KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI
PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN
DI BIDANG EKONOMI
TESIS
OLEH
BUDIMAN BOSTANG PANJAITAN
097005106/HK
[
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI
PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN
DI BIDANG EKONOMI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BUDIMAN BOSTANG PANJAITAN
097005106/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI KEJAHATAN DI BIDANG EKONOMI
Nama Mahasiswa : Budiman Bostang Panjaitan Nomor Pokok : 097005106
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a
)
(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) (
A n g g o t a A n g g o t a
Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM)
Ketua Program Studi, Dekan Fakultas Hukum,
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah Diuji Pada
Tanggal 03 Januari 2012
PANITIA PENGUJI TESIS:
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
ABSTRAK
Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.
Kebijakan atau Politik Pidana merupakan upaya untuk melakukan pencegahan dan juga penanggulangan kejahatan sekaligus dengan menggunakan upaya penal. Sehingga secara utuh tahapan politik pidana terdiri atas formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan HAKI khususnya merek belum meresahkan masyarakat. Namun demikian, kejahatan HAKI dirasakan dapat menimbulkan kerugian, bukan saja bagi pemegang haknya tetapi juga akan merugikan perekonomian nasional dan citra Indonesia di forum internasional terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Oleh karena itu, berbagai upaya penanggulangan atau perlindungannya mutlak untuk secara terus menerus dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan baik secara preventif maupun secara represif.
Disarankan agar melakukan revisi terhadap Undang-Undang Merek karena masih terdapat kekurangan-kekurangan khususnya dalam pemberian perlindungan hukum. Disarankan juga agar Pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dan disarankan untuk memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera terhadap pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan menggunakan delik biasa terhadap pelanggar hak merek khususnya.
Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pelanggaran Hak Merek, Kejahatan
ABSTRACT
Violation of trademark can be regarded as a criminal act. This criminal act determination is a criminal policy which, according to Sudarto, is a rational attempt made the community to cope with a crime. This criminal policy includes the policy of criminal law which also called a policy to cope with a crime with criminal law, because in addition to criminal law, to cope with crime can also be done by non-criminal law facilities. The function of non-criminal law as social control is used to cope with the crimes in the forms of violation of Intellectual Property Right. This means that the norms in the field of Intellectual Property Right are enforced by criminal law with negative sanction especially in coping with the violation of trademark as a crime in the field of economy.
This is a normative legal study with secondary data obtained through library and field researches. The secondary data obtained were analyzed through qualitative analysis method.
Criminal policy or politics is an attempt to prevent and cope with crime through a penal effort. Therefore, as a whole, the stages of criminal politics consists of formulation (legislative policy), application (judicative policy), and execution (executive/administrative policy). In general, it can be said that the crime of Intellectual Property Right, especially trademark, is not yet disturbing the public. However, the Intellectual Property Right is perceived to inflict loss not only to the right holder but also national economy and the image of Indonesia in international forum especially in facing the era of free trade. Therefore, various attempts of prevention and protection absolutely need to be continuously done. The attempt can be either preventively or repressively done.
The Law on Trademark is suggested to be revised because there are still many limitations especially the one related to the provision of legal protection. The government is also suggested to socialize the importance of this Intellectual Property Right to the public and to impose a definite sentence with deterrent effect to those who violates the Intellectual Property Right using the charges usually alleged to the trademark violators in particular.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur tak terkira kepada Tuhan yang Maha Esa, atas segala Berkat
dan RahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini tanpa ada hambatan
yang berarti.
Tesis ini ditulis untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar Magister
Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan. Judul tesis ini adalah ”KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM
MENANGGULANGI PELANGGARAN HAK MEREK SEBAGAI
KEJAHATAN DI BIDANG EKONOMI”
Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara sekaligus sebagai Pembimbing yang dengan kesibukan beliau
masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan,
petunjuk, dan mendorong semangat Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis
ini;
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H., sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum. dan Syafruddin S.Hasibuan, SH, MH,
DFM selaku komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan dan masukan
5. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
selaku Komisi Penguji.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
• Orangtua H.N.Panjaitan yang selalu berdoa setiap saat buat Penulis dan juga
kepada mertua, istri, anak-anak, dan juga keluarga besar.
• KASAT BRIMOB POLDA METRO JAYA: KBP DRS.IMAM MARGONO, dan
juga kepada KAPOLRES ASAHAN: AKBP DRS.MARZUKI,MM, yang selalu
memberikan motivasi, semangat, dorongan serta doa sehingga Penulis dapat
menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
• Rekan-rekan Mahasiswa Kelas Hukum Ekonomi Angkatan ke-XV Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Penulis
ucapkan terima kasih atas kerjasama, serta pengalamannya selama menempuh
kuliah S2 di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
• Seluruh staff di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhir kata Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membutuhkannya dan Penulis menyampaikan permintaan maaf jika di dalam
penulisan tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik
dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan penulisan tesis ini.
Medan, Januari 2012
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : BUDIMAN BOSTANG PANJAITAN, SH, SIK
Tempat/Tgl. Lahir : Pekanbaru/ 18 April 1976
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Aspol Res Asahan - Kisaran
Pendidikan :
• SDN SEI PETANI MEDAN (1982-1988)
• SMPN I MEDAN (1988-1991)
• SMAN I MEDAN (1991-1994)
• AKPOL SEMARANG (1995-1998)
• FAKULTAS HUKUM USU MEDAN (2001-2003)
• PTIK JAKARTA (2004-2005)
• PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR SINGKATAN ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR SKEMA ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian ... 17
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17
1. Kerangka Teori ... 17
2. Konsepsi ... 27
G. Metode Penelitian ... 29
2. Sumber Data Penelitian ... 30
3. Teknik Pengumpulan Data ... 31
4. Analisis Data ... 32
BAB II KEBIJAKAN PIDANA (PENAL POLICY) DI INDONESIA MENGENAI TINDAK PIDANA MEREK ... 34
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Ekonomi ... 34
1. Kejahatan Ekonomi ... 34
2. Tindak Pidana Ekonomi ... 36
3. Bentuk-Bentuk Kejahatan Ekonomi ... 38
B. Tinjauan Umum Tentang Merek ... 39
1. Pengertian Merek ... 41
2. Unsur-Unsur Merek ... 44
3. Ruang Lingkup Merek ... 49
C. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Kejahatan di Bidang Merek ... 49
1. Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Tindak Pidana Ekonomi ... 49
2. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Kejahatan di Bidang Merek ... 53
3. Fungsionalisasi Hukum Pidana ... 66
A. Pengaturan Perundang-undangan Mengenai Merek ... 72
1. Pengaturan Perundang-undangan Mengenai Merek Dalam Berbagai Konvensi Internasional ... 72
2. Pengaturan Perundang-undangan Mengenai Merek di Indonesia ... 82
B. Politik Pidana Undang-Undang Merek di Indonesia ... 98
1. Penyidikan ... 100
2. Batas Minimum Batas Maksimum ... 103
3. Jenis Delik ... 104
4. Kualifikasi Delik ... 106
5. Pertanggungjawaban Pidana ... 106
C. Pelanggaran Hukum Terhadadap Merek ... 107
1. Persaingan Curang (Unafair Competition) ... 109
2. Itikad Baik (Good Will) ... 111
3. Penyesatan (Misleading) ... 112
BAB IV PERKEMBANGAN PENERAPAN KEBIJAKAN PENANGANAN KEJAHATAN MEREK ... 113
A. Penegakan Hukum Atas Merek Dalam Persetujuan TRIPs ... 113
B. Pemberdayaan Peran Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Perlindungan Hukum di Bidang Merek ... 119
C. Upaya-Upaya Perlindungan Hak Atas Merek ... 133
1. Penanganan Melalui Tahap Administrasi Oleh Kantor Merek ... 134
2. Penanganan Melalui Hukum Perdata ... 136
4. Kebijakan Pemerintah Dalam Penegakan Hukum di Bidang
Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 141
D. Analisis Kasus Merek ”Lukisan Pohon Kecil-Little Trees” ... 142
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 147
A. Kesimpulan ... 147
B. Saran ... 149
DAFTAR SINGKATAN
CJS Criminal Justice System
GATT The General Agreement on Tarif and Trade
GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara
HAKI Hak Atas Kekayaan Intelektual
IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
JUKLAK Petunjuk Pelaksanaan
JUKNIS Petunjuk Teknis
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
MvT Memorie van Toelichting
PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil
TRIPs Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods
UUD 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
WTO World Trade Organization
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penanganan Perkara Pelanggaran Merek ... 127
(1 April-24 September 2011)
Tabel 2 Data Kasus HAKI Yang Ditangani Kepolisian ... 132
(Tahun 2007-Tahun 2008)
Tabel 3 Data Perkara Pidana di Bidang Merek ... 133
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Tingkat Koordinasi PPNS HAKI dengan Kepolisian ... 125
ABSTRAK
Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.
Kebijakan atau Politik Pidana merupakan upaya untuk melakukan pencegahan dan juga penanggulangan kejahatan sekaligus dengan menggunakan upaya penal. Sehingga secara utuh tahapan politik pidana terdiri atas formulasi (kebijakan legislatif), aplikasi (kebijakan yudikatif), dan eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan HAKI khususnya merek belum meresahkan masyarakat. Namun demikian, kejahatan HAKI dirasakan dapat menimbulkan kerugian, bukan saja bagi pemegang haknya tetapi juga akan merugikan perekonomian nasional dan citra Indonesia di forum internasional terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Oleh karena itu, berbagai upaya penanggulangan atau perlindungannya mutlak untuk secara terus menerus dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan baik secara preventif maupun secara represif.
Disarankan agar melakukan revisi terhadap Undang-Undang Merek karena masih terdapat kekurangan-kekurangan khususnya dalam pemberian perlindungan hukum. Disarankan juga agar Pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dan disarankan untuk memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera terhadap pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan menggunakan delik biasa terhadap pelanggar hak merek khususnya.
Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Pelanggaran Hak Merek, Kejahatan
ABSTRACT
Violation of trademark can be regarded as a criminal act. This criminal act determination is a criminal policy which, according to Sudarto, is a rational attempt made the community to cope with a crime. This criminal policy includes the policy of criminal law which also called a policy to cope with a crime with criminal law, because in addition to criminal law, to cope with crime can also be done by non-criminal law facilities. The function of non-criminal law as social control is used to cope with the crimes in the forms of violation of Intellectual Property Right. This means that the norms in the field of Intellectual Property Right are enforced by criminal law with negative sanction especially in coping with the violation of trademark as a crime in the field of economy.
This is a normative legal study with secondary data obtained through library and field researches. The secondary data obtained were analyzed through qualitative analysis method.
Criminal policy or politics is an attempt to prevent and cope with crime through a penal effort. Therefore, as a whole, the stages of criminal politics consists of formulation (legislative policy), application (judicative policy), and execution (executive/administrative policy). In general, it can be said that the crime of Intellectual Property Right, especially trademark, is not yet disturbing the public. However, the Intellectual Property Right is perceived to inflict loss not only to the right holder but also national economy and the image of Indonesia in international forum especially in facing the era of free trade. Therefore, various attempts of prevention and protection absolutely need to be continuously done. The attempt can be either preventively or repressively done.
The Law on Trademark is suggested to be revised because there are still many limitations especially the one related to the provision of legal protection. The government is also suggested to socialize the importance of this Intellectual Property Right to the public and to impose a definite sentence with deterrent effect to those who violates the Intellectual Property Right using the charges usually alleged to the trademark violators in particular.
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat
menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya. Salah satu bidang yang
berdampak luas adalah tindak pidana ekonomi karena berdampak luas bagi upaya
pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Berbagai persoalan dalam tindak pidana
sebenarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat
sarat dengan berbagai terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu negara sebenarnya telah
berupaya untuk melakukan tindakan atau kebijakan dalam upaya penanggulangannya,
khususnya melalui sarana hukum pidana.1
Selanjutnya pembangunan di bidang hukum harus ditujukan kepada penegakan
hukum atau rule of law dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia
serta peningkatan harkat dan martabat manusia. Salah satu bidang penegakan hukum
adalah bidang penegakan hukum pidana untuk memberikan perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia yang sudah dilanggar dalam suatu tindak pidana, serta untuk
menciptakan rasa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.2
1
Kebijakan Hukum Pidana,
Penegakan hukum
pidana seperti juga penegakan hukum pada umumnya harus mencakup tiga komponen
seperti yang dikemukakan oleh W Friedmann yakni substansi hukum, struktur hukum
2
dan budaya hukum.3
Kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi itu sebenarnya sudah dimulai
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Substansi hukum atau materi hukum merupakan cikal bakal
dari negara hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pembentukan
substansi hukum sangat menentukan dalam pembentukan negara hukum dan pelaksanaan
aturan hukum itu sendiri.
4
Oleh sebab itu,
berbagai peraturan pidana di bidang ekonomi kemudian dikeluarkan lagi dalam
berbagai sektor perekonomian. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang ekonomi sudah dibuat, namun dalam banyak hal terdapat berbagai
permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang
selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan tersebut adalah5
1. Terkait dengan fungsi hukum pidana ekonomi sebagai fungsi primer atau sekunder;
:
2. Kebijakan dalam pidana dan pemidanaan;
3. Kebijakan dalam penyidikan dan koordinasi penyidikan; dan
4. Kebijakan dalam upaya pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut.
Perkembangan aktivitas perekonomian telah pula melahirkan bentuk
kejahatan yang merugikan dan membahayakan kehidupan. Kalau sebelumnya orang
3
tidak mengenal cyber crime, sekarang orang sangat akrab dengan dengan istilah itu
dan sudah banyak yang menjadi korban. Kalau dalam dekade delapan puluhan orang
tidak begitu risau dengan kejahatan perbankan, pasar modal, lingkungan hidup, dan
berbagai kejahatan di bidang perekonomian lainnya, sekarang kejahatan itu sudah
sangat merisaukan, bahkan secara kuantitas ataupun kualitas jauh lebih tinggi dari
pada kejahatan konvensional.6
Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah
ditetapkan, namun diasumsikan dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan
dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya
berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan pertama adalah kebijakan
perundang-undangan dalam mengatur tindak pidana di bidang ekonomi. Lahirnya
hukum pidana ekonomi diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi. Undang-Undang ini lahir untuk mengatasi masalah ekonomi setelah
penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Undang-undang ini pada dasarnya hanya
merupakan saduran dari Undang-Unang Pidana Ekonomi di Belanda yakni Wet op de
Economische Delicten.7
Undang-undang ini sebenarnya menjadi wadah hukum pidana di bidang
ekonomi dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua
6
John E Conklin, Criminology, Fourth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 29.
7
Kebijakan Hukum Pidana,
tindak pidana di bidang ekonomi diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische
Delicten.8 Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh, karena tindak pidana ekonomi
yang lahir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang, sehingga pengaturan
tersebar dan tidak tertata dengan cermat. Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana
yang diambil tidak konsisten.9
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kebijakan dalam peraturan di bidang
pidana ekonomi dalam kaitannya dengan fungsi hukum pidana. Secara umum hukum
pidana dalam sistem hukum mempunyai fungsi sekunder artinya hukum pidana
merupakan upaya hukum terakhir dalam penanggulangan terhadap berbagai
permasalahan dalam masyarakat, termasuk dalam kejahatan di bidang ekonomi. Dengan
fungsi ini berarti bahwa sepanjang ada upaya lain atau mekanisme lain baik melalui
mekanisme keperdataan, mekanisme administratif atau mekanisme lainnya, maka hukum
pidana tidak perlu campur tangan. Fungsi ini disebut juga dengan Ultimum Remedium.10
Namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi,
khususnya yang memuat aturan kepidanaan, tidak begitu jelas dan konsisten apakah
fungsi subsider dari hukum pidana ini menjadi kebijakan yang utama dalam
pembentukan dan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi. Hal ini dalam penegakan
hukum juga menimbulkan konsekuensi yakni tidak begitu jelasnya apakah penerapan
sanksi administratif dan sanksi perdata dalam pelanggaran hukum di bidang ekonomi
8
A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 1.
9 Ibid. 10
akan menghapuskan hukum pidana. Sehubungan dengan permasalahan ini dalam
penegakan hukum sering terjadi kontroversi bilamana aparat hukum terkait
menggunakan pendekatan hukum pidana dalam fungsi primer akan menimbulkan
kritikan dari sebagaian anggota masyarakat. Sedangkan di pihak lain khususnya pelaku
ekonomi menghendaki penyelesaian keperdataan atau administratif lebih baik.11
Kemudian kecenderungan globalisasi membawa dampak bagi kondisi Negara
Republik Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan mau tidak mau harus
memperhitungkan kecenderungan global tersebut. Dalam hal ini termasuk dalam
pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukum internasional dan
pandangan-pandangan yang bersifat mendunia perlu memperoleh tempat dalam khasanah pemikiran
hukum nasional. Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif
tercakup dalam GATT (the General Agreement on Tarif and Trade). GATT sebenarnya
merupakan kontrak antar partner dagang untuk tidak memperlakukan secara
diskriminatif, dalam perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada
kegiatan putaran-putaran, sejak 1947 hingga putaran Uruguay (1986) yang menarik
karena berhasilnya dibentuk WTO (World Trade Organization) yang mulai 1 Januari
1995. WTO mencakup pula Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods) atau Persetujuan
Perdagangan berkaitan dengan Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk
Perdagangan Barang Palsu,
11
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 165. dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang
TRIPs menentukan adanya asas kesesuaian penuh (full compliance) tersebut,
yang berarti negara-negara anggota harus membuat hukum nasionalnya mengenai
Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan persetujuan TRIPs.
Indonesia telah membuat dan menyempurnakan ketentuan undang-undang mengenai
Hak Atas Kekayaan Intelektual pada tahun 1997, yaitu12
1. Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
:
2. Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Paten;
3. Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi 5 Konvensi Internasional
tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu13
1. Konvensi Paris ( Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997);
:
2. Traktat Kerjasama Paten (Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997);
3. Traktat Merek (Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997);
4. Konvensi Bern (Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997); dan
5. Traktat WIPO Mengenai Hak Cipta (Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 1997).
Dalam memasuki pasar internasional, maka perlindungan di bidang Hak
Atas Kekayaan Intelektual tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab perlindungan Hak
Atas Kekayaan Intelektual ini sebenarnya bagaikan keping mata uang yang memiliki
dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan
12
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Hak Kekayaan
Intelektual,
pukul 10.30 WIB.
sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional, khususnya kepercayaan
para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampu melindungi bidang Hak Atas
Kekayaan Intelektual. Sebab jika law enforcement di bidang Hak Atas Kekayaan
Intelektual tidak mendapat prioritas tentunya barang-barang berkualitas akan enggan
masuk pasar dalam negeri, apabila United State Trade Representative menempatkan
Indonesia pada posisi “priority watch list”.14
Selanjutnya merek merupakan bagian cakupan dari Hak Atas Kekayaan
Intelektual, oleh karena terhadap merek harus dilekatkan pada suatu perlindungan
hukum sebagai objek yang terkait dengan hak-hak perorangan atau badan hukum.
Diperolehnya perlindungan hukum atas merek yang telah terdaftar merupakan salah
satu fungsi dari pendaftaran merek. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa
merek merupakan salah satu hak intelektual memiliki peranan penting bagi
kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan
perdagangan dan penanaman modal. Selain itu merek juga memiliki peranan yang
sangat penting dalam menjaga persaingan usaha yang sehat.15
Merek dikonstruksikan sebagai salah satu bagian Hak Milik Industri (Industrial
Property Rights) merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang pengaturannya terdapat dalam
14
Irwan Muslim Amin, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang Berhubungan Dengan HAKI, Makalah Seminar Peranan HAKI Dalam Era Persaingan Bebas,
(Semarang : Fakultas Hukum UNDIP dan KADINDA Jawa Tengah, 16 September 1999). 15
ilmu hukum dan dinamakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.16 World
Intellectual Property (WIPO) sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang
Hak Atas Kekayaan Intelektual memakai istilah intellectual property yang mempunyai
pengertian luas dan mencakup, antara lain karya kesusasteraan, artistik maupun ilmu
pengetahuan (scientific), pertunjukan oleh para artis, kaset, dan penyiaran audio visual,
penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek
dagang, nama usaha, dan penentuan komersial (commercial names and designation), dan
perlindungan terhadap persaingan curang.17
Merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usulnya
(Indication of Origin) suatu barang atau jasa yang sekaligus juga menjadi pembeda
dari barang-barang dan jasa-jasa yang lain.18
16
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 1.
Pemberian merek terhadap barang dan
jasa akan mempengaruhi citra perusahaan di mata konsumen atau dapat dikatakan
akan menaikkan citra perusahaan. Pemberian merek ini juga akan menunjukkan
jaminan kualitas (quality quarantee) dari barang dan jasa tersebut dan juga berusaha
17
M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 20. Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan Hak Milik Intelektual. Namun, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari GBHN 1999-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights ini dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, yang disingkat HaKI. Istilah Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum Anglo Saxon.
18
mencegah terjadinya peniruan. Merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means
of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang
memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan.19
Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang
dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti
merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang
rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan.20
Undang-undang Merek di Indonesia dalam pelaksanaannya masih relatif
baru dibandingkan dengan pelaksanaan Undang-undang Merek pada negara-negara
maju. Undang-undang Merek mulai sejak tahun 1961 yakni Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1961 tentang Merek, kemudian pada tahun 1992 Undang-undang ini diganti
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Pada tahun 1997 Di dalam kebijakan
kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum
pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana.
Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk
menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan
hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran
hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.
19 Ibid. 20
Undang-undang ini diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997
tentang Merek. Kemudian pada tahun 2001 Undang-undang Merek diganti menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Selanjutnya, Merek sebelum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah
mengalami tiga (3) kali perubahan, yang pertama diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1961, yang kedua diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1992, dan yang ketiga diatur dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun
1997. Oleh karena perkembangan zaman maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1961 dinyatakan dan dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan
dan kebutuhan. Alasan lainnya juga dapat dilihat di dalam Penjelasan
Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 yang antara lain mengatakan :
1. Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek
yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai akibat perkembangan
keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga,
menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1961 jauh tertinggal. Hal ini semakin terasa pada saat komunikasi semakin
maju dan pola perdagangan antarbangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas
Negara. Keadaan ini menimbulkan saling ketergantungan antar bangsa baik dalam
kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang
mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk merdeka.
2. Perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan
Di dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997
perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek itu ada diatur di dalam Pasal
81-Pasal 84. Dalam hal ini perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup
tindak pidana merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 itu
sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, hanya
saja perbedaannya terdapat di dalam Pasal 82 dimana di dalam undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997 pada Pasal 82 telah disisipkan Pasal 82A dan Pasal 82B.
Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup
tindak pidana merek, antara lain :
1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan
indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan
barang yang terdaftar.
2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi
geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang
yang terdaftar.
3. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada
barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek terdapat perbedaan
pengaturannya dimana di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek ada di atur di dalam Pasal
81-Pasal 84 maka di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai
perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek ada diatur didalam
Pasal 90-Pasal 94. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam
ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain:
1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan
merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan.
2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenis yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan.
3. Di dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ada
terdapat 3 (tiga) ayat. Dimana pada ayat (1) perbuatan yang dilarang yang
termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang
dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik
(2) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana
merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini
dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya
dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis
dengan barang yang terdaftar. Dan pada ayat (3) perbuatan yang dilarang yang
termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Terhadap pencantuman
asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun
pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan barang
tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis.
4. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada
barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat
mengenai asal barang atau jasa tersebut.
5. Pada Pasal 94 ada terdapat 2 (dua) ayat, dimana pada ayat (1) mengenai perbuatan
yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu:
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui
bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana
yang dimaksud pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan
Pasal 93. Dan pada ayat (2) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk
dalam tindak pidana merek disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana
Kemudian, dalam Acara Peringatan Hak Atas Kekayaan Intelektual sedunia di
Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menyampaikan
bahwa istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang selama ini dikenal sebaiknya dirubah
dari Hak Atas Kekayaan Intelektual menjadi Hak Atas Kepemilikan Intelektual.21
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa jika namanya hak kekayaan
tidak begitu tepat dari konsep hukumnya, tetapi kalau hak kepemilikan intelektual,
mempertegas hak milik seseorang sehingga jangan dicuri, dibajak dan disalahgunakan.22
Selanjutnya Presiden juga menghimbau agar bagi pelanggar Hak Atas Kekayaan
Intelektual memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera
sehingga iklim usaha dan investasi tumbuh dengan baik di negara kita.23
Dalam prakteknya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 belum
memberikan efek jera terhadap para pelanggar merek. Ini terbukti dari semakin
meningkatnya kasus-kasus yang timbul akibat pelanggaran merek di Indonesia.
Kerugian yang ditimbulkannya bukan hanya pada perorangan saja tetapi masyarakat
atau konsumen juga turut dirugikan. Salah satu perubahan penting yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997 yang menimbulkan banyaknya pelanggaran merek sekarang
ini adalah berubahnya delik biasa menjadi delik aduan. Sehingga untuk menindak
terjadinya pelanggaran merek pihak Kepolisian maupun Penyidik Pegawai Negeri
21
SBY Tidak Sepakat Dengan Istilah Kekayaan Intelektual,
22
Ibid. 23
Sipil (PPNS) Hak Atas Kekayaan Intelektual harus menunggu adanya pengaduan dari
pihak yang memiliki merek walaupun sudah mengetahui bahwa merek tersebut telah
memenuhi unsur pelanggaran merek.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas formula
kebijakan hukum pidana terhadap pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi
sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek Sebagai Kejahatan Di Bidang Ekonomi.
b. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti
dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak
pidana dalam bidang merek?
2. Bagaimanakah pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
pelanggaran pidana hak merek di Indonesia?
3. Bagaimanakah perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan merek?
c. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak
2. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
pelanggaran pidana hak merek di Indonesia.
3. Untuk mengetahui perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan
merek.
d. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui
sumbangsih pemikiran di bidang hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
khususnya mengenai hukum merek di Indonesia.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam
pemahaman dan penyelesaian pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi
dalam perkembangan era globalisasi.
e. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera
Utara, penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi
pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi, belum pernah
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali
dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis.
f. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan
landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan
pemikiran teoritis”.24
Selanjutnya tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab
ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini
berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian
manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan.
25
Agar tercapai
ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian
disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum.
Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama
adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah
adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.26
24
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37. 25
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42. 26
Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya
berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah
suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah
hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah
hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya.27
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).28 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790),
Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow
University pada tahun 1750,29 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).
Smith mengatakan bahwa : ‘Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari
kerugian’ (the end of justice is to secure from injury).30
Menurut Satjipto Rahardjo :
“Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasaan dan kedalamanya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.31
27 Ibid. 28
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.
29
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith on Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.
30
Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hal. 9.
31
Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya Inleding tot de Studies van het
Nederlands Recht, mengatakan:
Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain. Kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus
memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.32
Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakan
Hukum”, menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari
penegakan hukum.33 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang
menginginkan dapat ditegakkannya hukum terhadap peristiwa kongkret yang terjadi.
Dengan adanya kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakat tercapai.34
32
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht , cetakan IV oleh M. Oetarid Sadino), (Jakarta: Noordhoff-Kolff NV, 1958), hal. 20.
Tesis ini
didasarkan pada teori tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum, dalam penanggulangan pelanggaran hak merek sebagai kejahatan
di bidang ekonomi.
33
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 181-182.
Selanjutnya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu upaya
untuk mewujudkan peraturan hukum pidana dirumuskan lebih baik untuk memberi
pedoman tidak hanya bagi masyarakat/warga negara melainkan juga penegak hukum
untuk menerapkan aturan hukum pidana.35
Menurut Soedarto,36
a. Kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mencapai apa yang dicita-citakan.
politik hukum pidana mencakup:
b. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesaui dengan keadaan dan
situasi pada waktu tertentu.
Kemudian kebijakan hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk
menentukan37
a. Sejauh mana ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan
diperbarui. :
b. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan hukum pidana
merupakan upaya untuk memilih norma (law choosing) hukum/substansi hukum
pidana, menetapkan (law-making) dan melaksanakan norma (law enforcing) hukum
pidana. Semua upaya tersebut tentu saja dilaksanakan oleh aparat dan institusi yang
berwenang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang
dilakukan dalam suatu negara tentu saja harus sesuai dengan dasar filosifi, sosial dan
35
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 1997), hal. 19. 36
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., Op.Cit., hal. 151. 37
yuridis suatu masyarakat. Khusus dalam hukum pidana ekonomi kebijakan hukum
pidana ekonomi tentu harus mendukung upaya-upaya pembangunan ekonomi negara.
Walaupun kebijakan hukum pidana sangat memegang penting dalam
mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara, namun upaya
pendekatan lain (non-penal policy) harus tetap dilakukan. Dengan demikian Masalah
utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan
atau kebijakan non-penal dan penal kearah penegakkan dan pengurangan
faktor-faktor yang potensial tumbuh suburkan kejahatan.38
Selanjutnya agar suatu kebijakan yang ditempuh benar-benar sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat, maka semua upaya itu harus dimulai melalui
pemilihan norma hukum dan penetapan norma hukum oleh lembaga negara khusunya
lembaga legislatif. Oleh sebab itu, harus memperhatikan landasan filsafat, sosial dan
budaya yang hidup dalam masyarakat. Dalam pembentukannya, selanjutnya suatu
peraturan perundang-undangan harus memuat asas-asas seperti demokratis, partisipatif,
sustainability. Kesemuanya itu sangat menentukan dalam efektivitas dari segi pencapaian
tujuan (doeltreffendheid), keterlaksanaan (uitvoerbaarheid) dan ketertegakkan
(handhaafbaarheid) dari semua aturan tersebut.
39
Upaya penanggulangan tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang
ekonomi tentu saja sangat membutuhkan suatu kebijakan yang tepat mengingat tindak
38
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992),hal. 161.
39
pidana ekonomi mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan kejahatan
konvensional. Tindak Pidana ekonomi sebagai sebuah tidak pidana sangat erat
kaitannya dengan motif dan kebijakan ekonomi. Bagitu pula akibat yang
ditimbulkannya jauh lebih luas dampaknya di banding kejahatan konvensional. Kalau
tindak pidana pencurian, misalnya kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat
terbatas sekali. Sedangkan kejahatan ekonomi mempunyai dampak yang sangat luas
bagi masyarakat.
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk tindak pidana yang melanggar
berbagai aturan di bidang ekonomi jelas mempunyai kerakter sendiri. Pada dasarnya,
hukum pidana ekonomi mempunyai kekhususan yakni40
a. Sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan atau pasar; :
b. Bersifat elastis dan tidak ditepatkan di bawah stricta interpretation; dan
c. Sanksi dapat diperhitungkan oleh mereka yang bersangkutan.
Walaupun tindak pidana ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, bersifat
elastis dan tergantung pasar dan adanya kemungkinanan para pihak yang
bersangkutan menetukan sanksinya, namun dari aspek makro, tindak pidana di bidang
ekonomi berdampak sangat luas yakni dapat merusak bahkan menghancurkan
stabilitas dan pembangunan ekonomi itu sendiri .
Berbagai bentuk tindak pidana ekonomi yang terjadi menunjukkan bahwa
dampak dari tindak pidana tersebut sungguh memberikan jangkauan yang sangat luas.
Berbagai kasus perbankan baik yang terjadi di Indonesia, dan di luar negeri menimbulkan
40
hilangnya kepercayaan kepada perbankan, padahal bank merupkan salah saktu sektor
penting dalam perekonomian. Begitu pula halnya dengan tindak pidana lain yang sangat
terkait dengan aktivitas ekonmi seperti di bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan
dan lainnya juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Oleh
sebab itu upaya pengkajian dan guna pengambilan kebijakan yang tetap sangat penting
dalam menunjang pembangunan itu sendiri.41
Pengaturan tindak pidana ekonomi dalam sistem hukum pidana Indonesia
merupakan salah satu bentuk dari hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht). Pada
awalnya persoalan ekonomi hanya merupakan persoalan administratif dan keperdataan.
Namun mengingat pemerintah membutuhkan adanya suatu upaya pelaksanaan untuk
pemberlakuan hukum ekonomi, maka diperkuat dengan sanksi pidana sehingga
melahirkan aturan hukum pidana ekonomi. Walaupun demikian penggunaan hukum
pidana sebagai sarana utama harus dipertimbangkan. Pengendalian ekonomi yang
semata-mata menggunakan hukum pidana dapat mengakibat overcriminnalization dan
sekaligus dapat menimbulkan dampak negatif juga bagi perekonomian.42 Adanya sanksi
pidana dalam berbagai undang-undang di bidang ekonomi mestinya hanya berfungsi
sebagai pengawal agar aturan yang ada ditaati.43
Selanjutnya walaupun secara hukum fungsi hukum pidana sebagi ultimum
remidium (upaya terakhir) namun ada kecendrungan untuk menggunakan pidana
41
Adhi Wibowo, Analisis Kejahatan Perbakan Perspektif Hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum Respublika Vol. 7 Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, 2007, hal. 25.
42
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., Op.Cit., hal. 23. 43
sebagai upaya yang pertama (premium remedium). Dalam hal tertentu memang
dimungkinkan, yakni dengan alasan: korban yang sangat besar, terdakwa residivis
dan kerugian tidak dapat dipulihkan(irreperable).44
Secara umum pandangan tersebut dapat dibenarkan, namun dalam bidang
perekonomian hal itu perlu dipertimbangkan secara khusus. Di samping itu,
penggunaan sarana penal atau sanksi pidana yang merupakan ciri dominan dalam
sistem hukum pidana konvesional dirasakan kurang tepat. Sanksi pidana sebagai
upaya pencegahan (prevensi) dan penjeraan (detterance) tidak sepenuhnya didukung
oleh suatu fakta empiris. Malahan terdapat kajian empiris yang membuktikan
sebaliknya yaitu45
“An altrnative hypothesis holds that variation in the certainty and sevirity of punishment do not significantly deter the criminal. Rather crime is a result of a complex set of socioeconomic factors or possibility biological factor. The appropriate way ti minimize the social cost of the crime is to attct the root causes of crime, and programs designed to alleviate sociual, economi, and biological causes of crime”.
:
Keseluruhan upaya penanggulangan kejahatan termasuk tindak pidana ekonomi
yang melalui jalur represif atau penegakan hukum pada dasarnya berada dalam satu
sistem atau satu kesatuan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System). Di samping melalui jalur repressif, penanggulangan kejahatan juga
dapat dilakukan melalui jalur preventif yang merupakan setiap usaha untuk mencegah
44
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 79. 45
terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan.46
Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari sub-sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yakni
untuk melakukan penegakan hukum pidana (Criminal Law Enforcement). Walaupun
masing-masing sub sistem merupakan suatu institusi yang mandiri dan mempunyai tugas
dan kewenangan sendiri, semua sub sistem itu dihubungkan oleh suatu mata rantai yang
menyatukan gerak langkah operasional masing-masingnya. Dari kesemua mata rantai
tersebut akhirnya akan bermuara pada penegakan hukum secara konkrit dalam suatu
kasus tertentu. Conklin
Dalam kehidupan bernegara atau
bermasyarakat, upaya represif merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, karena
bagaimanapun akan selalu terjadi suatu tindak pidana yang melahirkan konsekuensi
harus dilakukan upaya penegakkan hukum (law enforcement). Penegakkan hukum
pidana membutuhkan aturan prosedural yang mempunyai cakupan yang luas dan
berada dalam suatu kerangka Sistem Peradilan Pidana.
47
Upaya pencegahan tindak pidana di bidang ekonomi membutuhkan integrasi
dari berbagai sub sistem peradilan pidana terdiri dari berbagai sub sistem yang
idealnya harus merupakan satu kesatuan (integrated).
menggambarkan: “The Criminal justice system has been
descired as a funnel or sieve that sorts out cases”.
48
46
Andi Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1998, hal. 2.
Dengan demikian, persoalan
penegakkan hukum seperti penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
47
John E. Conklin, Criminology, Fouth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 391.
48
hukuman harus berada dalam suatu sinkronisasi dan koordinasi yang baik. Kalau
tidak, sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik dan upaya penegakkan hukum
tidak akan berjalan secara maksimal.49
Kemudian tindak pidana di bidang merek disebut juga sebagai economic
crime, juga dapat disebut sebagai kejahatan berdimensi baru. Kejahatan ini untuk
menunjuk pada suatu kejahatan yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat
di bidang perekonomian dalam masyarakat industri, yang pelakunya terdiri dari
golongan mampu, intelek dan terorganisir (termasuk dalam white collar crime
).
Mobilitas kejahatan tinggi dilakukan tidak hanya di satu wilayah melainkan antar
wilayah, bahkan menerobos batas regional, trans-nasional. Modus operandinya
menggunakan peralatan canggih, memanfaatkan kelemahan sistem hukum, sistem
manajemen. Korbannya tidak lagi bersifat individual melainkan sudah bersifat
kompleks menyerang kelompok masyarakat, negara, dan kemungkinan korban tidak
segera menyadari kalau dirugikan.
2. Konsepsi
Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan dalam
tesis ini antara lain :
49
a. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.50
b. Kebijakan adalah prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah khususnya aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau
bidang-bidang penyusunan pengaturan perundang-undangan dan pengaplikasikan
hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya
mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga Negara).51
c. Kebijakan pidana adalah merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional
untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan pidana memiliki tiga arti, yaitu52
1. Keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana (dalam arti sempit);
:
2. Keseluruhan fungsi dari aparat penegak hukum, termasuk didalamnya cara
kerja pengadilan dan polisi (dalam arti luas); dan
3. Keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan atau
badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral
dari masyarakat.
50
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 butir 1. 51
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 23-24
52
d. Kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek)
dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa
yang akan datang. 53 Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.54
e. Kejahatan ekonomi adalah perbuatan melawan hukum yang diancam sanksi
pidana, dilakukan oleh seseorang atau koorporasi dalam pekerjaannya secara sah
dalam usahanya di bidang industri atau perdagangan, serta bertujuan untuk
memperoleh kekayaan, penghindaran pembayaran utang, serta memperoleh
keuntungan bisnis ataupun pribadi.55
g. Metode Penelitian
Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran
dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian
sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip
pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut56
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang
:
53
Ibid., hal. 28. 54
Ibid. 55
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, deskriptif maksudnya
menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum terhadap sengketa merek
terdaftar yang mempunyai persamaan dan pengaturan penyelesaiannya.
Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu
dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai penyelesaian
sengketa merek terdaftar yang mempunyai persamaan berdasarkan ketentuan
hukum merek dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh
Soeryono Soekanto, “penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang
bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang
diselidiki”.57
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian
semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal58
57
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.
(doctrinal
research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam
buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh
hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial
58
process).59 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan
sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara
akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
2. Sumber Data Penelitian
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder60
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum
Merek, antara lain Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Merek baik
pidana maupun perdata.
, yang meliputi:
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Merek.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.61
3. Teknik Pengumpulan Data
59
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
60
Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14.
61
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka
pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui
studi literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang
Merek dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi
penelitian. Untuk mengumpulkan data pendukung mengenai kebijakan hukum
pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang
ekonomi, peneliti mengambil beberapa contoh putusan Pengadilan pada Kantor
Pengadilan Niaga yang menangani masalah hukum dari sengketa merek dalam
penerapan hukum dan sanksinya. Di samping itu data pendukung juga diperoleh
dengan melakukan wawancara dengan :
a. Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas
Besar Kepolisian Republik Indonesia.
b. Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si dan Bapak Ignatius Silalahi, SH, MH
Penyidik Pegawai Negeri Sipil HAKI pada Direktorat Jenderal Hak Atas
Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dan
Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn dan Bapak Kurniaman Telaumbanua,
SH, M.Hum Penyidik Pegawai Negeri Sipil HAKI pada Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.
4. Analisis Data
Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan