, hambatan yang dihadapi oleh bank sebagai penerima hak jaminan Resi Gudang dan perlindungan hukum bagi bank sebagai penerima hak jaminan Resi Gudang.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan hanya pada peraturan-peraturan yang terkait tentang sistem Resi Gudang dan didukung dengan wawancara kepada responden yaitu kepada Bagian Sistem Resi Gudang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan kepada bagian kredit beberapa bank seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank CIMB Niaga, Rabobank dan Bank Ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan terbatasnya peranan bank dalam memberikan kredit dengan jaminan Resi Gudang terkait dengan perkembangan dan penerapan sistem Resi Gudang di Indonesia. Pelaksanaan sistem Resi Gudang di Indonesia saat ini masih dalam tahap penyempurnaan dan pembangunan infrastruktur serta kelembagaan yang menopang berjalannya Sistem Resi Gudang tersebut. Dalam pelaksanaannya masih ada hambatan yang dihadapi oleh bank sebagai pemegang hak jaminan Resi Gudang, yaitu mengenai fluktuasi harga, kebenaran dan keabsahan komoditi pertanian dan pelaksanaan eksekusi barang jaminan melalui lembaga parate executie. UUSRG dan peraturan pelaksana lainnya telah mengatur sedemikian rupa tentang perlindungan hukum bagi pemegang hak jaminan yaitu dengan melibatkan institusi-institusi atau lembaga-lembaga penunjang pelaksanaan sistem Resi Gudang.

Sebagai saran yaitu perlunya peranan pemerintah dalam sosialisasi sistem Resi Gudang dan manfaatnya bagi pembiayaan modal kerja,melakukan pembangunan yang merata terhadap proyek sistem Resi Gudang, meningkatkan kelembagaan yang menunjang berjalannya sistem Resi Gudang. Bank perlu melakukan mitigasi resiko untuk mengatasi keraguan atas keabsahan perolehan barang, serta perlunya pemahaman yang komprehensif dari penegak hukum terhadap lembaga parate executie sebagai keistimewaan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang hak jaminan kebendaan.

(11)

ABSTRACT

Banking are generally less interested in giving credit to the agribusiness sector by reason of the high risk of failure. Indonesia as a country agraris largely of residents are farmers need financing system that can help them from difficulty capital and limited credit guarantee. To solve the problem, on July 14, 2006 the Government and the House of Representatives of Indonesia has passed Undang-Undang No. 9 of 2006 about Warehouse Receipt System, have been emended became Undang-Undang No. 9 of 2011 on amendment of Undang-Undang No. 9 of 2006 about the Warehouse Receipt System (UUSRG), that the objective is to to help hard-pressed farmers in meeting working capital and provide legal protection for banking institutions in channeling credit working capital through the Warehouse Receipt Security. Therefore, carried out research on the development of Warehouse Receipt system in granting credit by banks, obstacles faced by banks as the recipient of the guarantee rights and legal protection for the bank as a guarantee of rights of recipient Warehouse Receipt.

This research is descriptive by approach in a juridical manner normative namely library research or study document conducted only on related regulations of the Warehouse Receipt system and supported with interviews to the respondent that to the Supervisory Agency Warehouse Receipt systems of Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) and to the credit of some banks, such as Bank Rakyat Indonesia (BRI), Lippo Bank, Rabobank and Bank Ekonomi.

The results showed the limited role of banks in providing loans with guarantees related to the development of Warehouse Receipt and the application of the system in the Warehouse Receipt in Indonesia. The Implementation of Warehouse Receipt system in Indonesia recently is still in level of refinement and development of infrastructure and institutional support operation of the Warehouse Receipt. At the Implementation, theres problem faced by banks as Price fluctuations ,collateral rights holders, and the object of security and guarantee execution of goods through parate executie institutions that still have potential problems in the implementation, especially about the validity of the goods and related procedures that guarantee the execution of the goods. UUSRG and other implementers have set rules to such a degree of legal protection for rights holders guarantee that is by involving institutions or institutions supporting the implementation of the Warehouse Receipt system.

The recommendation for this research is the need for government’s role in the socialization of the Warehouse Receipt Security Rights to the public and financial institutions, make equitable development in various areas of Indonesia projects Warehouse Receipt System, enhance institutional support of the Warehouse Receipt system operation. Bank have to mitigate the risk to overcome doubts about the validity of the acquisition of goods, and the need for a comprehensive understanding of the law enforcement agencies as parate executie privilage granted by law to guarantee the rights holder material.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keengganan perbankan membiayai sektor agribisnis sudah lama

dirasakan para pelaku usaha agribisnis. Perbankan umumnya kurang berminat menyalurkan kredit ke sektor agribisnis dengan alasan tingginya resiko kegagalan usaha, karena usaha agribisnis sangat bergantung pada faktor alam

yang sulit dikendalikan. Alasan klasik ini tidak relevan lagi pada saat ini, sebab pada masa krisis ekonomi 1997-2002, sektor agribisnis dan usaha

mikro/kecil terbukti mampu bertahan hidup tanpa fasilitas pemerintah.

Persaingan bisnis sangat ketat antar negara dan antar perusahaan pada sekarang ini, sehingga memerlukan kesiapan para pengusaha dalam

perdagangan global. Salah satu cara menghadapinya adalah menerbitkan instrumen baru dalam bidang pembiayaan sehingga harga barang yang

ditawarkan dapat bersaing di pasar global. Sistem pembiayaan perdagangan tersebut harus dapat diakses setiap waktu oleh setiap pelaku usaha, terutama pengusaha kecil dan petani kecil, yang selama ini masih terbentur masalah

kesulitan permodalan dan keterbatasan jaminan kredit.1

Permasalahan umum usaha agribisnis di Indonesia khususnya petani

kecil adalah jatuhnya harga pada saat musim panen raya. Kejadian ini terjadi khususnya pada petani padi,karena cenderung memiliki jadwal tanam yang

1

(13)

seragam sehingga panennya pun bersamaan. Konsekuensinya petani padi tidak bisa menyimpan hasil panen lebih lama karena sudah kehabisan biaya dan

tidak punya gudang penyimpanan yang memadai.

Hukum ekonomi supply-demand sering tidak berlaku dalam perdagangan beras di Indonesia, akibat seringnya harga gabah petani justru

jatuh pada saat stok beras nasional berkurang. Kenyataan ini secara ekonomis sulit dimengerti, sehingga banyak pihak melontarkan tuduhan bahwa

pemerintah belum mampu mengelola perberasan nasional dengan baik. Masyarakat bisa meraba adanya ketidakserasian dalam tata niaga dan distribusi beras di tataran bawah, terutama mekanisme pasar antara petani,

pedagang dan pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem ketahanan pangan kita terbukti masih rapuh dan belum tertata rapi. Terjadinya

fluktuasi harga produk pertanian sering sulit dijelaskan berdasarkan teori ekonomi. Kita boleh saja bicara tentang rendahnya mutu, sulitnya transportasi, luasnya wilayah negeri ini, dan sebagainya, tetapi semuanya tidak

menyelesaikan persoalan untuk mengangkat kesejahteraan, martabat, dan harkat kaum tani. Itulah gambaran sekilas tentang petani miskin dan kemelut

beras di negeri kita.2

Problem jatuhnya harga komoditas agribisnis ini, kemudian coba diatasi oleh pemerintah dan DPR. Sehingga pada tanggal 14 Juli 2006 telah

didirikan Pasar Lelang Komoditas, Kredit Usaha Rakyat, dan Sistem Resi Gudang. Penerapan Sistem Resi Gudang berdasarkan UU No. 9 Tahun 2006

tentang Sistem Resi Gudang, mencoba memberikan solusi atas permasalahan

2

J.A. Noertjahyo, Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani, Cetakan I (

(14)

kesulitan biaya pada masa panen yang umumnya menimpa petani kecil di Indonesia. Dengan adanya Sistem Resi Gudang diharapkan petani tidak

menjual komoditas pertanian dengan harga murah selama musim panen, karena mereka bisa menyimpan hasil panen di gudang terakreditasi yang ditunjuk oleh pemerintah, dan dapat menjadikan dokumen Resi Gudang yang

dimilikinya sebagai jaminan kredit di Bank. Jika harga barang di pasaran telah membaik, maka petani dapat menjual hasil panen dan melunasi kredit di bank

dan mendapat keuntungan dari sisa hasil penjualan barangnya.

Resi Gudang merupakan dokumen yang membuktikan bahwa suatu komoditas, misalnya gabah, dengan jumlah dan kualitas tertentu telah

disimpan pada suatu gudang (warehouse), dan dokumen tersebut dapat ditransaksikan karena mirip dengan surat berharga. Dengan Resi Gudang,

petani dapat mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan

(perbankan/nonperbankan) yang sudah terikat kerja sama (kontrak) untuk memenuhi kebutuhan uang tunai.3

Kehadiran lembaga jaminan alternatif dan baru yaitu Hak Jaminan atas Resi Gudang sebagai bagian dari Sistem Resi Gudang lewat

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan telah diperbaharui pada bulan Juli 2011 menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang

Sistem Resi Gudang (selanjutnya disebut dengan UUSRG), menjadi satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mengatasi faktor keterbatasan akan

modal.

3

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, “Resi Gudang: Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian” Vol 29 No 4, Tahun 2009, diakses dari

(15)

Resi Gudang dapat diperjualbelikan melalui bursa (misalnya di Bursa Berjangka Jakarta) dan/atau di luar bursa (misalnya di Pasar Lelang

Komoditas). Sistem Resi Gudang adalah hasil perkembangan lebih lanjut dari sistem Jaminan Fidusia terutama yang berkaitan dengan objek jaminan barang bergerak berupa stok hasil pertanian/perkebunan/perikanan.

Kekhasan bentuk jaminan ini dilihat dari objeknya yang dekat dengan sektor agribisnis dan pengalaman kesuksesan yang terjadi di banyak Negara

menjadikan Hak Jaminan atas Resi Gudang sebagai bagian dari Sistem Resi Gudang yang dapat menjadi faktor katalisator penguatan sektor agribisnis di Indonesia.

Pembiayaan usaha agribisnis melalui Sistem Resi Gudang dapat diperoleh dari lembaga perbankan, lembaga keuangan nonbank, serta dari para

investor yang berminat membeli produk Derivativ Resi Gudang lewat bursa atau di luar bursa.

Fleksibilitas Resi Gudang sebagai instrumen perdagangan dan

instrumen pembiayaan telah diatur secara jelas dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUSRG yang menyatakan bahwa “Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan

jaminan utang, atau digunakan sebagai dokumen penyerahan barang”. Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan juga dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya. Menurut pasal 11

UUSRG , “pengalihan Resi Gudang dapat terjadi karena pewarisan, hibah, jual-beli, dan/atau sebab-sebab lain yang dibenarkan undang-undang,

(16)

Maksud pembentukan UUSRG adalah menciptakan sistem pembiayaan perdagangan yang diperlukan oleh dunia usaha, terutama usaha

kecil dan menengah termasuk petani. Pada umumnya mereka menghadapi masalah pembiayaan karena keterbatasan akses ke perbankan dan tidak adanya jaminan kredit benda tak bergerak seperti tanah dan bangunan. Selain itu juga

adanya birokrasi dan administrasi yang berbelit-belit, kurangnya pengalaman bank dalam melayani wilayah pedesaan, tingginya biaya pinjaman dari sektor

informal, tingginya tingkat resiko yang berhubungan dengan pengusaha atau produsen kecil, dan ketergantungan sektor formal terhadap pemerintah.4

Jenis-jenis barang yang dapat disimpan di gudang dalam rangka

Sistem Resi Gudang untuk pertama kalinya sesuai Pasal 4 Permendag No. 26 Tahun 2007 adalah gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput

laut

Ketentuan Permendag No. 26 Tahun 2007 tentang jenis-jenis barang yang dapat ditetapkan dalam Sistem Resi Gudang sebagaimana diatas, masih

mungkin untuk ditambah dengan jenis barang baru. Penambahan jenis barang baru masih dimungkinkan berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permendag No. 26

Tahun 2007 yang menyatakan “Penetapan selanjutnya tentang barang dalam rangka Sistem Resi Gudang dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah, instansi terkait, atau asosiasi komoditas,

dengan tetap memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3”. Peluang penambahan jenis barang ini harusnya dapat merangsang

pertumbuhan dan perkembangan Sistem Resi Gudang di masa depan.

4

(17)

Sehubungan dengan fungsi Resi Gudang sebagai collateral, Ramlan Ginting mengatakan :

Resi Gudang (warehouse receipt) dapat digunakan sebagai dokumen yang berfungsi sebagai collateral untuk mendapatkan pembiayaan modal kerja dari perbankan (financing bank) yang besarnya tergantung pada penilaian financing bank atas warehouse receipt tersebut. Kepercayaan financing bank terhadap warehouse receipt sudah pasti sangat ditentukan oleh reputasi warehouse receipt yang menerbitkannya. Dalam upaya mengoptimalkan kepercayaan financing bank terhadap warehouse receipt adalah sangat wajar jika warehouse receipt tersebut mendapatkan penjaminan dari lembaga penjamin yang selain perusahaan asuransi dan surety company dapat juga dilakukan oleh perbankan dengan menerbitkan jaminan bank. Jaminan bank ini dapat berupa Standby Letter of Credit yang tunduk pada ketentuan International Standby Practices 1998 (ISP98) atau Demand Guarantee yang tunduk pada ketentuan Uniform Rules of Demand Guarantee (URDG) atau Bank Garansi yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.5

Penyaluran kredit perbankan dengan agunan Resi Gudang harus tetap

dilakukan dengan hati-hati agar pihak bank tidak terjerumus dalam permasalahan kredit macet. Pihak bank sebelum menyalurkan menyalurkan

kredit harus benar-benar memeriksa kebenaran formil dan materiil dari data-data yang tercantum dalam dokumen Resi Gudang. Petugas bank juga wajib melihat langsung kebenaran mutu dan jumlah barang yang ada di gudang serta

berhati-hati dalam menaksir harga barang pada saat ini dan pada saat jatuh tempo kredit. Kredit dengan jaminan Resi Gudang yang diberikan kepada

debitur tidak boleh lebih dari 70% dari nilai pasar harga komoditi yang berlaku pada saat itu. Kebijakan tersebut ditempuh untuk menghindari kerugian bank.6

5

Ramlan Ginting, “Keterkaitan Perbankan Dalam Transaksi Warehouse Receipt”,

Makalah Seminar Nasional Resi Gudang 15 November 2005, Buletin Hukum Perbankan &

Kebanksentralan Volume 3 Nomor 3 Desember 2005, diakses dari

2011 6

(18)

Kredit bank yang cocok dengan jaminan Resi Gudang yaitu kredit modal kerja berjangka pendek, yaitu jenis kredit modal kerja berjangka

maksimal satu tahun, dan sebaiknya berbentuk kredit rekening koran yang dapat diambil dan/atau dikembalikan sewaktu-waktu oleh debitur.

Penggunaan Resi Gudang sebagai agunan kredit perbankan ,

disamping telah diatur dalam UUSRG, juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No.

7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Umum yang berlaku mulai tanggal 2 April 2007. Dalam ringkasan PBI 9/2007 disebutkan bahwa penambahan jenis agunan dapat menjadi faktor pengurang PPA (Penyisihan Penghapusan

Aktiva). Mesin yang merupakan kesatuan dengan tanah diikat dengan Hak Tanggungan, sedangkan Resi Gudang diikat dengan Hak Jaminan Atas Resi

Gudang.

Dengan adanya PBI 9/2007 petani dapat menjadikan Resi Gudang sebagai agunan kredit baru selain tanah, rumah,dan aset lainnya. Dengan

membawa dokumen Resi Gudang yang dimilikinya, petani dapat mengajukan permohonan kredit modal kerja kepada lembaga perbankan.

Agunan Resi Gudang ini jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan agunan lain, sebab agunan Resi Gudang (misalnya gabah,beras,jagung) bisa langsung dijual dalam waktu singkat,sedangkan agunan berupa rumah/tanah

butuh proses lama untuk menjualnya. Keunggulan lainnya yaitu adanya aturan hukum yang lebih tegas tentang penjualan agunan macet atas kekuasaan

kreditur (penerima hak jaminan) tanpa melalui penetapan pengadilan.

(19)

di tegaskan perlindungan hukum yang jelas. Barang hasil panen petani kecil selama ini tidak dapat dijadikan agunan kredit karena belum ada aturan hukum

yang mengaturnya. Namun permasalahan tersebut mulai ada jalan keluarnya sejak diterbitkannya UUSRG beserta peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Sistem Resi Gudang,

Permendag No. 26 Tahun 2007 tentang Jenis Komoditi Pertanian sebagai Barang yang Dapat Disimpan di Gudang dalam Penyelenggaraan Sistem Resi

Gudang dan berbagai Peraturan Kepala Bappebti. Disamping itu, Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 (PBI 9 Tahun 2007) tentang Perubahan Kedua atas

Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang antara lain mengatur penggunaan Resi Gudang sebagai

salah satu agunan kredit perbankan. Dan ini dapat dijadikan suatu pegangan bagi lembaga perbankan untuk menjadi kreditur dalam menerima Hak Jaminan Resi Gudang.

Dengan latar belakang diatas, maka penulis akan membuat penelitian ini sebagai tesis, dan membatasi ruang lingkup penelitian yaitu mengenai

“Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur Penerima Hak Jaminan Resi Gudang.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

(20)

2. Apa saja hambatan yang dihadapi oleh Bank (kreditur) sebagai pemegang Hak Jaminan Resi Gudang?

3. Bagaimana perlindungan hukum bagi Bank sebagai kreditur penerima Hak Jaminan Resi Gudang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai di dalam penelitian

ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan Sistem Resi Gudang dalam pemberian kredit dengan Jaminan Resi Gudang oleh perbankan di Indonesia.

2. Untuk mengidentifikasikan dan menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Bank (kreditur) sebagai pemegang Hak Jaminan Resi Gudang.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi Bank sebagai kreditur penerima Hak Jaminan Resi Gudang.

D. Manfaat Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi banyak pihak, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Manfaat teoritis

(21)

saran dalam ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum jaminan, khususnya mengenai perjanjian kredit dengan Hak Jaminan Resi Gudang.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan atau referensi bagi lembaga-lembaga perbankan sebagai penerima Hak Jaminan Resi

Gudang dalam memberi kredit, memberikan saran dan pengetahuan kepada nasabah khususnya yaitu para petani sebagai pemilik Jaminan Resi

Gudang serta memberikan masukan kepada pemerintah dalam menciptakan dan menyempurnakan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan Hak Jaminan Resi Gudang sebagai salah satu bentuk lembaga

jaminan baru dalam perkembangan hukum jaminan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan masalah Hak Jaminan. Penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Sebagai Kreditur

Penerima Hak Jaminan Resi Gudang”, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun judul-judul penelitian terdahulu yang membahas tentang Hak Jaminan antara lain :

1. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Jaminan Fidusia dalam Hukum Kepailitan, diteliti oleh saudara Julifer Lolo

Ukor Ujung, Nim : 057005010, Magister Ilmu Hukum

(22)

Pemberian Kredit Perbankan Menurut UU No. 42 Tahun 1999, diteliti oleh Saudari Sri Hidayani, Nim : 057005042, Magister Ilmu Hukum

3. Analisis Yuridis Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Gadai pada Perum Pegadaian Medan, diteliti oleh Saudari Khairuna Fitria Matondang, Nim: 077005048, Magister Ilmu Hukum

Dari beberapa judul-judul penelitian diatas, maka dapat diketahui bahwa belum ada yang membahas secara khusus tentang perlindungan hukum

terhadap penerima Hak Jaminan Resi Gudang. Dengan demikian penelitian ini baru pertama kali dan asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis bertanggungjawab sepenuhnya apabila dikemudian hari dapat

dibuktikan bahwa terdapat unsur plagiat dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.7

Teori adalah merupakan suatu prinsip satu ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus

Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah: Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori

tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak

7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia,

(23)

bebas atau merupakan salah satu penyebab.8

Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berpikir untuk

menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. Terutama tentang masalah perlindungan hukum terhadap lembaga perbankan sebagai kreditur penerima Hak Jaminan Resi Gudang.

Dalam pembahasan pada tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan teori perlindungan hukum dan hukum perikatan atau

perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari pemberian kredit oleh pihak bank yang menerima Hak Jaminan Resi Gudang.

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari

teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran

hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral

adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-undangan. Keseriusan umat

manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum

alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat ebenaran dan keadilan

8

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)

(24)

merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada abad

ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang berisfat universal yang bisa disebut HAM.9

Berbicara mengenai hak asasi manusia atau HAM menurut UU No.

39 Tahun 1999 tentang HAM, HAM adalah: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.

Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori perlindungan hukum

Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat

dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.10 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,

sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.11

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain

9

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004) hal.116

10

Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000)hal 53 11

(25)

dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12

Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu :

a.Perlindungan hukum yang preventif

Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.

b. Perlindungan hukum yang represif

Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu:

1) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum

Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

2) Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. 3) Badan-badan khusus

Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara.13

12

Ibid, hal 54

13

(26)

Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak

dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat

diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga

yang bersangkutan merasa aman.

Dalam perjanjian jaminan Resi Gudang terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu penerima hak jaminan Resi Gudang sebagai pihak yang

membiayai atau memberikan kredit (Kreditur) dan pihak pemberi Jaminan Resi Gudang sebagai pihak yang menerima kredit (Debitur). Perjanjian

pembiayaan/kredit sangatlah membutuhkan adanya suatu perlindungan hukum, baik bagi si kreditur maupun debitur. Bagi kreditur, salah satunya adalah adanya jaminan, yang dapat dibuat dengan perjanjian jaminan Resi

Gudang.

Salim HS mengartikan hukum jaminan sebagai berikut :

“Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit”. 14

Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum jaminan,

yaitu :

14

(27)

a. Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan,

hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;

b. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;

c. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian;

d. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada penerima gadai;

e. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.15

Kreditur sebagai penerima Hak Jaminan Resi Gudang, oleh undang-undang dan peraturan perundang-undang-undang-undangan yang mengaturnya, diberi

kedudukan sebagai kreditur dengan Hak Preferen. Hal tersebut dijamin dalam Pasal 16 ayat (1) UUSRG yang menyebutkan bahwa: “ Apabila pemberi Hak

Jaminan cedera janji, penerima Hak Jaminan mempunyai hak untuk menjual obyek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui lelang umum atau penjualan langsung”.

Perlindungan hukum terhadap penerima jaminan Resi Gudang juga dapat dilihat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 16 ayat (2) PP No. 36

Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Resi Gudang, yang

15

(28)

menjamin kedudukan untuk diutamakan bagi penerima Hak Jaminan terhadap kreditur lain. Hak Preferen ini juga ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) PP No.

36 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal pemberi Hak Jaminan cidera janji terhadap kewajibannya kepada Penerima Hak Jaminan, maka penerima Hak Jaminan mempunyai hak untuk melakukan penjualan obyek Hak Jaminan atas kekuasaan sendiri tanpa memerlukan penetapan pengadilan setelah memberitahukan secara tertulis mengenai hal itu kepada Pemberi Hak Jaminan.”

Diketahui bahwa kaedah hukum yang mengatur tentang kesepakatan

dalam mengadakan perjanjian untuk pemberian kredit dengan jaminan Resi Gudang, adalah merupakan nilai hukum yang terdapat dalam peraturan konkrit pada pasal-pasal perjanjian, baik yang tercantum dalam KUH Perdata maupun

dalam peraturan-peraturan hukum lainnya.

Kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini adalah merupakan hak

individu, dimana perjanjian diantara para pihak adalah merupakan undang-undang yang mengikat diantara para pihak tersebut. Kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata

yang menyebutkan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas perjanjian

sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

(29)

yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan untuk:

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan

persyaratannya;

4) Menentukan objek perjanjian;

5) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)

Asas ini dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian.

d. Asas Itikad Baik (Togoe dentrow)

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” . Itikad baik ada 2 (dua), yaitu : 1) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan

kesusilaan

2) Bersifat subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang.16 Apabila berbicara mengenai perjanjian jaminan Resi Gudang, tidak

terlepas dari perjanjian pokoknya, yang dalam hal ini adalah perjanjian pembiayaan. Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam

Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan

mana saja yang dapat dikesampingkan dan yang tidak dapat dikesampingkan.

16

(30)

Namun demikian, yang dapat dikesampingkan adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus misalnya pengalihan barang dalam jual-beli atau

eksekusi terlebih dahulu harga penjamin daripada harta si berhutang. Sedangkan aturan umum yang tidak dapat dikesampingkan misalnya syarat sahnya perjanjian dan syarat pembatalan perjanjian.

Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung azas kebebasan berkontrak, maksudnya

setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat

sahnya perjanjian sebagaimana termuat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Suatu perjanjian pada dasarnya harus memuat beberapa unsur

perjanjian yaitu :

1) Unsur essensialia, sebagai unsur pokok wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan di dalam suatu perjanjian;

2) Unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian;

3) Unsur accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian.17

Pemahaman dari perjanjian pada umumnya yang diuraikan diatas, bahwa materi perjanjian pada umumnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memahami dan menyusun mengenai perjanjian pembiayaan/kredit. Perjanjian

pembiayaan/kredit tidak secara khusus diatur dalam KUH Perdata tetapi termasuk dalam perjanjian bernama di luar KUH Perdata.

17

(31)

Menurut UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan menjelaskan “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Perjanjian pembiayaan/kredit dilandaskan oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XII Buku III karena perjanjian kredit mirip dengan

perjanjian pinjam uang. Menurut KUH Perdata pasal 1754 yang berbunyi : pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang

habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.18

Perjanjian Hak Jaminan Resi Gudang merupakan perjanjian yang bersifat ikutan (accessoir) dari suatu perjanjian utang-piutang yang menjadi perjanjian pokok. Di samping itu, setiap Resi Gudang yang diterbitkan hanya

dapat dibebani satu jaminan utang.19 Penerima hak jaminan Resi Gudang harus memberitahukan perjanjian pengikatan Resi Gudang sebagai hak

jaminan kepada Pusat Registrasi dan Pengelola Gudang.20

Pembebanan hak jaminan terhadap Resi Gudang harus dibuat dengan Akta Perjanjian Hak Jaminan di hadapan notaris. Ketentuan ini dimaksudkan

untuk lebih melindungi dan memberikan kekuatan hukum bagi para pihak dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna dalam penyelesaian setiap

18

Sutanto, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank (Jakarta: Alvabetha, 2005) hal. 96

19

Pasal 12 ayat 1 dan 2 UUSRG 20

(32)

perselisihan yang muncul dikemudian hari.21

Hak jaminan yang dimiliki oleh penerima hak jaminan dapat

dinyatakan hapus karena hapusnya utang pokok yang dijamin dengan hak jaminan, dan pelepasan hak jaminan oleh penerima hak jaminan.

22

Penjelasan diatas memberikan pemahaman, kalau interaksi atau

hubungan yang dilakukan oleh orang yang satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan masyrakat akan menimbulkan hubungan hukum yang menciptakan hak dan kewajiban di antara satu dengan atau terhadap lainnya.

Perjanjian jaminan Resi Gudang hanya merupakan perjanjian yang bersifat ikutan

(accessoir), sehingga apabila perjanjian pokoknya (perjanjian utang-piutangnya) sudah tidak berlaku lagi karena telah ada pelunasan utang oleh

debitur, maka kreditur (penerima hak jaminan) tidak berhak lagi atas hak jaminan Resi Gudang. Berakhirnya perjanjian pokok secara otomatis akan berakibat berakhirnya status hukum dari perjanjian jaminan Resi Gudang

sebagai perjanjian ikutan (accessoir).

23

Hak dan

kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga orang atau anggota masyarakat merasa aman

kepentingannya. Demikian juga halnya dalam perjanjian dengan hak jaminan Resi Gudang yang dilakukan oleh lembaga perbankan dalam memberikan kredit. Perlindungan hukum terhadap lembaga perbankan harus ditegaskan

secara jelas, agar perbankan dapat menerima hak jaminan Resi Gudang ini.

21

Pasal 14 ayat 1 UUSRG 22

Pasal 15 UUSRG

23

(33)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena

konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan

realistis.24

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari

penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional. Adapun definisi operasional yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (Pasal 1

angka 1 UUSRG).

b. Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang (Pasal 1

angka 2 UUSRG).

c. Hak jaminan atas Resi Gudang, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan,

adalah hak jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain (Pasal 1 angka 9 UUSRG).

d. Pemegang Resi Gudang adalah pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan

lebih lanjut (Pasal 1 angka 7 UUSRG).

24

Munir Fuadi, Hukum Perkreditan Kontemporer (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995)

(34)

e. Penerima hak jaminan adalah pihak yang memegang atau berhak atas Hak Jaminan atas Resi Gudang sesuai dengan Akta Pembebanan Hak Jaminan

(Pasal 1 angka 15 UUSRG).

f. Resi Gudang produk pertanian dapat diartikan sebagai suatu dokumen bukti kepemilikan hasil produk pertanian yang disimpan di suatu gudang

yang diterbitkan oleh pengelola gudang.

g. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga ( Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan).

h. Perlindungan hukum bagi kreditur dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa kreditur akan mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya atau suatu pemberian jaminan atau

kepastian bahwa kreditur akan terlindungi kepentingannya sehingga kreditur merasa aman sebagai pemberi kredit.

i. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.25

j. Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank

atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.26

25

Bandingkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

h26Bandingkan dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

(35)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, karena ingin menggambarkan kajian

hukum terhadap perlindungan lembaga perbankan sebagai kreditur penerima hak jaminan resi gudang.

Metode pendekatan penelitian dilakukan melalui yuridis-normatif, untuk mengetahui efektifitas perlindungan hukum terhadap lembaga

perbankan sebagai kreditur, terutama yang berkaitan dengan pemberian kredit dengan jaminan Resi Gudang. Pendekatan yuridis-normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara

melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa tiga sumber bahan

hukum, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang ada hubungannya dengan Hak Jaminan Resi Gudang, antara lain : Undang-Undang No. 9 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang-Undang-Undang No. 9

Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Resi Gudang,

(36)

gudang dalam penyelenggaraan sistem Resi Gudang dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/6/PBI/2007 Tentang Perubahan Kedua atas

Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, serta peraturan-peraturan hukum lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang berkaitan dengan atau yang mendukung bahan hukum primer, yang terdiri dari:

(1) Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan Jaminan Hak Resi Gudang, dan Jaminan Kredit Perbankan

(2) Kepustakaan, berupa buku, majalah, surat kabar, media massa serta

bahan-bahan dan hasil seminar tentang Jaminan Kredit Perbankan dan Hak Jaminan Resi Gudang

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,

ensiklopedi dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Studi Pustaka (Library Research)

Yaitu dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis buku-buku/literatur, laporan penelitian, dokumen-dokumen

(37)

b. Wawancara

Yaitu dengan melakukan wawancara dengan menggunakan daftar

pertanyaan sebagai pedoman wawancara kepada para informan, yaitu: 1) Bagian Sistem Resi Gudang, Badan Pengawas Perdagangan

Berjangka Komoditi (Bappebti)

2) Bagian Kredit Bank Rakyat Indonesia (BRI) 3) Bagian Kredit CIMB Niaga

4) Bagian Kredit Analis Rabobank 5) Bagian Kredit Bank Ekonomi

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data

kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.27

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder mengenai perkembangan Sistem Resi Gudang dalam pemberian Kredit di Indonesia dan

bagaimana perlindungan hukumnya bagi lembaga Perbankan sebagai Kreditur penerima Hak Jaminan Resi Gudang, yang dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan kemudian dievaluasi

sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.

27

Lexy J Moeleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,

(38)

5. Metode Penarikan Kesimpulan

Setelah data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan

analisis kualitatif, kemudian ditarik kesimpulan dengan cara berfikir yang menggunakan metode deduktif. Pada prosedur deduktif, bertolak dari satu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui yaitu berupa peraturan

(39)

BAB II

PERKEMBANGAN PENGATURAN JAMINAN RESI GUDANG DALAM

PEMBERIAN KREDIT

A. Perjanjian Kredit Bank

1. Pengertian Perjanjian Kredit Bank

Istilah kredit menurut Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 Tahun 1998

tentang Perbankan yaitu sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Sebenarnya istilah perjanjian kredit tidak dikenal di dalam UU

Perbankan. Namun bila dilihat lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam UU Perbankan, tercantum kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit adalah

hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang berbentuk pinjam-meminjam.

Perjanjian kredit mengacu kepada KUH Perdata yang merupakan

salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III KUH Perdata. Pada hakikatnya pemberian kredit merupakan salah satu

(40)

”Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Perjanjian pinjam-meminjam ini mengandung makna yang luas yaitu obyeknya adalah benda yang menghabis jika pinjam pakai habis (verbruiklening) termasuk didalamnya uang. Perjanjian pinjam uang bersifat riil, tersimpul dari kalimat ”pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain” dan bukan mengikatkan diri untuk menyerahkan uang. Dari uraian diatas dapat dibedakan 2 kelompok perjanjian kredit:

a. perjanjian kredit uang;

b. perjanjian kredit barang, misalnya perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa guna usaha;28

Perjanjian Kredit merupakan perikatan antara dua pihak atau lebih yang menggunakan uang sebagai obyek dari perjanjian, jadi dalam perjanjian

kredit ini titik beratnya adalah pemenuhan prestasi antara pihak yang menggunakan uang sebagai obyek atau sesuatu yang dipersamakan dengan

uang.

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagaimana perjanjian perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah

assessor-nya. Ada atau berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh

penyerahan uang oleh bank kepada nasabah kreditur.29

Kredit yang diberikan oleh bank sebagai kreditur kepada nasabahnya sebagai kreditur selalu dilakukan dengan membuat suatu perjanjian. Mengenai

bentuk perjanjiaan ini tidak ada bentuk yang pasti karena tidak ada peraturan yang mengaturnya, tetapi yang jelas perjanjian kredit selalu dibuat dalam

28

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994) hal 111 29

(41)

bentuk tertulis dan mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Mengenai bentuk perjanjian kredit di dalam Undang-undang tidak diatur secara jelas termasuk pula dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998

tentang Perbankan tidak mengatur juga masalah perjajian kredit, akan tetapi berdasarkan Intruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3

Oktober 1966, Jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unii I nomor 2/539/UPK/pemberian kredit antara perbankan dengan nasabahnya harus berdasarkan pada suatu akad perjanjian kredit.

Ketentuan ini pun tidak mengatur apakah perjanjian kredit itu harus dibuat dengan surat dibawah tangan, akta notaris atau dibuat perjanjian baku

yang biasanya telah disiapkan oleh kreditur atau bank.30

Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian yang diadakan antara Bank dengan calon kreditur untuk mendapatkan kredit dari bank.

Perjanjian Kredit ini mempunyai arti yang sangat penting bagi para pihak, sebab perjanjian kredit merupakan landasan hukum dalam pemberian kredit bagi para pihak dan juga

perjanjian kredit merupakan suatu alat bukti tertulis yang diperlukan oleh para pihak apabila terjadi sengketa. Perjanjian kredit yang dibuat selama ini

berpedoman pada hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.

31

30

Sutan Remy Sjadeni, Op.Cit. Hal. 2

Perjanjian

kredit merupakan perjanjian yang sangat penting dalam rangka penyaluran kredit dari bank sebagai kreditur kepada para debiturnya. Perjanjian kredit

31

Djunaedi Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Azas PemisahanHorisontal (Bandung: PT. Citra

(42)

merupakan perjanjian perjanjian pokok yang keberadaannya tidak tergantung pada perjanjian-perjanjian lainnya, jadi perjanjian kredit merupakan perjanjian

utama apalagi kalau dikaitkan dengan keberadaan perjanjian pemberian jaminan.

Dilihat dari bentuknya, perjanjan kredit perbankan pada umumnya

menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank

sebagi kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasanya disebut perjanjian baku (standard contract), dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya

dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar menawar.

Apabila debitur menerima semua ketetuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi apabila debitur menolak ia tidak perlu untuk

menandatangani perjanjian kredit tersebut.

2. Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit ini mendapat perhatian khusus, baik oleh bank

maupun oleh nasabah, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya, maupun penatalaksanaan kredit itu

(43)

a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.

b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.

c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. Kredit dilihat dari sisi unsur keuntungan bagi kreditur, yaitu untuk mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan kontra prestasi, sedangkan pandangan dari sisi debitur, yaitu bahwa kredit memberikan bantuan untuk menutupi kebutuhannya dan menjadi beban bagi dirinya untuk membayar, di masa depan hal itu merupakan kewajiban baginya yang berupa hutang.32

Kredit khususnya kredit perbankan terdiri dari beberapa jenis, yaitu: a. Kredit menurut kelembagaan

Menurut kelembagaannya kredit terdiri dari:

1) Kredit Perbankan, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Milik Negara atau Bank Swasta kepada masyarakat unruk kegiatan usaha dan atau konsumsi.

2) Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. 3) Kredit Langsung, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah (kredit program), misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina atau pihak ketiga.

4) Kredit pinjaman antar bank, yaitu kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. 33

b. Kredit Menurut Jangka Waktu

Dilihat dari jangka waktu, jenis kredit terdiri dari:

1) Kredit jangka pendek (short term loan) yaitu kredit yang berjangka maksimum 1 ( satu ) tahun.

2) Kredit jangka menengah (medium term loan) yaitu kredit berjangka waktu antara 1 ( satu ) tahun sampai 3 (tiga ) tahun.

32

Ch. Gatot wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Majalah Bank dan

Manajemen, Edisi November-Desember 1992, hal. 64-69

33

(44)

3) Kredit jangka panjang (long term loan) yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 ( tiga) tahun. 34

c. Jenis Kredit Menurut Penggunaannya.

Dari segi tujuan penggunaan kredit, jenis kredit terdiri dari :

1) Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari.

2) Kredit Produktif baik kredit investasi, ataupun kredit eksploitasi. Kredit Investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, dapat berjangka waktu menengah atau berjangka waktu panjang. Kredit eksploitasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal kerja, jangka waktunya berlaku pendek.

3) Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif ( semi konsumtif dan semi produktif ). 35

d. Jenis Kredit Menurut Keterikatannya Dengan Dokumen.

Jenis kredit menurut keterikatannya dengan dokumen ini diantaranya terdiri dari :

1) Kredit Ekspor yaitu semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor, jadi bisa dalam bentuk kredit langsung maupun kredit tidak langsung seperti kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.

2) Kredit Impor, Unsur dan ruang lingkup dari kredit impor pada dasarnya hampir sama dengan kredit ekspor karena jenis kredit tersebut merupakan kredit berdokumen. 36

e. Jenis Kredit Menurut Aktivitas Perputaran Usaha

Dari segi besar kecilnya aktivitas perputaran usaha, yaitu melihat

dinamika, sektor yang digeluti, aset yang dimiliki dan sebagainya, maka jenis kredit terdiri dari :

Gambar

Tabel 1 : Perkembangan Sistem Resi Gudang di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Putusan pengadilan yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tidak dapat terpenuhi.Adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli,

Upaya yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan yaitu dengan pencantuman kuasa dalam

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,